Hasil pencarian
9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Lelaki Pencabut Nyawa Mallaby
Di teras rumahnya di kawasan Ampel, Kota Surabaya, Muhammad Chotib menyambut hangat kedatangan Historia . Mengenakan kaos polo dan sarung, pria paruh baya itu lalu mempersilakan masuk. Tembok ruang tamunya yang bercat biru diramaikan bingkai-bingkai foto. Sebuah lukisan menyelip di antara kumpulan foto itu. Dari sekian banyak foto di dinding itu, foto dua orang paruh baya paling menyolok. Salah satu pria dalam foto tersebut merupakan figur yang amat populer, yakni Jenderal (Purn.) Abdul Haris Nasution atau yang biasa disapa Pak Nas. “Itu saya lupa tahunnya. Ada satu kesempatan ayah saya ke Jakarta, sewaktu ingin mengurus tunjangan veterannya. Ketemu Pak Nas di rumahnya,” kata Chotib menjelaskan foto tersebut. Duduk di sofa hitam ruang tamu itu, Chotib lalu menceritakan lebih lanjut siapa ayahnya, yang ternyata turut terlibat dalam sebuah peristiwa yang berujung pada pertempuran dahsyat di Surabaya, 10 November 1945. Abah (ayah) saya H. Abdul Azis. Di daerah Ampel sini dikenalnya Haji Azis Endog karena dulu ibu saya satu-satunya yang jualan endog (telur) di Ampel. Dia pejuang tulen, enggak neko-neko orangnya. Kumpulannya saat revolusi ya bareng pentol-pentolnya (orang-orang besar) asli Surabaya, seperti Doel Arnowo, Achijat Alap-Alap, Wirontono,” ujarnya. Pertempuran 10 November dipantik oleh kematian seorang perwira tinggi Inggris, Brigadier Aubertin Walter Sothern Mallaby, pada 30 Oktober 1945 di depan Gedung Internatio. Chotib meyakini ayahnyalah yang dengan pistolnya menembuskan timah panas ke arah Mallaby hingga tewas. Kejadiannya berlangsung petang hari. Suasana di sekitar Internatio amat ricuh meski sebelumnya Presiden Sukarno, sebagaimana dilansir Kronik Revolusi Indonesia I: 1945 , sudah menyepakati penghentian tembak-menembak antara Inggris sebagai perwakilan Sekutu dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan unsur-unsur pemuda serta rakyat. Mallaby bersama rombongan Biro Kontak Indonesia serta para pemimpin Surabaya, seperti Residen Soedirman dan Ketua Komite Nasional Indonesia (KNI) Doel Arnowo, merapat ke Internatio selepas dari Lindeteves untuk memberi penjelasan penghentian kontak senjata. Tapi ketika rombongan sudah masuk gedung, Mallaby berada di dalam mobil lantaran para pemuda Indonesia menghendaki perunding Inggris diwakili perwira muda (Kapten Shaw). Tiba-tiba, lemparan granat muncul dari dalam gedung. Suasana yang tenang sontak kembali ramai oleh letusan senjata dari luar gedung. Begitu baku tembak itu reda, sekira pukul 20.30 malam, Mallaby melihat keadaan dengan melongok dari dalam mobil. Abdul Azis yang tergabung di Pemuda Rakyat Indonesia (PRI) langsung menghampiri mobil yang ditumpangi Mallaby dan dua perwira Inggris lain lalu melepaskan tembakan. “Seorang Indonesia datang ke jendela (dekat, red .) Brigadir dengan senapan. Dia melepaskan empat tembakan ke kami bertiga,” tulis Kapten RC Smith, yang ada di mobil itu, dalam laporannya yang dikutip JGA Parrott dalam “Who Killed Brigadier Mallaby”, dimuat di Jurnal Indonesia 20 Oktober 1975. “Butuh waktu 15 detik hingga setengah menit bagi Brigadir untuk benar-benar tewas.” Muhammad Chotib, putra Abdul Azis yang mencabut nyawa Brigadier AWS Mallaby. (Randy Wirayudha/Historia) “Jadi setelah itu dia lapor ke Cak Doel Arnowo. ‘ Wes Cak. Wes tak beresno ! (Sudah cak, sudah saya bereskan!’,” tutur Chotib menirukan cerita ayahnya saat melapor ke Arnowo. “ ’Apane diberesno? Sing Iku (Mallaby)? Ngawur ae kon ! (Apanya yang dibereskan? Yang itu (Mallaby)? Ngawur saja kamu!’ Lha ya kena marah dia (Abdul Azis) sama Doel Arnowo,” sambung Chotib. Meski hingga kini hanya segelintir orang yang mengetahuinya, keterangan Chotib diyakini otentik oleh peneliti sejarah yang juga pendiri Roodebrug Soerabaia, Ady Erlianto Setyawan. “Klaim (Abdul Azis) itu relatif kuat,” kata Ady saat dihubungi Historia . Penulis buku Benteng-Benteng Surabaya dan Surabaya: Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu? itu yakin lantaran klaim Abdul Azis via penuturan Amak Altuwy, jurnalis keturunan Arab yang juga saksi mata, itu diutarakan saat para pelaku Pertempuran 10 November masih hidup. “Kalau dia (klaim Abdul Azis) bohong, pasti tokoh-tokoh macam Ruslan Abdulgani yang juga ada di TKP saat Mallaby terbunuh akan buka suara. Dan orang selevel Brigjen Barlan Setiadijaya enggak akan memasukkan kisah itu ke dalam buku dia ( 10 November 1945: Gelora Kepahlawanan Indonesia ) yang isinya studi tentang pertempuran Surabaya yang sangat-sangat komprehensif,” tandas Ady. Doel Arnowo memerintahkan Azis tutup mulut soal penembakan itu. “Bukan karena takut dianggap penyebab Pertempuran Surabaya, tapi karena memang sudah janjinya pada Doel Arnowo untuk tidak bicara soal itu,” tambah Chotib yang kini ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Ampel itu.
- Hari Kesehatan Nasional dan Pemberantasan Malaria
PADA 12 November 1959, Presiden Soekarno memberikan komando pemberantasan penyakit malaria di Indonesia. Pada kesempatan itu, Soekarno melakukan penyemprotan pertama menggunakan DDT ( dichlorodiphenyltrichloroethane ) di sebuah rumah penduduk di Kalasan, Sleman, Yogyakarta. Tanggal 12 November kemudian ditetapkan sebagai Hari Kesehatan Nasional melalui Keputusan Menteri Kesehatan No. 64033/KBB/218 tanggal 30 Desember 1964. Sejak tahun 1973, Hari Kesehatan Nasional selalu diperingati dengan tema sesuai tujuan kesehatan yang hendak dicapai pada tahun itu. Menurut Kumpulan Buklet Hari Bersejarah I , pada peringatan Hari Kesehatan Nasional ke-22 tanggal 12 November 1986, diresmikan monumen Pembangunan Kesahatan di Desa Kringinan, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Di Hindia Belanda, terutama Batavia, malaria menjadi musuh yang ditakuti. Setidaknya selama 53 tahun, antara 1714-1767, sekitar 72.816 penduduk Eropa di Batavia meninggal karena malaria. Batavia pun sempat dijuluki Het graf van het Oosten atau kuburannya negeri timur. Bertahun-tahun setelahnya malaria masih sulit ditanggulangi. Sampai pada pertengahan 1800-an, Menteri Jajahan Seberang Lautan Belanda Ch. F. Pahud memulai proyek besar menanggulangi malaria. Dia mengutus Karl Haskarl, ilmuwan berkebangsaan Jerman, untuk membudidayakan kina yang diselundupkan dari Peru. Kina dibudidayakan dan diproduksi secara besar-besaran untuk obat malaria. Sampai Indonesia merdeka, malaria tetap menjadi penyakit yang menakutkan. Sehingga Sukarno mencanangkan pemberantasan malaria pada 1959. Menurut laporan Tempo , 22 Maret 1980, program pembasmian malaria antara 1959 sampai 1964 itu dengan bantuan USAID (The United States Agency for International Development). Program ini berhasil menekan penyakit malaria di Jawa-Bali, dari 10.000 penduduk hanya tercatat 1 penderita. “Setelah Bung Karno –dalam masa menjelang akhir kekuasaannya– mengusir bantuan dari Amerika Serikat dan penanggulangan malaria kurang diperhatikan, penyakit ini merangkak naik,” tulis Tempo . Departemen Kesehatan menempatkan malaria dalam deretan teratas penyakit yang harus diberantas. Dana yang dialokasikan cukup besar. Hampir separuh dari dana pemberantasan dan pencegahan penyakit menular jatuh ke malaria. Misalnya, untuk tahun 1978, tak kurang dari Rp2,7 miliar. Pada 1980, dari delapan juta kasus pertahun dengan keluhan mirip malaria, begitu diperiksa di laboratorium, ternyata 1,2 persen positif menderita malaria. Untuk luar Jawa-Bali saban tahun tercatat 700.000 penderita yang masuk rumah sakit dan puskesmas. Saat itu, metode pemberantasan malaria untuk Jawa-Bali dibedakan dengan daerah lain. Ini disebabkan pemberantasan di Jawa-Bali lebih mudah karena penduduknya terkonsentrasi. Jadi, daerah ini mendapat prioritas. Di Jawa-Bali, selain penderita datang ke rumah sakit dan puskesmas, petugas-petugas kesehatan juga menyebar ke lapangan untuk mencari kasus-kasus malaria. Sedang luar Jawa-Bali hanya bersandar pada penyembuhan terhadap penderita yang datang ke rumah sakit atau puskesmas. Saat ini, menurut data Kementerian Kesehatan yang sampaikan dr. Elizabeth Jane Soepardi, direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik, pada 23 April 2018, sebagian besar warga Indonesia (72 persen) telah bermukim di wilayah bebas malaria. Namun, masih terdapat 10,7 juta penduduk yang tinggal di daerah endemis menengah dan tinggi malaria. Daerah yang tinggi tingkat penularannya berada di kawasan timur Indonesia yaitu sebanyak 39 kabupaten/kota. Wilayah endemis tinggi malaria tersebut berada di Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Target wilayah eliminasi malaria dari tahun ke tahun terus bertambah. Pada 2016 pemerintah berhasil mengeliminasi malaria di 247 kabupaten/kota, 2017 sebanyak 266 kabupaten/kota, dan 2018 ditargetkan 285 kabupaten/kota. Selain pelatihan tenaga malaria (dokter, perawat, analis, kader, petugas surveilans, etomolog, dan penyediaan obat antimalaria dihydroartemisinin ), pemerintah mengadakan pekan kelambu massal dan pemantauan penggunaannya. Secara nasional, jumlah kelambu yang didistribusikan untuk seluruh Indonesia sejak tahun 2004 sampai 2017 sebanyak 27,6 juta kelambu. “Secara umum upaya yang efektif adalah tidur menggunakan kelambu, penyemprotan dinding rumah dan menggunakan repellent (penolak nyamuk),” kata dr. Jane. “Sementara yang lain adalah dengan manajemen lingkungan, termasuk menebarkan ikan pemakan jentik, seperti ikan mujair dan cupang.”
- Moeffreni Moe'min, Komandan Para Pejuang
SEJARAWAN Rushdy Hoesein punya cerita, semasa masih aktif di Resimen V Cikampek pada sekira 1947, Pramoedya Ananta Toer pernah ditugaskan untuk membuat laporan suatu pertempuran. Singkat cerita laporan telah selesai. Namun sang komandan yang dia perlukan untuk membubuhkan tanda tangannya tak jua dia temukan, sementara laporan penting itu sedang ditunggu oleh para petinggi tentara di Yogyakarta. Pram yang saat itu berpangkat sersan mayor akhirnya membuat keputusan sendiri: laporan dikirim tanpa tanda tangan pimpinan. Belakangan sang komandan mengetahui hal itu dan langsung menyembur Pram dengan teguran kemarahan. “Saya tersinggung sekali lantas mutung dengan dunia militer,” ujar Pram seperti disampaikan kepada Rushdy pada sekira tahun 1980-an. Siapa yang menjadi komandan Pram dalam kisah itu? Dia tak lain adalah Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min, komandan Resimen V Cikampek pada awal-awal revolusi berlangsung. Terhadap sebuah keputusan yang telah diambilnya, Moeffreni memang kerap bersikap kepala batu. Dia seolah tak mengenal sikap kompromi dan tawar menawar. Seperti keputusannya yang terpaparkan dalam sebuah kisah di buku Jakarta-Karawang-Bekasi dalam Gejolak Revolusi karya Dien Majid dan Darmiati. Lewat telepon dari Jakarta, saat itu Menteri Pertahanan Amir Sjarifoeddin meminta pasukan Moeffreni agar mengembalikan hasil rampasan dalam pertempuran di Dawuan kepada Inggris. “Maaf Pak, saya tidak dapat melaksanakan perintah itu,” ujar Moeffreni “Tapi kalau tidak dilakukan, Cikampek akan dibom oleh mereka,” tukas Amir. “Saya sudah memperhitungkannya, Pak. Di sini tiap hari telah dibom oleh mereka. bahkan hingga Tambun,” ungkap Moeffreni. Amir Sjarifoeddin pun tak bisa berkata-kata apa lagi. Didikan Jepang Bisa jadi ketegasan didapatkan Moffreni saat dia berada dalam didikan militer Jepang. Menurut Nugroho Notosusanto dalam Tentara PETA Pada Zaman Pendudukan Jepang di Indonesia , Moeffreni merupakan angkatan pertama di Seinen Dojo (Balai Pendidikan Pemuda) Tangerang pada 1943. Dia satu angkatan dengan para pemuda yang kelak menjadi para tokoh militer Indonesia seperti Supriyadi, Daan Mogot, Jono Suweno dan Kemal Idris. Pengetahuan militer Moeffreni semakin mantap, manakala dia melanjutkan pendidikan PETA (Pembela Tanah Air) di Boei Gyugun Kanbu RensentaiBogor. Lepas Boei Gyugun Kanbu Resentai, dia kemudian didapuk melatih calon instruktur PETA. Di sinilah dia berkenalan dengan pemuda Soeharto yang merupakan salah satu peserta pendidikan tersebut. “Bahkan bisa dikatakan saat itu Moeffreni cukup dekat hubungannya dengan Soeharto, “ujar sejarawan Rushdy Hoesein. Pernyataan Rushdy itu didasarkan pada pengalaman Susila Budi (putra pertama Moeffreni) yang sempat bertemu dengan Soeharto waktu dia masih menjadi presiden. Susila ingat, Soeharto langsung sumringah ketika tahu bahwa dirinya adalah putra Moeffreni Moe’min. “Nasi goreng buatan bapakmu enak sekali,” kata Soeharto. Namun dalam biografinya, nasi goreng itu disebutkan bukanlah bikinan Moeffreni sendiri, melainkan buatan ibunya Moeefreni. Rupanya setiap mendapatkan kiriman nasi goreng dari Mohammad Moe’min (ayah Moeffreni) yang kerap datang menjenguk, Moeffreni pasti menyisihkannya buat Soeharto. Pemimpin BKR Jakarta Ketika nama Moeffreni (yang sedari awal sudah digadang-gadang) tidak ada dalam daftar Pahlawan Nasional tahun ini, banyak kalangan yang kecewa. Terutama para tokoh Betawi. Bisa jadi harapan mereka agar Moeffreni diangkat menjadi Pahlawan Nasional begitu besar. Saat memperingati 73 tahun Peristiwa Lapangan IKADA dua bulan lalu, sejarawan J.J. Rizal menyatakan bahwa sejatinya pemerintah Republik Indonesia sangat pantas untuk mengangkat Moeffreni Moe’min sebagai Pahlawan Nasional. “Saat itu, di jasnya (Moeffreni) menaruh dua dinamit dan dipinggangnya terselip pistol. Karena dia harus pasang badan saat keselamatan Bung Karno, Bung Hatta, serta anggota kabinet yang dijemput oleh Soebijanto Djojohadikoesoemo (selama rapat Ikada)," ujar Rizal di hadapan pers. Namun menurut Rushdy Hoesein, peran sebagai pengawal Sukarno-Hatta dalam Peristiwa IKADA 1945 itu hanyalah sebagian kecil jasa Moeffreni. Sesungguhnya peran signifikan Moeffreni dalam sejarah adalah saat dia memimpin Resimen V Cikampek. Di sini bisa dikatakan, Moeffreni berhasil membangun koordinasi yang kompak antara tentara dengan lasykar di front Jakarta Timur. Keberhasilan tersebut tak lepas dari peran Moeffreni saat aktif memimpin para pemuda Jakarta menjelang terjadinya Proklamasi 1945. Bersama koleganya di Prapatan 10, lelaki Betawi kelahiran 12 Februari 1921 itu lantas mendirikan BKR (Badan Keamanan Rakyat) Jakarta Raya yang bermarkas di Jalan Cilacap. Menurut sejarawan Robert Briston Cribb dalam Gangsters and Revolutionaries, Moeffreni pun memiliki jaringan yang cukup luas di luar PETA. Dia tergolong akrab dengan para jagoan dan jawara Jakarta seperti Haji Darip, Panji dan tokoh-tokoh terkemuka lainnya. Jadi bisa dikatakan, sosok Moefreni cukup disegani oleh semua kalangan hingga saat Resimen V Cikampek ada di bawah kendalinya, situasi front Jakarta Timur (termasuk Karawang-Bekasi), perlawanan terhadap militer Inggris dan Belanda berlangsung kompak. “Dia bisa menciptakan situasi harmonis antara tentara dan lasykar, hingga dianggap komandan oleh seluruh pejuang” kata Rushdy Hoesein. Justru itulah yang tidak bisa dilakukan oleh Mayor Soeroto Kunto, penerus Moefreni di Resimen V Cikampek. Kendati penunjukan Mayor Soeroto Kunto sendiri dilakukan atas pilihan Moeffreni, nyatanya situasi di front Jakarta Timur sepeninggal Moeffreni menjadi kacau. Alih-alih terkendali, bentrok antara lasykar dengan tentara kerap berlangsung. Puncaknya terjadi ketika Mayor Soeroto Kunto sendiri hilang bersama empat prajurit Resimen V Cikampek lainnya di wilayah Warung Bambu (antara Karawang-Cikampek) pada 27 November 1946. Dinusakambangkan Lepas dari Resimen V Cikampek, Moeffreni dipindahtugaskan ke Cirebon sebagai komandan Resimen XII. Baru beberapa hari menjadi Danres XII, tugas berat sudah diterimanya dari Panglima Divisi Siliwangi untuk mengamankan berlangsung perundingan antara pihak Indonesia dengan Belanda di Linggajati dari 10-15 November 1946. Tapi lagi-lagi Moeffreni bisa melaksanakan tugas tersebut. Bukan hanya soal pengamanan di wilayah sekitar tempat perundingan saja, dia pun berhasil “menjinakan” satu batalyon lasykar rakyat dari Karawang yang rencananya akan menyerang Linggajati. Dengan cara persuasif, Moeffreni menjemput langsung kedatangan pasukan lasykar itu di stasiun Cirebon. Mereka kemudian disambut hangat dan langsung ditampung di asrama-asrama milik Resimen XII. Tak lupa mereka pun disuguhi makan dan minum ala kadarnya.Setelah tenang barulah Moeffreni berdiskusi dengan pentolan-pentolan lasykar itu. Selidik punya selidik, ternyata para anggota lasykar tersebut terprovokasi oleh satu berita hoax yang sudah kadung tersebar di Karawang. Tersebar kabar bahwa Cirebon sudah diserbu oleh satu kekuatan besar terdiri dari pasukan Belanda-Inggris. Karena itu mereka dating ke Cirebon untuk membantu para pejuang setempat menghadapi serbuan tersebut. Moeffreni kemudian menjelaskan bahwa tak ada serbuan gabungan itu. Yang ada, kata Moeffreni, Cirebon kedatangan ratusan jurnalis dan diplomat asing (terutama dari Inggris dan Belanda)yang datang untuk mengikuti dan meliputi berlangsungnya perundingan di Linggajati. Setelah diyakinkan begitu, akhirnya pasukan dari Karawang pulang kembali ke kota asalnya dan pertemuan di Linggajati pun sukses hingga akhir. Sang komandan lalu ditugaskan ke front Bandung Timur. Namun tidak lama dan dia balik kembali ke Cirebon. Lagi-lagi tugas di Cirebon hanya dijalaninya empat bulan saja. Kolonel A.H. Nasution, atasannya, lantas menugaskan Moeffreni menjadi Direktur Pendidikan Perwira Divisi Siliwangi di Garut. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, saat militer Belanda menyerang Garut pada Juli 1947, Moeffreni tertangkap dan menjadi tawanan perang di pulau Nusakambangan. Tiga tahun lamanya Moeffreni menjadi tahanan perang Belanda. Baru pada awal 1950, dia dibebaskan dan ditugaskan di Resimen Bogor. Tahun 1960, dia kemudian mengajukan pengunduran diri dari dunia militer dan sempat aktif sebagai anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi ABRI. Komandan para pejuang itu akhirnya menutup mata di Rumah Sakit Pertamina Jakarta pada 27 Juni 1996. Kendati tahun ini, nama Moeffreni Moe'min belum mendapat tempat sebagai Pahlawan Nasional, namun tidak berarti itu mengecilkan jasa-jasanya di masa lalu bagi negeri ini.
- Buku Terbuka Bernama Kasman Singodimedjo
Presiden Joko Widodo menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional kepada enam tokoh pada Kamis, 8 November 2018. Salah satu tokoh tersebut bernama Kasman Singodimedjo. Pemerintah menilai Kasman telah berjasa dan berkorban demi kepentingan bangsa dan negara. Kasman lahir di Purworejo, Jawa Tengah, pada 25 Februari 1904. Dia anak pertama dari tujuh bersaudara. Tiga meninggal sejak kecil, empat mampu bertahan hidup hingga dewasa. Ayahnya berlatar belakang pegawai negeri dan sempat berdinas di Bali serta Lampung Tengah, lalu memutuskan hidup sebagai modin desa (petugas agama). Ibu Kasman seorang perempuan desa biasa dan buta huruf latin. Kasman pernah memperoleh pendidikan dasar di sekolah Kristen swasta di Batavia bersama seorang adik perempuannya. Adiknya lebih dulu masuk ke sana dan berada di tingkat ketiga, sedangkan Kasman masih berada di tingkat pertama. Kasman mengikuti ujian khusus untuk berada di tingkat yang sama dengan adiknya. Dia melewati ujian itu, tetapi tetap merasa malu. “Oleh karena itu setelah saya pikirkan secara mendalam, saya mengambil keputusan untuk pindah ke Purworejo,” kata Kasman dalam Hidup Itu Berjuang: Kasman Singodimedjo 75 Tahun . Setelah itu, dia bersekolah di Kutoarjo dan Magelang. Dia menumpang tinggal pada satu keluarga. Sebagai gantinya, dia mengerjakan beberapa hal untuk keluarga tersebut. Dari mencuci pakaian, membersihkan peralatan makan, sampai mengepel lantai. Aktif di Organisasi Pemuda Kasman kembali ke Batavia pada 1924. Dia melanjutkan sekolah di STOVIA, tapi tidak sampai selesai. Pada masa inilah dia mulai terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dia menjadi pengurus Jong Islamieten Bond (JIB), organisasi pemuda berasas Islam yang menyandarkan referensi gagasannya pada Haji Agus Salim. Kasman turut mengambil peran dalam penerbitan media cetak organisasinya, Het Licht . Het Licht edisi Desember 1925 memuat beberapa tujuan pendirian JIB. Antara lain mempererat hubungan golongan terpelajar dengan rakyat; menumbuhkan rasa kebersamaan antara golongan intelektual dari berbagai suku bangsa; dan menumbuhkan rasa simpati terhadap agama Islam dan toleransi pada pemeluk agama lain. JIB turut serta dalam Kongres Pemuda II yang melahirkan Sumpah Pemuda 1928. Seusai berkhidmat di JIB, Kasman melanjutkan Sekolah Tinggi Hukum di Batavia. Kali ini dia berhasil menyelesaikan sekolahnya dan menggondol gelar Meester in de Rechten (Mr.). Dia juga mulai bergerak bersama Muhammadiyah pada 1935. Dia pernah memperoleh pengajaran langsung dari pendiri Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan pada 1920-an. Sosok Kasman mulai menyita perhatian khalayak pada 1940. Kasman sempat berucap “Untuk Indonesia Merdeka!” dalam sebuah rapat Muhammadiyah di Bogor, Jawa Barat. Ucapan Kasman terdengar oleh polisi rahasia Belanda (Politiek Inlichtingen Dienst/PID). Dia diciduk dan didakwa bersalah. Hukumannya empat bulan penjara. Namanya muncul di sejumlah media cetak seperti Pemandangan , Pandji Islam , Adil , dan Berita NU . “Nama Kasman tiba-tiba muncul menjadi buah pembicaraan di kalangan kaum pergerakan baik yang berasas nasionalisme maupun Islam,” kata Saifuddin Zuhri, mantan Sekjen Nahdlatul Ulama, dalam Hidup Itu Berjuang . Tapi namanya kemudian hilang beberapa lama hingga masa pendudukan Jepang. Namanya mengemuka lagi ketika dia diangkat oleh Jepang sebagai daidanco atau komandan batalion pasukan Pembela Tanah Air (PETA), jabatan tertinggi untuk orang Indonesia di PETA. Kasman sebenarnya tak berkenan masuk PETA. Hatinya menolak segala macam bentuk penjajahan. Dia berupaya merekayasa kondisi fisiknya supaya tidak lulus tes kesehatan. “Selama beberapa hari saya mengurangi tidur, sehingga badan saya tampak lesu, muka pucat dan mata menjadi kemerah-merahan. Saya juga berusaha agar air kencing saya menjadi kuning,” kenang Kasman. Tapi hasil pemeriksaan kesehatan menyatakan Kasman sehat dan layak menjadi daidanco Jakarta. Masuk PETA ternyata memperluas jaringan dan pengetahuan Kasman. Dia makin tahu watak asli Jepang dan penderitaan rakyat akibat pendudukan Jepang. Ketika pemimpin militer Jepang di Indonesia meminta seluruh anggota PETA untuk menyerahkan senjatanya, Kasman menolak perintah tersebut. Dia mengajak daidanco lainnya melakukan hal serupa dalam pertemuan para daidanco di Bandung. Sebagian daidanco mengiyakan ajakannya, lainnya menolak. Hal ini terjadi ketika Jepang berada di ujung kekalahan, pada 16 Agustus 1945. Sehari setelah pertemuan para daidanco , Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Kasman masih di Bandung. Malam hari pukul 19.30, dia bergerak menuju Jakarta. “Kasman Singodimedjo dipanggil oleh Proklamator Bung Karno itu, diangkat menjadi anggota tambahan dari Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia,” ungkap tim penulis buku Hidup itu Berjuang . Peran di PPKI Di PPKI, Kasman berperan meyakinkan Ki Bagus Hadikusumo, ketua umum Muhammadiyah sekaligus anggota PPKI, untuk melepas tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang mewajibkan pemeluk Islam menjalankan syariat Islam. Tujuh kata itu diajukan oleh kelompok Islam dalam Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Kasman melakukan apa yang tidak bisa dilakukan oleh KH. Wahid Hasyim dan Bung Hatta terhadap Ki Bagus. Dia berbicara dengan Ki Bagus dalam bahasa Jawa halus dan memintanya mengalah sementara selama enam bulan. Kasman meyakinkan Ki Bagus bahwa kelompok Islam akan memperoleh kembali tujuh kata itu melalui sidang parlemen (Majelis Permusyawaratan Rakyat/MPR) enam bulan mendatang, seperti apa yang diamanatkan oleh UUD 1945. Ki Bagus pun luluh dan bersedia menghapus tujuh kata itu. Setelah rapat-rapat PPKI berakhir, Kasman sempat merangkap ketua Badan Keamanan Rakyat (BKR) dan ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), lembaga parlemen sementara. Kasman melepas jabatan Ketua BKR pada 5 Oktober 1945 ketika BKR berubah menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Kasman pun tak terlalu lama memegang jabatan ketua KNIP. Sutan Sjahrir menggantikannya pada 16 Oktober 1945 ketika sistem pemerintahan Indonesia berubah dari presidensil ke parlementer. Kasman menempati posisi baru sebagai Jaksa Agung. Dia meletakkan dasar-dasar administrasi dan personalia untuk lembaga Kejaksaan Agung. Menghormati Sukarno Memasuki dekade 1950-an, Kasman bergabung dan aktif dalam Partai Masyumi. Dia menjadi anggota Konstituante wakil Masyumi. Melalui sidang-sidang Konstituante bersama anggota Masyumi lainnya, dia berupaya memasukkan semangat Piagam Jakarta sebagai jiwa UUD yang baru dan menggolkan Islam sebagai dasar negara. Masa-masa ini mencatatkan pula konflik Masyumi dan Presiden Sukarno. Kasman dan Masyumi gagal mengembalikan gagasan Piagam Jakarta. Konstituante juga tidak pernah mencapai kesepakatan tentang dasar negara. Nasib nahas menimpa Masyumi pada akhir dekade 1950-an. Anggotanya terlibat dalam PRRI/Permesta sehingga memperuncing konflik mereka dengan Sukarno. Masyumi menjadi partai terlarang pada awal 1960-an dan Kasman kemudian ditangkap pada November 1963 atas tuduhan upaya membunuh Presiden. Mohammad Roem dalam Bunga Rampai Dari Sedjarah 3 menyebut tuduhan itu tak pernah terbukti. Tapi Kasman tetap dipenjara hingga 1966, ketika kekuasaaan Sukarno melemah. Bebas dari penjara tak membuat Kasman dendam pada Sukarno. Sekeras apapun pertentangannya dengan Sukarno pada 1950-an, Kasman tetap menghargai Sukarno sebagai pemimpin besar dan sesama manusia. Dia turut mengantar kepergian Sukarno ke peristirahatan terakhirnya di Blitar pada Juni 1970. Demikian kesaksian almarhum A.M. Fatwa, mantan sekretaris pribadi Kasman, dalam Hidup itu Berjuang . Kasman wafat di Jakarta pada 25 Oktober 1982 dalam usia 78 tahun. Roem bilang Kasman ibarat buku terbuka. Masih bisa dibaca dan dipelajari oleh siapapun.
- Freddie Mercury yang Tiada Dua
SEJAK berita film biopik Freddie Mercury, Bohemian Rhapsody, menyebar, nama vokalis band legendaris Queen itu kembali jadi buah bibir. Para fans Queen maupun Freddie di Indonesia ikut memperbincangkannya. “Kualitasnya itu lho. Musikalitasnya tinggi. Notasi lagu (yang, red .) dia buat juga unik. Enggak seperti rata-rata vokalis rock . Gaya dan kostumnya juga unik dan modis,” ujar musisi Ophie Danzo kepada Historia. Opini senada juga diungkapan Paulus Sugito, fans Freddie dan Queen yang lain. “Musiknya bikin hilang kantuk kalau sedang nyetir. Hampir semua lagunya up beat. Apalagi dengar suara khas Freddie yang enggak ada yang bisa menyamakan. Penampilan kostum dan gayanya juga enggak mau mengikuti gaya orang lain, justru jadi trend-setter ,” kata wiraswastawan berusia 42 tahun itu. Maka ketika Bohemian Rhapsody sampai di Indonesia, 2 November 2018, para fans Freddie pantang melewatkannya. “Buat penggemar yang tidak mengalami era itu (Freddie masih hidup), nonton filmnya jadi dapat banget atmosfer dan auranya,” sambung Paulus yang masih menyimpan empat kasetnya. Ophie malah berkesempatan nonton premier -nya seminggu sebelum diputar di bioskop-bioskop Indonesia. “Dapat undangan, sama musisi-musisi lain. Mantap banget, inspired banget filmnya. Terutama buat para musisi-musisi sekarang, bisa lihat sejarahnya dan semangatnya. Karena Queen ini kan awalnya band biasa saja yang main di bar-bar,” ujar Ophie. Semangat Freddie dan Queen itulah yang menginspirasi Ophie dalam bermusik. Kekagumannya pada Freddie dan Queen tumbuh sejak dia menjadi vokalis “interim” Brawijaya Band pada 1993 karena vokalisnya merantau ke Amerika Serikat untuk kuliah. “Sebenarnya dari 1980-an sudah tahu Freddie. Tapi ya paling cuma kenal lagu ‘Bohemian Rhapsody’ dan ‘Love of My Life’. Dari 1993 diajak main bareng Brawijaya Band untuk acara bertema Queen di Wisma Bakri (Jakarta). Langsung dikasih PR mempelajari lagu-lagu Queen. Juga saat bareng Second Born Band banyak mainin lagu-lagu Queen. Nah semangat Queen itu juga yang kita ambil saat kita tampil,” imbuh vokalis rock yang tenar saat bersama band Voodoo itu. Musikalitas dan spirit yang unik itu tak lepas dari latar belakang Freddie dkk. yang memang jempolan di dunia akademis. “Mereka kan aslinya otaknya cerdas semua. Kan memang latar belakang akademisnya keren-keren,” tambah Ophie. Brian May (gitaris) merupakan PhD di bidang astrofisika, Roger Taylor ( drummer ) pernah mencicipi pendidikan kedokteran gigi di London Hospital Medical College sebelum beralih ke jurusan biologi di East London Polytechnic. Sementara, John Deacon ( bassist ) merupakan insinyur elektro lulusan Chelsea College London; dia membuat ampli Deacy Amp yang –lalu dikembangkan bersama May– menjadi pilar suara khas bernuansa orkestra pada banyak lagu Queen. Freddie sendiri lulusan Desain Seni dan Grafis Ealing Art College (kini University of West London). Tapi itu hanya satu dari segelintir fakta-fakta menarik tentang Freddie. Berikut beberapa fakta lainnya: Kelainan Membawa Berkah Freddie Mercury punya kelainan Hyperdontia sejak lahir. (Ultimate Classic Rock) Freddie lahir dengan kelainan pada giginya, dia punya empat gigi seri tambahan (hyperdontia). Tak pelak, sejak kecil Freddie acap jadi sasaran bully kawan-kawannya sehingga dia tumbuh jadi remaja pemalu. Namun, di kemudian hari hyperdontia justru membawa berkah buat vokal Freddie. “Membuat mulutku punya lebih banyak ruang dan artinya range (vokal) yang lebih,” kata Freddie yang diperankan Rami Malek dalam film Bohemian Rhapsody (2018). Maka itu, Freddie tak pernah mau membetulkan giginya ke dokter gigi. Menurut David Bret dalam Living on the Edge: The Freddie Mercury Story , suara Freddie aslinya bertipe bariton. Namun Freddie mampu mencapai nada rendah bass (F2) sampai nada tinggi sopran (F6). Lead singer The Who Roger Daltrey sampai memuji vokal Freddie. “Dia penyanyi rock and roll terbaik sepanjang masa. Dia bisa menyanyikan lagu manapun dengan gaya apapun. Dia bisa mengubah gaya vokal dari satu titik ke titik lain dan itu sebuah seni. Dia sungguh brilian,” ujarnya dalam sebuah wawancara kepada Jim O’Donnell 2013 silam. Anak Pengungsi Berdarah Parsi Jer dan Bomi Bulsara, orangtua Freddie Mercury alias Farrokh Bulsara. (family.queen.pl) Freddie lahir di Stone Town, Kesultanan Zanzibar (kini Tanzania), 5 September 1946 dengan nama Farrokh Bulsara. Orangtuanya, Bomi dan Jer Bulsara, berasal dari Gujarat, India dan berdarah Parsi serta menganut Zoroaster (agama kuno Persia). Lesley-Ann Jones dalam Mercury: An Intimate Biography of Freddie Mercury mengupas, Freddie besar di Bombay (kini Mumbai) dan sudah getol dengan musik rock and roll sejak usia 12 tahun dengan membentuk band The Hectics. Pada Februari 1963, Freddie pindah ke Zanzibar mengikuti ayahnya yang bekerja sebagai kasir di sebuah Pengadilan Tinggi Kolonial Inggris di Zanzibar. Setahun kemudian, Freddie dan keluarganya mesti mengungsi ke Feltham, Inggris, akibat Revolusi Zanzibar yang banyak memakan korban para imigran Arab dan India. Sembari meneruskan pendidikan, Freddie nyambi kerja di Bandara Heathrow sebagai kuli angkut bagasi. Kala merintis kebintangannya bersama Queen, medio 1970, Freddie resmi mengganti menjadi Freddie Mercury. Freddie merupakan nama panggilannya kala di sekolah asrama di India dan Mercury adalah planet terdekat dari matahari dan dalam kepercayaan Zoroaster merupakan lambang pembawa kebenaran dan cinta. Pencetus Nama dan Lambang Queen Lambang Queen. (Youtube Official Queen) Queen terbentuk dari lungsuran anggota Smile yang ditinggal vokalis utamanya, Tim Staffell. Mereka pertamakali tampil di Prince Consort Road, 18 Juli 1970 dengan nama Queen, yang dicetuskan Freddie. “Nama itu terdengar sangat megah. Nama yang kuat, sangat universal dan sangat dekat dengan kami,” sebut Freddie dalam Queen: Uncensored on the Record. Selain memberi nama pada bandnya, Freddie juga mendesain logo Queen. Logo kreasi Freddie itu berangkat dari logo zodiak keempat personel Queen. Kesemuanya dibentuk Freddie laiknya lambang Kerajaan Inggris dengan tambahan seekor burung phoenix di atas lambang Q sebagai inisial Queen. Lambang ini diciptakan Freddie sebelum Queen menelurkan album pertamanya yang rilis pada 13 Juli 1973. Kolektor Perangko Koleksi perangko Freddie Mercury tersimpan di The Postal Museum, Inggris Freddie punya hobi tak lazim bagi kebanyakan rockstar, yakni mengoleksi perangko. Disitat dari situs The British Postal Museum and Archive (BPMA), 5 September 2012, Freddie sudah mulai mengoleksi perangko sejak usia sembilan tahun. Tidak hanya perangko-perangko asal Inggris dan negara-negara persemakmurannya, beberapa dari koleksinya juga berasal dari Eropa Timur. Kegemarannya itu menurun dari sang ayah yang juga filatelis. Ketika Freddie meninggal pada 24 November 1991, album koleksi perangkonya tak ikut dikremasi bersamaan dengan jasadnya sebagaimana lazimnya penganut Zoroaster yang dikremasi bersama barang-barang miliknya. Ayah Freddie memutuskan untuk tetap menyimpannya. Pada 17 Desember 1993, BPMA membelinya. Uang hasil penjualannya didonasikan keluarga Freddie kepada Mercury Phoenix Trust, yayasan amal peduli pengidap HIV/IDS yang didirikan Brian May, Roger Taylor, Jim Beach (manajer terakhir Queen), dan Mary Austin (eks-tunangan Freddie). Cinta Mati Freddie Mary Austin (kiri) dan Freddie Mercury. (freddiemercury.queen.pl) Akhir 1970-an, cerita-cerita tentang orientasi seksual Freddie yang menyimpang mulai berhamburan. Pada akhirnya, Freddie diketahui punya pasangan pria bernama Jim Hutton meski pernikahan sesama jenis di Inggris saat itu masih dilarang. Gara-gara itu pula Freddie lantas terjangkit AIDS. Meski begitu, Freddie tak pernah bisa melepas satu nama perempuan dari hatinya: Mary Austin. “Semua pacarku (kekasih gay) bertanya kenapa mereka tak bisa menggantikan Mary, sederhananya mustahil. Bagiku, dia seperti istri. Bagiku, hubungan kami laiknya pernikahan. Kami saling percaya dan itu sudah cukup bagiku. Aku tak bisa jatuh cinta pada pria sebagaimana aku jatuh cinta padanya,” kata Freddie dalam sebuah wawancara pada 1985, dikutip Lesley-Ann Jones dalam Mercury: An Intimate Biography of Freddie Mercury. Mary sendiri mantan pacar Brian May (gitaris Queen) dan baru bertemu Freddie pada 1969. Mereka berpacaran setelah pertemuan pertama. Tiga tahun berselang, Freddie melamarnya. Walau Mary bersedia, mereka tak pernah menikah lantaran pada 1976 Freddie mengakui dirinya biseksual. Meski gagal menikah, Mary dan Freddie tetap bersahabat. Setelah Freddie meninggal, Mary mewarisi mansion mewah Freddie Garden Lodge di Kensington. Kisah cinta mereka diabadikan Freddie dalam tembang “Love of My Life”. Hari-Hari Terakhir Freddie Freddie Mercury tampil untuk terakhir kali kala menerima penghargaan dalam The Brits Award ke-11 pada 18 Februari 1990. (Ultimate Classic Rock). Pada April 1987, Freddie didiagnosis positif mengidap AIDS kendati isu tentangnya sudah mengorbit di berbagai media massa pada Oktober 1986. Bantahan berulangkali yang dibuat Freddie akhirnya tak berarti ketika The Sun pada November 1990 mengabarkan bahwa Freddie mengidap penyakit serius. Dalam konferensi pers tanggal 22 November 1991, Freddie pun mengakuinya. Dia selalu menyembunyikannya karena itu persoalan pribadi, bukan konsumsi publik. Kondisi fisik Freddie makin memprihatinkan seiring perjalanan waktu. Selain didampingi Jim Hutton, pacar gay-nya yang tinggal serumah, Freddie sering dijenguk Mary Austin. Mary ikut menemani Freddie hingga kepergian abadinya pada malam 24 November 1991. Resminnya, kematian Freddie disebabkan pneumonia, salah satu kondisi komplikasi dari AIDS. Sebagai penganut Zoroaster, Freddie lalu dikremasi di West London Crematorium. Dalam wasiatnya, Freddie berpesan agar abunya disimpan oleh Mary untuk kemudian dikubur di suatu lokasi tersembunyi.
- Mohammad Noor, Gubernur Pertama Kalimantan
PRESIDEN Joko Widodo telah meresmikan pahlawan nasional tahun ini. Berdasarkan Keputusan Presiden tanggal 6 November 2008, gelar itu disematka kepada enam tokoh. Nama-nama baru ini menabalkan jumlah Pahlawan Nasional mencapai 179 orang. Mereka antara lain: Abdurahman Baswedan (D.I Yogyakarta), Hj. Andi Depu (Sulawesi Barat), Depati Amir (Bangka-Belitung), Kasman Singodimedjo (Jawa Tengah), Mohammad Noor (Kalimantan Selatan), dan K.H. Syam'un (Banten). Satu-satunya tokoh yang mewakili daerah Kalimantan adalah Pangeran Mohammad Noor. Bangsawan Kesultanan Banjar ini lahir di Martapura, Kalimantan Selatan, 24 Juni 1901. Noor punya jasa besar tatkala ditunjuk sebagai gubernur pertama Kalimantan (saat itu masih disebut Borneo). “Sebagai gubernur pertama (Noor) luar biasa. Beliau memiliki jasa besar mempersatukan pejuang di Kalimantan," ujar sejarawan Sulawesi Selatan,Taufik Ahmad kepada Historia. Kawan Kuliah Sukarno Karena seorang ningrat, Noor tak kesulitan mencecap pendidikan tinggi di zaman kolonial. Disebutkan Noor bersua dengan Sukarno tatkala mereka sama-sama berkuliah di Technische Hooge School (Sekolah Tinggi Teknik) di Bandung. Bila Sukarno mengambil jurusan arsitek, maka Noor getol mendalami teknik lingkungan. Di kampusnya, Noor aktif sebagai anggota Jong Islamieten Bond (Ikatan Pemuda Islam). Pada 1927, Noor meraih gelar insinyur sipil dan menjadi orang Kalimantan pertama yang berpredikat sarjana. Noor sempat menjadi pegawai kolonial dan lama menghabiskan waktunya di Jawa sebagai teknokrat. Setelah lulus kuliah, Noor diangkat sebagai insinyur sipil pada Departement Verkeer dan Waterstaat yang menangani persoalan irigasi di Tegal. Pada 1929, dia dimutasi ke Malang kemudian Batavia. Pada 1933, Noor kembali ke tanah kelahirannya, Banjarmasin. Selain mendedikasikan keahliannya membenahi irigasi, Noor juga terjun ke politik sebagai anggota Dewan Rakyat Hindia, Voolkraad menggantikan posisi ayahnya, Pangeran Ali. Memasuki masa pendudukan Jepang, Noor kembali ke Jawa. Noor menetap di Bondowoso sebagai Kepala Irigasi Pakalem-Sampean. Pada awal 1945, Noor diangkat menjadi wakil Sumobucho (setara sekretaris jenderal) Dobuko (Departemen Perhubungan/Pekerjaan Umum). Sebagai seorang tokoh kemerdekaan Indonesia, jejak Noor setidaknya teridentifikasi tatkaka dirinya menjadi salah satu anggota BPUPKI. Dalam buku Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 Mohammad Yamin mencatat nama “Tuan Mohammad Noor” atau tertulis “Mohd. Noor” yang mewakili wilayah Kalimantan. Ketika Sukarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, Noor ditunjuk menjadi gubernur Kalimantan. Rekomendasi Hatta Menurut Taufik, meski di masa muda saling berkawan, namun bukan Sukarno yang menunjuk Noor sebagai gubernur Kalimantan. Semula Sukarno lebih memilih tokoh Kalimantan yang lain, Anang Abdul Hamidhan yang dikenal sebagai jurnalis pejuang. Hamidhan menolak karena ingin tetap berjuang sebagai wartawan. “Satu-satunya gubernur pertama yang bukan orang Sukarno itu adalah Mohammad Noor. Beliau lebih dekat dengan Bung Hatta,” kata Taufik. Bisa jadi penunjukan Noor terjadi karena hubungan baiknya dengan Hatta. Kerjasama keduanya cukup akrab menjelang hari-hari genting setelah Jepang akan angkat kaki dari Indonesia. Noor dan Hatta secara apik berkordinasi menggalang dukungan rakyat Kalimantan di Banjarmasin untuk sekubu dalam Negara Republik Indonesia. Kesan-kesan dan persingungan terhadap Hatta dikisahkan oleh Noor dengan gamblang dalam otobiografinya Teruskan… Gawi Kita Belum Tuntung . Dari segi ide, Noor lebih banyak belajar kepada Hatta. Menanggapi sosok yang pantas sebagai pemimpin di Kalimantan, Hatta lantas mengusulkan Noor. “Karena sering sama-sama berdiskusi dan menemani perjalanan Bung Hatta ke Kalimantan sebelum proklamasi,” tutur Taufik. Memimpin dari Jawa Untuk sementara Noor, berkantor di Jakarta. Menjadi gubernur saat revolusi bergolak tentu bukan perkara mudah. Di Kalimantan, keadaan yang dihadapi Noor cukup pelik. Infrastruktur dan fasilitas yang menunjang roda pemerintahan sangat terbatas. Di sisi lain, Belanda berniat kembali berkuasa di Kalimantan yang kaya sumber daya alam. Persoalan makin bertambah karena Kalimantan terdiri atas beragam kelompok sosial dengan kepentingan yang beragam pula. Tak sedikit kelompok yang cederung menerima kembali Belanda. Noor sendiri kesukaran untuk menjangkau daerah yang dipimpinnya. Ketika hendak berangkat ke Banjarmasin melalui Surabaya pada Oktober 1945, kapal "Merdeka" yang ditumpanginya terperangkap pasukan Sekutu yang melancarkan serangan ke Surabaya. Situasi yang tak kondusif, praktis membuat Noor tak berada di Kalimantan selama revolusi. Dia memerintah dari Yogyakarta merangkap sebagai penasihat presiden dalam Dewan Pertimbangan Agung. Untuk membiayai perjuangan, Noor bahkan tak lagi mempunyai dana pribadi. Atas rekomendasi Hatta, Noor memperoleh pinjaman dari BNI sebesar dua juta rupiah. Hampir seluruh perjuangan yang diprakarsai Noor untuk Kalimantan dibiayai dari dana tersebut. Kebijakan Noor yang paling terkenal ialah pembentukan pasukan elite MN 100 (Mohammad Noor 1001). Mereka berasal dari pemuda-pelajar Kalimantan yang dipersiapkan terjun ke palagan Kalimantan. Pasukan MN 1001 merupakan kekuatan revolusi terbesar kedua setelah ALRI Divisi IV Kalimantan. Sebagai komandannya ditunjuk seorang putra Dayak, Tjilik Riwut. “Penunjukan Tjilik Riwut sebagai komandan pasukan MN 1001 adalah contoh terbaik untuk melihat upaya Pangeran Noor membangun prinsip multikulturalisme dalam perjuangan. Dalam sejarah, kedua etnik ini memperlihatkan kontestasi dari waktu ke waktu,” tulis Taufik Ahmad dalam “Pangeran Mohammad Noor: Imaji Kebangsaan di Kalimantan” termuat di kumpulan tulisan Gubernur Pertama di Indonesia . Dari MN 1001, Noor mencetuskan gagasan pasukan payung ( para troops ) untuk menembus blokade laut Belanda di Kalimantan. Pada 1947, Noor menginisiasi pembentukan armada ALRI Divisi IV yang dipimpin oleh Kolonel Zakaria Madun yang kemudian diteruskan Hassan Basry. Terakhir, Noor bersama Sukardjo Wirjopranoto dan Mr. Soepomo menerbitkan majalah Mimbar Indonesia . Segmen pembaca yang disasar Mimbar Indonesia adalah rakyat Indonesia yang berada di daerah pendudukan Belanda. Di wilayah yang dikuasai Belanda, rakyat terpecah, terutama setelah Perjanjian Linggadjati. Media ini berperan besar dalam menggaungkan seruan integrasi Republik serta menolak konsep negara federal warisan Belanda. Jabatan gubernur disandang Noor hingga 1950. Pada 1956-59, Noor sempat menjadi Menteri Pekerjaan Umum era Kabinet Ali Sastroamidjojo II. Di masa Orde Baru hingga akhir hayatnya, Noor berkhidmat sebagai wakil rakyat Kalimantan dalam DPR/MPR. Gubernur pertama Kalimantan ini wafat di Jakarta 15 Januari 1979. Dia dimakamkan di Komplek Pemakaman Sultan Adam, Martapura, Kalimantan Selatan. Ketika ditetapkan tahun 2018, Noor menambah deretan pahlawan nasional dari etnis Banjar setelah Pangeran Antasari, Hassan Basry dan Idham Chalid.
- Lukisan Gua Tertua di Kalimantan Timur Terbaik di Dunia
TEMUAN ribuan gambar cadas ( rock art ) di pedalaman Kalimantan Timur menarik minat para peneliti untuk melakukan kajian sejak 28 tahun silam. Sudah sejak lama dinding-dinding ceruk dan gua di kawasan pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat itu diketahui menyimpan gambar purba, seperti stensil tangan manusia, hewan, simbol-simbol abstrak, dan motif-motif yang saling berhubungan. Dalam penelitian termutakhir diketahui kawasan itu menyimpan gambar cadas tertua di dunia. Penelitian ini dilakukan di enam lokasi gua, yaitu Liang Jeriji Saleh, Liang Ham, Liang Karim, Liang Tewet, Liang Banteng, dan Liang Sara. Dengan metode analisis penanggalan U-series Geochemistry terhadap sampel di Liang Jeriji Saleh diperoleh usia 40.000 tahun yang lalu. Sampel ini berupa gambar figur hewan yang diperkirakan banteng liar. Sementara gambar negatif tangan berusia 37.000 tahun yang lalu. Sebelumnya, Puslit Arkenas dan Griffith University mengungkap gambar cadas di kawasan pedesaan Maros, Sulawesi Selatan, berusia 39.900 tahun yang lalu. “Temuan ini (di Kalimantan Timur, red. ) penting, karena mengungkap rock art tidak hanya berhenti di Maros. Namun juga ada di Kalimantan, kemudian di Sumatra (Gua Harimau, red. ),” kata Pindi Setiawan, peneliti gambar cadas dari Institut Teknologi Bandung (ITB), dalam konferensi pers "Inovasi Leluhur sebagai Penguat Karakter Bangsa: Pembuktia Gambar Cadas Tertua di Dunia", di Kemendikbud, Jakarta, Kamis (8/11). Menurut Pindi, gambar cadas yang ditemukan di kawasan Sangkulirang merupakan salah satu yang terbaik di dunia. Hal yang menarik di antaranya adalah evolusi kreativitas masyarakat pendukung gua. Tiga Fase Gambar Cadas Gambar cadas di kawasan pegunungan karst Sangkulirang-Mangkalihat memiliki tiga fase kronologis. Gaya tertua menunjukkan usia 40.000 tahun yang lalu. Cirinya adalah figur binatang berwarna oranye kemerah-merahan yang sangat besar. Fase kedua biasanya diwakili stensil tangan. Gambar tangan sering diisi dengan motif titik atau garis yang membentuk gambar pohon. Ini mungkin merupakan simbol hubungan kekeluargaan. Terkadang stensil tangan warna oranye kemerahan yang lebih tua tampak dicat ulang dengan cat berwarna murbei dan dimasukkan ke dalam motif pohon. Tahap akhir, usia 4.000 tahun yang lalu. Cirinya berbentuk antropomorfik, kapal, dan motif geometris. Biasanya gambar-gambar itu berwarna hitam. Lukisan dinding gua di Sangkulirang-Mangkalihat juga menunjukkan kondisi ekosistem dan kultur pada masanya. Misalnya, ada penggambaran trenggiling raksasa yang telah punah 32.000 tahun yang lalu. Ada juga penggambaran hewan sejenis tapir yang punah sekira 6.000 tahun lalu. Ada juga lukisan tombak. Padahal, senjata ini biasanya dipakai di daerah savana. “Tombaknya beda dengan yang dipakai suku-suku sekarang, ini teknologi ketika banyak semak, jadi mereka lari mengikuti binatang, sudah dekat baru ditombak, kalau dulu berbeda,” jelas Pindi. Dari segi penggambaran, Pindi membagi dua jenis gambar berdasarkan warna merah dan ungu. Gambar berwarna merah memperlihatkan bentuk hewan atau tumbuhan sebagaimana aslinya. Sementara warna ungu, dia menyebutnya sebagai bentuk adisatwa. “Maksudnya semacam binatang jadi-jadian, kalau tumbuhan, ya tumbuhan aneh, jadi-jadian mungkin istilahnya,” kata Pindi. Dari bentuknya, boleh jadi sudah ada pergeseran tingkatan budaya, dari Paleolitik atau perburuan awal ke tingkat lanjut. “Binatang jadi-jadian biasanya budaya Neolitik, tapi belum punya bukti,” tambahnya. Sementara Pindi melihat ada kemungkinan kalau manusia pendukung gambar cadas telah menempatkan gambar-gambar tertentu sesuai dengan posisinya. Misalnya, gambar binatang adisatwa seakan itu sengaja diletakkan di atas garis mata. “Ini menariknya. Gambar cadas punya cara lihat, ini terkait dengan psikologis sebagaimana yang kini dipelajari dalam desain interior, misalnya lafadz Allah biasanya akan diletakannya di atas,” jelasnya. Bukan Asal Gambar Secara umum, Pindi menjelaskan, kecenderungan para pembuat gambar cadas, baik dari masa Paleolitik, Mesolitik, maupun Neolitik, sangat senang dengan kehadiran cahaya bulan dan matahari. Hanya dua persen gambar cadas yang ditemukan di lingkungan yang gelap. "Jadi, ini keputusan desain yang diperhitungkan matang. Bukan sekadar grafiti," kata Pindi. Namun, pernyataannya itu dengan catatan, tak ada jaminan, kalau kondisi yang ditemukan pada masa kini sama seperti masa lalu. Pasalnya, di Indonesia, kondisi gua yang gelap biasanya lembab. Ini memungkinkan gambar-gambar dinding gua tak mampu bertahan lama. Sementara, ada beberapa indikator bagi sebuah gua atau ceruk yang mungkin menyimpan gambar di dindingnya. Salah satunya adalah mulut gua yang luas. Pun bentuk lubang ceruk atau gua biasanya juga berpengaruh, karena terkait dengan faktor angin. Indikator lainnya adalah morfologi lantai gua yang halus. Kata Pindi, morfologi lantai tak banyak berubah dari masa ke masa. Meski ketebalan lapisan gua berubah, morfologinya tetap akan mengikuti lapisan yang lebih tua. “Dinding yang bersih biasanya juga, tapi belum tentu dinding 40 ribu tahun yang lalu begitu juga. Lalu ada aroma. Ini subjektif, siapa tahu ribuan tahun lalu tak begitu,” lanjutnya.*
- Wadah Pembahasan Arah Kebudayaan dari Beragam Masa
SETELAH 100 tahun sejak pertamakali diselenggarakan pada 1918, Kongres Kebudayaan akan kembali digelar pada 3-4 Desember 2018. Kongres ini selain berupaya mengingatkan kembali semangat persatuan, juga membahas kondisi budaya terkini dengan makin masifnya arus informasi dan gerak budaya. “Ada kebutuhan untuk merumuskan kembali arah gerak kebudayaan karena kondisi revolusi industri 4.0 saat ini dan keadaan dunia yang cepat berubah,” kata Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid dalam Konferensi Pers Kongres Kebudayaan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayan, Jumat (9/11). Persiapan kongres sudah dimulai sejak Maret lalu lewat kongres kecil di tingkat kabupaten/kota yang membahas berbagai bidang. Ada 27 rumusan dari masing-masing bidang, seperti wayang, kesehatan tradisional, infrastukrur dll. Tiap daerah menyusun pokok kebudayaannya sesuai masalah yang dialami masing-masing daerah. Hingga hari ini sudah ada 206 daerah yang mengirimkan rumusan pokok kebudayaan. Menurut Hilmar, strategi kebudayaan akan berjalan kalau perumusannya dirasakan kepemilikannya oleh publik. Maka dari itu, penyusunan kongres untuk pertama kali dilakukan dari bawah. “Perumusan yang dilakukan dari bawah merupakan buah dari kecerdasan kolektif, bukan hasil pikiran dari para ahli. Ini adalah upaya menghimpun pendapat yang sifatnya sangat masif dan menjadi perbedaan utama dari kongres sebelumnya,” kata Hilmar. Pada kongres-kongres sebelumya penelusuran gagasan tentang kebudayaan nasional dilakukan melalui penyampaian makalah. Penyampaian oleh para ahli ini, di satu sisi tidak menyentuh masalah di akar rumput. Di samping itu, ekspresi budaya yang beragam tidak bisa disampaikan hanya lewat tulisan dan lisan. Oleh karenanya, dalam kongres kali ini Direktorat Kebudayaan memberi ruang apresiasi berupa pentas seni oleh para seniman dari berbagai bidang. Lebih lanjut Hilmar mengatakan, hasil kongres akan mengeluarkan rumusan strategi kebudayan yang disusun oleh 17 orang, termasuk di dalamnya Menteri Pendidikan dan Kebudayan Muhadjir Effendy. Rumusan ini kemudian diserahkan pada presiden dan menjadi salah satu acuan dalam pembangunan nasional sesuai amanat UU No. 5 tahun 2017. Kilas Balik Kongres Pertama Diselenggarakan pertama kali tahun 1918, Kongres Kebudayan mulanya merupakan Kongres Bahasa Jawa yang diprakarsai intelektual bumiputera dan Belanda: Raden Sastrowijono, dr. Radjiman Wedyodiningrat, Pangeran Prangwadono, dan D van Hinloopen. “Jelas ada keperluan untuk menyelenggarakan Kongres Budaya pada 1918 karna saat itu sedang ada kebangkitan nasional sementara beberapa masyarakat masih terbagi-bagi dalam kelompok etnis,” kata Hilmar. Kehadiran tokoh luar Jawa, seperti Dr. Hoesein Djajadiningrat menambah usulan baru bahwa kongres sebaiknya tidak terbatas pada orang Jawa saja sehingga menjadi forum bagi para ilmuwan untuk membahas inisiatif baru tentang budaya. Dalam kongres yang diselenggarakan di Solo, 5-7 Juli 1918, Sastrowijono sebagai ketua panitia menyatakan keprihatinannya atas ketidaktahuan masyarakat bawah akan budayanya sendiri. “Sebuah bangsa baru akan mampu memiliki jatidirinya apabila bangsa itu bertumpu pada sejarah dan budayanya sendiri,” kata Sastrowijono, seperti yang termuat dalam Bianglala Budaya. Ia juga menekankan pentingnya pendidikan budaya untuk mengimbangi pengaruh dari kebudayaan Eropa di era kolonial. Perhatian tentang perkembangan budaya menjadi bahasan utama dalam kongres tersebut. Sastrowijono dalam pidatonya menghimbau seluruh rakyat Jawa baik mereka yang dari Sunda, Madura, atau Jawa Tengah agar bersama-sama membahas arah perkembangan budaya dalam cita-cita kemerdekaan.
- Butet, Nyanyian Pilu di Tengah Perang
Maraden Panggabean masih berpangkat mayor ketika Belanda melancarkan agresi militer pertama di Sumatera Utara, Juli 1947. Dalam waktu singkat, Belanda menduduki daerah strategis seperti Tanah Karo, Deli Serdang, Simalungun, dan Asahan. Imbasnya, terjadi gelombang pengungsian besar-besaran menuju pedalaman Tapanuli. Diperkirakan sebanyak sejuta orang pengungsi mengalir ke sana. Dalam memornya, Maraden menyaksikan para pengungsi yang terpaksa berjalan kaki membawa barang seadanya. Orang tua, anak-anak dan bayi turut serta. Mereka biasanya mengikuti pasukan Republik yang mengundurkan diri. Medan yang ditempuh cukup rawan dan membahayakan. Mulai dari jalanan perkebunan, jalan setapak, rawa-rawa, hutan belantara, hingga pegunungan. Terik matahari dan hujan tropis acap kali mengiringi. Mereka semua menderita. “Ini membuat seorang komponis mengarang lagu Butet yang sangat populer itu, yang menggambarkan semangat berkobar-kobar dari seorang ibu yang ditinggalkan sang suami untuk pergi bergerilya melawan musuh,” kenang Maraden dalam Berjuang dan Mengabdi . Di era Orde Baru, Maraden kelak menjadi panglima ABRI periode 1973—1978. Butet yang populer hingga hari ini masih berselubung misteri. Tak diketahui siapa nama pengarangnya. Namun yang pasti lagu tersebut lahir di tengah rakyat yang dirundung perang lantas berkembang dari mulut ke mulut. Derita Pengungsian Butet adalah lagu rakyat Batak yang dialunkan dengan tempo mendayu. Isi lagu itu berkisah tentang seorang ayah yang terpaksa meninggalkan istri dan putrinya karena harus berjuang dalam perang gerilya. Menilik liriknya, lagu ini berupa tuturan perasaan sang ibu kepada putrinya yang dinamai Butet. Butet sendiri merupakan sebutan dalam bahasa Batak terhadap anak perempuan, seperti halnya nduk di kalangan suku Jawa atau neng bagi orang Sunda Rizaldi Siagian, etnomusikolog Universitas Sumatera Utara (USU) mengatakan bahwa bentuk melodi lagu Butet masuk dalam kategori nyanyian “lamenta” atau ratapan. Dalam tradisi musik vokal Batak disebut andung . Menurut Rizaldi, bila memperhatikan teksnya, lagu Butet populer sesudah masa kemerdekaan. Meski demikian, sukar untuk mengklaim siapa pencipta maupun komponisnya. “Penciptanya N.N. ( no name ), tak dikenal,” kata Rizaldi kepada Historia . Beberapa sumber sejarah ataupun kesaksian mantan pejuang mencatat serpihan kisah mengenai ihwal lagu Butet . Namun itu belum cukup kuat membuktikan darimana muasalnya. Tapi yang jelas, lagu itu lahir dari suasana penderitaan yang timbul akibat kecamuk perang. Amran Zamzami, mantan veteran pertempuran Medan Area menyebutkan bahwa lagu Butet lahir dari pertempuran-pertempuran yang terjadi di front Tanah Karo jelang agresi militer Belanda ke II. Lagu itu, menurut Amran, mengenang keheroikan masyarakat Karo yang pantang menyerah. “Pertempuran demi pertempuran dan nasib keluarga pejuang itulah yang mengilhami seorang seniman menciptakan lagu Butet ,” tulis Amran Zamzami dalam Jihad Akbar di Medan Area . Sementara mantan wartawan senior kota Medan Edisaputra dalam bukunya Sumatera dalam Perang Kemerdekaan: Perlawanan Rakyat Semesta Menentang Jepang, Inggris, dan Belanda mencatat pengungsian rakyat menyebabkan banyak ibu-ibu yang melahirkan bayinya secara darurat. Persalinan kerap terjadi di hutan-hutan, lembah yang lembab tanpa bantuan bidan atau dukun beranak. Banyak diantaranya yang meninggal, baik ibu maupun bayi. Selesai melahirkan, selang beberapa jam harus berangkat lagi meneruskan perjalanan. “Peristiwa yang tragis ini mengilhamkan bagi beberapa seniman sehingga terciptalah lagu “ Butet ”, lagu yang sangat digemari dan populer dikalangan pejuang,” tulis Edisaputra. Tercipta di Gua? Satu pertanyaan belum terkuak. Siapa yang menciptakan lagu Butet ? Menurut Jason Gultom, wartawan senior Batak Post yang berdomisili di Tapanuli Tengah, proses terciptanya lagu Butet berkaitan dengan pencetakan Oeang Republik Indonesia Tapanuli (ORITA) di Sitahuis. Pada 2008, ketika menjadi wartawan Metro Tapanuli Jason menelusuri langsung Desa Sitahuis yang berjarak 16 km dari Sibolga, ibu kota Kabupaten Tapanuli Tengah. Dari pengakuan warga setempat diperoleh keterangan bahwa Butet merupakan lagu pengantar tidur ( lullaby ) yang dinyanyikan seorang ibu untuk putrinya. Lirik aslinya pun telah mengalami gubahan yang sedikit berbeda dari versi sekarang. Lagu Butet di mulai dengan lirik, “ Butet di pangungsian do amangmu ale Butet // Da margurilla da mardarurat ale Butet.” Artinya, “ Butet di pengungsiannya ayahmu oh Butet // Bergerilya dalam darurat oh Butet.” Maka lirik aslinya menurut tua-tua di Sitahuis berbunyi, “ Butet di Sitahuis do amang mu ale Butet // Da mancetak hepeng ORITA ale Butet .” Artinya, “ Butet di Sitahuisnya ayahmu oh Butet // Mencetak uang ORITA oh Butet.” “Jadi ( Butet ) itu semacam lagu nina bobo yang dinyanyikan begitu saja dan kemudian jadi viral kalau istilahnya sekarang” kata Jason Gultom kepada Historia lewat sambungan telepon. “Menurut tuturan orang tua di sana, lagu itu dinyanyikan oleh (perempuan) boru Lumban Tobing di Gua Naga Timbul waktu mau menidurkan anaknya. Tak tahu siapa nama aslinya.” Jason menjelaskan, di Tapanuli Tengah, Belanda punya misi khusus memburu mesin percetakan ORITA. Pasalnya, keberadaan ORITA sebagai alat tukar menyebabkan mata uang Belanda tak berlaku di karesidenan Tapanuli. Untuk menghindari kejaran Belanda, rakyat Sitahuis khususnya perempuan dan anak-anak bersembunyi di tengah hutan dalam lahan gua yang dinamai Naga Timbul. Sementara kaum pria bertahan di Sitahuis untuk bergerilya ataupun mencetak ORITA. Pencetakan uang juga sempat berlanjut di Gua Naga Timbul. Bila lagu Butet bertemali dengan keberlangsungan ORITA, maka kapan persisnya lagu itu tercipta beriringan dengan aktivitas pencetakan. Sosok Ferdinand Lumban Tobing, residen Tapanuli saat itu menjadi cukup penting. Dengan bubuhan tanda tangannya lah maka ORITA sah sebagai mata uang dan alat pembayaran. Dalam Riwayat Hidup dan Perjuangan Pahlawan Kemerdekaan Nasional Dr. Ferdinand Lumbantobing karya H. Afif Lumbantobing disebutkan pencetakan ORITA dilaksanakan di Aek Sitahuis. Kegiatan pencetakan dimulai pada 15 Agustus 1947. Lagu Butet sendiri kian mengkhalayak ke seantero tanah air setelah penyanyi kawakan, Emilia Contesa ikut memopulerkannya pada dekade 1970-an. Dari lagu rakyat, ia menjadi lagu yang digemari skala nasional. Hingga kini, lagu Butet kerap diperdengarkan di mana-mana, dengan berbagai aransemen. Di rumah, di acara pesta, hingga di lapo tuak, senandung Butet membuat haru terkesima siapa saja yang mendengarmya.
- Gagasan Awal Taman Mini Indonesia Indah
Pengelola Taman Mini Indonesia Indah (TMII) kalang kabut pada akhir Oktober 2018. Tiga plang pajak dari Pemerintah Kota (Pemkot) Administrasi Jakarta Timur tiba-tiba terpancang di tiga objek wisata di dalam kawasan TMII. Pemkot menyatakan pengelola TMII menunggak pajak. Tapi pengelola TMII mengatakan sedang mengurus pembayaran pajaknya. TMII merupakan salah satu lokasi wisata favorit di Jakarta. Ratusan ribu orang mengunjungi TMII pada hari raya Lebaran 2018. Jumlah pengunjung turun pada hari-hari biasa, tapi akan meningkat lagi memasuki akhir pekan dan libur panjang. Mereka menjejaki Indonesia mini di lokasi ini. Aneka wujud kebudayaan dari 34 provinsi Indonesia tersaji di sini. Gagasan menyajikan aneka wujud kebudayaan Indonesia dalam sebuah taman besar berasal dari Siti Hartinah, atau biasa dipanggil Ibu Tien Soeharto, istri Presiden Soeharto. Ibu Tien memperoleh gagasan itu setelah berkunjung ke Thai-in-Miniature di Thailand dan Disneyland di Amerika Serikat. Dua tempat ini berfungsi memamerkan dan mempromosikan kebudayaan, segi sosial, pendidikan, ekonomi, dan pariwisata dua negara tersebut. “Setelah mengunjungi kedua tempat tersebut, Ibu Tien menginginkan agar di Indonesia terdapat suatu objek wisata yang mampu menggambarkan kebesaran dan keindahan tanah air Indonesia dalam bentuk mini di atas sebidang tanah yang cukup luas,” tulis Suradi H.P. dkk., dalam Sejarah Taman Mini Indonesia Indah . Ibu Tien dalam Penjelasan tentang Projek Miniatur ‘Indonesia Indah’ berbagi pengalaman ketika berkunjung ke luar negeri. Indonesia sering dipandang kecil oleh bangsa lain. “Masih sering didengar anggapan sementara orang asing bahwa Indonesia hanyalah terdiri dari Bali saja,” tulis Ibu Tien. Dia ingin mengubah pandangan tersebut. Caranya dengan membangun tempat seperti Thai-in-Miniature dan Disneyland. Ibu Tien menyampaikan gagasan ini kali pertama pada pertemuan pengurus Yayasan Harapan Kita (YHK) di rumahnya, Jalan Cendana No. 8, Jakarta, pada 13 Maret 1970. Dia bilang ingin membangun sebuah tempat untuk menampilkan keanekaragaman Indonesia. Dalam pandangan Ibu Tien, pembangunan tempat untuk menampilkan keanekaragaman budaya Indonesia lebih menyasar kepada kebutuhan mental dan spiritual bangsa. Pelengkap pembangunan ekonomi untuk kebutuhan fisik dan jasmani bangsa. Ibu Tien membayangkan tempat ini akan mempunyai sebuah kolam besar berbentuk kepulauan Indonesia. Tetanaman hias dari antero Indonesia berada di sekitar kolam. Kemudian ada pula bangunan-bangunan khas dari tiap daerah di Indonesia. Lengkap dengan perabot, pakaian, dan senjata adatnya. “Di dalam rapat ditentukan bahwa proyek tersebut bernama Miniatur Indonesia Indah,” tulis Tim Penyusun Apa dan Siapa Indonesia Indah . Kebanyakan pengurus YHK merupakan istri dari kawan-kawan Presiden Soeharto. Mereka mengagumi gagasan Ibu Tien dan sepakat mendukungnya. Ibu Tien meminta keterlibatan YHK dalam membangun Miniatur Indonesia Indah (MII). Sebab dia memandang tujuan YHK sejalan dengan gagasan pembangunan MII. Tujuan YHK ialah meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia dengan memberikan bantuan kepada instansi masyarakat berupa pendirian bangunan atau rumah. Status YHK adalah yayasan swasta. Pengurus YHK bersedia membantu Ibu Tien mewujudkan gagasannya. Tetapi mereka mengatakan gagasan Tien harus dirundingkan dengan banyak pihak. Usai rapat, mereka menghubungi Pemerintah DKI Jakarta. Ali Sadikin, gubernur Jakarta 1966—1977, tertarik dengan rencana pembangunan MII. “Proyek Miniatur Indonesia Indah memiliki maksud dan tujuan yang serupa dengan sebuah proyek yang pernah diusulkan DPRD DKI Jakarta pada tahun 1968,” tulis Indonesia Raya , 7 Desember 1972. Ali Sadikin mengatakan proyek itu mirip dengan proyek Bhinneka Tunggal Ika. Karena itu, dia bersedia menjadi project officer pembangunan MII. Ali Sadikin membantu YHK mencari lahan untuk pembangunan MII. Dia mengusulkan lokasinya berada di dekat Hotel Indonesia (HI). Tetapi lahan di sana kurang dari 20 hektar. Terlalu kecil untuk MII dalam gambaran Ibu Tien. Mereka lantas beranjak ke wilayah timur kota, ke Cempaka Putih. Lahan di Cempaka Putih lebih luas daripada di dekat HI. Tetapi masih kurang memuaskan Ibu Tien. Bayangan Ibu Tien, pembangunan MII bakal bertahap dan mengalami perluasan. Cempaka Putih hanya cukup untuk pembangunan tahap awal. Ali Sadikin kemudian menawarkan daerah Pondok Gede. “Di Pondok Gede, Pemda DKI menyediakan lahan lebih kurang 100 hektar,” kata Ali Sadikin kepada Ramadhan K.H. dalam Bang Ali: Demi Jakarta 1966—1977 . YHK menerima tawaran Ali Sadikin. Di sinilah MII kelak dibangun. Langkah berikutnya ialah penggalangan dana. Melibatkan gubernur se-Indonesia Sekalipun berlabel ‘mini’, pembangunan MII memerlukan biaya besar. Kira-kira Rp10,5 miliar. Karena itu, YHK memerlukan bantuan selain Pemda Jakarta. Ibu Tien mengakui hal tersebut di hadapan gubernur se-Indonesia di Istana Negara pada 30 Januari 1971. Dia membagikan proposal kepada 26 gubernur. Maksudnya jelas, meminta dana dari gubernur se-Indonesia. Selesai berbicara dengan gubernur se-Indonesia, Ibu Tien beralih ke perusahaan konsultan pembangunan. Dia menunjuk Nusa Consultans sebagai penyusun master plan MII pada 11 Agustus 197. Master plan berisi peta rencana tata letak bangunan, telekomunikasi, listrik, transportasi, biaya, dan perhitungan mengenai manfaat yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan. Master plan MII menyebut YHK menanggung biaya pembangunan sebesar 25 persen. Sisanya dibebankan kepada daerah tingkat I (provinsi) sebesar 16 persen, investor sebesar 45 persen, dan badan lain sebesar 14 persen. Pelibatan gubernur dan daerah tingkat I untuk turut mengeluarkan dana dalam pembangunan MII cukup aneh. Mengingat pembangunan MII berasal dari inisiatif yayasan swasta, bukan lembaga pemerintah. Tetapi langkah-langkah Ibu Tien ini belum diketahui oleh khalayak. Tidak ada pemberitaan apapun di media massa hingga akhir 1971, ketika master plan MII rampung dikerjakan oleh Nusa Consultants. Khalayak mengetahui rencana pembangunan MII setelah Ibu Tien mengumumkannya pada akhir November 1971. Dia tampil sebagai ketua Badan Pelaksana Pembangunan dan Persiapan Pengusaahaan Proyek (BP5) Miniatur Indonesia Indah. Dia menjelaskan secara lengkap gambaran MII: dari ide awal, susunan organisasi, sampai master plan MII. Sehari setelah penjelasan Ibu Tien tersebar luas di media massa, keriwuhan terdengar dari sana-sini. Banyak pihak, utamanya mahasiswa, menolak rencana Ibu Tien di tengah kemiskinan sebagian besar rakyat Indonesia. Ibu Tien cukup terkejut dengan tanggapan mahasiswa. Dia tak mengira gagasannya memperoleh tentangan dari kelompok yang turut membantu suaminya naik menjadi presiden.
- Gambar Cadas Tertua di Dunia Ada di Kalimantan Timur
GAMBAR cadas tertua di dunia baru saja diidentifikasi dalam gua di Kalimantan Timur. Lukisan figuratif di pegunungan terpencil Semenanjung Sangkulirang-Mangkalihat Kalimantan Timur itu berusia 40.000 tahun. Para peneliti dari Puslit Arkenas, Griffith University, dan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang berhasil mengungkapnya. Hasil penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal Nature, Rabu (7/11). Sebenarnya, sejak 1990-an diketahui gua-gua di atas pegunungan terpencil di Semenanjung Sangkulirang-Mangkalihat menyimpan serangkaian gambar purba. Termasuk penggambaran stensil tangan manusia, hewan, simbol-simbol abstrak, dan motif-motif yang saling berhubungan. Dari gambar-gambar itu, yang tertua penanggalannya adalah gambar seekor hewan yang tidak teridentifikasi. Namun, diperkirakan lukisan itu spesies banteng liar yang hingga kini masih ditemukan di pedalaman hutan Kalimantan. “Penanggalan minimumnya sekira 40.000 tahun yang lalu. Hingga saat ini merupakan yang tertua yang ditemukan di muka bumi,” kata Adhi Agus Oktaviana, peneliti utama dari Puslit Arkenas, dalam konferensi pers berjudul "Inovasi Leluhur Sebagai Penguat Karakter Bangsa: Pembuktian Gambar Cadas Tertua di Dunia," di Kemendikbud, Jakarta, Kamis (8/11). Sementara itu, kata Adhi, untuk gambar tapak tangan di Kalimantan diperkirakan berusia sama. Ini memberi kesan bahwa tradisi gambar cadas Zaman Paleolitik pertama kali muncul di Kalimantan sekira 52.000 dan 40.000 tahun yang lalu. Penemuan ini menegaskan gambar cadas tidak hanya berkembang di Eropa sebagaimana yang diketahui selama ini. Sebelumnya, lukisan yang diyakini tertua berasal dari El Castillo, Spanyol. Usianya sekira 37.300 tahun. Dengan demikian, dua penemuan gambar cadas tertua muncul pada masa yang hampir bersamaan di ujung-ujung terjauh dan terpencil pada masa Paleolitik Eurasia. Satu di Indonesia. Satu lagi di Eropa. “Hampir sepanjang zaman es Kalimantan merupakan ujung paling timur dari lempeng benua Eurasia, yang terpisah dari Eropa di ujung barat sejauh 13.000 km,” ungkap Adam Brumm, arkeolog dari Griffith University. Sebelumnya, Puslit Arkenas dan Griffith University mengungkap gambar cadas di Sulawesi berusia 39.900 tahun yang lalu. Penelitian ini dipublikasikan dalam jurnal Nature (2014). Sulawesi yang terletak di tepi Eurasia merupakan batu loncatan yang penting antara Asia dan Australia. Maxime Aubert, peneliti lain dari Griffith University, mengatakan penelitian ini memberikan pandangan, gambar cadas menyebar dari Kalimantan ke Sulawesi dan dunia-dunia baru lainnya di luar Eurasia. “Kemungkinan muncul bersamaan dengan orang-orang pertama yang mengkolonisasi Australia,” kata Maxime. Soal siapa manusia di balik gambar cadas di Kalimantan Timur itu, hingga kini masih merupakan misteri. “Untuk mencari barangkali manusia pendukung dari peradaban itu, saya kira ini kerja sama berikutnya. Ekskavasi untuk menemukan ini agar bisa direkonstruksi budaya sosial dan spirit ideologi dalam kaitannya dengan penemuan-penemuan lainnya,” ujar I Made Geria, kepala Puslit Arkenas.
- PC2, Radio Penjaga Eksistensi Indonesia
SAKING senangnya, Opsir Udara III Boediardjo dan beberapa kawannya melompat sambil tertawa girang. Mereka kemudian saling berpelukan. Tingkah-polah mereka pada dini hari 2 Maret 1949 itu membingungkan pemilik rumah, Pawirosetomo dan istri. “Kami terangkan, bahwa siaran kami berhasil,” kenang Boediardjo dalam memoarnya, Siapa Sudi Saya Dongengi . Siaran radio yang dimaksud Boediardjo bukan siaran dari stasiun radio untuk tujuan komersil, melainkan siaran radio dari PHB (Perhubungan Udara) Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI). Siaran radio itu mengabarkan sebuah peristiwa penting yang menentukan kelanjutan eksistensi Republik Indonesia. Siaran tersebut merupakan buntut dari rentetan peristiwa yang diawali dari pendudukan ibukota Yogyakarta oleh pasukan Belanda dalam Agresi Militer II, 19 Desember 1948. Akibat pendudukan itu, AURI tak hanya kehilangan kepala stafnya yang ditawan Belanda ke Bangka tapi juga terpaksa memindahkan markasnya ke luar Kota Yogyakarta tak sampai sebulan kemudian. Namun, agresi itu telah diantisipasi KSAU Suryadarma sejak jauh hari. Alhasil, komunikasi radio republik tetap bisa berjalan baik dengan kota-kota lain di Jawa, dengan Sumatra, maupun dengan Burma dan India meski ibukota telah diduduki. “Sesuai dengan pertimbangan dan rencana cadangan yang telah dipikirkan oleh Suryadarma sebelumnya, pada pertengahan Desember 1948, ketika tersebar informasi tentang pihak Belanda yang akan melakukan serangan besar-besaran dengan tujuan sasaran Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta, AURI menyembunyikan radio-radio pemancar apabila terjadi evakuasi. Sedangkan Playen di daerah Gunung Kidul dipersiapkan sebagai stasiun PHB alternatif apabila Yogyakarta diduduki Belanda,” tulis Adityawarman Suryadarma dalam Bapak Angkatan Udara Suryadi Suryadarma . Upaya Suryadarma sejalan dengan pesan terakhir Wapres Moh. Hatta. Sebelum ditangkap pasukan Belanda, Hatta sempat mengirim pesan radio melalui stasiun PHB AURI yang memerintahkan agar perjuangan harus terus dilanjutkan tak peduli apapun yang akan terjadi pada dirinya dan para pemimpin lain. Perintah wapres dan KSAU itulah yang ditindaklanjuti para personil AURI. “Setelah itu markas besar AURI di Terban Taman terpaksa harus dibumihanguskan. Saya dan adik saya, Basuki, berboncengan naik sepeda melaksanakan pembumihangusan itu. Dari sana saya menyingkir ke luar kota, menghimpun kekuatan gerilya melanjutkan perjuangan melawan Belanda,” ujar Boediardjo. Di Dukuh Banaran, Kecamatan Playen, Gunung Kidul, Boediardjo (kepala Jawatan PHB AURI) lalu meminta izin tokoh setempat, Pawirosetomo, untuk mendirikan stasiun darurat PHB di rumahnya. Berbekal izin Pawirosetomo itulah dia dibantu beberapa personil AURI dari Lanud Gading memasang perangkat-perangkat yang telah mereka persiapkan. “Antenanya kami rentangkan di antara dua batang pohon kelapa, yang tiap malam kami kerek naik, dan kami turunkan keesokan hari. Pemancar dan penerimanya diletakkan di daam dapur keluarga petani, dekat kandang sapi. Pembangkit listriknya disembunyikan di luweng dalam tanah ditutupi kayu bakar.” Stasiun radio dengan call sign PC2 itu pun beroperasi. Jalinan kontaknya dengan lebih dari 20 PBH AURI lain yang masih selamat membuat komunikasi republik tetap terjaga. “Komunikasi terus terjalin antara Pemerintah Darurat RI di Sumatra dan Pulau Jawa, termasuk pula dengan pemimpin RI yang tengah berada di dalam pengasingan di Pulau Bangka. Suryadarma, yang pada saat itu termasuk dalam tahanan Belanda yang diasingkan di Pulau Bangka, tetap dapat melakukan kontak dengan para personil AURI, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri (Rangoon, Burma) melalui stasiun PHB Kutaraja, Aceh,” tulis Adityawarman. “Jaringan radio AURI berporoskan Aceh-Yogya, meliputi stasiun radio dalam pengungsian Kotaraja, Tarutung, Bangkinang, Pasir Pangreyen, Kotatinggi. Stasiun mobil mengikuti PDRI di daerah Kerinci, Lubuk Linggau, Wonosari, dan Jamus (sekitar Gunung Lawu). Selain itu, ada juga hubungan radio ke luar negeri, dengan satuan AURI/Indonesina Airways yang berpangkalan di Burma, lewat Aceh,” tulis Irna HN Sowito dkk. dalam Awal Kedirgantaraan di Indonesia: Perjuangan AURI 1945-1950 . Untuk mengamankan PC2, para personil PHB Playen beroperasi hanya pada malam hari dan sebentar. Mereka mengacak frekuensi yang digunakan. “Apabila sandi diketahui pihak Belanda, pihak RI sudah siap untuk beraksi, mengubah kode, pindah jam siaran, bahkan kalau perlu pindah tempat,” sambung Irna. Para personil PHB Playen juga mengganti identitas mereka dengan nama samaran. Pada 28 Februari, KSAP Kolonel TB Simatupang mendatangi PHB Playen. Dia memberi secarik kertas berisi teks mengenai Serangan Umum 1 Maret yang mesti diberitakan kepada Boediardjo. Sebelum pergi, Simatupang membrifing Boediardjo. “Diwanti-wanti untuk menyiarkannya besok malamnya setelah terjadi Serangan Umum yang akan dilancarkan pada waktu subuh tanggal 1 Maret 1949,” tulis Boediardjo. Maka ketika pasukan republik telah melakukan serangan umum, PHB Playen pun melakukan tugasnya. “PHB AURI di Playen, Wonosari pada tanggal 2 Maret dini hari, memberitahukan kepada PHB AURI di Bukittinggi bahwa pada tanggal 1 Maret, Yogyakarta diduduki kembali oleh TNI. Berita itu langsung dikirim ke Takangon, Aceh. Selanjutnya diteruskan ke Rangoon, Burma. Sore harinya, Kusnadi dan kawan-kawan sudah mendengar berita tersebut disiarkan oleh Radio di New Delhi, All India Radio menyiarkan berita kemenangan ini ke seluruh penjuru dunia, hingga sampai ke PBB. Siaran tersebut telah membuka kedok Belanda yang selalu menggembar-gemborkan berita bahwa TNI adalah gerombolan pengacau dan Republik Indonesia sudah tidak ada lagi,” tulis Irna. Akibat siaran PHB Playen, Belanda marah bukan kepalang. Satu batalyon langsung dikerahkan ke Wonosari untuk mencari keberadaan PC2 pada 10 Maret. Namun, upaya itu gagal karena Boediardjo dan kawan-kawan telah lebih dulu memindahkan PC2 ke Desa Brosot di Wates. Keberhasilan siaran PC2 membuat Boediardjo dan kawan-kawannya senang bukan kepalang. “Keluarga Pawirosetomo tidak mengerti, mengapa kami sampai melonjak-lonjak kegirangan, saling berpelukan seperti orang kesurupan,” ujar Boediardjo.





















