top of page

Sejarah Indonesia

Wadah Pembahasan Arah Kebudayaan Dari Beragam Masa

Wadah Pembahasan Arah Kebudayaan dari Beragam Masa

Momen pembahasan arah gerak budaya yang bersemangat sama namun di masa yang berbeda.

Oleh :
8 November 2018

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Para anggota dan pemakalah dalam Kongres Kebudayaan pertama 1918. Sumber: Bianglala Budaya.

SETELAH 100 tahun sejak pertamakali diselenggarakan pada 1918, Kongres Kebudayaan akan kembali digelar pada 3-4 Desember 2018. Kongres ini selain berupaya mengingatkan kembali semangat persatuan, juga membahas kondisi budaya terkini dengan makin masifnya arus informasi dan gerak budaya.


“Ada kebutuhan untuk merumuskan kembali arah gerak kebudayaan karena kondisi revolusi industri 4.0 saat ini dan keadaan dunia yang cepat berubah,” kata Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid dalam Konferensi Pers Kongres Kebudayaan di Kementerian Pendidikan dan Kebudayan, Jumat (9/11).


Persiapan kongres sudah dimulai sejak Maret lalu lewat kongres kecil di tingkat kabupaten/kota yang membahas berbagai bidang. Ada 27 rumusan dari masing-masing bidang, seperti wayang, kesehatan tradisional, infrastukrur dll. Tiap daerah menyusun pokok kebudayaannya sesuai masalah yang dialami masing-masing daerah.


Hingga hari ini sudah ada 206 daerah yang mengirimkan rumusan pokok kebudayaan. Menurut Hilmar, strategi kebudayaan akan berjalan kalau perumusannya dirasakan kepemilikannya oleh publik. Maka dari itu, penyusunan kongres untuk pertama kali dilakukan dari bawah.


“Perumusan yang dilakukan dari bawah merupakan buah dari kecerdasan kolektif, bukan hasil pikiran dari para ahli. Ini adalah upaya menghimpun pendapat yang sifatnya sangat masif dan menjadi perbedaan utama dari kongres sebelumnya,” kata Hilmar.


Pada kongres-kongres sebelumya penelusuran gagasan tentang kebudayaan nasional dilakukan melalui penyampaian makalah. Penyampaian oleh para ahli ini, di satu sisi tidak menyentuh masalah di akar rumput. Di samping itu, ekspresi budaya yang beragam tidak bisa disampaikan hanya lewat tulisan dan lisan. Oleh karenanya, dalam kongres kali ini Direktorat Kebudayaan memberi ruang apresiasi berupa pentas seni oleh para seniman dari berbagai bidang.


Lebih lanjut Hilmar mengatakan, hasil kongres akan mengeluarkan rumusan strategi kebudayan yang disusun oleh 17 orang, termasuk di dalamnya Menteri Pendidikan dan Kebudayan Muhadjir Effendy. Rumusan ini kemudian diserahkan pada presiden dan menjadi salah satu acuan dalam pembangunan nasional sesuai amanat UU No. 5 tahun 2017.


Kilas Balik Kongres Pertama


Diselenggarakan pertama kali tahun 1918, Kongres Kebudayan mulanya merupakan Kongres Bahasa Jawa yang diprakarsai intelektual bumiputera dan Belanda: Raden Sastrowijono, dr. Radjiman Wedyodiningrat, Pangeran Prangwadono, dan D van Hinloopen.


“Jelas ada keperluan untuk menyelenggarakan Kongres Budaya pada 1918 karna saat itu sedang ada kebangkitan nasional sementara beberapa masyarakat masih terbagi-bagi dalam kelompok etnis,” kata Hilmar.


Kehadiran tokoh luar Jawa, seperti Dr. Hoesein Djajadiningrat menambah usulan baru bahwa kongres sebaiknya tidak terbatas pada orang Jawa saja sehingga menjadi forum bagi para ilmuwan untuk membahas inisiatif baru tentang budaya.


Dalam kongres yang diselenggarakan di Solo, 5-7 Juli 1918, Sastrowijono sebagai ketua panitia menyatakan keprihatinannya atas ketidaktahuan masyarakat bawah akan budayanya sendiri. “Sebuah bangsa baru akan mampu memiliki jatidirinya apabila bangsa itu bertumpu pada sejarah dan budayanya sendiri,” kata Sastrowijono, seperti yang termuat dalam Bianglala Budaya.  Ia juga menekankan pentingnya pendidikan budaya untuk mengimbangi pengaruh dari kebudayaan Eropa di era kolonial.


Perhatian tentang perkembangan budaya menjadi bahasan utama dalam kongres tersebut. Sastrowijono dalam pidatonya menghimbau seluruh rakyat Jawa baik mereka yang dari Sunda, Madura, atau Jawa Tengah agar bersama-sama membahas arah perkembangan budaya dalam cita-cita kemerdekaan.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Sukses sebagai penyanyi di Belanda, Anneke Gronloh tak melupakan Indonesia sebagai tempatnya dilahirkan.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
bottom of page