top of page

Hasil pencarian

9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Trauma Serdadu Belanda

    MAARTEN HIDSKES tidak menampik jika Piet Hidskes (ayah kandungnya) mengalami trauma dan penyesalan dengan apa yang pernah dia buat puluhan tahun lalu di Sulawesi Selatan. Kendati tidak dihindari, kata “Indonesia” selalu tidak pernah secara mendalam dibahas di rumah mereka. “Padahal dia pernah menghabiskan salah satu fase hidupnya sebagai seorang prajurit komando di Sulawesi Selatan,” ungkap jurnalis Belanda itu kepada Historia . Menurut penulis buku Thuis Gelooft Nieman Midj: Zuid Celebes 1946-1947 (diterjemahkan menjadi Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya ) itu, tidak hanya sang ayah yang mengalami trauma di masa senjanya, kawan-kawan sesama anggota DST (Depot Pasukan Khusus) banyak mengalami situasi yang sama. “Bahkan salah satu kawan ayah saya menjadi gila karena tak kuasa menerima trauma itu,” ujar Maarten. Kisah para veteran yang masih mengalami trauma perang hingga masa-masa tuanya memang bukanlah suatu hal yang aneh bagi publik Belanda. Beberapa film dokumenter bahkan pernah mengupas kisah-kisah sedih itu. Sebut saja misalnya film dokumenter berjudul Hoe Nederland met Zijn Geschiendenis Omgaat atau karya yang lebih lawas lagi, Tabeek Toean . Brutalitas Perang Kawasan Stasiun Karangsari, Banyumas, 1949. Teng Bartels masih ingat kejadian itu. Sebagai penjaga kereta api jurusan Purwokerto-Bumiayu, dia bersama beberapa kawannya dari Batalyon Infanteri 425 Angkatan Darat Kerajaan Belanda (KL) tengah duduk di bagian kereta api yang terbuka berlindungkan karung-karung pasir. Masing-masing menggenggam senjata dalam posisi siaga dan tegang. Di tengah suasana mencekam itu, tetiba terdengar suara dentuman mitralyur. Kereta api pun dihentikan secara mendadak. Semua melompat keluar. Nampak di depan mereka menghadang barikade yang terdiri dari gelondongan kayu dan potongan besi. Belum sempat melepaskan satu peluru, mereka sudah dikepung dan diserang dari belakang. Para serdadu bule itu langsung tak berkutik. Dengan mata kepala sendiri, Bartels menyaksikan seorang anggota TNI (Tentara Nasional Indonesia) mengekesekusi Prajurit Boss. Anak muda itu menggelepar lalu diam. “Saya shock . Mereka membunuh Boss begitu saja. Ketika melihat saya tak berdaya, mereka memegangi saya dan mengambil semua yang ada di tubuh saya. Saya dan beberapa kawan lalu digiring ke kampung nyaris tanpa pakaian,” kenang Bartels seperti dituturkan kepada rekannya Ant. P. de Graaff dalam Met de TNI op Stap (edisi Indonesianya berjudul: Napak Tilas Tentara Belanda dan TNI ). Bartels dan ketiga kawannya otomatis menjadi tawanan hingga perang berakhir beberapa bulan kemudian. Kendati mengaku diperlakukan baik oleh TNI, kejadian-kejadian itu kerap menghantuinya seumur hidup. Terutama ketika tidur dan ada dalam situasi sendiri. Trauma akibat brutalitas perang juga dirasakan J.C. Princen. Anggota KL berpangkat kopral yang kemudian membelot ke kubu TNI itu mengaku tak pernah bisa melarikan diri sepenuhnya dari kejadian-kejadian mengerikan saat terlibat dalam peperangan. Terutama yang terkait dengan orang-orang dekatnya. “Saya pernah kehilangan istri yang sedang mengandung anak saya di Cianjur. Saya melihat sendiri, kepalanya pecah terhantam peluru Tommy Gun dari seorang letnan KST (Pasukan Khusus Angkatan Darat Kerajaan Belanda),” katanya dalam nada lirih. Princen mengaku tak pernah bisa melupakan kejadian itu. Dia berhari-hari menangisi kepergian Odah dan merasa marah kepada dirinya sendiri karena tidak bisa menyelamatkan sang istri. Akibat stres itu, Mayor Kemal Idris (atasan Princen di Batalyon Kala Hitam Divisi Siliwangi) sempat mengistirahatkannya di sebuah desa terpencil yang masuk dalam wilayah Kadupandak, Cianjur Selatan. Kekejaman perang yang menumbuhkan trauma pun terungkap dalam beberapa data oral yang dikutip oleh Gert Oostindie dalam Soldaat in Indonesie 1945-1950: Getuggenissen van een Oorlog Aan de Verkeerde Kant van de Geshciedenis (diterjemahkan ke bahasa Indonesia menjadi Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah ). Salah satunya adalah pengalaman seorang kopral bernama Kees. Dalam catatan hariannya bertahun 1949, Kees menulis bahwa dirinya bukanlah seorang pemuda Belanda yang beruntung karena kerap harus menghadapi situasi yang mengguncangkan jiwanya selama bertugas di Indonesia. Puncaknya terjadi saat dia harus menyaksikan dua gadis kecil tengah menangis seraya memeluk tubuh kaku sang ibu dan adik kecil mereka di sebuah parit dangkal. “Keduanya terbunuh oleh satu peluru yang sama,” ungkap Kees. Terapi ke Indonesia Bartels, Princen, dan Kees hanyalah sebagian kecil dari serdadu-serdadu Belanda yang pernah terluka jiwanya akibat perang. Menurut Oostindie, sesungguhnya masih banyak dari mereka yang mengalami penderitaan psikologis hingga masa tuanya. Itulah yang menjadi jawaban mengapa para veteran Belanda seolah enggan mengatakan apapun tentang pengalaman mereka di Indonesia. “Terlalu pahit dan cukup ditelan sendiri saja, tak usah anak dan cucu tahu, begitu yang pernah dikatakan oleh para veteran Belanda itu kepada saya,” ujar Iman Sardjono, salah seorang veteran Indonesia yang kemudian menjalin persahabatan dengan para bekas musuhnya itu. Lantas apa yang kemudian dilakukan oleh para veteran tersebut untuk mengobati rasa traumatik itu? Princen mengungkapkan bahwa satu-satunya jalan adalah berdamai dengan masa lalu. Caranya adalah dengan kembali mengunjungi tempat-tempat yang dulu sempat menorehkan kisah kelam dalam hidup mereka. “Saat masa-masa tua seperti ini (waktu saya wawancarai pada 1995, dia berusia 70 tahun), saya memerlukan kembali pergi ke masa lalu. Saya pernah datang ke Cilutung tempat istri saya gugur dan kembali menangis sejadi-jadinya saat tiba di tempat itu. Tapi seterusnya saya merasa lega,” ujar Princen. Hal yang sama juga dilakukan oleh Bartels. Bersama kawan-kawannya yang pernah bertugas di Banyumas, pada 1987 dia menelusuri kembali tempat saat dia ditangkap oleh TNI pada 1949. Ironisnya, di sana dia sempat bertemu dengan Salimin, anggota TNI yang bertempur dengan pasukannya di sekitar stasiun Karangsari itu. Sebuah pertemuan yang menurut Bartels sangat emosional. “Air mata saya meleleh saat Salimin meminta maaf atas apa yang telah dilakukan kepada kami puluhan tahun yang lalu,” ujarnya. Selanjutnya mereka mengikrarkan diri menjadi sahabat. Dengan bergandengan tangan, kedua orang tua yang semasa mudanya pernah berhadapan itu menyusuri rel kereta api seraya menceritakan dalam versi masing-masing tentang kejadian itu. Ternyata itu bukan yang terakhir. Pada 1991, para eks serdadu Belanda itu kembali datang. Kali ini atas undangan resmi dari orang-orang yang dulu pernah menjadi musuhnya: veteran Indonesia. Kendati ditentang oleh organisasi resmi veteran Belanda (VOMI), kunjungan itu tetap berlangsung dalam semangat persahabatan yang erat. ”Saya meminta pengertian kepada mereka yang belum bisa menerima musuh lama kita sebagai sesama manusia. Kami sudah ada di jalan yang benar, karena permusuhan antarsaudara harus berakhir,” demikian menurut F.L. Meijler, salah seorang veteran Belanda yang mengikuti tur tersebut.

  • Mengapa Orang Batak Suka Daging Anjing?

    MAKAN daging anjing dengan sayur kol. Kalimat tersebut merupakan nukilan lirik lagu berjudul Sayur Kol yang dipopulerkan band Punxgoaran. Band punk asal Siantar, Sumatera Utara ini memang kerap mengusung budaya Batak dalam lagunya. Lagu Sayur Kol berkisah tentang seorang pemuda Batak yang berkelana ke Siborong-borong. Di tengah jalan dia terjebak hujan deras. Beruntung, seorang namboru (tante) boru Panjaitan mengajak sang pemuda berteduh di rumahnya. Di rumah namboru , mereka menyantap daging anjing dan sayur kol dengan nikmatnya.    Karena terdengar lucu, lagu itu kini jadi viral, bahkan anak bocah ikut menyanyikannya. Namun kritik datang dari komunitas pecinta satwa. Salah satunya Garda Satwa Indonesia yang menganggap lagu itu kurang etis. Sebabnya, yang tak banyak diketahui orang adalah proses pengolahan daging anjing terbilang sadis. Investigasi membuktikan, anjing-anjing mengalami penyiksaan sebelum dihidangkan. Beberapa metode anarkis dipakai dalam menjinakkan anjing untuk kemudian dimasak. Mulai dari dicekik pakai tongkat, dipukul, digebuk dalam karung, diberi racun, hingga langsung dibakar atau dikuliti. “Jika penyiksaan dianggap lucu, sudah hancurlah moral bangsa ini. Jiwanya sudah sakit,” tulis Garda Satwa Indonesia dalam laman Facebook -nya . Komunitas seperti Garda Satwa Indonesia gencar menyerukan kampanye berhenti makan anjing. Masalahnya, bagi sebagian kalangan, daging anjing lumrah dimakan, salah satunya suku Batak.   Nikmat Bersama Tuak Menurut E.H. Tambunan dalam Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayannya, orang Batak punya tradisi kuat makan daging. Dalam setiap upacara adat maupun upacara agama di kalangan penganut agama leluhur, daging selalu menjadi hidangan atau sesajian. Hewan yang disembelih beragam. Mulai dari yang halal seperti kerbau, ayam, dan kambing hingga non-halal seperti babi atau anjing. Berbeda dengan babi yang jelas hewan ternak, bagi orang Batak anjing diperlihara sebagai penjaga rumah atau penjaga ternak. Tapi, ketika di meja makan, keduanya sama saja: menjadi santapan. Kenapa anjing ikut disantap? Jan Johannes van de Velde, asisten residen Belanda di Tapanuli, punya jawaban. Pada 3 Maret 1940, van de Velde mendampingi residen ke dataran tinggi Habinsaran, sebelah selatan Kota Balige. Tujuan van de Velde dan rombongannya saat itu hendak meninjau huta-huta (perkampungan) terpencil. Perjalanan dinas ini memberikan van de Velde pengalaman kuliner dan kultural yang berkesan.    “Pada suatu kesempatan, kami dijamu dengan segelas tuak enak, semacam anggur terbuat dari nira pohon enau; minuman ini digemari orang-orang Batak dan seminggu sekali bisa dibeli di pasar besar, di Porsea. Apalagi kalau ditemani sepotong daging anjing, maka mereka lebih menikmati tuak itu,” kenang van de Velde dalam korespondensinya yang dibukukan, Surat-surat dari Sumatra 1928-1949 . Van de Velde saat itu merasa enggan menyantap daging anjing karena jijik. Tapi di lain kesempatan dia mencicipi juga. Pada 17 November 1940, van de Velde kedatangan tamu dari Yale University, Profesor Karl Peltzer, yang datang untuk meneliti gejala erosi di Balige. Sebagai jamuan, seorang koki lokal menyajikan sepinggan daging anjing goreng dan rebus dengan cara khas Batak. “Kami mencicipi kedua masakan itu dan rasanya lumayan,” kata van de Velde. Namun van de Velde juga menyaksikan keadaan miris yang dialami oleh anjing-anjing santapan. Mereka kerap diperlakukan secara kasar dan kurang berharga. “Kita tak perlu mengasihani anjing-anjing di sini, di huta-huta , mereka sering ditendangi, dipukul, diusir, lagipula, jumlahnya memang terlalu banyak. Di Pasar Balige pun, bisa dibeli anjing yang sudah disembelih, juga yang sudah dimasak, dan sering dimakan di tempat, dengan ditemani segelas dua tuak,” demikian tutur van de Velde. Mengisi Daya Tondi (Roh) Kebiasaan orang Batak makan daging anjing terbawa hingga ke perantauan. Firman Lubis dalam memoarnya Jakarta 1950-an sering mendengar identifikasi yang ditujukan kepada orang Batak di Jakarta. Biasanya dilontarkan sebagai sentimen kesukuan atau ejekan. “Batak tukang makan orang atau tukang makan anjing – saya sendiri sering terkaget-kaget waktu ada yang melontarkan ejekan ini kepada saya karena kedua orang tua saya ‘cukup Islami’ dan saya agak takut dengan anjing,” kenang Firman Lubis.    Rumah-rumah makan Batak ataupun lapo tuak yang menyajikan daging anjing lazimnya melabelkan kode B1 dalam daftar menu. B1 diambil dari bahasa Batak, biang yang artinya anjing, untuk membedakannya dari daging babi yang diberi kode B2. Dibandingkan babi, daging anjing memiliki tekstur keras dan tak berlemak. Jika menarik lebih jauh akar sejarah dan budayanya, makan daging anjing lebih dari sekedar penganan pendamping saat minum tuak. Tradisi menyatap anjing punya kaitan dengan keparcayaan animisme Batak kuno. Mengonsumsi daging anjing diyakini memberikan kekuatan kepada tondi (roh) manusia. Daging anjing yang dicincang khas Batak (saksang). Sumber: Kaskus. Sebelum masuknya pengaruh agama Samawi, suku Batak Toba percaya bahwa tondi adalah tenaga yang menghidupkan segala sesuatu yang ada di bumi. Keberadaan seseorang di dunia bergantung kepada persediaan dan kebesaran tondi- nya. Beberapa hewan seperti anjing, babi hutan, dan harimau mempunyai persediaan tondi yang jauh lebih besar ketimbang hewan lain.  “Anjing mampu berlari cepat karena tondi -nya lebih kuat,” tulis Bisuk Siahaan dalam Batak Toba: Kehidupan Di Balik Tembok Bambu . “Memakan daging anjing akan menambah persediaan tondi secara besar-besaran.” Kepercayaan mengenai mustajabnya daging anjing menghinggap pada diri orang Batak tempo dulu yang gemar berperang. Menurut teolog Rudolf Pasaribu dalam Agama Suku dan Bataknologi , kebiasaan memakan anjing dalam tradisi kuno punya maksud agar mereka berani dan gesit dalam peperangan. Dalam tubuh anjing dipercayai mengandung semacam zat yang merangsang keberanian. Konsep magis demikian dalam masyarakat modern hari ini tak lebih dari omong kosong belaka. Kendati demikian, tradisi makan anjing telah terlegitimasi turun-temurun dari generasi ke generasi. Apalagi daging anjing disebut-sebut berkhasiat untuk menyembuhkan penyakit lepra –yang belum terbukti secara medis– ataupun keluhan seperti keletihan akut. Dan tentu saja karena faktor rasa, yang katanya enak.

  • Catatan Ma Huan tentang Masyarakat Majapahit

    PENDUDUK negara itu tidur sambil duduk. Mereka tak punya tempat tidur atau dipan. Jika makan, mereka tidak menggunakan sendok atau sumpit. Kalau mau makan, pertama-tama mereka akan mencuci mulut mereka untuk membersihkan sisa pinang. Karena baik pria maupun perempuan, mereka terus menerus mengunyah pinang dengan daun sirih dan limau. Setelah itu, mereka mencuci tangan dan duduk. Semangkuk penuh nasi mereka ambil. Di atasnya disiram dengan krim atau saus lainnya. Makanan ini dimasukkan ke mulut dengan tangan. Jika haus, mereka meminum air. “Jika menerima tamu, mereka tidak menawarkan minum tetapi menawarkan pinang,” kata Ma Huan dalam catatannya, Yingya Shenglan (Catatan Umum Pantai-pantai Samudra). Ma Huan merupakan penerjemah resmi yang mendampingi Cheng Ho. Sebagai Muslim yang mahir dalam bahasa Arab, Ma Huan dipilih sebagai juru bahasa Cheng Ho dalam tiga kali pelayarannya. Pada 1412, dia menerima tugas pertama dari Kerajaan Ming untuk menemani sang laksamana berlayar ke banyak negeri. Ma Huan mencatat segala sesuatu yang dilihat. Yingya Shenglan, yang terbit pada 1416, berisi catatannya tentang Negara Champa, Jawa, Palembang, Aru, Samudra, Nakur, Litai, Lambri, Liu San (Maldive, Male), Malaka, Bangal, Xi Lan San (Sri Lankan), Bangal kechil (Kulam, Quilon), Ko Chin, Kuli (Kalicut), Adam, Fazhu, Hormus, dan Tian Fang (Mecca).   Yingya Shenglan  merupakan satu dari dua sumber penting Tiongkok yang banyak bercerita tentang Majapahit. Karya ini bukan termasuk sejarah resmi kerajaan tapi tulisan pribadi Ma Huan. “Saat mencatat tentang Jawa, dia sangat teliti memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan budaya, kehidupan orang Jawa, termasuk upacara perkawinan, dan sistem penguburannya,” kata Nurni Wahyu Wuryandari, peneliti dari Pusat Studi Cina Universitas Indonesia. Dalam catatannya itu, Ma Huan menyaksikan Majapahit, di mana dia berlabuh, sebagai tempat sang raja tinggal. Kediaman raja dikelilingi tembok bata setinggi lebih dari 9 meter. Panjangnya lebih dari 90 meter. Gerbangnya dua lapis dan sangat bersih serta terpelihara. Rumah-rumah di dalamnya terletak 9-10 meter di atas tanah. Lantainya terbuat dari papan yang ditutupi dengan tikar rotan yang halus atau tikar rumput yang dianyam. Di atasnya orang-orang duduk bersila. Untuk atap, mereka menggunakan papan kayu keras yang dibelah dan dibentuk genting. Di Majapahit, kata Ma huan, raja tak mengenakan tutup kepala. Kadang kala dia mengenakan hiasan kepala yang dibuat dari dedaunan dan bunga emas. Tubuh bagian atasnya tidak ditutupi kain. Sementara bagian bawahnya ditutupi dengan satu atau dua kain berbunga-bunga. Untuk mengencangkan sarung itu, digunakan kain tipis atau linen yang dikencangkan di sekitar perut. Kain semacam ini disebut selendang. Raja juga tak mengenakan alas kaki. Terkadang, raja mengendarai gajah atau duduk di atas kereta yang ditarik sapi. Raja membawa satu atau dua pisau pendek. Senjata ini dicatat Ma Huan sebagai pu-lak. Kata W.P. Groeneveldt dalam Nusantara dalam Catatan Tionghoa, kemungkinan ini merupakan terjemahan kata pribumi untuk badik. Senjata ini lebih kecil dari pedang dan lebih besar dari pisau. “Sepertinya orang Tionghoa menggunakan nama ini untuk setiap senjata yang mirip. Tentu saja orang Jawa menyebutnya keris,” kata dia. Adapun para pria di Majaphit membiarkan rambut mereka tergerai. Sementara para perempuan menyanggulnya. Mereka mengenakan semacam mantel dan kain yang menutupi bagian bawah tubuh. Para pria membawa pu-lak , yang disisipkan di ikat pinggang mereka. Setiap orang membawa senjata semacam ini, dari anak berusia tiga tahun hingga orang tertua. Senjata ini memiliki garis tipis dan bunga-bunga keputihan serta dibuat dari baja terbaik. Gagangnya terbuat dari emas, cula badak, atau gading gajah. Mereka dibentuk menjadi wajah manusia atau setan dan dikerjakan dengan sangat teliti. Para penduduk tinggal dalam rumah yang dialasi jerami. Rumah itu dilengkapi dengan ruang penyimpanan yang terbuat dari batu. Tingginya sekira 1 m dan digunakan untuk menyimpan barang-barang milik mereka. Di atas tempat penyimpanan inilah mereka biasanya duduk. Dalam hal kesopanan, para pria dan perempuan di Majapahit sangat menghargai kepala mereka. Jika seseorang menyentuhnya, atau mereka terlibat pertikaian dalam berdagang atau mereka mabuk dan saling menghina, mereka akan mengeluarkan senjata dan mulai menusuk. “Jadi permasalahan ini kan diselesaikan dengan kekerasan,” catat Ma Huan.*

  • Putus-Sambung Usaha Pemajuan Kebudayaan

    BANGSA yang maju adalah bangsa yang memahami dan menghargai budayanya. “Apabila sebuah bangsa mengesampingkan kebudayaan sendiri serta tidak menghargai apa yang diwariskan nenek moyangnya, maka bangsa itu tidak layak untuk maju,” kata Ferdiansyah, ketua Panitia Kerja RUU Kebudayaan, saat memberi kuliah umum di Kongres Kebudayaan (KK) 2018, Rabu, 5 Desember 2018. KK 2018 yang dihelat Direktorat Jenderal Kebudayaan pada 5-9 Desember 2019 merupakan upaya melanjutkan pencarian arah gerak budaya bangsa yang telah dirintis pada Kongres Budaya Jawa (KBJ) tahun 1918. Dalam KBJ, para cendekiawan berkumpul untuk mengupayakan persatuan guna meng- counter budaya kolonial. Upaya yang dilakukan di tengah penjajahan itu menjadi embrio perjuangan kaum nasionalis melalui budaya. Meski baru berfokus pada budaya Jawa, KBJ 1918 setidaknya memiliki semangat untuk melakukan gerak kolektif untuk memajukan kebudayaan Jawa. Salah satu amanat KBJ 1918 menjadi acuan penyelenggaraan kongres dan penyusunan strategi kebudayaan saat ini. “Dasar inilah yang menjadi acuan dengan menggarisbawahi kata maju dan mendasari nama UU Pemajuan Kebudayaan,” kata Ferdiansyah. Usaha Via Legislasi Usaha pemajuan kebudayan terus dilakukan hingga Indonesia merdeka. Pasal 32 Ayat 1 UUD 1945 mengamanatkan pemajuan budaya melalui strategi kebudayaan. Kala itu pelaksanaannya melalui Kongres Budaya. Lewat rekomendasi yang dihimpun melalui kongres, strategi kebudayaan dijalankan masyarakat dan pelaku budaya. “Waktu itu belum ada birokrasinya, masyarakat bergerak sendiri. Direktorat Jenderal Kebudayaan baru ada tahun 1966. Sebelumnya ada Jawatan Kebudayaan namun perannya tak signifikan,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid kepada Historia . Rencana pembuatan hukum turunan Pasal 32 UUD 1945 baru dilakukan tahun 1982. Kala itu, Dirjen Kebudayaan Hariati Subadio mengadakan diskusi dengan para pakar tentang perlunya undang-undang yang mengatur soal kebudayaan. Namun, pembuatan UU Kebudayaan tak terlaksana lantaran terjadi perdebatan panjang tentang apa yang perlu diatur. Rencana itu pun berhenti pada tahap kajian. “Buat sebagain orang, termasuk saya, kebudayan yang begitu kompleks tidak mungkin diatur. Padahal, kalau bicara tentang undang-undang kebudayaan harus spesifik tentang rumusan dan objek yang akan diatur,” kata Hilmar. Lebih jauh Hilmar menambahkan, hal yang bisa diatur dalam UU Kebudayaan adalah tata kelolanya karena budaya hidup di masyarakat dan pemerintah tidak bisa meregulasi kompleksitas budaya. Kongres yang Putus-Sambung Kongres Budaya pertama pascakemerdekaan diselenggarakan tahun 1948. Para peserta kongres merumuskan strategi budaya yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian pascapenjajahan. Kongres terus berlanjut hingga 1960 namun terhenti di masa Orde Baru. Terhentinya kongres di masa Orde Baru disebabkan oleh pemerintahan yang sentralistik dan refpresif. Stabilitas dan keamanan negara yang menjadi dasar kebijakan Orde Baru tak memungkinkan diselenggarakannya kongres yang merupakan tempat menyuarakan pendapat. Namun, pada dekade akhir Orde Baru corong-corong suara mulai terbuka sehingga Kongres Kebudyaan bisa kembali dilaksanakan pada 1991. Pascareformasi, kongres dilaksanakan pada 2003 dan menjadi agenda reguler lima tahunan. Perlindungan dan pengembangan kebudayaan nasional yang rinciannya dibahas melalui kongres mendapat titik terang dengan pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. “Kita punya payung hukum yang cukup kuat untuk memajukan kebudayan,” kata Hilmar. UU ini berpegang pada pokok pikiran kebudayan daerah, strategi kebudayan, rencana induk pemajuan kebudayaan, dan membahas tentang tata kelola kebudayaan. Hilmar menambahkan, selama ini problem perumusan UU Kebudayaan terhenti pada pendefinisian budaya. Dalam perumusan UU Kebudayaan 2017, Hilmar bersama tim dan DPR berusaha menghindari perdebatan itu dan berfokus pada masalah konkret dengan memastikan objek budaya yang akan dikembangkan. Ada 10 objek kebudayan yang akan dikembangkan, yakni manuskrip, adat-istiadat, tradisi lisan, ritus, pengetahuan, teknologi, olah raga, bahasa, kesenian tradisional, dan permainan rakyat. Sejak Maret 2018, masyarakat dilibatkan dalam penyusunan strategi kebudayaan dengan cara penjaringan data dari Kabupaten/Kota dan 40 sektor kebudayaan melalui komunitas. Data dari tingkat daerah itu selanjutnya dirumuskan dalam Sidang Pleno Kebudayaan (9/12), yang menghasilkan strategi kebudayaan sebagai langkah jangka panjang dan resolusi Kongres Kebudayaan yang segera dilaksanakan. Resolusi itu berisi tujuh poin, yaitu: penyediaan ruang budaya yang inklusif berupa Pekan Kebudayaan Nasional, regenerasi karya kreatif, diplomasi budaya, membangun pusat inovasi budaya, pelibatan seniman dalam kebijakan kepariwisataan, membentuk dana perwalian kebudayaan, memfungsikan kembali aset publik untuk kegiatan budaya. “Dana perwalian ini penting sekali. Program ini semacam dana hibah untuk kesenian yang dibentuk oleh trust fund . Kami harap tahun depan sudah bisa dilaksanakan,” kata Hilmar, ketika ditemui selepas penyerahan Strategi Kebudayaan (9/12). Sementara, strategi kebudayaan yang diserahkan kepada presiden di hari yang sama untuk disahkan menjadi Perpres menjadi acuan dalam kebijakan terkait budaya di 22 kementerian. Strategi Kebudayaan ini merupakan kerangka kebijakan yang akan dilaksanakan selama 20 tahun ke depan, dengan visi Indonesia bahagia berlandaskan keanekaragaman budaya yang mencerdasakan, mendamaikan, dan menyejahterakan. “Inti dari kebudayaan adalah kegembiraan. Orientasi kebudayaan tak boleh keluar dari etos keseharian masyarakat. Untuk menjamin keberlangsungannya, negara harus hadir mendukung ruang ekspresi yang penuh toleransi, beragam, dan inklusif,” kata Presiden Joko Widodo dalam sambutannya (9/12). Dengan adanya strategi kebudayaan, Hilmar berharap, tiap kekurangan dan masalah terkait budaya di kabupaten/kota seperti kekurangan sumber daya manusia, ruang, atau anggaran dapat diatasi. “Setelahnya ada konsolidasi sumberdaya untuk mengelola kebudayaan, SDM, lembaga, anggaran, program, semua terkoneksi,” kata Hilmar.

  • Utami, Srikandi Bulutangkis Putri

    SETIDAKNYA ada lima wakil Indonesia yang masuk nominasi BWF Player of the Year 2018, sebuah penghargaan yang diberikan kepada para pebulutangkis jempolan dunia saban akhir tahun. Tiga di antaranya pebulutangkis putri. Ini menandakan Indonesia belum kehabisan talenta di nomor putri kendati harus diakui belakangan sulit menyandingkan diri dengan China, Korea, India, Jepang, bahkan Denmark. Tiga nama itu adalah Gregoria Mariska Tunjung dan Apriani Rahayu di kategori Eddy Choong Most Promising Player of the Year, dan Leani Ratri Oktila di kategori Female Para-badminton Player of the Year. Tentu ada harapan nama-nama itu akan menyambung kelegendaan putri-putri Indonesia di panggung bulutangkis dunia. Pebulutangkis putri Indonesia sudah lama absen “bicara” di pentas dunia. Terakhir, era Susi Susanti dan Mia Audina yang sudah lebih dari 20 tahun. Keduanya merupakan pemegang tongkat estafet yang sudah dimulai sejak akhir 1960-an oleh Minarni Soedarjanto, Imelda Wiguno, Theresia Widiastuti, Regina Masli, dan Utami Dewi Kurniawan. Nama terakhir tak lain adalah adik maestro bulutangkis Rudy Hartono. “Utami dulu sama-sama main dengan saya memperkuat tim Uber Cup 1975,” ujar Regina Masli mengenang keberhasilan tim putri Indonesia merebut Uber Cup pertama, kepada Historia. Lahir dari Keluarga Besar Pendiri Suryanaga Utami merupakan satu dari delapan saudara kandung Rudy Hartono. Sam Setyautama dalam Tokoh-Tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia mencatat, sosok bernama Tionghoa Nio Pik Wan itu lahir di Surabaya pada 16 Juni 1951. Sebagai anak dari pendiri PB Suryanaga Zulkarnain Kurniawan (Nio Siek In), Utami ketularan doyan bulutangkis sejak kecil. Seperti Rudy, Utami, Eliza Laksmi Dewi, Freddy Harsono, Diana Veronica, Tjosi Hartanto dan Hauwtje Hariadi dilatih bulutangkis oleh ayahnya sendiri di perkumpulan bulutangkis yang sebelum 1966 bernama Naga Kuning. Seiring perjalanan waktu, hanya Rudy, Eliza, dan Utami yang mampu mengukir nama di pentas bulutangkis nasional, bahkan internasional. Utami, sebagaimana diungkap Dhahana Adi Pungkas dalam Surabaya Punya Cerita: Vol 2 ½ , sudah mampu mencicipi gelar kejuaraan nasional yunior pada 1967. Prestasinya bertambah dengan juara Kejurnas 1971-1975. Utami juga menyumbang medali emas untuk Kontingen Jawa Timur di Pekan Olahraga Nasional (PON) 1969 (tunggal dan ganda putri), 1973 (tunggal putri), dan 1977 (beregu putri). Pada Olimpiade 1972 di Munich, Jerman, kala bulutangkis masih jadi olahraga demonstrasi (belum masuk cabang resmi), Utami turut ambil bagian di nomor tunggal putri. Utami melaju hingga partai puncak sampai dihentikan wakil Jepang Noriko Nakayama dalam dua set (11-5, 11-3). Meski hanya runner up , pencapaian di tingkat internasional itu menambah deretan gelar yang disabet Utami. Sebelumnya, dia merengkuh gelar Kejuaraan Asia 1971 dan medali emas Asian Games 1970. Prestasi tersebut membuat Utami kembali diikutkan pada tim Uber Cup 1975. Sebelumnya, Utami menjadi bagian tim Uber Cup 1969 dan 1972. Prestasi itu merupakan buah kerja keras Utami, yang menurut Regina, “Orangnya serius. Gaya mainnya seperti Taty Sumirah.” Di Negeri Paman Sam Seperti Minarni dan Regina Masli, prestasi paling prestisius Utami dicapai ketika memenangi Uber Cup 1975. Selebihnya, Utami beberapa kali juara, seperti di Australian Open 1975, Mexican Open 1979, South African Open 1980 dan US Championship 1981. US Championship 1981 alias Kejurnas-nya Amerika merupakan kejuaraan terakhir Utami. Itu jadi puncak kariernya hingga membuatnya masuk majalah olahraga ternama Sports Illustrated . Saat mengikutinya, Utami sudah menjadi warga negara Amerika. Setelah dipinang pebulutangkis Amerika Chris Kinard, Utami pindah kewarganegaraan pada 1978. Sejak itu, dia hampir tak pernah komunikasi dengan mantan rekan-rekannya. Regina, yang bekerja di Loma Linda University Behavioral Medicine Center, Redlands dan juga tinggal di California, mengakui hal itu. “Dia tidak suka media sosial untuk berkontak. Dia tinggal di Pasadena. Sekarang sibuk mendampingi anak-anaknya main tenis,” kata Regina.

  • Majapahit dalam Catatan Ma Huan dan Sejarah Dinasti Ming

    BILA berlayar dari Tuban, bergerak setengah hari ke timur, akan sampai di Xincun (desa baru), atau apa yang disebut oleh penduduk barbar setempat sebagai Gresik. Pada awalnya tempat itu hanyalah wilayah pantai berpasir yang kosong. Orang Tionghoa lalu datang. Mereka menetap di sana dan menamakannya Xincun. Mereka yang tinggal di tempat itu kebanyakan adalah orang Guangdong. Kira-kira jumlahnya ada 1000 keluarga lebih. Kemudian, bila berlayar ke selatan lebih dari 20 li (12 km), akan tiba di Su-lu-ma-yi. Tempat itu diberi nama oleh penduduk setempat Su-er-ba-ya (Surabaya). Di sana terdapat seorang kepala desa. Dia mengatur penduduk yang jumlahnya 1000 keluarga. Di antaranya, juga ada orang-orang Tiongkok. Dari Surabaya, dengan perahu kecil sejauh 70-80 li (42 km), kita akan menemukan sebuah pasar bernama Zhang-gu. Setelah turun dari perahu dan berjalan kaki ke arah selatan selama satu setengah hari, sampailah di Majapahit. Di sini raja tinggal. Sebanyak 200-300 keluaga penduduk pribumi bermukim di sana. Tujuh atau delapan orang tetua membantu raja. Demikianlah catatan Ma Huan dalam Yingya Shenglan. Ma Huan merupakan penerjemah resmi yang mendampingi Cheng Ho. Pada 1412, dia menerima tugas pertama dari Kerajaan Ming untuk menemani sang laksamana berlayar ke banyak negeri. Yingya Shenglan merupakan satu dari dua sumber penting Tiongkok yang banyak bercerita tentang Majapahit. Karya ini bukan termasuk sejarah resmi kerajaan tapi tulisan pribadi Ma Huan. “Saat mencatat tentang Jawa, dia sangat teliti memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan budaya, kehidupan orang Jawa, termasuk upacara perkawinan, dan sistem penguburannya,” kata Nurni Wahyu Wuryandari, peneliti dari Pusat Studi Cina Universitas Indonesia. Dia menyebutkan kota-kota penting di Jawa yang berada di daerah peisisir sebagai tempat-tempat berlabuh pertama. “Selain Majapahit, Ma Huan menyebut Tuban, Gresik, dan Surabaya, dan memang inilah kota penting masa itu,” ujar Nurni. Tiga Golongan Penduduk Jawa Ma Huan juga membagi penduduk Jawa ke dalam tiga golongan. Pertama, orang Arab atau penganut ajaran Muhammad. Dia menyebut mereka berasal dari daerah barbar bagian barat. Kegiatannya berdagang dan menetap di Jawa. “Pakaian dan makanan mereka bersih dan bagus,” catat Ma Huan. Kedua, golongan Tangren atau Tenglang . Ini merujuk pada orang Tionghoa yang umumnya berasal dari Guangdong, Zhangzhou, dan Quanzhou. Mereka melarikan diri dari daerah asalnya dan tinggal di Jawa. Golongan ini mengkonsumsi makanan yang bersih. Pun menggunakan peralatan yang bagus. “Yang menarik, banyak dari golongan kedua ini belajar Islam dari orang Arab. Jadi, meski Majapahit konon Hindu Buddha, tapi unsur Islam sudah masuk,” kata Nurni. Nurni juga mengatakan bahwa Ma Huan adalah orang pertama yang menyebut penduduk Jawa yang berasal dari Tiongkok. Meski kedatangan orang Tiongkok di tanah Jawa sudah berlangsung sejak abad ke-6 M. Ketiga, masyarakat pribumi. Tak seperti sebelumnya, masyarakat dalam golongan ini tercatat sebagai penduduk yang kotor, jelek, bepergian dengan kepala yang tak pernah disisir, bertelanjang kaki, juga sangat percaya pada ajaran setan. Mereka juga memelihara anjing di dalam rumah. Bersama anjingnya, mereka tidur dan makan tanpa risih. “Buku ajaran Buddha pernah menyebutkan adanya negeri-negeri setan, inilah salah satu wilayahnya,” catat Ma Huan. Belum lagi soal makanan. Ma Huan menilai makanan penduduk pribumi sangat kotor dan jorok. Contohnya, semut, berbagai jenis serangga, dan ulat. Makanan itu pun hanya dipanaskan sebentar di atas api untuk kemudian ditelan. “Kurang lebih seperti ini yang dilihat Ma Huan. Jadi selain kota juga kehidupan penduduknya,” lanjut Nurni. Berbeda dengan karya Ma Huan, sumber lainnya, yaitu Ming Shi lebih memuat soal hubungan bilateral Tiongkok dan Jawa. Ming Shi merupakan catatan sejarah resmi Dinasti Ming. Dalam catatan ini Majapahit disebut dalam bab tentang “Jawa”. “Inilah naskah pertama yang memperlihatkan bahwa hubungan bilateral merupakan hal yang sangat penting,” kata Nurni. Dibandingkan penjabaran dalam naskah Sejarah Dinasti Yuan misalnya, isinya sebagian besar soal perseteruan dengan Jawa, khususnya dengan Singhasari. Menurut Nurni, pada masa Dinasti Ming berbeda. Sudah ada pengertian soal pentingnya hubungan dagang. Pun soal bagaimana menjaga hubungan walaupun Jawa dianggap pernah bersalah pada penguasa Tiongkok. “Kenapa sampai begitu, karena pertalian dagang kalau sampai putus rugi. Itukan masalah uang dalam jumlah besar,” jelas Nurni. Narasi tentang Majapahit cukup panjang bila dibandingkan catatan sejarah resmi pada dinasti sebelumnya. “Ada di tiga per lima bagian dari seluruh naskah. Baru terakhirnya sedikit tentang kondisi umum Jawa,” kata Nurni.  Dari naskah itu terlihat pula kalau Jawa lebih dari 30 kali mengunjungi Tiongkok. Penyebabnya ada dua pendapat berbeda. Tiongkok dianggap memiliki kekuatan politik dan ekonomi. Jawa, demi mendapatkan keuntungan yang besar darinya, membangun hubungan resmi dengan cara mengirim upeti. “Karena orang Jawa katanya kasih cuma sedikit, bisa bawa pulangnya banyak. Jawa membawa hasil bumi ke Cina, sementara saat meninggalkan Cina digambarkan membawa barang-barang bagus, hadiah dari kaisar,” kata Nurni. Namun, beberapa sejarawan, kata Nurni, berpendapat lain. Baik Jawa dan Tiongkok sebenarnya sama-sama diuntungkan. “Kenapa? Jangan lupa hasil bumi Jawa itu luar biasa kaya. Kalau dijual di sana harganya bisa lima kali lipat,” jelasnya. Misalnya, lada. Lada kerap menjadi komoditas selundupan ke Tiongkok. Garam sudah menarik perhatian pedagang Tiongkok sejak abad ke-6 M. Terlepas dari itu, meski Jawa muncul dalam catatannya, Dinasti Ming hanya merujuk pada Jawa Timur. “Hubungan sangat pragmatis antarnegara kaitannya hanya dengan Majaphit,” ujar Nurni.*

  • OPM Hampir Membunuh Sarwo Edhie Wibowo

    KRISTIANI Herrawati cemas dan was-was. Ayahnya, Brigjen TNI Sarwo Edhie Wibowo, akan menempati pos baru di Irian Barat sebagai Panglima Kodam Cenderawasih. Sarwo memang dipersiapkan untuk misi khusus. Dia harus menjamin penyelenggaraan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) Papua berjalan aman dan berakhir dengan kemenangan di pihak Indonesia. “Orang-orang melukiskan Irian pada saat itu sebagai sebuah tempat yang mengerikan. Alamnya masih perawan dan berbagai pemberontakan sering terjadi,” tutur Kristiani kepada Alberthiene Endah dalam Kepak Sayap Putri Prajurit . Yang dikhawatirkan benar terjadi. Pada awal Mei 1969, Sarwo menumpang pesawat kecil Twin Otter milik maskapai Merpati Nusantara Airlines menuju Enarotali, Kabupaten Paniai. Kepergian Sarwo ke Enarotali sehubungan dengan sosialisasi dan kampanye Pepera. Selain Sarwo, AKP Sukanto (Komandan Resort Kepolisian Nabire) dan Mayor Tb. Hasanudin (Komandan Kodim 1705 Nabire) juga berada dalam pesawat yang sama. Siapa nyana, dalam penerbangan itu, Sarwo hampir kehilangan nyawa. Ketika hendak mendarat, tiba-tiba pesawat digempur tembakan bertubi-tubi dari bawah. Rentetan tembakan menyebabkan tangki bahan bakar bocor. Dari daratan tampak bendera Bintang Kejora milik Organisasi Papua Merdeka (OPM) berkibar. Pesawat akhirnya mendarat darurat di Nabire setelah terbang terseok-seok karena bahan bakar yang menipis. Sarwo Edhie berhasil menyelamatkan diri. Sementara AKP Sukanto menderita luka-luka akibat terkena tembakan di kakinya. “Peristiwa penembakan terhadap pesawat Twin Otter MNA oleh anggota Kepolisian putra daerah yang dihasut oleh OPM itu, di kemudian hari dikenal sebagai Peristiwa Enarotali,” tulis jurnalis Hendro Subroto dalam Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando . Peristiwa Enarotali berawal dari rasa kecewa penduduk terhadap pemindahan ibu kota Paniai ke Nabire diikuti dengan pergantian aparat birokrat lokal oleh pendatang. Mereka menghendaki ibu kota kabupaten berada di Enarotali. Mereka juga menolak kehadiran pendatang, termasuk para guru, sukarelawan, dan ABRI yang kemudian menjurus menjadi gerakan antipemerintah. Menurut Hendro yang saat itu meliput operasi militer di Irian Barat, kekecewaan rakyat Enarotali dimanfaatkan oknum separatis untuk memasukkan ideologi OPM kepada penduduk dan anggota polisi putra daerah. Landasan terbang Wagete dan Enarotali dirusak. ABRI setempat terisolasi. Mereka mengancam agar para petugas dan pendatang meninggalkan Wagete sampai akhir April 1969. Aksi ini kemudian memuncak dengan penembakan terhadap pesawat yang ditumpangi Panglima Kodam Sarwo Edhie Wibowo. Dalam keterangannya yang dilansir Kompas 13 Mei, 1969, Sarwo mengatakan tak akan membalas aksi kelompok bersenjata itu. “Pradjurit Indonesia adalah pradjurit Pantjasila, bukan pradjurit pembunuh,” kata Sarwo. Pernyataan Sarwo itu merupakan bantahan terhadap siaran oleh radio dan pers luar negeri yang memberitakan operasi militer TNI. Namun nyatanya, TNI memang menindak tegas para pemberontak di Paniai. Sarwo mengeluarkan perintah tempur kepada anak buahnya dengan melancarkan operasi militer lintas udara. Sebanyak 634 penduduk sipil diindikasikan terbunuh dalam operasi ini. Kebijakan tangan besi sang panglima tampaknya menjadikan Sarwo sebagai sasaran OPM. Menjelang Pepera, pada 24 Juni aparat keamanan menangkap basah seorang warga Belanda anggota Fund for West Irian (FUNDWI) bernama Hans Reiff. Berdasarkan laporan intelijen, Reiff disinyalir ikut berkomplot dengan kelompok OPM yang kerap menggelar rapat gelap di Jayapura. Sebuah dokumen yang ikut disita bersama Reif menguak rencana menyabotase Pepera. Nama Sarwo Edhie ikut terseret. Dokumen yang termuat dalam risalah terbitan Departemen Luar Negeri berjudul “Fakta dan Data Perkembangan Gerakan Separatis OPM sampai akhir 1975” itu menyebutkan Sarwo Edhie sebagai salah satu target penculikan dan pembunuhan bersama Fernando Ortis Sanz, delegasi PBB di Papua (UNTEA).  Tak hanya memburu Sarwo, istrinya Sunarti Sri Hardiyah juga ikut ketiban teror. Sebagaimana dikisahkan Kristiani, semasa Sri mendampingi Sarwo bertugas di Irian Barat, pemandangan laki-laki setempat membawa senjata tajam sering terlihat. Sebagian warga Irian yang enggan bersatu dalam NKRI terus-menerus melancarkan serangan pada pasukan TNI dan keluarganya.  “Alhamdulilah Papi dan Ibu bisa menjaga keselamatan diri,” ujar Kristiani yang kelak dipersunting istri oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Presiden RI ke-6. Barangkali karena pengalaman itu pula, SBY cukup tegas terhadap aspirasi rakyat Papua. Selama dua periode pemerintahannya (2004-14), SBY tak pernah mengizinkan rakyat Papua mengibarkan bendera Bintang Kejora.*

  • Wayang Perang Idola di Gelanggang

    BEGITU mendapat perintah untuk mencari tirtapawitra (air kehidupan) dari Begawan Drona, Werkudara langsung berkelana. Dia akhirnya berhasil menemukan sumur tua Jolotundo di Gunung Argokiloso. Namun, dia tak bisa langsung mendapatkan tirta pawitra karena harus bertapa terlebih dulu.  Untuk memuluskan jalannya, Werkudoro memanggil para pengawalnya, yakni Anoman, Setyaki, dan putranya Gatotkaca untuk menjaga pertapaan. Upaya tersebut tak sia-sia. Di tengah pertapaannya, Sudirgapati, prajurit Prabu Karungkala yang diperintahkan Begawan Drona untuk mengganggu pertapaan Werkudoro, datang. Gangguan itu membuat Anoman dan rekan-rekannya langsung bertarung melawan Sudirgapati. Pertempuran Itulah salah satu bagian paling ditunggu para penonton. Saking pentignya pertempuran, ada gurauan populer di antara penonton: Nek wis perang, gugah yo! (Kalau sudah perang, tolong dibangunkan!). Pasalnya, di sinilah kelihaian dalang memainkan wayangnya ditunjukkan. Aksi dalang muda Aan Bagus Saputro yang dengan lincah menampilkan pertarungan Anoman-Sudirgapati dengan memutar, melempar, dan menggerakkan tangan wayang memukau penonton pada Minggu (9/12) dini hari. Beberapa dagelan yang disuarakan lakon Setyaki sebelum tanding pun makin meramaikan suasana. “ Saben dino kumpul neng jero kotak kok lali (Tiap hari kumpul di dalam kotak wayang kok lupa),” kata dalang Aan, menyuarakan lakon Setyaki. Pagelaran wayang yang dipimpin dalang Ki Anom Suroto itu menjadi satu rangkaian acara dalam Kongres Kebudayaan 2018 yang dihelat 5-9 Desember. Cerita wayang menampilkan lakon Dewa Ruci-Bima Sekti. “Lakon ini dulu carangan (gubahan yang keluar dari pakem cerita Mahabharata atau Ramayana , red .) para wali untuk sarana dakwah,” kata Ki Anom. Lakon Dewa Ruci-Bima Sekti menceritakan tentang pencarian air kehidupan oleh Werkudara. Setelah selesai bersemedi di Jolotundo, dia terus mencari air kehidupan sampai ke dasar samudra. Di sana dia bertemu dengan Dewa Ruci yang perawakannya jauh lebih kecil. Ketika masuk ke tubuh Dewa Ruci, Werkudara menemukan alam semesta dan cahaya ilahi yang menjadi pesan moral cerita wayang Jawa akan pencarian ketuhanan. Masuknya Werkudara ke dalam tubuh Dewa Ruci menjadi gambaran falsafah manunggaling kawula gusti . Pertunjukan wayang tak pernah kehilangan penggemar. Meski zaman sudah berubah, wayang tetap diserbu penonton. Penyelenggaraannya pun menyesuaikan zaman karena orang tak lagi mampu begadang semalam suntuk. “Penonton wayang sekarang kan nggak telaten , ada yang nunggu perangnya saja, kadang jam 12 juga sudah pulang karena lelah. Jadi beberapa pagelaran dipersingkat,” kata Aan pada Historia . Ki Anom lebih jauh mengatakan, para dalang di Surakarta bersepakat pertunjukan wayang dipersingkat karena pola hidup orang yang berubah. Pertunjukan Dewa Ruci-Bima Sekti yang semula memakan waktu 10 jam menjadi lima jam, dari pukul 9 malam sampai pukul 2 dini hari. “Karena kalau pas tidak libur, orang-orang yang bekerja kantoran bisa lihat dan anak muda juga masih ada waktu istirahat,” tambahnya. Namun, pementasan wayang tujuh hari tujuh malam tak hilang begitu saja. Pementasan panjang ini masih diselenggarakan, salah satunya di Boyolali. Meski tak semua adegan ditampilkan, adegan perang yang paling ditunggu masih ada dan tetap seru. “Lakon Bima Sekti zaman simbah dulu dimainkan dari jam 8 malam sampai jam 6 pagi. Tapi sekarang dipersingkat,” kata Ki Anom .

  • Penghargaan Pertama Bagi Pegiat Sejarah

    ADA yang beda dari penyelenggaraan Seminar Sejarah Nasional (SSN) tahun ini. Para pegiat kesejarahan diberi penghargaan Sartono Kartodirdjo Award. Mereka mewakili empat kategori: buku sejarah, disertasi dari universitas dalam negeri, guru sejarah, dan komunitas sejarah. Ide penganugerahan award ini sebetulnya sudah dicetuskan Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid tahun 2017. Namun mepetnya waktu membuat ide itu baru bisa dilaksanakan tahun ini. “Kami punya tiga nama yang memungkinkan untuk dijadikan award. Pertama , Husein Djajadiningrat, namun dipikir-pikir beliau lebih terkenal sebagai filolog. Kemudian Mohammad Ali, dan Sartono Kartodirdjo,” kata Sri Margana, Ketua Penyelenggara SSN 2018, Selasa (4/11). Namun para penggagas akhirnya memilih nama Sartono mengingat sumbangsih dan karya-karyanya paling banyak dan berpengaruh dalam sejarah Indonesia. Para juri yang terlibat dalam pemberian penghargaan berasal dari Direktorat Sejarah, Masyarakat Sejarawan Indonesia, dan Perkumpulan Prodi Sejarah Indonesia, dan perwakilan beberapa universitas seperti UGM, UI, Undip, UIN Syarif Hidayatullah, dan UNJ. Untuk mengantisipasi award tersebut tidak dilanjutkan tahun depan karena tahun politik, panitia berusaha membuatnya sebaik mungkin agar menjadi agenda regular. Namun karena baru pertama digelar, kategori buku sejarah dan disertasi dari universitas dalam negeri belum bisa diberi penghargaan lantaran peserta kurang banyak. Kategori guru sejarah terbaik dimenangkan Abdul Somad, guru sejarah SMAN 1 Ciruas, Serang. Dia mengalahkan sekira 70 nama calon yang diajukan Musyawarah Guru Mata Pelajaran dari masing-masing kabupaten/kota. “Abdul Somad terpilih karena dia sangat aktif juga punya banyak karya tulis,” kata Margana. Abdul aktif menulis dan menjadi narasumber tentang pengajaran sejarah di sekolah. Karya-karyanya seperti “Gerakan Pan Islamisme di Indonesia” dimuat Jurnal Candrasangkala, dan “Menggali Minat Belajar Seajrah” dimuat di Radar Banten. Bagi Abdul, pengajaran sejarah di sekolah harus kontekstual dengan kehidupan siswa. Dalam pembelajaran, buku teks hanya digunakan sebagai sumber. Siswa diajak untuk aktif mencari narasi sejarahnya lebih jauh. “Siswa diajak untuk berdialog tentang satu peristiwa sejarah bersama teman sekelasnya, menelusuri sejarah lokal, dan mengadakan lawatan sejarah dibarengi reportase kecil dan pembuatan laporan dengan vlog, bukan paper,” kata Abdul. Dengan begitu, sambungnya, sejarah bisa lebih dinikmati dan dipelajari. Sementara, kategori Komunitas Sejarah dimenangkan Komunitas Jelajah Budaya (KJB). Komunitas yang berdiri pada 2003 itu berhasil mengalahkan sekira 30 komunitas lain yang masuk dalam daftar juri. KJB yang kini memiliki 7500-an anggota dengan 40-an anggota aktif, tiap bulan mengadakan penelusuran sejarah atau sesekali pelatihan eksklavasi. “Ketika acara televisi menampilkan acara jalan-jalan ke museum dengan tema horor, kami berusaha meng- counter -nya dengan mengadakan jelajah malam. Museum tak melulu seram,” kata Kartum Setiawan mewakili komunitasnya di SSN. “Jelajah budaya mendapat Sartono Kartodirdjo Award karena keberagaman tema, keaktifan, pengakuan dari masyarakat, serta luasnya jaringan dan merangkul semua kalangan,” tutup Margana.

  • Guru Buddha Terkemuka Belajar di Sriwijaya

    DI kota Foshi yang berbenteng, terdapat biksu Buddhis berjumlah ribuan. Hati mereka bertekad untuk belajar dan menjalankan tindakan bajik. Mereka menganalisis dan mempelajari semua mata pelajaran persis seperti yang ada di Kerajaan Tengah (Madhyadesa, India). Tata cara dan upacaranya sama sekali tak berbeda. Begitulah catatan I-Tsing atau Yi Jing, seorang biksu Tiongkok, dalam Mulasarvativadaejasatakarman. Kota berbenteng yang dimaksud kemungkinan besar merujuk pada kawasan Candi Muara Jambi. Di tempat itu, banyak dari guru Buddha terkenal mendapatkan pengajaran. Shinta Lee, penerjemah catatan perjalanan Yi Jing menjelaskan, menurut catatan Yi Jing, semua biksu di Fo-shi mempelajari mata pelajaran yang sama dengan yang dipelajari di Nalanda. Misalnya,  Pancavidya  yang mencakup pelajaran tata bahasa, pengobatan, logika, seni, keterampilan kerajinan, dan ilmu mengelola batin. “Beliau bahkan merekomendasikan jika biksu ingin ke Nalanda, yang konon susah sekali, baiknya belajar dulu di Sriwijaya,” kata dia. Dalam karyanya yang lain,  Da Tang,  Yi Jing menyebut 57 mahabiksu dan guru-guru besar. Dia menemuinya selama perjalanan terutama di India, di pulau-pulau Lautan Selatan (Nusantara), dan negeri-negeri tetangga. Adapun dalam Nanhai, Yi Jing mencatat, Sakyakirti merupakan salah satu yang tinggal di Shili Foshi ketika itu. Dia merupakan salah satu di antara lima guru terkemuka pada masanya. Empat abad setelah kunjungan Yi Jing, Dipamkara Srijinana pada abad ke-11, juga datang ke Suvarnadwipa. Biksu dari Benggala itu belajar di sana selama 12 tahun. “Sumber lain mengatakan biksu penerjemah, Danapala atau Shihu dari Swat (sekarang Pakistan Barat) pada 1018 menguasai bahasa Sriwijaya dan tinggal di sana selama beberapa waktu,” jelas Shinta. Selain itu, ada pula Atiśa Dipankara Sri Jnana, guru Buddha yang berasal dari Kekaisaran Pala. Pada 1013, Atisha memulai perjalanan ke Sriwijaya dengan menumpang kapal pedagang. Di dalam rombongan ini, terdapat juga guru lain beserta muridnya. Mereka berangkat ke Sumatra untuk menerima instruksi ajaran secara langsung dari Swarnadwipa Dharmakirti, salah satu guru Buddhis paling tersohor pada masa itu. “Ke Swarnadwipa itu demi mencari ajaran yang paling tinggi. Minta diajar guru di Swarnadwipa, karena guru Swarnadwipa itu pemegang silsilah,” jelas Biksu Bhardra Ruci dalam makalahnya “Hayat dan Karya Atisha: Bagaimana Sriwijaya Menitipkan Ajaran ke Tibet”, yang diterbitkan dalam acara Borobudur Writers Cultural Festival ke-7 2008. Dia menjelaskan dalam tradisi Sanskerta semua ajaran diturunkan lisan kepada murid. Begitu pula guru yang ditemui Atisha di Swarnadwipa. Sang guru belajar di Vikramashila, India, menerima warisan ilmu dan berhak meneruskan ajaran itu. Apa yang dipelajari Atisha selama di Swarnadwipa adalah filosofi Buddha, yaitu Prajnaparamitha. Ajaran ini melatih seseorang untuk mencapai kebuddhaan dengan cepat. “Guru Atisha ini belajar prajnaparamitha , yaitu kebijakan yang paling tinggi. Ibu ilmu semua buddha. Mau aliran Pali atau Sanskerta dia butuh kebijaksanaan supaya hidupnya berguna semua makhluk,” kata Biksu Bhardra Ruci. Dari Sriwijaya, selanjutnya Atisha diberi pesan untuk meneruskan ajaran itu ke utara, yaitu ke Tibet. Inilah yang membuat hubungan Buddha di Indonesia dan Tibet begitu dekat. “Studi Atisha selama 12 tahun di Sriwijaya kelak terbukti menjadi bekal pengalaman dalam mereformasi Buddhisme di Tibet,” jelasnya. Dengan begitu, Shinta menjelaskan, paling tidak selama 400 tahun lebih, Sriwijaya sudah merupakan pusat pembelajaran terkenal. Itu sejak abad ke-7, yaitu ketika Yi Jing tiba hingga abad ke-11, yaitu tahun 1025 ketika Dipamkara Srijnana meninggalkan Nusantara.  “Di Nusantara sudah berdiri pusat pembelajaran atau universitas tertua dan terlanggeng di Nusantara,” kata Shinta.

  • Depok, Tanah Warisan Saudagar VOC

    KENDATI sama-sama mendulang kekayaan di Hindia Belanda, Cornelis Chastelein bersilang jalan dengan VOC. Pada 1691, Chastelein memutuskan pensiun sebagai saudagar. Dia mengundurkan diri dari kongsi dagang Belanda itu karena menolak politik eksploitasi yang diterapkan Gubernur Jenderal Mr. Willem of Outhoorn. Chastelein menyadari bahwa sebuah koloni akan stabil dan makmur apabila penduduknya tidak ditindas. Pada 1695, Chastelein membeli beberapa lahan partikelir di selatan Batavia di antaranya adalah Serengseng (sekarang Lenteng Agung) dan Depok. Tanah di Serengseng dibangun menjadi rumah peristirahatan menikmati masa pensiunnya. Sementara itu, tanah Depok hendak dijadikannya sebagai lahan penghasil produk-produk pertanian.  “Sebagai penguasa tanah Depok, Chastelein ingin mewujudkan cita-cita memerintah dengan pendekatan soft-power dan penyebaran nilai Kristen” ujar Lilie Suratminto, dosen Sastra Belanda FIB UI. Cornelis Chastelein menjadi sosok penting dalam pembangunan tanah Depok. Dia lahir pada 10 Agustus 1657 di Rokin, Amsterdam dari pasangan keluarga Prancis-Belanda yang berada. Ayahnya, Anthony Chastelein adalah anggota De Heeren Zeventien (Dewan Tujuh Belas) dari kongsi dagang VOC. Ibunya, Maria Cruydenier putri walikota Dordrecht. Chastelein memulai kariernya pada usia 18 tahun sebagai pemegang tatabuku kongsi dagang VOC yang bertugas di Hindia Belanda. Dia kemudian sohor sebagai pedagang tajir. Di masa senjanya, Chastelein membangun tanah koloninya sendiri. Dalam Jejak-Jejak Masa Lalu Depok: Warisan Cornelis Chastelein (1657—1714) , Jan-Karel Kwisthout menguak sepak terjang Chastelein dalam mengelola tanah perawan yang kemudian dikenal dengan nama Depok. Untuk mengelola tanah Depok yang subur, Chastelein mendatangkan sejumlah budak yang berasal dari Bali, Makassar, Malaka, hingga Sri Lanka. Beberapa produk natura unggulan dihasilkan, seperti: indigo, coklat, sirsak, nangka, dan belimbing. Buah terakhir menjadi maskot kota Depok hingga saat ini. Nama Depok sendiri merujuk dari bahasa Belanda De Eerste Protestantse Organisatie van Kristenen yang berarti Organisasi Kristen yang Pertama. Menurut Kwisthout, negeri Depok merupakan eksperimen dari Chastelein yang ingin melanggengkan kekuasaan lewat pendekatan humanis dan agama. Namun, dalam perkembangannya, nama Depok memiliki cerita lain. “Ada istilah Padepokan, diambil dari bahasa Sunda yang berarti pertapaan, merujuk Depok sebagai tempat pertapaan. Depok ditafsirkan pula sebagai Daerah Pemukiman Orang Kota,” kata Lilie.  Menjelang mangkat, Chastelein mewariskan tanah Depok kepada para budaknya. Dalam surat wasiat bertanggal 13 Maret 1714, tanah warisan itu diamanatkan dalam bentuk kepemilikan bersama. Wasiat itu menerangkan pula, setelah Chastelein meninggal, 150 orang hambanya yang mengerjakan tanah pertanian Depok akan dimerdekakan. Baik Kristen atau Muslim mereka memperoleh kebebasan. Bacas, Iskah, Jacob, Jonathans, Josef, Laurens, Leander, Loen, Samuel, Soedira, Tholense, dan Zadok. Dua belas nama tersebut adalah nama marga keluarga yang menjadi penduduk asli tanah Depok. Bermula dari 150 budak yang dimerdekakan oleh tuan mereka, Cornelis Chastelein. Bagi yang telah memeluk Kristen, mereka diharuskan memilih salah satu dari 12 marga yang ditetapkan Chastelain, yang mengacu kepada 12 murid Yesus. Chastelein meninggal pada 28 Juni 1714 di Batavia akibat wabah epidemi. Sejak saat itu budak kuli pertanian yang mewarisi tanah Chastelein hidup sebagai orang merdeka. Mereka kemudian menjadi penduduk asli Depok yang lebih dikenal sebagai Belanda Depok. Komunitas ini hidup secara turun-temurun dengan sistem pemerintahan yang diwariskan Chastelein. Pemerintahan di Depok dipimpin oleh seorang kepala yang disebut presiden dan dibantu tujuh anggota dewan penasihat. Mereka dipilih lewat mekanisme pemilihan umum yang dilangsungkan tiga tahun sekali. Setelah dua abad lamanya hidup tentram dan makmur, petaka menerpa komunitas Belanda Depok. Mereka menjadi korban gejolak revolusi pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Mereka harus mengalami teror dan penjarahan yang dikenal dalam peristiwa “Gedoran Depok” karena dianggap sebagai sisa-sisa rezim kolonial. Beberapa keluarga keturunan Belanda Depok ini masih ada hingga sekarang. Setelah melebur ke dalam Republik Indonesia pada tahun 1952, mereka mendirikan Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC). Yayasan ini mengelola situs sejarah Depok tempo dulu seperti gereja, pemakaman, sekolah, dan kegiatan sosial. YLCC berbasis di kawasan yang kini dikenal sebagai Depok Lama.*

  • Benarkah Boedi Oetomo Anti-Islam?

    PADA 3 Desember 2018, Babeh Haikal Hassan mencuit: “Aksi 2018 ini mrpkn ultah seratus tahun dari aksi thn 1918, saat boedi oetomo sang penghina Nabi Muhammad (dinobatkan sbg pahlawan?) didemo besar2an oleh semua elemen. Ingat, boedi oetomo bilang Nabi Muhammad pemabuk & pezina dlm buletin Djawi Hisworo , 11 Jan 1918.” Banyak yang setuju dengan cuitan keliru itu. Padahal, penghina Nabi Muhammad bukan Boedi Oetomo (organisasi bukan orang) tapi Djojodikoro yang menulis “Pertjakapan antara Marto dan Djojo” di Djawi Hiswara , 9 dan 11 Januari 1918. Tulisan itu dimuat oleh redakturnya, Martodharsono. Tulisan itu menyulut kemarahan dan demonstrasi karena memuat kalimat “Gusti Kandjeng Nabi Rasoel minoem A.V.H. Gin, minoem opium dan kadang soeka mengisep opium.” Setelah viral dan banyak yang mengoreksi, Babe Haikal Hassan kembali mencuit: “1. Lagi baca-baca ulang ttg boedi oetomo... Confirm , 100% merupakan ‘kompetitor’ gerakan Islam dan menghina Nabi Muhammad....” dengan menyebut sumber: “(Api Sejarah - Ahmad mansur suryanegara), (Sang Pemula - Pramoedya ananta toer), (Rangkaian Mutu Manikam - Amir Hamzah Wirjosukarto).” Boedi Oetomo dan Islam Boedi Oetomo didirikan oleh para pelajar Stovia (Sekolah Kedokteran untuk Bumiputera) pada 20 Mei 1908. Namun kemudian kepemimpinannya diambil alih kalangan priayi. Dalam kongres pertamanya diputuskan bahwa Boedi Oetomo akan tampil sebagai sebuah organisasi sosial-budaya, tetapi apabila perlu akan menempuh cara-cara politik untuk mencapai cita-citanya. Namun, sebagian besar peserta menafsirkan bahwa Boedi Oetomo bukanlah organisasi politik. Kendati demikian, tanggal pendirian Boedi Oetomo kemudian ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.  Boedi Oetomo juga tidak akan mencampuri urusan adat. Kendati netral terhadap agama, usulan untuk merebut simpati dari kalangan umat Islam pernah disampaikan Mohammad Tahir pada kongres kedua, Oktober 1909. Dia mengusulkan agar masjid-masjid di Batavia diberi bantuan keuangan. Menurut Akira Nagazumi, sejarawan asal Jepang, usul yang tidak pernah dilaksanakan oleh pimpinan organisasi itu delapan tahun kemudian dalam kongres (5-6 Juli 1917), bukan hanya didengungkan kembali melainkan diperluas. Sebab para pimpinan menyimpulkan salah satu alasan kegagalan Boedi Oetomo memperoleh dukungan massa adalah sikapnya yang netral terhadap agama. Untuk pertama kalinya para pemimpin Boedi Oetomo dengan terbuka mempersoalkan sikap netral terhadap agama karena dihadapkan dengan keberhasilan luar biasa Sarekat Islam yang dengan terang-terangan mendukung agama Islam. Kepada sidang kongres, Badan Pengurus mengajukan: “Boedi Oetomo bertujuan menyokong Islam tanpa mengganggu kebebasan beragama, membuat peraturan tentang anggaran masjid untuk membayar penghulu (pejabat pimpinan masjid) dan personel masjid lainnya, mengurus lebih baik pesantren (pusat-pusat pendidikan agama untuk mempelajari Islam tingkat lanjutan), dan mendirikan lembaga-lembaga yang memberikan pendidikan tingkat menengah dalam tradisi Islam dan mata pelajaran lain sehubungan dengannya.” “Dengan demikian, jelaslah usul untuk memasuki dunia pendidikan pesantren, dan pendidikan Islam tingkat lanjutan, menunjukkan tujuan pengurus yang hendak meningkatkan persaingannya terhadap Sarekat Islam,” tulis Akira Nagazumi dalam Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Boedi Oetomo 1908-1918 . Buku ini diangkat dari disertasinya di Universitas Cornell, Amerika Serikat, tahun 1967. Sayangnya, usulan Badan Pengurus itu tak diterima peserta kongres. Mereka ingin tetap mempertahankan sikap netral terhadap agama. Kongres pun memutuskan “mengenai masalah agama, organisasi berniat menghormati dipertahankannya kebebasan beragama.” Soetomo, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama Kendati secara organisasi netral dan mendukung kebebasan beragama, Boedi Oetomo berperan dalam mendorong pendirian organisasi Islam Muhammadiyah. “Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh Kiai Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang anggota Boedi Oetomo untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen,” tulis Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 . Buku ini berasal dari disertasinya di Universitas Cornell, Amerika Serikat, tahun 1963. Sementara itu, pendiri Boedi Oetomo yang dekat dengan Muhammadiyah adalah dr. Soetomo. Setelah keluar dari Boedi Oetomo, dia mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) di Surabaya pada 11 Januari 1924. Dua tokoh organisasi Islam terkemuka yang bergabung dengan ISC adalah KH Mas Mansyur (ketua Muhammadiyah 1937-1943) dan KH Abdul Wahab Chasbullah (pendiri Nahdlatul Ulama). Menurut Darul Aqsha dalam biografi Kiai Haji Mas Mansur, 1896-1946: Perjuangan dan Pemikiran, Mas Mansyur bersahabat baik dengan Soetomo. Kedua tokoh ini kerap terlibat diskusi mengenai filsafat dan pergerakan. Selain ISC, Soetomo juga mendirikan Yayasan Kuliah Islam Surabaya. Ini menunjukkan perhatiannya terhadap pengembangan pemikiran Islam. Abdul Munir Mulkhan, guru besar UIN Sunan Kalijaga, menyebut Soetomo dan pengurus Boedi Oetomo lain, seperti Dwidjosewojo dan Sosrosugondo, terlibat aktif dalam berbagai kegiatan Muhammadiyah. “Dr. Soetomo-lah yang memelopori berdirinya Rumah Sakit Muhammadiyah yang pertama di Yogyakarta pada 1923 (kini dikenal sebagai RS PKU). Satu tahun kemudian, dr. Soetomo membuka lembaga yang sama di Surabaya,” tulis Abdul Munir Mulkhan dalam Moral Politik Santri: Agama dan Pembelaan Kaum Tertindas. Selain dengan Muhammadiyah, Soetomo juga dekat dengan kalangan Nahdlatul Ulama. Dia punya gagasan menarik tentang pesantren. “Apresiasi positif dr. Soetomo terhadap pesantren karena relasi sosial dengan individu-individu yang kemudian dikenal sebagai pemrakarsa NU, yaitu Kiai Abdul Wahab Chasbullah, yang pernah terlibat aktif di ISC,” tulis Choirotun Chisaan dalam Lesbumi: Strategi Politik Kebudayaan. Buku ini diangkat dari tesisnya di program magister religi dan budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Menurut Soetomo pesantren yang menggunakan sistem pondok membuahkan keuntungan ganda: memberi pengajaran yang murah sekaligus memelihara jiwa dan sukma anak didik. Dalam konteks inilah dia mendorong pengadaan sekolah-sekolah dengan menggunakan sistem pondok atau pesantren terutama di kota-kota besar. “Nilai lebih pesantren, demikian dr. Soetomo menekankan, terletak pada fungsinya sebagai penyebar kecerdasan batin,” tulis Choirotun Chisaan. “Bagi dr. Soetomo, pesantren yang dicitrakan ‘Timur’ sudah seharusnya hadir di kota-kota besar. Hal itu dimaksudkan untuk menjadi alternatif dan imbangan atas keberadaan sekolah-sekolah yang didominasi oleh sistem pengajaran yang dicitrakan ‘Barat’.”

bottom of page