Hasil pencarian
9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Berdiri Menyanyikan Indonesia Raya
KETUA Majelis Mujahidin Indonesia Irfan S. Awwas menolak berdiri saat peserta Kongres Umat Islam VI di Yogyakarta menyanyikan lagu Indonesia Raya , Rabu (11/2) lalu . Dia memilih menyanyi sambil duduk. Dia beralasan tak ada aturannya. Menurutnya, seperti dikutip tempo.co , berdiri saat menyanyikan lagu kebangsaan adalah sikap yang dibuat-buat. Bahkan dia menuding mereka yang berdiri menyanyikan Indonesia Raya sebagai pengkhianat. Lagi Indonesia Raya diciptakan Wage Rudolf Supratman. Dia kali pertama memperdengarkan lagu itu melalui gesekan biolanya pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, dan sebuah pertunjukan kesenian. “Pada kesempatan kedua itu beberapa orang mulai berdiri menghormati ketika Indonesia Raya dinyanyikan,” tulis St. Sularto, “Wage Rudolf Supratman Menunggu Pelurusan Fakta Sejarah,” Prisma , 5 Mei 1983. Lagu Indonesia Raya kali pertama dinyanyikan pada pembubaran panitia Kongres Pemuda II, Desember 1928. Penyanyinya Theodora Athia, biasa dipanggil Dolly, anak sulung Haji Agus Salim. Mendengarkan lagu itu dengan spontan para hadirin berdiri dan ikut menyanyi. Lagu Indonesia Raya kembali dinyanyikan pada konges kedua Partai Nasional Indonesia (PNI) di Jakarta, 18-20 Desember 1929. Untuk memeriahkan kongres, Supratman diminta memperdengarkan lagu Indonesia Raya dengan gesekan biolanya bersama suatu orkes. “Ketika lagu kebangsaan itu hendak dimulai, maka lebih dahulu Bung Karno selaku Pemimpin Umum P.N.I. menyerukan: ... ‘semua hadirin diminta berdiri, untuk menghormat lagu kebangsaan Indonesia Raya ’,” tulis Oerip Kasansengari dalam Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan W.R. Soepratman Pentjiptanja . “Sejak itu hingga pada saat ini dan seterusnya apabila lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan, maka selalu dihormati dan dinyanyikan dengan berdiri.” Menurut Sularto, hampir serentak peserta kongres PNI berdiri dan menyanyi, mengikuti koor dan iringan biola Supratman sebagai tanda penghormatan pada Indonesia Raya . Kongres juga menetapkan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Penetapan ini dikukuhkan dalam Kongres Rakyat Indonesia yang digelar Gabungan Politik Indonesia (Gapi) pada Desember 1939. Lagu Indonesia Raya pun segera populer dan dinyanyikan kaum bumiputera, sampai-sampai Supratman mencetaknya dalam lembaran stensilan. Bukan hanya PNI. Sejak diterima kongres pemuda, lagu Indonesia Raya biasa dinyanyikan dalam pembukaan sidang partai-partai politik. Tak senang dengan kebiasaan itu, pemerintah kolonial mengeluarkan larangan kepada semua pegawai negeri yang menghadiri rapat partai politik berdiri tegak sebagai tanda penghormatan selama diperdengarkan lagu Indonesia Raya . Biasanya hadirin dipersilakan berdiri sebelum Indonesia Raya dinyanyikan. Para pegawai yang hadir mencari akal untuk menghindari pelanggaran terhadap larangan tersebut. “Mereka tetap berdiri sebelum dipersilakan. Dengan jalan demikian, mereka tidak melanggar larangan pemerintah menghormati lagu Indonesia Raya sebagaimana mestinya. Itulah penyabotan secara halus terhadap larangan pemerintah kepada para pegawai untuk menghormati lagu Indonesia Raya . Dengan akal halus yang demikian, pelaksanaan larangan itu menemui kegagalan,” tulis Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional Volume 1 . Berlebihan bila menuding berdiri menyanyikan lagu Indonesia Raya sebagai pengkhianat.
- Pertokoan Mati di Cikini
PAGI hingga sore, pertokoan Hias Rias Cikini sepi. Namun, di malam hari, halaman depan pertokoan tua tersebut ramai oleh para pedagang yang berjualan ragam kuliner. Mereka menjajakan makanan dan minuman di tenda-tenda lesehan. Firman Lubis dalam Jakarta 1950-an mengenang, pertokoan Hias Rias Cikini dibangun di atas lahan bekas Pasar Cikini lama yang pindah ke Pasar Cikini baru yang kini menjadi perkantoran, pertokoan emas, Pasar Kembang, serta pasar kebutuhan pokok yang berada di basement Cikini Gold Center. Pertokoan Hias Rias Cikini dibangun awal 1960-an pada masa Gubernur DKI Jakarta Soemarno Sosroatmodjo. Pemerintah daerah (pemda) bekerjasama dengan pihak swasta gencar melakukan pembangunan, terutama untuk menunjang kegiatan ekonomi. Soemarno membentuk Panitia Pembangunan Pasar dan Toko sebagai upaya mendorong pertumbuhan perdagangan eceran. Panitia tersebut diketuai H. Tb. Mansur. Dalam otobiografinya, Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya , Soemarno menjelaskan, proyek pembangunan pertokoan didanai pemda dan dikelola Bank Pembangunan Daerah (BPD), yang baru berdiri dengan modal dari pemda dan perusahaan asuransi Bumiputera. Sementara itu, menurut buku Jakarta: 50 Tahun dalam Pengembangan dan Penataan Kota yang disusun Dinas Tata Kota DKI Jakarta, pembangunan pertokoan Hias Rias Cikini sendiri dilaksanakan PN Pembangunan Perumahan. Pada masa kejayaannya, pertokoan yang berada tak jauh dari Stasiun Cikini ini menjadi salah satu pusat butik pakaian, sepatu, dan alat-alat kecantikan. Selain itu, terdapat pula toko eceran dan sarana perbankan sebagai penunjang. Memasuki tahun 1990-an, maraknya pusat perbelanjaan modern mematikan pusat pertokoan lama, termasuk Hias Rias Cikini, yang kalah bersaing. Kini, pertokoan Hias Rias Cikini tak lagi beraktivitas. Bangunan tua yang tidak terawat itu hanya menyisakan poster-poster iklan dan papan neonbox toko yang tak lagi menyala. Rencananya, pertokoan ini akan diperbaiki untuk kemudian dijadikan kantor PD Pasar Jaya yang sejak berdiri tahun 1966 menjadi pemegang wewenang pengurusan pasar serta fasilitas perpasaran di wilayah DKI Jakarta.
- Nurtanio, Patriot Udara Indonesia
PADA 1 Agustus 1959, FAR Eastern Aero Technical Institute (FEATI), Manila, Filipina, memberi penghargaan kepada alumninya asal Indonesia, Kolonel Nurtanio Pringgoadisurjo, berupa Distinguish Achievement Medal. Penghargaan disematkan Wakil Presiden FEATI G.Y. Zara. “Keahlian dan prestasi yang ditunjukkan oleh Kolonel Nurtanio telah membangkitkan rasa bangga, bukan saja bagi rakyat Indonesia, bahkan juga bagi rakyat-rakyat Asia umumnya serta mengangkat tinggi martabat dan gengsi bangsa Indonesia khususnya,” ujar Zara, diberitakan majalah Varia , Januari 1965. Nurtanio lahir di Kandangan, Kalimantan Selatan, pada 3 Desember 1923. Sejak kecil, dia tertarik dunia teknik. Dia memilih keluar saat duduk kelas dua Algemeene Middlebare School (AMS) atau sekolah menengah atas di Semarang pada 1940 untuk masuk Sekolah Teknik (Instituut voor Electrotechnisch Vak Onderwijs/IVEVO). Dia lulus pada 1945. Nurtanio bergabung dengan AURI pada Desember 1945. Dengan pangkat Opsir Muda Udara setara Letnan Udara II, dia ditempatkan pada bagian Rentjana/Konstruksi di Maospati, Madiun. Bersama Wiweko Soepeno –kelak menjadi pionir pencipta pesawat berkokpit tiga awak– dan J. Sumarsono, dia mengubah gudang kapuk di Magetan menjadi bengkel. Di tempat inilah mereka menghasilkan pesawat layang Zogling dengan kode NWG-1 (Nurtanio-Wiweko Glider). Nurtanio sukses mengujicoba pesawat tersebut. Melihat bakat dan tekad Nurtanio, AURI mengirimnya ke Filipina pada Juli 1948. Dua tahun kemudian, setelah menggondol Bachelor in Aeronotical Science dari FEATI, dia kembali ke tanah air dan pindah tugas ke Djawatan Tehnik Udara di lanud Husein Sastranegara dengan pangkat letnan I. Pada 1954, Nurtanio berhasil membuat Si Kumbang, pesawat dalam negeri pertama yang bahannya seratus persen logam. Pesawat tempur antigerilya itu diproduksi tiga buah. Tes terbang perdananya pada 1 Agustus 1954. “Si Kumbang diterbangkan untuk pertama kalinya oleh seorang ‘test pilot’ profesional berkebangsaan Amerika,” tulis Chappy Hakim dalam Awas Ketabrak Pesawat. Nurtanio menciptakan pesawat latih Belalang pada 1958 untuk pendidikan penerbangan. Dia menguji terbang pada 26 April 1958. Dia memperbaiki kekurangan-kekurangannya sehingga kecepatannya mencapai 144 km per jam. Setelah itu, tiga Belalang diproduksi dan dikirim ke sekolah penerbangan AU di Yogyakarta dan Curug, Tangerang, dan sekolah penerbangan AD di Semarang. PAda tahun yang sama, Nurtanio juga menciptakan pesawat Si Kunang untuk olahraga. Pesawat berbadan kayu ini menggunakan mesin Volkswagen 25HP berkapasitas 1190cc. Eksperimen Nurtanio berlanjut dengan beberapa pesawat ciptaannya seperti Gelatik, Benson ( gyrocopter ), dan helikopter Kepik. Pencapaian itu berbanding lurus dengan kariernya. Setahun setelah pulang dari Filipina, dia memegang berbagai jabatan: mulai dari kepala Djawatan Tehnik Udara sampai anggota Dewan Perancang Nasional. Bersama beberapa perwira AURI lain, seperti Wiweko Soepono dan Halim Perdanakusuma serta dibantu Prof. Rooseno, dia membenahi tata kepangkatan AURI. Atas pencapaian-pencapaian itu, Kementerian Pertahanan memberinya penghargaan pada 17 Februari 1959. Sewaktu Menteri/KSAU Suryadi Suryadarma membentuk Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (Lapip) pada 1 Agustus 1960, Nurtanio menjadi salah satu pendirinya. Bersama perwira-perwira lain dari berbagai angkatan, dia juga dipercaya membesarkan Panitia Industri Angkatan Perang yang didirikan KASAB Nasution. Nurtanio merintis kerjasama dengan berbagai pihak, yang terpenting dengan CEKOP, pabrik pesawat terbang Polandia. Kontrak kerjasama itu berjalan setelah pemerintah membentuk Komando Pelaksana Proyek Industri Pesawat Terbang (Kopelapip) –terdiri dari Lapip dan PN Industri Pesawat Terbang Berdikari– pada 1965. Kesepakatan dalam kontrak kerjasama itu meliputi pembangunan pabrik, pelatihan karyawan, dan lisensi produksi pesawat PZL-104 Wilga. Selain dengan CEKOP, Kopelapip juga bekerjasama dengan Fokker, perusahaan pesawat terbang Belanda. Kopelapip memproduksi pesawat Gelatik, nama Indonesia PZL-104 Wilga yang diberikan Presiden Sukarno, sebanyak 44 unit. Meski mengotaki beberapa pesawat buatan dalam negeri, Nurtanio tetap rajin menerbangkan pesawat. Bahkan, dia bercita-cita terbang nonstop Sabang-Merauke. Pada 21 Maret 1966, dia dan kopilot Soepadio mengudara dengan Super Aero-45, berkeliling kota Bandung. Namun baru tiga menit di udara, satu mesin tiba-tiba mati sehingga pesawat kehilangan tenaga. Pesawat menghantam bangunan dan pecah berkeping-keping. Nurtanio dan Soepadio tewas seketika. Dunia penerbangan kehilangan dua pionir penerbangannya. B.J. Habibie, yang kemudian dipercaya pemerintahan Soeharto mengembangkan industri penerbangan, mengabadikan nama Nurtanio untuk lembaga yang dipimpinnya: Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio (LIPNUR).
- Sitor Situmorang Kembali ke Tanah Kelahiran
Tiba di Indonesia Senen lalu (29/12), jenazah penyair Sitor Situmorang disemayamkan di Galeri Nasional, Jalan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, sebelum dibawa ke tanah kelahirannya. Kerabat, rekan seniman, dan menteri menyambut jenazahnya. Menteri Kebudayaan dan Pendidikan Dasar dan Menengah Anies Baswedan mengatakan Sitor Situmorang adalah salah satu tokoh yang terimbas pertarungan ideologi di Indonesia pada 1960-an. Meski demikian, kepulangan jenazahnya ke Indonesia menjadi penyatu dari perbedaan. “Pikiran boleh beda, ideologi boleh beda. Dan kita di sini untuk menghormati Sitor. Atas nama pemerintah Indonesia, kami menyampaikan duka mendalam,” ujar Anies. Setelah sambutan Anies, sahabat dan rekan bergantian mengucap kata perpisahan. Sukmawati Sukarnoputri, putri Sukarno, membacakan puisi Sitor yang ditujukan kepada ibunya Fatmawati berjudul "Jakarta Dinihari 17 Agustus 45": … Lama didambakan/menjadi kenyataan/wajar, bebas/seperti embun/seperti sinar matahari/menerangi bumi/di hari pagi/Kemanusiaan/Indonesia Merdeka/17 Agustus 1945 . Sitor lahir pada 2 Oktober 1923 di Harianboho, Tapanuli Utara, Sumatra Utara. Pendidikannya sekolah dasar pribumi (Hollands Inlandse School) di Sibolga, sekolah menengah pertama (Meer Uitgebreid Lager Ondewijs) di Tarutung, dan sekolah menengah atas (Algemeene Middelbare School) di Jakarta. Pada awal kemerdekaan, Sitor memulai karier sebagai wartawan. Pada 1947, dia menjadi pemimpin redaksi harian Waspada di Medan. Saat bekerja di Waspada , dia bertugas sebagai koresponden untuk mengikuti perundingan Indonesia-Belanda di Yogyakarta pada 1948. Dia terseret dalam revolusi kemerdekaan ketika agresi Belanda II. Dia ditangkap Belanda dan dibui di penjara Wirogunan, Yogyakarta. Pada 1950, Sitor pergi ke Belanda dan tinggal di Amsterdam selama setahun. Lalu dia bekerja di kedutaan Indonesia di Paris. Sekembalinya ke Indonesia pada 1953, dia melahirkan banyak puisi. Dia menerbitkan antologi puisi Surat Kertas Hidjau (1953) dan setahun kemudian antologi puisi Dalam Sadjak dan Wadjah Tak Bernama . Puisi “Lagu Gadis Itali” dalam Surat Kertas Hidjau , melukiskan keindahan teluk Napoli. Penyair Taufik Ismail membuktikan sendiri keindahan teluk itu saat berkesempatan ke Amerika Serikat, sekira September 1956. “Kelas 3 SMA dapat beasiswa ke Amerika. Ke sana naik kapal laut, kemudian bertukar kapal di Napoli. Begitu masuk Napoli, buku Sitor saya pegang, dan saya baca. Indah sekali,” kenang Taufik kepada Historia . Taufik, yang pernah berseberangan ideologi, merasa kehilangan Sitor. Menurut Maman S. Mahayana dalam Akar Melayu , ciri khas puisi-puisi Sitor adalah tema-tema yang menggambarkan keterasingan dirinya dalam memasuki kembali dunia masa lalunya. “Sitor merasa keasingan dan kesepian yang mendalam, seperti bunga di atas batu/dibakar sepi (“Bunga”) atau sunyi terbagi/jadi percakapan seorang diri/antara mata (“Kawan”). Beberapa puisi pendeknya juga mengisyaratkan hal demikian,” tulis Maman. Tidak hanya puisi, Sitor juga menulis drama berjudul Jalan Mutiara (1954). Cerpennya Pertempuran dan Salju di Paris (1956) memperoleh penghargaan Hadiah Sastra dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional pada 1955-1956. Sitor kemudian berpolitik praktis. Dia menjadi anggota Partai Nasional Indonesia (PNI), dan pada 1959 membentuk dan memimpin Lembaga Kebudayaan Nasional, underbouw PNI. Hal ini, menurut Ajip Rosidi, mempengaruhi karya-karyanya. "Kelincahan dan kemerduan yang tadinya terdapat dalam sajak-sajaknya diganti dengan bahasa bombastis dan slogan-slogan murah. Hal mana nampak sekali dalam sajak-sajaknya yang terkumpul dalam kumpulan yang berjudul Zaman Baru (1962)," tulis Ajip dalam Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia . Pasca Gerakan 30 September 1965, Sitor yang Sukarnois dipenjara selama delapan tahun (1967-1975) oleh rezim Orde Baru tanpa pengadilan. “Bapak mertua saya selalu menceritakan sosok Sitor Situmorang. Kalau tidak salah dia juga mendorong pembebasan Sitor dari penjara,” kenang Nano Riantiarno, pendiri teater Koma yang juga menantu tokoh nasionalis Abdul Madjid. Usai dibebaskan, Sitor kembali berkarya. Kumpulan puisinya Dinding Waktu terbit pada 1976. Kumpulan sajaknya Peta Perjalanan (1977) mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta (1976-1977). Sejak 1984 Sitor bermukim di Belanda bersama istri keduanya, Barbara Brouwer. Sesekali kembali ke Indonesia. Dia masih terus menulis hingga usia 80-an. Dia meninggal dunia pada 21 Desember lalu dan akan dimakamkan sesuai wasiatnya dalam sajak "Tatanan Pesan Bunda": Bila nanti ajalku tiba/ Kubur abuku di tanah Toba/ Di tanah danau perkasa/ Terbujur di samping Bunda.
- Mahatma Gandhi, Pejuang tanpa Kekerasan
Mohandas Karamchand Gandhi lahir pada 2 Oktober 1869 di Porbandar, Gujarat, sebelah barat India. Ayahnya menjabat perdana menteri di negara bagian tersebut, dan keluarganya banyak bekerja untuk pemerintah kolonial Inggris. Semasa kecil hingga beranjak remaja, Gandhi dikenal penakut. Dia takut ular, hantu, pencuri dan kegelapan. Sebagai penganut Hindu Waisnawa yang memuja Rama, dia diajarkan oleh Rambha, pembantu setianya, agar menyebut nama Rama untuk mengatasi ketakutan. “Penangkal yang efektif mengatasi ketakutan,” tulis Pascal Alan Nazareth dalam Keagungan Kepemimpinan Gandhi . Di usia 13 tahun, Gandhi menikahi Kasturba, gadis sekampungnya dan dikarunia empat anak laki-laki: Harilal, Manilal, Ramdas, dan Devdas. Lazimnya keturunan keluarga bangsawan –yang mendapatkan akses dari pemerintah kolonial–pada 1889 Gandhi berangkat ke Inggris. Dia kuliah ilmu hukum di Universitas College, London. Setelah lulus pada 1893, dia pulang ke India untuk menjadi pengacara. Karena sifat penakutnya, Gandhi gagal total dalam berdebat kasus pertamanya di pengadilan. “Saya berdiri, namun hati saya tenggelam hingga ke sepatu bot saya,” kenang Gandhi dalam Mahatma Gandhi: Sebuah Otobiografi . Semenjak itu, dia tidak pernah lagi pergi ke pengadilan sampai akhirnya merantau ke Durban, wilayah koloni Inggris di Afrika Selatan pada 1893. Alam Afrika yang liar mengubah Gandhi yang penakut jadi pemberani. Titik tolaknya, baru sepuluh hari di sana, dia dilempar keluar dari keretapi dalam perjalanan Durban-Johannesburg. Padahal, dia memiliki tiket kelas pertama dan berpakaian rapi. Salahnya, dia duduk di gerbong khusus kulit putih. Peristiwa itu, serta buku-buku yang dibacanya, antara lain Bhagawad Gita , Song Celestial karya Edwin Arnold, The Kingdom of God is Within You karya Tolstoy, Unto This Last karya John Ruskin dan Civil Disobedience karya Henry David Thoreaus, sedikit banyak mempengaruhi pikirnya. Gandhi terjaga. “Dia mengorganisir orang India yang tinggal di Afrika,” kata Gurjit Singh, duta besar India untuk Indonesia dalam acara “Celebrate Gandhi Jayanti–International Day of Non Violence” di Gandhi Memorial Intercontinental School, Jakarta, 2 Oktober 2014. Akumulasi dari pergerakan antidiskriminasi yang digagasnya terlihat pada 11 September 1906. Dalam rapat raksasa di lapangan umum kekaisaran di Johannesburg itu, Gandhi mendeklarasikan perjuangan tanpa kekerasan. Baginya, perjuangan tanpa kekerasan adalah senjata yang benar-benar berani. Menjadi budak dari rasa takut adalah bentuk terburuk dari perbudakan. Inilah cikal bakal gerakan Satyagraha yang legendaris itu. “Satyagraha adalah damai,” tulis Pascal. “Satyagraha merupakan latihan kekuatan, tidak melalui kekuasaan atas orang lain melainkan kekuasaan atas diri sendiri.” Satyagraha kali pertama dikumandangkan Gandhi secara terbuka pada Juli 1907. Nama kelompok ini mendunia ketika suratkabar ramai memberitakan aksi mereka pada September 1913. Kala itu, Gandhi memimpin pawai lebih dari duaribu massa Satyagraha ke Provinsi Transvaal. Di saat bersamaan, buruh perusahaan batubara Newcastle, mogok. Mereka protes terhadap keputusan Mahkamah Agung Transvaal bahwa pernikahan Hindu, Muslim dan Parsi tidak diakui. Juni 1914, tuntutan Gandhi dipenuhi. Pemerintah juga menghapuskan pajak tiga pound tahunan yang diberlakukan kepada buruh kontrak India. Nama Gandhi dan lakon perjuangannya sampai juga ke tanah Jawa. Tak sedikit kaum pergerakan kemerdekaan Indonesia terilhami perjuangannya. Sukarno mempelajari dan mencontoh perjuangan Gandhi. Bahkan, Mohammad Hatta pernah dijuluki “Gandhi dari Jawa.” Duapuluh tahun Gandhi berjibaku di Afrika sebelum kembali ke India dan lebur dalam perjuangan kemerdekaan India. Ketika India merdeka pada 1947, Gandhi termasuk orang yang tidak setuju India dibelah dua: Islam ke Pakistan, Hindu di India. Gandhi meninggal di New Delhi pada 30 Januari 1948 dalam usia 78 tahun. Kematiannya simpang siur. Ada versi yang menyebut dia kena serangan jantung. Ada pula yang menyebut dia dibunuh oleh seorang lelaki karena menganggap Gandhi terlalu berpihak kepada kaum muslim.
- Cerita Panji di Candi Miri Gambar
SEMULA penduduk desa Miri Gambar, kecamatan Kali Dawir, Tulungagung selatan, meyakini relief pada panel Candi Miri Gambar menceritakan Anglingdharma , kisah seorang raja yang mengerti bahasa hewan. Hal itu disandarkan dari relief pada dinding teras II yang memuat adegan cerita binatang. Keyakinan itu diperteguh hasil identifikasi Maria J. Klokke, arkeolog Belanda, pada 1990, terhadap tiga panel relief dinding II yang menggambarkan adegan hewan: burung bangau, ikan, dan kepiting. Menurutnya dalam The Tantri Relief on Ancient Javanese Candi , adegan itu mungkin berasal dari cerita Tantri Kamandaka . Pada dasarnya Tantri Kamandaka , yang berisi ajaran moral dalam bentuk cerita binatang, merupakan salah satu naskah Jawa berbentuk prosa yang menggunakan bahasa Jawa Tengahan. Naskah ini kemudian diterjemahkan C. Hooykaas ke dalam bahasa Belanda dan diterbitkan dalam Bibliotheca Javanica 2 tahun 1931. Selain Tantri Kamandaka , Agus Aris Munandar, arkeolog Universitas Indonesia, mengatakan terdapat pula cerita Panji yang dipahatkan pada relief di dinding teras I sisi utara bagian depan candi itu. Terdapat empat figur: dua perempuan di tengah saling berhadapan dan dua sosok pria masing-masing berada di belakangnya. Salah satu figur pria yang berada pada bingkai bagian kanan memiliki gambaran khas dengan penutup kepala tekes (mirip blangkon tapi tanpa tonjolan di belakang). Relief itu menggambarkan salah satu episode cerita Panji. Simpulan itu didapatkan setelah membandingkan figur pria dengan penutup kepala tekes dan adegan-adegan sejenis di Candi Gajah Mungkur dan Candi Kendalisada di Mojokerto, Jawa Timur. “Hanya saja belum dapat diidentifikasi secara khusus kisah Panji mana yang menjadi acuannya, mengingat cukup banyak versi cerita Panji yang ada,” tulis Agus Munandar, “Tinjaun Ringkas Candi Miri Gambar,” termuat dalam Catusphata Arkeologi Majapahit . Dari tinggalan arkeologis secara jelas dibuktikan bahwa kisah Panji telah dikenal pada zaman Majapahit. Data itu tersua pada relief cerita pada candi-candi era Majapahit. Belum ditemukan data arkeologis yang lebih tua dari zaman itu. “Relief cerita Panji tertua yang dapat diketahui dipahatkan di Candi Miri Gambar, Tulungagung,” tulis Agus Munandar. Candi Miri Gambar diperkirakan dikenal sejak awal berdirinya Majapahit, dan terus digunakan melampaui zaman kegemilangan, hingga periode awal kemerosotan Majapahit di bawah kekuasaan Wikramawarddhana (1389-1429 M), menantu Hayam Wuruk. N.J. Krom, ahli Jawa Kuno berkebangsaan Belanda, dalam Inleiding tot de Hindoe-Javaansche Kunst , menyatakan pernah ditemukan prasasti tembaga di sekitar Candi Miri Gambar yang menyebut nama raja Wikramawarddhana dari Majapahit, namun prasasti itu tidak pernah diketahui lagi keberadaanya. “Kisah panji yang paling awal sangat mungkin dituliskan dalam zaman keemasan Majapahit atau segera sesudahnya, penyebarannya ke luar Jawa bagian timur sangat mungkin berlangsung di akhir zaman Majapahit dan zaman-zaman sesudahnya,” tulis Poerbatjaraka dalam Tjerita Pandji Dalam Perbandingan . Agaknya sejak zaman keemasan Majapahit terdapat suatu genre susatra baru yang bukan saduran dari epos Ramayana dan Mahabharata India, bukan pula menguraikan kisah para ksatria India, “melainkan kisah tentang para ksatrya Jawa Kuno sendiri, di alam geografi Jawa dan uraian peristiwanya tentang putra-putri raja-raja Jawa, itulah cerita Panji,” tulis Agus Munandar dalam “Makna Kisah Panji” dikutip dari Prosiding Cerita Panji Sebagai Warisan Dunia . Tokoh utama dalam cerita Panji adalah Panji (Inu Kertapati), seorang pangeran dari Jenggala, dan Sekartaji atau Candrakirana, putri kedaton Kadhiri, dengan latar tempat Jenggala, Kadhiri, Urawan, Singasari, dan Gagelang. Nama Panji berasal dari kata panji atau apanji atau mapanji , yang dalam bahasa Jawa Kuna merupakan gelar bangsawan tertinggi. Beberapa tokoh historis yang menggunakan gelar itu ialah Panji Tohjaya, putra Ken Arok dengan Ken Umang, serta Sang Mapanji Angragani, patih Singhasari yang memimpin Pamalayu pada zaman Kretanagara, raja terakhir Singhasari.
- Sarengat yang Melesat
INDONESIA pernah mengalami “zaman perunggu” ketika hanya berhasil meraih medali perunggu dalam ajang Asian Games. Namun semuanya berubah pada 1962. Salah satunya berkat medali emas yang disumbangkan Mohammad Sarengat. Sorip Harahap, penulis buku Asian Games I-X (KONI Pusat, 1987), menyebut “zaman perunggu” untuk merujuk tiga Asian Games yang diikuti Indonesia sebelum 1962. Zaman itu berubah ketika Asian Games IV tahun 1962 di Jakarta. Peringkat Indonesia melonjak dari 14 pada Asian Games III di Tokyo menjadi runner up dengan 11 emas, 12 perak, dan 28 perunggu. Ini melampaui target yang dipatok; hanya lima besar. Sprinter Mohammad Sarengat menyumbangkan dua medali emas dalam cabang lari 100 meter dan lari gawang 110 meter serta perunggu di nomor 200 meter. Selain menjadi pelari tercepat di Asia, dia memecahkan rekor Asia untuk lari gawang 110 meter dengan waktu 14,4 detik dan lari 100 meter dengan 10,5 detik, mematahkan rekor sprinter Pakistan, Abdul Khalik, dengan 10,6 detik pada Asian Games II di Manila, Filipina. “Bertahun-tahun nama Sarengat melegendaris di dunia atletik, dan selalu dikenang oleh bangsa Indonesia,” tulis buku Olahraga Indonesia dalam Perspektif Sejarah 1945-1965. Sarengat lahir di Banyumas, 28 Oktober 1940. Dia menyelesaikan sekolah dasar dan menengah pertama di Pekalongan, lalu melanjutkan sekolah menengah atas di Jakarta. Sejak SD hingga SMA, dia menjadi kiper kesebelasan sepakbola di sekolahnya. Karena jenuh kerap menghuni bangku cadangan di klub Indonesia Muda Surabaya, dia iseng terjun ke atletik. Ternyata di cabang ini bakatnya. Kegigihannya berlatih, apalagi ketika ikut pelatnas untuk Olimpiade 1960, membuatnya tidak lulus SMA pada 1959. Dia baru lulus SMA pada 1961. Menurut Ensiklopedi Jakarta , Sarengat bingung melanjutkan pendidikannya karena masalah biaya. Letnan Jenderal GPH Djatikusumo, mantan kepala staf Angkatan Darat (AD) pertama, menyarankan Sarengat masuk dinas AD. Sarengat pun mendapatkan beasiswa masuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Di tahun pertama tidak naik tingkat karena ikut Asian Games IV. Dia baru menyelesaikan pendidikan dokter pada 1971. Sarengat adalah contoh atlet yang baik. Dia berpretasi dalam bidangnya dan menyelesaikan pendidikan dokter. Sarengat mundur dari gelanggang atletik sejak Ganefo (Games of the New Emerging Forces) pada 1963 di Jakarta. Dia kemudian menjadi dokter tentara AD dengan pangkat terakhir kolonel CKM (Corps Kesehatan Militer). Ketua tim dokter kepresidenan, Brigjen dr. Rubyono Kertapati, mengusulkan tiga dokter, salah satunya Sarengat, sebagai dokter pribadi Wakil Presiden Sultan Hamengkubuwono IX (1973-1978) dan kemudian Wakil Presiden Adam Malik (1978-1983). Selepas itu, Sarengat kembali berkiprah dalam dunia keolahragaan. Kali ini, dia sebagai ketua bidang pembinaan prestasi PB PASI (Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia) dan sekretaris jenderal KONI Pusat (1986-1990). Di juga pernah menduduki kursi anggota MPR RI tahun 1987. Sarengat mendirikan Sports Campus Wijaya Kusuma (SCWK), klinik rehabilitasi pengguna narkoba. Klinik ini dia bangun setelah anak lelakinya terjerat narkoba dan berhasil disembuhkan. “Sebagai ungkapan terima kasih kepada Tuhan Yang Mahaesa karena telah menyelamatkan anak saya, saya akan mendedikasikan hidup untuk membantu dan mencegah orang lain menjadi korban penyalahgunaan narkoba,” kata Sarengat, dikutip The Jakarta Post , 19 Oktober 2001. SCWK menekankan pentingnya olahraga sebagai bagian penting dari proses rehabilitasi. Penghuni klinik dapat memilih olahraga basket, sepakbola, bolavoli, tenis, dan beladiri. “Kami sangat percaya pada filsafat mensana in copore sano (jiwa yang sehat berada dalam badan yang sehat),” kata Sarengat. Pada 2009, Sarengat terserang stroke dan komplikasi penyakit. Dia, yang pernah menjadi manusia tercepat di Asia, wafat pada 13 Oktober 2014.
- Riwayat Nama Ruang dan Gedung Parlemen
SEJAK era reformasi, nama-nama gedung di kompleks DPR/MPR bernama Nusantara I sampai V. Pada masa pemerintahan Soeharto, yang kental dengan nuansa Jawa, nama-nama gedung dan ruangan itu berasal dari Sanskerta. Gedung DPR/MPR dibangun atas perintah Sukarno. Semula ditujukan untuk penyelenggaraan Conference of the New Emerging Forces (Conefo). Proyeknya digarap pemenang sayembara, yaitu tim dari Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik yang dipimpin Sujudi Wirjoatmodjo, arsitek jebolan Technische Universitat Berlin Barat. Pemancangan tiang pertama pada 19 April 1965. Pembangunan terhenti karena meletus peristiwa Gerakan 30 September 1965. Pada 9 November 1966, Soeharto, sebagai ketua Presidium Kabinet Ampera, menginstruksikan untuk melanjutkan proyek gedung Conefo, namun peruntukkannya akan menjadi gedung parlemen. Keputusan ini diambil setelah proyek peremajaan gedung DPR GR di Lapangan Banteng, terhenti. Menteri Pekerjaan Umum menerjemahkan instruksi Soeharto dengan membubarkan Komando Proyek New Emerging Force dan membentuk badan pelaksana bernama Proyek Pembangunan Gedung DPR/MPR RI. Secara bertahap, pembangunan gedung selesai dan diserahkan kepada Sekretariat Jenderal DPR: Main Conference Building pada Maret 1968, Secretariat Building dan Gedung Balai Kesehatan (Maret 1978), Auditorium Building (September 1982), dan Banquet Building (Februari 1983). Pemberian nama gedung yang semua pakai bahasa Inggris kemudian diubah menggunakan bahasa Sansekerta: Grahatama, Lokawirabasha Tama, Pustakaloka, Grahakarana, dan Samania Sasanagraha. “Yang jelas semua menggunakan bahasa Sanskerta yang amat sulit bahkan untuk orang Jawa, apalagi mereka yang datang dari seberang,” tulis Salim Said dalam Dari Gestapu ke Reformasi . Tak jarang, nama-nama ruangan ini salah diucapkan oleh anggota parlemen. Salim Said mencontohkan Ismail Hassan Metareum, ketua Partai Persatuan Pembangunan yang juga wakil ketua DPR/MPR, dalam sebuah sidang salah menyebut ruang utama paripurna sebagai ruang Kartasasmita , yang disambut tawa anggota parlemen. Maklum, Kartasasmita adalah nama keluarga Ginandjar, tokoh politik terkemuka saat itu. Pada 1998, gedung DPR/MPR diduduki mahasiswa, Orde Baru pun tumbang. Semua hal yang berbau Orde Baru mulai digugat. Termasuk dominasi bahasa Jawa. Beberapa waktu berselang, muncul usulan dari anggota DPR/MPR untuk mengubah nama-nama gedung dan ruangan tersebut. “Saya mengusulkan perubahan dan penyederhanaan nama ruang rapat di gedung DPR,” tulis Salim Said, yang di awal reformasi menjadi anggota Badan Pekerja MPR. Salim Said lalu membuat dan mengedarkan petisi mengenai perubahan nama. Setelah berhasil menghimpun hampir 300 tanda tangan anggota parlemen, dia menyerahkan petisi itu kepada Afif Ma’roef, sekretaris jenderal DPR/MPR, pada September 1998. Menurut Afif Ma’roef, usulan perubahan nama itu sudah tercetus sejak keanggotaan DPR/MPR periode 1992/1997. “Sudah diusulkan, cuma tidak terlalu direspons, jadi dibiarkan saja,” ujar Afif kepada Panji Masyarakat terbitan tahun 1999. Rapat pimpinan DPR pada 18 November 1998 memutuskan membentuk Tim Penggantian Nama-nama Gedung MPR/DPR RI yang dipimpin Wakli Ketua DPR Korkesra Fatimah Achmad. Tim segera bekerja. Rapat terakhir pada 14 Desember 1998 memutuskan menyetujui penggantian nama gedung-gedung DPR/MPR. Maka, gedung-gedung yang menggunakan bahasa Sansekerta pun berubah: Grahatama menjadi Gedung Nusantara, Lokawirasabha Tama (Gedung Nusantara I), Ganagraha (Gedung Nusantara II), Lokawirasabha (Gedung Nusantara III), Pustakaloka (Gedung Nusantara IV), Grahakarana (Gedung Nusantara V), Samania Sasanagraha (Gedung Sekretariat Jenderal DPR RI), dan Mekanik Graha (Gedung Mekanik). Perubahan juga terjadi pada nama ruangan, yang cukup menyebut ruang sidang atau ruang fraksi, komisi, dan paripurna.
- Petani Gulingkan Dinasti
PADA 209 SM, Chen Sheng, petani asal Yangcheng, memimpin 900 orang untuk melakukan kerja paksa pembangunan megaproyek Kaisar Qin. Tujuan mereka, kota Yuyang, masih jauh. Mereka harus bergegas. Sebab, menurut hukum Dinasti Qin/Chin (221-206 SM), siapapun yang telat akan dihukum mati. Nahas, baru sampai di desa Dazexiang, hujan deras turun selama beberapa hari. Banjir memaksa mereka berkemah dan menghentikan perjalanan. Mereka gelisah. Dalam kegelisahan itu, Chen Seng bertemu dengan Wu Guang, yang juga mengawasi dan memimpin 900 orang untuk kerjapaksa. Kesamaan nasib membuat mereka menjadi akrab. “Kita masih beribu-ribu li jauhnya dari Yuyang. Apakah kita akan membiarkan diri kita dibunuh?” ujar Chen, dikutip Lin Handa dan Cao Yuzhang dalam Kisah-Kisah dari 5000 Tahun Sejarah China, Jilid 1 . Wu mengajak Chen kabur, namun Chen tak menyetujuinya. Ketimbang kabur, Chen memilih memberontak terhadap penguasa lalim. Memberontak baginya lebih terhormat, meski risikonya juga hukuman mati. Wu setuju. Kaisar Qin berupaya mewujudkan mimpinya membangun banyak bangunan, seperti Istana Efang dan Tembok Raksasa. Untuk itu, kaisar merekrut para petani, termasuk dari enam kerajaan terakhir yang ditaklukkan, melalui sistem perpajakan terpusat yang dia buat. “Jumlah petani yang diambil Qin Shi Huangdi untuk membangun Istana Efang dan Tembok Raksasa dan yang direkrut sebagai tentara untuk pertahanan perbatasan melebihi dua juta jiwa,” tulis Xiaobing Li dalam China At War: An Encyclopedia . Kesewenang-wenangan kaisar menimbulkan kebencian di hati petani dan rakyat kebanyakan, termasuk Chen. Chen dan Wu segera menyusun siasat. Yang paling awal, dia memanfaatkan takhayul. Di atas sehelai sutra putih, Chen menuliskan “Chen Sheng adalah raja.” Kain itu lalu dimasukkan ke perut ikan yang selanjutnya dijual. Kebetulan, pembelinya adalah beberapa prajurit di kesatuan yang dipimpinnya. Mereka terheran-heran. Siasat kedua, dalam kegelapan malam, Wu mengendap ke kuil di sekitar perkemahan. Sembari menirukan lolongan serigala, Wu berteriak mengatakan: Chu Raya bangkit dan Chen Sheng adalah raja. Keesokan harinya, Chen menjadi buah bibir di antara rombongan. Namun, siasat itu masih belum cukup menginformasikan mayoritas akan rencana gerakan Chen. Setelah membunuh pejabat pengawas, Chen berorasi di hadapan rombongannya mengenai rencana pemberontakan. “Orang-orang bersumpah kepada para dewa bahwa mereka akan berperang bersama untuk menggulingkan Dinasti Qin. Mereka juga bersumpah setia kepada Chen Sheng dan Wu Guang,” tulis Lin Handa dan Cao Yuzhang. Setelah menguasai desa Dazexiang dan Chenxian (Huaiyang) di Provinsi Henan, Chen dan Wu mengumumkan berdirinya sebuah rezim baru bernama Zhangchu di mana Chen menjadi raja dan Wu panglima militernya. Keduanya mengatasnamakan Pangeran Fusu –pewaris sah Dinasti Qin yang bunuh diri akibat tipudaya– dan Jenderal Xiang Yan yang dicintai rakyat. Selanjutnya, mereka menguasai desa Qi, Zhi, Cus, Ku, Zhe, dan Qiao. Ketika merebut desa Chen, kekuatan mereka menjadi berlipat; mencakup puluhan ribu infantri, seribu kavaleri, dan 600-700 kereta kuda. Di sinilah para kepala desa mendaulat Chen menjadi raja dengan gelar “Pembesar Chu.” Chen dan Wu terus menyerukan kepada petani di berbagai tempat untuk memberontak terhadap Dinasti Qin. Mereka juga mengirim balabantuan pasukan dan peralatan. Dalam sekejap, semua wilayah yang menderita di bawah Dinasti Qin memberontak. Namun, pengkhianatan menewaskan Chen dan Wu. Perlawanan petani tetap berlanjut. “Setelah kematian Chen dan Wu,” tulis Xiaobing Li, “Liu Bang, salah seorang pemimpin petani, akhirnya menggulingkan Qin dan mendirikan Dinasti Han.”
- Menggagas Aksara Kesatuan
PERINGATAN hari kemerdekaan tiba. Puluhan ribu orang berkumpul di sekitar Istana Negara pada 17 Agustus 1959. Mereka mendengar pidato Sukarno berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita.” Salahsatu pokok pidatonya ajakan menggali kembali kepribadian nasional di pelbagai bidang. Misalnya kebudayaan. “Pemerintah akan melindungi Kebudayaan Nasional, dan akan membantu berkembangnya Kebudayaan Nasional, tetapi engkau pemuda-pemudi pun harus aktif ikut menentang imperialisme kebudayaan, dan melindungi serta memperkembangkan Kebudayaan Nasional,” kata Sukarno. Menjawab pidato Sukarno, Achmad Narod mengajukan gagasan menarik untuk bidang kebudayaan. Tak banyak keterangan tentang latarbelakang Achmad Narod.Yang terang, dia mencanangkan pembentukan aksara dan angka kesatuan nasional Indonesia pada 1962. Dia menilai Indonesia bangsa besar; punya warisan adiluhung berupa ragam aksara dari nenek moyang. Tapi tak ada usaha dari pemerintah dan individumengarah ke pembentukan aksara kesatuan. Kekayaan aksara Indonesia tak kalah oleh Thailand, Burma (Myanmar), Laos, Kamboja, Korea, Jepang, atau Srilanka. Mereka semua punya aksara nasional, sedangkan Indonesia tidak.Indonesia sudah punya negara kesatuan dan satu bahasa kesatuan, tapi belum kesampaian memiliki aksara kesatuan. Menurut Achmad Narod, ini kekurangan besar bangsa Indonesia. Jika tak ada usaha pembentukan aksara nasional, bahasa nasional bakal melemah. “Bahasa dan aksara adalah seperti ruh dan jasad. Bahasa akan menjadi sangat miskin dengan tiada ada aksara. Bahasa yang tidak beraksara, pada hakikatnya adalah seperti dialek,” tulis Achmad Naroddalam majalah Penelitian Sedjarah, Juni 1962. Achmad Narod lantas menjalin beberapa aksara Nusantara untuk menjadi aksara kesatuan. Antara lain aksara Batak, Lampung, Sumatra, Bali, Sulawesi, dan Nusa Tenggara.Tambahan lain berasal dari aksara Caka (Sunda, Jawa, dan Madura) dan Latin.Dari penjalinan itu, dia mendapat 19 aksara. Dia mengklaim aksara-aksara itu mudah dibaca. Bahkan untuk orang paling buta huruf latin sekalipun.Tapi dia tetap mempertahankan nilai seni aksara itu. Susunan dan bunyi aksara kesatuan meliputi “DJA-GA-PA-DA-WA-NG-SA-A-TJA-RA-NJA-TA-MA-NA-KA-LA-BA-HA-JA”. Aksara Makassar, “Dja” mengawali abjad kesatuan ini. Pengakhirnya berasal dari aksara Batak, “Ja”. Ini penting sebagai simbol pengikat seluruh wilayah Indonesia. “Inilah satu lambang dari Bhinneka Tunggal Ika, terjalin dalam huruf kesatuan Indonesia,” tulis Achmad Narod. Soal penerapannya, Achmad Narod menjamin aksara kesatuan mampu menulis kata-kata bahasa asing. Ia juga sangat aplikatif untuk menerjemahkan buku-buku ilmu pengetahuan. Demi kemudahan dan kelancaran menulis, dia sengaja menghilangkan tanda-tanda diakritik, yakni tanda tambahan pada huruf yang sedikit banyak mengubah nilai fonetis huruf itu, misalnya tanda pada . “Dalam huruf Indonesia baru hanya mengenal tanda-tanda yang berada di akhir huruf ( suffix ).” Achmad Narod berharap gagasannya beroleh tempat di kalangan generasi muda. Tujuannya, “agar generasi yang akan datang mempunyai satu potensi nasional yang kukuh.” Dia mengambil bangsa Tiongkok sebagai contoh bangsa besar yang mempunyai satu aksara nasional. Tapi gagasan Achmad Narod menghilang tanpa jejak. Dalam nomor-nomor penerbitan berikutnya, majalah Penelitian Sedjarah tak memuat tanggapan tentang gagasannya. Hingga sekarang, orang lebih mengedepankan pelestarian dan penggunaan aksara daerah ketimbang menggagas aksara nasional.
- Kekayaan Vatikan dan Perompakan
VATIKAN pernah terlibat dalam perebutan harta warisan salah satu uskupnya. Hal ini disebutkan dokumen yang baru-baru ini dikeluarkan untuk publik. Dokumen tersebut juga menyebutkan soal bajak laut yang mencoba merampas harta tersebut ketika dikirim dari Portugal ke Prancis. “Sebagian besar dari dokumen ini berkaitan dengan aktivitas rekening dan inventarisasi Camera Apostolica (lembaga keuangan kepausan). Dari dokumen ini kita bisa melacak aktivitas para pengumpul dana kepausan dan mengetahui berbagai ‘peninggalan’ yang mereka wariskan setelah wafat,” tulis Charles Donahue Jr. dalam The Spoils of the Pope and the Pirates, 1357: The Complete Legal Dossier from the Vatican Archives . Buku ini berisi dokumen-dokumen Vatikan yang baru saja diterbitkan. Seperti dilansir livescience.com (3/10), kisah tersebut bermula ketika kapal Sao Vicente berangkat dari Lisboa, Portugal, pada awal 1357 menuju Avignon, Prancis, tempat Paus Avignon VI menetap. Kala itu, pusat pemerintahan kepausan dipindahkan ke Prancis karena ketidakstabilan politik di Italia. Kapal itu memuat kargo termasuk emas, perak, permata, dan perhiasan mahal lainnya yang sebelumnya dimiliki Thibaud de Castillon, uskup utusan Vatikan yang baru meninggal. Selama masa tugasnya di Portugal, Castillon menumpuk kekayaan dengan cara berbisnis dengan pedagang-pedagang di Prancis. Beberapa bahkan dilakukan dengan cara-cara tidak lazim dan dianggap perbuatan dosa oleh gereja, seperti mengambil untung besar (riba) dari bisnis lintah darat. Untuk mengelak tuduhan gereja, Castillon mengatakan bahwa kekayaannya adalah milik mitra bisnisnya di Montpellier Prancis, yakni Peire Laugautru dan Guilhem Parayre. Gereja menutup mata terhadap bisnis Castillon. Tapi ketika dia meninggal, Camera Apostolica bergerak cepat menyita harta peninggalannya. Untuk itu, kapal Sao Vicente dikirim. Ketika berlayar di dekat Cartagena, Spanyol, kapal diserang dua kapal bajak laut pimpinan Antonio “Botafoc” (Si Kentut Api) dan Martin Yanes. Menurut Daniel Williman dan Karen Ann Corsano, editor buku tersebut, kapal Botafoc bersenjata lengkap sehingga awak kapal Sao Vicente terpaksa menyerahkan muatannya. Tetapi Botafoc dan krunya tidak beruntung karena kapalnya karam di dekat kota Aigues-Mortes, Prancis. Tentara setempat menangkap mereka. “Para awak kapal Botafoc dihukum gantung. Sebab, dalam tradisi saat itu, mereka para bajak laut adalah hostes humani generis , musuh masyarakat yang tidak memiliki perlindungan hukum,” tutur Williman dan Corsano. Botafoc sendiri dan perwiranya dipenjara di Montpellier. Mereka lolos dari maut setelah menyogok seorang uskup dari kota Turin yang kebetulan sedang berada di Montpellier. Harta De Castillon yang berhasil direbut kembali didaftarkan sebagai harta kekayaan Vatikan. Sebagian besar kemudian digunakan untuk membayar gaji staf Vatikan dan hadiah untuk kaum bangsawan Eropa.
- Roro Jonggrang Si Gadis Semampai
SONTAK mendadak nama Roro Jonggrang, perempuan dalam legenda rakyat Jawa, mencuat jadi bahan perbincangan di sosial media. Muasalnya karena Taufik Ridho, Sekretaris Jenderal Partai Keadilan Sejahtera dan anggota Timses Prabowo-Hatta, kepleset ucap soal Roro Jonggrang saat memberikan pernyataan seputar persiapan sidang gugatan kepada KPU di Mahkamah Konstitusi. “Ini kan tidak bisa dilakukan seperti Roro Jonggrang membuat Tangkuban Perahu (hanya butuh waktu semalam),” tegasnya berkilah soal waktu mempersiapkan bukti-bukti gugatan KPU, dikutip liputan6.com (4/8/2014). Roro Jonggrang bukan tokoh dalam legenda Sangkuriang yang menciptakan gunung Tangkuban Perahu. Legenda Tangkuban Perahu berasal dari Tatar Priangan yang mengisahkan tentang Dayang Sumbi, ibu kandung Sangkuriang, yang mengajukan syarat berat untuk menggagalkan keinginan anaknya mengawini dirinya. Roro Jonggrang adalah tokoh utama dalam cerita rakyat Jawa yang beralur kurang lebih sebagai berikut: Roro Jonggrang, putri semata wayang Ratu dan Raja Boko dari Kerajaan Medang Kamulan, tersohor karena kecantikannya dan hendak diperistri oleh banyak pangeran. Ketika Bandung Bondowoso, salah satu pangeran yang ingin menyuntingnya, mengajukan diri, Raja Boko mengatakan harus mengalahkannya terlebih dulu. Sang raja terbunuh. Roro Jonggrang tak sudi menikah dengan pembunuh ayahnya, apa daya dia takut menolak Bandung Bondowoso secara terang-terangan. Lalu, dia mengajukan syarat: bila Bandung Bondowoso berhasil membangun seribu candi dalam semalam, dia boleh menikahinya. Bandung Bondowoso menyanggupinya dan nyaris berhasil karena ayahnya membantu dengan sepasukan jin. Atas saran seorang dayangnya, Roro Jonggrang memukul lesung penumbuk padi, sehingga ayam jago berkokok. Pasukan jin yang mengira fajar akan merekah langsung kabur karena takut cahaya matahari. Bandung Bondowoso gagal menyelesaikan seribu candi. Dia naik pitam karena tahu muslihat Roro Jonggrong. Dia mengutuk sang putri menjadi batu. Berkat kemurahan hati Dewa Siwa, Roro Jonggrang menjadi sebuah arca. Menurut Roy Jordan dalam Memuji Prambanan , Roro Jonggarang yang berarti “Gadis Semampai” merujuk pada arca Durga Mahisasuramardini yang terletak di bilik sebelah utara dari candi induk, yaitu candi Siwa di kompleks Candi Prambanan di wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah. Candi Prambanan dibangun pada paruh kedua abad ke-9 atau permulaan abad ke-10 sebagai persembahkan untuk Trimurti, tiga dewa utama Hindu: Brahma, Wishnu, dan Siwa. Karena arca Durga berada di candi induk, kompleks Candi Prambanan biasa disebut Candi Roro Jonggrang. Di masa lalu, arca Durga, memikat luar biasa para penduduk setempat. Ini terlihat dari rupa-rupa sesajen berupa dupa, beras, bebungaan atau uang, bahkan kambing-kambing yang masih hidup. “Daya pikatnya juga terbukti dari bagian dada dan pinggul arca itu yang berkilauan, yang disebabkan oleh elusan kasih para pemujanya,” tulis Jordan. “Lucunya, karena elusan-elusan ini beberapa pengunjung asing terdahulu…malah menduga dada itu terbuat dari lempengan logam atau merupakan bagian dari sebuah arca logam yang bersinar cemerlang di antara tumpukan bebatuan.” C.A. Lons, pegawai VOC, kali pertama berkunjung ke reruntuhan Candi Prambanan pada 1733 dan melaporkannya sebagai “kuil-kuil Brahmana” tanpa perincian lebih lanjut. Keterangan dan sketsa pertama puing-puing Candi Roro Jonggarang ditemukan dalam buku History of Java karya Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Sir Stamford Raffles. Judul sketsa karya J. Mitan pada 1815 itu berbunyi “candi induk di Jongrangan.” “Dalam nama Jongrangan ini kita dapat mengenal nama lokal lainnya yang lebih populer untuk kompleks percandian itu, yaitu Roro Jonggarang,” tulis Jordan. John Crawfurd, residen Yogyakarta yang diangkat Raffles, mengenali “candi Jongrangan” sebagai kuil Siwa. Raffles menyebut candi-candi itu sebagai tempat suci agama Buddha. J.W. IJzerman, ketua perkumpulan arkeologis amatir setempat, melakukan pembersihan pertama kompleks candi itu pada 1885. “Usaha-usahanya tampaknya menegaskan bahwa Roro Jonggrang adalah sebuah candi Saiva (Siwa, red ) dan bukan sebuah tempat suci Buddhis,” tulis Jordan. Pemugaran kali pertama dilakukan oleh arsitek muda, De Haan. Selain terkendala pemotongan anggaran, tragisnya dia meninggal pada 1930. Penggantinya, Van Romondt juga terhambat oleh pembatasan anggaran. Pemugaran tertunda karena pecah Perang Dunia II disusul perang kemerdekaan Indonesia. Pemugaran candi induk, yaitu candi Siwa, di mana arca Durga atau Roro Jonggrang berada, yang dimulai pada 1918 baru tuntas pada 1953 dan diresmikan Presiden Sukarno. Sedangkan candi Brahma diresmikan pada 1987 dan candi Wishnu pada 1991 sekaligus dinyatakan oleh UNESCO, badan PBB yang menangani pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan; sebagai warisan dunia (world heritage) .





















