top of page

Hasil pencarian

9587 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Sukarno, Antara India dan Pakistan

    HUBUNGAN India dan Pakistan kerap kali dirundung konflik. Namun bagi Indonesia, kedua negara itu merupakan sahabat lama. Hubungan baik dengan kedua negara setidaknya sudah terjejaki pada masa kepemimpinan Presiden Sukarno. Dalam otobiografinya, Sukarno mengenang orang-orang India yang punya jasa di masa revolusi mempertahankan kemerdekaan. “Orang India suka menolong. Selama pertempuran (di) Surabaya, 600 orang (India) menyeberang memihak kepada kami,” kata Sukarno kepada Cindy Adams dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat . Ketika India dilanda bencana kelaparan, Indonesia membalas budi dengan mengirimkan bantuan 500 ribu ton beras pada April 1946. Saling sokong antara India dan Indonesia terjalin karena kedekatan pemimpin masing-masing: Sukarno dan Pandit Jawaharlal Nehru. Saat Indonesia berada di bawah penjajahan Belanda, Nehru yang memimpin Partai Kongres Nasional India menyatakan dukungan dan simpati. Nehru bahkan mengajukan protes kepada Inggris yang cenderung memihak Belanda. “Ia (Nehru) pun minta kepada Pemerintah Inggris untuk tidak menggunakan serdadu Gurkha (maksudnya India) guna melawan gerakan kemerdekaan bangsa Indonesia di Jawa,” tulis Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid 1: 1945. Pada September 1946, Nehru dilantik menjadi Perdana Menteri India yang pertama. Sukarno lantas mengirimkan kawat ucapan selamat. Sehubungan dengan terpilihnya Nehru, Sukarno mengungkapkan perasaan sukacita bangsa Indonesia terhadap saudara-saudaranya bangsa India. Dalam surat balasan kepada Sukarno, Nehru menyatakan “India dan Indonesia di tahun terakhir ini makin dekat-mendekati. Di India banyak simpati atas perjuangan kemerdekaan Indonesia.” Pada 1947, gerakan pemisahan terjadi di India karena segregasi agama Hindu dan Islam. Pemimpin Liga Muslim India, Muhammad Ali Jinnah menginisiasi pembentukan negara Pakistan sekaligus menjadi presiden pertama Republik Islam Pakistan. Bagaimana Sukarno memandang Pakistan? Menurut Sigit Aris Prasetyo dalam Dunia dalam Genggaman Bung Karno , Sukarno memiliki hubungan erat dengan sederatan pemimpin besar Pakistan. Mereka antara lain: Muhammad Ali Jinnah, Presiden Iskander Mirza (1956-58), dan Ayub Khan (1958-69). Pergaulan Sukarno dan pemimpin Pakistan dilatari pengalaman sejarah masa revolusi. Kenyataan bahwa banyak serdadu Pakistan yang tergabung dalam resimen tentara Sekutu melakukan desersi di Indonesia. Mereka menolak berperang melawan pejuang dan rakyat Indonesia yang dijunjung tinggi sebagai saudara seiman. Sukarno dalam otobiografinya mengaku cukup mengenal Ayub Khan yang gemar bermain golf. Kedekatan Sukarno dan Ayub Khan dapat diketahui karena keduanya sering saling mengunjungi. Ketika berkunjung ke Pakistan pada Juni 1963, Sukarno disambut bagaikan tamu agung. Sukarno dan Ayub Khan diarak dengan kereta kuda berikut kawalan pasukan tradisional mengelilingi jalan protokol di Karachi. “Di Pakistan, hubungan yang hangat dan akrab antara Presiden Ayub Khan dengan Presiden Sukarno ditandai dengan satu pernyataan bersama. Dalam pernyataan bersama ini Presiden Ayub Khan menyatakan sokongannya terhadap penyelenggaraan Conefo,” ujar juru bicara Departmen Luar Negeri Ganis Harsono dalam memoarnya Cakrawala Politik Era Sukarno . Dilema melanda tatkala India dan Pakistan terlibat sengketa wilayah Kashmir pada 1965. Dalam perang India-Pakistan tersebut, Sukarno mengambil sikap: mendukung Pakistan. Indonesia secara terang-terangan sekubu dengan Ayub Khan ketimbang Nehru. Dukungan Sukarno bukan sekedar orasi simbolis. Sukarno pernah mengirimkan kapal selam Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) ke Pakistan sebagai sinyal kepada pihak India agar tidak menyerang Pakistan. Keberpihakan Sukarno terhadap Pakistan yang dipimpin Ayub Khan bukannya tanpa sebab dan alasan kuat. Dalam berbagai isu politik global Sukarno dan Ayub Khan merupakan kompatriot. Dalam kasus konfrontasi Indonesia-Malaysia misalnya, Ayub Khan membela posisi Sukarno dengan bersikap “netral”. Netralitas Ayub Khan ini terbilang janggal sebab Pakistan terikat solidaritas persemakmuran negara-negara “ Commonwealth ” dimana Inggris, India dan Federasi Malaysia ada didalamnya. Manuver Ayub Khan demikian sungguh diharapkan Sukarno yang sedang getol-getolnya melancarkan kampanye ganyang Malaysia. “Sikap Ayub Khan ini juga berseberangan dengan India yang cenderung mendukung  terbentuknya Federasi Malaysia yang diprakarsai Inggris,” tulis Sigit Aris Prasetyo. Kecendrungan Sukarno terhadap Pakistan agaknya mempengaruhi hubungan dengan India. Sukarno dan Nehru secara ideologi politik mulai bersebrangan. Itu ditandai dengan penolakan Nehru bergabung dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) II yang digagas Sukarno. Agenda Sukarno untuk unjuk gigi pada KAA II yang sedianya diselenggarakan di Aljazair  itu pun urung terlaksana. Meski demikian, Sukarno tetap menjunjung hormat figur Nehru secara pribadi. Di bagian akhir otobiografinya, Sukarno mendaku sahabat India nya itu dengan rasa takzim: “Teman akrabku, Pandit Jawaharlal Nehru”.*

  • Soerjopranoto Si Raja Mogok

    Periode 1919 hingga awal dekade 1920-an, terjadi pemogokan buruh pabrik di berbagai daerah di Jawa. Zaman ini kemudian dikenal sebagai zaman mogok. Salah satu organisatornya adalah seorang anak bangsawan keraton yang memilih turun ke pergerakan. Ia adalah Soerjopranoto yang terkenal dengan julukan Raja Mogok. R.M. Soerjopranoto lahir pada 1871 sebagai anak bangsawan. Ayahnya adalah Pangeran Soerjaningrat dari Keraton Pakualaman. Ia juga merupakan kakak dari Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara. Soerjopranoto lulus dari OSVIA Magelang dan Sekolah Pertanian di Buitenzorg (Bogor). Ia kemudian bekerja di Dinas Informasi dan Penyuluhan Pertanian di Wonosobo pada 1914. Suatu ketika, Asisten Wedana Temanggung dipecat karena menjadi anggota Sarekat Islam (SI). Soerjopranoto kemudian melabrak Asisten Residen Banyumas. Namun, setelah adu debat, Sorjopranoto sadar bahwa sia-sia berdebat dengan aparat kolonial. Soerjopranoto kemudian mengeluarkan surat pengangkatan jabatan dan surat ijazah dari Middelbare Landbouwschool dan menyobek-nyobeknya di hadapan pembesar kolonial. "Sejak detik ini aku tidak sudi lagi bekerja untuk pemerintah Belanda!" ujar Soerjopranoto dikutip dari Raja Mogok, R.M. Soerjopranoto: Sebuah Buku Kenangan. Pendirian Soerjopranoto begitu kuat. Meski pada 1918, rekan-rekannya seperti H.O.S. Tjokroaminoto dan Abdoel Moeis  menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat), ia tetap keras menolak jabatan yang sama. Di Yogyakartaa, Soerjopranoto mendirikan koperasi petani dan bekel. Karena usaha ini gagal, ia lalu aktif di Boedi Oetomo Yogyakarta. Bersamaan dengan peristiwa kerusuhan buruh di pabrik gula Padokan, Yogyakarta, pada Agustus 1918, Soerjopranoto mendirikan Arbeidsleger  (tentara buruh) sebagai cabang dari Adhi Dharma, sebuah perkumpulan para pangeran. Adhi Dharma sendiri awalnya hanya membantu buruh-buruh yang dipecat untuk memperoleh pekerjaan baru dan membantu keuangan mereka selagi mencari kerja. Takashi Shiraishi  dalam Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, menyebut pada masa ini dimulailah zaman mogok. Kala itu, kaum buruh pabrik gula resah karena penurunan upah terus-menerus. Kesempatan ini kemudian dimanfaatkan oleh Soerjopranoto beserta pasukan buruhnya. Ia kemudian mengumumkan berdirinya Personeel Fabrieks Bond (PFB) pada November 1918. "Sekarang adalah zaman demokrasi, zaman volksregering (pemerintahan rakyat). Raja tidak (boleh lebih lama lagi) memerintah semaunya, tapi rakyat sendiri harus bersuara, turut serta dalam membuat aturan-aturan dan tidak boleh hanya diperintah," sebutnya dalam surat edaran pertama PFB. "Tetapi," lanjutnya, "kami, rakyat, siap menaati hukum yang kami nilai sah. Semua buruh harus memiliki kebebasan dan persamaan (di muka hukum), dan mereka berhak bersuara tentang segala tindakan yang diambil kaum kapitalis sehubungan dengan dirinya." Dalam edaran ini, Soerjopranoto secara tegas mengatakan bahwa buruh adalah kunci kehancuran kapitalisme. "Kami tahu persis bahwa kapitalisme akan hancur jika tidak ada buruh. Kami juga tahu benar bahwa modal hanya hasil akumulasi keluhan dan erangan kaum buruh," jelasnya. PFB kemudian mengorganisir tukang, juru ukur, teknisi, juru tulis, dan pemegang buku yang menjadi pekerja tetap. Awalnya perkembangan PFB agak lambat. Pada Maret 1919 anggotanya hanya 750 orang dan terbatas di Yogyakarta. Tetapi, musim panen dan penggilingan tahun 1919 menjadi masa jaya PFB. Anggotanya menjamur di semua tanah perkebunan gula di Jawa. Sejak itu, di berbagai pabrik gula terjadi pemogokan buruh atas inisiatif sendiri untuk menuntut kenaikan upah, persamaan hak antara buruh Belanda dan bumiputra, perbaikan kondisi kerja, delapan jam kerja sehari, libur dengan bayaran satu hari dalam seminggu serta tambahan bayaran untuk kerja lembur. Untuk melancarkan pemogokan, para buruh meminta pemimpin pusat PFB agar organisasi itu mengirim propagandis untuk memimpin pemogokan. Wakil-wakil PFB kemudian dikirim dan mendirikan afdeling  (cabang) PFB di daerah. "Karena sikap netral pemerintah, banyak pemogokan yang berhasil dengan suskes. Merasa mendapat angin, afdeling-afdeling  PFB menuntut lebih banyak dari pabrik dan lagi-lagi dengan sukses mengorganisir pemogokan," tulis Takashi Shiraishi. Pemogokan meluas, PFB pun berkembang pesat. Pada Juni 1919, jumlah anggota PFB mencapai seribu orang. PFB juga mulai menerbitkan surat kabar Boeroeh Bergerak  dengan Soerjopranoto, Soemodihardjo, dan Hadisoebroto sebagai editor. Pada akhir 1919, PFB menjadi serikat buruh yang paling besar dan militan di Hindia Belanda dengan sembilan puluh afdeling.  Anggota dan calon anggotanya mencapai angka sepuluh ribu di seluruh Jawa. Soerjopranoto sendiri kemudian dikenal sebagai propagandis serikat buruh terkemuka dengan Sarekat Islam Yogyakarta sebagai pusat pergerakan baru. Zaalberg, redaktur Bataviaasch Nieuwsblad  menjulukinya " de Javaanse Edelman met een otembare wil " yang artinya "bangsawan Jawa dengan tekadnya yang tak terjinakkan". Soerjopranoto kemudian juga memimpin Persatuan Pergerakan Kaum Buruh (PPKB). Dari kantor PPKB, Soerjopranoto mengkoordinasi pemimpin-pemimpin pemogokan dengan rapi. Hingga 1920, PPKB membawahi 22 sarekat buruh dengan jumlah anggota 72.000 orang. "Soerjopranoto secara bergilir mendatangi tempat-tempat pemogokan untuk memimpin sendiri dan mengobarkan semangat. Dan karena aksinya itulah maka pers Belanda memberi gelar kepadanya sebagai De Stakingskoning  atau Si Raja Pemogokan," ungkap Bambang Sukawati dalam Raja Mogok, R.M. Soerjopranoto: Sebuah Buku Kenangan.   Atas aksi-aksinya, Soerjopranoto tiga kali kena delik dan masuk penjara. Pertama ia dipenjara di Malang selama tiga bulan pada 1923. Kemudian pada 1926, ia dipenjara di Semarang selama 6 bulan. Sementara di Bandung, ia dibui di Sukamiskin selama 16 bulan. Sejak 1950, Soerjopranoto menghentikan kegiatan politik praktisnya. Ia lebih aktif di dunia pendidikan dan kepenulisan hingga akhir hayatnya. Pada 15 Oktober 1959, Si Raja Mogok meninggal dunia dalam usia 88 tahun di Bandung. Ia kemudian dimakamkan di Kota Gede, Yogyakarta.

  • Hilang Ratusan Tahun, Keris Diponegoro Ditemukan di Belanda

    KEMENTERIAN Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Belanda hari ini, Rabu, 4 Maret, pukul 09:00 pagi waktu Belanda mengumumkan pengembalian sebilah keris Jawa kepada Indonesia. Dalam rilis yang diterima Historia , keris yang dimaksud merupakan pusaka milik Pangeran Diponegoro. Keris berwarna hitam dengan ukiran berlapis emas itu sempat dikabarkan hilang. Keris tersebut berhasil diidentifikasi setelah dilakukan penelitian terhadap koleksi Museum Volkenkunde, Leiden. “Saya bahagia bahwa penelitian mendalam ini, yang diperkuat ahli Belanda dan Indonesia, menjelaskan bahwa ini adalah keris yang dicari-cari selama ini. Sekarang keris ini dikembalikan ke negeri asalnya: Indonesia,” ujar Menteri Pendidikan, Kebudayaan dan Ilmu Pengetahuan Belanda, Inggridvan Engelshoven. Keris itu telah diserahkan Ingrid van Engelshoven kepada Duta Besar Indonesia I Gusti Agung Wesaka Puja di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Den Haag, Belanda, kemarin, 3 Maret, pukul 10 pagi waktu setempat. Catatan yang Hilang Ketua Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada Sri Margana yang tergabung dalam tim ahli dari Indonesia memastikan bahwa keris itu milik Pangeran Diponegoro. Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, keris itu dihadiahkan Kolonel Jan-Baptist Cleerens kepada Raja Willem I pada 1831. Keris itu kemudian disimpan di Koninklijk Kabinet van Zeldzaamheden (KKZ) atau koleksi khusus kabinet Kerajaan Belanda. Setelah KKZ bubar, koleksinya tersebar ke sejumlah museum. Namun banyak informasi mengenai koleksi ikut hilang. Termasuk keris Pangeran Diponegoro yang diserahkan kepada Museum Volkenkunde di Leiden. Padahal, sebelum dipindahkan ke Museum Volkenkunde, keris ini pernah dipamerkan di Philadelphia, Amerika Serikat, pada 1876. Hal ini tercatat dalam katalog pameran yang menyebutkan keris tersebut milik Pangeran Diponegoro. “Kerisnya ada tapi catatannya hilang. Jadi bukan kerisnya yang hilang,” ujar Margana kepada Historia . Perjanjian 1975 Penyerahan keris Pangeran Diponegoro kali ini merupakan bagian dari perjanjian antara Indonesia dan Belanda pada 1975 mengenai pengembalian warisan budaya yang berkaitan dengan tokoh bersejarah. Buah perjanjian tersebut adalah pengembalian benda bersejarah Indonesia pada 1978. Benda-benda yang dikembalikan waktu itu antara lain arca Prajnaparamita dan 237 benda berharga dari Puri Cakaranegara, Lombok, hasil jarahan pada Perang Lombok 1894. Terkait Pangeran Diponegoro, dikembalikan tiga benda yang pernah digunakan Pangeran Diponegoro, yakni payung kehormatan, tombak, dan pelana kuda. Selain itu, pada saat bersamaan, Yayasan Granje-Nassau menghadiahkan lukisan karya Raden Saleh tentang penangkapan Pangeran Diponegoro. Pengembalian benda bersejarah Indonesia terjadi lagi 37 tahun setelah itu, yakni pada 2015. Bersamaan dengan pembukaan pameran "Aku Diponegoro: Sang Pangeran dalam Ingatan Bangsa, dari Raden Saleh hingga Kini" di Galeri Nasional, sebuah tongkat milik Pangeran Diponegoro dikembalikan. Tongkat bernama Kanjeng Kyai Cokro itu disimpan selama 181 tahun oleh keluarga keturunan Gubernur Jenderal Hindia Belanda 1833-1834, Jean Chretien Baud. Kini, benda-benda bersejarah Pangeran Diponegoro disimpan di Museum Nasional di Jakarta. Akan menyusul pula keris Pangeran Diponegoro ini .*

  • Serba-serbi Senjata Biologis

    SEJAK pengumuman kasus positif corona di Depok, Jawa Barat oleh Presiden Joko Widodo pada Senin (2/3/2020), pemberitaan virus corona mendominasi pemberitaan nasional. Kasus corona bahkan memicu kepanikan masyarakat dengan memborong masker dan sembako. Virus corona yang sebelumnya bernama “Flu Wuhan”, pernah diprediksi Dean Koontz dalam novelnya terbitan 1981, The Eyes of Darkness . Konon virus itu merupakan buah pikiran para ilmuwan China untuk kemudian dijadikan senjata biologis. Dalam novelnya, Koontz mengisahkan virus itu bernama “Wuhan-400” lantaran dikembangkan sebagai senjata yang sempurna di laboratorium dekat kota Wuhan. Kengerian itu lalu dibocorkan seorang ilmuwan China. “Seorang ilmuwan China melarikan diri ke Amerika membawa rekaman dalam disket tentang senjata biologis baru paling penting dan berbahaya dalam satu dekade terakhir. Mereka menyebutnya ‘Wuhan-400’ dan itu senjata yang sempurna,” kata Dombey, salah satu karakter di novel itu. “Prediksi” Koontz itu jadi heboh di jagat maya setelah penulis Nick Hinton mengunggah salah satu bagian novel itu di akun Twitter-nya, @NickHintonn , pada 16 Februari 2020. Sebulan sebelumnya, eks perwira intelijen Israel, Dany Shoham meyakini COVID-19 alias virus corona serupa dengan garis besar kisah novel itu – berupa senjata biologis yang dikembangkan China. “Lab-lab tertentu di institut (Wuhan Institute of Virology) mungkin terlibat, dalam hal riset dan pengembangan senjata biologis di China, setidaknya secara kolateral,” ungkapnya kepada The Washington Times , 26 Januari 2020. Ilustrasi COVID-19 atau virus corona (Foto: pcma.org ) Pernyataan Shoham itu kemudian dibantah beberapa ilmuwan Amerika. Di antaranya Richard Ebright, profesor biologi-kimiawi di Universitas Rutgers. Ebright tak melihat virus corona sebagai wabah buatan manusia. “Berdasarkan genome virusnya dan unsur-unsurnya, tidak ada indikasi apapun yang mengungkapkan bahwa virus itu adalah buatan (manusia),” sanggahnya. Terlebih jika merujuk pada karakteristik virus Wuhan-400 yang ada dalam novel dan virus corona di dunia nyata, keduanya berbeda bak langit dan bumi. Mengutip Reuters , 28 Februari 2020, berdasarkan data WHO, virus corona berinkubasi dalam tubuh manusia dalam kurun 1-14 hari. Gejalanya berupa batuk-batuk, pilek, hingga sesak nafas. Angka kematiannya di Wuhan sebagai ground-zero berada di 2-7 persen dan di luar Wuhan 0,7 persen dari total penderita. Namun menurut The Eyes of Darkness , thriller fiksi yang lazim punya dramatisasi ekstrem, virus Wuhan-400 disebut lebih mematikan dari virus ebola. Masa inkubasi di tubuh manusia hanya empat jam dan dipastikan angka kematian para penderitanya 100 persen. Gejala virus Wuhan-400 biasanya memangsa jaringan otak yang melumpuhkan fungsi organ tubuh. Mula Senjata Biologis Senjata biologis adalah senjata yang dipakai satu pihak untuk meracuni tubuh pasukan lawan menggunakan bisa serangga, racun jamur, tanaman beracun, bakteri, hingga virus agar dapat dikalahkan. Ia termasuk senjata pemusnah massal. Mengutip Albert J. Mauroni dalam Chemical and Biological Warfare: A Reference Handbook , sepanjang sejarah, penggunaan senjata biologis terbagi pada dua periode. Pertama, periode sebelum abad ke-20, metode lazimnya adalah meracuni makanan dan air dengan racun biologis atau bakteri dari hewan dan tanaman busuk. Kedua, periode abad ke-20. Seiring perkembangan teknologi, agen-agen biologisnya sudah berupa bakteri ( anthrax , brucella , tularemia ), virus (cacar, virus hemoragis), serta racun ( botulium , ricin , dll). Meski penggunaan senjata biologis kemungkinan telah dilakukan jauh sebelumnya, penggunaannya dalam peperangan sudah terjadi pada Perang Troya (1260-1180 SM). Epos Iliad dan Odyssey karya Homer pada abad ke-8 SM mendeskripsikan pasukan Yunani yang dipimpin Raja Sparta Menelaus menggunakan anak panah dan tombak yang dilumuri bisa ular. Dampaknya, musuh yang termangsa bakal mengeluarkan darah yang menghitam. “Detail-detail dalam karya Homer itu menjadi penanda awal penggunaan racun dari ular berbisa. Dalam Odyssey, Homer menggambarkan pahlawan Yunani Odysseus juga menggunakan ekstrak tanaman beracun untuk anak panahnya. Menurut legenda kuno, sayangnya Odysseus sendiri terbunuh oleh senjata beracun –tombak yang dilumuri racun dari ikan pari, spesies yang banyak ditemukan di Mediterania,” ungkap Philip Wexler dalam History of Toxicology and Enviromental Health: Toxicology in Antiquity II . Ilustrasi Odysseus yang menggunakan panah beracun dalam Perang Troya Namun, bukti tertulis itu masih berbalut mitos. Catatan pertama non-mitos baru muncul pada abad keenam SM, tepatnya pada Perang Cirraean (595-585 SM) atau pengepungan kota Cirrha oleh pasukan Yunani dari koalisi Amphictyonic League. Mereka menggunakan ekstrak racun dari tanaman helleborus untuk meracuni persediaan air kota Cirrha hingga kota itu akhirnya dihancurkan. Pada Abad Pertengahan (Abad ke-5 hingga Abad ke-15), tren penggunaan senjata biologis dalam peperangan paling kondang adalah menyebar wabah penyakit via mayat maupun bangkai hewan yang membusuk. Itu dilakukan antara lain oleh pasukan Mongol di abad ke-13, pasukan Tartar (abad ke-14), dan pasukan Inggris pada 1340 kala mengepung kota Thun-l’Évêque di awal Perang 100 Tahun. Penggunaan senjata biologis tertutup oleh penggunaan senjata konvensional dan senjata kimia seiring perkembangan senjata konvensional pada abad ke-20. Meski sejumlah negara tetap punya program senjata biologis, hanya ada sedikit catatan tentang penggunaan senjata biologis. Antara lain, penggunaan senjata biologis untuk misi-misi sabotase di Perang Dunia I (1914-1918). “Di era modern, Jerman adalah negara terdepan dalam studi bakteriologi dan memulai pengunaan agen biologis. Antara 1915 dan 1917 sabotase biologis dilancarkan di Argentina, Rumania, Skandinavia, Spanyol, dan Amerika. Tujuannya mengganggu suplai hewan bagi musuh dengan menginfeksi kuda-kuda serta keledai-keledai militer, hingga hewan-hewan ternak,” tulis D. B. Rao dalam Biological Warfare. Infeksi biasanya dilakukan dengan menularkan bakteri anthrax ( bacillus anthracis ) dan glanders ( burkholderia mallei ). Penggunaan bakteri-bakteri itu, terutama anthrax, masih tetap digunakan di masa Perang Dunia II (1939-1945). “Di Perang Dunia II Inggris mengujicobakan efektivitas bacillus anthracis di udara terbuka dengan domba-domba mereka di Kepulauan Gruinard, serta memproduksi kue-kue yang terkontaminasi spora-spora anthrax. Mereka bermaksud menggunakannya sebagai langkah balasan jika Jerman menginvasi Inggris,” sambung Rao. Senjata biologis sedikit-banyak masih digunakan dalam Perang Dunia I (Foto: winstonchurchill.hillsdale.edu ) Jepang, lanjut Rao, juga diketahui memproduksi ribuan kilogram bakteri anthrax serta ratusan bakteri glanders. Di tengah berkecamuknya Perang Pasifik, Jepang mengembangkan bom-bom yang mengandung bakteri anthrax yang sudah diujicobakan dampaknya terhadap manusia. Konon, Jepang memanfaatkan sejumlah tawanan perang sebagai “kelinci percobaannya”. Usai Perang Dunia II, pengembangan senjata biologis tetap eksis di negara-negara pemenang perang meski bergulir di bawah bayang-bayang pengembangan nuklir. Roda pengembangan teknologi senjata biologis dari waktu ke waktu makin mengerikan. Hal itu menyadarkan mereka untuk mengrem pengembangannya mengingat makin intensnya situasi Perang Dingin. Inggris dan Uni Soviet mulai menyadarinya pada 1969. Lewat “mediasi” Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dihelatlah Konvensi Senjata Biologis pada 10 April 1972 sebagai perjanjian multilateral pertama untuk menghentikan produksi dan pelarangan penggunaan senjata biologis. Dari 183 negara yang mengikuti konvensi hanya 109 yang meneken perjanjian dan hanya 22 di antaranya yang meratifikasinya. Faktanya, hingga milenium berganti penggunaan senjata biologis tetap tak pernah sirna. Setelah di Perang Kemerdekaan Zimbabwe (1964-1979) dengan bakteri kolera, penggunaan senjata biologis berlanjut di Perang Teluk (1990-1991), lalu di serangan terorisme (serangan anthrax) atas Washington DC, West Palm Beach, dan New York pada September-Oktober 2001.

  • 200 Tahun Multatuli, Penyadar Rakyat Indonesia

    Tanggal 2 Maret adalah hari lahir Multatuli. Hari ini, 2 Maret 2020, Multatuli genap 200 tahun. Peringatan hari lahirnya Multatuli sebaiknya dijadikan tradisi yang akan terus diulang pada setiap tahunnya. Ada orang bertanya: mengapa? Multatuli penting sebagai pengarang, pengarang besar yang secara kebetulan berkebangsaan Belanda. Negeri kecil tempat ia lahir. Mengapa Multatuli harus diperingati. Mengapa tidak memperingati Liebig, Moliere, Schiller, Goethe, Heine, Lamartine, Thiers, Say, Malthus, Scialoja, Smith, Shakespeare, Byron, Vondel… Jawabannya, karena di samping kebesarannya sebagai pengarang, Multatuli besar pula sebagai seorang humanis. Multatuli yang menuntut keadilan bagi rakyat Indonesia. Dialah orang pertama yang mengatakan, bahwa orang Indonesia pun sama manusianya dengan orang kulit putih, manusia dengan segala sifat-sifat dan konsekuensi-konsekuensinya. Multatuli yang pertama kali berteriak bahwa “Orang Jawa diperlakukan dengan buruk!”, “Orang Jawa dieksploitasi secara berlebihan!” Multatuli menuntut hak dan keadilan bagi “orang Jawa” bagi bangsa Indonesia. Multatuli melakukan hal tersebut dengan gagah dan penuh keberanian. Ia mengorbankan kedudukan dan kariernya untuk memasuki kehidupan yang bahkan hingga kematiannya penuh kepahitan, kemelaratan, dan penderitaan. Multatuli jelas menentang pengisapan dan penindasan. Multatuli menuntut kasih sayang, perikemanusiaan, dan pengertian. Meskipun belum kepada terhapusnya penjajahan. Akan tetapi, Multatuli telah berupaya untuk membuka mata dan pikiran dunia tentang busuknya kolonialisme di Hindia serta memberi inspirasi kepada bangsa Indonesia untuk merdeka. Kepada Multatuli, bangsa Indonesia berutang budi. Karena itu kalau ada pengarang Belanda yang paling dikenal di Indonesia dialah Multatuli. R.A Kartini dan Sukarno mendapat pengaruh Multatuli. Juga para pemimpin lainnya. Lalu, apakah sebenarnya yang diperjuangkan Multatuli? Apakah yang digugat oleh Multatuli? Multatuli menggugat tanam paksa yang memberi keuntungan berlimpah kepada kaum penjajah. Ia menggugat liberalisme yang saat itu sedang dipropagandakan. Ia menggugat rodi, menggugat permintaan paksa, dan korupsi dengan menggunakan jabatan. Multatuli memiliki arti politik penting ke arah timbulnya perubahan-perubahan cara pemerintahan di Indonesia. Meskipun seberapa besar dan jauh pengaruhnya masih dapat diperdebatkan. Tapi di antara kita, bukankah masih ingat kepada pidato Havelaar di hadapan para pemimpin Lebak, juga petikan-petikan kisah Saidjah dan Adinda. Itulah sedikit di antara yang memengaruhi hati dan pikiran kita. Bukankah kesadaran di hati dan pikiran kita timbul dari Multatuli? Masihkah ada pertanyaan mengapa kita memperingati Multatuli? Kita tidak perlu lagi bertanya: mengapa? Multatuli lahir di Amsterdam, 2 Maret 1820, dan meninggal di Ingelheim, Jerman, 19 Februari 1887. Multatuli telah memberikan landasan bagi sosialisme di Belanda sebagaimana yang ditempuh oleh Pieter Jelles Troelstra, pendiri Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda. Dia juga telah menjadi dasar bagi pelaksanaan politik etis di Hindia Belanda, yang membuka kesempatan pendidikan bagi warga bumiputera. Setelah menempuh berbagai penugasan di Manado dan Natal, Sumatera Utara, Eduard Douwes Dekker mulai bertugas sebagai asisten residen di Rangkasbitung, Lebak, Januari 1856. Tiga bulan bertugas di Lebak, dia mendapat laporan tentang penyelewengan yang dilakukan oleh Bupati Lebak Adipati Karta Natanagara. Laporan Dekker kepada Residen Banten Brest van Kempen tidak ditanggapi malah menyebabkan pemecatannya sebagai asisten residen Lebak. Ketika kembali ke Eropa, pada 1859 Dekker mengurung dirinya dalam sebuah kamar hotel di Brussel, Belgia, menuliskan riwayat pengalamannya semasa bertugas di Hindia Belanda. Di bawah nama pena Multatuli (berarti “aku yang banyak menderita”), dia mengungkapkan bagaimana pemerintah kolonial menjalankan sistem penidasan bagi rakyat Jawa. Novel Max Havelaar atau Persekutuan Lelang Dagang Kopi di Hindia Belanda terbit perdana pada 1860, dianggap sebagai pembuka aib penjajahan Belanda di Indonesia, sekaligus tonggak kesusasteraan modern di Belanda. Ronald van Raak, anggota parlemen Belanda dari Partai Sosialis (SP), menghargai jasa Multatuli dalam membongkar praktik-praktik menyimpang yang terjadi di Hindia Belanda. Menurutnya, Multatuli adalah raja diraja dari semua pembongkar kejahatan. “Apa yang telah dia lakukan telah membawa dampak yang berharga: sebuah undang-undang kerajaan yang telah disahkan untuk melindungi para pembongkar kejahatan. Tidaklah sia-sia baginya mempersembahkan karyanya, Max Havelaar , kepada Raja Willem III dengan harapan agar raja bisa menyelesaikan masalah penyelewengan yang terjadi di Hindia Belanda,” ujar Ronald seperti dikutip dari historia.id. Pada kenyataannya memang tak ada yang dilakukan oleh Raja Willem III untuk menyelesaikan persoalan di negeri jajahannya. Dampak politis dari penerbitan roman Max Havelaar baru terasa menjelang akhir abad ke-19, di saat kaum liberal seperti Van Deventer, mempertanyakan apa yang telah dilakukan pemerintah kolonial Hindia Belanda atas warga jajahannya. Muncul pula kesan kalau roman Max Havelaar lebih menyerupai sebuah gugatan atas ketidakadilan yang terjadi di Hindia Belanda ketimbang novel biasa. “Ini bukan sekadar roman biasa, melainkan sebuah gugatan,” kata Winnie Sordrager, ketua Perhimpunan Multatuli yang juga pernah menjabat menteri kehakiman Belanda periode 1994-1998. Winnie adalah cicit kemenakan dari Eduard Douwes Dekker. Mengutip kalimat pengarang novel Bumi Manusia , Pramoedya Ananta Toer(dalam Andre Vltchek & Rossie Indira, Saya Terbakar Amarah Sendirian , KPG, 2006, hlm. 15) yang menempatkan Multatuli sebagai sosok penting dalam sejarah Indonesia dengan alasan: “Saya masih berpendapat bahwa Multatuli besar jasanya kepada bangsa Indonesia, karena dialah yang menyadarkan bangsa Indonesia bahwa mereka dijajah. Sebelumnya, di bawah pengaruh Jawaisme, kebanyakan orang Indonesia bahkan tidak merasa bahwa mereka dijajah.” Itulah penghormatan Pram terhadap Multatuli yang disebutnya sebagai penyadar rakyat Indonesia; bahwa sebenarnya mereka tengah dirantai oleh belenggu penjajahan –terlepas dari status si penulis sebagai orang Belanda.

  • Menemukan Kembali Saidjah dan Adinda

    PADA 1987, tepat pada seratus tahun kematiannya, sebagai wartawan lepas dari sebuah stasiun radio di Belanda, saya dan seorang kawan menelusuri perjalanan Eduard Douwes Dekker alias Multatuli yang pernah bertugas sebagai asisten residen Lebak mulai Januari sampai April 1856. Berbekal roman Max Havelaar yang saya baca sejak masa sekolah di Belanda, saya melihat kembali apa yang pernah Multatuli lihat pada seratus tahun sebelumnya. Medio 1987 kami tiba di Rangkasbitung setelah melalui perjalanan yang cukup panjang dari Jakarta melalui Serang dan Pandeglang. Sama seperti Max Havelaar yang datang ke Serang terlebih dahulu untuk melaporkan diri kepada Residen Banten Brest van Kempen, kami berangkat dari Jakarta langsung menuju Serang menggunakan mobil melalui rute sama dengan yang Multatuli tempuh menggunakan kereta kudanya pada awal 1856. Saat itu belum ada jalan tol yang menghubungkan Jakarta ke Serang. Tiba di Serang siang, kami mengunjungi kembali alun-alun Serang di mana rumah dinas residen Banten berada tak jauh dari sana. Rumah tersebut sempat beralih fungsi menjadi kantor gubernur Banten dan kini tak lagi digunakan. Dalam kisahnya, Max Havelaar sempat menginap satu malam di rumah Residen Banten Brest van Kempen sebelum melanjutkan perjalanan ke Rangkasbitung pada pagi keesokan harinya. Dalam roman Max Havelaar , Multatuli menulis kisah perjalanan itu di Bab V. “Pagi-pagi jam sepuluh ada keramaian yang tidak lazim di jalan besar yang menghubungkan daerah Pandeglang dengan Lebak. 'Jalan besar' mungkin terlalu hebat untuk jalan kecil yang demi menghormati dan karena tidak ada yang lebih baik, disebut jalan; tapi jika kita, dengan kereta empat kuda berangkat dari Serang, ibu kota Bantam, dengan maksud untuk pergi ke Rangkasbetung, ibu kota baru daerah Lebak, maka bolehlah dipastikan bahwa kita akan sampai ke tempat itu sesudah beberapa waktu. Jadi, memang itu jalan. Saban sebentar kereta masuk ke dalam lumpur, yang di tanah rendah Bantam itu padat, liat dan kental…” Lumpur memang tak lagi kami temukan dalam perjalanan dari Serang menuju ke Rangkasbitung. Jalanan aspal menghubungkan Serang ke Rangkasbitung melalui Pandeglang saat itu jelas lebih baik ketimbang yang dilintasi oleh Multatuli ketika datang untuk pertama kalinya ke Rangkasbitung. Perjalanan menempuh waktu nyaris seharian, sejak pagi hingga sore, mulai dari Jakarta sampai ke Rangkasbitung. Jalanan berlumpur baru kami temukan ketika menempuh perjalanan dari Rangkasbitung ke Badur, desa di mana Saidjah dan Adinda berasal. Dua kilometer ke arah luar kota menuju Cileles, mobil yang kami tumpangi terjebak lumpur. Ban selip terbenam di dalam lumpur tanah liat kental, sehingga mobil tak beranjak jalan. Tanpa bantuan penduduk yang berkumpul di sepajang jalan berlumpur itu mungkin saya tak pernah sampai ke desa Badur. Pengalaman itu mengingatkan saya kembali kepada apa yang ditulis Multatuli di dalam novelnya. “...Setiap kali terpaksa diminta bantuan dari penduduk di desa-desa dekat situ, – meskipun tidak terlalu dekat, sebab desa-desa itu tidak banyak di daerah itu – , tetapi apabila kita akhirnya berhasil mengumpulkan dua puluh petani dari sekitar situ, maka biasanya tidak lama kemudian kuda-kuda dan kereta sudah berada di tanah keras lagi… Demikian perjalanan diteruskan beberapa waktu tergoncang-goncang, sampai datang lagi saat yang menyedihkan, kereta masuk lagi sampai ke-asnya kedalam lumpur,” demikian tulis Multatuli.  Bukan hanya lumpur yang jadi penghalang perjalanan kami saat itu, tapi juga jembatan kayu yang bobrok, tak layak lagi digunakan menghampar di hadapan seakan menyambut kami memasuki Cileles. Mungkin jembatan itu sudah puluhan tahun tak pernah diperbaiki. Balok kayu yang tersusun di atas jembatan tak lagi terikat rapi dan ajeg menyisakan celah longgar, membuat ban mobil truk angkutan kelapa yang berada di depan mobil saya terperosok ke dalamnya. Untuk beberapa jam lamanya perjalanan tertunda. Kami turun dari mobil dan ikut membantu menurunkan semua kelapa dari bak mobil tersebut untuk membuat beban mobil ringan dan bisa melaju lagi. Kami pun melanjutkan perjalanan dan tiba di Cileles menjelang magrib. Seorang lurah berbaik hati memberi tumpangan menginap pada sebuah pondok tanpa listrik. Pelita yang menerangi kegelapan malam itu hanya terpancar dari sebuah lentera dengan sumbu berlumur minyak kelapa.       Mungkin cara yang sama untuk menerangi malam juga digunakan oleh penduduk pada abad di saat Multatuli masih tinggal di Lebak. Padahal saat itu sudah seabad Multatuli pergi meninggalkan daerah yang membuatnya senang ditugaskan kesana. Beberapa hal agaknya memang belum banyak berubah saat itu. Diam-diam saya mulai sedikit percaya kalau Multatuli tak sekadar menulis fiksi. Perjalanan kami lanjutkan pada pagi hari, menuju ke desa Badur, tempat Saidjah dan Adinda berasal. Saya penasaran ingin menyaksikan langsung kondisi warga desa yang pernah digambarkan oleh Multatuli hidup dalam kemiskinan, tertindas dan penuh ketakutan. Mereka, kata Multatuli, tak bisa memanen padi yang ditanamnya sendiri dan memilih meninggalkan desa untuk mencari penghidupan yang lebih baik di kota. Ada yang mujur, namun lebih banyak yang berujung nahas: tewas di ujung senapan serdadu karena melancarkan pemberontakan melawan pemerintah kolonial. Tiba di Badur menjelang siang. Matahari bersinar terang menyengat kulit, membuat keringat terus menerus mengucur membasahi kemeja. Padi terlihat mulai menguning, sementara ilalang yang mengering bergoyang-goyang diterpa angin. Desa Badur terlihat sepi. Tak banyak penduduk di luar rumah. Sekelompok anak kecil bermain bersama seekor kerbau yang sedang digembala. Dua anak kecil di antaranya terlihat sedang menungganginya. Pada sudut lain desa, dua anak perempuan bercengkerama. Salah satunya tampak merapikan rambut gadis kecil yang ada di hadapannya. Apa yang diceritakan Multatuli sulit untuk saya bantah. Kondisi desa terlihat jauh dari kata sejahtera. Sebagian warga Badur masih memilih untuk meninggalkan desa, seperti seabad sebelumnya, merantau ke kota lain mengadu nasib. Kami sempat memfilmkan situasi itu: mendokumentasikan anak-anak kecil yang bermain dengan seekor kerbau, situasi desa dan semua yang kami temui di Badur. Setelah berkeliling desa, dengan buku Max Havelaar di tangan, kami kembali ke Rangkasbitung melalui rute yang berbeda. Menghindari jalan berlumpur dan jembatan rusak yang kami lalui sehari sebelumnya. Di Rangkasbitung, kami menginap pada sebuah hotel yang sederhana, berada di sebelah bioskop dan berseberangan dengan terminal. Kami punya kesempatan untuk melacak jejak Multatuli lebih leluasa sepulangnya dari Badur. Tempat pertama yang kami tuju adalah sebuah rumah yang pernah dihuni oleh Multatuli ketika dia bertugas jadi asisten residen. Rumah itu terletak di belakang rumah sakit yang kala saya mengunjunginya pada 1987 masih berfungsi sebagai kantor pemerintahan. Ketika saya tiba di sana, sebagian rumah telah berganti rupa menjadi bangunan yang lebih modern. Rupanya rumah asli telah hancur dan mungkin dipugar. Namun sisa-sisanya masih dapat bisa dilihat, terutama lantai ubin kuno motif persegi lima berwarna hitam dan putih. Rupanya bekas rumah asisten residen tersebut sedang diperbaiki, menambahkan bangunan lain yang baru di tempat yang sama. Pembangunan agaknya tak mengindahkan aspek pelestarian atau mungkin tak banyak yang tahu kalau rumah tersebut bangunan sejarah yang pernah ditinggali oleh penulis yang karyanya sempat menggemparkan negeri kolonial. Dari kejauhan saya lihat tukang bangunan membuang begitu saja ubin kuno yang berasal dari bangunan rumah. Saya memutuskan untuk memungut dua ubin dari tempat sampah: satu berwarna hitam dan satu lagi berwarna abu-abu keputihan. Dua ubin itu saya simpan dan kemudian hari saya bawa pulang ke Belanda. Pengalaman kunjungan ke Lebak seratus tahun setelah kematian Multatuli itu sangat membekas dalam benak saya. Ketika sedang mendokumentasikan situasi kota Rangkasbitung di tahun 1987 itu, seorang aparat militer mendekati kami. Menegur untuk tidak merekam film sembarangan. Kami digelandang ke kantor Dinas Sosial Politik yang berada tak jauh dari alun-alun. Diminta untuk menjawab pertanyaan dari pejabat kantor dan mengikuti seluruh proses administratif, termasuk menunggu keluarnya surat izin selama tiga jam lebih. Setelah memenuhi permintaan untuk membayar 30 ribu rupiah, kami bisa keluar tenang dengan surat izin di tangan. Di Lebak, saat itu, saya melihat kondisi telah berubah namun sisa-sisa bayangan masa lalu yang kelam masih tertinggal di sana. Bayangan itu kemudian saya temukan kembali saat saya pergi ke Lebak 32 tahun kemudian setelah kunjungan pertama saya pada 1987. Di tahun 2019 saya pergi mengunjungi Museum Multatuli yang setahun sebelumnya sudah diresmikan. Sebuah kebetulan jika salah satu dari dua ubin yang sempat saya selamatkan dari tong sampah pada 1987 ternyata bisa menjadi koleksi tetap museum. Ubin tersebut menjadi salah satu benda yang diserahkan oleh Multatuli Huis, Amsterdam kepada Bupati Lebak Iti Octavia dalam kunjungannya ke Belanda April 2016. Ubin hitam, simbol kelam kekejaman kolonial tetap menjadi koleksi Multatuli Huis, Amsterdam, sementara yang abu-abu keputihan, simbol perdamaian atas masa lalu yang suram, diserahkan kepada bupati Lebak. Pada 2019, saya dan beberapa kawan memutuskan untuk membuat sebuah film dokumenter menggunakan dokumentasi yang pernah saya bikin dari tahun 1987. Lagi-lagi saya kembali mengunjungi desa Badur. Berbekal rekaman film buatan 32 tahun lalu, saya mencari anak-anak kecil yang pernah saya rekam. Saya merasa beruntung karena masih bisa menemukan dua orang anak, Rasti dan Jumar, yang kini telah dewasa dan menikah. Saya penasaran apa yang terjadi pada hidup mereka selama 32 tahun terakhir. Rasti, gadis kecil yang terlihat sedang merapikan rambut adiknya pada dokumentasi film saya di tahun 1987, kini berusia 37 tahun, sudah menikah dan dikaruniai seorang anak. Apa yang terjadi padanya 30 tahun terakhir sejak dia difilmkan? Rasti hanya sekolah sampai Madrasah Ibtidaiyah (sekolah Islam setara Sekolah Dasar). Dalam usia 12 tahun dia harus bekerja jadi pembantu rumah tangga pada sebuah keluarga di Jakarta demi menghidupi ibunya yang telah menjanda dan seorang adiknya. Sementara itu, Jumar, anak angon kerbau yang juga sempat terdokumentasikan oleh saya, nasibnya tak jauh berbeda dari Rasti. Jumar hanya mengenyam pendidikan Sekolah Dasar Islam. Melanjutkan pendidikannya ke pesantren namun tak pernah menyelesaikannya karena memutuskan untuk menikah pada usia remaja. Setelah empat kali menikah, Jumar kini membuka usaha bengkel las sendiri di desa Badur. Setelah melihat data statistik tentang indeks rata-rata lama sekolah di Kabupaten Lebak tahun 2018, saya bisa paham mengapa Rasti dan Jumar tidak bisa mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Data itu memperlihatkan kenyataan kepada saya bahwa rata-rata kesempatan anak untuk sekolah hanya mencapai 6,7 tahun. Artinya mereka hanya mengeyam pendidikan sampai kelas enam sekolah dasar dan sempat mencicipi tujuh bulan di bangku sekolah menengah tanpa pernah bisa meneruskan lagi pendidikannya.  Buat saya, Rasti dan Jumar seperti gambaran Saidjah dan Adinda di masa kini. Mereka terpaksa bertarung untuk nasib yang lebih baik di tengah himpitan kondisi yang serba tak menentu. Dua abad lebih setelah roman Max Havelaar terbit ternyata jauh lebih banyak melibatkan para intelektual untuk berdebat di seputar soal apakah karya Multatuli itu fiksi atau fakta? Namun, mereka mungkin tak pernah berkesempatan untuk melihat langsung bagaimana nasib rakyat Lebak sesungguhnya yang sampai hari ini tak banyak beranjak dari kenyataan getir untuk hidup dalam ironi “tak bisa memanen padi yang ditanamnya sendiri.”

  • Mencegah Bayi Mati Karena Tetanus

    SERPONG pada tahun 1970 masih terhitung daerah pedalaman. Jalan masih tanah berbatu, listrik tak ada, wilayahnya pun masih didominasi kebun. “Dulu waktu Papa dinas di Tangerang, tahun 70-an ya, main paling jauh ke selatan ya Serpong. (Pohon, red .) Karet semua. Sering nembak rusa, berburu,” ujar Eddy Hidayat, wiraswastawan di Bogor, kepada Historia  mengisahkan masa kecilnya ketika sering diajak berburu oleh ayahnya yang tentara. Di wilayah itu, jumlah petugas medis terbatas. Pasca-kemerdekaan hingga 1970-an, hanya ada satu dokter yang menangani seluruh wilayah Tangerang. Dialah dr. Kimar Wiramihardja. Saking jarangnya dokter, pada 1950 Kementerian Kesehatan berupaya mendatangkan sekira 200 dokter dari India dan Eropa barat, seperti dimuat dalam Antara , Sabtu 1 November 1950. Maka ketika dr. Firman Lubis, yang juga dosen Fakultas Kedokteran UI, akan mengadakan proyek penelitian kesehatan di Serpong (Proyek Serpong) pada 1970, dr. Kimar amat senang. Ada juga dokter yang akan meringankan beban kerjanya. Lantaran Serpong belum teraliri listrik, Firman pun harus mencari kulkas berbahan bakar minyak untuk menyimpan obat-obatan. Dalam bukunya Jakarta 1970-an, Firman menceritakan, lampu teplok dan pompa air jadi teman akrabnya kala Proyek Serpong. Dalam mengerjakan proyek itu, Firman dibantu beberapa peneliti dan dokter dari Indonesia dan Belanda, salah satunya sosiolog Anke Borken Niehof. Bantuan dari sosiolog dan antropolog itu memungkinkan pengerjaan dilakukan dengan pendekatan antropologi-medis. Dalam temuan timnya, hubungan sosial antara dukun beranak dan pasiennya terjalin erat dan kekeluargaan. Hubungan ini terbangun lantaran hampir semua dukun bayi memberikan pertolongan tambahan seperti memandikan bayi, mengobati demam, dan pegal linu. Pertolongan semacam ini, tambahnya, bersifat sosial-psikologis yang mendekatkan hubungan dukun-pasien sekaligus membuat para dukun beranak sangat dipercaya oleh masyarakat. Imbasnya, dukun bayi dianggap sebagai pemimin informal. Meski di beberapa kampung terdapat bidan atau mantri, kebanyakan penduduk masih lebih suka lari ke dukun jika menemui keluhan kesehatan. Beberapa alasan yang disebutkan Firman ialah, ketidaktahuan mereka akan tenaga medis atau kekhawatiran kalau-kalau mereka tak akan sanggup membayar. Perkara melahirkan misalnya. Dalam catatan Firman hingga 1970-an, hanya 20% peralinan tercatat ditangani oleh tenaga medis, sisanya lebih memilih meminta bantuan dukun bersalin. Kedekatan hubungan ini tentu menyulitkan tim peneliti Proyek Serpong. Salah-salah bukan menanggulangi masalah kesehatan malah buyar. Ia pun paham kalau model pelarangan pada para dukun hanya akan menimbulkan konflik sosial. Maka, alih-alih menyingkirkan para dukun, ia menggunakan cara yang jauh lebih halus, yakni melatih para dukun tentang hiegenitas dan kebidanan dasar. “Kita ingin berusaha agar dalam waktu yang akan datang bayi yang baru lahir tidak akan meninggal karna penyakit tetanus lagi,” kata Firman dalam laporannya. Temuan dalam laporan Proyek Serpong menyebut bahwa penyebab utama kematian bayi kebanyakan ialah tetanus. Para bayi bisa terjangkit lantaran setelah lahir, tali pusat mereka dibubuhi abu agar cepat kering bukan alkohol dan iodium. Kondisi ini tentu mengkhawatirkan. Pada 1950 misalnya, angka kematian bayi mencapai 600.000 dalam setahun sementara angka kematian ibu mencapai 55.000. Cara-cara seperti inilah yang kemudian dibenahi. Penggunaan bambu ( welad ) dianggap berbahaya sehingga para dukun dibekali tetang ilmu kebidanan dasar, hieginitas, dan medical kit . Isinya gunting, klem, dan alkohol. Kala itu, ada dua orang dukun beranak yang diajar Firman dan para bidan, yakni Mak Kancas dan Mak Icot. Keduanya sudah berusia senja dan buta huruf. Namun dengan penyampaian materi yang lucu dan santai, mereka bisa lekas paham. Firman bahkan mengadakan arisan di setiap pertemuan untuk mendekatkan tim medis dengan para dukun. Alhasil, suasana akrablah yang terjadi. Tidak ada intimidasi, pandangan merendahkan, atau penyingkiran. Lantaran cukup berhasil, proyek serupa dilakukan pula di Yogyakarta. Bidan Nunik Endang Sunarsih, Wakil Ketua Pengurus Besar Ikatan Bidan Indonesia menceritakan pada Historia pengalamannya mendampingi dukun beranak pada 1980-an. Tiap selapan (lima minggu) Nunik membuka pelatihan kebidanan pada para dukun beranak di Yogyakarta. Misinya ialah mengurangi risiko kematian bayi akibat tetanus dengan mengajari para dukun tentang hiegenitas dan melarang mereka menggunakan sembarang ramuan untuk membungkus tali pusat bayi. Dalam tiap pertemuan, Nunik akan meminta para dukun untuk menceritakan proses persalinan yang mereka tangani selama lima minggu sebelumnya. Ia juga memeriksa medical kit  yang ia berikan. “Kalau rusak ya diganti. Tapi kadang ada yang takut kalau ketahuan rusak. Padahal ya tidak akan saya marahi,” kata Nunik sambil terkekeh.

  • Ketika Paman Ho dan Tan Malaka Bertemu

    Kedekatan Presiden Sukarno dan Ho Chi Minh selalu dikaitkan dengan permulaan hubungan diplomatik antara Indonesia dengan Vietnam. Keakraban keduanya terlihat manakala mereka saling berkunjung ke negeri yang dipimpinnya masing-masing. Paman Ho, sapaan akrab Ho Chi Minh, mengunjungi Indonesia pada 27 Februari - 3 Maret 1959. Sedangkan kunjungan balasan dari Sukarno dilakukan pada 24 Juni - 9 Juli 1959. Namun rupanya jauh sebelum Sukarno berkarib dengan Ho Chi Minh, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) Tan Malaka telah lebih dahulu menjalin hubungan dengan tokoh komunis Vietnam tersebut. Dalam Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan , Arif Zulkifli, dkk menyebut jika pertemuan Tan dan Ho terjadi pada 1922 di Moskow, Uni Sovyet. Tidak seperti pertemuan dengan Sukarno, yang dilakukan setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaannya dan Vietnam dalam proses revolusi, hubungan antara Tan dan Ho terjalin ketika Hindia (nama Indonesia sebelumnya) masih memegang status jajahan Belanda dan Vietnam di bawah kuasa bangsa Prancis. Keduanya sama-sama sedang berusaha menggelorakan kebebasan di negerinya masing-masing. “Kisah pertemanan Tan Malaka dengan Ho dikatakan oleh Tan Malaka sendiri kepada Shigetada Nishijima, tangan kanan Laksamana Maeda di Jakarta,” ungkap sejarawan Bonnie Triyana dalam "Kawan Sehaluan dari Negeri Seberang" dimuat majalah Historia edisi I 2012. Pernyataan Bonnie itu dibenarkan oleh Harry A. Poeze di dalam bukunya Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 1: Agustus 1945 - Maret 1946 . Menurut Poeze, Nishijima dan Tan sering bertemu di rumah diplomat Ahmad Soebardjo. Nishijima senang sekali mendengar pandangan-pandangan Tan tentang berbagai persoalan, termasuk tentang pengalaman masing-masing yang bersifat pribadi. Sehingga tidak heran jika pengakuan kedekatan dengan Ho terlontar langsung dari mulut Tan. “Saya bertemu Sano Manabu melalui kegiatan saya di Komintern. Saya juga kenal Ho Chi Minh dan pernah debat dengan Stalin …” ucap Tan sebagaimana dikutip Poeze. Pertemuan Tan dan Ho bermula dari ketertarikan keduanya akan gelaran Kongres Komintern (Komunis Internasional) ke-4 di Moskow. Acara rutin yang mempertemukan orang-orang komunis dari seluruh dunia itu berlangsung pada 5 November - 5 Desember 1922. Tan sendiri sudah ada di Moskow sejak Oktober 1922, sementara Ho tiba ketika acara tengah berlangsung. Bersua di Komintern Keikustertaan Tan di acara yang dihadiri pimpinan Uni Soviet Vladmir Lenin tersebut terjadi ketika dirinya sedang dalam masa pengasingan. Ia diasingkan pemerintah Hindia Belanda dari Indonesia pada Februari 1922. Tan lalu memilih Negeri Belanda sebagai tempat pengasingannya. Di sana Tan aktif mengikuti kegiatan-kegiatan kaum komunis Belanda. Menurut Masykur Arif Rahman dalam Tan Malaka: Sebuah Biografi Lengkap , Tan Malaka dikenal sebagai pahlawan dan martir oleh kaum komunis Belanda. Berkat banyaknya dukungan terhadap Tan, maka ia pun dicalonkan sebagai anggota Majelis Rendah di Belanda. Dalam proses pemilihan itu, Tan meraih suara kedua terbanyak dari tiga calon yang terdaftar. Namun karena usianya ketika itu (25 tahun) belum mencukupi persyaratan Majelis Rendah Belanda, yakni minimal 30 tahun, Tan gagal memperoleh kursi. Ia pun memutuskan pergi dari Belanda menuju Berlin, Jerman. Di tempat itu Tan mempersiapkan segala keperluan untuk mengikuti acara Kominterns di Moskow. Sementara itu, keikutsertaan Ho di Moskow terjadi ketika ia sedang dalam proses mencari pengalaman membangun kemerdekaan di negerinya. Ho mempelajari cara pembebasan kaum tertindas dan cara berorganisasi dari berbagai negara. Diceritakan William J Duiker dalam biografi Ho Chi Minh , perhentian pertama Ho ketika baru keluar dari negerinya adalah London, Inggris. Ia tiba di sana ketika Perang Dunia I meletus. Dari Inggris, Ho melanjutkan petualangannya di Prancis, setelah tinggal sebentar di Amerika. Di negara yang menjajah negerinya itu, Ho mempelajari begitu banyak hal, utamanya cara membangun organisasi dari sebuah partai beraliran sosialis, The French Section of the Workers International (SFIO). Di tempat itu juga Ho memperdalam pemahamannya terhadap Marxisme-Leninisme. Berbagai kegiatannya membawa Ho kepada faksi komunis. Namun pada 1922, aktifitas Ho dan partainya mulai diawasi polisi Prancis karena dianggap menumbuhkan benih radikalisme. Pada akhir 1922 ia meninggalkan Prancis. Ho lalu memilih Moskow sebagai tempat tinggal berikutnya. Selain dinilai aman bagi para penganut ideologi komunis, kongres Komintern pun tengah diselenggarakan dan Ho memang berencana untuk mengikutinya. Keputusan itu mengantarkannya kepada pertemuan dengan sesama wakil negara terjajah di Asia Tenggara, Tan Malaka. Wakil Asia Sebelum hari penyelenggaraan kongres, Tan banyak diikutsertakan dalam rapat-rapat persiapan. Meski tidak memiliki hak suara karena bukan anggota tetap, ia tetap dihadirkan sebagai penasihat. Sejak kedatangannya di Moskow, Tan sering mengunjungi pabrik, dan berkenalan dengan para buruh di sana. Kegiatannya itu membuat Tan semakin dikenal dikalangan kaum pekerja. Kesempatan Tan bertemu dan mendengarkan pandangan para wakil dari Asia, termasuk Ho, terjadi ketika mereka diberi waktu oleh panitia kongres untuk mengutarakan gagasannya masing-masing selama lima menit di depan peserta kongres. Pada kesempatan tersebut Tan menyampaikan gagasan tentang kerja sama antara komunisme dan Islam. Menurut Taufik Abdullah, dkk dalam Manusia dalam Kemelut Sejarah , Tan mempertanyakan sikap tokoh-tokoh komunis internasional yang menentang Pan Islamisme sebagai corak baru dari imperialisme. Menurutnya Pan Islamisme bangkit untuk menentang imperialisme Barat. Mereka berada di jalan yang sama dengan komunis. Karenanya ia menilai sikap anti Islamisme Moskow tidak mencerminkan suasana perkembangan dunia ketika itu. Sementara menurut Bernard Fall dalam Ho Chi Minh: Selected Writings 1920-1966, pidato Ho, sebagai perwakilan negeri terjajah, di depan orang-orang komunis tersebut menjadi salah satu yang paling memukau “Ai Quoc ( n ama lain Ho) tampil sebagai salah satu wakil negeri terjajah yang paling vokal dan enerjik,” tulisnya. Di luar kongres, Tan banyak berbincang dengan wakil-wakil koloni dari Asia. Ia juga banyak berdiskusi dengan Ho tentang Marxisme-Leninisme yang sama-sama mereka dalami. Baik Tan maupun Ho dikenal memiliki kemampuan bahasa yang baik sehingga mereka tidak kesulitan dalam soal berkomunikasi. Setelah kongres selesai, Tan dan Ho kembali ke perjuangannya masing-masing. Keduanya masih tetap tinggal di Moskow selama dua tahun, mempelajari gerakan anti-kolonialisme dan aktif di Komintern. Ho lalu memutuskan kembali ke Vietnam pada 1930, sedangkan Tan baru bisa kembali ke Indonesia setelah Belanda hengkang. Meski sudah lama tidak saling bertatap muka, keduanya masih saling memperhatikan perkembangan perjuangan masing-masing. Tan Malaka sangat terinspirasi dengan cara Ho memimpin perjuangan rakyat Vietnam melawan penjajahan Prancis. Tetapi sejarawan Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda: Revolusi Indonesia dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 , menyebut jika cara memimpin Ho akan sulit diikuti oleh Tan. “Tak tersedianya kader yang kuat, sepert yang dimiliki oleh Ho Chi Minh di Vietnam menyebabkan Tan Malaka gagal menjalankan strategi politik ala Ho di Indonesia,” ungkapnya.

  • Banjir Jakarta 1960-an

    Banjir besar melanda beberapa wilayah Jakarta pada Januari dan Februari 2020. Puluhan ribu orang terdampak dan harus mengungsi. Kerugian materi mencapai hampir Rp1 triliun. Bibit penyakit mengancam di wilayah terdampak. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memberitahu bahwa potensi hujan lebat di Jakarta berlanjut sampai Maret 2020. Banjir Jakarta adalah sejarah berulang. Pada bulan-bulan pembuka tahun, banjir kerap menerjang. Tengoklah sejenak ke awal 1960-an. Ketika itu Soemarno Sosroatmodjo baru saja usai ucapkan sumpah jabatan. Dia menjadi gubernur baru Jakarta pada siang 9 Februari 1960. Kemudian hujan deras turun pada malam hari. Selama beberapa hari, hujan tak kunjung reda. Sungai Angke dan Grogol tak mampu lagi menampung hujan. Air memasuki dan meninggi di sejumlah permukiman jelata dan warga berada. Soemarno memperoleh ujian pertamanya sebagai gubernur, yaitu menghadapi banjir. “Rasanya seperti diplonco,” kata Soemarno dalam Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya . Banjir menghampiri tujuh kelurahan. Termasuk ke permukiman baru anggota parlemen dan badan intelijen di Grogol. Tinggi banjirnya sepinggang atau selutut orang dewasa. Warga memilih mengungsi. Sebab di rumahnya penuh serangga dan ular berbisa yang mencari tempat kering. Kawasan sekitar Istana Negara nyaris ikut terendam. Tapi pemerintah memutuskan membuka Pintu Air Manggarai. Akibatnya permukiman di sekitar Pejompongan menjadi sasaran banjir. Situasi di permukiman jelata sangat parah. Banjirnya sampai setinggi atap rumah. Ribuan rumah terendam dan hampir 40 ribu orang terdampak. Mereka memerlukan bantuan. Tim Bantuan Pertama Soemarno bergerak gesit. Dia pernah aktif di Palang Merah Indonesia (PMI). Karena itu, dia mengerahkan tenaga dan fasilitas di PMI untuk menolong korban banjir. Dia juga membentuk Team Asistensi Bencana Alam. Inilah inisiatif pertama dari pemerintah daerah untuk membantu korban banjir. Periode banjir sebelumnya, warga bergotong royong tanpa ada penanganan khusus dari pemerintah. Pemerintah Kotapraja Jakarta bekerja menanggulangi dampak banjir Februari 1960 dengan melibatkan lima instansi: Departemen Sosial, Departemen Kesehatan, Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga, dan Departemen Keuangan. Tapi kerja itu tak cukup memuaskan warga Jakarta. Pemerintah Kotapraja kewalahan dan mengakui kelemahannya. “Sebagai jawaban atas ketidakmampuan menangani banjir, pimpinan Kotapraja mengatakan bahwa banjir disebabkan oleh kekuatan alam,” catat Restu Gunawan dalam Kala Air Tidak Lagi Menjadi Sahabat: Banjir dan Pengendaliannya di Jakarta Tahun 1911–1985 , disertasi pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Beberapa hari kemudian banjir surut. Orang-orang kembali ke rumah dan membersihkan sisa lumpur. Jalan-jalan rusak. Bibit penyakit menguar. Kerja pemerintah dalam menangani dampak banjir belum selesai. Mereka mulai mengeksekusi rencana pembuatan waduk seluas 105 hektar di Pluit untuk mengurangi limpahan air di kanal dan kali ketika musim hujan tiba nanti. Rencana ini telah muncul dari tahun 1957. “Tetapi pelaksanaannya belum juga dapat dimulai karena kesukaran anggaran,” kata Soemarno dalam Karya Jaya: Kenang-Kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945–1965 . Pembuatan waduk mensyaratkan pula rekayasa aliran air pada kali dan kanal di sejumlah wilayah Jakarta. Perubahan itu akan mengarahkan aliran kali dan kanal ke waduk. Lalu dari waduk, air akan dibuang ke laut. Semua tahap pembangunan waduk akan selesai dalam 4 tahun. Ini berarti selama waduk belum jadi, warga Jakarta dibayang-bayangi banjir. Tapi untunglah selama dua tahun setelah banjir Februari 1960, curah hujan cukup normal. Bahkan musim kemarau sepanjang dua tahun itu cenderung lebih panjang dari tahun 1960. Warga Jakarta hidup tenang. Dalam dua tahun, pembangunan fisik melesat cepat demi Asian Games 1962. Jakarta berubah drastis. Rawa-rawa menjelma permukiman. Tanah merah nan lapang berkurang. Gedung-gedung baru berdiri. Jalanan bertambah panjang. Asian Games 1962 berlangsung meriah. Mata dunia tertuju ke Jakarta. Puja-puji tersemat kepada kota ini berkat penyelenggaraan Asian Games. Warganya pun berbangga dan tersanjung. Tapi kebanggaan itu tak lama. Hujan deras kembali mengguyur Jakarta pada Januari 1963. Sungai, kanal, dan kali meluap. Grogol menjadi lautan kecil. Begitu pula kecamatan lainnya. Banjir mampir lagi di Jakarta. Kali ini cakupannya lebih luas. Tercatat sembilan dari 21 kecamatan di Jakarta terdampak banjir. “Terdapat seluruhnya 433.812 jiwa dari 3 juta penduduk Jakarta yang menderita akibat banjir,” catat Djaja , 2 Februari 1963. Soemarno membentuk Team Chusus Bandjir Ibukota untuk menyalurkan bantuan kepada korban terdampak. Jumlah anggotanya mencukupi, tetapi peralatan untuk menyalurkan bantuan sangat kurang. Misalnya, peralatan untuk mendirikan dapur umum berikut suplai bahan makanannya.    “Oleh karena itulah tidak seluruh mereka yang membutuhkan bantuan berhasil tertolong,” tulis Djaja . Polisi berjaga di sejumlah tempat terdampak selama 24 jam. Dalam situasi kalut, ada saja orang yang mencuri harta benda di rumah kosong. Sebagian polisi juga berpatroli di tempat-tempat terdampak dengan menggunakan perahu karet. Bersama mereka, ikut pula petugas kesehatan untuk memberikan pengobatan dan perawatan kepada korban. Tawaran bantuan dari negeri sahabat berdatangan. Howard Jones, Duta besar Amerika Serikat, menemui langsung pejabat daerah untuk mencari tahu apa saja kebutuhan para korban. Dia menyatakan Kedutaaan Amerika Serikat siap menyediakan kebutuhan tersebut. Pesatnya Pembangunan Seiring surutnya air di tempat-tempat terdampak, diskusi tentang penyebab dan pencegahan banjir mengemuka. Ir. Manuhutu, Direktur Djawatan Pekerdjaan Umum (DPU), mengatakan banjir Jakarta sebagai dampak dari pembangunan yang begitu pesat. “Yang dimaksud beliau tentunya bukan pembangunan-pembangunan yang persiapan dan penyelenggaraannya sudah melalui rencana yang matang sesuai dengan city planning , melainkan pembangunan yang timbul sebagai akibat pertambahan jumlah penduduk yang luar biasa di Jakarta,” catat Djaja . Penduduk Jakarta naik pesat. Ada 3 juta penduduk pada 1963. Padahal pada dekade 1940-an, Jakarta hanya berpenduduk 750 ribu orang. Pertambahan penduduk berarti peningkatan jumlah bangunan. Kemudian pertambahan bangunan mengakibatkan luas tanah beserta daya serap airnya berkurang. Ketika tanah untuk menyerap air justru berkurang, curah hujan selama awal 1963 justru bertambah. Menurut catatan Djaja ,9 Maret 1963, curah hujan berkisar pada 790,6 mm per bulan. Tahun sebelumnya hanya sampai 300 sampai 600 mm per bulan. “Hujan tahun ini di Jakarta merupakan suatu rekor yang hanya bisa diimbangi oleh rekor jatuhnya hujan di tahun 1891 ketika dalam satu hari turun kira-kira 200 mm air hujan.” Djaja melanjutkan, peringatan tentang besarnya curah hujan pada awal 1963 sebenarnya telah disampaikan oleh G. Miles, seorang ahli cuaca berkebangsaan Australia. Tapi tak seorang pun pejabat daerah dan pusat menggubrisnya. “Agaknya skeptis dan menyatakan bahwa di bulan-bulan yang disebut tadi bukan hal luar biasa apabila turun hujan lebat di Indonesia,” ungkap Djaja . Rumah Panggung Untuk mengatasi banjir di Jakarta, Soemarno hanya bisa berharap pada percepatan pembangunan waduk Pluit. Mesin pompa untuk mengalirkan air ke laut pun baru akan beroperasi pada Maret 1964. Soemarno mencoba realistis. Selama waduk Pluit belum selesai, banjir masih akan terus datang di tahun-tahun berikutnya. “Jangan mengharapkan dulu bahwa kita akan terbebas daripadanya dalam tahun yang akan datang,” kata Soemarno dalam Djaja , 2 Maret 1963. Seorang warga punya usulan sendiri untuk menghadapi banjir. Sembari menunggu pembuatan waduk dan sarana pendukungnya selesai, dia menyarankan pemerintah daerah mengeluarkan aturan tentang bentuk rumah agar menyerupai rumah panggung. “Agar rumah-rumah yang ada dalam daerah banjir itu keseluruhannya didirikan (sedapat mungkin diperbaiki) sehingga terletak tidak lagi langsung di atas tanah, melainkan lantainya semuanya bertupangan tiang-tiang rumah itu sendiri, kurang lebih 1–1½ meter tingginya dari tanah seperti rumah-ruma yang hampir dimana kedapatan di luar Jawa,” tulis S.M. Latif dalam surat pembaca di Djaja , 2 Maret 1963. Tapi usul warga itu sepertinya melesap begitu saja. Sementara pembuatan waduk Pluit ternyata keluar dari tenggat. Hingga akhir 1964, pembuatan waduk hanya mencapai 25 persen dari total pengerjaannya. Pembuatan waduk baru selesai pada masa Ali Sadikin menjabat gubernur (1966–1977).

  • Kala Tan Malaka Kemalingan di China

    TINGGAL jauh dari kampung halaman tanpa bekal cukup dan sanak famili jelas merepotkan. Terlebih, jika saat tinggal itu yang bersangkutan sedang dalam status pelarian. Lengkaplah sudah penderitaan. Kondisi itulah yang dialami Tan Malaka, salah satu founding fathers Indonesia, ketika tinggal di Shanghai dari 1930-1932 –Tan tinggal dengan menyewa sebuah kamar di rumah milik Tionghoa di Chapei. Tan sadar betul semua kesulitan dan bahaya yang mengitarinya merupakan risiko dari pilihan hidupnya, memperjuangkan kemerdekaan negerinya. Maka, Tan menjalaninya dengan biasa sebagaimana dia menjalani hidup di masa-masa sebelumnya di tempat-tempat yang juga berbeda. Tan tinggal di Shanghai dengan nama samaran Ossario, yang disebutnya sebagai seorang wartawan asal Filipina yang bekerja pada Bankers Weekly . Saat Tan tinggal, Shanghai merupakan kota International Settlement. “Sejarah permukiman asing (international settlement, red .) di Shanghai dapat ditelusuri kembali ke Perjanjian Nanking pada 1842, yang ditandatangani Cina untuk menyelesaikan Perang Anglo-Cina pertama. Diputuskan oleh perjanjian ini bahwa Cina tidak hanya harus menyerahkan Hong Kong ke Inggris tetapi juga harus membuka lima pelabuhan perjanjian: Kanton, Hsiamen, Fuchow, Ningpo, dan Shanghai,” tulis sejarawan Harumi Goto-Shibata dalam Japan and Britain in Shanghai, 1925-1931. Meski lahan Settlement Shanghai tetap milik Republik China, kedaulatan di kota pelabuhan tersebesar Tiongkok itu terbagi ke dalam beberapa kedaulatan negara yang mendirikan perwakilan di dalamnya. “Pada treaty ports (bandar perjanjian) itu, asing (Eropa, Amerika, Jepang) boleh berdagang dan membuka perusahaan di bawah perlindungan undang-undang negaranya sendiri,” tulis Tan Malaka dalam otobiografinya, Dari Penjara ke Penjara Bagian Dua. “Apakah artinya kedaulatan semacam itu kalau polisi di tempat-tempat tersebut ialah polisi asing dan pemerintah kota di sana terdiri dari bangsa asing?” sambung Tan. Selain pergi ke perpustakaan untuk membaca dan menulis, hari-hari Tan dihabiskan dengan berbincang dengan orang-orang di rumah tempat dia menyewa kamar atau kenalan-kenalannya. Selain itu, rutinitas Tan di Shanghai adalah berkeliling dari satu tempat ke tempat lain untuk mengamati kondisi daerah dan kehidupan masyarakatnya. “Perjalanannya adalah tentang klaim komparabilitas kota-kota kolonial seperti halnya tentang emansipasi kota-kota ini dan hak-hak kedaulatan dan kemerdekaan. Munculnya kesadaran antikolonial Tan Malaka bersinggungan dengan berbagai bentuk kota yang ia temui di Shanghai. Di masa ketika kota itu telah dijajah atau berada di bawah ancaman kekuatan Barat (termasuk Jepang), kota itu datang untuk mewujudkan otoritas politik dan dengan demikian menjadi simbol kedaulatan,” tulis Abidin Kusno dalam The Appearances of Memory: Mnemonic Practices of Architecture and Urban Form in Indonesia. “Keasyikan” Tan di Shanghai berakhir pada 27 Januari 1932 ketika tentara Jepang membombardir kota itu yang memicu perlawanan dari Tentara ke-19 (19 th Route Army) Republik China. “Kacau balau yang ditimbulkan oleh tembakan meriam, mortir, mitraliur, dan senapan berturut-turut serta akhirnya dengungan bomber dan peledakan bom siang dan malam menjadikan sekitar kampung dan rumah saya seakan-akan menjadi neraka,” kata Tan.   Penduduk, termasuk Tan, hanya bisa bertahan di dalam rumah. Mereka mulai kekurangan makanan dan air pada hari keempat. “Untunglah pada hari kelima, oleh pemimpin tentara Jepang yang menguasai kampung kami, kepada penduduk diberi kesempatan buat mengungsi,” sambungnya. Tan terpaksa meninggalkan peti tempat barang-barangnya, buku-buku, dan mesin tulis (mesin tik) miliknya lantaran mengungsi. Setelah sebulan berpindah-pindah menumpang tempat tinggal pada teman-temannya, Tan akhirnya memutuskan kembali ke rumah yang disewanya sebulan kemudian berbekal surat izin dari pemerintah kota-tentara pendudukan Jepang. Tan ingin menyelamatkan buku-buku dan barang-barangnya yang jumlahnya tak seberapa. Meski berberapakali mengalami pemeriksaan tentara Jepang di sepanjang perjalanan sunyi menuju rumah sewanya, Tan akhirnya sampai juga. Di sana dia bertemu si pemilik rumah yang tampak bersedih dan berulangkali mengucapkan kata la-li-long . Tan lalu bergegas ke dalam rumah untuk mengambil barang-barangnya. “Baru saya mengerti benar apa artinya la-li-long itu. Peti saya berisi pakaian, buku-buku, mesin tulis, tungku, kayu dan arang, beras, kecap, bawang dan lain-lain bahan buat dimasak hari-hari semuanya hilang lenyap bersama dengan la-li-long -nya,” kata Tan.

  • Bombshell yang Menumbangkan Pemred Cabul

    DALAM layar kaca, segalanya bergantung pada pandangan mata. Megyn Kelly (diperankan Charlize Theron) memberi tur singkat dalam dapur redaksi televisi berita Fox News . Ia memperlihatkan sedikit-banyak soal kebijakan seksisme oleh siapa lagi kalau bukan sang pemimpin redaksi (pemred) Roger Ailes (John Litgow),yang memimpin tv berita milik taipan media Rupert Murdoch (Malcom McDowell) itu sejak 1996. “Sejak dini dia menyadari cara jaringan berita untuk bertahan 24 jam sehari, adalah Anda butuh sesuatu yang bisa mempertahankan pemirsanya. Tiada lain adalah keindahan kaki. Ada alasan khusus mengapa meja (pembaca berita) berkaca bening,” cetusnya, selain memaparkan semua karyawati Fox News wajib mengenakan rok mini nan ketat. Begitulahadegan yang disuguhkan sutradara Jay Roach dalam membuka biopik Bombshell. Film itu berpusar pada pergulatan tiga perempuan pekerja Fox News yang mengalami pelecehan seksual. Dengan cara singkat itu Jay ingin penontonlebih dulu paham pengantar sebelum masuk keinti cerita yang berdasarkan kisah nyata itu. Megyn Kelly (kiri) yang diperankan aktris Charlize Theron (Foto: Lionsgate/Wikipedia) Megyn sendiri kecewa pada Ailes yang setengah hati melindunginya. Saat itu, Megyn tengah diteror paparazzi akibat kritiknya terhadap Donald Trump dalam Debat Partai Republik 2016. Selain tentang Megyn, kisahnya bersirkulasi pada news anchor lain, Gretchen Carlson (Nicole Kidman) yang mengisi program “Fox and Friends”. Saat Gretchen sedang membawakan acara, tiba-tiba dia mendapat pemberitahuan bakal dimutasi ke program lain yang kurang populer. Begitu Gretchen meminta penjelasan Ailes, sang pemred mengaku keputusannya tak bisa diganggu-gugat, kecuali Gretchen bersedia melakukan “sesuatu”. Secara ters i rat, Ailes meminta “imbalan” setidaknya Gretchen mau melakukan oral seks untuknya . Gretchen pun speechless dan memilih pergi tanpa ekspresi. Ia pilih memendam emosinya nan perih itu mengingat kontraknya tak lama lagi habis. Ia juga teringat pada kasus Rudi Bakhtiar yang juga mengalami pelecehan seksual pada 2007 oleh salah satu atasannya, Brian Wilson. Diam-diam, Gretchen menyewa pengacara untuk menyiapkan berkas tuntutan atas pelecehan seksual oleh Ailes. Menyusul dimutasinya Gretchen ke program lain, giliranjurnalis mudaKayla Popisil (Margot Robbie) yang “dikeker” Ailes. Mulanya Kayla begitu antusias lantaran ia juga memimpikan bisa tampil di salah satu program unggulan Fox News. Namun, semua berubah saat ia dipanggil ke ruangan Ailes.Ia malah dilecehkan sang pemred. Ailes menjanjikan karier cemerlang jika Kayla mau menuruti permintaannya, salah satunyayakni Kayla disuruh berdiri, berputar, dan mengangkat roknya hingga pakaian dalamnya terlihat dan bisadinikmatisang pemred. Adegan Kayla Popisil (diperankan Margot Robbie) sebelum dilecehkan Roger Ailes (Foto: IMDb) Klimaksnya bergulir kala Gretchen dipecat tanpa alasan sebelum kontraknya habis. Buat Gretchen, ini artinya perang. Gretchen yang sudah menyiapkan berkas tuntutan bersama tim pengacaranya, segera menginformasikan skandal itu ke publik. Bak bombshell alias ledakan bom, tuntutan itu mengguncang seisi Fox News . Sang CEO yang juga putra Rupert Murdoch dan punya masalah dengan Ailes sejak lama, turut membentuk tim investigasi internal. Ailes sendiri membantah, baik di internal direksi maupun di hadapan publik. Semua karyawati Fox News juga diminta mendukung Ailes dalam membantah tuduhan Gretchen, kecuali Megyn Kelly. Ia salah satu pembawa acara paling populer saat itu dan sontak jadi sorotan lantaran sikap diamnya. Sikap diam juga diambil Kayla yang masih seumur jagung bekerja di Fox News . Kayla khawatir jika ia turut mengaku pernah dilecehkan, ia takkan pernah bisa lagi bekerja di stasiun tv manapun. Namun, Gretchen akhirnya tak sendiri. Beberapa wanita muncul mengaku turut jadi korban pelecehan Ailes. Namun pengakuan-pengakuan mereka bakal kurang kuat lantaran terjadi di media lain tempat sebelumnya Ailes bekerja, bukan Fox News. Aktris kawakan Nicole Kidman (kiri) memerankan Gretchen Carlson (Foto: IMDb/Wikipedia) Diam-diam, Megyn yang selama ini no comment melakukan investigasinya sendiri dibantu rekan-rekan dekatnya. Hasilnya,sebanyak 22 karyawati Fox News ternyata juga pernah jadi korban pelecehanoleh Ailes maupun beberapa atasan lain. Kayla salah satu korbannya. Temuan itu makin membulatkan tekad Megyn untuk keluar dari zona nyamannya. Ia akhirnya angkat bicara bahwa ia juga dilecehkan Ailes di masa-masa awal kariernya di Fox News . Upaya Megyn beriringan dengan upaya perlawanan Gretchen yang dilakukan dengan caranya sendiri. Hasilnya, ah, jauh lebih seru jika Anda saksikan sendiri Bombshell yang hingga pekan ini masih diputar di bioskop-bioskop di tanah air. Bombshell tak hanya menyajikan drama pelecehan seksual terhadap pekerja media namun juga mengungkap kehidupan dalam dapur redaksi y an g jarang di ketahui publik berikut kehidupan para awak di dalamnya. S eorang news anchor , misalnya, mesti selalu tersenyum k e t i ka menyapa pemirsanya meski dalam keadaan sakit atau sedang mengalami tekanan batin lainny a. Bombshell cocok jadi alternatif tontonan di waktu luang. Meski music scoring -nyayang digarapTheodore Shapiro terbilang sederhana, iasangat pas melengkapi beberapa momen penuh intrik dalam alur cerita. Belum lagi sisi artistik dan makeup- nya yang otentik, mampu menampilkan seksisme di rezim sang bos cabul dengan lebih utuh. Tak heran bila Bombshell menang Piala Oscar untuk kategori Best Makeup and Hairstyling. Akhir Riwayat Bos Bejat Sebagai kisah nyata yang dikonversi ke layar perak dalam bentuk drama, Bombshell tentu tak semuanya sesuai fakta. Beberapa detail di dalamnya tak sesuai kejadian sebenarnya. Contoh, tokoh Kayla Popisil.Ia merupakan karakter fiktif meski dikonstruksi daripengalaman beberapa korban pelecehan seksual lain. Contoh lain adalah, Alies digambarkan sebagai pemred Fox News . Kenyataannya, saat skandal 2016 itu terjadi, Ailes sudah menjabat sebagai presiden merangkap CEO Fox News . Yang patut diacungi jempol, sineas Jay menghadirkan cuplikan para korban pelecehan seksual oleh Ailes sejak 1980-an, kala Ailes memimpin tv-tv berita sebelum Fox News . Realita itu serupa dengan yang termuat dalam biografi bertajuk The Loudest Voice in the Room yang dimunculkan Gabriel Sherman, dua tahun sebelum Gretchen menuntut Ailes. Bos Fox News Roger Ailes (kanan) yang diperankan aktor senior John Lithgow (Foto: Lionsgate) Sedikit ataupun banyak, karakter Ailes dibentuk dari lingkungan keluarganya. Sosok kelahiran Warren, Ohio, pada 15 Mei 1940 itu tumbuh dalam keluarga yang tak harmonis. Ayahnya, Robert Eugene Ailes, merupakan montir mesin pabrik yangringan tangan dan acap melakukan kekerasan terhadap Ailes. Di usia muda Ailes sudah terpaksa jadi korban broken home. Sebagaimana dikisahkan Sherman, Ailes susah payahmenyelesaikan pendidikannya di tengah kesusahan ituhingga bisa lulus dari Jurusan Radio dan Televisi di Universitas Ohio, 1962. Sebelum terjun ke dunia pertelevisian, Ailes mengais pengalaman sebagai station manager di stasiun radio WOUB . “Karier Ailes di televisi dimulai di Cleveland pada 1965, di mana dia menjadi produser dan sutradara talkshow di KYW-TV , ‘ The Mike Douglas Show’. Kemudian dia menjadi produser eksekutif program itu, di mana dia memenangkan Emmy Awards pada 1967 dan 1968,” ungkap Horace Newcomb dalam Encyclopedia of Television . Ailesjadi pionir program talkshow politik. Saat itu, stasiun televisi minim program politik dan Ailes yang memulainya dengan memanfaatkan kedekatannya dengan Richard Nixon. Beberapakali Nixon jadi tamu program bikinan Ailes.Ailes lalu diminta jadi bagian dari tim kampanye Nixon untuk pencitraan di televisi. Suksesnya Nixon jadi orang nomor satu di Amerika Serikat pada 1969 salah satunya karena Ailes. Ailes lalu mendirikan Ailes Communications, Inc., perusahaan konsultan bisnis dan politik. Program-programnya ia jual ke berbagai stasiun tv seperti KYW-TV , CNBC , atau MSNBC. Lewat program-programnya Ailes pun sohor sebagai “makelar politik” bagi para kandidat presiden dari Partai Republik, mulai dari Nixon, Ronald Reagan, hingga George W. Bush. Roger Ailes (kiri) bersama Presiden Amerika Serikat Richard Milhous Nixon (Foto: nixonlibrary.gov ) Pada 1996, ia diminta hartawan AustraliaRupert Murdoch untuk mendirikan Fox News , stasiun tv berita yang merupakan anak perusahaan Fox Corporation. Perlahan tapi pasti, Ailes membawa Fox News ke puncak kejayaan menyalip stasiun-stasiun tvberita yang lebih “senior”. “Ailes membuat Fox News menjadi tv berita besar. Pada 2002 saja, Fox melewati CNN sebagai jaringan tv berita berbasis langganan nomor satu; dalam tujuh tahun angka pemirsanya sudah dua kali jumlah CNN dan MSNBC , dan bahkan keuntungan para rivalnya jika digabungkan masih kalah dari profit yang diraup Fox ,” sambung Sherman. Mendatangkan keuntungan besar pada Fox membuat Ailes merasa di atas angin sehingga yakin tak ada orang yang berani menggusur posisinya, sekalipun Murdoch. Sialnya, semua itu sirna pada medio Juli 2016 kala Gretchen Carlson menuntutnya karena merasa jadi korban pelecehan seksual olehnya. Bak bola salju, skandal itu membesarhingga membuatnya terpaksa mundur dengan kompensasi USD40 juta dari Rupert Murdoch. Meski begitu, Ailes masih dipercaya Murdoch menjadi penasihatnya di rumah produksi 21st Century Foxhingga Ailes tutup usia pada 18 Mei 2017 –hal ini tak diungkap dalam Bombshell .

bottom of page