top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Upaya CIA Membunuh Pemimpin China di Bandung

    PEMERINTAH Indonesia dan peserta Konferensi Asia-Afrika (KAA) terkejut mendengar kabar pesawat Kashmir Princess yang ditumpangi delegasi China kecelakaan. Pesawat carteran milik Air India itu meledak dan mendarat di laut Kepulauan Natuna. Korbannya 16 orang tewas dan tiga selamat.

  • Ilmu Eksak Tertua

    Manusia Nusantara sudah mengenal ilmu perbintangan sejak 35.000 tahun lalu. Di salah satu lukisan cadas tertua, Leang-leang di Maros dan Pangkep, Sulawesi Selatan, ditemukan penggambaran proses perburuan babi dan rusa, telapak tangan, dan gambar-gambar geometris. Diperkirakan itu melambangkan bintang dan matahari. Sementara itu, peradaban Mesopotamia mencatat pengetahuan astronomi untuk pertama kali pada 4.000 tahun silam. Mesopotamia bahkan telah mengenal planet-planet seperti Dewi Isthar atau Inana, sekarang dikenal dengan nama Venus. “ Mereka juga telah memperkenalkan konsep makrokosmos dan mikrokosmos yang mencapai India pada awal milenium pertama . Kemampuan leluhur mempelajari langit dan angkasa merupakan ilmu eksak paling tua yang ada di muka bumi,” kata Ayu Dipta Kirana, kurator Museum Sonobudoyo, Yogyakarta . Karin menjabarkan sejarah perkembangan pengetahuan astronomi lewat pameran temporer Etnoastronomi bertajuk “Angkasa Raya, Ruang dan Waktu” di Museum Sonobudoyo Yogyakarta. Salah satunya soal bagaimana astronomi mempengaruhi religi masyarakat kuno hingga kini. Menurut Karin,dimulai sejak kepercayaan animisme dan dinamisme, praktik penyembahan terhadap matahari sudah dijumpai. Komunitas pendukung kebudayaan itu meyakini kalau matahari memberikan kehidupan terhadap mereka. Aliran kepercayaan ini kemudian berkembang secara konseptual menjadi agama dunia yang lebih kompleks. Nekara, salah satu dari corak kebudayaan logam awal, merupakan salah satu perangkat dalam upacara. Nekara ini dihiasi dengan berbagai unsur alam dan angksa, seperti simbol matahari, rembulan, dan bintang. (Wikipedia). Nekara, salah satu dari corak kebudayaan logam awal, merupakan salah satu perangkat dalam upacara. Nekara ini dihias dengan berbagai unsur alam dan angksa, seperti simbol matahari, rembulan, dan bintang. Praktik peribadatannya kemudian turut pula dipengaruhi oleh konsep langit dan arah mata angin, seperti dalam agama Hindu atau Buddha. “Ada pengetahuan kuno mengenai konsep kosmologi yang menjadi dasar spiritual beberapa kepercayaan kuno. Manusia adalah bagian dari sebuah jagad besar (makrokosmos) alam semesta ini, manusia juga representasi dari jagad kecil (mikrokosmos),” kata Karin. Karenanya, manusia percaya kalau nasib dan garis hidupnya sudah ditentukan dan dibaca oleh langit. “ Konsep makrokosmos dan mikrokosmos merupakan konsep tua dari masa Babilonia yang kemudian menyebar ke India, mempengaruhi perkembangan agama Hindu-Buddha juga ,” lanjut Karin . Misalnya dalam pembangunan bangunan suci. Biasanya orang kuno menggunakan konsep mandala . Mandala adalah representasi dari alam semesta yang diwujudkan dalam konstelasi dewa-dewa berdasarkan tingkatannya. Konsep ini merupakan imajinasi visual mengenai alam raya. Sebagaimana yang dijabarkan dalam pameran, Candi Borobudur menjadi contoh bangunan Buddhis yang memperlihatkan konsep mandala dengan jelas. Dikenal arca lima tokoh Tataghata yang mewakili unsur pokok alam semesta: Wairocana, Aksobhya, Ratnasambhawa, Amitabha, dan Amoghasiddhi. Menurut arkeolog Universitas Indonesia, Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa arca Wairocana menguasai zenith dengan sikap tangan memutar roda dharma . Aksobhya menguasai arah timur dengan sikap tangan kanan seakan menyentuh bumi. Ratnasambhawa menguasai arah selatan, dengan sikap tangan mengajar. Amitabha menguasai arah barat dengan sikap tangan bersemadi. Lalu Amoghasiddhi menguasai arah utara dengan sikap tangan menolak bahaya. Karena menjadi bagian dari jagad besar, gerak konstelasi bintang pun bisa dijadikan pertanda masa depan. Segala peristiwa dan kejadian dapat diprediksi dan berjalan sesuai dengan tatanan kosmik yang telah berlangsung selama ribuan tahun. Dalam pameran yang masih berjalan hingga 10 Februari 2020 itu dijumpai cawan zodiak atau yang disebut dengan prasen. Ini biasanya menjadi perlengkapan upacara adat masyarakat Tengger, yang mendiami dataran tinggi di sekitar kawasan Pengunungan Bromo-Tengger-Semeru, Jawa Timur. Prasen digunakan sebagai wadah air suci oleh Dukun Pandita. J.G. de Casparis, epigraf asal Belanda, dalam Indonesian Chronology menjelaskan prasen umumnya dibuat pada era Majapahit, abad ke-14 hingga ke-15. Ia berbahan perunggu. Pada permukaannya terdapat simbol-simbol zodiak. Di antaranya Mesa (domba jantan, Aries), Vrsabha (lembu jantan, Taurus), Mithuna (anak kembar, Gemini), Karka (ketam, Cancer), Simha (singa, Leo), Kanya (gadis, Virgo), Tula (timbangan, Libra), Vrscika (kalajengking, Scorpio), Dhanusa (busur panah, Sagitarius), Makara (uadng, Capriconus), Kumbha (guci, Aquarius), Mina (ikan, Pisces). “Kehadiran tanda-tanda zodiak mirip jam matahari berhubungan dengan pengukuran waktu, misalnya penggunaannya dalam upacara keagamaan, mengetahui waktu kapan matahari memasuki setiap tanda zodiak,” jelas Casparis. Angkasa yang menjadi dasar konsep waktu hadir dalam konsep spiritual hingga masa kini. Tanda-tanda pergantian waktu diterjemahkan praktik ibadahnya. Karin mencontohkan dengan waktu-waktu kapan azan, sebagai penanda waktu salat dalam Islam, dikumandangkan. “Dalam Islam, perubahan waktu amat penting sebagai pondasi spiritual, termasuk untuk menentukan waktu perayaan ibadah seperti Ramadan,” kata Karin. Menurutnya, pengamatan bintang dan benda-benda langit di alam raya membantu manusia untuk mewujudkan kepercayaan mereka. Tak heran, sejak dulu mereka yang ahli mengamati pergerakan benda langit mendapat tempat penting di masyarakat. Di Jawa Kuno dan Bali Kuno dikenal jabatan wariga . Daud Aris Tanudirjo, arkeolog Universitas Gadjah Mada, menjelaskan tugas wariga adalah menentukan waktu dan tempat yang baik untuk memulai suatu pekerjaan. Caranya dengan membaca kejadian alam yang berulang atau gerakan benda-benda di langit. Beberapa prasasti menyebut profesi itu. Misalnya, prasasti-prasasti dari masa pemerintahan Rakai Kayuwangi (856-883) dan Rakai Watukura (901-910). Di sana disebut beragam jabatan di desa. Menurut ahli epigrafi, Boechari dalam Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti , jika dijumlahkan semuanya kira-kira lebih dari 30 jabatan, di antaranya wariga . “Kita saat ini sudah memegang pengetahuan luar biasa itu dalam alat bantu berupa kompas atau GPS, misalnya. Smartphone kita memuat semua pengetahuan itu terasa sangat sederhana, tapi dulu, tak semua orang bisa memahami pengetahuan langit,” kata Karin. Pembaca bintang dan benda langit pada masa lalu tak cuma penting dalam spiritual, tapi dalam keseharian bahkan politik. Langit menentukan waktu tanam, waktu perjalanan, navigasi, menerjemahkan konsep pagi, siang, malam, untuk beradaptasi terhadap lingkungan, hingga meramal nasib kerajaan.

  • Cerita Malari Versi Judilherry

    Raut riang Judilherry seketika berubah tegang. Percakapan kami tetiba membangunkan kembali ingatannya tentang malapetaka 15 Januari 46 tahun lalu itu. Masih segar dalam ingatannya, malam itu ia bersama kawan-kawan sesama mahasiswa bergerak menentang kebijakan ekonomi pemerintahan Orde Baru. Kejadian itu memang sudah sangat lama, tapi masih melekat begitu dalam di ingatan Judilherry. “Saya bersama kawan-kawan mahasiswa bergerak demi menyampaikan hati nurani rakyat, menentang ketidakadilan. Tidak ada maksud lain di balik semua itu,” tegas Judilherry saat ditemui di Gedung Ganeca, Kalibata, Jakarta Selatan (14/1/2020). Judilherry Justam (Fernando Randy/Historia) Judilherry Justam (72 tahun) menjadi salah satu tokoh utama peristiwa 15 Januari 1974, yang dalam narasi sejarah bangsa ini dikenal sebagai Tragedi Malapetaka 15 Januari. Bersama dengan Hariman Siregar, Judilherry berada di pusat aksi mahasiswa kala itu. Hariman bertindak sebagai Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DMUI), sementara Judilherry dipercaya mendampinginya sebagai Sekertaris Jenderal DMUI. Upaya Mencegah Sejak permulaan peridoe 1970-an segala bentuk proyek pemerintah mulai disoroti. Umar Syadat Hasibuan dan Yohanes S. Widada dalam Revolusi Politik Kaum Muda , menyebut jika selama periode tersebut kalangan cendekiawan dan mahasiswa menjadi corong penyalur rasa tidak puas masyarakat terhadap berbagai kebijakan pemerintah. Potensi lahirnya pertentangan-pertentangan besar pun tidak bisa dihindari. “Mahasiswa mulai tidak puas terhadap kebijaksanaan pejabat pemerintah. Berbagai masalah yang disoroti mahasiswa waktu itu adalah Pertamina, Proyek TMII yang dianggap mirip proyek mercusuar, hingga peranan modal asing,” tulis Umar dan Yohanes. Menurut Judilherry kecaman-kecaman terhadap kebijakan pemerintah sebetulnya tidak hanya datang dari kalangan mahasiswa saja. Di berbagai lapisan masyarakat sering diadakan diskusi-diskusi terkait isu pembangunan dan modal asing yang semakin marak di Indonesia ini. Mahasiswa hanya berusaha meramu isu-isu tersebut menjadi sebuah pemikiran yang konkret. Semua orang sama-sama cemas akan keberlangsungan negeri ini. Kekhawatiran yang berkembang kala itu adalah potensi korupsi besar-besaran dalam tubuh pemerintah. Melambungnya harga minyak, ditambah masuknya sejumlah besar modal asing ke Indonesia ditakutkan menjadi pembuka jalan bagi tindak kejahatan. Maka harus ada yang bergerak untuk mecegahnya. Pada 24 Oktober 1973, DMUI mengundang sejumlah tokoh dalam sebuah acara diskusi. Turut hadir mantan Walikota Jakarta, Sudiro; Menteri Luar Negeri Adam Malik; tokoh pers BM Diah; dan tokoh Angkatan 66 Cosmas Batubara. Dalam acara diskusi tersebut dibahas berbagai hal tentang kinerja pemerintah dalam upaya pembangunan di Indonesia. Di akhir diskusi disepakati sebuah petisi, dikenal sebagai Petisi 24 Oktober, yang menyatakan perlunya penyusunan strategi pembangunan baru yang lebih seimbang, baik di sektor ekonomi, sosial, maupun politik. Pada 28 Oktober, bertepatan dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda, DMUI mengeluarkan petisi itu. Dalam situasi yang tidak menentu, DMUI melalui Hariman terus menggiatkan aksi protesnya. Pada 31 Desember 1973, ia berorasi di halaman depan Fakultan Kedokteran UI, di hadapan massa dari berbagai kalangan. Dalam biografi Judilherry, Anak Tentara Melawan Orba , Hariman mengajak semua komponen masyarakat untuk menolak modal asing yang masuk ke Indonesia, dan bersama-sama memperjuangkan keadilan bagi seluruh rakyat. Modal asing yang dibahas kali ini sudah lebih mengarah pada perusahaan-perusahaan Jepang yang masuk ke Indonesia. “Karena kebetulan Jepang yang datang ke Indonesia, ya Jepang jadi sasaran. Kalau Amerika yang datang mungkin sasarannya Amerika. Aksi ini dilakukan untuk menolak adanya modal asing di Indonesia, tidak peduli siapapun mereka,” ucap Judilherry. Jurnalis Jopie Lasut, dalam Malari: Melawan Soeharto dan Barisan Jenderal Orba , menyebut jika dominasi perusahaan Jepang tahun 1970-an telah tumbuh semakin besar di Indonesia. Tidak hanya produk otomotif, restoran Jepang juga mulai tumbuh berkembang di pusat-pusat keramaian ibukota. Bahkan lambang Toyota sampai bertengger gagah di puncak menara Wisma Nusantara, gedung tertinggi di Indonesia kala itu. Salah satu perusahaan yang disalahkan atas masuknya produk-produk Jepang ke Indonesia ketika itu adalah Astra. Perusahaan tersebut membawa sejumlah produk otomotif Jepang, seperti Toyoya, Mistubishi, dan Honda. “Waktu itu citra Astra kurang begitu bagus. Astra disebut royal bagi-bagi uang tanpa arah dan tujuan yang jelas. Kegiatan peragaan busana hingga event rally mobil mereka danai. Tapi mereka nampak kurang peduli dengan orang-orang miskin di sekitar pabrik mereka. Padalah suasana anti Jepang sudah berkecamuk di benak sebagian besar masyarakat,” kata Jopie. Puncak Aksi Memasuki Januari 1974, penolakan terhadap modal asing semakin memanas di kubu mahasiswa. Demi meredam suasana, Kepala Staf Kopkamtib Soedomo lalu memediasi pertemuan antara mahasiswa dengan Presiden. Pada 11 Januari 1974 Presiden Soeharto bersedia menemui perwakilan mahasiswa di Bina Graha. Dari DMUI hadir Hariman Siregar, Judilherry, dan Slamet Rahardjo (Ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa UI). Dalam pertemuan itu, para perwakilan mahasiswa membacakan ikrar mahasiswa Indonesia dari Dewan-dewan Mahasiswa se-Indonesia. Menurut Judilherry ketika itu ia yang membacakan ikrar tersebut. Isinya kurang lebih: “Pertama kita menuntut bahwa pola pembangunan yang berorientasi kepada keadilan sosial dan kemakmuran bagi rakyat banyak. Kedua, terwujud iklim politik yang berasaskan demokrasi sehingga pemerintah benar-benar milik rakyat untuk kepentingan rakyat. Ketiga, pembangunan hukum yang terkait tertib hukum dan mekanisme peradilan yang tidak memihak, di mana setiap warga memiliki kedudukan yang sama di mata hukum. Keempat, pembatalan segala bentuk kemewahan dan mengadakan pemberantasan korupsi.” Namun ternyata pertemuan dengan presiden itu tidak memberi dampak signifikan terhadap keputusan pemerintah. Ikrar mahasiswa tersebut tidak mampu mencegah gelombang asing masuk. Terlebih pada 14 Januari 1974 pemerintah akan menerima kunjungan dari Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka ke Indonesia. Mengetahui hal itu, malam 14 Januari mahasiswa berkumpul di lapangan terbang Halim Perdanakusuma. Mereka mengepung pangkalan udara itu sebagai bentuk penolakan Tanaka di Indonesia. Tetapi kumpulan mahasiswa di sana tidak mampu menahan rombongan PM Jepang itu. Ia berhasil meloloskan diri dan masuk ke Indonesia. “Kita hanya ingin menghambat dia (PM Tanaka) keluar. Ini simbol bahwa kita tidak ingin PM Jepang datang ke Indonesia,” kata Judilherry Pagi 15 Januari 1974, sekira pukul 08.00 WIB, gabungan mahasiswa dari seluruh universitas di Jakarta berkumpul di UI. Hasil rapat pada malam sebelumnya disepakati bahwa mereka akan melakukan aksi longmarch dari UI ke Universitas Trisakti. Pukul 08.30, di bawah pimpinan Judilherry, sebanyak 500 mahasiswa mulai bergerak menuju Trisakti. Di sepanjang jalan, massa aksi longmarch ini semakin banyak. Mahasiswa dari berbagai universitas mulai turut bergabung hingga membentuk barisan yang cukup panjang. Diperkirakan mencapai 5.000 orang jumlahnya. “Mahasiswa dan lainnya mengambil alih jalan selama masa kunjungan PM Tanaka, dan aksi protes mereka adalah anti-asing, terutama Jepang; anti-birokrasi, terutama ditujukan kepada teknokrat berpendidikan Barat yang mendorong pemerintah untuk lebih percaya pada investasi asing; dan anti-militer, terutama terhadap jenderal-jenderal yang dicurigai banyak diuntungkan dari perjalanan bisnis dengan orang-orang Tionghoa dan asing,” tulis Michael H. Anderson, dalam Madison Avenue in Asia: Politics and Transnational Advertising . Namun Judilherry menyebut jika massa dari kubu mahasiswa tidak benar-benar mengambil alih jalan yang mengakibatkan perusakan. Ia dan kawan-kawannya hanya melakukan aksi longmarch sambil menggaungkan berbagai protes terhadap pemerintah tanpa usil merusak apapun. Mereka lalu tiba di Trisakti sekira pukul 10. Setelah beristirahat dan sedikit orasi, Judilherry mengarahkan para mahasiswa untuk kembali ke Salemba. Massa mahasiswa ini kembali ke UI menumpang truk-truk kosong yang lewat. Mereka sengaja mengambil rute ketika pergi longmarch, melewati jalan-jalan yang telah dilalui. Sampai di Tanah Abang 2, massa diarahkan oleh tentara ke arah Harmoni. Dan betapa terkejutnya mereka ketika melihat banyak mobil yang sudah terbakar, bahkan sampai ada yang diceburkan ke kali. Namun kondisi sekitar saat itu sudah tenang, tidak terlihat ada kerusuhan. Setelah sampai di UI, para mahasiswa mendengar kabar bahwa terjadi kerusuhan dan pembakaran di sekitar Senen. Sejumlah mobil dan bangunan dirusak oleh orang-orang tak dikenal. Judilherry memastikan bahwa perusakan itu bukan disebabkan oleh tangan-tangan mahasiswa yang ia pimpin. Menurutnya ada pihak-pihak tertentu yang berusaha mengkambinghitamkan mahasiswa. Suasana kerusuhan 15 Januari 1974 (Wikimedia Commons) Sore hari hingga malam, di sekitar kampus UI Salemba, Jalan M.H. Thamrin, Jalan Jenderal Sudirman, dan Jalan Diponegoro berkeliaran kelompok-kelompok yang melakukan perusakan. Mereka semakin ganas mengincar mobil-mobil Jepang yang masih baik bentuknya. Gedung perusahaan Jepang juga banyak yang hangus dibakar. Belakangan diketahui, setelah Judilherry berada di tahanan, bahwa banyak organisasi dan kelompok yang terlibat dalam persitiwa ini. “Ada Kesatuan Aksi Pengebudi Becak, Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam, eks DI/TII, orang-orang PNI lama, di samping para intelektual seperti Mochtar Lubis, Adnan Buyung. Di sini kita mencoba mengorek informasi bahwa mereka inilah yang dikerahkan. Bahkan saya juga dapat informasi bahwa anak-anak STM ikut andil dalam kerjadian ini,” ucapnya. Kerumunan massa kerusuhan 15 Januari 1974 (Wikimedia Commons) Informasi tentang pengerahan massa pelajar itu juga dikemukakan oleh Kees van Dijk dalam “Ketertiban dan Kekacauan di dalam Kehidupan di Indonesia” termuat Orde Zonder Order: Kekerasan dan Demokrasi di Indonesia 1965-1998 . Menurutnya demonstran di dekat Monumen Nasional Jakarta Pusat sebagian besar berasal dari pelajar sekolah menengah. “Di antara 472 orang yang ditahan pada tanggal 15 dan 16 Januari, terdapat 250 buruh dan anak sekolah,” kata Kees. Proses Mengadili Sehari setelah malapetaka 15 Januari, keadaan berangsur membaik. Sudah tidak terlihat kumpulan massa di jalan-jalan utama. Di kampus UI, sejumlah mahasiswa masih berdiskusi di bawah pimpinan Hariman. Pada saat itu, Ali Sadikin datang. Ia bermaksud meminta DMUI mengeluarkan pernyataan terkait kerusuhan semalam di TVRI demi mengendalikan keadaan yang mungkin masih dapat memanas di tengah masyarakat. Ali Sadikin membawa sebuah konsep yang harus dibacakan DMUI. Isinya antara lain: mengecam dan mengutuk tindakan perusakan dan pembakaran oleh massa serta tetap mendukung Soeharto sebagai presiden. Dan meminta agar masyarakat tenang dan tidak terporvokasi. Perwakilan DMUI menerima konsep tersebut. Namun sedikit diubah: mengecam dan mengutuk tindakan perusakan dan pembakaran dari pihak manapun juga . Mereka juga menolak memberikan dukungannya kepada Soeharto sehingga kalimat dukungan terhadap presiden juga ikut dihapus. Malam harinya, Hariman ditemani Judilherry menyampaikan pernyataan itu di TVRI. Dari TVRI, beberapa mahasiswa dibawa ke Markas Kopkamtib. Di sana mereka bertemu dengan Wapangkopkamtib, Soedomo, dan sejumlah jenderal lainnya. Melihat Hariman dkk Soedomo naik pitam. Baginya, mahasiswa harus bertanggung jawab atas peristiwa 15 Januari itu. Akhirnya saat itu juga Hariman dan Gurmilang ditahan. Sementara Judilherry dan mahasiswa lainnya disuruh kembali ke kampus. Pada 17 Januari tersiar kabar bahwa beberapa orang pejabat DMUI, MPM UI, dan Senat Mahasiwa UI juga ikut ditahan, termasuk Theo Sambuaga, Salim Hutadjulu, dan Eko Sudjatmiko. Judilherry sendiri sebagai Sekjen DMUI tidak ditahan. “Saya tidak tahu kenapa tidak ditahan. Saya lalu mengambil alih DMUI sebagai caretaker ketua umum, menggantikan sementara Hariman Siregar.” Malapetaka Januari 1974 (Wikimedia Commons) Penangkapan Judilherry baru terjadi pada malam 13 April 1974. Ia “diambil” dari rumahnya di Jalan Siliwangi Raya oleh sejumlah orang menggunakan mobil Jeep. Ia selanjutnya dimasukkan ke dalam tahanan Kopkamtib. Tempat di mana kawannya, Hariman juga ditahan. Judilherry sendiri masih tidak tahu alasannya ditangkap. Jika memang terkait peristiwa Malari mengapa ia tidak ditahan bersama Hariman dan kawannya yang lain. Namun ia menduga penahanan itu terjadi ketika ia menolak berbagai intervensi dari Opsus Ali Murtopo yang ingin masuk ke tubuh DMUI dan pemakzulan Hariman. “Secara pribadi terus terang saya merasa berat berada di tahanan, terutama ketika tiga bulan pertama. Karena saya hanya diberi ruangan yang sangat sempit, serta aktifitas saya pun dibatasi dan diawasi. Bahkan buang air pun harus di dalam sel, dengan hanya diberi sebuah kaleng yang setiap pagi akan saya cuci,” kenang Judilherry. Pada perkembangan selanjutnya, akibat dari peristiwa Malari aktivitas mahasiswa mulai diawasi oleh pemerintah. Mahasiswa dilarang berkumpul dan bergerombol di dalam kampus tanpa maksud yang jelas. Hingga akhirnya pada 1978, Mendikbud Daoed Joesoef mengeluarkan Surat Keputusan No. 0156/U/1978 tentang Normalisasi Kehidupan Kampus. Bahkan tahun selanjutnya ditandatangani SK tentang pembubaran organisasi kampus.

  • Makam Plumbon Jadi Situs Memori CIPDH-UNESCO

    PADA 1980-an, sebuah makam dengan tumpukan batu di hutan Plumbon, Semarang hanyalah sebuah tempat bagi orang-orang yang mencari peruntungan nomor togel. Sesekali ada orang berziarah, namun tak dikenal siapa mereka. Pasca Reformasi, tepatnya pada 2000, Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 (YPKP 65) yang diketuai Sulami, mantan Sekretaris Jenderal Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), sempat mengidentifikasi keberadaan makam yang diduga berisi kerangka korban-korban pembunuhan massal 1965 tersebut. Namun, tak ada kelanjutan dari indentifikasi kala itu, hingga pada 2014, sekelompok aktivis yang membentuk Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk Hak Asasi Manusia (PMS-HAM) mulai membuka memori masa silam dari makam di tengah hutan jati itu. PMS-HAM memerlukan waktu 7,5 bulan untuk melakukan penelitian mengenai identitas para korban serta melakukan pendekatan kepada masyarakat dan pemerintah. “Jadi kami mencari kolega korban, keluarga korban, kemudian minta izin dari RT, RW, lurah, camat sampai walikota, Polsek, Polres, Polda, Koramil, sampai Kodam, dan kami tembuskan juga ke Mabes TNI,” ujar Yunantyo Adi Setiawan, Koordinator PMS-HAM kepada historia.id. PMS-HAM kemudian berhasil mengidentifikasi delapan nama dari 24 korban yang diperkirakan dikubur di makam tersebut. Mereka adalah Moetiah, Soesatjo, Darsono, Sachroni, Joesoef, Soekandar, Doelkhamid, dan Soerono. Moetiah adalah guru TK Melati dan anggota Gerwani di Patebon, Kendal. Soesatjo adalah patih yang merangkap pengurus PKI Kendal. Joesoef adalah carik di Desa Margorejo dan anggota PKI di Cepiring. Soerono adalah anggota PKI dari Kedungsuren. Sachroni adalah anggota PKI dari Mangkang. Sedangkan, Darsono, Soekandar, dan Doelkhamid , merupakan anggota Pemuda Rakyat. Yunantyo menyebut kedelapan korban dan belasan lainnya dibunuh tanpa proses hukum yang jelas. “Tidak ada pengadilannya. Baru dicurigai tapi sudah dibunuh. Jadi,sebagai upaya kemanusiaan kita waktu itu, rekonsiliasi dalam bentuk memanusiakan makam mereka,” terangnya. Awalnya PMS-HAM hendak melakukan penggalian terhadap makam tersebut. Namun, karena Komnas HAM tidak merespons permohonan izin yang diajukan, maka dipilih opsi pemasangan nisan. PMS-HAM juga berkaca dari peristiwa di Wonosobo pada 2000. Kala itu YPKP65 melakukan ekskavasi kuburan massal di Hutan Kaliwiro, Wonosobo. Ketika hendak dimakamkan ulang di daerah Kaloran pada 2001, terjadi penolakan dari Forum Ukhuwah Islamiyah Kaloran (FUIK). Beberapa kerangka bahkan dibakar. Maka untuk pemasangan nisan makam Plumbon, PMS-HAM melakukan dialog dengan Pemuda Pancasila dan Front Pembela Islam (FPI) terlebih dahulu. “Kita hanya bicara kemanusiaan saja , tidak bicara konflik masa lalu,” terangnya. Doa lintas agama pada acara pemasangan nisan makam korban pembunuhan massal 1965 di Plumbon, Semarang, 1 Juni 2015. (Dok. Yunantyo Adi Setiawan). Pada 1 Juni 2015, acara pemasangan nisan dilangsungkanbersamaan dengan Hari Lahir Pancasila. Dengan mengundang warga, tokoh lintas agama, serta berbagai elemen masyarakat dan ormas, acara dapat berjalan dengan lancar. PMS-HAM juga melibatkan pemerintah daerah, pimpinan Perhutani Kendal selaku pemilik lahan hutan, serta pihak kepolisian dan TNI. Akhirnya, sebuah batu nisan dari marmer bertuliskan delapan nama korban pembunuhan berhasil didirikan. “Intinya waktu itu kita resmikan dengan doa bersama lintas agama bersama warga bahwa tempat itu mulai 1 Juni 2015 menjadi tempat terbuka sebagai upaya kemanusiaan terhadap korban itu,” jelas Yunantyo. Nisan ini menjadi monumen pertama korban pembunuhan masal 1965 yang didirikan secara resmi atas izin pemerintah. Acara ini juga sekaligus menjadi peristiwa rekonsiliasi kultural bagi korban, masyarakat dan pemerintah. Pada 1 Mei 2019, Yunantyo mendapat surel dari The International Center for the Promotion of Human Rights (CIPDH) yang berada dibawah United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), yang meminta materi terkait makam Plumbon tersebut. CIPDH-UNESCO kemudian menetapkan makam itu sebagai situs memori terkait pelanggaran HAM berat. CIPDH-UNESCO didirikan pada 2007 di Buenos Aires, Argentina, untuk meningkatkan kesetaraan dan nondiskriminasi melalui program-program yang mempromosikan kesetaraan gender, keberagaman dan antarbudaya. CIPDH-UNESCO mengandalkan potensi pendidikan warisan budaya dan sejarah sebagai elemen penting dalam membangun identitas kolektif. Selain itu,CIPDH-UNESCO juga memprioritaskan pendidikan HAM sebagai pendorong untuk mempromosikan budaya koeksistensi demokratis dan akses yang setara terhadap HAM. Untuk itu, CIPDH-UNESCO berupaya memvisualisasikan situs-situs terkait dengan memori pelanggaran HAM berat di seluruh dunia sebagai bagian dari warisan budaya kolektif komunitas dalam bentuk peta interaktif. Proyek ini juga bertujuan untuk memperoleh pengetahuan tentang bagaimana masyarakat berurusan dengan masa lalu mereka, kebijakan publik apa yang diberlakukan untuk menjaga memori dan untuk mengumumkannya, serta kesepakatan dan konsensus apa yang memungkinkan ingatan ini dikenal. Proyek ini mendata berbagai warisan meliputi arsip, warisan budaya tak benda, monumen, museum dan situs dengan tema perbudakan, genosida dan atau kejahatan massal, konflik bersenjata, dan persekusi politik. Makam Plumbon masuk dalam kategori situs persekusi politik bersama kuburan massal Priaranza del Bierzo di Spanyol dan Space for Memory and for the Promotion and Defense of Human Rights (Former ESMA) di Argentina. Selain makam Plumbon, CIPDH-UNESCO juga memasukan Aksi Kamisan dalam peta mereka. Aksi dengan pakaian dan payung hitam di depan Istana Negara itu masuk dalam kategori warisan budaya tak benda dengan tema persekusi politik.

  • Sepuluh Benda Bersejarah Hasil Repatriasi dari Belanda

    MUSEUM Nasional kini tengah melakukan kajian konten dan kajian konservasi terhadap 1.499 benda bersejarah hasil repatriasi dari Belanda. Sebagian besar benda memang belum memiliki data provenance (asal usul) yang lengkap. Beberapa data bahkan baru berupa perkiraan dari pihak Museum Nusantara, Delf. "Banyak koleksi yang belum jelas provenance -nya (asal usulnya). Perlu kajian khusus untuk memperdalam informasi koleksi itu sendiri," jelas Nusi Lisabila Estudiantin, Kepala Bidang Pengkajian dan Pengumpulan Museum Nasional Indonesia. Nantinya, kata Nusi, benda-benda tersebut akan diklasifikasikan dalam tujuh kelompok, yakni prasejarah, etnografi, arkeologi, numismatik dan heraldik, geografi, keramik dan sejarah. Berikut ini sepuluh dari 1.499 benda bersejarah yang diperoleh dari situs resmi Museum Nusantara ( collectie-nusantara.nl ): 1. Model Perahu dari Cengkeh Model perahu yang disusun dari kuncup-kuncup cengkeh. ( collectie-nusantara.nl ). Model perahu dengan pendayung dan tiga tiang ini terbuat dari susunan cengkeh. Tiap-tiap kuncup cengkeh disatukan dengan cara dijahit menggunakan benang. Benda berukuran 19 x 39,5 x 9 cm ini berasal dari paruh pertama abad ke-20. Terdapat dua model kapal dengan bentuk berbeda serta satu model bentuk set peralatan merokok dan satu set peralatan minum teh. Semuanya berasal dari Ambon, Maluku. 2. Ukiran Tanduk Rusa Tanduk rusa dengan ukiran dari Bali. (Fernando Randy/Historia). Dua tanduk rusa sepenuhnya dihiasi dengan ukiran. Ukiran-ukiran merepresentasikan pangeran, putri, raksasa, dan garuda dan lain sebagainya tersebar pada dua tanduk. Data Museum Nusantara menyebut ukiran tanduk ini "berkualitas tinggi". Dua tanduk tersebut kemungkinan merupakan tanduk rusa Jawa atau rusa Timor ( Cervus timorensis syn . Rusa timorensis ) yang dibuat atau dibawa dari Bali. Kedua tanduk ini diperkirakan berasal dari abad 19–20. 3. Kapak Batu Kapak batu berasal dari 5.000-1.000 SM. ( collectie-nusantara.nl ). Sebuah kapak terbuat dari batu yang diperkirakan berasal dari 5.000-1.000 SM. Kapak ini berbentuk cembung memanjang. Sementara bagian depannya datar dan bagian sisinya sempit dan rata. Data Museum Nusantara menyebut kapak berukuran 3 x 9 x 5,5 cm ini berasal dari Pulau Kalimantan. 4. Peralatan Perak Batak Beragam peralatan perak dari Batak. ( collectie-nusantara.nl ). Terdapat 12 objek berbeda yang digantung dengan rantai yang disatukan oleh cincin logam. Berisi berbagai peralatan seperti pembersih telinga, penjepit rambut, tusuk gigi, kotak tembakau hingga kotak kapur. Peralatan terbuat dari perak ini berasal dari paruh kedua abad ke-19 (sebelum 1890). Kemungkinan dibuat atau dibawa dari Karo, Sumatra Utara. 5. Liontin Ikan Berkepala Naga Liontin ikan berkepala naga dari Jawa Timur. ( collectie-nusantara.nl ). Sebuah liontin berbentuk ikan dengan kepala naga berukuran 10,5 x 13 x 0,4 cm. Liontin ini kemungkinan juga digunakan sebagai jimat keberuntungan. Liontin ini terbuat dari tembaga dan perak dan berasal dari paruh pertama abad ke-20. Kemungkinan berasal dari kebudayaan Peranakan di Jawa Timur. Liontin sejenis disebut sebagai "kalung baderan" atau kalung ikan mas. 6. Gayor Gong Gayor gong yang dibuat oleh seniman M.B. Djadjeng Lesono. ( collectie-nusantara.nl ). Gayor gong atau stand gong ini menurut data Museum Nusantara diproduksi pada 1925 oleh seniman M.B. Djadjeng Lesono dari Yogyakarta. Sementara gongnya disebut dibuat di Bogor dari perunggu. Gayor gong dihiasi ukiran dengan karakter dua orang penjaga dengan pedang di bagian atas. Terdapat  pula karakter naga di kedua sisi. Bagian tengah berupa lubang bundar untuk gong. Kemudian pada bagian atas merupakan pahatan karakter merak dengan ekor mengembang. Gayor gong ini berukuran 173,5 x 140 x 27 cm. 7. Laci Perhiasan Piramida Laci perhiasan berbentuk piramida. ( collectie-nusantara.nl ). Laci berbentuk piramida ini merupakan kotak perhiasan pernikahan. Namun, ada kemungkinan juga merupakan kotak obat. Laci berukuran 43 x 39 x 38 cm ini diperkirakan berasal dari Bali atau Jawa Timur. Dibuat atau dibawa ke Belanda pada paruh pertama abad ke-20. Terdapat satu lagi laci berbentuk piramida yang berasal dari Palembang. 8. Sisir Sisik Penyu Sisir yang terbuat dari cangkang penyu sisik. ( collectie-nusantara.nl ). Sisir dekoratif ini dibuat dari cangkang penyu sisik ( Eretmochelys Imbricata ). Bagian atas sisir melengkung dan memiliki motif cut-out . Di bagian tengah terdapat bentuk sebatang pohon kehidupan. Sementara di kedua sisi berupa ayam jantan yang berdiri di atas seekor rusa. Sisir dekoratif lainnya menunjukan motif garuda di bagian tengah, kuda poni dan seorang gadis. Sisir berukuran sekitar 15 x 13,5 x 5 cm ini kemungkinan berasal dari Sumba, dibuat atau dibawa ke Belanda pada paruh pertama abad ke-20. 9. Jas Hujan Sabut Kelapa Jas hujan sabut kelapa dari Belitung. ( collectie-nusantara.nl ). Benda ini berasal dari paruh kedua abad ke-19 (sebelum 1895). Jas hujan berdimensi 125 x 120 cm ini berasal dari daerah Dendang, Pulau Belitung (dulu Biliton). Jas hujan yang dibuat dari sabut kelapa ini berasal dari kebudayaan China dan menurut data Museum Nusantara, jas hujan ini memang digunakan oleh penambang China di Pulau Belitung. 10. Model Rumah Adat dan Perahu Model perahu dagang dari Kota Baru, Sumatra Barat. (Fernando Randy/Historia). Terdapat setidaknya 16 model perahu serta 12 model rumah dan masjid yang tururt dikembalikan. Model-model perahu mewakili bentuk perahu dari Bugis, Makassar, Sangihe, Bacan, Jawa, Madura, hingga Sumatra. Model perahu paling besar berupa perahu dagang dari Kota Baru, Sumatra Barat. Model perahu berukuran 197 x 53 cm bahkan memiliki dua atap. Diperkirakan berasal dari paruh kedua abad ke-19. Sementara model rumah, masjid, dan lumbung merepresentasikan berbagai kebudayaan di Nusantara. Sebagian besar dibuat atau dibawa ke Belanda pada paruh kedua abad ke-19. Selain benda-benda di atas, masih ada ratusan tekstil, mata uang, litograf, perabot rumah, perhiasan, dan senjata. Pihak Museum Nasional telah menyiapkan gedung baru berlantai tiga yang akan difungsikan sebagai storage di belakang Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Kedepan, juga akan dilakukan berbagai kegiatan penunjang penelitian dan konservasi museum di storage baru ini. "Nanti akan ada untuk pelatihan konservasi, sekolah konservasi, untuk museum-museum di Indonesia dari sana. Semacam workshop ," ujar Siswanto, Kepala Museum Nasional. Setelah kajian konten dan konservasi selesai, Museum Nasional rencananya akan menggelar pameran benda-benda hasil repatriasi pada Juni mendatang.

  • Petualangan Evertsen, dari Arktik hingga Arafura

    JANUARI hari ke-15, TNI AL rutin memperingati Hari Dharma Samudera, hari ketika Insiden Laut Arafura terjadi 58 tahun lampau. Insiden tersebut menewaskan Deputi I KSAL Komodor Yosaphat Sudarso setelah kapalnya, KRI Matjan Tutul, dikaramkan kapal perang Belanda Hr. Ms. Evertsen . Evertsen merupakan kapal fregat Koninklijke Marine (KM) atau angkatan laut Belanda  bernomor lambung F-803. Hingga saat ini Evertsen tercatat sebagai kapal terakhir yang memuntahkan peluru dalam pertempuran resmi yang melibatkan Belanda. Setahun setelah Pertempuran Laut Arafura atau yang oleh Belanda disebut “Vlakke Hoek Incident”, Evertsen dipensiunkan dan dibesituakan. Keputusan tersebut mengakhiri petualangan Evertsen sejak Perang Dunia II, Perang Korea, hingga Irian Barat. Mulanya, Evertsen merupakan kapal perusak dari kelas-S milik Royal Navy (Inggris). Namanya HMS Scourge . Menukil H. T. Lenton dalam British & Empire Warships of the Second World War , kapal itu dibuat galangan kapal Cammel Laird di Birkenhead pada 1941 dan rampung tahun berikutnya. Kapal dengan nomor lambung G-01 itu dinamai HMS Scourge saat masuk kedinasan sebagai bagian dari Armada Teritorial Inggris pada 14 Juli 1943. Dua mesin uap Admiralty 3-drum boilers- nya mampu melajukan kapal sepanjang 110,6 meter, lebar 10,9 meter, dan bobot 1.740 ton itu hingga kecepatan maksimal 36 knot . Kapal perusak HMS Scourge G01 milik AL Inggris sebelum berpindah tangan ke AL Belanda mulai 1946 (Foto: Imperial War Museum) Scourge dipersenjatai empat meriam 120mm Mark XII, sepasang meriam Bofors 40mm, empat pasang meriam Oerlikon 20mm, 16 tabung torpedo 21 inci, serta empat pelontar depth charge (bom dalam) berkapasitas 70 bom. Tugas pertamanya di luar perairan Inggris terjadi pada Desember 1943. Scourge turut serta dalam “Konvoi JW 55B”. Konvoi itu merupakan upaya Sekutu mengirim bantuan untuk Uni Soviet yang punya musuh sama dengan Sekutu: Jerman Nazi. Konvoi yang membawa 19 kapal dagang itu dilindungi 32 kapal perang beraneka jenis dari AL Inggris, Amerika, Kanada, dan Norwegia, di mana Scourge termasuk. Setahun berselang, Scourge turut serta dalam invasi Sekutu ke Normandia (D-Day), 5-6 Juni 1944. Scourge bagian dari Gugus Tugas-S, yang bertugas melindungi konvoi Sekutu menyeberangi Selat Inggris dan menyokong pembomban jelang pendaratan. Setahun usai Perang Dunia II, Evertsen diambil-alih Belanda. Beberapa sumber menyebutkan, Evertsen dibeli, bukan dihibahkan. “ Hr. Ms. Evertsen adalah salah satu kapal perang yang diambil-alih oleh AL kerajaan (Belanda, red. ) dari AL Inggris. Sebelumnya sebagai HMS Scourge , kapal itu terlibat dalam konvoi bantuan Sekutu menuju Murmansk. Evertsen di bawah pimpinan Letnan Laut I G. P. Küller pada 21 April tiba di Tanjung Priok dan disambut Panglima AL Belanda di Hindia Belanda Laksamana Madya A. S. Pinke,” sebut suratkabar Het Dagblad , 24 April 1946. Dipermak jadi Fregat Saat baru berpindah tangan ke AL Belanda, Scourge diganti namanya menjadi Hr. Ms . (di beberapa sumber disebut HNLMS) Evertsen dengan nomor lambung D-802. Nama itu untuk kelima kalinya digunakan Belanda untuk menamai kapal perangnya sejak abad ke-19. Nama Evertsen diambil dari nama dua kakak-beradik pelaut yang dianggap Belanda sebagai pahlawan di abad ke-17, Johan dan Cornelis Evertsen. Kala Belanda kembali ke Indonesia, Evertsen berbasis di Modderlust, Surabaya dan ikut dalam serangkaian patroli di Laut Jawa. Hingga 1949, ia juga beberapakali memulangkan para bekas interniran dan tawanan Jepang ke Eropa. Para awak Hr. Ms. Evertsen D802 kala bertugas di Perang Korea (Foto: NIMH) Setahun berselang, Evertsen ikut andil menyokong Sekutu di Perang Korea, sebagai bagian dari Gugus Tugas-96 di Armada ke-7 AL Amerika. Tugasnya memblokade jalur suplai musuh di Laut Kuning dan memberi sokongan salvo dari laut ke pasukan darat PBB. Usai Perang Korea, Evertsen kembali ke Belanda dan pada Oktober 1957 diubah menjadi fregat di galangan kapal Den Helder. Hal itu sebagai dampak kebijakan Belanda yang hendak memperkuat militernya di Irian Barat sekaligus “membesituakan” sejumlah kapal perang tuanya. “ Hr. Ms. Evertsen , Piet Hein, dan Kortenaer yang sebelumnya bertugas sebagai kapal perusak, telah dirombak. Kapal-kapal itu kini telah menjadi fregat pada 1 Oktober karena masih dibutuhkan armada kerajaan,” sebut suratkabar De Tijd , 14 Oktober 1957. Awal 1960, Evertsen yang sudah diubah menjadi fregat dan digganti nomor lambungnya menjadi F-803, berangkat dari Amsterdam ke Hollandia (kini Jayapura) via Terusan Panama. Ia jadi satu dari tiga kapal perang untuk memperkuat perairan Irian Barat, selain fregat Kortenaer dan kapal perusak Utrecht. Ketiga kapal inilah yang menghantam KRI Matjan Tutul pada malam 15 Januari 1962 di Laut Arafura. Dari ketiganya, Evertsen yang maju duluan dan melepas salvo pertama ke tiga kapal ALRI. Suratkabar De Volksrant , 6 April 1960 memberitakan, Evertsen sudah sering berpatroli di perairan Irian dan dikomandani Kapitein-luitenant (setara letnan laut) J.A. van Beusekom. “Pukul 22.07 Evertsen pertama kali memuntahkan peluru meriamnya kepada Matjan Tutul karena diduga akan mengadakan serangan torpedo karena haluan yang mengarah padanya. Pukul 22.10 sebuah tembakan Evertsen tepat mengenai buritan Matjan Tutul . Pada 22.30 tembakan tepat Evertsen mengenai bagian tengah…pukul 22.35 tembakan Evertsen tepat kena anjungan Matjan Tutul ,” sebut Julius Pour dalam biografi Laksamana Sudomo, Mengatasi Gelombang Kehidupan. KRI Matjan Kumbang dan KRI Harimau jelang Pertempuran Laut Aru/Laut Arafura (Foto: Repro "Mengatasi Gelombang Kehidupan") Setelah KRI Matjan Tutul tenggelam 15 menit berselang, Evertsen sebetulnya ingin mengejar dua MTB lain milik ALRI (kini TNI AL) namun Gubernur Nieuw Guinea Belanda Dr. Pieter Johannis Platteel memerintahkan Evertsen , Kortenaer, dan Utrecht kembali ke Hollandia. Setelah tugas di Irian, Evertsen dilelang seperti kapal-kapal perang lain yang sudah renta. Pada 12 Juli 1963 atau sehari setelah mengakhiri masa tugasnya di AL Belanda, ia dibesituakan. “Kemarin, kapal ini dipensiunkan AL kerajaan dan kemudian dilelang secara terbuka oleh inspektorat wilayah setempat (Hendrik-Ido-Ambacht, red ). Setelah dibongkar, 2,5 ton besi tuanya dibeli seharga 245.555 gulden oleh Frank Rijsdijk dalam pelelangan itu,” sebut suratkabar De Volksrant , 13 Juli 1963.  Nama Evertsen tetap digunakan AL Belanda. Setelah kapal fregat F-803 itu, Belanda menggunakannya lagi untuk frigat kelas-Van Speijk, HNLMS Evertsen F-815, yang dipakai sejak 1967 tapi dijual ke Indonesia –dan dinamai KRI Halim Perdanakusuma 355 – pada 1989. Setelah itu, nama Eversten dipakai oleh sebuah fregat kelas-De Zeven Provinciën bernomor lambung F-805, HNLMS Evertsen, yang digunakan sejak 2005 sampai sekarang.

  • Agen KGB di Indonesia Dieksekusi Mati

    SALAH satu operasi rahasia CIA (Dinas Intelijen Pusat Amerika Serikat) yang paling sukses terhadap Uni Soviet dilakukan di Indonesia. Operasi bersandi HABRINK ini berhasil mendapatkan informasi dari pejabat militer Indonesia mengenai alutsista dan persenjataan Uni Soviet yang dijual kepada Indonesia, termasuk sistem rudal, kapal selam, kapal perusak, kapal penjelajah, dan pesawat pembom.

  • Apa Kabar Michael Schumacher?

    NAMA Schumacher terpampang di kokpit mobil Formula One (F1) Scuderia Ferrari. Schumacher bahkan sudah menjajal beberapa varian jet darat Ferrari sejak 2019. Belum lama ini, ia mencicipi tiga mobil berjuluk “kuda jingkrak” itu di rangkaian sesi tes resmi musim 2020 di Bahrain. Namun, Schumacher itu bukan si legenda Michael “Schumi” Schumacher yang masih terbaring usia kecelakaan, atau Ralf Schumacher yang kembali dari masa pensiunnya. Schumacher itu ialah Mick Schumacher, anak kedua Schumi dari perkawinannya dengan Corinna Betsch. Mengutip GP Today , Sabtu (11/1/2020), Mick sebelumnya menjajal mobil Ferrari F2004 yang pernah dipakai ayahnya, mobil F2002 sebelum dilelang pihak Ferrari, serta mobil SF-90 yang dipakai duo Sebastian Vettel dan Charles Leclerc pada musim lalu. “Sulit mengatakan mana favorit saya. Mobil 2019 luar biasa. Juga bisa mengendarai F2002 dan F2004 selalu jadi mimpi saya,” ungkap Mick. Mick Schumacher, anak kedua Michael Schumacher yang mengikuti jejak ayahnya di balap mobil (Foto: formula1.com ) Apakah ini pertanda Ferrari bakal merekrutnya sebagaimana tim itu merekrut ayahnya pada 1996? Masih terlalu dini untuk menjawabnya. Usia Mick baru genap 20 tahun. Masih banyak jenjang yang mesti dilewati jebolan akademi balap Ferrari itu untuk bisa mengikuti jejak ayahnya. Mick saat ini masih mengaspal bersama tim Prema Racing di Formula 2. Schumacher yang Dirindukan Sudah enam tahun Schumacher tergolek di kamar perawatan. Koma sebagai dampak cedera trauma otak dialaminya setelah kecelakaan kala berski di Pegunungan Alpen pada 29 Desember 2013. Sempat dirawat intensif di Centre Hospitalier Universitaire de Grenoble, lantas dirujuk ke Centre Hospitalier Universitaire Vaudois, Schumi akhirnya dirawat secara privat di kediamannya di Gland, Swiss. Schumi dikabarkan sudah siuman, namun masih mengalami kelumpuhan. Sempat lima tahun tiada kabar, pada September 2019 Schumi dikabarkan dibawa lagi ke Hôpital Européen Georges-Pompidou, Paris untuk terapi stem cell atau sel punca dan Januari 2020 ini ia kembali menjalani terapi serupa. “Ada satu sampai tiga tahun rencana untuk periode regenerasi (terapi, red. ). Saya secara rutin mengunjungi Schumacher dan bicara pada keluarganya tentang kemajuan yang saya lihat dari kondisinya,” ungkap Profesor Jean-Francois Payen, dokter yang menangani Schumacher, dikutip Express , Senin (13/1/2020). Schumacher mengalami cedera trauma otak usai bermain ski di pegunungan Alpen pada Desember 2013 (Foto: Ferrari) Bagi penggila F1, nama Schumi ibarat dewa di lintasan. Tujuh gelar juara dunia yang digapainya melampaui rekor para legenda pendahulunya macam Juan Manuel Fangio (5 kali), Alain Prost (4), Jack Brabham, Niki Lauda, dan Ayrton Senna (masing-masing 3); sudah cukup banyak berbicara. Schumi memulai debutnya di F1 bersama tim Jordan pada 1992. Petualangannya dilanjutkan bersama tim Benetton. Bersama Ferrari selama satu dekade (1996-2006), Schumi mencetak banyak prestasi hingga namanya melegenda. Kariernya ditutup di tim Mercedes (2010-2012) setelah pensiun sementara pada 2006-2010. Sepanjang kiprahnya merebut tujuh gelar juara dunia (1994, 1995, 2000-2004), Schumi mencetak 68 kali pole position (posisi start terdepan) dan 91 kemenangan dari 155 kali naik podium. Namun cerita tentang Schumi bukan sekadar angka, melainkan penuh warna hingga dipuja banyak pembalap lintas generasi. Jago Balap di Usia Dini Schumi lahir di Hürth-Hermülheim, Jerman pada 3 Januari 1969 dari pasangan Rolf dan Elisabeth Schumacher. Sang ayah berprofesi sebagai pekerja bangunan yang hobi utak-atik mesin otomotif. Ayahnyalah yang memperkenalkan Schumi dengan mobil balap saat membelikan dia  hadiah mainan mobil berpedal di usia empat tahun. “Mainan mobil itu dipasangi mesin motor. Sayangnya ia menabrakkannya ke sebuah pohon. Namun kejadian itu membuatnya makin senang dengan balapan. Orangtuanya membawanya ke trek go-kart di Kerpen-Horrem, untuk didaftarkan ke klub balap sebagai anggota termuda,” ungkap Jack Goldstein dan Frankie Taylor dalam 101 Amazing Facts about Michael Schumacher. Melihat Schumi tumbuh dengan bakat di lintasan, Rolf dan Elisabeth mendukung penuh putranya. Untuk itu, Rolf sampai nyambi bekerja sebagai montir go-kart. Sementara, Elisabeth membantu dengan menjadi pelayan kantin di sirkuit Kerpen. Dukungan itu berbuah manis, Schumi jadi juara termuda antarklub di usia enam tahun. Saat hendak naik ke level pro, Schumi yang butuh mesin go-kart baru seharga 800 deutschemarks, menghadapi masalah. Orangtuanya tak mampu membelikannya mesin itu. Mereka tentu bingung. Schumacher memulai kiprahnya di balapan karting (Foto: michael-schumacher.de ) Beruntung, bakat Schumi dipantau seorang pebisnis lokal, Jürgen Dilk. Dilk, kata James Allen dalam biografi Michael Schumacher , merupakan orangtua Guido, salah satu pembalap cilik yang dikalahkan Schumi pada kejuaraan itu. Dilk memberi pertolongan pada Schumi. “Saya akan membayarnya dengan trofi-trofi, di mana hal itu jadi kesepakatan yang bagus. Lalu saya disponsori olehnya untuk maju ke balapan pertama saya. Dia mendanai 25 ribu deutschemarks dan membantu saya mencari sponsor lain. Ia sosok yang sangat penting bagi saya,” ujar Schumi, dikutip Allen. Batu sandungan lain menghadang Schumi saat berusia 13 tahun. Usianya mengancamnya tak bisa mengikuti kejuaraan Karting Junior lantaran regulasi balap di Jerman mensyaratkan, untuk bisa tampil di kejuaraan Karting Junior Jerman harus punya lisensi go-kart. Lisensi itu bisa didapat setelah seseorang berusia 14 tahun. Schumi pun mencari cara untuk mendapatkan lisensi dengan menyeberang ke  Luksemburg. Di sana, usia 13 sudah boleh mengajukan lisensi. Setelah mendapatkannya, Schumi kembali ke Jerman dan kemudian memenangi kejuaraan itu. Sejak saat itu, nyaris semua kejuaraan go-kart di Jerman maupun Eropa yang diikuti Schumi selalu berbuah trofi. Setelah direkrut tim Eurokart milik pebisnis otomotif Adolf Neubert pada 1987, Schumi memutuskan berhenti sekolah dan memilih menekumi dunia balap 100 persen. Hasilnya, Schumi menjuarai Formula König bersama tim Hoecker Sportwagenservice setahun berselang. Tahun berikutnya, Schumi masuk ajang Formula 3 bersama tim WTS Racing. Benetton jadi tim kedua Schumacher kala merintis kegemilangan di pentas F1 (Foto: michael-schumacher.de ) Willi Weber, pemilik tim WTS Racing, menjadi sosok penting bagi karier Schumi. Dialah yang membuka mata Schumi untuk masuk F1, hal yang sebelumnya tak pernah diimpikan Schumi. Weber ingin melihat ada pembalap Jerman berjaya di lintasan F1. Maklum, di era 1980-an itu pentas F1 masih didominasi pembalap-pembalap Brasil, Prancis, Inggris, dan Italia. “Saya sendiri balapan selama 20 tahun dan F1 selalu jadi misi saya, target utama, namun saya terlalu tua untuk jadi pembalap lagi. Jadi saya bermimpi membawa seorang pembalap muda Jerman ke F1. Michael memberikan saya firasat bahwa dialah orangnya,” kata Weber mengenang, dikutip Allen. Weber pun memasukkan Schumi ke program balapan Mercedes junior pada 1990. Kombinasi Weber dan kerja keras Schumi di beragam ajang, di antaranya World Sports-Prototype Championship dan World Sportscar Championship, membuahkan hasil ketika Schumi berhasil masuk F1 dan direkrut Eddie Jordan dari Mercedes dengan “mahar” USD150 ribu untuk pindah ke tim Jordan-Ford pada 1991. Namun debut Schumi di Belgia berjalan buruk, ia gagal finis di lap pertama. Karier Schumi di Jordan lalu sempat terhambat dokumen kontrak yang ternyata belum legal antara Jordan dan Mercedes. Schumi kemudian “dibajak” tim Benetton. Di Benettonlah Schumi memenangi balapan pertamanya, di Sirkuit Spa, Belgia pada 1992. Dari sana, kemenangan demi kemenangan pun terus dikoleksi Schumi hingga namanya melegenda.

  • Sanghyang Siksa Kandang Karesian, Pedoman Masyarakat Sunda

    Masif-nya penyebaran agama Islam pada abad ke-16 nyaris membuat kerajaan Sunda Hindu tamat riwayatnya.  Namun di era pemerintahan Prabu Jayadewata atau Sri Baduga Maharaja (1482-1521), pengaruh Islam di pusat kerajaan Sunda (Pakuan Pajajaran) berhasil dibendung. Selama kurang lebih 39 tahun masa pemerintahannya, Jayadewata mampu menjaga ajaran Hindu tetap hidup di Pajajaran. Bagaimana sang raja melakukannya?  Dikisahkan Carita Parahyangan , dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid II karya Nugroho Notosusanto, dkk, Prabu Jayadewata membuat sebuah kitab pedoman hidup bernama Sanghyang Siksa Kandang Karesian (SSKK). Naskah berangka tahun 1440 Saka, atau 1518 Masehi ini bersifat ensiklopedis. Isinya memberikan gambaran tentang pedoman moral umum, dan bekal praktis untuk kehidupan bermasyarakat di Sunda Pajajaran. Dalam acara Seri Diskusi Naskah Nusantara “Kabuyutan dan Keutamaan Sanghyang Siksa Kandang Karesian: Teks Sunda Kuno dalam Dua Media Tulis” di Perpusatakaan Nasional Republik Indonesia, Jakarta Pusat, filolog Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa) Ilham Nurhamsah menyebut jika SSKK menjadi salah satu ajaran yang sakral di masyarakat Sunda. “Proses membaca naskah ini tidak dibaca begitu saja oleh masyarakat. Tetapi ada seorang yang membacanya, kemudian yang lain mendengarkan,” kata Ilham. Kitab pedoman hidup milik masyarakat di kerajaan Sunda itu memuat banyak nilai dari ajaran Hindu dan ajaran karuhun (nenek moyang) yang dipercaya telah ada sebelum agama Hindu-Budha masuk ke Tatar Sunda. Naskah SSKK ini berisi ungkapan dan keterangan tentang sepuluh kesejahteraan ( dasakreta) , sepuluh pengabdian ( dasa prebakti ), sepuluh alat indra ( panca indriya ), lima pelindung ( panca byapara ), pembagian lima arah mata angin ( sanghyang wuku lima ), dan sebagainya. Dalam bukunya, Sewaka Darma (Kropak 408); Sanghyang Siksa Kandang Karesian (Kropak 630); Amanat Galunggung (Kropak 632) , Saleh Danasasmita, dkk menjelaskan jika naskah SSKK ini diajarkan oleh seorang budiman (pendeta suci) kepada mereka yang mencari kebahagiaan. Karenanya seluruh rakyat bisa mempelajarinya, tidak hanya terbatas kepada kalangan tertentu saja. Naskah ini pun banyak memuat tugas-tugas rakyat di dalam kerajaan yang dimaksudkan demi kepentingan pemerintahan. “Kata karesian dalam naskah ini tidaklah dikonotasikan khusus dengan pengertian biara (tempat tinggal resi), melainkan dengan kearifan atau kewaspadaan hidup menurut ajaran darma. Ditinjau dari isinya, kata Siksa Kandang Karesian itu dapat diartikan bagian aturan atau ajaran tentang hidup arif berdasarkan darma,” kata Saleh. Naskah Sanghyang Siksa memuat berbagai peraturan sehari-hari yang ditujukan bagi ketentraman masyarakat. Di antaranya mengajarkan formasi perang, cara mengukur tanah, pertanda alam, mantra, makanan, pekerjaan dan keahlian, serta segala larangan dan anjuran dalam berbagai aspek kehidupan manusia. Sementara dari hasil penelitian filolog Aditia Gunawan, dalam Sanghyang Sasana Maha Guru dan Kala Purbaka: Suntingan dan Terjemahan , Siksa Kandang mengandung nilai yang lebih mendasar. Pada salah satu terjemahan Siksa Kandang bahkan sampai mengurusi cara mengahadapi raja, berpakaian, sampai cara buang air yang benar di masyarakat. “… tidak baik buang air besar di pinggir jalan, barangkali tercium oleh orang yang tidak sengaja lewat, takut nanti disumpahi dan disalahkan. Haruslah kita bercelana dan berpakaian lengkap, barangkali kita bertemu dengan raja atau mantra, haruslah kita berada di sebelah kiri dan berjongkok. Itulah yang disebut Siksa Kandang ,” tulis Aditia. Selama masa kekuasaan Prabu Jayadewata ajaran dalam naskah Sanghyang Siksa diperhatikan dengan sangat baik. Pemerintahan di Pakuan pada masa itu benar-benar menerapkan berbagai hal yang diajarkan dalam kitab SSKK. Rakyat pun diwajibkan untuk mengikutinya. Sehingga para pelanggar ajaran ini akan mendapat sanksi dari sang raja. “Sang Jayadewata menjalankan pemerintahannya berdasarkan kitab-kitab hukum yang berlaku, sehingga pemerintahannya berjalan dengan aman dan tentram. Pada masa itu tidak terjadi perang. Jika pun terjadi rasa tidak aman, maka hal itu cumalah terjadi pada mereka yang berani melanggar Sanghyang Siksa saja,” tulis Nugroho. Ajaran dalam SSKK terbukti mampu menghalau pengaruh Islam. Sehingga kendati masyarakat Muslim telah mengepung kerajaan Pajajaran –dari Barat melalui Banten, dan dari Timur melalui Cirebon serta Demak– wilayah pusat tetap dalam pengaruh Hindu. Selain karena pengaruh Raja Pajajaran yang begitu kuat di masyarakat, aturan hidup dalam SSKK yang telah diturunkan secara turun-temurun juga sedikit banyaknya mempengaruhi kehidupan masyarakat Sunda dalam berperilaku dan bertindak di dalam kerajaan. Namun begitu Prabu Jayadewata mangkat, ajaran dalam SSKK tidak dijadikan pedoman wajib di masyarakat. Perbedaan situasi politik di kerajaan Sunda era Jayadewata dengan Prabu Surawisesa (1521-1535), ditambah konflik dengan Islam yang semakin meluas, membuat masa pemerintahan ini dijalankan dengan mengedepankan perang. Hingga akhrinya kerajaan Pajajaran benar-benar runtuh pada 1579 di masa Prabu Surya Kencana. Meski demikian, berbagai ajaran Sanghyang Siksa Kandang tidak lenyap begitu saja di dalam diri masyarakat Sunda. Menurut Ilham, nilai-nilai di dalam naskah itu terus diturunkan dari generasi ke generasi, walau sudah semakin terbatas. “Ya, karena sebagian masih ada di dalam ingatan masyarakat Sunda sekarang,” ucapnya.

  • Kisah Jenderal Soedirman dan "80 Perompak"

    Jumat, 1 November 1946. Udara pagi Jakarta mulai menghangat, saat serangkaian kereta api istimewa memasuki Stasiun Manggarai. Begitu berhenti, ribuan orang yang memenuhi ruang tunggu mulai ramai bersuara. Suasana mulai “histeris” manakala dari salah satu gerbong muncul dua orang yang ditunggu:  Panglima Besar Tentara Republik Indonesia (TRI) Jenderal Soedirman dan Kepala Staf TRI, Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo. “Pekik merdeka kembali berdengung di Jakarta, menyambut kedatangan Pak Dirman,” ujar mantan Menteri Pertambangan di era Orde Baru Soebroto, seperti dikutip sejarawan Moehkardi dalam Akademi Militer Yogya dalam Perjuangan Pisik 1945-1959. Soebroto adalah salah seorang kadet Akademi Militer Yogyakarta. Bersama 14 rekannya, dia masuk dalam barisan pengawal Soedirman saat itu. Mereka terpilih karena dianggap berasal dari kalangan elit TRI yang memiliki disiplin tinggi dan kapasitas intelektual yang memadai (salah satunya menguasai bahasa Inggris dan bahasa Belanda). Kriteria itu penting supaya prajurit-prajurit TRI tidak  memalukan bila tampil di depan hidung tentara Inggris dan tentara Belanda. Kedatangan para pucuk pimpinan TRI ke Jakarta dalam rangka menindaklanjuti hasil Perjanjian Linggarjati antara pemerintah RI dengan pemerintah Kerajaan Belanda yang hingga akhir Oktober 1946 sudah mendekati final. Mereka akan membicarakan soal teknis dari pelaksanaan gencatan senjata antara kedua belah pihak. Belanda sendiri awalnya keberatan dengan kedatangan Jenderal Soedirman lengkap dengan para pengawal bersenjatanya ke Jakarta. Bahkan dalam nada marah, Panglima KNIL Jenderal S.H. Spoor menyebut upaya itu sebagai bentuk provokasi dari Soedirman. Dalam suratnya kepada Kepala Staf Umum Tentara Kerajaan Belanda Jenderal H.J. Kruls, Spoor menyatakan kedatangan Soedirman dengan rombongan bersenjatanya ke Batavia sungguh memberi malu  kepada orang-orang Belanda. “Ia sangat berang dengan tindakan provokatif Jenderal Soedirman ‘dengan 80 perompak-nya’ di Batavia,” tulis sejarawan JA.de Moor dalam Jenderal Spoor: Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia. Spoor juga menyebut bahwa Soedirman dan para republiken sama sekali tidak memiliki niat baik untuk menciptakan perdamaian. Mereka tidak loyal terhadap kesepakatan yang sudah diciptakan oleh kedua pihak dalam Perjanjian Linggarjati. Namun apa boleh buat, orang-orang Inggris yang masih bercokol di Jakarta dan merupakan wakil sah dari Sekutu, menginginkan Belanda untuk menyelesaikan semaksimal mungkin konfliknya dengan Indonesia harus lewat meja perundingan. “Belanda kini terpaksa berunding dengan para ‘bajingan dan kolaborator dari masa perang’,” ungkapnya. Di lain pihak, kedatangan rombongan Soedirman ke Jakarta, memang dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Perdana Menteri RI Sutan Sjahrir.  Menurut sejarawan Rushdy Hoesein, sebenarnya bisa saja rombongan Panglima Besar menyudahi perjalanannya di Stasiun Gambir dan diam-diam langsung masuk Hotel Shutteraff yang ada persis di muka stasiun tersebut (sekarang Gedung Pertamina). “Namun Sjahrir menginginkan supaya Soedirman dan rombongannya diarak dari Stasiun Manggarai menuju hotel tempat mereka menginap untuk memperlihatkan kepada Belanda dan Inggris bahwa Republik memiliki tentara yang patut dibanggakan,” ujarnya. Bagi para pengawal, situasi tersebut merupakan ujian tersendiri bagi kedisiplinan mereka sebagai tentara. Terutama bagi yang kebagian jaga di depan hotel, persis menghadap jalan raya. Entah berapa kali dalam sehari, serdadu-serdadu Belanda secara provokatif berjalan hilir-mudik di depan mereka dengan sorot mata memusuhi dan menghina. “Kami masing-masing hanya bisa saling melototkan mata saja, untunglah tidak sampai terjadi insiden,” kenang Soebroto. Namun selain perang urat syaraf, ada juga kenangan indahnya. Tak jarang orang-orang Jakarta, terutama para gadisnya, mondar-mandir di depan kadet penjaga. Mereka rupanya sengaja lewat depan Hotel Shutteraff hanya sekadar ingin tahu betapa tampan dan gagahnya para prajurit TRI yang mereka banggakan itu. Rombongan Soedirman berada di Jakarta hingga Selasa sore, 5 November 1946. Paginya, Panglima Besar masih menyempatkan diri melakukan shalat Idul Adha di Lapangan Gambir (sekarang kawasan Monas) bersama masyarakat Jakarta. Seperti saat menyambut kedatangan Soedirman di Stasiun Manggarai beberapa hari sebelumnya, ribuan masyarakat Jakarta pun terlihat antusias menjalankan shalat berjamaah dengan panglima besar-nya.

bottom of page