top of page

Hasil pencarian

9597 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Cara Raja Bali Menangani Pengacau

    SAMA seperti Inggris yang menjadikan Australia tempat pembuangan orang-orang bermasalah. Raja-raja Bali –terutama dari Klungkung, Gianyar, Bangli– menjadikan Nusa Penida tempat menyingkirkan para pembuat onar dari negerinya. Umumnya yang dikirim ke Nusa Penida adalah para terhukum yang mendapat ganjaran harus diasingkan dari Bali. Mereka kemudian tinggal bersama penduduk yang sejak era kekuasaan Lombok sudah menempati Nusa Penida. Ida Bagus Sideman dalam Penjara di Tengah Samudra: Studi tentang Nusa Penida Sebagai Pulau Buangan menyebut ada lima desa yang menjadi tempat bernaung para terhukum setibanya di Nusa Penida, yaitu Batununggal, Ped, Batumadeg, Batukandik, dan Jungutbatu. Mereka ditempatkan di sana oleh pemerintah Klungkung yang membawahi Nusa Penida. “Empat desa terletak di Nusa Penida dan satu desa (Jungutbatu) di pulau Lembongan,” tulis Sideman. Di pulau seluas kurang lebih 200 km² ini para terhukum harus bekerja menggarap lahan untuk komoditi-komoditi ekspor beberapa kerajaan Bali, termasuk Klungkung, yang pada abad ke-17 resmi menjadi pemilik Nusa Penida. Kerja paksa tersebut dilakukan seumur hidup hingga diturunkan kepada generasi setelahnya. Hampir semua literasi Barat yang terkait dengan Nusa Penida menyebut Nusa Penida sebagai pulau bagi orang-orang bermasalah atau Bandieten Eiland (Pulau Bandit). Seperti Claire Holt dalam tulisannya “Bandit Island: A Short Exploration Trip to Nusa Penida” dimuat Traditional Balinese Culture . Namun penyebutan itu dirasa terlalu berlebihan. Karena seolah mengartikan penduduk Nusa Penida sebagai keturunan bandit. Tetapi agaknya perlu juga dicermati arti di balik nama tersebut. Apa yang menyebabkan para penulis Barat menyematkan nama yang cenderung negatif itu pada Nusa Penida. Syarat Para Terhukum Mendengar kata ‘bandit’ otomoatis pikiran kita akan terarah pada kasus-kasus pelanggaran berat seperti perampokan dan pembunuhan. Namun nyatanya para terhukum yang dikirim oleh raja-raja Bali ini sangat sedikit yang diadili atas tindakan tersebut. Kebanyakan dari mereka adalah para pelanggar politik, ekonomi, adat, dan kepercayaan, yang oleh raja dianggap dapat mengganggu kekuasaannya. Di antara kasus-kasus pengasingan ke Nusa Penida, para terhukum kasus ilmu hitam atau kepercayaan menjadi yang paling berat. Di dalam transkripsi naskah “Paswara Bangli” dimuat Penjara di Tengah Samudra dijelaskan bahwa mereka yang terjerat kasus ini umumnya dijatuhi hukuman mati. Caranya dengan ditenggelamkan di laut. Hukuman teringan yakni diasingkan seumur hidup. Terpidana kasus politik menjadi yang paling banyak. Dalam buku Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Bali karya Made Sutaba, dkk terbitan Direktorat Sejarah disebutkan bahwa para terpidana kasus politik banyak bermunculan sekitar abad ke-19. Saat itu Bali sedang berada di puncak upaya-upaya perluasan wilayah suatu kerajaan terhadap kerajaan di sekitarnya. Hingga tidak jarang menyebabkan perang saudara. Selama perang tersebut bermunculan kelompok-kelompok pemberontak dari kalangan rakyat kecil. Kelompok pertama adalah mereka yang berusaha menggulingkan pemerintahan yang dirasa tidak adil. Salah satunya terjadi di kerajaan Karangasem. “… masa pemerintahannya penuh dengan kekejaman. Ia menjalankan dengan tangan besi, sehingga rakyat mengalami kecemasan dan penderitaan,” jelas Sutaba. Sementara kelompok lainnya tidak dalam kepentingan menghentikan praktek kekejaman penguasa. Mereka berasal dari luar daerah yang diutus oleh musuh untuk memata-matai berbagai aktifitas di dalam kerajaan sasarannya. Para terduga yang terjerat kasus ini mendapat hukuman terberat. Para terhukum kasus politik, kata Sideman, jumlahnya sangat banyak pada akhir abad ke-19. Situasi politik yang terus memanas, ditambah campur tangan Belanda, semakin memperkeruh suasana di Bali. Satu contoh pengasingan yang cukup banyak diceritakan adalah kasus keluarga bangsawan Gianyar bernama Cokorda Rai Banggul. Bersama istri dan anaknya, Banggul dibuang ke Nusa Penida atas tuduhan pengkhianatan. Ia dihukum seumur hidup dan tidak diberi akses kembali ke tanah Bali. Sedangkan para terhukum kasus hutang piutang (ekonomi), termasuk denda dan pajak, jumlahnya tidak terlalu banyak. Mereka yang terjerat kasus ini biasanya berusaha sekuat tenaga melunasi dendanya tersebut. Dan jika memang tetap harus dihukum, masa pengasingannya tidak lebih dari 2 tahun. Namun jangan dibayangkan para terhukum ini selama di Nusa Penida tinggal di sebuah bangunan penjara dengan kamar-kamar kecil di dalamnya. Selain karena memang tidak ada bangunan seperti itu, para pejabat di Nusa Penida berusaha membuat cara yang baik dalam menanggulangi para terhukum di pulau tersebut. “Narapidana kasus politik, hutang piutang (ekonomi), dan pelanggaran adat ditempatkan bersama-sama di antara penduduk. Nara pidana kasus ilmu hitam ditempatkan dalam barak-barak,” tulis Sideman.

  • Di Balik Keindahan Nusa Penida

    NUSA PENIDA seolah terlupakan di dalam narasi sejarah bangsa ini. Pulau yang sangat terkenal dengan keindahan lautnya itu menyimpan masa lalu yang amat kelam. Mungkin tak ada orang menyangka begitu banyak misteri yang terkubur di sana. Lokasi Nusa Penida berada di antara Bali dan Lombok, Nusa Tenggara Barat. Jika melihat peta, akan tampak sebuah gugusan pulau di tenggara Bali yang menyerupai sebutir telur  burung sedang dierami induknya. Gugusan yang terdiri dari 3 pulau (Nusa Penida, Nusa Ceningan, dan Nusa Lembongan) dengan luas sekira 200 km² itulah penjara yang dahulu digunakan para raja Bali untuk menyingkirkan orang-orang bermasalah dari pulau utama. Pengaruh Kuat Bali Sejak abad ke-9 hingga permulaan abad ke-10, Nusa Penida telah memiliki tempat tersendiri di dalam sejarah Bali. Tersebut pada sebuah prasasti batu bertahun saka 835 (913 M) yang ditemukan di desa Blanjong, Nusa Penida menjadi wilayah kekuasaan Dinasti Warmadewa pimpinan Raja Sri Wira Kesari Warmadewa. Dalam penelitian sejarawan Ida Bagus Sidemen, Penjara di Tengah Samudra: Studi tentang Nusa Penida sebagai Pulau Buangan , disebutkan kalau Kesari Warmadewa menggunakan Nusa Penida sebagai simbol kemenangan atas musuhnya di Gurun –diyakini para ahli sebagai Lombok– yang tengah berkonflik dengan Bali. Saat itu, Nusa Penida telah dihuni oleh orang-orang dari Lombok. Mereka telah membangun sebuah pemerintahan di sana. Ketika berhasil ditundukan, Bali segera menempatkan orang-orangnya untuk menempati pemerintahan di Nusa Penida. Digunakanlah pulau ini sebagai salah satu basis perdagangan daerah Bali. “Hubungan antara Nusa Penida dengan Bali, terutama dalam bidang perdagangan dan pelayaran, masih berlanjut sampai abad ke-11. Salah satu bandar di Bali yang melayani pelayaran antara Bali dengan Nusa Penida adalah bandar Ujung di desa Ujung Hayang, Karangasem,” tulis Sidemen. Di dalam transkripsi Prasasti Bali yang diterbitkan Lembaga Bahasa dan Budaya Universitas Indonesia terdapat infromasi bahwa hingga dekade pertama abad ke-17, Nusa Penida tetap menjadi penyangga perdagangan kerajaan-kerajaan di Bali. Namun ketika Bali dikuasai dinasti Kresna Kepakisan (abad ke-14), para penguasa Nusa Penida mulai menunjukan itikad memerdekakan diri. Beberapa sumber lokal, semisal Lontar Sawangan , menyebut Nusa Penida sempat mendirikan negeri merdeka pada permulaan abad ke-16. Di bawah pimpinan Ratu Sawang, Nusa Penida membangun pusat pemerintahan di Bukit Mundi. Mengetahui hal itu, Dalem Waturenggong mengirim pasukan untuk menyerang Ratu Sawang. Dikomandoi Dukut Petak, laskar Bali berhasil menaklukan Nusa Penida. Pada pertengahan abad ke-17 Nusa Penida dapat mengusahakan kembali pemberontakannya. Pemerintahan Dalem Di Made dari Kerajaan Gelgel Bali yang kekuasaannya mulai goyah di Nusa Penida mendapat serangan dari seorang penguasa bernama I Dewa Bungkut. Namun kekuatan para pemberontak ini terlampau lemah. Pasukan Ki Gusti Jelantik yang dikirim raja Bali pun dapat menguasai kembali Nusa Penida. Ketika Bali terpecah ke dalam kerajaan-kerajaan kecil, Nusa Penida dinyatakan sebagai bagian dari wilayah kerajaan Klungkung. I Dewa Agung Putra berikrar atas pengaruhnya di Nusa Penida. Semua kerajaan setuju sehingga pulau itu tidak menjadi sengketa di antara para raja Bali. Pulau Bandit Sebagai pemilik Nusa Penida, Klungkung mengangkat beberapa pejabat kerajaan untuk menjalankan pemerintahan di sana. Selain sebagai pengawas, para pejabat ini juga bertugas memperkuat kedudukan politik Klungkung di Nusa Penida sehingga pulau itu tidak diambil alih oleh kerajaan lain. Di dalam beberapa literasi Barat, Nusa Penida dan dua pulau di sekitarnya dikenal sebagai Bandit Island atau Bandieten Eiland (Pulau Bandit). Seperti tulisan Claire Holt, “Bandit Island: A Short Exploration Trip to Nusa Penida”, dimuat Traditional Balinese Culture . Dengan melampirkan beberapa sumber lokal dan arsip Belanda, Holt menyebut pulau Nusa Penida sebagai wilayah yang diisi oleh orang-orang bermasalah dari pulau utama, yakni Bali. “Nama yang menyolok ini menggelitik untuk berusaha mengetahui apa yang ada di belakang nama yang bernada negatif ini,” tulis Sidemen. Julukan bandit yang disematkan para penulis Barat itu, tambah Sideman, sangat berkaitan dengan kebijakan raja-raja Bali yang menjadikan Nusa Penida tempat “pembuangan” untuk nara pidana di kerajaan mereka. Kerajaan Klungkung, Gianyar, dan Bangli, menjadikan Nusa Penida penjara utama bagi para pelanggar hukum yang dijatuhi hukuman pengasingan seumur hidup. Nusa Penida dipilih karena keadaan alamnya dianggap dapat menyengsarakan para terhukum. Kondisi pulau yang kering dengan musim kemarau panjang, ditambah benteng laut di sekelilingnya yang berarus deras disertai gelombang besar, membuat para raja yakin siapapun tidak akan bertahan hidup di sana. Selain itu, ada kepercayaan di antara raja Bali tentang keberadaan ilmu hitam di Nusa Penida. Bagi mereka, para tahanan itu juga merupakan tumbal untuk kekuatan gaib di Nusa Penida yang setiap tahun selalu menyerang Bali. Nusa Penida sendiri penting bagi Klungkung karena secara ekonomi wilayah tersebut menjadi tempat ditanamnya beberapa komoditi ekspor, seperti kacang merah, jagung, ternak sapi dan babi, serta tenun. “Para tertuduh yang dibuang ke Nusa Penida, dengan hukuman kerja paksa membuka perladangan baru, diharapkan dapat melipatgandakan hasil ekspor tersebut,” kata Sideman.

  • Pemuda Peranakan Tionghoa asal Palembang di Kongres Pemuda

    Malam Senin, 28 Oktober 1928, di gedung Indonesische Clubhuis, Kramat, Batavia. Para pemuda berkumpul, menyimak paparan wakil-wakil organisasi peserta Kongres Pemuda II tentang kepanduan, pergerakan pemuda, dan persatuan Indonesia. Kongres terbagi atas tiga sidang dan telah berjalan dua hari. Malam itu Kongres masuk agenda sidang terakhir. Sugondo Djojopuspito, ketua Kongres, mendapat giliran bicara setelah paparan wakil-wakil organisasi permuda. Dia membacakan tiga keputusan Kongres: bertanah air Indonesia, berbangsa Indonesia, dan berbahasa Indonesia. Peserta Kongres menyetujui tiga keputusan itu secara bulat. Tak ada diskusi lagi. Peserta Kongres membaca ulang keputusan dengan nyaring. Kemudian Wage Rudolf Supratman memainkan lagu Indonesia Raya dengan biola. Dolly, putri Haji Agus Salim, mengisi vokalnya. Peserta berdiri dan menyanyikannya bareng-bareng. Kongres pun selesai. Peserta merayakan hasil kongres dengan cara dan kelompoknya masing-masing. Anggota Jong Sumatranen Bond (JSB) menggelar acara api unggun di daerah Tanah Tinggi, Batavia. “Ternyata api unggun diserbu polisi Belanda, sehingga terpaksa bubar dan sebagian hadirin digiring ke Hopbiro (kantor polisi),” ungkap Kwee Thiam Hong dalam “Ada Juga Pemuda ‘Non-Pri’ dalam Sumpah Pemuda 1928”, termuat di Kompas , 25 Oktober 1978. Kwee Thiam Hong kala itu remaja peranakan Tionghoa kelahiran Palembang. Umurnya 15 tahun dan duduk di MULO (setingkat SMP). Dia termasuk anggota JSB sekaligus peserta Kongres Pemuda II. Dia hadir bersama tiga orang kawannya: John Liauw Tjoan-hok, Oei Kay-siang, dan Tjio Dinkwie. Kwee diinterogasi oleh polisi semalaman di Hopbiro . Pertanyaan polisi berputar pada nama, alamat, dan jabatan organisasi Kwee. Terhadap pertanyaan jabatan organisasi, Kwee menjawab: “Pemukul genderang dalam kepanduan JSB.” Nama Kwee dan kawan-kawannya jarang tersua dalam sejarah Kongres Pemuda. Padahal kehadiran mereka menandakan bahwa pemuda peranakan Tionghoa turut mendukung Sumpah Pemuda.   Aktif di JSB Kwee datang ke Kongres tidak sekadar ikut-ikutan. Dia memiliki kesamaan pandangan dengan para pemuda penyelenggara dan peserta kongres. “Kami merasa senasib dan sependeritaan, menghadapi lawan yang sama, yaitu kolonialisme Belanda. Saya tidak benci Belanda lho, tapi yang kami lawan adalah stelsel kolonialismenya,” kata Kwee. Kesadaran Kwee terhadap adanya kolonialisme muncul ketika dirinya merasakan sendiri diskriminasi di HBS (pendidikan setingkat SMP untuk golongan terpandang). Dia tidak betah bersekolah di HBS dan memilih pindah ke MULO. “Di MULO siswanya campur baur dari pelbagai daerah suku dan keturunan… Melahirkan suatu solidaritas yang mengatasi suku dan golongan,” cerita Kwee. Kwee lantas bergabung dengan JSB. “Sebab saya wong Palembang, saya lahir di Palembang.” JSB berdiri pada 9 Desember 1917 di Batavia. Bahder Johan, salah satu pendiri JSB, mengatakan bahwa tujuan JSB antara lain menghilangkan semua prasangka mengenai ras atau suku bangsa dan memperkuat ikatan di antara pemuda-pemuda Sumatra yang sedang belajar di perantauan. Demikian catat almarhum Magdalia, pengajar Program Studi Sejarah Universitas Indonesia, dalam Jong Sumatranen Bond . JSB juga mengadakan kursus politik informal untuk mencapai tujuan lainnya, yaitu membentuk pemimpin di masyarakat. Pematerinya tokoh-tokoh pergerakan Nasional seperti H.O.S Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, dan Sukarno. Dari kursus-kursus politik itulah Kwee memperoleh pandangan tentang Indonesia merdeka. “Ketika itu kami sudah menghendaki Indonesia merdeka. Hanya waktunya belum dapat dipastikan,” kata Kwee dalam Tempo , 6 November 1982. JSB tercatat sebagai salah satu organisasi penyelenggara Kongres Pemuda II. Ikhtiar JSB dan organisasi pemuda lainnya menggelar Kongres Pemuda II mengarahkan para pemuda ke tindakan kebangsaan yang lebih luas. Misalnya dengan membentuk organisasi persatuan pemuda bernama Indonesia Moeda pada 31 Desember 1930.   Tapi Kwee tidak lagi terlibat dalam peristiwa itu. Dia bilang tidak tertarik lagi terjun ke dunia pergerakan dan kepemudaan setelah Kongres. Dia absen selama beberapa lama dari dunia tersebut. Jadi Intel Sjahrir Menjelang kemerdekaan, ketertarikan Kwee pada gerakan kebangsaan mencuat lagi. Dia sangat kepincut dengan gagasan Sutan Sjahrir dan mengikuti diskusi-sikusi politiknya. “Mengagumi pikiran-pikiran sosialismenya Sjahrir, di belakang hari Thiam Hong menjadi anggota Partai Sosialis Indonesia,” catat Tempo . Ketertarikan dan keterlibatan Kwee dengan gagasan Sutan Sjahrir tidak lepas dari lingkaran pergaulannya semasa sekolah MULO. Dia punya teman sekamar bernama Djohan Sjahroezah. Temannya ini kelak menjadi menantu Haji Agus Salim dan penggerak Partai Sosialis Indonesia. Kedekatan Kwee dengan Djohan tergambar dalam peristiwa pembebasan Djohan pada masa Agresi Militer Belanda pertama (Juli—Agustus 1947). Belanda sempat menahan Djohan beberapa waktu. Kwee mengetahui penahanan ini. Dia melapor ke Haji Agus Salim. “Atas pertolongan mertuanya yang memang disegani lawan dan kawan itulah Djohan selamat,” lanjut Tempo . Pembebasan ini melambungkan nama Kwee di hadapan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Kwee memperoleh tugas tidak resmi menjadi intel Republik dari Sutan Sjahrir. “Soalnya Belanda kan selalu bersikap lunak menghadapi orang-orang keturunan Tionghoa daripada terhadap orang Indonesia asli,” kata Kwee. Setelah kekuasaan Sjahrir tumbang, aktivitas politik Kwee kembali samar. Dia lebih banyak terlibat urusan bisnis dan ekonomi. Dia mendukung penuh gagasan ekonomi koperasi ala Bung Hatta dan pembauran keturunan Tionghoa. Kwee mengganti namanya menjadi Daud Budiman pada 1965. Sebabnya bukan karena dia setuju pembauran, melainkan lantaran anaknya dipersulit masuk universitas. Melalui perubahan nama, anaknya baru bisa masuk universitas. Kwee tak pernah suka namanya berganti. Menurutnya pembauran tak mesti berhubungan dengan perubahan nama. “Nama itu kan pemberian orangtua yang sudah dipikirkan masak-masak waktu lahir… Buat apa pakai nama Indonesia kalau jiwanya bukan Indonesia lagi?” ungkap Kwee. Kwee lebih menekankan pentingnya pembauran melalui gagasan dan perilaku ketimbang lewat hal-hal formal dan lahir dari situasi terpaksa. Dia juga sempat menyayangkan masih adanya pengotakan garis rasial pribumi dan non-pribumi. Kwee tutup usia pada 1997, setahun sebelum kerusuhan berbau etnis pada Mei 1998. Meski dia telah lama meninggal, kegusarannya masih terasa hingga sekarang. Terutama menjelang pemilu atau pilkada ketika politik identitas dimunculkan untuk memperoleh suara.

  • Panggil Pengusaha Kepercayaannya, Sukarno Kena Batunya

    SEBUAH undangan sarapan tiba di meja Hasjim Ning, keponakan Bung Hatta dan pengusaha berjuluk “Raja Mobil”, pada suatu hari di tahun 1962. Pengirimnya, WaKSAD Jenderal Gatot Soebroto. Sang jenderal ingin menduskiskan hal penting dengan Hasjim. Selain sangat mempercayai Hasjim, Gatot melihat sang pengusaha punya akses besar ke dalam kekuasaan. Meski sempat bingung karena tidak biasa Gatot mengundang sarapan bareng, Hasjim memenuhi undangan itu. Hadir pula pengusaha Agus Dasaad dalam sarapan itu. Setelah berbasa-basi, Gatot langsung membuka pembicaraan kepada dua tamunya. “Tuan-tuan berdua aku undang karena aku mau minta bantuan,” kata Gatot sebagaimana dikutip Hasjim dalam otobiografinya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang . Demi menenteramkan hati lantaran mengetahui kebiasaan jenderal yang meminta bantuan tak lain berujung pada pengeluaran sejumlah uang, Hasjim pun menyela Gatot. “Bisa kita makan dahulu baru ngomong? Ngomong soal bantuan lebih baik bila kami sudah kenyang, Jenderal,” kata Hasjim. Pembicaraan pun berjalan kembali sesaat menjelang sarapan bersama itu selesai. Gatot membukanya dengan permintaan agar Hasjim menyampaikan pesannya kepada Presiden Sukarno. “Bilang pada raja Jawa itu, kalau Nasution diangkat jadi Kasab, suruh angkat A. Yani jadi Kasad,” kata Gatot, yang memaksudkan “raja Jawa” sebagai Presiden Sukarno, dikutip Hasjim. Beberapa waktu kemudian, Hasjim menyampaikan pesan Gatot itu ke presiden ketika dirinya diundang sarapan bareng sebagaimana biasa dilakukan Sukarno kepada orang-orang terdekatnya. Sukarno senang mendengar pesan Gatot itu karena dia rupanya juga hendak berdiskusi tentang siapa calon pengganti KSAD Nasution. Sebelumnya, Sukarno telah menolak permintaan Nasution yang mengusulkan Gatot Soebroto sebagai penggantinya kelak ketika dirinya telah diangkat presiden menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB). Penolakan itu membuat Nasution mencarikan nama lain. A. Yani, deputi operasi KSAD, lalu dipilih Nasution untuk diajukan kepada presiden. Nama terakhir ini rupanya membuat Sukarno kesengsem. “Dia (Yani, red .) telah memperoleh reputasi yang baik ketika memimpin pasukan dan dengan mudah menumpas pemberontakan PRRI tahun 1958, dan sebagai seorang antikomunis yang keras, mendapat kepercayaan Nasution dan korps perwira umumnya,” kata Harold Crouch dalam bukunya, Militer dan Politik di Indonesia . Di luar prestasi Yani, Sukarno terkesima oleh Yani lantaran sang jenderal bisa bekerjasama dengan baik dengannya selama di Komando Operasi Tertinggi (KOTI). Sebagai orang Jawa, Yani paham etika Jawa, hal yang diinginkan Sukarno. Namun, Sukarno saat itu tak langsung menjatuhka pilihan. Dia bingung lantaran masih ada calon lain, yakni Sudirman (komandan Brigade I Ronggolawe semasa Perang Kemerdekaan). Dalam penilaian Sukarno, keduanya sama-sama berbobot sehingga sulit untuk ditentukan mana yang lebih pantas dipilih. Oleh karena itu, Sukarno perlu mendengar suara dari kalangan lain di luar Angkatan Darat. Hasjim sebagai sahabat yang paling dipercayainya, lalu diajak berdiskusi.  “Ada calon lain, Sudirman. Di antara keduanya, siapa yang jij pilih?” Sukarno bertanya pada Hasjim. “Jenderal A. Yani,” jawab Hasjim. “Kenapa?” “Kalau keduanya punya nilai yang sama, maka aku pilih yang muda.” “Ah, Jij seperti memilih perempuan saja.” “Memilih perempuan lain, Pak. Kalau orang muda suka sama perempuan lebih tua. Tapi laki-laki tua akan memilih yang paling muda.” “Menyindir kamu ya?” Terlepas dari gurauan yang biasa mewarnai pertemuan-pertemuan Sukarno, sang presiden akhirnya menjatuhkan pilihan pada Yani.

  • Menguak Sisi Lain Freeport

    PT Freeport Indonesia (PTFI) punya sederet reputasi buruk. Perusahaan asal Amerika ini dikenal sebagai "penjarah" kekayaan alam di Papua lewat eksploitasi pertambangan. Selama setengah abad lebih beroperasi, Freeport terus mendulang laba. Sementara itu, kontribusi bagi masyarakat Papua sebagai tuan rumah tidak begitu kentara. Berbagai media asing bahkan membubuhkan predikat “ number one public enemy ” kepada Freeport. Benarkah demikian? “Sangat tidak masuk akal bila PTFI yang dianggap sebagai VOC, neokolonialisme dan lain-lain, predikat buruk melekat di dalamnya, tetapi dapat bertahan lebih dari 50 tahun,” kata Marsekal (Purn.) Chappy Hakim dalam peluncuran bukunya Freeport: Catatan Pribadi Chappy Hakim di Perpustakaan Nasional RI, 28 Oktober 2019. Chappy pernah menjabat Kepala Staf AU (KSAU) periode 2002-2005. Pada 2016, pemerintah Indonesia dan Presiden Direktur Freeport McMoran Richard C. Akerson menunjuk Chappy sebagai presiden direktur PTFI. Ketika menduduki jabatan eksekutif tertinggi, Chappy memikul beban untuk menambal sejumlah “bopeng” di wajah PTFI. Namun tidak lama Chappy menjabat presiden direktur karena mengundurkan diri pada 2017. Ini terjadi setelah pemerintah mengeluarkan peraturan (PP No. 1 tahun 2017) yang mengharuskan PTFI menghentikan kegiatannya di Papua. Peluncuran buku Freeport: Catatan Pribadi Chappy Hakim  di auditorium Perpustakaan Nasional. (Martin Sitompul/Historia.ID). Mengubah Citra “Penjarah” Dalam catatan pribadinya, Chappy meluruskan banyak hal tentang Freeport. Menurutnya pegunungan Grasberg yang jadi basis utama eksploitasi PTFI bukanlah tambang emas, melainkan tambang tembaga dengan kandungan emas dan perak terbesar di dunia. Soal komposisi tenaga kerja, Chappy mencatat PTFI memperkerjakan lebih kurang 99 persen orang Indonesia yang 36 persennya adalah putra daerah asal Papua. Hanya 1 persen yang ekspatriat. Tidak seperti kebanyakan perusahaan milik negara (BUMN), Chappy mengatakan bahwa PTFI bersih dari kelakuan korupsi.   “Selama 50 tahun lebih tidak pernah ada skandal korupsi di Freeport, salah satu penyebabnya adalah sistem manajamen dan pengawasan yang sangat ketat,” ujar Chappy. Chappy mencatat, sejak 1996, PTFI telah menggelontorkan Rp9,1 trilyun untuk masyarakat setempat yang bermukim dekat lokasi penambangan. Investasi yang tidak banyak terekspose ke publik ini meliputi pembangunan Kota Kuala Kencana sebagai percontohan kawasan bebas penyakit malaria, infrastruktur (darat dan udara) di Tembagapura dan Mimika. Dalam pengembangan sumber daya manusia, PTFI membangun berbagai fasilitas sekolah, fasilitas kesehatan. PTFI juga mensponsori klub sepak bola Persipura dan membangun kompleks olahraga Mimika Sport Complex yang dipersiapkan untuk PON 2020.    Menurut Chappy seandainya pun PTFI tidak beroperasi, pegunungan Grasberg yang sulit dijangkau ini hanyalah kawasan hampa manusia. Pemerintah Indonesia belum tentu punya modal dan kemampuan untuk mengolahnya. “Freeport tidak bermasalah,” kata Chappy merujuk sistem manajemen maupun tata kelola internal, “yang bermasalah itu orang-orang yang ada di rumah kita sendiri.” Dalam hal ini, Chappy merujuk kasus “Papa Minta Saham” pada 2015 yang menyeret nama Setya Novanto, ketua DPR saat itu.   “Kalau melihat sejarah masuknya PTFI ini banyak menimbulkan pertanyan-pertanyaan yang tidak pernah terjawab dan jawaban-jawaban itu –sesuai dengan kreativitas kita– banyak sekali. Itulah sebabnya kemudian ia menjadi number one public enemy, ” kata Chappy. Kiri-kanan: Ninok Laksono, Chappy Hakim, Gayus Lumbuun, dan Jaya Suprana. (Martin Sitompul/Historia.ID). Terlanjur Buruk Sepak terjang Freeport dalam catatan Chappy Hakim menuai berbagai tanggapan. Kehadiran Freeport di Indonesia berkaitan sekali dengan persoalan memori di masa lalu. Sederet reputasi buruk yang melekat pada Freeport melalui proses yang begitu panjang. Perlu diingat, kedatangan Freeport ke Indonesia merupakan undangan dari pemerintah Orde Baru yang saat itu berkuasa. Wartawan senior Ninok Laksono mengatakan, nama Freeport tidak dapat terlepas dari citra perambah kekayaan alam Papua demi untung sebesar-besarnya. Belum lagi isu ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan sebagai dampak yang ditimbulkan dari kegiatan eksplorasi. Pada 1980-an, Ninok menyaksikan kejomplangan yang terjadi antara orang Papua yang masih tidak berpakaian sementara di komplek permukiman pekerja Freeport di Tembagapura dibangun laiknya kota Amerika. “Bagaikan langit dan bumi,” kata Ninok. Menurut Ninok berbicara mengenai Freeport maka merujuk bagaimana sejarah masuknya ke Indonesia. Freeport merupakan perusahaan asing pertama yang digandeng rezim Orde Baru lewat Undang-Undang Penamanan Modal tahun 1967. Sejak itulah malai Freeport mengeruk isi gunung tembaga di Grasberg. “Ini terjadi karena di satu sisi kita membangun resources untuk pembangunan yang dicanangkan Presiden Soeharto tapi tidak memiliki dana dan teknologi. Jadi, win-win nya itu diberikan kesempatan kepada investor asing untuk mengolah sumber daya kita. Memang masa itu, dan masa berikutnya kita tidak mengerti persislah,” kata Ninok. Citra yang sama turut dirasakan budayawan Jaya Suprana. Menurut pendiri  Museum Rekor Indonesia (MURI) ini, Freeport tidak ubahnya seperti perampok yang menggerogoti kekayaan alam di Papua. “Sangat buruk,” katanya. Kendati demikian, Jaya juga secara adil menyatakan kesan positifnya terhadap kontribusi Freeport, terutama dalam mendukung keanekaragaman beragama. “Satu-satunya mesjid dan gereja di dalam tambang di bawah tanah di dunia itu hanya ada di Freeport. Itu kan makanannya Museum Rekor Indonesia,” ujar Jaya, “saya perlu meletakan itu bukan untuk memberikan nilai tapi memberi penjelasan kepada masyarakat Indonesia apa sebenarnya Freeport ini.”    Sementara itu, ekonom Kwik Kian Gie menegaskan Freeport menangguk untung yang sangat besar selama beroperasi di Papua. Dia pun mengakui tidak ada korupsi di perusahaan raksasa itu. Tapi Kwik yang pernah jadi menteri koordinator ekonomi di era Megawati itu menutup uraiannya dengan sebuah tanya. “Kalau kita melihat Konferensi Jenewa tahun 1967 –yang membagi-bagi kekayaan alam Indonesia– apakah tidak ada corruption of mind di sana yang menimbulkan berbagai pertentangan dan perdebatan?”*

  • Jalan Panjang Indonesia Raya

    “KALAU bangsa Belanda punya lagu kebangsaan Wilhelmus , mengapa Indonesia belum punya. Sebab itu sekarang saya sedang mulai mengarang lagu dan saya beritahukan juga kepada bapak dan saudara-saudaraku untuk mendapat restunya,” kata Wage Rudolf Supratman kepada Oerip Kasansengari, kakak iparnya, pada pertengahan 1926. Rupanya waktu itu Supratman tengah terusik dengan sebuah kalimat dalam artikel majalah Timbul . “Alangkah baiknya kalau ada salah seorang dari pemuda Indonesia yang bisa menciptakan lagu kebangsaan Indonesia, sebab lain-lain bangsa semua telah memiliki lagu kebangsaannya masing-masing!” tulis majalah Timbul . Sebenarnya saat itu sudah ada lagu Dari Barat Sampai ke Timur sebagai lagu kaum pergerakan. Tetapi, menurut Supratman, lagu itu belum mengesankan dan menggugah semangat berjuang. Ide membikin lagu kebangsaan yang bukan sekadar lagu pergerakan pun muncul. Hasrat Supratman untuk menggubah lagu kebangsaan kemudian semakin bertambah setelah tersiar berita dari Indonesische Studieclub yang dipimpin Sukarno, bahwa perlu adanya segera lagu nasional. Menurut Bondan Winarno dalam Lagu Kebangsaan Indonesia Raya , dalam proses menggubah lagu ini Supratman dibantu Theo Pangemanan, tokoh kepanduan yang mahir bermusik. Ketika nadanya telah tercipta, dia langsung menetapkan judul Indonesia  untuk lagu ini. Sementara itu, liriknya mengambil inspirasi dari jargon dan ungkapan aktivis pergerakan yang akrab didengarnya dalam percakapan-percakapan di Gang Kramat. Berkumandang Kali Pertama Pada 1928, para pemuda pergerakan tengah sibuk mempersiapkan Kongres Pemuda II. Supratman kemudian menulis surat kepada panitia guna memperkenalkan lagunya dan untuk diperdengarkan dalam kongres. Gayung bersambut, panitia mengizinkan lagu itu diperdengarkan dalam penutupan kongres. Kongres Pemuda II pun digelar di rumah milik Sie Kong Liong, Jalan Kramat Raya 106 Jakarta. Supratman membawakan lagu itu dengan biolanya usai sidang pleno ketiga. Penampilannya mendapat sambutan hangat peserta kongres dan meminta lagu itu dinyayikan beserta liriknya. “Hadirin segera senang dengan lagu itu dan minta diulang. Dolly, salah satu gadis remaja, putri sulung Haji Agus Salim, menyanyikan lirik lagu tersebut,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Petite Historie Indonesia Jilid 2 . Pada momen itu, untuk pertama kalinya lagu Indonesia  diperbolehkan dengan catatan tanpa lirik “Merdeka…Merdeka”. Supratman menggubah lirik asli yang mencantumkan kata “merdeka” dengan kata “mulia.” Maka, sambil berdiri di atas kursi, dengan suara lantang Dolly Salim berseru, “Indones… Indones… mulia… mulia!” Para peserta kongres pun menyayikannya bersama. Pada 10 November 1928, untuk pertama kalinya lagu Indonesia  dipublikasikan dalam surat kabar. Surat kabar berbahasa Melayu-Tionghoa, Sin Po , memuat lagu dan notasi Indonesia Raya  pada edisi No. 293. Selain mencetak, Supratman juga meminta Sin Po  untuk menjual dalam bentuk partitur lepas. Padahal, pemuatan maupun percetakan lagu Indonesia  melanggar aturan pemerintah kolonial Belanda. Pengusaha rokok kretek Moro Seneng di Tulungagung, Jawa Timur, juga memuat utuh syair lagu dalam buku peringatan lima tahun perusahaan kreteknya. Tak hanya itu, Supratman juga menyebarluaskan lagunya dalam bentuk piringan hitam. Dia meminta bantuan temannya, Yo Kim Tjan, yang berhasil mencetaknya dalam piringan hitam. Lagu Indonesia  lalu menjadi lagu wajib yang hampir selalu dinyanyikan di setiap pertemuan-pertemuan organisasi. Seiring dengan kian populernya lagu itu di kalangan aktivis pergerakan, Supratman berinisiatif untuk mengubah judulnya. Tidak terlalu terang alasannya, lagu itu kemudian berjudul Indonesia Raya . “Wage Rudolf Supratman menerbitkan sendiri naskah lagu Indonesia Raya  itu dalam cetakan rapi yang berjumlah lebih dari seribu lembar. Semua sahabat dan kenalannya, diberinya dengan cuma-cuma. Sebagian besar lainnya, dijual dengan harga dua puluh sen. Dalam waktu singkat saja, sudah terjual habis,” tulis Sularto dalam Wage Rudolf Supratman . Lagu Kebangsaan Sejak diterima Kongres Pemuda, Indonesia Raya  biasa dinyanyikan dalam pembukaan sidang partai-partai politik. Misalnya pada konges kedua Partai Nasional Indonesia (PNI) di Jakarta, 18-20 Desember 1929. Untuk memeriahkan kongres, Supratman diminta memperdengarkan lagu Indonesia Raya  dengan gesekan biolanya bersama suatu orkes. Ketika lagu kebangsaan itu hendak dimulai, Sukarno selaku ketua PNI, meminta hadirin berdiri, untuk menghormat lagu Indonesia Raya .   “Sejak itu hingga pada saat ini dan seterusnya apabila lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan, maka selalu dihormati dan dinyanyikan dengan berdiri,” tulis Oerip Kasansengari dalam Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan W.R. Soepratman Pentjiptanja . Kongres PNI juga menetapkan Indonesia Raya  sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Penetapan ini dikukuhkan dalam Kongres Rakyat Indonesia yang digelar Gabungan Politik Indonesia (Gapi) pada Desember 1939. Selain itu, Kongres juga menetapkan bendera Merah Putih sebagai bendera nasional dan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Pada masa pendudukan Jepang, lagu Indonesia Raya  sempat bebas berkumandang. Namun tak berapa lama, setelah Maret 1942, lagu ini dilarang keras diperdengarkan dan dinyayikan. Radio Tokyo yang sebelumnya pada awal dan akhir siaran selalu memperdengarkan lagu Indonesia Raya  juga menghentikannya. Pada 1944, tokoh-tokoh Indonesia diizinkan membentuk Panitia Lagu Kebangsaan. Mereka melakukan beberapa perubahan musikal serta susunan kata-kata syair lagu tanpa mengubah struktur, komposisi, dan tema. Pasca kemerdekaan, tepatnya pada akhir tahun 1950, Jusuf Ronodipuro, kepala RRI studio Jakarta, meminta Jos Cleber, perantau asal Belanda, seorang pemain violin, trombon dan arranger  musik yang piawai, menggubah partitur lagu Indonesia Raya  untuk orkes filharmoni. Saat itu lagu Indonesia Raya yang dipakai masih merupakan hasil garapan Nobuo Ida, direktur Jakarta Hoso Kyoku pada zaman Jepang. Tahun 1951, Cleber merampungkan aransemen baru Indonesia Raya  dengan perekaman yang dibantu 140 pemusik gabungan dari ketiga orkes RRI serta menggunakan mikrofon Westrex dan tape recorder Philips. Menurut Bondan, hasil aransemen Cleber diperdengarkan kepada Presiden Sukarno. Di sini muncul perdebatan antara Sukarno dan Cleber. Cleber pun merevisi aransemennya. Revisi kedua kembali dibawa ke hadapan Sukarno. “Harus ada bagian yang lieflijk , yaitu bagian sebelum refrain . Refrain -nya sendiri harus meledak dan menciptakan klimaks,” kata Sukarno. Cleber merevisinya sekali lagi dan kali ini, dia bisa menebak tepat keinginan Sukarno. Revisi ketiga ini disukai Sukarno tanpa perubahan lagi. Versi inilah yang kemudian dipakai hingga hari ini.*

  • Sengkarut Sengketa Stadion Andi Mattalatta

    HOMEBASE untuk klub-klub besar Indonesia sudah sewajarnya punya penampakan megah dan berstandar internasional sebagai wajah sepakbola yang dibanggakan. Persija punya Stadion Utama Gelora Bung Karno atau Stadion Patriot di Bekasi. Persib punya Gelora Bandung Lautan Api atau Stadion Si Jalak Harupat. Sriwijaya FC punya Jakabaring. Persebaya punya Gelora Bung Tomo. Kendati statusnya masih sewa alias bukan milik klub, stadion-stadion megah itu rencananya akan dijadikan bagian dari 10 venue untuk Piala Dunia U-20 tahun 2021. Sayang tak semua klub besar memiliki stadion megah. PSM Makassar contohnya. Stadion Andi Mattalatta yang menjadi homebase -nya sejak lama, kondisinya bikin gerah hati. Sisi muka tribun utama bagian dalam Stadion Andi Mattalatta-Mattoanging (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Selain rumput di lingkar luar lapangannya gersang, stadion yang dibangun 1957 itu kondisi bangunannya kusam, tribunnya pun memprihatinkan. Seat di tribun VIP-nya diselimuti debu. Persoalan yang jauh lebih penting, kini stadion yang dulu bernama Mattoanging itu sedang jadi rebutan. Sebagaimana diuraikan di artikel sebelumnya, Stadion Mattoanging dibangun Letkol Andi Mattalatta, panglima Penguasa Perang Daerah (Peperda) Sulawesi Selatan. Pada 1950-an, lokasinya masih dikuasai banyak gerombolan, mulai dari eks-KNIL (Tentara Hindia Belanda) Andi Azis, gerombolan eks-laskar DI/TII Kahar Muzakkar, hingga Permesta. “Dulu di sini sudah ada lapangan. Itu yang sekarang jadi kantor TVRI Sulsel (di sisi timur stadion). Rintisan pertamanya yang mengelola itu Yayasan Stadion Makassar. Tapi kemudian dia kesulitan dana. Lalu banyak juga lahannya diserobot bekas pejuang. Lalu datanglah Andi Mattalatta yang kemudian mengondusifkan situasi di Makassar pada 1957,” tutur Ketua Yayasan Olahraga Sulawesi Selatan (YOSS) Andi Karim Beso Manggabarani kepada Historia. Mattalatta membangunnya dengan kocek pribadi sebagai realisasi sistem uitholling, sistem untuk menarik kembali para pemuda yang sebelumnya tergoda ikut gerombolan pengacau. Ia ingin para pemuda itu menyalurkan energinya di bidang olahraga ketimbang jadi pengacau. Puncaknya, Mattalatta mendatangkan Pekan Olahraga Nasional (PON) IV ke sana, 27 September-6 Oktober 1957. Prasasti berdirinya Stadion Mattoanging yang pada 2006 diubah namanya menjadi Stadion Andi Mattalatta (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Namun, Andi Mattalatta tak menasbihkan diri sebagai pemiliknya. Ketika pada 1959 dia melanjutkan pendidikan ke Seskoad, pengelolaan stadion pun diserahkan pada pihak lain. Dalam catatan Andi Mattalatta bertajuk “Asal-Usul Tanah Complex Sarana Olahraga Mattoanging dan Terbentuknya YOSS” tertanggal 10 Juli 2004, tanggungjawab stadion sebelum Andi Mattalatta masuk Seskoad diserahkan ke Ketua Harian Komite Olahraga Indonesia (KOI) Sulawesi Andi Pangerang Pettarani. “Lalu pada 1960-an diserahkan ke provinsi. Ternyata pak Achmad Lamo (Gubernur Sulsel 1966-1978) enggak ada jiwa olahraganya. Dia kasih urus DORI (Dewan Olahraga RI, kini KONI) Sulsel. Stadion terbengkala karena DORI tak punya dana. Jadi istilahnya Pak Andi Mattalatta hanya titip. Setelah pulang sekolah (Seskoad) saya ambil alih,” lanjut Andi Karim. Maka setelah pulang ke Makassar pada 1971, Mattalatta terkejut. Selain stadion dan beberapa venue yang ia bangun untuk PON 1957 tak terurus KONI, dia juga mendapati venue kolam renang dialihfungsikan menjadi bioskop. “ Sintel-baan (trek lari/atletik) stadion telah dibongkar, diganti dengan sintebaan batu-bata. Saluran air lapangan pecah-pecah akibat sering dibuat apel persenjataan dan panser-panser berat. Ruangan penampungan atlet dijadikan tempat tinggal pegawai KONI dan keluarganya,” tulis Mattalatta. Mayjen (Purn) Andi Mattalatta yang membangun Stadion Mattoanging sejak 1957 (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Pengelolaan stadion pun diambil kembali oleh Mattalatta dari gubernur. Setelah Mattalatta jadi ketua KONI Sulsel, ia mencanangkan pendirian yayasan pengelola kompleks olahraga Mattoanging. Meski sudah direncanakan pada 1979, baru pada 1982 YOSS berdiri lewat Akta Notaris Nomor 146, tertanggal Ujung Padang, 22 Januari 1982. Serah-terimanya dari KONI Sulsel ke YOSS lewat Keputusan Rapat Paripurna KONI Sulsel XIV Nomor 02 tahun 1984. “Karena sebelumnya KONI juga anggarannya terbatas. Kalau dibentuk yayasan, bisa bergerak mencari kerjasama. Sejak itu kita juga mendanai semua pemeliharaan, tidak memakai dana APBD. Kalau dibilang ini (stadion) jelek, kenapa pemda tidak mau kasih dana?” sambung Andi Karim. Pengesahannya diperkuat Berita Acara Serahterima Nomor 055 tahun 1985 yang juga ditandatangani Gubernur Sulsel Achmad Amiruddin. Sejak itu, YOSS pengelola Stadion Mattoanging yang sah. “Pak Andi Mattalatta juga sudah terbitkan ini gedung olahraga dan stadion, surat ukur tanah tahun 1986,” imbuhnya. Awal-mula jadi Rebutan Lokasi stadion yang terletak di kawasan ramai itu menarik banyak pihak untuk menguasainya. Pada 1992, seorang konglomerat via PT. Asindo Griyatama berupaya memilikinya guna dijadikan kawasan bisnis. Mengutip Pedoman Rakyat , 30 Juli 1993, perusahaan itu ingin membeli lahan stadion senilai Rp17 miliar dan untuk gantinya, mereka akan menyediakan stadion anyar di Sudiang. Hal itu terjadi lantaran pada 1992 terjadi ketegangan antara YOSS dan Pemprov Sulsel. Pemprov mengklaim kawasan stadion adalah asetnya dan hendak menjualnya ke pihak swasta tersebut. Landasan hukumnya, konon pemprov membuatkan sertifkat palsu. Rencana tukar-guling itu bahkan disebutkan sudah lewat persetujuan DPRD Sulsel. Namun pada akhirnya rencana itu batal. “Andi Mattalatta melapor lewat surat pribadinya ke Presiden RI (Soeharto), Ketua BPK M. Jusuf, dan Mendagri Rudini. Surat beliau itulah barangkali yang membuat upaya transaksi itu tak berkelanjutan,” terang anggota Dewan Pembina YOSS M. Arief Wangsa dalam catatannya bertanggal 24 November 2004 bertajuk “YOSS Pasca Andi Mattalatta, Gelora Perjuangan dan Gelora Andi Mattalatta. Masalahnya, banyak pihak merasa kondisi stadion tak dipelihara YOSS sebagaimana mestinya. Kondisi stadion yang memprihatinkan jadi buktinya. Puncaknya, PSM Makassar tak lolos verifikasi untuk mendapatkan lisensi guna berlaga di AFC Cup 2017 akibat stadion tak memenuhi standar AFF dan AFC. “AFC Licensing itu memberi gambaran yang sangat jelas seperti apa tatanan pengelolaan sepakbola. Padahal saat itu kami mendapat tiket AFC karena finis nomor tiga (klasemen liga),” ujar CEO PSM Munafri Arifuddin kepada Historia. Pengusaha yang akrab disapa Appi itu menyatakan klub sudah berulangkali melakukan pendekatan pada YOSS, sejak klub masih dipegang Nurdin Halid. “Dari berapa tahun lalu sudah dibicarakan. Tapi ini tidak bisa karena secara internal antara YOSS dengan Pemprov belum selesai persoalannya. Selama ini kami mendandani sendiri (stadion). Itulah yang terjadi. Kalau kita tak berbuat, jangankan berpikir standar internasional, standar Liga 1 saja mungkin tidak bisa kita laksanakan di sini,” lanjutnya. CEO PSM Makassar Munafri Arifuddin (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Sekjen Macz Man (basis suporter terbesar PSM) Mustafa Amri menyatakan, dia bersama manajemen klub mencoba menawarkan klub mengambil alih pengelolaan agar stadion bisa direnovasi menjadi stadion yang bisa dibanggakan. “Saya ke anaknya Pak (Sadikin) Aksa, dia (Erwin Aksa) bilang sama saya: ‘Sampaikan ke YOSS, berapa dalam setahun yang bersumber dari stadion. Kalau misal dalam setahun Rp1 miliar, saya bisa berikan dia Rp2 miliar untuk saya kelola.’ Saya temui (pembina YOSS) Ilham Mattalatta. Saya sampaikan begitu, dia tidak mau,” kata Mustafa menimpali. Alhasil, Mustafa dan kawan-kawan harus menanggung malu. “Teman-teman suporter lain sampai heran, kenapa tim sekaliber PSM punya stadion kayak gini. Anak-anak Aremania kalau bertandang ke sini bilang, ‘Ini sawah apa stadion?’ Kawan-kawan lain juga bilang ini stadion atau kandang kambing. Mau bagaimana lagi? YOSS sebagai pengelola tidak pernah ada kontribusinya sampai sekarang,” ujarnya. Sengketa Memanas September 2019, sengketa YOSS dengan Pemprov memanas lagi. Pemprov berniat mengusir paksa YOSS dari stadion itu. Sejak Oktober, di depan stadion terpasang papan pengumuman bertuliskan: Tanah Milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Berdasarkan Sertifikat Hak Pakai Nomor 40 Tanggal 1 Oktober 1987. YOSS lantas melayangkan gugatan yang prosesnya sudah sampai Kejati Sulsel. YOSS mensinyalir ada permainan Pemprov dengan mengalihkanStadion Andi Mattalatta menjadi asetnya. Dengan begitu, pemprov bisa menutupi kasus mangkraknya Stadion Barombongyang sudah menghabiskan dana besar dengan dalih dananya untuk revitalisasi Stadion Andi Mattalatta. “Sebenarnya waktu Dirjen Kemendagri tahun 2017 menjabat Plt. gubernur, ditemukan aset pemda kurang lebih 300 mobil dinas tak jelas. Makanya dia minta KPK buka cabang supervisi di Sulsel dan sertifikat aspal dimasukkan sebagai aset (Stadion Andi Mattalatta). Terus ada pihak ketiga yang memanfaatkan situasi ini untuk mengontrak kompleks stadion selama 25 tahun. Ini sebenarnya pengalihan isu pemda yang gagal membangun stadion (Barombong) dua periode sudah habis Rp300 miliar dan belum dipakai sudah roboh,” ujar Andi Karim lagi. Soal klaim Pemprov dengan sertifikat hak pakai tahun 1987 di atas, Andi Karim heran lantaran stadion sudah dibangun Andi Mattalatta sejak jauh sebelum itu dan YOSS sebagai pengelola pun sudah berdiri pada 1982, legalitas lahan pun sudah ada lewat surat ukur tanah tahun 1986. “Kan lucu. Ini barang (stadion) sudah dibangun 1957. Sekarang bicara PSM ingin punya stadion bagus, kenapa dia tidak pakai itu Barombong supaya bisa dilihat buktinya. Nah dia mainkan pers, membalikkan fakta. Apalagi yang kurang di sana? Hampir setahun belum dibentuk pengelolanya. Rumput sudah dibiayai Rp200 juta hancur karena tidak ada pengelola. Jadi dia mau cari yang praktis di tengah kota dan dia tak mau keluar uang, makanya dia manfaatkan pemda.” Ketua YOSS Andi Karim Beso berupaya pertahankan hak pengelolaan Stadion Andi Mattalatta yang disebutkan akan direbut Pemprov Sulses (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Klaim pemda yang disebutkan Andi Karim itu perkaranya bermula dari surat Sekda Sulsel yang berbunyi kawasan stadion dialihfungsikan YOSS yang tidak ada hubungannya dengan olahraga. Andi Karim pun membantah. “Saya tanya, kalau ini aset pemerintah, perlihatkan saya satu lembar bukti saja, ada uang pemda bangun ini aset? Satu rupiah saja. Soal alih fungsi, apa ada buktinya? Justru KONI (Sulsel) dulu tahun 1970 dipihakketigakan jadi bioskop. Lalu sekarang (klaim) gubernur apa hubungannya sama kita? Kan mestinya ada surat dulu dari KONI panggil kita mau ambil ini barang. Baru ke Pemda, lalu ke YOSS. Ini dari prosedurnya saja sudah salah,” cetus salah satu menantu almarhum Andi Mattalatta itu. Soal status sertifikat “hak pakai” yang diklaim Pemprov, Andi Karim kembali membantah. “Ternyata bukan sertifikat hak milik. Hak pakai 25 tahun. Logikanya kalau pemda yang punya ini lahan, kenapa dia terbitkan hak pakai? Ini berarti niatnya sudah lain. Ini pengalihan karena gagal pemerintah yang lalu bangun Barombong,” tandas Andi Karim.

  • Jabatan untuk yang Berjasa

    Pada masa Jawa kuno, penguasa membagi-bagikan jatah kekuasaan adalah hal lumrah. Inilah cara mengganjar mereka yang berjasa mengantarkan dan mempertahankan singgasana kekuasaan. Ninie Sunsati, arkeolog Universitas Indonesia dalam Airlangga Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI menjelaskan, raja berada di puncak hierarki pelapisan sosial. Sebagai balas jasa, seorang raja berhak memberikan hak khusus atau istimewa kepada seseorang atau sekelompok orang. Data prasasti membuktikan daftar hak istimewa sudah ada sejak masa Mpu Sindok, penerus takhta Medang di wilayah Jawa Timur. Catatannya bahkan semakin panjang pada masa Kadiri dan Majapahit.   Lumrahnya anugerah raja berupa hak-hak istimewa, seperti kepemilikan jenis budak tertentu, mendapat status sima, memiliki dayang, dan pengikut seperti raja. Pada perkembangan selanjutnya, hak istimewa dapat berupa gelar kehormatan, hak memakai atribut tertentu, dan hak untuk memiliki model bangunan tertentu. “Kebiasaan menganug e rahi hak-hak istimewa ini dianut dan menjadi kebiasaan yang dilakukan oleh raja-raja Janggala, Kadiri, dan berlanjut hingga zaman Majapahit,” jelas Ninie. Hal itu nampak paling tidak sejak masa Airlangga, raja di Kahuripan. Tercatat dalam Prasasti Terep (1032), sang raja memberi anugerah kepada Rakai Pangkaja Dyah Tumambong, seorang bangsawan daerah yang berjasa membantu raja dalam peperangan melawan musuh. Dia terus berdoa kepada Bhatari memohon kemenangan bagi Airlangga. Raja pun memberinya hadiah gelar halu, gelar tertinggi dalam struktur pemerintahan di bawah putra mahkota. Dengan gelar itu, ia dianggap sebagai adik raja. Gelar Rakai Halu biasanya dijabat oleh putra kedua raja atau garis keturunan kedua yang berhak menerima takhta. “Ia mendapat segala hak sebagai adik raja. Namanya menjadi Rakai Halu Dyah Tumambong Mapanji Tumanggala,” jelas Ninie. Seorang lagi yang mendapat hak istimewa adalah Narottama, pengikut setia Airlangga sejak sebelum naik takhta. Ceritanya, saat usia 16 tahun, Airlangga dikirim dari Bali ke Jawa untuk menikah dengan putri Dharmmawangsa Tguh, penguasa Medang keempat setelah Mpu Sindok. Namun, sebagaimana berita dalam Prasasti Pucangan (1041), tak lama setelah pesta perkawinan, ibukota kerajaan diserbu raja bawahan bernama Wurawari. Istana pun hancur. Sang putri bersama Dharmawangsa Tguh gugur dalam peperangan itu. Airlangga berhasil melarikan diri dengan ditemani abdi setianya, Narottama. Dua tahun sejak kematian Dharmawangsa Tguh, yaitu pada 1019, berdasarkan prasasti yang sama Airlangga pun naik takhta. Sejak 1030, Narottama disebut dalam Prasasti Baru sebagai pejabat tinggi kerajaan yang melaksanakan perintah raja. Gelarnya Rakai Kanuruhan. Dua tahun kemudian , dalam Prasasti Terep, Narottama naik pangkat menjadi penerima perintah raja yang menggantikan kedudukan putra mahkota. Tiga tahun kemudian, dalam Prasasti Turunhyang A, Narottama kembali menerima kedudukan sebagai pejabat pelaksana perintah raja. Dari gelarnya, Rakai Kanuruhan, bisa diketahui kalau ia adalah penguasa wilayah Kanuruhan. “Tentu saja raja telah menghadiahkan watak Kanuruhan kepada Narottama,” kata Ninie. Balas budi juga dilakukan oleh Ken Angrok setelah ia berhasil duduk di takhta Tumapel (Singhasari). Pararaton berkisah, Ken Angrok membantu semua orang yang pernah menolongnyadulu ketika masih dirundung malang. Yang terpenting adalah Bango Samparan, ayah angkat yang mengurusnya. Lalu ada pendeta di Turyantapada, Mpu Palot yang membagi Ken Angrok keahlian pengrajin emas. Bahkan Ken Angrok membantu anak-anak Mpu Gandring, pandai besi di Lulumbang yang dia bunuh. “Seratus orang pandai besi di Lulumbang supaya dibebaskan dari saarik purih, satampaking waluku, dan wadung pacul, ” catat Pararaton. Suwardono, mantan pengajar sejarah di IKIP Budi Utomo Malang, dalam Sejarah Indonesia Masa Hindu-Buddha menafsirkan istilah -istilah itu sebagai pembebasan pajak. Mereka diberi hak istimewa dengan mendapat daerah perdikan ( sima ). Ada pula Kebo Hijo yang mati setelah difitnah membunuh Tunggul Ametung oleh Ken Angrok. Anak-anaknya disamakan haknya dengan anak-anak Mpu Gandring.“Ketika Ken Angrok menjadi raja, banyak orang yang pernah menolongnya dibalas jasanya oleh Ken Angrok. Mereka diberi kedudukan di dalam pemerintahannya,” tulis Suwardono. Imbal jasa yang paling nampak mungkin yang dilakukan oleh Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit. Para pengikut Sang Kertarajasa yang setia dan andil dalam mendirikan kerajaan diberikan kesempatan untuk menikmati hasil perjuangannya. Mereka diangkat menjadi pejabat tinggi dalam kerajaan. Sebagian nama pengikut Kertarajasa itu dijumpai dalam beberapa prasasti. Prasasti Kudadu (1294 M) menyebut Arya Wiraraja sebagai  mantri mahawiradikara . Wiraraja menerima Wijaya dengan baik di Madura ketika ia melarikan diri dari istana Singhasari yang diserang pasukan Jayakatwang dari Glang Glang. Bupati Wiraraja pula, bersama masyarakat Madura, yang membantu Wijaya membuka hutan dan membangun permukiman di wilayah Trik. Desa itu kemudian berkembang menjadi Kerajaan Majapahit. Prasasti Sukamrta (1296 M) menyebut Mpu Tambi (Nambi) sebagai  rakryan mapatih  dan Mpu Sora sebagai  rakryan apatih  di Daha. Dalam hierarki Majapahit, Nambi memperoleh kedudukan yang tinggi sedangkan Sora mendapat tempat kedua. Teks Panji Wijayakrama menunjukkan betapa hubungan Mpu Sora atau Lembu Sora dan Wijaya tak terpisahkan. Terutama sejak pertempuran mereka melawan serbuan pasukan Jayakatwang ke Singhasari. Dalam berbagai kesempatan, Lembu Sora selalu memberikan nasihat bijak kepada Wijaya. Serangan balik malam hari terhadap tentara Glang Glang yang menduduki Singhasari juga atas saran Lembu Sora. Dalam serangan itu, Wijaya menewaskan banyak musuh dan menemukan kembali putri Kertanagara, Tribuwana. Lembu Sora juga yang menahan Wijaya ketika berkeras ingin membebaskan Gayatri, putri Kertanagara lainnya yang masih tertinggal dalam pura. Dia menasihati agar Wijaya dan Tribuwana menyelamatkan diri. Jumlah tentara musuh jauh lebih besar daripada sisa tentara Singhasari. Pun ketika mereka memutuskan mengungsi ke Madura Timur untuk minta bantuan Wiraraja. Menurut Slamet Muljana dalam Menuju Puncak Kemegahan, Lembu Sora selalu menunjukkan keperwiraan dan kebijaksanaan,baik dalam persiapan mendirikan Majapahit maupun dalam melawan Jayakatwang dan pasukan Mongol. “Berdasarkan hal-hal itu, sudah selayaknya Sora menjadi kekasih Raja Kertarajasa dan menduduki tempat terhormat dalam pemerintahan,” tulis Slamet Muljana. Sementara Nambi, baik Pararaton maupun Kidung Panji Wijayakrama mengisahkannya sebagai pengikut setia Wijaya yang ikut mengungsi ke Madura. Pararaton mencatat, ia dan Wijaya telah bersahabat sejak keduanya masih tinggal di Singhasari. Dalam berbagai medan perjuangan, Nambi diceritakan sebagai tokoh yang intelek dan memiliki kecerdikan administrasi. Sumber lain,  Kidung Ranggalawe,  menyebut Wenang atau Lawe, putra Wiraraja, sebagai  amanca nagara  di Tuban dan  adhipati  di Datara. Ia diangkat karena ikut membantu Wijaya membangun Majapahit. Ia gagah berani. Sebagai orang Madura, ia digambarkan jago siasat perang, lincah di pertempuran, dan piawai menggunakan senjata. Siasatnya terlihat pula sewaktu mengusir tentara Tartar (Mongol). Adapun tokoh yang pernah memimpin pasukan Singhasari ke Malayu dijadikan panglima perang. Ia mendapat nama Kebo Anabrang. Belakangan, para pengikut setia Wijaya itu,satu per satu memberontak kepada Majapahit. Alasannya macam-macam. Yang pertama memberontak adalah Ranggalawe. Ia tak terima hanya dianggap sebagai adipati Tuban. Dia merasa dirinya atau Lembu Sora lebih pantas menjadi patih amangkubhumi dibanding Nambi yang dipilih Wijaya. “Andaikata saya dan Sora tidak berani bertaruh jiwa saat menghadapi tentara Tartar, Majapahit pasti sudah hancur lebur,” kata Ranggalawe dalam Kidung Ranggalawe yang anonim. Kemudian Lembu Sora memberontak karena  di fitnah Mahapati, menteri di pemerintahan Wilwatikta (Majapahit) . Namanya disebut dalam Kidung Sorandaka dan Serat Pararaton. Setelah Lembu Sora, Mahapati memfitnah Nambi. Pemberontakannya terjadi ketika Majapahit di bawah Raja Jayanagara, putra Wijaya. Dia mencurigai para pengikut ayahnya tak setia. Ditambah lagi fitnah Mahapati, maka pecahlah pemberontakan. Dari apa yang terjadi pada masa Wijaya terlihat bahwa ganjaran kursi jabatan bagi pendukung setia tak cukup membuat mereka tetap ajeg di samping penguasa. Pemberontakan bisa saja terjadi.

  • Cerita dari Stadion Andi Mattalatta

    SAMPAH berserakan di berbagai sudut pelataran Stadion Andi Mattalatta jelang laga Liga 1 antara PSM Makassar melawan Arema FC, Rabu, 16 Oktober 2019. Terlepas dari kultur pecinta bola tanah air yang masih jauh dari peduli kebersihan dan kerapian, Stadion yang kerap disebut Mattoanging itu memang kondisinya tidak terawat. Gerbang masuk utamanya kusam dan banyak dipenuhi lumut. Beberapa huruf di plang nama “Stadion Andi Mattalatta” sudah gompal dan nyaris terlepas. Sebelum masuk ke dalam stadion, penonton akan disambut coretan vandalisme di beberapa bidang tembok stadion. Sejak beberapa waktu belakangan ini, sebuah papan baru berdiri di halaman stadion. Tulisan di papan itu berbunyi: Tanah Milik Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan Berdasarkan Sertifikat Hak Pakai Nomor 40 Tanggal 1 Oktober 1987. Rupanya, stadion ini tengah dibelit sengketa antara Pemprov Sulsel dengan YOSS sebagai pengelola. Begitulah kisah terbaru stadion yang selama puluhan tahun menjadi kandang PSM Makassar itu. Sebagai klub yang diakui tertua di Indonesia, PSM memang tak hanya masih eksis namun juga acap jadi unggulan juara di antara sedikit tim tradisional lain. Ia sejak lama mewakili wajah sepakbola Indonesia bagian timur. Ironisnya, PSM tak punya stadion berstandar internasional. Di bagian dalam stadion, sebelas-dua belas dengan bagian luarnya. Kursi VIP yang diduduki Historia tebal oleh debu. Pun bagian-bagian lain yang tak mungkin disebutkan satu per satu. Kolase kondisi seat VIP di Stadion Andi Mattalatta di laga PSM vs Arema (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Namun, ada hal menarik di dekat pintu utama. Manajemen menyiapkan ruang salat untuk para penonton. Seruan ‘Aaamiiin’ selepas imam membacakan Surah al-Fatihah di waktu Salat Maghrib terdengar kencang dari para jamaah sebelum laga dimulai sekitar pukul 19.30 Wita. Selain kemenangan telak 6-2 PSM atas Arema, mungkin hanya rumput lapangan dan empat menara lampu di tiap sudutnya yang bisa menyenangkan mata di Mattoanging malam itu. “Lapangan dan lampu itu manajemen klublah yang memasangnya, bukan pihak pengelola, Yayasan Olahraga Sulawesi Selatan (YOSS),” kata Sulaeman, mediaofficer PSM, kepada Historia . “Kalau di tempat lain, fasilitas sudah lengkap baru penyewa (klub) masuk. PSM tidak. Dia (klub) yang renovasi stadion, dia yang biayai stadion, baru setelah itu dia sewa (dari YOSS). Kan aneh,” kata Mustafa Amri, sekjen Macz Man (basis suporter terbesar PSM). Lahan Bekas Peternakan Stadion Andi Mattalatta di kompleks olahraga Mattoanging berdiri di atas lahan seluas tujuh hektar. Pada masa kolonial, lahan itu merupakan lahan peternakan sapi Boerderij & Melkerijk (Peternakan dan Pemerahan Susu) Frisian. Lahan 20 hektare milik pemerintah Hindia Belanda itu disewa orang Jerman berkewarganegaraan Belanda, Zwanziger, pemilik peternakan tadi. Tampak dalam Stadion Andi Mattalatta, di mana mulanya merupakan peternakan sapi milik Belanda (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Semasa pendudukan Jepang hingga era revolusi, lahan peternakan itu berturut-turut jadi tangsi Belanda, Jepang, hingga pejuang. Demikian menurut catatan Andi Mattalatta tertanggal 10 Juli 2004 dalam jurnal Asal-Usul Tanah Complex Sarana Olahraga Mattoanging dan Terbentuknya YOSS yang diarsipkan YOSS. Pada 1952, lahan itu sempat dikuasai kelompok Andi Azis yang memberontak kepada republik. Butuh waktu lima tahun bagi Letkol Andi Mattalatta, saat itu menjabat sebagai pangdam/ketua Penguasa Perang Daerah (Peperda) Sulawesi Selatan dan Tenggara, untuk membebaskan lahan itu. Mattalatta lalu memanfaatkan lahan itu untuk kawasan olahraga, demi melancarkan sistem uitholling. Sistem uitholling adalah sistem untuk menarik kembali para pemuda yang sebelumnya tergiur seragam hijau dan ikut gerombolan pemberontak, untuk kemudian menyalurkan darah muda mereka ke beragam kegiatan olahraga. Ruang salat sederhana di Stadion Andi Mattalatta (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Saat hendak merelokasi mereka, Mattalatta ditemani Walikota Mas Yunus Daeng Mile. “ Hei, lanubono’a ? (Hei, kamu mau bunuh saya?),” kata Mattalatta pada seorang eks tentara yang menguasai lahan dan mengacungkan senjata tajam (sajam) di depan gerombolannya. “Kenapa bapak begitu? Sedangkan bapak suruh kami pergi untuk kemungkinan mati menghadapi Belanda, saya tidak ragu, apalagi kalau mau disuruh saja pergi dari sini,” jawab si serdadu pembawa sajam. Mendengar jawaban itu, Mattalatta memaparkan bahwa kedatangannya bukan untuk mengusir, melainkan untuk merelokasi. Andi Mattalatta memberi kompensasi untuk mereka mencari tempat tinggal baru. Langkah persuasifnya itu pun berhasil. Pembangunan stadion pun dimulai pada April 1957. Menurut Ketua umum YOSS Andi Karim Beso Manggabarani, stadion itu dibangun menggunakan uang pribadi Andi Mattalatta tanpa sepeser pun bantuan dari pemerintah daerah. “Sejak 1952 di sini sudah ada lapangan dan kompleks olahraga. Yang mengelola itu Yayasan Stadion Makassar. Tapi kemudian sempat jadi barak-baraknya pasukan Andi Azis sampai Permesta. Lalu datanglah pasukan dari Jawa untuk menguasai Makassar, termasuk Pak Andi Mattalatta yang ikut dari Jawa kembali ke Sulawesi,” ujar Karim kepada Historia . Ketua YOSS Andi Karim Beso Manggabarani (kiri) & Andi Mattalatta, pendiri Stadion Andi Mattalatta-Mattoanging (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Setelah stadion jadi, PSM pun berkandang di sana. “Sebelum stadion dibangun, PSM mainnya di lapangan dekat sini juga. Itu yang sekarang jadi kantor TVRI Makassar (kini TVRI Sulsel),” ujar Karim sambil menunjuk sisi timur stadion. Lapangan itu, sambung Karim, ditukar-guling pada 1970-an oleh Intje Saleh Daeng Tompo, walikota harian Makassar cum ketua PSM kala itu. “Dia merasa perlu ada TVRI (di Sulsel) dan TVRI mau lokasinya di situ. Ditukar-guling. Jadi yang ditukar-guling berdasarkan dokumennya Pemda, ya lapangan yang jadi TVRI itu,” sambungnya. Proyek Gila Andi Mattalatta Sehubungan dengan uitholling, Mattalatta punya alasan yang lebih fenomenal terkait pembangun stadion Mattoanging. Mattalatta ingin menjadikan kawasan itu jadi tuan rumah Pekan Olahraga Nasional (PON) IV 1957 sebagai puncak pelaksanaan uitholling. Untuk itulah dia terbang ke Jakarta guna menemui ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI) Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Kepada Sultan, Mattalatta meminta restu agar tuan rumah PON 1957, yang sudah ditentukan KOI bertempat di Jakarta, dipindah ke Makassar. Interior lorong utama Stadion Andi Mattalatta (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) “Banyak di antara pengurus KOI menganggap permohonan saya menyelenggarakan PON di daerah yang masih berstatus dalam keadaan darurat perang, suatu rencana yang gila. Tetapi Bapak Sri Sultan HB IX sangat percaya kepada saya, sebagaimana beliau ketahui prestasi saya pada Perang Kemerdekaan,” kata Mattalatta mengenang. Berbekal restu Ketua KOI, Mattalatta lalu merogoh koceknya Rp250 juta untuk membangunkan stadion. Ia juga mengerahkan sekira 300 prajuritnya untuk membantu pekerjaan pembangunannya agar stadion rampung September tahun itu juga. Enam bulan sejak peletakan batu pertama, stadion itu pun selesai. Lantas, dinamai Stadion Mattoanging, diambil dari dua kata bahasa Makassar: Mattoa dan Anging. Artinya, menengok angin, lantaran lokasi lahan berada dekat pantai yang biasa dijadikan tempat pengamatan cuaca kapal-kapal yang hendak melaut atau berlabuh. Sementara, untuk venue-venue cabang olahraga lain, Mattalatta meminjam dana pembangunannya dari Presiden Soekarno via Kementerian P & K. Dana sejumlah 33 juta rupiah itu kemudian dilunasinya Desember 1957 usai penyelenggaraan PON. Stadion Andi Mattalatta saat jadi tuan rumah PSM menjamu Arema (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Hingga kini, bentuk stadion tiada yang berubah. Meski sudah mengalami beberapakali renovasi, diakui YOSS yang sejak 1982 memegang pengelolaannya serta mengganti nama stadion menjadi Stadion Andi Mattalatta, kondisinya tetap sama. “Makanya, untuk di tingkat AFC stadion kita tidak memungkinkan untuk main di kandang. Akhirnya harus main di luar (Makassar). Kami tentu punya cita-cita besar punya sebuah stadion berstandar internasional. Kami ingin atmosfer sepakbola Makassar diketahui dunia. Selama ini kami sebagai penyewa mendandani sendiri. Karena kalau tidak berbuat, standar Liga 1 saja mungkin tidak bisa kita laksanakan,” ujar CEO PSM Makassar Munafri Arifuddin.

  • Dari Pengungsian ke Pengungsian

    MENYUSUL bumi hangus yang dilakukan Tentara Republik Indonesia (TRI) terhadap kota Bandung, gelombang pengungsi pun berbondong-bondong keluar dari kota berhawa sejuk itu sejak 24 Maret 1946. Emma Poeradiredja, pegawai Djawatan Kereta Api yang menjadi anggota Palang Merah Indonesia (PMI) setelah Perang Kemerdekaan pecah, di dalam gelombang pengungsian itu. Begitulah keadaan masyarakat kota Bandung semenjak Perang Kemerdekaan. Kedatangan Inggris/Sekutu sebagai pemenang perang mengakibatkan Bandung secara politis terbagi dua. Bandung utara dikuasai pasukan Inggris dan Belanda. Bandung selatan dikuasai pemuda dan penduduk pro-republik yang mengungsi dari utara ke selatan. Meski ada pembagian itu, kaum republiken tak menggubrisnya. Serangan gerilya ke Bandung utara dan penghadangan terus mereka lacarkan. Pertempuran paling banyak terjadi di front Viaduct, di mana pasukan pejuang dan TRI berjaga di selatan rel dan pasukan Gurkha berjaga di sisi sebaliknya. Tak jauh dari sana, di Jalan Veteran (Bungsu) berdiri markas PMI. Di sanalah Emma, dr. Djundjunan Setiakusumah, dan anggota-anggota PMI lain bertugas. Selain mengurusi pejuang yang terluka, Emma juga ikut mengatur suplai makanan dan menjadikan rumahnya sebagai markas pemuda pejuang. Ketika Bandung menjadi lautan api, Emma ikut mengungsi. Dalam Saya Pilih Mengungsi karya Ratnayu Sitaresmi dan kawan-kawan, disebutkan mereka diperintahkan untuk mengungsi sejauh 11 km ke selatan Bandung. Emma memilih mengungsi di Ciamis. Di Ciamis, Emma tinggal bersama orang tua dan dua anaknya yang sudah lebih dulu diungsikan, Saraswati dan Amarawati Poeradiredja. Tak lama di Ciamis, Emma bergerak ke Cisurupan, Garut, membawa dua anaknya. Stasiun Cisurupan oleh Kepala Djawatan Kereta Api Republik Indonesia Ir. Djuanda Kartawidjaja dijadikan kantor untuk sementara menyusul didudukinya Bandung. Pegawai-pagawai kereta api di Bandung yang non-kooperatif dengan Belanda, berbondong-bondong mengungsi ke Cisurupan. Mereka mengadakan rapat konsolidasi dan menginventarisasi aset-aset perkeretaapian yang belum terdata. Emma Poeradiredja (kedua dari kiri) bersama Soekarno di sebuah stasiun kereta api. (Koleksi pribadi Amarawati Poeradiredja). “Bu Emma tidak mau bekerja untuk perusahaan kereta Belanda (Staatsspoorwegen) maunya ke  (jawatan, red. ) kereta api yang dikuasai Indonesia. Di sana ada rekan Bu Emma, seperti Effendi Saleh, Toha Sumanagara, dan Pupela,” kata Amarawati kepada Historia . Amarawati ingat, saat berada di Cisurupan ia tinggal di bedeng-bedeng sekitar stasiun. Ketika Belanda melancarkan serangan, para pegawai kereta api pindah ke Yogyakarta. Amarawati yang kala itu masih berusia 6 tahun, tidak diajak karena terlalu berbahaya. Ia diungsikan ke Ciamis, sementara Emma dan Saraswati yang kala itu berusia sekira 10 tahun, ikut rombongan pegawai kereta api. Dari Cisurupan, Emma singgah di Gombong pada Juni 1947. Pada Agustus 1947, Emma dan Saraswati tiba di Yogyakarta. Di kota gudeg, mereka menginap di rumah Ir. Djuanda yang istrinya, Julia Wargadibrata, masih berkerabat dengan Emma. Mereka kemudian tinggal di tempat Sentot Iskandardinata. Dari situ Emma kemudian pindah ke rumah Mochtar Kusumaatmadja. Amarawati Poeradiredja Soesmono saat diwawancara oleh Historia di Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Ketika tinggal di Yogyakarta, Emma tetap aktif berjuang bersama kaum republiken. Emma mengompori pegawai kereta api lain untuk menolak bekerja pada Belanda. Agitasinya itu berujung pada penangkapannya pada 10 Februari 1949. “Sudah sembunyi di kolong tempat tidur, tapi ditangkap. Lalu dibikin huisarrest (tahanan rumah, red. ) di Yogya,” kata Amarawati. Pada 18 Februari, Emma dipindahkan ke Jakarta. Saraswati yang ikut bersamanya berusaha pulang ke Ciamis dengan bantuan rekan-rekan sesama pegawai kereta api. “Kakak saya terlunta-lunta, tidur di stasiun, kurang makan. Waktu keretanya mulai masuk Jawa Barat, dilempari batu,” sambungnya. Saraswati akhirnya sampai rumah kakeknya dengan selamat, sementara Emma ditahan hingga Mei 1949. Emma kemudian kembali ke Bandung dan tinggal di Jalan Dago 133. Rumah tersebut milik adik Emma, Adil Poeradiredja, mantan perdana menteri Negara Pasundan yang mengundurkan diri pada 1948. Emma kembali bekerja pada Djawatan Kereta Api yang bermarkas di Jalan Gereja No. 1 Bandung. Sebagai Direktur Kematian Warga Kereta Api, Emma mengurusi kesejahteraan buruh kereta api dan jaminan sosial janda buruh kereta api yang suaminya gugur masa perjuangan kemerdekaan. “Saya kalau pulang sekolah seringnya ke situ, biar bisa bareng ke rumah jam 3 sore,” kata Amarawati.

  • Perkawanan Dua Perwira AD, Yani dan Mitro

    DENGAN kondisi punggung sakit, Kolonel Soemitro menghadap bosnya, Menteri Panglima AD Letnan Jenderal Ahmad Yani. Mitro dipanggil langsung ke rumah Yani di Jalan Lembang untuk membicarakan penugasannya ke Kalimantan. Sang kolonel yang berperut tambun itu sedang menderita slipped disc - tulang belakang keseleo yang mengenai urat - sehingga jalannya miring-miring untuk mengurangi rasa sakit. Melihat perut bawahannya yang besar, Yani nyeletuk dalam bahasa Jawa kepada istrinya, Yayuk. “Bu, Bu lihat Mitro, wetenge, weteng Panglima (perutnya perut Panglima),” kata Yani.  Dia kemudian kemudian memberikan perintah kepada Mitro. “Mit, kamu pergi ke Balikpapan, gantikan Hario Kecik,” ujar Yani. “Ini perintah, atau masih tanya pendapat,” tanya Mitro. “Perintah,” jawab Yani tegas.   Dijawab demikian, Mitro tidak dapat berkutik. Padahal, dirinya baru saja "menolak"  rencana Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudra (Asisten III Menpangad bidang personel) dan Mayor Jenderal Soeprapto (Deputi II Menpangad bidang administrasi) yang akan memberinya posisi baru. Mitro memang selalu menolak dengan alasan ingin tetap bersama keluarga. Tapi kalau sudah berurusan dengan Yani – orang nomor satu di jajaran Angkatan Darat – lain cerita. “Namanya prajurit, ya, harus nurut perintah. Hidup prajurit itu ditentukan oleh perintah,” kenang Mitro dalam otobiografinya Soemitro: Dari Panglima Mulawarman sampai Pangkopkamtib yang disusun Ramadhan K.H.   Perintah Yani disanggupi oleh Mitro. Bagi Mitro, Yani adalah seorang atasan sekaligus kawan sejak lama. Menurut Mitro, Yani bersedia mendengarkan pendapat yang berbeda dan siapa saja bebas berargumentasi. Tapi kalau Yani sudah ambil keputusan, semua orang mesti tunduk.   Maka pada Februari 1965, berangkatlah Mitro ke Balikpapan, Kalimantan Timur. Mitro menggantikan Panglima Kodam Mulawarman Brigadir Jenderal Soehario Padmodiwirio yang biasa dipanggil Hario Kecil. Sementara Mitro, akrab disapa Mitro Gendut. Sebagai panglima yang baru, pangkat Mitro naik setingkat jadi brigadir jenderal.   Di Balikpapan, Soemitro cukup ketat terhadap anak buahnya. Dia menahan tiga perwira menengah yang berafiliasi dengan PKI. Berita ini terdengar sampai ke Jakarta. Akibatnya, Mitro dipanggil menghadap Presiden Sukarno. Yani ikut serta mendampingi Mitro ke Istana Negara. Pagi sekali Yani dan Mitro diterima Bung Karno  yang tengah berada di beranda belakang Istana Negara. Perbincangan terjadi di sela-sela waktu Bung Karno bersarapan. Selagi asyik makan, tiba-tiba Bung Karno bertanya kepada Mitro. “Saya dengar Generaal Mitro sering ngrasani (membicarakan kejelekan, red ) saya? tanya Sukarno. Mitro kaget  dalam beberapa detik. Namun kemudian dia menjawab: “Oh tidak pernah, Pak. Saya bisa merasakan nggraga gitok (kekurangan) saya sendiri.” “Oh, bagus, bagus,” balas Bung Karno. Sejurus kemudian, dia kembali bertanya, “lalu ngrasani apa, Generaal Mitro?” “Saya tidak pernah ngrasani, Pak. Saya cuma belajar dari kesalahan-kesalahan Bapak,” ujar Mitro. Mendengar itu, Yani cemas karena menganggap jawaban Mitro agak lancang. Sontak saja Yani menginjak kaki Mitro. Mitro tertegun dan berbisik pada Yani dalam bahasa Jawa, apakah dia tetap lanjut melapor keadaan di Balikpapan kepada Bung Karno atau tidak sama sekali. “ Wis, menenga cengkemmu ! (Sudah, tutup saja mulutmu!),” kata Yani dengan nada jengkel. Yani dan Mitro beruntung karena Bung Karno menanggapi dengan santai. Mereka pun pulang dari Istana dengan hati lega karena terhindar dari “omelan” Presiden.   Keakraban Yani dan Mitro pun ditangkap oleh Amelia Yani, salah seorang putri Yani. Amelia yang menulis biografi ayahnya, Profil Seorang Prajurit TNI dalam bab khusus “Apa  dan Siapa, Teman-teman Bapak” memasukan Mitro sebagai salah satu di antaranya. Perkenalan mereka bermula di kereta api pada 1956. “Sewaktu bapak pindah ke Jakarta sedangkan Pak Mitro dalam perjalanan ke Surabaya,” tulis Amelia.   Beberapa bulan sebelum peristiwa 30 September 1965, Yani bersama para asisten dan deputinya berkunjung ke Kalimantan. Turut pula dalam kunjungan itu Mayor Jenderal Harjono Mas Tirtodarmo, Mayor Jenderal Suwondo Parman, Brigadir Jenderal Donald Pandjaitan, dan Brigadir Jenderal Soetoyo. Tidak ketinggalan, aktifitas main golf mengisi waktu luang sang panglima di sana. Sore hari, Yani main golf ditemani Taswin Natadiningrat. Panglima Mulawarman Brigadir Jenderal Soemitro datang ke lapangan untuk menyambut Yani dan melaporkan kiriman radiogram dari Jakarta. Yani menyapa Mitro. “Golf, Mit?” kata Yani. Karena Soemitro belum mahir main golf, dia menolak. “Golf itu untuk orang disabled (cacat)!,” ujar Mitro bercanda. Yani membalas, “Kurang ajar kowe (kau)!” Itulah pertcakapan terakhir Mitro dengan Yani. Sepeninggal Yani, Mitro menjadi perwira penting di masa peralihan menuju Orde Baru. Pada awal 1970-an, Mitro merupakan orang kedua di jajaran TNI AD dengan kedudukan  Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib). Karier militer Jenderal Mitro jatuh usai peristiwa kerusuhan Malari 1974. Dalam insiden itu, dia berseteru dengan mantan anak buah Yani yang lain: Ali Moertopo.

  • Asal-Usul Gen Asia Selatan Riri Riza

    Riri Riza, sineas beken Indonesia, menghabiskan masa kecilnya selama sembilan tahun di Ujung Pandang (kini Makassar). Setelah itu, dia ikut orangtuanya ke Jakarta. Dia mengalami masa-masa rendah diri di awal menjadi anak baru di sekolah dasar di Jakarta pada 1979. “Saya sendiri punya perasaan inferior tentang asal-usul saya,” kata Riri Riza. Riri merasa tidak nyaman bercerita kepada teman-temannya tentang daerah asalnya. “Saya merasa ada semacam superioritas dari orang Jawa dibandingkan dari kami yang berasal dari Indonesia Timur,” tuturnya. Riri berupaya mempelajari cara berbahasa teman-temannya, dialek Jakarta. “Usaha yang harus kita lakukan gitu untuk bisa nyaman bergaul dengan teman-teman,” kata Riri. Pergaulannya menjadi lebih akrab. Rasa rendah dirinya mulai terkikis. Tapi mempelajari bahasa orang lain bukan berarti menanggalkan identitasnya. Riri kemudian sering dipanggil “Makassar” oleh teman-temannya ketika duduk di sekolah menengah pertama dan atas. “Tapi saya tidak merasa itu sebagai bagian dari bully … Biasa kita lakukan untuk teman-teman yang seangkatan,” tambah Riri. Panggilan itu justru memperkuat identitasnya sebagai orang Makassar. Dia juga kian percaya diri dengan daerah asalnya. Riri memperoleh sebutan “Makassar” tersebab dirinya kelahiran Makassar. Tapi orangtuanya berasal dari dua daerah berbeda di Sulawesi Selatan. Ibunya kelahiran Gowa Sungguminasa, 10 kilometer sebelah tenggara kota Makassar. Masih termasuk daerah pesisir. Sedangkan ayahnya berasal dari Enrekang, pedalaman Sulawesi Selatan bagian tengah, dekat Gunung Latimojong. Dua daerah termaksud juga berbeda bahasa. Wilayah ibunya berbahasa Makassar, sedangkan ayahnya menggunakan rumpun bahasa Bugis. Meski Riri kelahiran Makassar dan orangtuanya sama-sama berasal dari Sulawesi Selatan, ternyata dalam tubuhnya mendekam gen dari luar Sulawesi Selatan. Hasil tes DNA menunjukkan besaran komposisi masing-masing gen: Asia Selatan (46,24%), Asia Timur (33,95%), Diaspora Asia (17,27%), dan Timur Tengah (2,53%). “Apa yang tertulis di sini bahwa gambaran moyangnyaditemukan di banyak sekali suku di India,” kata Herawati Supolo Sudoyo, ahli genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, mengomentari hasil tes DNA Riri. Suku-suku di India antara lain Brahmin, Rajput, Naga, Karan, Khandayat, Nepali, Gope, dan Tamil. “Banyak sekali, berarti kita ambil saja memang India gitu, Asia Selatannya,” tambah Herawati. Dominasi Asia Selatan dalam komposisi DNA Riri membuka kembali kemungkinan adanya sejarah hubungan India dan Sulawesi Selatan pada masa kuno (masa Hindu-Buddha pada abad ke-5 sampai ke-16). Hindu-Budha di Sulawesi Selama ini, sejarah hubungan India dan Nusantara lebih sering berkaitan dengan Sumatra dan Jawa. Pengaruh kebudayaan dan peninggalan India cukup menonjol di dua pulau termaksud. Misalnya dalam bentuk kepercayaan, politik, bahasa, seni, dan artefak. Catatan musafir dan prasasti tentang jejaring dagang India-Sumatra-Jawa dan interaksi mereka juga tersedia melimpah. Para arkeolog berkesimpulan telah terjadi kontak intensif antara orang-orang India beragama Hindu dan Buddha dengan orang tempatan di dua pulau termaksud. Ini berbeda dari apa yang terjadi Sulawesi Selatan. Catatan tentang hubungan India dan Sulawesi Selatan hanya sedikit. Tapi ini bukan berarti menihilkan kontak antara India dan Sulawesi Selatan. Penemuan tiga arca Buddha di Bantaeng, 90 kilometer arah tenggara dari Makassar, menunjukkan kemungkinan adanya hubungan antara India dan Sulawesi Selatan sejak masa kuno. “Arca tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-6 M karena mempunyai kemiripan dengan arca Sriwijaya,” catat Budianto Hakim, arkeolog Balai Arkeologi Sulawesi Selatan, dalam “Pengaruh Hindu-Budha di Sulawesi: Kajian Pendahuluan Terhadap Data Arkeologis dan Historis” termuat di Amerta , berkala Arkeologi tahun 1993. Penyebaran agama Buddha di Sriwijaya melibatkan peran pedagang-pedagang India. Pedagang itu kemungkinan meneruskan perdagangan hingga ke Sulawesi Selatan. Atau sebaliknya, bahwa orang-orang dari Sulawesi berlayar hingga ke Sriwijaya, mempelajari agama Buddha, lalu kembali lagi ke Sulawesi ketika angin muson barat bertiup. Tradisi berlayar orang-orang di Sulawesi Selatan, utamanya Bugis dan Makassar, sangat kuat. “Sejak zaman prasejarah masyarakat Bugis dan Makassar terkenal sebagai pelaut-pelaut ulung yang dapat mengarungi samudera-samudera besar,” lanjut Budianto Hakim. Dari perdagangan dan tradisi berlayar inilah hubungan dengan India terbentuk. Dari situ pertukaran kebudayaan pun mengada. Tadjuddin Maknun, Ketua Jurusan Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin, Makassar, dalam “Fenomena-fenomena Budaya India/Hindu di Sulawesi Selatan dan Barat” menyebut adanya pengaruh India-Hindu dalam sejumlah aspek kehidupan orang Sulawesi Selatan. “Baik berupa aksara (bahasa), konsep Ketuhanan, tata cara pelaksanaan upacara ritual, penggolongan stratifikasi sosial, dan benda-benda budaya yang dapat diinterpretasi sebagai pengaruh agama dan budaya Hindu,” ungkap Tadjuddin. Tadjuddin menambahkan, masuknya pengaruh kebudayaan India di Sulawesi Selatan tak lepas dari migrasi sekelompok orang dari satu wilayah ke wilayah lainnya. “Kedatangan orang atau sekelompok orang di suatu tempat, sudah barang tentu secara eksplisit terbawa pula kebudayaannya,” sambung Tadjuddin. Dan pertukaran kebudayaan bakal lebih intensif dengan pernikahan campur antara pendatang dan orang-orang tempatan. Tapi Tadjuddin mengakui, sumber dan literatur sejarah untuk memperjelas hubungan India dan Sulawesi Selatan masih sangat lowong. Sebagai konsekuensi dari ketiadaan sumber yang dapat memberi informasi, maka sampai sekarang belum diketahui siapa yang menyebarkan dan kapan proses penyebarannya mulai terjadi. Kebangkitan Makassar Herawati berpendapat migrasi orang-orang India ke Nusantara mulai terang pada masa berkembangnya kota pelabuhan antara abad ke-8 sampai ke-14. Di sinilah periode Indianisasi dan Islamisasi Nusantara paling kental. Kota pelabuhan Makassar muncul pada abad ke-15. Ia tumbuh cepat menjadi pelabuhan singgah para pedagang dari Gujarat, Tiongkok, Malaka, Jawa, dan Eropa. “Siklus muson di wilayah Sulawesi menjadikan Makassar sebagai pusat jalur perdagangan, baik jalur perdagangan barat (Eropa, Gujarat, India Selatan, Semenanjung Malaka, Sumatra, Jawa, dan Kalimantan-Makassar-Maluku serta Papua) maupun jalur pelayaran utara (Cina, Filipina, dan Jepang-Makassar-Nusa Tenggara-Australia,” ungkap Edward L. Poelinggomang dalam Makassar Abad XIX . Selain itu, Edward juga menyebut beberapa faktor pendorong kemunculan Makassar sebagai kota pelabuhan atau dagang. “Pertama, letaknya strategis —posisinya berada di tengah-tengah dunia perdagangan. Kedua, munculnya intervensi bangsa Eropa sehingga pedagang di pusat niaga mengalihkan kegiatan mereka ke tempat lain, salah satunya ke Makassar. Ketiga, pedagang dan pelaut setempat melakukan pelayaran niaga ke daerah penghasil dan bandar niaga lain,” terang Edward. Anthony Reid, pakar sejarah Asia Tenggara, menjelaskan Makassar telah berkembang pesat menjadi kota kosmopolitan pada pertengahan abad ke-17. Beragam komunitas tumbuh dengan mantap di Makassar. “Setelah Melaka-Portugis jatuh ke tangan Belanda pada 1641, Makassar menjadi tempat berlabuh utama bagi orang-orang Portugis di Nusantara dengan lebih dari 3.000 orang Portugis menetap di kota ini. Inggris mendirikan loji di Makassar pada 1613, Denmark pada 1618, sementara para saudagar Spanyol dan Cina masing-masing mulai muncul pada 1615,” catat Anthony Reid dalam Sejarah Modern Awal Asia Tenggara . Penguasa tempatan begitu toleran dalam menerima kedatangan beragam bangsa. Keramahan itu tergambar dalam dialog antara penguasa Makassar dengan utusan VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) pada 10 Desember 1616. “Tuhan telah menjadikan bumi dan laut; bumi dibagi di antara umat manusia dan laut diberikan secara umum. Tidak pernah terdengar seseorang dilarang berlayar di laut. Jika anda melakukan itu berarti anda merampas makanan (roti) dari mulut. Saya seorang raja miskin,” kata penguasa setempat, sebagaimana dikutip oleh Edward. Keberterimaan penguasa tempatan itu turut dinikmati oleh pedagang-pedagang dari India Selatan. Mereka menjual tekstil secara bebas di sini dan menukarnya dengan komoditas lain seperti teripang, agar-agar, kerang, sirip ikan hiu, lilin, kayu cendana, kulit, tanduk, damar, kambing, sapi, kuda, dan beras. Sembari menunggu angin bertiup ke barat, pedagang India tersebut menetap sementara di Makassar. Sebagian di antaranya menikah dengan orang tempatan. Sampai akhirnya keturunannya menikah lagi dengan orang-orang dari pedalaman Sulawesi sehingga meninggalkan jejak DNA yang beragam. Ini menjadi penjelas dari mana DNA Asia Selatan milik Riri Riza. Riri mengaku senang mengetahui hasil DNA-nya. “ Saya merasa menjadi bagian dari sebuah keluarga global yang besar, ” kata Riri. Hasil tes juga membawanya ke pemahaman baru mengapa dia begitu nyaman dengan aroma, rasa, atau lingkungan yang banyak orang Indianya. “Saya Muhammad Rifai Riza dan saya merasa sangat nyaman,” tambahnya.

bottom of page