top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Cincang Masa Perang

    PERANG selalu menista kemanusiaan. Atas nama dendam, kemenangan, dan bertahan hidup; orang yang terlibat dalam perang melakukan pembunuhan, pembantaian, bahkan pencincangan –untuk menyebut kanibalisme. Cerita ini selalu ada dalam setiap perang, di mana pun. Selama revolusi, badan-badan perjuangan di Jakarta bukan hanya menentang pendudukan Sekutu (Inggris dan Belanda), tapi juga mencegah pulihnya kehidupan sipil Belanda. Caranya dengan melakukan serangkaian teror. Segala cara ditempuh untuk menakut-nakuti orang Belanda. Ada yang membuat coretan-coretan di dinding dengan nada mengancam. Ada juga yang sengaja berperilaku aneh di dekat tempat orang-orang Belanda untuk memberi kesan mereka sudah “ditandai” atau berarti ajal mereka sudah dekat.

  • Sukarno di Simpang Jalan Revolusi

    Pada 1958 Presiden Sukarno pernah menyampaikan beberapa kuliah tentang Pancasila di Istana Negara. Antara lain ada kuliah tentang masing-masing sila, termasuk peri-kemanusiaan. Di dalam kuliah tersebut Sukarno sempat menguraikan perbandingannya antara Joseph Stalin dan Leon Trotsky, dua pemimpin revolusi Rusia. Dalam membaca dan merenungkan komentar Sukarno ini tentu saja kita harus catat waktu dan konteks yang berlaku pada saat itu. Pidato Sukarno pada 1958 itu dilakukan dua tahun setelah Nikita Kruschev, sebagai Sekretaris Pertama Partai Komunis Uni Soviet, membongkar kejahatan-kejahatan politik Stalin melalui pidato di kongres partainya. Pada waktu itu Kruschev mengatakan:

  • Menjelajahi Batas Dukacita

    DUKACITA adalah sebuah rangkaian gelombang emosi dan mental, yang membawa setiap individu menuju kerapuhan diri dalam menjalani rutinitas. Untuk penyair Emily Dickinson (1830-1886), kerapuhan universal ini menyeruak sejak awal masa berkabung. Seperti tergambar dalam kalimat pertama sekaligus judul puisinya After great pain, a formal feeling comes; ketika duka mendalam berlalu, sebentuk perasaan formal muncul. Momen-momen kesedihan akibat kematian orang yang dikasihi, dalam interpretasi Dickinson, kerap disusul dengan perasaan datar, membuat individu yang berduka terlihat “normal” menjalani perkabungan. Namun yang sebenarnya terjadi justru sebaliknya.

  • Sukarno yang (Di)Kalah(kan) Total

    TIDAK bisa disangkal lagi bahwa Sukarno, bersama seluruh generasinya, berhasil menang dalam perjuangan merebut kemerdekaan dan mendirikan Republik Indonesia. Dan kemenangan itu bukan kemenangan kecil. Negeri Belanda pada tahun 1945-1949 masih bisa mengerakkan banyak modal, manusia dan senjata. Sementara itu pihak Republik masih serba kekurangan. Satu-sautnya modal perjuangan adalah kesadaran politik massa yang sudah dibangun selama 35 tahun sebelumnya. Dalam semua proses itu Sukarno mengambil peran sangat menentukan. Dia memimpin sebuah gerakan yang menang.

  • Onthel Sepeda Cinta

    GALIH dan Ratna adalah dua sejoli. Sepeda onthel menjadi saksi cinta mereka yang terlarang. Sayangnya, cinta Galih dan Ratna berakhir duka. Galih menikah dengan Marlina, saudara kembar Ratna. Kisah asmara itu hanyalah fiksi, terekam dengan apik dalam film Gita Cinta dari SMA , adaptasi dari novel Eddy D. Iskandar. Pada 26 Juni 2011, Ratna lain justru berbahagia. Ratna Sri Handayani dan Dimas Sapto Romadhon, keduanya pecinta sepeda onthel, menikah. Pernikahan mereka dirayakan dengan cara unik: diarak keliling kota oleh ratusan onthelis dari klub Vheesink Ontel Club (VOC), yang bermarkas di Jakarta Barat.

  • Wasit Hindia di Olimpiade

    RABU malam, 13 Juni 1928. Stadion Olimpiade di Amsterdam, Belanda, dipenuhi ribuan penonton. Mereka antusias untuk menyaksikan final ulangan cabang sepakbola Olimpiade yang mempertemukan dua kekuatan besar Amerika Selatan: Uruguay dan Argentina. Di tepi garis lapangan, berdiri seorang hakim garis dari negeri jauh di timur. Sosoknya mungkin tidak dikenal oleh publik Belanda. Namun, kehadirannya menjadi kebanggaan tersendiri bagi sepakbola Hindia Belanda. Dia adalah Max Foltynski.

  • Singa Betina dari Haarlem

    KENAU menerobos kerumunan orang. Sembari menangis, dia berteriak memanggil nama putrinya, yang terikat di sebuah tiang kayu. Namun, dua penjaga menghalangi langkahnya. Melihat kedatangan ibunya, tangis Gertruide kian menjadi, sementara api di sekelilingnya kian membesar.

  • Percik Modernitas di Asia Tenggara

    ADIL Johan, musikolog kandidat doktor di King’s College London, tak heran melihat kesederhanaan pameran musik yang dihelat Singapore’s Esplanade Library pada 22 Oktober 2013. Pasalnya, pameran itu menampilkan informasi historis band-band rock n roll  Melayu dari apa yang dikenal sebagai era pop yeh yeh . Genre musik ini dibenci pemerintah Singapura maupun Malaysia. Panitia tentu mesti berhati-hati.

  • Pecah Kongsi Koalisi Partai Islam

    KOALISI organisasi Islam bukan hal baru dalam sejarah politik di Indonesia. Di tahun 1950-an, Masyumi pernah jadi pionir koalisi. Seluruh organisasi Islam berhimpun di bawah payungnya. Kisah itu bermula dari keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X tahun 1945 yang mendorong rakyat Indonesia membentuk partai-partai politik. Kalangan Islam bergegas meresponsnya, bermufakat untuk berada dalam satu ikatan partai politik yang sama.

  • Layar India Membentang Indonesia

    DI depan lahan bekas bioskop Rivoli di Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Mansyur berdiri mengamati lalu-lalang kendaraan di jalanan. Dia lalu menjauh dari jalan dan duduk bersandar ke pagar seng. Di balik pagar seng, berdiri hotel setengah jadi. Mansyur bertugas menjaga hotel selama pembangunan. Terik matahari, debu, dan raungan kendaraan bermotor menjadi santapan hariannya. Sebelum Rivoli tutup pada 1999, dia biasa bekerja di dalam ruangan. “Sebagai pemutar rol film di sini,” ujar Mansyur, lelaki berusia 50 tahun, sembari menunjuk ke arah hotel.

  • Istanbul Kecil di Kota Berlin

    SIAPA tak kenal Mesut Özil? Pesepakbola lincah ini, yang menjadi punggawa klub Arsenal sekaligus tulang punggung timnas “Der Panzer” Jerman, merupakan pemain berdarah Turki. Ya, Jerman seolah menjadi tanah air yang lain bagi banyak orang Turki.

  • Hasrat Naturalis Raffles

    KAPAL Ann  bersandar di Port Morant, Jamaika, dari pelayarannya menuju wilayah barat, Kepulauan Karibia. Kapten kapal, Benjamin Raffles (1729–1812), biasa mondar-mandir London-Afrika Tengah-Karibia guna meraup untung dari perdagangan budak dan membawa hasil bumi. Anne Lyde Linderman, istrinya yang tengah hamil tua, ikut bersamanya.

bottom of page