Hasil pencarian
9588 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Kisah Perburuan Kapten Westerling
Gagal menguasai Bandung pada 23 Januari 1950, para prajurit APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) mundur ke arah Cianjur. Di sana lagi-lagi ratusan pengikut Kapten Westerling tersebut harus menghadapi batu sandungan dari Batalyon H Divisi Siliwangi pimpinan Mayor Sutoyo. “Mereka terkepung dan kocar-kacir, bahkan sebagian nekad menerjunkan dirinya ke jurang-jurang yang ada di wilayah hutan-hutan Maleber, “ tulis Kolonel (purn) Mochamad Rivai dalam Tanpa Pamrih, Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Sadar gerakannya patah di tengah jalan, Westerling memutuskan untuk melarikan diri ke Jakarta. Pengawal setianya Pim Colsom dan dua anggota polisi Indonesia yang membelot menyertai pelarian Westerling. Sang kapten melarikan diri menggunakan tiga mobil yang ia tumpangi secara bergantian di tiap titik tertentu. “Intelijen kami mengidentifikasi mobil-mobil itu masing-masing berplat nomor wilayah Bandung dan Jakarta: D 1067, D 1373, B 16107,” ujar Rivai. Menurut sejarawan Salim Said, sesampai di Jakarta, Westerling hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Salah satunya adalah rumah milik seorang Belanda di bilangan Kebon Sirih. Bahkan di tengah pelariannya itu, ia pun dikabarkan sempat bertemu beberapa kali dengan Sultan Hamid II, salah seorang simpatisan gerakan APRA. “Mereka bertemu di suatu tempat yang letaknya sekarang ada di sekitar Jalan Veteran, Jakarta Pusat,” ujar mantan jurnalis yang pernah mewawancarai Westerling secara langsung di Belanda pada 1970-an. Awal Februari 1950, salah satu pendukung kuat Westerling dari kalangan mantan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda), Letnan Kolonel Rappard tewas dalam suatu pengepungan oleh kesatuan APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) di Jakarta. Tewasnya Rappard menjadikan Westerling gundah dan memutuskan untuk lebih cepat melarikan diri ke luar Indonesia. Maka disusunlah sebuah rencana pelarian yang melibatkan beberapa pejabat tinggi militer dan sipil Belanda. Konspirasi melarikan Westerling ke luar negeri, ternyata tercium jua oleh intelijen APRIS. Maka dibentuklah secara kilat tim pemburu Westerling oleh pihak militer Indonesia Serikat dipimpin oleh Mayor Brenthel Soesilo. Menurut salah satu anggota tim pemburu, Letnan J.C.Princen, Kamis, 23 Februari 1950, tim-nya menerima informasi dari agen intelijen di lapangan bahwa Westerling dengan dikawal beberapa orang bergerak ke arah Pelabuhan Tanjung Priok. “Kami lalu mengutus Letnan Supardi dan Letnan Kesuma untuk mengejar Westerling,” ujar mantan serdadu Belanda yang membelot ke pihak Republik Indonesia tersebut. Dengan menggunakan jip Willys, menjelang pukul 19.00, bergeraklah kedua prajurit APRIS tersebut ke Tanjung Priok. Di mulut Pelabuhan II, mereka berpapasan dengan kendaraan yang ditumpangi Westerling. Alih-alih menghindar, Westerling yang saat itu menggunakan seragam KNIL berpangkat sersan, malah turun dari mobil dan mendekati Letnan Supardi dan Letnan Kesuma. “Orang gila itu malah mengajak kedua letnan tersebut singgah di satu bar dan minum bir,” kenang Princen. Ajakan itu ditampik. Letnan Kesuma justru mengajak Westerling untuk singgah sebentar ke sebuah pos tentara APRIS di dekat pelabuhan. Westerling setuju. Ia lantas menaiki mobilnya dan mengikuti jip yang ditumpangi Letnan Kesuma dan Letnan Supardi. Namun belum 100 meter bergerak, tiba-tiba serentetan tembakan menyalak dari kendaraan Westerling dan membuat jip yang dikendarai kedua tentara APRIS itu terjungkal seketika. Setelah menembak, mobil yang ditumpangi Westerling kemudian berbalik kembali ke arah pelabuhan dan berjalan dengan kecepatan tinggi. Mengetahui anak buahnya tertembak, Mayor Brenthel Soesilo ganti yang mengejar Westerling. Bersama Letnan Princen, mereka bahkan sempat adu tembak dengan pengawal-pengawal Westerling di Pelabuhan II Tanjung Priok. Di tengah pertempuran kecil itulah, Westerling meluputkan diri ke Singapura dengan bantuan sebuah pesawat Catalina milik Angkatan Laut Belanda. Karena alasan masuk tanpa surat izin, sesampai di Singapura, Westerling ditahan pihak keamanan Inggris. Begitu mendapat kabar tersebut, Pemerintah RIS langsung meminta kepada otoritas Inggris di Singapura untuk mengekstradisi Westerling Indonesia. Namun dengan alasan Westerling adalah warga negara Belanda, pimpinan Pengadilan Tinggi Singapura, Hakim Evans, menolak permintaan tersebut. Pada Agustus 1950, Westerling “diusir” dari Singapura. Ditemani Konsul Jenderal Belanda untuk Singapura, Mr. R. van der Gaag, ia bergerak menuju Eropa. Seizin Van der Gaag pula ia lantas turun di Brussel, Belgia, sebelum beberapa waktu kemudian dialihkan ke Belanda secara diam-diam.
- Pangeran Samber Nyawa Menyerah Kepada Pakubuwana III
PADA 24 Februari 1757 Raden Mas Said menyerah kepada Sunan Pakubuwana III, raja Surakarta. Dia dikenal sebagai Pangeran Samber Nyawa yang gigih menentang VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur). Perlawanan itu mungkin karena ayahnya, Mangkunegara, diasingkan oleh VOC ke Srilanka. Mas Said bersekutu dengan Mangkubumi (Sultan Hamengkubuwono I) melawan Pakubuwono III, raja Surakarta, yang didukung VOC. Namun, VOC berhasil mendamaikan Mangkubumi dan Pakubuwono III lewat Perjanjian Giyanti, yang membagi bekas wilayah Kerajaan Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta. Mas Said yang tak dilibatkan dalam perjanjian itu kemudian melawan tiga kekuatan sekaligus: Surakarta, Yogyakarta, dan VOC. Dia melawan mertuanya sendiri karena dia menikahi putri sulung Mangkubumi, Ratu Bendara. Pada Oktober 1755, dia berhasil mengalahkan satu pasukan VOC. Dia juga nyaris membakar istana baru di Yogyakarta pada Februari 1756. Menurut sejarawan MC Ricklefs, pasukan-pasukan Surakarta, Yogyakarta, dan VOC tidak sanggup melawan Mas Said, tetapi jelas pula dia tidak mampu menaklukkan Jawa karena menghadapi gabungan kekuatan itu. Maka, dia mulai mengadakan perundingan-perundingan pada 1756. “Bulan Februari 1757 dia menyerah kepada Pakubuwana III dan bulan Maret di Salatiga, dia resmi mengucapkan sumpah setia kepada Surakarta, Yogyakarta, dan VOC,” tulis Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 . Dalam Perjanjian Salatiga pada 17 Maret 1757 tersebut juga dibahas kedudukan, pangkat, dan penghasilan Mas Said. Dia diangkat sebagai Pangeran Miji yang kedudukannya di bawah Sunan Pakubuwana III. Dia memakai gelar Pangeran Adipati Mangkunegara I (memerintah 1757-1795). Dia mendapat tanah 4.000 cacah dari Pakubuwana III, tetapi tidak memperoleh apa-apa dari Hamengkubuwono I. Daerah kekuasaannya terletak di Keduwang, Laroh, Matesih, dan Gunung Kidul. Wilayah itu berada di sekitar Surakarta tenggara dan sebagian lagi di timur Yogyakarta. “Setelah peperangan tidak lagi menjadi satu-satunya cara untuk mempersatukan kembali kerajaan, maka Sultan Hamengkubuwono I, Pangeran Mangkunegara I, dan Susuhunan Pakubuwana III kini lebih banyak terlibat permainan diplomasi perkawinan yang rumit,” tulis Ricklefs. Putra tertua Mangkunegara I menikahi putri sulung Pakubuwana III. Namun, Mangkunegara I membeci Hamengkubuwana I sampai akhir hayat karena yakin mertuanya itu memaksa putrinya untuk bercerai. Mangkunegara I meninggal pada 12 Desember 1795 di usia 70 tahun. Dia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 1988 karena dianggap berjasa melawan VOC.
- Yang Muda Yang Berkuasa
Kapal dari Singapura berlabuh di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Dua penumpangnya turun. Mereka berusaha keluar pelabuhan secara ilegal. Dua orang itu Aidit dan Lukman. “Beberapa hari yang lalu Aidit dan Lukman, dua anggota dari agitprop (agitasi dan propaganda) PKI, telah tiba di Jakarta dari Vietnam,” tulis Sinpo , 25 Juli 1950. Sinpo mengabarkan Aidit dan Lukman pernah menjadi gerilyawan di Vietnam. Jacques Leclerc, seorang pakar sejarah kiri Indonesia, berpandangan kemunculan Aidit dan Lukman penuh perhitungan dan skenario. Mereka muncul saat pemerintah mengurangi tekanan terhadap PKI dengan sebuah cerita heroik rekaan. Dari perjuangan di Tiongkok dan Vietnam sampai upaya mereka masuk ke Indonesia secara ilegal sehingga menarik perhatian suratkabar. “Mereka mau memberikan prestise diri mereka sebagai pimpinan yang sebelumnya berkedudukan di Yogya kembali ke Jakarta justru pada saat perjuangan dan konfrontasi di dalam tubuh partai antara berbagai garis strategi telah memasuki tahap menentukan,” tulis Jacques Lecrerc dalam “Aidit dan Partai Pada Tahun 1950”, termuat di Prisma , 7 Juli 1982. Di Jakarta, Aidit dan Lukman mulai bergerak. Sebagai anggota CC PKI, mereka melihat kelompok komunis tua bakal membawa jalannya partai melenceng dari prinsip Jalan Baru Musso. Mereka mengajak Njoto dan Peris Pardede menerbitkan kembali Bintang Merah (BM), terbitan berkala, untuk menegaskan garis perjuangan partai dan menghimpun pendukung. Mereka juga menerjemahkan karya-karya klasik mengenai teori Marxis. Memperoleh kepercayaan kader muda partai melalui penerbitan BM, kelompok Aidit mengalihkan perhatian ke struktur partai. Mereka menjalin kontak dengan Seksi Comite (SC) pendukung Jalan Baru untuk merombak struktur partai dari dalam. Menyingkirkan Kelompok Tua Pada 7 Januari 1951, CC PKI menggelar Sidang Pleno. Dalam sidang kelompok Aidit mendebat gagasan Tan Ling Djie mengenai Irian Barat dan Partai Sosialis sebagai partai penampung. Tan kalah dukungan. Sidang memutuskan mencabut keterangan tertulis Tan mengenai Irian Barat dan membubarkan Partai Sosialis. Sidang juga menetapkan Aidit, Lukman, Njoto, Sudisman, dan Alimin sebagai anggota Politbiro. Sementara Tan Ling Djie turun pangkat, tapi masih masuk dalam keanggotaan CC. Salah satu pertimbangannya, Tan menerima keputusan CC dan berjanji memperbaiki diri. Tan mulai terisolasi. Terlebih sebelumnya pendukung setianya, Ngadiman Hardjosubroto dicabut kedudukannya sebagai wakil PKI di parlemen sementara karena mengeluarkan siaran tentang Irian. Namun ini baru langkah awal. Pada Agustus 1952, CC membentuk Komisi Kontrol untuk menyelidiki aktivitas Tan yang bertentangan dengan kebijakan partai. Berdasarkan laporan Komisi Kontrol itulah, dalam Sidang Pleno CC PKI pada Oktober 1953, kelompok Aidit menyingkirkan Tan Ling Djie dari keanggotaan CC. Sementara Alimin, atas permintaan sendiri dengan alasan kesehatan, digantikan Sakirman sebagai anggota Politbiro. Untuk membenarkan tindakannya, Aidit menulis artikel panjang berjudul “Tentang Tan Ling Djie-isme” di Bintang Merah , Februari-Maret 1954. Kepemimpinan partai dalam genggaman. Kongres V PKI pada 16-20 Maret 1954 mengabsahkannya. Dalam Kongres ini pula Alimin dan Wikana tersingkir sebagai anggota CC; gagal terpilih kendati dicalonkan. Kendati tak menempati posisi strategis, Alimin tetap jadi duri dalam daging. Ketika Aidit berada di Moskow untuk menghadiri Kongres ke-20 Partai Komunis Uni Soviet, Alimin menyerang kepemimpinan Aidit dan politik front persatuan. Tidak secara langsung tapi melalui sebuah tulisan yang dibagikan ke kawan-kawan dekatnya. Sadar keutuhan partai terancam, Sekretariat CC PKI mengajak Alimin berdiskusi. Alimin bersedia mencabut tulisannya. Ternyata persoalan belum selesai. Beberapa kutipan dari tulisan Alimin tersiar di media. CC PKI segera membuat keterangan pers. Selain menegaskan sikapnya mengenai front persatuan nasional, CC menelanjangi cara kerja Alimin di dalam partai. “Sikap pimpinan PKI sekarang banyak tergantung pada sikap Kawan Alimin sendiri mengenai kesalahannya,” tulis keterangan Sekretariat CC PKI, 3 Juli 1956. Alimin terdesak. Pada 8 Agustus 1956, dia menyatakan keluar dari PKI dengan alasan kesehatan. Kelompok komunis tua sudah disingkirkan. Namun, secara bertahap mereka “direhabilitasi”. Tan Ling Djie dan Wikana diplih sebagai wakil ketua II dan sekretaris grup partai di Konstituante. Ngadiman, pada 1959, jadi ketua Komisi Pemilihan Pusat PKI. Pada Kongres tahun 1959, Wikana kembali masuk sebagai anggota CC, Tan dan Ngadiman dipilih sebagai anggota Komisi Verifikasi, dan Alimin diberi kehormatan untuk duduk di presidium kongres. “Aidit cukup yakin kontrolnya terhadap partai untuk memanfaatkan kemampuan Wikana, Tan Ling Djie, dan Ngadiman dalam posisi fungsional tapi, dalam hal kekuasaan, tidak penting,” tulis Donald Hindley dalam The Communist Party of Indonesia, 1951-1963 . Menjadi Partai Raksasa Sejak Aidit mengambil-alih kepemimpinan partai, PKI berkembang pesat. Salah satu langkah signifikan adalah penerapan strategi front persatuan nasional yang merupakan modifikasi dari konsep Jalan Baru Musso. Kerjasama terutama dijalin dengan Partai Nasional Indonesia (PNI). Dengan strategi ini, tulis Hindley, PKI mendapat toleransi dari pemerintah untuk mengembangkan partai dan organisasi massanya serta mengisolasi kekuatan politik antikomunis. Pembangunan partai menemukan bentuknya sejak 1956 melalui Plan 3 Tahun Mengenai Organisasi dan Pendidikan. Sekolah-sekolah dan kursus partai digelar. Perluasan anggota dan organisasi digalakkan. Setelah mencapai kemajuan pesat dan dapat mengkonsolidasi diri, pada 1963 PKI menerapkan Plan 4 Tahun Mengenai Kebudayaan, Ideologi, dan Organisasi. Hasilnya, jumlah anggota PKI naik pesat, kader-kadernya disiplin dan militan, berhasil menaungi berbagai elemen massa, meraup suara signifikan dalam pemilu, dan mampu mempengaruhi arah perpolitikan nasional. PKI menjadi raksasa dalam waktu singkat. Hingga datanglah prahara 1965 itu menjatuhkan raksasa ini tanpa ampun.
- Mencari Candi Pemujaan Ken Angrok
DALAM sejarah Singhasari dan Majapahit, raja yang mangkat biasanya didarmakan dalam bentuk arca dewa. Mereka akan terus dikenang dengan dibuatkan sebuah candi pemujaan. Berdasarkan Nagarakretagama , jumlah candi yang difungsikan sebagai pendarmaan arwah raja mencapai 27 pada tahun 1365. Dari jumlah itu tidak semua masih berdiri utuh. Di antaranya candi di Kagenengan yang disebut sebagai pendarmaan Rangga Rajasa, gelar Ken Angrok. Pada pupuh 40 naskah Nagarakretagama tertulis, seorang pendeta Budha di Bureng diminta berkisah oleh penulis naskah. Sang penulis, Mpu Prapanca, ketika itu bersama rombongan Hayam Wuruk hanya singgah dalam perjalanan menuju Singhasari. Pendeta Budha itu menceritakan bahwa pada tahun 1104 saka terdapat seorang raja Perwira Yuda Putera Girinata. Dia lahir tanpa ibu dan dihormati seluruh orang. Raja itu bernama Rangga Rajasa. Bagian itu juga menceritakan bagaimana Rangga Rajasa akhirnya mengalahkan Raja Kediri, Kertajaya. Dia diakui sebagai cikal bakal para raja agung yang akan memerintah Jawa. “Makin bertambah besar kuasa dan megah putera sang Girinata. Terjamin keselamatan Pulau Jawa selama menyembah kakinya. Tahun Saka muka lautan Rudra (1149) beliau kembali ke Siwapada. Dicandikan di Kagenengan bagai Siwa, di Usaha bagai Budha,” kutip Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama . Arkeolog Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono mengatakan, sumber yang menyebut keberadaan candi di Kagenengan tak hanya Nagarakretagama . Sekitar tahun 1999-2000, tiga lempeng Prasasti Mula-Malurung ditemukan di Desa Jamsaren, Kediri. Delapan lempeng prasasti ini lebih dulu ditemukan di Kediri pada 1975 lalu diserahkan ke Museum Nasional Jakarta. “Tentang pendarmaan Angrok, info awal Kagenengan dari Nagarakretagama . Dikira hanya di situ, sumber lain tidak ada. Ternyata, yang justru menarik disebut juga dalam Mula-Malurung, yang kami temukan juga menyebutkan Kagenengan,” ungkap Dwi kepada Historia . Setelah bukti diperkuat, menurut Dwi masih ada polemik yang belum terpecahkan, yaitu di mana Kagenengan berada. Namun, sejauh ini dia berani memastikan, lokasi Kagenengan berada di wilayah Malang Raya. Hal ini dikaitkan dengan rincian catatan perjalanan Hayam Wuruk dalam Nagarakretagama . Dalam rincian itu, kunjungan Sang Raja Majapahit ke Kagenengan masih dalam periode yang sama dengan perjalanannya menziarahi candi-candi leluhurnya yang lain. Dwi menyoroti, rombongan Hayam Wuruk saat itu mengkhususkan hari untuk berkunjung ke Kagenengan. Dia tidak mengunjunginya langsung, tetapi setelah mendatangi Candi Kidal dan Candi Jajago. Dalam Negarakretagama , khususnya pupuh 37, menyebut kunjungan ke kedua candi itu dilakukan dalam satu hari. Pagi hari ke Candi Kidal, dan sore hari ke Candi Jajago. “Kalau Kidal dan Jajago realitas geografisnya ada di Kecamatan Tumpang, Malang Timur. Artinya, pasti Kagenengan tidak ada di Malang Timur, berarti ada jalur berbeda,” jelas Dwi. Dwi mencoret kemungkinan Kagenengan berada di Malang Timur, juga tidak mungkin di Malang bagian utara. “Karena Hayam Wuruk malah menginap di Puri Singhasari yang ada di kawasan utara Malang baru melanjutkan perjalanan,” lanjut Dwi. Artinya, Kagenengan akan masuk akal jika dicari di wilayah Malang bagian selatan, di mana terdapat beberapa tempat yang memiliki kemiripan nama dengan Kagenengan. Menurut Dwi, berdasarkan teori yang dinyatakan arkeolog Inggris Nigel Bullough, Kagenengan merujuk pada Dusun Genengan, Desa Parangargi, Kecamatan Wagir. Selain itu, ada juga Desa Genengan di Kecamatan Pakisaji; dan Dusun Genengan di Desa Girimoyo, Kecamatan Karangploso. Dwi telah memeriksa lokasi itu satu persatu. Di Desa Genengan, Pakisaji misalnya, terdapat yoni tanpa lingga di salah satu punden desa. Pada punden lainnya di desa yang sama, terdapat arca Durga. “Tapi kalau melihat ukuran yoni dan Durga terbayang candinya tidak begitu besar. Sejauh ini di lokasi temuan tidak didapati temuan lain yang signifikan, seperti temuan runtuhan yang menggunung,” jelasnya. Kemungkinan candi di Kagenengan ada di Pakisaji jadi diragukan. Pasalnya, berdasarkan Nagarakretagama , candi di Kagenengan dideskripsikan sebagai candi megah dan indah. Pintu masuk candi lebar dan tinggi. Di dalamnya, terdapat halaman dengan rumah berderet di tepinya. Di tengahnya terdapat bangunan serupa menara yang tinggi dan indah seperti Gunung Meru. Ken Angrok yang dipuja sebagai Siwa membuat candi itu memiliki arca Siwa di dalamnya. Adapun Dusun Genengan di Wagir, menurut Dwi, terdapat runtuhan bangunan yang terbuat dari bata. Dusun ini terletak di lereng Gunung Katu. Namun, lagi-lagi menurutnya benda arkeologis yang ditemukan di sana tidak signifikan. Bahkan arca yang menunjukkan sekte Siwa pun tidak ditemukan. “Begitu juga temuan arkelogis di Karangploso, Desa Girimoyo, Dusun Genengan,” lanjut dia. Gunung Katu Alternatif lainnya, kata Dwi, Kagenengan bisa jadi mengarah pada topografi. Berdasarkan arti “geneng”, nama ini merujuk pada tanah yang tinggi, seperti gunung atau bukit. Dengan pengertian itu, dia mengemukakan teori Kagenengan yang dimaksud dalam sumber-sumber sejarah berada di puncak Gunung Katu. “Penyebutan di Pararton itu ada namanya Rabut Katu, dulu di sana banyak orang menangkap burung. Sampai sekarang juga masih banyak yang menangkap burung. Di namakan Katu itu karena ada pohon katu yang besar sekali tempat rumah burung,” ungkapnya. Kemungkinan pohon katu yang tumbuh di puncak Gunung Katu adalah tanaman endemik. Bisa jadi dulunya banyak pohon katu tumbuh di sana hingga penamaan Gunung Katu masih terus dipakai. “Sayangnya pohon itu malah ditebang,” ujarnya kesal. Lebih lanjut, Dwi menerangkan, di masa lalu gunung ini dianggap suci. Gunung Katu merupakan anak Gunung Kawi yang dianggap sebagai pecahan Gunung Meru. Untuk tingginya, Gunung Katu sebenarnya lebih pantas disebut bukit. Namun, penampakannya begitu menjulang di wilayah itu. Adanya penemuan arkeologis di permukaan puncak gunung itu juga memperkuat teorinya. Pada puncak gunung terdapat arca Nandi yang berbentuk lembu sebagai kendaraan (wahana) Siwa dalam mitologi Hindu. “Disebutnya reco banteng ,” ucap Dwi. Tidak hanya itu, di sana pun terdapat pedistal arca yang berukuran besar. Namun, arca yang seharusnya ada di atasnya tidak ditemukan. “Arcanya sudah hilang, apakah itu terguling ke bawah atau dicuri tidak tahu, karena arca Nandi-nya juga ditemukan agak ke arah lembah,” kata Dwi. Dwi juga mengidentifikasi adanya fragmen arca. Sayangnya, dia pun tidak bisa mendeskripsikan siapa tokohnya. Apa yang tersisa dari arca itu adalah bagian kakinya saja. Keistimewaan puncak Gunung Katu juga ditunjukkan dengan adanya temuan di beberapa titik di lerengnya. Dwi memaparkan ada dua titik dengan temuan yang cukup signifikan sejauh ini, selain di puncak. Menariknya, orientasi arah hadap temuan-temuan itu selalu mengarah ke puncak. “Dugaan candi di Kagenengan ini dari material bata. Bata banyak ditemukan, dan memang tidak memungkinkan untuk batu, jadi persoalan sendiri untuk bawa batu dari bawah. Medannya sangat terjal,” terangnya. Runtuhan bata yang dia lihat di Gunung Katu itu bisa ditemukan hingga bagian lereng gunung. Menyadari ini, dia memperkirakan, situs di lokasi itu bisa jadi berupa kompleks bangunan candi. Namun, kondisi geografisnya membuat peninggalan ini menjadi tidak utuh kembali. Berbeda dengan candi Jajago dan Candi Kidal yang meski runtuh saat ditemukan, keduanya berhasil dipugar. Candi-candi itu diuntungkan karena berada di lokasi yang rata. “[Situs di Gunung Katu] ini agak beda, pas di puncak, Malang itu rawan gempa juga, ketika gempa sepertinya membuatnya betul-betul roboh, terguling ke tebing. Lereng timur itu terjal, kalau terguling ke sini habis masuk lembah,” katanya. Dwi berteori, di masa lalu Gunung Katu pun termasuk dalam wilayah Kagenengan. Ini berdasarkan kesamaan nama “Genengan” di tiga tempat yang berbeda kecamatan. Padahal sebenarnya radius di antara ketiga tempat itu tidak jauh. Pun ketiganya berada di sekitar lereng Gunung Katu. “Dulunya mungkin wilayah Kagenengan ini mencakup wilayah-wilayah di sekitar Gunung Katu dan Gunung Katunya, jadi lebih luas lagi, setelah sekian lama akhirnya berkembang dan muncul banyak desa,” jelasnya. Ditambah lagi, menurut Dwi, pendiri Dinasti Rajasa itu memiliki kedekatan memori dengan wilayah selatan Malang. Sebelum Singhasari menjadi pusat pemerintahan, Ken Angrok sempat berpetualang ke wilayah selatan. Dia belajar kepada seorang rohaniawan Janggan di Mandala Sagenggeng. Nama Sangenggeng ini sekarang menjadi nama sebuah desa di Kecamatan Pakisaji. “Jadi secara memori, dia punya kenangan dengan Sagenggeng dan sekitarnya,” tegas Dwi. Dengan asumsi itu, Dwi merasa yakin menunjuk puncak Gunung Katu sebagai lokasi tempat berdirinya candi pendarmaan Ken Angrok. Maka, dia pun berharap ada penelitian yang khusus membedah Gunung Katu. Dia meyesalkan di lokasi yang begitu potensial itu hingga kini belum pernah dilakukan penggalian. “Kagenengan ini istimewa. Dalam Nagarakretagama saja disebutkan panjang lebar. Ini wajar karena titik pangkal munculnya kerajaan Singhasari dan Majapahit,” pungkas Dwi.*
- Westerling Melarikan Diri ke Malaya
Westerling gagal menjalankan aksinya mengudeta pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dipimpin Sukarno-Hatta. Ia meninggalkan Bandung dalam keadaan kacau akibat aksi bersenjata Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Menurut sejarawan Frederik Willems sebagaimana dikutip dari tulisannya di harian De Volkskrant , 6 Agustus 2012, memastikan pemerintah Belanda di Den Haag mengetahui aksi pelarian Westerling itu. Pada 22 Februari 1950, marinir Belanda menyelamatkan Westerling dari kejaran tentara Indonesia dengan menggunakan pesawat albatros Catalina dan langsung diterbangkan ke Malaya (kini Singapura). Sebelum kabur, Westerling sempat menjalankan aksinya di Bandung pada Senin pagi, 23 Januari 1950. Bersama 523 serdadu APRA yang dibentuknya, Westerling melucuti polisi yang sedang berjaga di Pos polisi Cimindi, Cibereum dan Pabrik Mecaf, pabrik barang alumunium yang didirikan pada 1946. Setelah itu pasukan yang sebagian besar terdiri dari mantan serdadu komando Belanda itu (KL, Koninklijke Leger ) konvoi memasuki kota Bandung. Menurut laporan kantor berita Antara , 25 Januari 1950, sejumlah truk tentara beriringan masuk ke Bandung. Pada awalnya warga Bandung tak begitu bereaksi terhadap kedatangan mereka sampai kemudian pasukan Westerling melepaskan tembakan membabibuta begitu memasuki jalan Braga. Serdadu APRA melanjutkan aksinya, membunuh setiap anggota TNI yang kebetulan melintas di depan mereka. Serangan tersebut mengakibatkan 79 anggota TNI tewas. Mayat-mayat bergelimpangan di beberapa sudut kota Bandung. Selesai dengan aksinya di Bandung, Westerling bergegas ke Jakarta untuk menemui Sultan Hamid Alkadrie II. Rencananya, Westerling akan menyerang pemimpin RIS yang sedang bersidang untuk kemudian mengambil kekuasaan. Namun rencana itu keburu ketahuan oleh Bung Hatta dan digagalkan oleh TNI. Kegagalan tersebut menimbulkan kepanikan, bukan hanya bagi Westerling namun juga bagi perwakilan pemerintah Belanda yang berdasarkan keputusan Konferensi Meja Bundar Desember 1949 menjadi pihak yang sama-sama harus menjaga keamanan dan ketertiban di Indonesia. Menurut sejarawan Frederik Willems, Belanda tak ingin Westerling jatuh ke tangan tentara Indonesia dan mengganggu hubungan kedua negara. Maka jalan satu-satunya adalah melarikan Westerling keluar Indonesia secepatnya tanpa diketahui pihak TNI. Setelah sempat ditahan selama beberapa waktu di Malaya, Westerling terbang menuju Amsterdam, Belanda melalui jalur Kairo dan London. Namun di London, petugas menutup akses masuk kepadanya. Tak kehabisan akal, dia terbang menuju Brussels, Belgia. Setibanya di Belgia pada 23 Agustus 1950, sebagaimana dikutip dari harian Montreal Gazette terbitan Kanada, 25 Agustus 1950, otoritas Belgia langsung menangkapnya. Setelah sempat dibebaskan oleh pihak otoritas Belgia, Westerling tak langsung pulang ke Belanda untuk menghindari kontroversi. Di Brussels, dia menyewa sebuah Guest House di Rue de la Concorde No. 59. Di tempat itulah dia menulis memoarnya, Mijn Memoires yang terbit pada 1952, yang sebagian besar berisi tentang pembelaan dirinya. Raymond Piere Westerling lahir di Istanbul, Turki 31 Agustus 1919 dari pasangan Sophia Moutzou dan Paul Westerling. Bergabung dengan pasukan khusus Belanda, Koninklijke Speciaale Troepen (KST) menjelang akhir Perang Dunia Kedua. Mendapat penugasan pertama penerjunan di Medan bersama tentara sekutu Inggris pada Oktober 1945. Setahun kemudian dia bertugas di Sulawesi Selatan, di mana dia menjalankan aksi teror brutalnya terhadap para gerilyawan republiken dan juga warga biasa. Setelah perundingan Indonesia-Belanda dalam Konferensi Meja Bundar disepakati dan penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949, Westerling tetap bebas tanpa pernah melalui pengadilan atas apa yang pernah dilakukannya. Sampai kemudian dia beraksi di Bandung dan Jakarta pada Januari 1950.
- Spanyol 1936
PADA sebuah barak Lenin di Barcelona, sehari sebelum bergabung dengan milisi antifasis, George Orwell terpukau pada penampilan seorang laskar muda asal Italia. Pria itu, kata Orwell, berusia sekitar 25 atau 26 tahun, berdiri tepat di hadapannya dengan sorot mata tajam, memperhatikan sebuah peta terhampar di atas meja dengan kening berkerut kebingungan. “Ada sesuatu di wajahnya yang membuatku tersentuh. Itulah wajah seorang lelaki yang rela berjibaku membunuh dan tak memedulikan hidupnya demi seorang kawan,” tulis Orwell dalam memoarnya yang masyhur Homage to Catalonia . Setelah saling bertegur sapa sejenak, mereka berjabat tangan erat dan bergegas meninggalkan ruangan. “Aneh, seperti ada perasan akrab yang Anda rasakan kepada seseorang yang baru dikenal,” kenang Orwell melukiskan suasana solidaritas persahabatan sesama kaum kiri saat itu. Itu adalah pertemuan pertama sekaligus terakhir kalinya bagi Orwell, namun seragam lusuh dan wajah garang laskar Italia itu tak pernah lekang dari ingatannya. Semua bayangannya melekat erat pada kenangan tentang perang sipil di Spanyol: kibaran bendera merah di Barcelona, kereta reyot yang dijejali laskar lusuh yang merayap menuju garis pertempuran terdepan dan parit-parit pertahanan di gunung yang dingin berlumpur. Semua terjadi pada akhir Desember 1936. Saat kaum anarkis masih menguasai Catalonia. Sementara itu tembok-tembok di kota Barcelona dipenuhi grafiti palu-arit dan semua gedung dikuasai oleh kelas pekerja. Setiap toko dan cafe dinyatakan milik bersama; dikelola secara kolektif. Para pelayan dan penjaga toko tak lagi merunduk di depan pembeli, mereka melayani semua tanpa ada beda: sama rasa sama rata. Memoar tentang perang sipil Spanyolkarya George Orwell dicetak kembali tahun ini. Mungkin ini memoar yang paling memikat untuk dibaca: pengalaman seorang wartawan-cum-sosialis juga sastrawan terkemuka, di tengah pusaran perang sipil di Spanyol pada 1936-1939. Perang sipil yang dipicu kudeta Jenderal Franco itu mengundang solidaritas gerakan kiri sedunia. Mereka berlomba-lomba datang ke Spanyol, bergabung dengan gerakan kiri di sana untuk melawan rezim fasis itu. Dari Amerika Serikat datang sekelompok anak muda yang tergabung dalam Abraham Lincoln Brigade, tak terhitung banyaknya laskar dari daratan Eropa yang juga bergabung. Seorang Indonesia-Tionghoa, bernama Tio Oen Bik juga ambil bagian sebagai milisi anti serangan udara. Kelak usai perang dunia kedua, Tio pulang ke Indonesia, mengabdikan dirinya sebagai dokter yang tak pernah memungut bayaran dari pasien miskinnya. Tak kurang Pam Sneevliet, anak kedua Henk Sneevliet, pun terpikat untuk bergerak menuju Barcelona. Namun rencana untuk jadi bagian dari kisah heroisme itu pupus ketika ayahnya melarang dia pergi. Pam pun bunuh diri, tak kuasa menanggung rasa kecewa. Henk sendiri menyatakan dukungannya kepada Partido Obrero de Unificación Marxista (POUM, Partai Buruh Marxis Bersatu) sekaligus menyatakan sokongannya kepada Milícies Antifeixistes de Catalunya (Milisi Antifasis Catalonia) untuk memerangi fasisme. Perang sipil di Spanyol menyisakan banyak cerita tentang aksi kepahlawanan kaum kiri dari berbagai mazhabnya. Mereka melawan musuh yang sama: fasisme. Namun tak lama berselang, perbedaan di kalangan mereka bersimaharajalela. Tak semua iklas taklid kepada Stalin yang bernafsu mengendalikan Spanyol dari Moskow. Cengkeraman Stalin di sisi kiri terlalu banyak mendatangkan ketakutan, sementara ancaman Franco di sisi kanan pula sama mencemaskannya. Dan drama epik perjuangan kaum kiri Spanyol pun tuntas hanya dalam empat tahun masa pertempuran dengan kemenangan Franco di akhir episode. Kendati semangat tak pernah tumpas, realita politik berbicara lain. Perang itu menghasilkan banyak bentuk kekecewaan: Orwell menjadi seorang yang meragukan semua hal. Usai memerangi fasisme, dia mengkritik totalitarianisme ala Stalin dalam novelnya Animal Farm . Mungkin Orwell benar: dia tak lagi percaya bahwa kehidupan politik bisa jadi acuan. Setelah perang usai, dia juga tak pernah lagi berusaha untuk menempatkan hatinya di sebelah kanan atau kiri. Dan semenjak itu pula, Orwell hanya tertarik mengatakan kebenaran tanpa berpura-pura mewakili apapun kecuali sebagai manusia.*
- Elizabeth Ida dan Gambar yang Bicara
GAMBAR beringin, mozaik orang baris-berbaris, lelaki berpeci dengan mata menyalang, monumen Lubang Buaya, yang terbingkai dalam satu poster foto, menyambut pengunjung di ruang pamer Kedai Tempo, Jalan Utan Kayu 68 H-Jakarta. Poster foto itu tidak sendiri, masih ada empat instalasi video dan sepuluh karya fotografi di sana, yang tersaji dalam pameran tunggal Elizabeth Ida Mulyani dengan tajuk "De/Re Konstruksi 1965, Sejarah Siapakah?" yang dikuratori oleh Joachim Naudts. Pada sudut ruangan, terpampang 24 potongan foto seukuran kartu pos dari film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer, mulai dari penjemputan jenderal, tentara yang menembak, hingga ekspresi pada jenderal yang akan dieksekusi. “Bagian itu saya sebut sebagai aspek konstruksi. Memang saja sajikan film tersebut menjadi potongan gambar. Dengan membekukan film menjadi gambar, maka akan terlihat propaganda kebohongan di sana. Ada momentum kita menyadari sesuatu dalam gambar beku semacam ini. Konstruksi ini bisa kita andaikan kita dalam satu rumah, dan kita harus mengikuti apa yang ada dalam rumah itu,” ujar Elizabeth Ida. Lalu persis di bawah potongan foto diletakkan dua buku berjudul Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia , yang ditulis oleh Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh, dan buku Kewaspadaan Nasional dan Bahaya Laten Komunis karya Alex Dinuth. Kemudian, terdapat dua video wawancara dengan beberapa eksil yang tinggal di Amsterdam, Belanda. Selain dua video wawancara ini, Elizabeth juga menyajikan delapan foto dari ekspresi para eksil. Ida mengaku, baru mengenal para eksil itu pada tahun 2012, atas perantraan temannya yang ada Amsterdam. Ia pun tersadar, bahwa ada kisah lain tentang seputar peristiwa 1965. Berangkat dari kesadaran ini, ia pun membuat janji bertemu dengan para eksil dan membuat dokumentasi dalam bentuk foto dan video. Dan tantangan saat menggarap dokumentasi wawancara itu, tak semua eksil bersedia ia dokumentasikan. “Di sinilah dekonstruksi itu. Ada rumah baru dalam memahami persoalan tersebut. Ada eksil yang bercerita. Ada ekspresi mereka. Dan nanti akan muncul kesadaran, oooh ternyata kita selama ini dibohongi,” terang Ida kemudian. Dekontruksi tersebut, lanjut Ida, merupakan proses menggugat konstruksi sejarah yang sudah sedemikian mengakar kuat, dengan jalan melihat sejarah dari sisi lain, yang dikelamkan sejak peristiwa 1965 meletus, bahkan hingga hari ini. Aspek dekonstruksi dalam pameran ini ditampilkan Ida dalam materi karya berjudul ‘Supervivere’. Selanjutnya, pada aspek rekonstruksi, Ida menyajikan dua karya, yaitu berjudul ‘Indonesia Sejak Saat Itu’ dan instalasi video berjudul ′Bunuh′. Rekontruksi merupakan visualisasi pemahaman yang dihasilkan dari ruang pikiran sebelumnya sekaligus merupakan proses pemerdekaan dari konstruksi yang dipaksakan sebelumnya. Pada pameran itu, Ida ingin membuat ruang narasi alternatif. Sebab, menurutnya, banyak narasi utama yang ada saat ini yang ternyata tidak benar. Namun, ia juga enggan terjebak dengan membuat karya seni yang berisi kontra propaganda. “Yang hendak dilakukan Ida dalam pameran ini adalah dekonstruksi adalah susunan simbol. Dan, tidak hanya dekonstruksi, melainkan juga detraumatisasi yang dialami para penyintas,” ujar Ito Prajna Nugroho, pembicara diskusi dalam rangkaian pembukaan pameran, sore itu (20/02). Media visual artistik dalam karya-karya Ida, lanjut Ito, seperti menerangi ruang gelap politik yang sulit diterobos. Mengenai proyeksi kedepan, Ida mencoba akan menambah kekayaan eksplorasi karya seninya dengan mennggandeng sejarawan dan antropolog, serta menggunakan beragam media seni macam komik hingga atraksi kesenian.*
- Hari Ini Adalah Hari Kematian Tan Malaka
PADA 21 Februari 1949 Tan Malaka dieksekusi mati oleh pasukan dari Batalyon Sikatan, Divisi Brawijaya di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur. Perintah itu datang dari Letda. Soekotjo, yang menurut sejarawan Harry Poeze, “Orang kanan sekali yang beropini bahwa Tan Malaka harus dihabisi.” Pengujung kisah hidup Tan Malaka dimulai ketika dia dibebaskan dari penjara di Magelang, 16 September 1948. Sekeluarnya dari penjara, dia mencoba kembali mengumpulkan pendukungnya dan menggagas pendirian partai Murba pada 7 November 1948. Partai ini berasaskan “antifasisme, antiimperialisme dan antikapitalisme”. Namun Tan enggan memimpin Partai Murba. “Dia tidak mau jadi ketua. Mungkin dia harap jadi Presiden RI dan selalu tidak senang dengan politik diplomasi,” kata sejarawan Harry A. Poeze dalam bukunya, Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi IndonesiaJilid 4 . Buku ini mengisahkan babakan terakhir perjalanan hidup Tan Malaka, sejak September 1948 sampai Desember 1949. Usai kongres pendirian Partai Murba, Tan mesti menentukan pilihan tentang hari depan pergerakannya. Meski Yogyakarta strategis (saat itu sebagai ibukota Republik Indonesia), dia merasa tidak aman di kota itu. “Dikhawatirkan akan terjadi pendudukan Belanda, dan bahaya penangkapan oleh pemerintah,” tulis Poeze. “Dia juga ingin menjajaki alam pikiran rakyat.” Ada dua rencana perjalanan yang hendak ditempuh: Jawa Barat dan Jawa Timur. Kemungkinan ke barat (Banten) pupus mengingat Darul Islam sangat aktif di sana dan membenci kaum komunis, terlebih Banten terisolasi dari pusat Republik. Pilihan Tan jatuh ke Jawa Timur. Selain menjadi medan subur bagi pengikut gerakan kiri, sebagaimana yang dia asumsikan dalam Naar de Republiek Indonesia, “di sanalah pukulan yang menentukan akan diselesaikan.” Pada 12 November 1948, Tan berangkat ke Kediri, mengingat tawaran bantuan dari komandan batalion Sabarudin, dan jaminan keamanan serta perasaan simpati dari komandan divisi Soengkono dan stafnya. Dimulailah jalan gerilya di Jawa Timur. Tan berkesempatan bertemu dengan para prajurit TNI dan pimpinan politik. Jika senggang, tulis Poeze, “dia berjalan-jalan untuk melihat-lihat dan mencaritahu tentang keadaan penduduk kampung yang miskin dan keinginan-keinginan mereka.” Dalam setiap pertemuan maupun pamflet yang dia tulis selama di Jawa Timur, Tan Malaka menuangkan gagasannya akan cita-cita negara sosialis. Dia menjelaskan ide-idenya dalam Gerpolek ( Gerilya, Politik, Ekonomi ) ke tengah-tengah kalangan militer dan mendapat sambutan hangat. Dia pun rutin mengecam politik diplomasi yang dijalankan oleh Sukarno-Hatta yang dia sebut “telah menyia-nyiakan hak-hak mereka sebagai pemimpin.” Dalam ‘Program Mendesak’, dia bahkan menyebut dirinya sebagai pemimpin Revolusi Indonesia. Sebagai contoh kesuksesan propaganda Tan Malaka, sebanyak 17-19 batalion bergabung dalam Gabungan Pembela Proklamasi (GPP) untuk menghadapi serangan Belanda bilamana sewaktu-waktu datang. GPP mesti bertindak sesuai petunjuk Gerpolek . Propaganda Tan Malaka yang anti politik diplomasi Sukarno-Hatta dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah. Gerakannya mesti ditumpas. Tan bersama GPP berpindah-pindah markas dan akhirnya melarikan diri ke arah selatan Jawa Timur. Dalam gerilya menyusuri lereng Gunung Wilis, di Selopanggung, Kediri, Tan Malaka ditangkap oleh Letnan Dua Sukoco dari Batalion Sikatan Divisi Brawijaya. Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka dieksekusi mati oleh Suradi Tekebek, orang yang diberi tugas Sukotjo. Kematiannya tanpa dibikin laporan maupun pemeriksaan lebih lanjut. Dia dimakamkan di tengah hutan dekat markas Soekotjo. “Kematiannya dirahasiakan bertahun-tahun,” ucap Poeze. Setelah sejarawan asal Belanda itu berhasil menemukan makam Tan Malaka, untuk membuktikan apakah jasad yang dimakamkan di Selopanggung itu Tan Malaka, sekelompok dokter ahli forensik dari Universitas Indonesia telah mengambil sampel DNA dari keluarga Tan Malaka untuk dicocokan dengan DNA jasad yang ada di makam. Namun, hingga hari ini hasilnya belum bisa dipastikan cocok 100 persen. Namun, Harry Poeze, berdasarkan data-data yang dia peroleh, meyakini jasad di kuburan Selopanggung itu adalah Tan Malaka. Dia berharap jenazah Tan Malaka bisa dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata sebagai wujud penghormatan kepada Tan Malaka.*
- Mantra Sakti Sang Dalang Wayang
WAYANG, bagi orang Jawa, merupakan pertunjukan sakral. Maka, dalam setiap pertunjukannya, harus lancar tanpa halangan. Kelancaran pertunjukan, tentu saja melibatkan dalang sebagai empunya pagelaran. “Pertunjukan wayang kulit yang sesungguhnya adalah pertunjukan bayangan, Sang Dalang adalah personifikasi atau bayangan Tuhan itu sendiri, karena ‘Dia’ lah yang menggerakan kehidupan atau ‘cerita’ kehidupan ini,” kata Prapto Yuwono, pengajar Sastra Jawa Universitas Indonesia. Seorang dalang tidak hanya mempersiapkan hal yang kasat mata, namun juga waspada terhadap gangguan yang tak kasat mata. Gangguan atau bahaya ini, tulis W. H. Rassers dalam Over den zin van Het Javaansche Drama (Makna dari Lakon Wayang Jawa), misalnya rubuhnya panggung wayang dan menimpa dalang. Dan untuk menangkal gangguan tak kasat mata, dalang memiliki mantra khusus. Pengucapan mantra ini, dilakukan selama masa persiapan hingga saat pertunjukan akan dimulai. Setidaknya, ia perlu mendaras lima macam mantra. “Aum awignam astu sing lelembut pedhanyangan sira ing kang kekiter kang semara bumi bujang babo kabuyutan. Allah rewang-rewangana aku, katekana sasedyaku, katurutana sakarepku. Umat lanang umat wadon, andhedulu marang aku, teka demen teka asih, asih saking kersane Allah, ya hu Allah, ya hu Allah, ya hu Allah,” tulis Ki Slamet Sutrisno dalam ‘Pedhalangan Jangkep’ seperti dikutip dari Wayang Cina-Jawa di Yogyakarta karya B. Sularto dan S. Ilmi Albiladiyah. Dalam mantra pertama, dalang menyapa lelembut atau dhanyang yang ada disekitarnya. Menyapa dhanyang atau lelembut ini penting, sebab, tulis Frans Magniz Suseno dalam Etika Jawa , alam asli atau alam kasar bagi orang Jawa adalah buas, angker, penuh dengan roh tidak dikenal. Dari situ, si dalang berjalan menuju rumah penanggap wayang. Sesampai dipanggung, ketika duduk didepan layar, ia mengucap mantra kedua. Kali ini, mantranya ditujukan kepada penonton yang sudah bersiap, supaya tenang dan tak beranjak dari tempatnya hingga pagelaran usai. Mantra ketiga dan keempat diucapkan bersusulan, yaitu ketia ia membetulkan blencong –lampu minyak penerang layar- dan saat ia memukul kotak wayang pertama kali. Gending berbunyi. Dalang mengangkat gunungan ditengah layar, kemudian perlahan diturunkan kembali. Cempurit (pegangan kayu) diletakkan di pangkuan, lalu ujung gunungan ditaruh dipinggir kotak sambil dipijit-pijit. Saat memijit gunungan itu, tulis Darmoko dalam laporan penelitian berjudul Unsur Mantra Dalam Lakon Wayang Kulit Purwa , dalang mengucap mantra pamungkas. “Mumangungkung awakku kadya gunung, kul kul dhingkul, rep rep sirep, wong sabuwana teka kedhep, teka lerep, teka welas teka asih, asih saking kersane Allah,” seperti dikutip dalam Wayang Cina-Jawa di Yogyakarta . Pagelaran pun dimulai. Mantra dalam wayang kulit berupa struktur kata-kata dengan mencampurkan beberapa bahasa. Percampuran bahasa tersebut biasanya berisi bahasa Sansekerta, Jawa Kuna dan Jawa Baru. Disini, pengulangan kata atau larik, catat Abdul Rozak Zaidan dalam Kamus Istilah Sastra , termasuk ciri mantra yang paling menonjol. Mantra atau doa, catat Darmoko dalam laporan penelitiannya, yang diucapkan sejak awal pertunjukan dapat menimbulkan kekuatan batin bagi dalang. “Oleh karena itu dengan berdoa yang ditujukan tentunya pasti kepada Sang Hyang Tunggal/Sang Hyang Tan Ana akan selamat kepada tujuannya yaitu menyampaikan makna atau amanat kemenangan kubu kebaikan melawan keburukan,” tulis Prapto Yuwono dalam surelnya kepada Historia . Kekuatan batin itu menjadi bekal bagi dalang untuk menuntaskan pagelaran semalam suntuk, yang dimulai sekira pukul 21.00 sampai 05.00, dan jangan sampai pertunjukannya molor hingga fajar ( karahinan ) atau selesai sebelum waktunya ( kebogelen ).
- Preman Medan dari Zaman ke Zaman
BEBERAPA waktu lalu, kota Medan terasa mencekam. Di kota penghasil penganan Bika Ambon itu, dua organisasi pemuda tersohor terlibat bentrok: Pemuda Pancasila (PP) versus Ikatan Pemuda Karya (IPK). Aksi anarkis berdarah pecah di Jalan Thamrin, 31 Januari 2016, yang menjadi kawasan pertokoan orang-orang Tionghoa. Seorang ketua ranting IPK tewas dikeroyok dan ditombak anggota PP. Bentrokan meluas ke sejumlah kawasan dalam kota. Pasca tragedi itu, status kota Medan siaga satu. Di Medan, sudah menjadi rahasia publik jika dua organisasi ini merupakan perkumpulan para preman. Preman. Kata itu begitu identik dengan kota Medan. Reputasi preman telah bermula sejak zaman kolonial Belanda di awal abad 20. Mereka adalah kuli non-kontrak atau tenaga lepas yang dibayar harian. Tuan-tuan kebun Belanda ( Planters ) yang menjadi penguasa tanah Deli menyebutnya “ Vrije Man” yang berarti orang bebas. Meski dipekerjakan, para Vrije Man acap kali menjadi gangguan bagi tuan kebun Belanda dalam menjalankan usahanya. Menurut Kompas , 30 November 1986, Vrije Man muncul sebagai pembela kuli kontrak asal Jawa, Tionghoa, dan India yang disiksa mandor kebun atas perintah tuan kebun. Beraneka keresahan ditebarkan oleh Vrije Man . Merusak tanaman kebun, minum-minum sampai mabuk dan memancing keributan, hingga menantang berkelahi merupakan cara Vrije Man unjuk taji terhadap penguasa kebun. Sebagai tanda balas jasa, para Vrije Man digratiskan untuk mengambil makanan dan minuman di warung. Dari konteks inilah istilah Vrije Man berubah menjadi “preman”. “Ia menjadi akronim untuk ‘pre minum dan makan’. Pre disingkat dari prei yang asalnya dari vrije . Bebas minum dan makan,” tulis Kompas . Di masa mempertahankan kemerdekaan, preman turut serta dalam perjuangan revolusi. Peristiwa Jalan Bali pada Oktober 1945 menjadi salah satu medan juang preman Medan melawan penjajah. Di masa ini, kelompok preman pejuang yang paling terkenal adalah Laskar Naga Terbang pimpinan Timur Pane. “Anggota-anggota dari pasukan Naga Terbang ini kebanyakan dari anak-anak Medan, yang mulanya berasal dari jagoan-jagoan kota Medan yang dibina oleh Matheus Sihombing,” tulis Forum Komunikasi Ex Sub Teritorium VII Komando Sumatera dalam Perjuangan Rakyat Semesta Sumatera Utara . Memasuki tahun 1950-an, eksistensi preman masih cukup diterima di tengah masyarakat. Wali Kota Medan, Haji Moeda Siregar (menjabat 1954-1958) bahkan pernah memberikan penghargaan kepada preman. Saat itu, preman Medan berperan mendamaikan perkelahian antarsuku yang terjadi antara pemuda Aceh dengan pemuda Batak. Preman juga membantu menindaklanjuti pengaduan masyarakat yang mengalami pencurian atau perampokan. Preman akan mencari pimpinan copet dan rampok setempat agar barang-barang yang dicuri lantas dikembalikan kepada pengadu. Pada masa pemerintahan Sukarno, preman terhimpun ke dalam organisasi pemuda bernama Pemuda Pancasila. Pemuda Pancasila didirikan sebagai organisasi sayap Partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) yang dibentuk Jenderal Abdul Haris Nasution pada 28 Oktober 1959. Pemuda Pancasila secara formal diresmikan dalam kongres IPKI tahun 1961. “Pemuda Pancasila dihadirkan untuk mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 ketika banyak kelompok pemuda saat itu beralih mendukung Nasakom,” tulis Loren Ryter, “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Suharto′s Order” dalam Violence and The State in Suharto′s Indonesia suntingan Ben Anderson. “Ketika Presiden Sukarno menyerukan mobilisasi umum untuk pembebasan Irian Barat, Pemuda Pancasila mendukungnya dengan mempersiapkan diri bertempur sebagai milisi,” tulis Ryter. Mereka tergabung ke dalam front Pasukan Djibaku Irian Barat (PDIB). Effendi Nasution alias Pendi “Keling”, adalah preman legendaris dan mantan petinju yang dikenal sebagai pemimpin Pemuda Pancasila kota Medan. Menurut Pendi Keling, mencuri, merampok, dan tindak kejahatan lainnya haram bagi preman. “Banyak cara terhormat, yang penting preman itu bukan bandit. Misalnya, menjaga keamanan bandar dan arena perjudian, menjadi pengawal pengusaha kaya, menjaga pusat-pusat keramaian dan bioskop. Dan sesekali mendapat order memukuli jagoan pengusaha lain,” kata Pendi Keling menjelaskan cara preman menghidupi diri, dikutip Kompas . Pada nyatanya, prahara 1965 menandai penyalahgunaan kekuasaan dan kekuatan yang dilakukan oleh preman. Di Sumatera Utara, oknum preman dalam Pemuda Pancasila menjadi pelaku penjagalan kaum komunis. Mereka membersihkan orang-orang yang berafiliasi dengan PKI sampai ke akar-akarnya. “Semua sayap PKI menjadi target mereka: Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia (BTI), dan lembaga masyarakat Tionghoa (Baperki),” tulis Ryter. Seiring waktu, di Medan makin banyak preman yang tergabung dalam perkumpulan berbasis organisasi kelompok pemuda. Aktivitasnya pun kian rapat dengan dunia kriminal. Pertarungan dan bentrokan antarorganisasi pemuda kerap kali terjadi. Mulai dari masalah sepele hingga rebutan lahan keamanan bisa memicu kerusuhan anarkis. Dari pertikaian antarpreman yang banyak terjadi, tak pelak, masyarakat sipillah yang paling dibuat resah. Pada paruh kedua tahun 1980, premanisme menjadi satu dari 53 jenis kejahatan yang setiap 24 jam harus dilaporkan Polda Sumatera Utara ke Mabes Polri.*
- Tsunami Dahsyat Menerjang Ambon
Hari ini dalam sejarah, 17 Februari 1674, gempa bumi mengguncang Ambon dan sekitarnya, disusul tsunami dari Laut Banda. Ia menjadi gempa dan tsunami tertua di Indonesia yang tercatat dengan detail oleh seorang naturalis, Georg Everhard Rumphius (1627-1702), pada 1765. Selama hampir 50 tahun Rumphius tinggal di Ambon, di mana dia menikmati pekerjaannya sekaligus tragedi karena bencana alam itu. “Tanggal 17 Februari 1674, Sabtu malam, sekitar 07:30, di bawah bulan yang indah dan cuaca tenang, seluruh provinsi kami –yaitu Leytimor, Hitu, Nusatelo, Seram, Buro, Manipa, Amblau, Kelang, Bonoa, Honimoa, Nusalaut, Oma dan tempat-tempat lain yang berdekatan, meskipun terutama dua yang pertama disebutkan– menjadi sasaran guncangan mengerikan yang diyakini kebanyakan orang bahwa Hari Penghakiman telah datang,” tulis Rumphius dalam Amboina . Hari itu, suasananya tengah meriah karena orang mengikuti perayaan Tahun Baru Tionghoa. Gempa mengakibatkan 75 bangunan milik orang Tionghoa, ambruk. Korban jiwa mencapai 79 orang, termasuk istri dan anak perempuan Rumphius, janda sekretaris Johannes Bastinck, serta empat orang Eropa. Sedangkan 35 orang luka serius di lengan, kaki, dan kepala. Gempa kemudian disusul oleh tsunami dahsyat di Laut Banda. Ini adalah megatsunami yang sampai sekarang belum ada tandingannya di Indonesia karena tinggi gelombang mencapai 80 meter. “Tsunami ini menyapu hampir seluruh pulau dan menyebabkan lebih dari 2.000 orang meninggal,” kata Edward A. Bryant, peneliti dari Universitas Wollongong, Australia, dikutip Gatra , 5 Juli 2006. “Semua orang berlari ke tempat lebih tinggi untuk menyelamatkan diri, di mana mereka bertemu dengan Gubernur. Dia memimpin doa di bawah langit yang cerah sambil mendengarkan bunyi ledakan seperti meriam di kejauhan, terutama terdengar dari utara dan barat laut,” tulis Rumphius. Rumphius mencatat korban akibat tsunami mencapai 2.243, termasuk 31 orang Eropa. Dalam bencana alam ini ada keajaiban. Tiga hari pasca gempa seorang bayi Tionghoa berumur sebulan ditemukan masih hidup di bawah reruntuhan. Dia dipelukan ibunya yang mati.
- Sesaji Sebelum Candi Berdiri
CANDI merupakan banggunan penting bagi masyarakat Hindu Budha di Nusantara. Ia menjadi tempat pemujaan para dewa. Dalam membangun bangunan suci itu ada benda-benda yang ditanam yang disebut peripih . “Ada yang disebut dengan peripih . Itu sesuatu yang ditanam. Sampai masa yang lebih modern di Jawa dan di Bali ada kebiasaan menanam ( pendeman ) untuk bangunan suci. Ini cara untuk menarik energi alam semesta yang positif,” jelas arkeolog Universitas Gadjah Mada, Djaliati Sri Nugrahani kepada Historia . Djaliati menjelaskan bahwa peripih adalah benda-benda yang diletakkan dalam satu wadah. Wadah ini yang kemudian akan ditanam oleh para pembangun candi di tempat-tempat tertentu di dalam candi. “Jangan salah kaprah, peripih itu isinya, bukan kotak atau wadahnya, wadahnya namanya kotak peripih ,” tegasnya. “Bendanya bermacam-macam, ada yang disebut nawaratna atau sembilan permata, ini mewakili delapan dewa di penjuru mata angin, lalu ada pula yang diisi biji-bijian. Kalau di Bali kan ada misalnya yang memendam kepala kerbau.” Menurutnya, pemilihan benda itu tergantung dari tujuan pembangunan candi. Misalnya, untuk candi yang diperuntukkan memuja kesuburan, maka peripih akan berwujud biji-bijian. Sementara yang berupa nawaratna biasanya khusus untuk pemujaan dewa. Lebih lanjut, berdasarkan letaknya, bervariasi. Paling umum ditemukan di sumuran candi berupa rongga memanjang seperti sumur, di bawah arca perwujudan, dalam bilik candi. “Tidak bisa digeneralisir, bisa juga di pinggir-pinggir pintu masuk, atau di bawah kemuncak,” papar dosen yang biasa dipanggil Nia itu. Sementara, R. Soekmono dalam disertasinya, Candi, Fungsi, dan Pengertiannya menulis, peripih diartikan sebagai wadah zat inti kedewaan dari Sang Dewa. Peripih bisa ditemukan baik pada candi Hindu maupun candi Budha. “ Peripih adalah wahana kehadiran dewa. Ia dianggap lebih penting dari arca yang hanya representasi dari bentuk luar sang dewa,” tulisnya. Soekmono juga melengkapi pembahasannya soal abu yang sering ditemukan sebagai pendaman di dasar candi. Menurutnya ini yang sering mengecoh masyarakat, bahwa candi adalah makam. Kenyataannya, abu itu bukan abu manusia (raja), tetapi abu binatang yang dijadikan korban. “ Peripih memberi hidup pada candi, memberi benih agar garbhagrha (bilik candi, red ) mempunyai kekuatan dan esensi dewa yang dipuja dan yang arcanya ada di garbhagrha itu,” tulis Edi Sedyawati dalam Candi Indonesia: Seri Jawa .





















