top of page

Hasil pencarian

9589 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Inilah 8 Perempuan Gebetan Penyair Chairil Anwar

    Chairil Anwar, penyair besar yang eksentrik dan diakui sebagai pembaru puisi Indonesia. Selama hidupnya yang relatif muda, dia menghasilkan 70 puisi asli, 4 puisi saduran, 10 puisi terjemahan, 6 prosa asli, dan 4 prosa terjemahan. Beberapa puisinya dibuat untuk perempuan-perempuan yang mengisi hatinya. Kendati penampilannya urakan, namun Chairil dikenal sebagai pemuda yang banyak penggemarnya terutama di kalangan gadis-gadis. Dia digemari karena rupanya bagus, kulitnya putih dan wajahnya menyerupai Indo. Chairil juga dikenal “pintar” memikat gadis-gadis karena dia mudah berkenalan dengan siapa saja, lelaki maupun perempuan. Chairil pernah tertarik pada beberapa perempuan. “Di antara gadis yang pernah menarik perhatian Chairil ialah Karinah Moorjono, Dien Tamaela, Gadis Rasid, Sri Arjati, Ida, dan Sumirat,” tulis Pamusuk Eneste dalam Mengenal Chairil Anwar . Itulah sebabnya, nama-nama gadis itu diabadikan dalam sejumlah sajak Chairil. Paling sedikit, nama-nama gadis itu disebut dengan tiga cara: disebut dalam baris-baris sajak (Ida); dijadikan judul sajak (Sumirat, Dien Tamaela, Gadis Rasid, dan Tuti); dan dijadikan sebagai sajak persembahan (Sumirat, Sri Ajati, dan Karinah Moordjono). Berikut ini kisah para perempuan tersebut. Ida Nasution Perempuan pertama yang disebut Chairil dalam sajaknya, “Ajakan” (Februari 1943) adalah Ida. Dia kembali disebut dalam sajak “Bercerai” (7 Juni 1943), “Merdeka” (14 Juli 1943), dan “Selama Bulan Menyinari Dadanya” (1948). Chairil juga menyebut berkali-kali nama Ida dalam “Pidato Chairil Anwar 1943” yang diucapkan kepada Angkatan Baru Pusat Kebudayaan, 7 Juli 1948. Ida Nasution lahir tahun 1924. Dia merupakan esais yang cemerlang dan penerjemah yang berbakat. Dia pernah menjadi anggota redaksi majalah berbahasa Belanda, Het Inzicht dan Opbouw. Dia kemudian bersama Chairil mengelola “Gelanggang,” ruang kebudayaan dalam majalah Siasat .  Ida pernah kuliah di Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Dengan kawan-kawannya, dia mendirikan Perhimpunan Mahasiswa Universitas Indonesia pada 20 November 1947. Hidup Ida berakhir tragis, dia hilang dalam perjalanan Bogor-Jakarta pada 1948. Sri Ayati Chairil jatuh hati kepada Sri Ayati, penyiar radio Jepang, Jakarta Hoso Kyokam . Dia membuat dua puisi untuknya: “Hampa –kepada Sri yang selalu sangsi” (Maret 1943) dan “Senja di Pelabuhan Kecil” (1946). Pada 2007, sejarawan dan wartawan senior Alwi Shahab berhasil menemui Sri di usia 88 tahun, dan menuliskan kisahnya, “Bertemu Pujaan Chairil Anwar.” Sri tahu Chairil membuat sajak “Senja di Pelabuhan kecil” untuknya dari almarhumah Mamiek, anak angkat Sutan Sjahrir yang masih saudara sama Chairil. Sri pernah lama ngobrol dengan Chairil di kediamannya, Jalan Kesehatan V, Petojo, Jakarta Pusat. “Saya duduk di korsi rotan dan dia duduk di lantai sebelah kanan saya. Dia bercerita baru saja mengunjungi seorang teman bernama Sri. Sang gadis yang bernama Sri memakai baju daster (kala itu disebut housecoat ). Dia bercerita sambil memegang daster yang saya pakai. Chairil bercerita, daster yang dipakai Sri dari sutera asli. Kebetulan daster yang saya pakai juga dari sutera asli. Kala itu saya tidak tahu siapa yang dimaksud Chairil gadis bernama Sri itu,” kenang Sri, yang juga seniwati dan pernah mengajar di Institut Kesenian Jakarta. “Sri mengaku heran, kenapa Chairil membuat sajak untuknya... Chairil sendiri tidak pernah menyatakan cintanya kepada Sri Ayati,” tulis Alwi Shahab. Dian Tamaela Pada 1946, Chairil menulis puisi “Cerita Buat Dien Tamaela.” Puisi ini dia persembahkan untuk  Dian Tamaela, putri dokter Lodwijk Tamaela dengan Mien Jacomina Pattiradjawane. Mereka pernah menetap di Oosterweg (sekarang Jalan Pahlawan) Mojokerto, Jawa Timur. “Penyair Chairil Anwar ini pernah menaruh hati kepada almarhumah Dien Tamaela, itu berlangsung di masa pendudukan Jepang,” tulis Purnawan Tjondronegoro dalam “Chairil Anwar Meminang Calon Istri Setelah Ketemu di Cilincing.” Dokter Tamaela adalah pejuang kemerdekaan dari organisasi Jong Ambon bersama Alexander Jacob Patty, Johanes Latuharhary, dan lain-lain. Menurut I.O. Nanulaitta, penulis biografi Mr. Johanes Latuharhary , dokter Tamaela mempunyai dua putri, Dien Tamaela dan dokter Deetje Tamaela. “Dien meninggal dalam usia masih remaja. Persahabatannya dengan penyair Chairil Anwar dikenangkan dan diabadikan oleh pemuda itu dalam sajaknya ‘Beta Pattirajawane’,” tulis Nanulaitta. Maksudnya, sajak “Cerita Buat Dien Tamaela” yang menyebut berkali-kali Beta Pattirajawane, ibu Dien yang tidak menyukai Chairil. Untuk mengenang kematian Dien, Chairil mempersembahkan puisi “Cintaku Jauh di Pulau” yang paling disukai anaknya, Evawani Alissa Ch. Anwar. Bait keempat puisi yang ditulis tahun 1946 ini berbunyi: Amboi! Jalan sudah bertahun kutempuh! Perahu yang sama ‘kan merapuh! Mengapa Ajal memanggil dulu/ Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!  Anehnya, sumber keluarga menyebut Dien meninggal tahun 1948. Gadis Rasid Chairil menjadi redaktur ruangan kebudayaan “Gelanggang” di majalah mingguan, Siasat pada 1948. Di sini dia mengenal Gadis Rasid, wartawan Siasat . Chairil menaruh hati pada Gadis dan mempersembahkan puisi untuknya berjudul “Buat Gadis Rasid” pada 1948. “Sajak itu ditulis niscaya setelah Chairil berkenalan dengan Gadis yang tatkala itu juga menjadi wartawan surat kabar Pedoman. Karena perhatiannya yang luas terhadap kesusastraan dan kebudayaan umum, Gadis mengenal elite sastra Indonesia modern pada waktu itu. Tak mengherankan bahwa dia pun kenal baik dengan Chairil,” tulis Ajip Rosidi dalam Mengenang Hidup Orang Lain: Sejumlah Obituari . Gadis berhenti sebagai wartawan Pedoman pada 1950-an karena menikah dengan Henk Rondonuwu. Setelah dikaruniai seorang anak, mereka bercerai. Gadis kemudian bekerja di kantor perwakilan PBB di Jakarta, mengajar di Sekolah Tinggi Publisistik dan Akademi Penerangan, asisten peneliti di Brookings Institute Amerika Serikat, wartawan lepas untuk berbagai media luar negeri, anggota Badan Sensor Film, dan aktif di dunia perbukuan sebagai direksi Penerbit Djambatan dan sekretaris eksekutif IKAPI (Ikatan Penerbit Indonesia). Gadis meninggal tepat pada tanggal kematian Chairil: 28 April 1988.               Tuti Artic Seperti kepada Gadis Rasjid, Chairil juga mempersembahkan sebuah puisi untuk “Tuti Artic” (1947). Menurut Asrul Sani dalam Derai-derai Cemara , pergaulan Chairil di Jakarta dengan anak-anak Indo dan rajin ke pesta. Dia akrab dengan tempat-tempat yang biasa dijadikan tempat mangkal pelajar-pelajar sekolah Belanda MULO, HBS, atau AMS kala itu, seperti misalnya di sebuah toko es krim, Toko Artic, yang berada di Jalan Kramat Raya, yang kemudian kita temui dalam sajaknya “Tuti Artic.” Adikku yang lagi keenakan menjilat es artic; sore ini kau cintaku, kuhias dengan susu + coca cola/ Istriku dalam latihan: kita hentikan jam berdetak/Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa. Hubungan Chairil dan Tuti agaknya sesaat: Aku juga seperti kau, semua lekas berlalu/Aku dan Tuti + Greet + Amoi… hati terlantar/Cinta adalah bahaya yang lekas jadi pudar. Karinah Moordjono Karinah Moordjono adalah putri seorang dokter di Medan pada tahun 1930-an. Chairil mengenalnya ketika masih tinggal di Medan, sebelum pindah ke Jakarta pada 1941. Ketika ditahan polisi Jepang pada 1943, Chairil terkenang pada Karinah, seperti terbaca dalam sajak “Kenangan” (19 April 1943). “Jalinan ‘kenangan’ apa yang terjadi antara Chairil dan Karinah, tentu hanya mereka berdua yang tahu,” tulis Pamusuk Eneste. Sumirat Sumirat adalah perempuan yang paling tertambat dalam hati Chairil. Dalam “Sajak Putih” (18 Februari 1944), Chairil mempersembahkan puisinya itu “buat tunanganku Mirat.” Puisi “Dengan Mirat” (8 Januari 1946) diubah judulnya menjadi “Orang Berdua” dalam kumpulan sajak Deru Campur Debu. Menurut Seno Gumira Ajidarma dalam “Gelora Cinta Chairil Anwar pada Pacarnya Mirat,” Intisari, April 2002, salah satu sajak Chairil terindah adalah “Mirat Muda, Chairil Muda” yang ditulis pada 1949, namun dibubuhi keterangan “di pegunungan 1943.” “Berdasarkan data bahwa Chairil menikah dengan Hapsah Wiriaredja pada 1946, dan mendapat putri Evawani Alissa pada 1947, adalah suatu kenyataan betapa Chairil terkenang-kenang kepada seorang perempuan dari masa lajangnya setelah berkeluarga,” tulis Seno. Chairil bertemu Mirat pada 1943 di Pantai Cilincing Jakarta, tempat piknik masa itu. Mereka berpacaran; menonton film berdua. Ada kesamaan dalam hobi mereka. Mirat suka melukis, dia  belajar di sanggar Sudjojono, Basuki Abdullah, dan Affandi. “Sumirat sangat tertarik kepada kemaun keras Chairil yang tidak mengenal lelah. Pekerjaannya membuat sajak di mana-mana. Kertas-kertas penuh dengan tulisan tangannya,” tulis Purnawan. Chairil sering mampir ke rumah Sumirat di Kebon Sirih Jakarta. Mereka mendiskusikan sajak-sajak Chairil. Sumirat, seorang perempuan yang mencoba menghayati hasil karya Chairil. Ketika Sumirat pulang kampung ke Paron, suatu desa di Madiun, Jawa Timur, Chairil menyusul dan sempat tinggal beberapa hari. Ayah Sumirat, RM Djojosepoetro, memberikan restunya dengan syarat Chairil memiliki pekerjaan tetap. Chairil kembali ke Jakarta untuk tidak kembali lagi. Mereka berpisah. “Chairil pamit dengan uang saku ayah Mirat, karena memang tidak punya uang sepeser pun,” tulis Seno. Dia meninggalkan kopor berisi buku-buku dan berkas tulisan, namun hancur bersama rumah Sumirat ketika Belanda menyerang Madiun. Sumirat kemudian mendengar semua tentang Chairil; bagaimana dia menikah, punya anak, menjadi penyair besar, dan mati muda. Hapsah Wiriaredja Chairil bertemu Hapsah di Karawang, jatuh cinta, lalu menikah pada 6 September 1946. Hapsah lahir di Cicurug, Sukabumi, 11 Mei 1922. Hapsah hampir menikah dengan seorang dokter, tapi Chairil begitu gigih untuk mendapatkannya. Di keluarga, menurut Evawani, anak satu-satunya Chairil-Hapsah, panggilan akrab Chairil adalah Nini. Sedangkan panggilan sayang Chairil kepada Hapsah adalah Gajah, karena badannya gemuk. Chairil pernah mengungkapkan cita-citanya, “Gajah, kalau umurku panjang, aku akan jadi menteri pendidikan dan kebudayaan,”  kata Chairil, seperti dikenang Evawani dalam Chairil Anwar Derai-derai Cemara . Cita-cita Chairil tak tercapai. Dia mati muda di usia 26 tahun 9 bulan pada 28 April 1949, karena sakit paru-paru dan dimakamkan di TPU Karet Bivak Jakarta Pusat. Sedangkan Hapsah, yang bekerja di departemen pendidikan dan kebudayaan sampai pensiun, meninggal di usia 56 tahun pada 9 Mei 1978.

  • Sepuluh Fakta Tentang VOC yang Belum Banyak Diketahui Orang

    Pada 20 Maret 1602 enam perusahaan dagang menggabungkan diri, membentuk Verenigde Oostindie Compagnie (VOC). Tujuan utama penggabungan itu adalah memperkuat armada dagang Belanda menghadapi pesaingnya, Spanyol dan Portugis. Keduanya dianggap merintangi jalan Belanda menguasai jalur perdagangan, khususnya ke kepulauan rempah-rempah di Nusantara. Banyak hal yang belum diketahui publik mengenai bagaimana sebenarnya VOC bekerja dan menjalankan kegiatannya. Perusahaan dagang simbol kolonialisme dan imperialisme itu akhirnya mengalami kebangkrutan pada 1799 akibat korupsi yang kronis. Berikut 10 fakta sejarah di balik VOC yang jarang orang ketahui. 1. Gold dan Glory Tak seperti Portugis dan Spanyol yang mengemban misi gold , glory dan gospel (kekayaan, kejayaan, dan penyebaran agama), VOC hanya berminat pada gold dan glory . VOC mengekang ketat para pendeta protestan yang berjumlah kurang dari seribu pendeta di seluruh wilayah VOC di Asia. Pelayanan rohani mereka dibatasi hanya kepada komunitas Eropa yang kecil dan komunitas-komunitas yang telah dikristenkan oleh Portugis, seperti Ambon, Minahasa, dan Malaka. Dengan memperlihatkan sikap masa bodoh, menurut sejarawan Denys Lombard, para pedagang Belanda sekadar mengikuti kebiasaan para pedagang Asia, yang sejak berabad-abad melakukan perdagangan sama sekali tidak bermaksud menyiarkan agama mereka. “Selain tidak terpikir untuk mengekspor agama mereka,” tulis Lombard, “orang-orang Belanda juga sama sekali tidak berusaha menyebarluaskan bahasa meraka.” 2. Hak Octrooi VOC menjadi “negara dalam negara” karena mendapat hak-hak istimewa ( octrooi ) dari Kerajaan Belanda. Hak-hak tersebut yaitu monopoli perdagangan, memiliki mata uang, mewakili pemerintah Belanda di Asia, mengadakan pemerintahan sendiri, mengadakan perjanjian dengan penguasa-penguasa lokal, menjalankan kekuasaan kehakiman, memungut pajak, memiliki angkatan perang, dan menyatakan perang. 3. Tujuh Belas Kunci Heereen Seventien Menurut sejarawan Mona Lohanda, di dalam ruang sidang Heereen Seventien di Amsterdam, terdapat lemari besar untuk menyimpan seluruh dokumen dan surat-surat VOC. Lemari tersebut hanya bisa dibuka dengan 17 kunci yang dipegang oleh 17 anggota Heereen Seventien . Hal ini memperlihatkan dewan tertinggi sangat menjaga kerahasiaan bisnis dagang VOC. 4. Pegawai VOC Internasional Menurut Denys Lombard, penerimaan pegawai VOC pada kenyataannya bersifat “internasional.” Kompeni menjadi semacam “legiun asing.” Pada 1622, di garnisun Batavia terdapat 143 tentara: 17 orang Vlaams atau Wallon, 60 Jerman, Swiss, Inggris, Skotlandia, Irlandia, atau Denmark; 9 orang tak jelas asal usulnya; dan hanya 57 orang yang betul-betul kelahiran Belanda. Pegawai dari Jerman pada setiap waktu jumlahnya selalu besar. Banyak yang menjadi tentara, tetapi ada juga yang bekerja sebagai tenaga ahli, misalnya ahli bedah atau insinyur pertambangan. 5. Monopoli Ketat VOC VOC melakukan monopoli perdagangan dengan sangat ketat. Ia tidak pernah memberikan kesempatan kepada siapa pun untuk melakukan perdagangan rempah-rempah dan hasil bumi lainnya secara perorangan, baik dengan Eropa maupun negeri-negeri Asia lainnya. Perdagangan gelap hanya dapat dilakukan hanya dengan risiko yang sangat besar. Orang-orang Eropa yang tidak lagi menjadi pegawai VOC (compagniesdienaren) dan menjadi warga bebas (vrijburgers), hanya punya peluang berusaha di sector-sektor yang kurang menguntungkan, seperti pertanian, perdagangan bahan pangan, rumah makan, dan rentenir. Tetapi di sektor ini mereka harus bersaing dengan para pedagang Tionghoa. 6. Pembentukan Kampung Untuk membangun Batavia yang dikuasai sejak 1691, VOC mendatangkan orang-orang dari berbagai daerah di Nusantara. Menurut Parakitri T. Simbolon, selama VOC berkuasa telah menghimpun lebih dari 40 kelompok masyarakat yang berasal dari berbagai wilayah di Nusantara dan dunia. Jumlahnya sekira 128.000 jiwa dan hanya sekira 600 orang Eropa. VOC menyediakan lahan untuk mereka membangun perkampungan berdasarkan latar belakang suku masing-masing. Kampung tertua adalah Kampung Banda hasil migrasi yang dilakukan gubernur jenderal Jan Pieterszoon Coen pada 1621. Hingga kini, jejak kampung-kampung di Batavia dan sekitarnya masih bisa ditemukan sesuai nama etnisnya: Kampung Melayu, Kampung Bali, dan Kampung Ambon, dan lain-lain. 7. Larangan Membawa Wanita Meski Hindia dikenal sebagai sorga, kebijakan VOC yang keras nyaris tak mengizinkan perempuan turut serta dalam pelayaran. Ini menjadi alasan kuat sehingga seorang perempuan harus menyaru laki-laki (transvestisme). Di sisi lain pemerintah Belanda tak permisif kepada para perempuan yang ketahuan menyamar menjadi laki-laki. Hukum Belanda, yang antara lain bersumber pada hukum adat dan Injil, melarang transvestisme. Perempuan tak diperkenankan berpenampilan seperti laki-laki, juga sebaliknya. Transvestisme adalah tindakan kriminal. Namun biasanya tuduhan itu dikenakan untuk memperberat tindakan kriminal lainnya. Menurut Rudolf M. Dekker dan Lotte C.van de Pol, ada berbagai motif perempuan menyaru laki-laki: cinta, patriotisme, lari dari tuduhan kriminal, serta perbaikan kondisi ekonomi. Oleh karena itu, menurut Denys Lombard, orang-orang Belanda yang baru tiba di Hindia bersedia mengawini gadis-gadis Indo yang berayah Portugis. Sebagian besar dari perempuannya, berasal dari Makassar dan Bali, tapi mereka adalah keturunan dari perkawinan campuran terdahulu. Makassar dan Bali, melalui perempuannya, member sumbangan besar kepada perkembangan penduduk Batavia. 8. Budak Budak adalah komoditas perdagangan. Dalam abad ke-17, Heereen Seventien sampai kewalahan menangani soal budak yang dibawa orang Belanda yang pulang dari Nusantara. Markas VOC di Amsterdam direpotkan mengurusi perawatan budak yang ditinggalkan pemiliknya dan disibukan pula oleh para budak yang minta dipulangkan ke negeri asalnya. Oleh karena itu, menurut Harry A. Poeze, VOC akhirnya mengeluarkan aturan untuk membatasi budak yang boleh dibawa ke negeri Belanda. Budak-budak itu banyak didatangkan dari Sulawesi dan Bali. Bukan hanya dibutuhkan sebagai tenaga kerja, budak pun dibutuhkan sebagai simbol status sosial. Tak heran jika budak akan dirawat sebaik mungkin, meski nyatanya banyak terjadi penindasan. Setelah VOC runtuh pun perbudakan masih terjadi di Hindia Belanda. 9. Komoditas Selain Rempah-rempah Ketika harga rempah-rempah turun dan tak jadi komoditas primadona lagi, VOC tak kehilangan akal. Untuk tetap bertahan melakukan perdagangan, VOC kemudian memperdagangkan berbagai komoditas. Menurut sejarawan Mona Lohanda, dalam kargo-kargonya VOC mengangkut dan menjual ragam komoditas khas negeri tropis, seperti ayam, beras, kuda, bahkan budak. 10. Orang Belanda Pantang Menetap Sementara orang Portugis memang berniat menetap dan beranak-pinak, ketika tiba di Asia orang-orang Belanda selalu mengatakan, “bila masa dinas enam tahun yang harus kujalani telah selesai, aku akan kembali ke Eropa.” Orang-orang Belanda selalu ingin pulang ke negerinya jika masa tugas usai. Hal ini terlihat dari jumlah penduduk di Batavia yang tak didominasi orang Eropa. Dalam tahun 1674, jumlah mereka kurang dari sepersepuluh penduduk Batavia. “Keterikatan para kolonis Belanda pada tanah airnya merupakan ciri hakiki mentalitas, yang menentukan perilaku mereka jauh sampai ke abad 20,” tulis Denys Lombard. Ada beberapa alasan mengapa mereka tak ingin menetap: tujuan mereka hanya ingin mencari kekayaan, VOC tidak memberi kelonggaran kepada prakarsa perorangan, tiadanya sarana untuk memperkenalkan dan menyesuaikan kebudayaannya, faktor cuaca dan ketidakberdayaan para dokter menyebabkan Batavia dianggap sebagai “kuburan orang Eropa.”

  • Pilot CIA Ini Lolos Dari Hukuman Mati di Indonesia

    MINGGU malam, 18 Mei 1958 itu juga, berita tertangkapnya Pope sampai ke Markas Besar CIA di AS. Direktur CIA, Allen Dulles segera mengirim telegram kepada para perwira CIA di Indonesia, Filipina, Taiwan, dan Singapura: tinggalkan posisi, hentikan pengiriman uang, tutup jalur pengiriman senjata, musnahkan semua bukti, dan mundur teratur. “Inilah saatnya bagi Amerika Serikat untuk pindah posisi. Sesegera mungkin, kebijakan luar negeri Amerika berubah arus,” tulis Tim Weiner dalam Membongkar Kegagalan CIA. Dalam wawancara dengan Weiner pada 2005, Pope mengakui bahwa operasi CIA di Indonesia gagal. “Namun kami telah memukul dan melukai mereka. Saya suka membunuh komunis dengan cara apapun yang bisa saya lakukan. Kami membunuh ribuan komunis, meskipun setengah di antaranya mungkin tidak mengerti apa yang dimaksud dengan komunisme,” kata Pope. Menurut Sugeng Sudarto dalam Patahnya Sayap Permesta , berdasarkan anjuran Presiden Sukarno untuk segera menyelesaikan segala perkara, termasuk perkara Pope, maka sidang pertama pengadilan Pope dilakukan secara terbuka oleh Pengadilan Tentara Jakarta pada 28 Desember 1959, di ruang sidang Markas Besar Angkatan Udara di Jalan Sabang No. 2A Jakarta. Setelah 17 kali persidangan, pada 29 April 1960 hakim memutuskan menjatuhkan hukuman mati kepada Pope. “Mereka mengadili saya atas tuduhan pembunuhan dan menjatuhi saya hukuman mati,” kata Pope. “Mereka mengatakan bahwa saya bukanlah tawanan perang dan tidak berhak mendapat perlakuan berdasarkan Konvensi Jenewa.” Ketika bertemu Presiden AS, John F. Kennedy di Gedung Putih, Washington, AS, pada 24 April 1961, Sukarno menawarkan pembebasan Pope asalkan AS mendukung Indonesia merebut Irian Barat. Namun, Kennedy belum menentukan sikap. Pada pertengahan Februari 1962, adik Presiden Kennedy sekaligus Jaksa Agung Robbert Kennedy berkunjung ke Indonesia. Bobby, panggilannya, membawa dua misi: meredakan ketegangan Indonesia-Belanda soal Irian Barat dan membebaskan Pope. Menurut Arthur Meier Schlesinger dalam Robert Kennedy and His Times , Bobby menemui Sukarno untuk membebaskan Pope, namun Sukarno masih tetap pada pendiriannya; Pope dilepaskan dengan syarat AS mendukung Indonesia soal Irian Barat, sementara Belanda adalah sekutu AS. Bobby sempat keluar ruangan karena emosi. Setelah Bobby minta maaf, Sukarno akhirnya menjamin akan menangani dengan caranya sendiri. “Setelah empat tahun dua bulan dalam penahanan, dia dibebaskan pada bulan Juli 1962 atas permintaan secara pribadi oleh Jaksa Agung Amerika Serikat, Robert F. Kennedy,” tulis Weiner. Sukarno punya cara dan cerita sendiri perihal pembebasan Pope. Istri Pope, bekas pramugari Pan American Airways, bersama ibu dan saudara perempuannya, menghadap Sukarno dan menangis tersedu-sedan memohon supaya Pope diampuni. “Bila sudah menyangkut seorang perempuan, hatiku menjadi lemah,” kata Sukarno. “Aku tidak dapat bertahan menghadapi air mata seorang perempuan, sekalipun dia orang asing.” Setelah sembuh dan keluar dari rumah sakit, Pope menjadi tahanan rumah menunggu dipindahkan ke penjara tentara untuk dihukum mati. Sukarno menyampaikan kepadanya, “atas kemurahan hati Presiden engkau diberi ampun. Tetapi ini kulakukan dengan diam-diam. Aku tidak ingin ada propaganda mengenai hal ini. Sekarang pergilah! Sembunyikan dirimu di Amerika Serikat secara rahasia. Jangan memperlihatkan diri di muka umum. Jangan bikin cerita-cerita untuk surat kabar. Jangan buat pernyataan-pernyataan. Pulang sajalah, sembunyikan dirimu, menghilanglah dari pandangan umum, dan kami akan melupakan semua yang telah terjadi.” Pengampunan Sukarno tidak cuma-cuma. Ia menjadi salah satu strateginya dalam merebut Irian Barat, dimana AS berada di pihak Indonesia. Selain itu, menurut Guntur Sukarnoputra, suatu hari ketika dia membaca berita mengenai pembangunan jalan Jakarta By Pass , menanyakan pada ayahnya benarkah pembangunan jalan tersebut merupakan barter dengan pembebasan Allen Pope. “Bung Karno ketika itu hanya tertawa-tawa kecil saja,” kata Guntur dalam Bung Karno: Bapakku, Kawanku, Guruku . Tak diduga beberapa saat kemudian, Bung Karno berteriak dari kamar mandi memanggil Guntur. “Beliau bergurau bahwa semoga Amerika mengirimkan Allen Pope-Allen Pope yang lain. Sehingga dapat ditukar dengan Ava Gardner dan Ivonne de Carlo, yakni bintang film Amerika yang terkenal kecantikan dan kemolekan tubuhnya saat itu.” Jakarta By Pass (Jalan Jenderal Ahmad Yani dan Mayjen DI Panjaitan) sepanjang 27 kilometer menjadi sarana untuk memperlancar transportasi dari Cawang ke Pelabuhan Tanjung Priok. Selain membantu pembangunan Jakarta By Pass , AS juga membantu pembangunan Jembatan Semanggi, simpang empat sekaligus jembatan layang hasil rancangan Ir. Sutami.  Menurut Weiner, setelah bebas dan selama sisa hidupnya pada 1960-an, Pope kembali terbang untuk CIA ke Vietnam. Pada Februari 2005, di usia 76 tahun, dia dianugerahi medali Legion of Honor oleh pemerintah Prancis atas perannya dalam menyuplai barang-barang kebutuhan bagi pasukan Prancis yang sedang dikepung di Dien Bien Phu pada 1954.

  • Pilot CIA Ditembak Jatuh di Ambon

    18 Mei 1958, pesawat pembom B-26 milik Amerika Serikat yang diterbangkan oleh Allen Lawrence Pope ditembak jatuh di Ambon. Pope, penerbang CIA (Dinas Intelijen Amerika Serikat) terlibat dalam pemberontakan Permesta (Piagam Perjuangan Semesta), yang wilayahnya meliputi Sulawesi, Nusa Tenggara, dan Maluku. Menurut Tim Weiner dalam Membongkar Kegagalan CIA , pada usia 25 tahun Pope sudah menjadi veteran selama empat tahun dari misi-misi rahasia berbahaya. Dia terkenal karena keberanian dan semangatnya. Pilot-pilot CIA telah mulai membombardir pada 19 April 1958. Pope melakukan misi terbang pertamanya di Indonesia pada 27 April 1958. Selama tiga pekan berikutnya, dia bersama rekan-rekannya sesama pilot CIA menyerang sasaran militer dan sipil di beberapa desa dan pelabuhan di timur laut Indonesia. Kedutaan Besar AS melaporkan bahwa ratusan warga sipil terbunuh. Direktur CIA, Allen Dulles dengan tegang menceritakan kepada Dewan Keamanan Nasional AS bahwa semua serangan bom tersebut telah mengundang kemarahan besar di kalangan rakyat Indonesia karena dituduhkan bahwa pilot-pilot AS memegang kendali. “Semua tuduhan itu benar adanya,” tulis Weiner, “tetapi Presiden Amerika Serikat dan menteri luar negeri secara terbuka membantah kabar tersebut.”  Presiden AS, Eisenhower memang ingin menjaga operasi ini tetap bisa disanggah sehingga dia memerintahkan jangan sampai warga AS dilibatkan dalam setiap operasi militer. Namun, Dulles tidak mematuhinya. Sehingga dalam sebuah laporan CIA untuk Gedung Putih dan Presiden AS, pasukan udara CIA itu digambarkan sebagai “pesawat-pesawat terbang pembangkang.”     18 Mei 1958 adalah hari yang sial bagi Pope. Didampingi operator radio JH Rantung, dia terbang dini hari di atas kota Ambon dalam operasi yang menenggelamkan sebuah kapal Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI), membom sebuah pasar, dan merusak sebuah gereja. Enam warga sipil dan 17 militer tewas. Setelah itu, Pope mengalihkan serangannya ke arah konvoi ALRI yang bergerak dari pelabuhan Ambon menuju Morotai untuk melaksanakan Operasi Amphibi. Menurut Sugeng Sudarto dalam Patahnya Sayap Permesta , Operasi Amphibious Task Group 21 (ATG-21) itu, terdiri dari unsur laut dengan tujuh kapal (dua kapal pengangkut dan lima kapal Penyapu Ranjau) dan Pasukan Pendarat terdiri dari dua peleton KKO-AL, satu peleton speciale troepen (pasukan komando), dan satu Detasemen Brawijaya. Misi operasi yang dipimpin oleh Letnan Kolonel KKO HHW Huhnholzs ini untuk merebut lapangan terbang Morotai, menggunakannya sebagai basis melancarkan operasi udara dan dukungan udara terhadap Operasi Merdeka menumpas Permesta. Semula para pimpinan operasi merasa ragu, jangan-jangan pesawat B-26 itu kawan. Namun, keraguan itu hilang setelah pesawat itu membuat gerakan menukik dua kali dan melancarkan tembakan dan bom, yang meleset. Kapal-kapal segera melepaskan tembakan. Tembakan dari kapal komando RI Sawega dan PR-203 RI Pulau Raas, berhasil mengenai pesawat B-26. Pope berusaha melarikan diri, membubung keatas, namun roda pesawat sebelah kiri lepas dan jatuh ke laut. Ketika mencapai 6000 kaki pesawat itu terbakar, Pope dan Rantung melompat; keduanya selamat namun kaki Pope patah terbentur ekor pesawat. Ketika B-26 jatuh, terlihat pesawat pemburu Mustang mengarah ke kapal. Demi keamanan pasukan dan kapal, pesawat itu ditembaki dan membubung keatas, membelok ke arah B-26 yang sedang meluncur ke laut, selanjutnya pesawat itu menghilang. Belakangan baru diketahui bahwa pesawat P-51 Mustang itu milik AURI yang datang untuk membantu dan dipiloti Kapten Dewanto. Menurut Weiner, dalam kantong pakaian terjunnya yang berkancing-tarik, Pope menyimpan catatan-catatan pribadinya, laporan terbang operasinya, dan sebuah kartu anggota klub perwira di Clark Field, Filipina. “Dokumen-dokumen tersebut menjelaskan identitas dirinya yang sebenarnya –seorang perwira Amerika yang membom Indonesia atas perintah pemerintahnya. Dia bisa saja langsung ditembak mati. Namun dia diadili,” tulis Weiner. Dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams, Sukarno menegaskan, “Aku 99,9% yakin bahwa Pope seorang agen CIA.”

  • Siapakah Sebenarnya Nyi Roro Kidul?

    Nyi Roro Kidul telah hidup lama dalam ingatan masyarakat Jawa. Ia disebut memiliki hubungan dengan para raja Jawa. Konon, setiap penobatan raja Jawa sekaligus ritual pernikahan mistis dengan Ratu Pantai Selatan itu. Siapa sebenarnya Nyi Roro Kidul? Asal usulnya ada beberapa versi. Antropolog Robert Wessing dalam “A Princess from Sunda: Some Aspects of Nyi Roro Kidul,” Asian Folklore Studies Vol. 56 tahun 1997, menyatakan bahwa Ratu Kidul ini mulanya adalah putri dari Kerajaan Galuh, sekira abad 13. Ada pula versi yang menyebut dia adalah keturunan penguasa Pajajaran. Kemudian ada yang mengatakan dia keturunan Raja Airlangga dari Kahuripan, bahkan masih ada yang mengaitkannya dengan Raja Kediri Jayabaya. Dikisahkan, Ratu Ayu dari Galuh melahirkan seorang bayi perempuan. Keanehan muncul, bayi perempuan itu bisa bicara dan mengatakan bahwa dia adalah penguasa semua lelembut di tanah Jawa dan akan berdiam di Pantai Selatan. Bersamaan itu pula, roh Raja Sindhula dari Galuh pun muncul dan bersabda bahwa cucunya tersebut tak akan bersuami untuk menjaga kesucian dirinya, dan jika bersuami pun kelak adalah hanya bisa dikawini oleh raja-raja Islam di Jawa. Ratu Pantai Selatan ini menunggu suaminya hingga dua abad lamanya. Panembahan Senapati, yang memerintah Mataram Islam 1585-1601, pergi ke Pantai Selatan untuk bersemedi memohon petunjuk untuk memenangkan peperangan melawan Sultan Pajang di Prambanan. Konon ketekunannya membuat Laut Selatan bergolak. Istana ratu Pantai Selatan yang berada didasarnya porak poranda karena kekuatan doa Panembahan Senapati. Ratu Kidul pun keluar sarang, muncul di permukaan lautan. Dia tertegun melihat seorang pemuda gagah tengah bersemedi. Dia langsung jatuh hati dan bersimpuh di kaki Panembahan Senapati. Setelah bercinta tiga hari tiga malam di istana bawah Laut Selatan, ratu Pantai Selatan pun berjanji akan membantu Senapati memenangkan peperangan. Senapati pun bergegas menuju palagan Prambanan dengan dibantu pasukan arwah dari Pantai Selatan. Panembahan Senapati menang gemilang. Cucu panembahan senapati, Sultan Agung yang memerintah 1613-1646, membuat tarian bedhaya yang mengisahkan balada cinta kakeknya dengan Ratu Kidul. Saat terjadi palihan nagari 1755, tulis Nancy K. Florida dalam “The Badhaya Katawang: A Translation of the Song of Kangjeng Ratu Kidul,” Indonesia Nomor 53 tahun 1992, keraton Yogyakarta mendapat bagian bedhaya semang dan keraton Surakarta bedhaya ketawang . Tarian ini menjadi sakral dan wajib saat upacara penobatan raja baru. Dalam pidato penerimaan penghargaan Ramon Magsaysay 1988, sastrawan Pramoedya Ananta Toer mengatakan bahwa cerita Ratu Laut Kidul itu hanya mitos belaka. Dalam pidato tertulisnya yang berjudul Sastra, Sensor dan Negara: Seberapa Jauh Bahaya Bacaan? Pram menjelaskan para pujangga istana Mataram menciptakan mitos Nyi Roro Kidul sebagai kompensasi kekalahan Sultan Agung saat menyerang Batavia, sekaligus gagal menguasai jalur perdagangan di Pantai Utara Jawa. “Untuk menutupi kehilangan tersebut pujangga Jawa menciptakan Dewi Laut Nyi Roro Kidul sebagai selimut, bahwa Mataram masih menguasai laut, di sini Laut Selatan (Samudera Hindia). Mitos ini melahirkan anak-anak mitos yang lain: bahwa setiap raja Mataram beristerikan Sang Dewi tersebut,” tulis Pram. Pram juga mengatakan bahwa mitos tabu menggunakan pakaian berwarna hijau di wilayah Pantai Selatan karena pujangga istana Mataram ingin memutuskan asosiasi orang pada warna pakaian tentara Kompeni (VOC) yang juga berwarna hijau. Menurut Nancy, hubungan Sultan Yogyakarta dengan Nyi Roro Kidul pernah renggang saat meninggalnya Sultan Hamengkubuwono IX pada 2 Oktober 1988. Namun, saat penobatan Sultan Hamengkubuwono X, dengan melihat histeria massa dalam penobatannya, konon dukungan dan hubungan dengan Nyi Roro Kidul baik-baik saja.

  • Selamat Jalan Emon, Si Anak Manja

    “Mas Boy…,” teriak Emon dengan gerak-gerik kemayu dalam film Catatan Si Boy (1987) . Nama Didi Petet melambung setelah memerankan Emon, yang oleh banyak orang disebut sebagai peran bencong. Padahal, Didi berulang kali menyatakan bahwa peran Emon bukanlah banci. “Didi Petet memerankan tokoh Emon, si anak manja (bukan bencong seperti dugaan sementara orang) sangat berhasil,” tulis majalah Pertiwi , 1989. Selain Didi, aktor yang juga memainkan peran sebagai gay adalah Ucok Hasyim Batubara (Cok Simbara) dalam Terang Bulan di Tengah Hari (1987) dan Mathias Muchus dalam Istana Kecantikan (1988). Namun, Mathias memerankan Nicko yang digambarkan sebagai lelaki tulen, tidak klemar-klemer seperti bencong. Film ini dianggap sebagai film Indonesia pertama yang bertema homoseksualitas. Berkat perannya ini, Mathias terpilih sebagai aktor terbaik dalam Piala Citra Festival Film Indonesia 1988, sedangkan Didi terpilih sebagai pemeran pembantu pria terbaik lewat film Cinta Anak Zaman. Menurut Salim Said dalam Pantulan Layar Putih , peran gay yang dimainkan Didi Petet dan Cok Simbara jauh di bawah yang dimainkan Muchus. “Gay-nya Muchus tampil secara utuh dan dari dalam, dua yang lain masih terasa pisikal,” tulis Salim Said. Namun, sampai sekarang justru Emon-lah yang menjadi representasi gay di layar kaca atau lebar. Perannya sebagai penghibur untuk ditertawakan. Seperti halnya Muchus, Didi pun diganjar penghargaan sebagai Aktor Terpuji Festival Film Bandung (FFB) 1988 karena perannya sebagai Emon. Didi kembali meraih penghargaan serupa pada FFB 1989 dan 1994 melalui film Gema Anak Kampus 66 dan Si Kabayan Cari Jodoh . Sejak itu, dia berulang kali masuk nominasi sebagai aktor utama atau pembantu dalam ajang Piala Citra dan Indonesian Movie Award. Didi Petet bernama asli Didi Widiatmoko, lahir di Surabaya pada 12 Juli 1956. Dia meninggal dunia pada Jumat, 15 Mei 2015, karena sakit asam lambungnya naik akibat kelelahan. Nama “Petet” adalah julukannya sejak masa sekolah dasar sampai menengah di Bandung. Banyaknya nama Didi membuat teman-temannya memanggil dengan tambahan “Petet” lantaran matanya agak sipit. Didi melanjutkan pendidikan ke Jurusan Teater Institut Kesenian Jakarta (IKJ) dan lulus pada 1983. Di sini dia menemukan tempat yang tepat untuk mengembangkan bakatnya dalam seni peran. Pada 1987, Didi bersama Sena A. Utoyo mendirikan grup pantomim: Sena Didi Mime. Anggotanya kurang lebih 50 orang dan yang aktif sekira 30-an. Sekretariatnya di kampus IKJ karena sebagian besar anggotanya mahasiswa IKJ dan Sena adalah salah satu staf pengajar di IKJ. “Keduanya dwi-tunggal perpantomiman Indonesia, khususnya Jakarta. Berkat keduanya penampilan grup selalu menghibur dan humor. Tema yang disajikan selalu dekat dan intim dengan lingkungan masyarakat,” tulis Nur Iswantara dalam Wajah Pantomim Indonesia . Setelah Sena meninggal, Didi melanjutkan Sena Didi Mime bersama Yayu Aw. Unru dan yang lainnya. Selain pantomim, dia juga merambah dunia film dan sinetron. Di luar itu, dia pernah menjadi pengajar di Jurusan Teater IKJ dan menjabat dekan Fakultas Seni Pertunjukan IKJ.   Didi membintangi film layar lebar pertamanya Semua Karena Ginah pada 1985. Selama karirnya, dia main di lebih dari 50 film, yang terakhir Guru Bangsa: Tjokroaminoto (2015). Selain sebagai Emon, Didi juga terkenal sebagai Kabayan dalam empat film tentang si Kabayan (1989, 1991, 1992, 1994). Didi juga main di 12 sinetron, terakhir dan sedang tayang adalah Preman Pensiun (2015).

  • Asal-Usul Gelar Khalifatullah di Kesultanan Yogyakarta

    Sultan Hamengkubuwono X mengeluarkan Sabda Raja pada 30 April 2015 yang menghilangkan gelar khalifatullah dan mengubah Buwana menjadi Bawana. Berbagai kalangan mengomentari penghilangan gelar tersebut. Namun, yang terpenting adalah sabda ini menyangkut suksesi di Kesultanan Yogyakarta, di mana sultan diduga hendak mengangkat putrinya sebagai penggantinya karena tak memiliki putra mahkota. Adik-adik sultan pun menentangnya. Bagaimana sejarah gelar khalifatullah melekat pada sultan-sultan Yogyakarta? Pada awalnya, raja-raja Mataram memakai gelar panembahan, sultan, dan sunan. Raja terbesar Mataram, Sultan Agung menggunakan gelar sultan. Untuk melegitimasi kekuasaanya, dia mengirim utusan ke Makkah untuk meminta gelar sultan pada 1641. Dia mengikuti jejak Sultan Banten, Pangeran Ratu yang menjadi raja Jawa pertama yang mendapatkan gelar sultan dari Makkah, sehingga namanya menjadi Sultan Abulmafakir Mahmud Abdul Kadir. Raja-raja Martaram berikutnya, Amangkurat I sampai III menggunakan gelar sunan . Sedangkan Amangkurat IV (1719-1724) menjadi yang pertama menggunakan gelar khalifatullah . Menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya Jilid 3 , gelar baru ini, khalifatullah (dari kata khalifah artinya wakil) menegaskan perubahan konsep lama raja Jawa, dari perwujudan dewa menjadi wakil Allah di dunia. Setelah Perjanjian Giyanti pada 1755 yang memecah Mataram menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, gelar khalifatullah digunakan oleh sultan-sultan Yogyakarta sedangkan raja-raja Surakarta memakai gelar sunan . “Oleh karena itu, di dalam literatur atau kesempatan resmi, sebutan untuk raja-raja Surakarta adalah Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sunan Paku Buwana Senapati ing Alaga Abdur Rahman Sayidin Panatagama . Sementara sebutan untuk raja keraton Yogyakarta adalah Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Alaga Abdur Rahman Sayidin Panatagama Kalifatullah ,” tulis Djoko Marihandono dalam disertasinya tentang Herman Willem Daendels, di Universitas Indonesia tahun 2005. Anehnya, menurut Lombard, Sunan Surakarta tidak pernah menuntut gelar khalifatullah, barangkali karena mereka merasakan bahwa gelar baru itu secara tersirat membatasi kekuasaan mereka; fungsi raja disandingi ciri-ciri moral tertentu berdasarkan Islam. Dalam Islam dan Khazanah Budaya Kraton Yogyakarta , Teuku Ibrahim Alfian menguraikan arti gelar itu: Senopati berarti sultanlah penguasa yang sah di dunia fana ini. Ing Alogo artinya raja mempunyai kekuasaan untuk menentukan perdamaian dan peperangan, atau sebagai panglima tertinggi saat perang. Abdur Rahman Sayyidin Panatagama , berarti sultan dianggap sebagai penata, pemuka dan pelindung agama. Dan khalifatullah sebagai wakil Allah di dunia. Menurut Abdul Munir Mulkan dalam Reinventing Indonesia , meskipun raja-raja Jawa memakai gelar Sayyidin Panatagama Khalifatullah , namun dipandang oleh sementara pihak sebagai pusat tradisi kejawen (mistisisme Jawa) yang tidak mencerminkan tradisi Islam. Sementara yang lain memandang bahwa tradisi kejawen dengan pusat kehidupan kerajaan di Jawa adalah Islam dalam perspektif Jawa. Sementara itu, menurut Alfian, gelar yang disandang oleh Sultan Yogyakarta mengungkapkan konsep keselarasan. “Keraton Yogyakarta seperti kerajaan-kerajaan Jawa dan kerajaan yang bersifat ketimuran pada umumnya menganut konsep keselarasan antara urusan politik, sosial dan agama,” pungkas Alfian.

  • Kamus dari Penjara Sultan

    EKSPEDISI Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dan saudaranya Frederick de Houtman tiba di pelabuhan Aceh pada 21 Juni 1599. Mereka dijamu dengan hangat. Namun Sultan Aceh tidak berminat berdagang dan hanya ingin menggunakan kapal-kapal dan senjata Belanda untuk menyerang Johor di Semenanjung Melayu. Intrik para saudagar Portugis mengacaukan rencana itu dan menimbulkan salah paham serta kekerasan. Pada 1 September 1599, pasukan Sultan Aceh menyergap dan membunuh Cornelis de Houtman dan beberapa orang lain. Pemimpin lain dari ekspedisi, Le Fort, berhasil meloloskan diri dengan dua kapalnya, tetapi 30 awak kapal termasuk Frederick de Houtman ditangkap. Frederick dibujuk masuk Islam dengan iming-iming jabatan tinggi dan dinikahkan dengan perempuan Aceh. Dia menolak. Dia pun mendekam dipenjara Benteng Pidi selama 26 bulan (11 September 1599 sampai 25 Agustus 1601). Frederick menghabiskan waktunya di tahanan dengan menyusun kamus percakapan berbagai topik dalam bahasa Belanda dan Melayu, berjudul Spraeck ende Woordboek, Inde Maleysche ende Madagaskarsche Talen met vele Arabische ende Turcsche Woorden . “Percakapan yang ditulis dalam bahasa Melayu pasar oleh Frederick berkisar tentang suasana dalam kontak jual-beli di pelabuhan,” ujar Lilie Suratminto, pengajar sastra Belanda Universitas Indonesia, kepada Historia . Bahasa Melayu yang terdapat di dalamnya, menurut Lilie, menyerap banyak kosakata Arab dan Turki yang transkripsinya disesuaikan dengan persepsi Frederick. Frederick mengumpulkan bahan dan data dari wawancara dengan para informan sesama tahanan. Dia kerap dibantu seorang juru bahasa yang telah bertahun-tahun bekerja untuk armada Portugis dan Belanda. Juru bahasa dari Luxemburg itu dijuluki “Pak Kamis” oleh Frederick. Pada bagian awal kamus berisi sajak pujian ( Lof-Dicht ) dan panduan astronomi yang menampilkan berbagai gugusan bintang di selatan khatulistiwa yang berguna bagi para pelayar mencapai Hindia. Kamus setebal 222 halaman ini juga memuat beberapa percakapan dan daftar kata dalam bahasa Belanda-Madagaskar. Menurut Karim Harun dalam “Aspek Konjugasi dalam Buku Perbualan Houtman (1603)”, Jurnal Pengajian Melayu Vol. 17 (2006), padanan bahasa Madagaskar bertujuan membantu orang Eropa yang singgah di Kaap de Goede Hoop (Tanjung Harapan), Afrika Selatan, untuk berinteraksi dengan penutur asli guna mengangkut perbekalan, makanan, dan minuman. Frederick meletakkan percakapan bahasa Belanda di sebelah kanan dengan huruf Gotik, berdampingan dengan bahasa Melayu di bagian kiri yang memakai huruf Roman. Dalam komposisi itu, menurut Lilie, sang penulis masih terpengaruh kuat budaya Portugis yang kala itu kentara dengan penggunaan huruf Gotik dalam penulisan Alkitab. Selepas bebas dari penjara atas usaha diplomasi Pangeran Mauritius, kamus percakapan itu diterbitkan Jan Evertsz Cloppenburch Boecvercooper op’t Water Amsterdam pada 1603. “Huruf Gotik tak lagi ada, sebab VOC pada abad ke-17 telah menetapkan huruf Roman sebagai aksara resmi pemerintahannya di Hindia Timur,” ujar Lilie. Kamus percakapan ini sempat dirahasiakan dan hanya diperuntukkan bagi para pejabat dan nahkoda VOC. Namun akhirnya dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris, Prancis, dan Jerman. Kamus ini mendapat permintaan tinggi di Eropa. Para awak kapal Jerman, Belanda, Denmark, dan Swedia menggunakan buku tersebut sebagai acuan pelayaran. “Mereka memasukan buku ini ke dalam tas mereka sebelum berangkat ke Asia Tenggara,” tulis J.T. Collins dalam Bahasa Melayu Bahasa Dunia: Sejarah Singkat . Pada 1612, seorang pedagang VOC, Albert Ruyll, mengedit dan menerbitkan kembali kamus itu dengan judul Speighel vande Maleyshce Tale . Enampuluh delapan tahun kemudian terbit edisi tambahan yang tak lagi memasukkan bahasa Madagaskar, Arab, dan Turki. Penerbitan dalam bahasa Latin juga dilakukan Gotardus Arthusius, yang kemudian dialihbahasa ke dalam bahasa Inggris oleh Avgvstine Spalding dengan tajuk Dialogues in the English and Malaiane Languages . Pengalihbahasaan kamus percakapan Frederick de Houtman ke dalam berbagai bahasa, “telah membuka jendela Nusantara bagi bangsa Eropa, khususnya Belanda,” ujar Lilie.

  • Kiamat Kian Dekat

    RENCANA besar Amerika Serikat untuk memodernisasi persenjataan nuklirnya, sebagai respons atas gencarnya intervensi Rusia di Ukraina sejak Februari 2014, membuat para ilmuwan Bulletin of the Atomic Scientists (BAS) memajukan waktu “jam kiamat” menuju pukul 23:57. “Masalah perubahan iklim yang kian tak teratasi, modernisasi senjata-senjata nuklir secara global, dan penyimpanan senjata-senjata nuklir yang kian besar menimbulkan ancaman luar biasa dan tak terhindarkan bagi kelangsungan hidup umat manusia, dan para pemimpin dunia telah gagal untuk bertindak cepat dalam skala yang dibutuhkan untuk melindungi rakyatnya dari potensi kehancuran massal,” demikian pernyataan BAS dalam “2015: It is 3 Minutes to Midnight” dimuat situs resminya, thebulletin.org (2/2). Jam kiamat (Doomsday Clock) ialah instrumen kiasan para ilmuwan atom di BAS untuk menunjukkan sudah sedekat mana kehancuran peradaban manusia. Para ilmuwan yang tergabung dalam sebuah dewan, termasuk di dalamnya para penerima hadiah Nobel, mendasarkan tiap keputusannya dengan melihat situasi politik dan dinamika persenjataan nuklir dunia. Jika jarum jam sudah menunjukkan tengah malam atau pukul 24.00 tepat, mereka menafsirkannya sebagai pertanda kehancuran umat manusia yang sesungguhnya. Sejarahnya bermula selepas Perang Dunia II. Merespons tingginya minat terhadap isu bom atom selepas kejadian di Hiroshima dan Nagasaki, sekumpulan ilmuwan yang sebelumnya terlibat dalam proyek Manhattan menerbitkan jurnal sebagai sarana pencerahan publik. Jurnal berbentuk buletin tersebut, BAS , kemudian didirikan pada 1945 di Universitas Chicago, Amerika Serikat, dengan konten utama mengenai isu-isu nonteknis dan perkembangan teknologi nuklir. Jam kiamat mulai diperkenalkan pada 1947 sebagai sampul depan buletin dengan waktu awal pukul 23:53. Sejak diperkenalkan, publik sudah diberitahukan betapa dekatnya mereka dengan malapetaka. Menyusul semakin tingginya tensi Perang Dingin, jarum menit kian dekat dengan tengah malam. Pada 1949, BAS memutuskan mengubah waktu ke pukul 23:57 usai Uni Soviet melakukan ujiledak bom atom pertama. Tahun 1953, bergerak lagi ke pukul 23:58 sebagai respons atas serangkaian ujicoba bom termonuklir oleh Amerika dan Soviet. Sebaliknya, ketika tensi Perang Dingin mulai menurun pada 1990-an, jarum jam pun mundur ke belakang. “Dari tahun 1991 sampai awal 1998, jarum jam berubah-ubah dari 14 sampai 17 menit sebelum tengah malam, yang secara simbolis menunjukkan kelegaan bahwa kita (umat manusia) tidak lagi berada di ujung tanduk peperangan,” tulis Paul Halpern dalam Countdown to Apocalypse: A Scientific Exploration of the End of the World . Memasuki abad ke-21, jarum jam kembali maju setelah negara-negara Dunia Ketiga seperti India, Pakistan, dan Korea Utara mulai aktif mempersenjatai diri dengan teknologi nuklir. Ditambah, pada 2007 perubahan iklim global yang kian rawan turut disertakan sebagai salah satu sumber potensi kehancuran umat manusia, 60 tahun setelah jam kiamat kali pertama diperkenalkan. “Mereka menyebut ancaman pemanasan global sebagai ‘zaman nuklir kedua’, yang menegaskan bahaya perubahan iklim ‘sama mengerikannya dengan ancaman senjata nuklir’,” tulis Paul Dukes dalam Minutes to Midnight: History and the Anthropocene Era from 1763 . Saat ini, waktu telah diatur menunjukkan 3 menit sebelum tengah malam; salah satu yang terburuk di masa kontemporer. Terakhir kali jam kiamat diatur pada waktu tersebut adalah tahun 1984, ketika hubungan Amerika dan Soviet memanas akibat perang di Afghanistan. Apakah ini berarti umat manusia memang sudah begitu dekat dengan kehancuran? Hanya waktu yang bisa menjawabnya.

  • Berdiri Menyanyikan Indonesia Raya

    KETUA Majelis Mujahidin Indonesia Irfan S. Awwas menolak berdiri saat peserta Kongres Umat Islam VI di Yogyakarta menyanyikan lagu Indonesia Raya , Rabu (11/2) lalu . Dia memilih menyanyi sambil duduk. Dia beralasan tak ada aturannya. Menurutnya, seperti dikutip tempo.co , berdiri saat menyanyikan lagu kebangsaan adalah sikap yang dibuat-buat. Bahkan dia menuding mereka yang berdiri menyanyikan Indonesia Raya sebagai pengkhianat. Lagi Indonesia Raya diciptakan Wage Rudolf Supratman. Dia kali pertama memperdengarkan lagu itu melalui gesekan biolanya pada Kongres Pemuda II, 28 Oktober 1928, dan sebuah pertunjukan kesenian. “Pada kesempatan kedua itu beberapa orang mulai berdiri menghormati ketika Indonesia Raya dinyanyikan,” tulis St. Sularto, “Wage Rudolf Supratman Menunggu Pelurusan Fakta Sejarah,” Prisma , 5 Mei 1983. Lagu Indonesia Raya kali pertama dinyanyikan pada pembubaran panitia Kongres Pemuda II, Desember 1928. Penyanyinya Theodora Athia, biasa dipanggil Dolly, anak sulung Haji Agus Salim. Mendengarkan lagu itu dengan spontan para hadirin berdiri dan ikut menyanyi. Lagu Indonesia Raya kembali dinyanyikan pada konges kedua Partai Nasional Indonesia (PNI) di Jakarta, 18-20 Desember 1929. Untuk memeriahkan kongres, Supratman diminta memperdengarkan lagu Indonesia Raya dengan gesekan biolanya bersama suatu orkes. “Ketika lagu kebangsaan itu hendak dimulai, maka lebih dahulu Bung Karno selaku Pemimpin Umum P.N.I. menyerukan: ... ‘semua hadirin diminta berdiri, untuk menghormat lagu kebangsaan Indonesia Raya ’,” tulis Oerip Kasansengari dalam Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan W.R. Soepratman Pentjiptanja . “Sejak itu hingga pada saat ini dan seterusnya apabila lagu kebangsaan Indonesia Raya dinyanyikan, maka selalu dihormati dan dinyanyikan dengan berdiri.” Menurut Sularto, hampir serentak peserta kongres PNI berdiri dan menyanyi, mengikuti koor dan iringan biola Supratman sebagai tanda penghormatan pada Indonesia Raya . Kongres juga menetapkan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan Indonesia. Penetapan ini dikukuhkan dalam Kongres Rakyat Indonesia yang digelar Gabungan Politik Indonesia (Gapi) pada Desember 1939. Lagu Indonesia Raya pun segera populer dan dinyanyikan kaum bumiputera, sampai-sampai Supratman mencetaknya dalam lembaran stensilan. Bukan hanya PNI. Sejak diterima kongres pemuda, lagu Indonesia Raya biasa dinyanyikan dalam pembukaan sidang partai-partai politik. Tak senang dengan kebiasaan itu, pemerintah kolonial mengeluarkan larangan kepada semua pegawai negeri yang menghadiri rapat partai politik berdiri tegak sebagai tanda penghormatan selama diperdengarkan lagu Indonesia Raya . Biasanya hadirin dipersilakan berdiri sebelum Indonesia Raya dinyanyikan. Para pegawai yang hadir mencari akal untuk menghindari pelanggaran terhadap larangan tersebut. “Mereka tetap berdiri sebelum dipersilakan. Dengan jalan demikian, mereka tidak melanggar larangan pemerintah menghormati lagu Indonesia Raya sebagaimana mestinya. Itulah penyabotan secara halus terhadap larangan pemerintah kepada para pegawai untuk menghormati lagu Indonesia Raya . Dengan akal halus yang demikian, pelaksanaan larangan itu menemui kegagalan,” tulis Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional Volume 1 . Berlebihan bila menuding berdiri menyanyikan lagu Indonesia Raya sebagai pengkhianat.

  • Pertokoan Mati di Cikini

    PAGI hingga sore, pertokoan Hias Rias Cikini sepi. Namun, di malam hari, halaman depan pertokoan tua tersebut ramai oleh para pedagang yang berjualan ragam kuliner. Mereka menjajakan makanan dan minuman di tenda-tenda lesehan. Firman Lubis dalam Jakarta 1950-an mengenang, pertokoan Hias Rias Cikini dibangun di atas lahan bekas Pasar Cikini lama yang pindah ke Pasar Cikini baru yang kini menjadi perkantoran, pertokoan emas, Pasar Kembang, serta pasar kebutuhan pokok yang berada di basement Cikini Gold Center. Pertokoan Hias Rias Cikini dibangun awal 1960-an pada masa Gubernur DKI Jakarta Soemarno Sosroatmodjo. Pemerintah daerah (pemda) bekerjasama dengan pihak swasta gencar melakukan pembangunan, terutama untuk menunjang kegiatan ekonomi. Soemarno membentuk Panitia Pembangunan Pasar dan Toko sebagai upaya mendorong pertumbuhan perdagangan eceran. Panitia tersebut diketuai H. Tb. Mansur. Dalam otobiografinya, Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya , Soemarno menjelaskan, proyek pembangunan pertokoan didanai pemda dan dikelola Bank Pembangunan Daerah (BPD), yang baru berdiri dengan modal dari pemda dan perusahaan asuransi Bumiputera. Sementara itu, menurut buku Jakarta: 50 Tahun dalam Pengembangan dan Penataan Kota yang disusun Dinas Tata Kota DKI Jakarta, pembangunan pertokoan Hias Rias Cikini sendiri dilaksanakan PN Pembangunan Perumahan. Pada masa kejayaannya, pertokoan yang berada tak jauh dari Stasiun Cikini ini menjadi salah satu pusat butik pakaian, sepatu, dan alat-alat kecantikan. Selain itu, terdapat pula toko eceran dan sarana perbankan sebagai penunjang. Memasuki tahun 1990-an, maraknya pusat perbelanjaan modern mematikan pusat pertokoan lama, termasuk Hias Rias Cikini, yang kalah bersaing. Kini, pertokoan Hias Rias Cikini tak lagi beraktivitas. Bangunan tua yang tidak terawat itu hanya menyisakan poster-poster iklan dan papan neonbox toko yang tak lagi menyala. Rencananya, pertokoan ini akan diperbaiki untuk kemudian dijadikan kantor PD Pasar Jaya yang sejak berdiri tahun 1966 menjadi pemegang wewenang pengurusan pasar serta fasilitas perpasaran di wilayah DKI Jakarta.

  • Berburu Teripang ke Negeri Kanguru

    BENTUK teripang lonjong dan berlendir, menjijikan bagi kebanyakan orang. Tapi teripang telah menjadi komoditas mahal sejak berabad-abad silam. Dan karena itu pelaut Nusantara mencarinya hingga ke negeri seberang. Juni 1841, Kapten Owen Stanley bersama koleganya, George Windsor Earl, menyusuri perairan utara Australia. Tujuannya meningkatkan aktivitas perdagangan di wilayah permukiman yang baru saja mereka rintis, Port Essington, Semenanjung Cobourg, utara Australia. Mereka sampai di desa Dobbo, utara kepulauan Aru, pada 23 Juni 1841. Di sana mereka bertemu pedagang Makassar dengan perahu besarnya memuat hasil-hasil laut yang akan dijual di Makassar. Salah satunya teripang yang berasal dari Kepulauan Aru dan pantai utara Australia. Sekira 38 tahun sebelumnya, Matthew Flinder, seorang navigator dan pembuat peta, bertemu secara tak sengaja dengan enam perahu di sekitar pantai Arnhem Land sebelah utara Australia. Dia baru saja mengitari perairan tersebut untuk merampungkan pembuatan peta. Berkat bantuan penerjemah, dia berhasil menggali keterangan dari awak perahu. “Pelaut Makassar dengan baik hati menunda perjalanan pulangnya agar bisa memberikan informasi tentang aktivitas pelayarannya,” tulis Denise Russel dalam “Aboriginal-Makassan Interactions in the Eighteenth and Nineteent Centuries in Northern Australia and Contemporary Sea Right Claims”, Australian Aboriginal Studies , 2004/1. Findler lalu mencatat pertemuan tersebut dalam jurnal hariannya yang diterbitkan dengan judul A Voyage to Terra Australis pada 1814. Jurnal itu menjadi catatan awal pertemuan orang Barat dengan pelaut Makassar yang mencari teripang hingga ke pantai utara Australia. Dalam catatannya, Findler melihat pelaut-pelaut itu akrab dengan orang-orang Aborigin. Mereka barter barang. Aktivitas inilah yang membuat beberapa arkeolog dan antropolog, misalnya Baudin, menduga kontak antara orang Makassar dan Aborigin telah terjalin selama beberapa abad sebelumnya. Pendapat ini disandarkan pada bukti arkeologis berupa lukisan perahu dan pelaut Makassar dalam susunan batu di wilayah Yirkalla, di daerah Arnhem Land. A.A Cense dan H.J. Heeren termasuk sejarawan yang meyakini pencarian teripang di pantai utara Australia telah dimulai sejak abad ke-17 atau sebelumnya. Sejarawan maritim A.B. Lapian dalam Pelayaran dan Perniagaan NusantaraAbad ke-16 dan 17 menyebutkan, pada masa itu jejak kembara pelaut Makassar memang telah hampir meliputi seluruh perairan Nusantara. Aceh, Kedah, Kamboja, Kei (Kepulauan Aru) Ternate, Berau (Kalimantan), dan Sulu (Filipina) adalah beberapa wilayah yang dijelajahi pelaut Makassar. Ada kemungkinan mereka juga berlayar sampai Australia dan bertemu dengan orang-orang Aborigin, jauh sebelum orang Barat menemukan benua Australia. Penjelajahan luas pelaut Makassar diakui Anthony Reid, ahli sejarah Asia Tenggara. Tapi pencarian teripang hanya mungkin dimulai ketika pedagang Tionghoa telah mengunjungi Makassar. Sebab, mereka merupakan pembeli utama teripang dari pantai utara Australia itu. “Tidak ada bukti yang menunjukkan pedagang-pedagang Cina pernah berkunjung ke Sulawesi Selatan sebelum abad ke-17,” tulis Anthony Reid dalam Sejarah Modern Awal Asia Tenggara . Pedagang Tionghoa mengunjungi Makassar pada mula abad ke-17 saat Makassar tumbuh sebagai pelabuhan dagang internasional. Pedagang Tionghoa mempercayai khasiat teripang sebagai obat. Selain itu, mereka mengonsumsi teripang sebagai makanan yang bercita rasa ciamik. Mereka berani membeli teripang dengan harga sangat tinggi setelah mengetahui kegunaannya sejak tahun 1500-an. Sementara itu, pelaut Makassar sedia berlayar ke negeri seberang untuk mencarinya. Mereka menyiapkan perahu di musim hujan kala angin bertiup ke arah barat laut, di penghujung tahun, November atau Desember. Mereka mempunyai keahlian membaca arah. Orangtua mereka mengajarkannya secara turun-temurun. Kompas mereka adalah bintang sedangkan petanya bisa berupa intuisi. Mereka juga dibekali dengan kotika tilliq , naskah-naskah dalam bahasa daerah yang membantu mereka mengenali perahu jahat atau baik. Setibanya di Marege –sebutan pelaut Makassar untuk pantai utara Australia– mereka tak selalu disambut dengan baik oleh orang-orang Aborigin. Orang Aborigin di sepanjang pantai utara Australia, dari Cape York hingga Kimberley dan sekitarnya, bukan merupakan kesatuan. Mereka terdiri dari beragam sub-Aborigin. Daerah pulau Melville begitu waspada dengan orang asing dan melarang orang Makassar mencari teripang. Di pulau Tiwi lebih gawat lagi; beberapa orang Makassar terbunuh akibat konflik dengan Aborigin. Sedangkan di Arnhem Land, orang Aborigin menjalin hubungan baik dengan para pelaut Makassar. Orang Makassar mengandalkan kemampuan menyelam orang Aborigin untuk mendapatkan teripang. Selain memakai tenaga orang Aborigin, pelaut Makassar mencari sendiri teripang dengan cara menombak dari perahu. Perairan pantai utara Australia termasuk dangkal. Teripang terbaik seringkali tampak jelas di permukaan sehingga mudah ditombak. Teripang hasil tangkapan kemudian dibelah, dibersihkan, direbus, dan diasapi. Pekerjaan mencari teripang berlangsung selama sekira empat-lima bulan. Para pelaut Makassar bekerja sembari berkomunikasi dengan orang Aborigin. Ini kelak menciptakan peninggalan budaya Makassar di komunitas Aborigin hingga sekarang. Dari bahasa, orang Aborigin mengadopsi kata Balanda untuk memanggil orang kulit putih. Selain itu, kebiasaan orang Makassar memasang tiang layar saat akan pulang di bulan Juli dan Agustus diterapkan orang Aborigin dalam upacara kematian. Sementara orang Aborigin mengajari orang Makassar, yang mereka sebut Manggadjara atau Munanga, cara berburu. Interaksi ini merentang waktu hingga tiga abad lamanya. Heather Sutherland, profesor dari Universitas Vrije, Amsterdam, dalam “Trepang and Wangkang: The China Trade of Eighteenth Century Makassar c 1720s-1840s”, Journal KITLV volume 156 tahun 2000, menyajikan data pengangkutan teripang dari pelabuhan Makassar ke Amoy, sebuah daerah di Tiongkok. Tiap sepuluh tahun jumlah pengangkutan itu meningkat hingga abad ke-19. Melihat peningkatan jumlah itu, Inggris yang telah menjadikan Australia sebagai koloni segera mengeluarkan pembatasan pencarian teripang bagi pelaut dari luar Australia. Inggris memberlakukan surat izin pencarian teripang mulai 1882 dan melarangnya pada 1906. Sejak itu berakhirlah pencarian teripang pelaut Makassar di pantai utara Australia. Meski begitu, mengkonsumsi teripang masih dilakukan sampai sekarang. Harganya pun cukup mahal.

bottom of page