top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Sultan Himayatuddin, Pahlawan Nasional dari Buton

    Warga Buton, Sulawesi Tenggara, boleh berbangga. Himayatuddin Muhammad Saidi kini telah resmi menjadi Pahlawan Nasional setelah terbit Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 120/TK/2019 tanggal 7 November 2019. Himayatuddin adalah Sultan ke-20 dalam sejarah Kesultanan Buton. Dia berkuasa selama dua periode: 1751—1752 dan 1760—1763. Susanto Zuhdi, guru besar sejarah Universitas Indonesia, mengatakan ikhtiar pengusulan Sultan Himayatuddin sebagai Pahlawan Nasional dimulai 14 tahun lalu. “Pada 2005, suatu tim yang dibentuk oleh Pemerintah Kota Baubau (sebuah kota di Pulau Buton) memulai pekerjaannya untuk melakukan riset dan penulisan,” kata Susanto, yang mendalami sejarah Kesultanan Buton sebagai tema disertasinya, kepada Historia. Anggota tim silih berganti. Susanto menjadi ketua tim pengusulnya pada 2011. Tugasnya menyusun perbaikan naskah akademis karya tim sebelumnya. Tim Susanto merampungkan naskah itu pada 2012 dan mengajukannya ke Kementerian Sosial. Naskah itu lolos seleksi. Penetapan Sultan Himayatuddin sebagai Pahlawan Nasional pun tinggal menunggu giliran. Naskah karya Susanto mengungkap hayat dan pengabdian Sultan Himayatuddin. Himayatuddin lahir pada awal abad ke-18. Tak ada keterangan pasti tentang waktunya. Tapi silsilah dan hayatnya semasa kecil terjabarkan secara terang. Dia anak La Umati Sultan Liauddin Ismail, Sultan ke-13 Buton. Berjuluk La Karambau Semua Sultan Buton masih satu garis keturunan dengan generasi awal Kerajaan Buton. Nama Buton telah tercatat dalam Kakawin Negarakertagama . “Sebagai salah satu daerah taklukan Majapahit pada 1365,” catat Susanto Zuhdi dan Muslimin A.R Effendy dalam Perang Buton vs Kompeni - Belanda 1752-1776 : mengenang kepahlawanan LaKarambau . Raja pertamanya bernama Wa Khaa-Khaa. Kedatangan Islam di Buton pada abad ke-15 menandai tonggak sejarah baru Buton. Raja keenam Buton memeluk Islam dan bernama La Kilaponto Muhammad Kaimuddin I. Dia meletakkan Islam sebagai jiwa Kesultanan Buton. “Islam sebagai dasar falsafah negara. Sistem pemerintahan diatur dalam Undang-Undang Dasar yang bernama Martabat Tujuh serta undang-undang pelaksanaannya yang dinamakan Istiadatul Azali ,” ungkap Susanto dan Muslimin. Selain lini politik dan pemerintahan, Islam juga merasuk ke lingkup sosial dan budaya. “Islam mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan watak dan akhlak bagi masyarakat Buton,” terang Susanto Zuhdi, G.A. Ohorella, dan M. Said D. dalam Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton . Setiap anak pembesar Kesultanan pun memperoleh pendidikan akhlak dan budi pekerti berlandas Islam. Pendidiknya langsung para orangtua di lingkungan keraton Buton. Dari luar keraton, anak-anak pembesar Kesultanan menerima pendidikan baca-tulis Alquran, baca-tulis aksara Buri-Wolio, dan seni beladiri. Himayatuddin juga menerima pola pendidikan semacam itu. Beranjak remaja, fisik Himayatuddin tumbuh lebih cepat dari teman seusianya. “Memiliki postur badan yang tinggi, besar, serta tegap,” terang Susanto dan Muslimin. Orang di sekelilingnya pun menyebutnya sebagai La Karambau atau Kerbau. Memutus Perjanjian Himayatuddin mengemban tugas pemerintahan pertamanya sebagai Lakina Kambowa atau kepala wilayah desa. Tugas ini memungkinkan dia berinteraksi langsung dengan rakyat sekaligus mendengarkan masalah keseharian mereka. Antara lain perdagangan dengan orang-orang VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) dan perilakunya. Orang Buton dan VOC telah berinteraksi sejak awal abad ke-17. Bahkan hubungan dagang dan politik Kesultanan Buton dan VOC terikat secara resmi oleh perjanjian pada 5 Januari 1613 ( Pajanji Awwalina ). Perjanjian ini membolehkan VOC menggunakan pelabuhan Baubau, mengendalikan penanaman serta perdagangan rempah, dan memperoleh budak. Atas penerimaan terhadap VOC, Kesultanan Buton berhak atas bantuan keamanan dari VOC jika sewaktu-waktu Kesultanan Gowa dan Ternate menyerang Buton. Dua Kesultanan ini memiliki ambisi politik dan ekonomi terhadap wilayah perdagangan rempah di perairan timur Hindia. Ambisi Gowa dan Ternate berhadapan dengan keinginan Kesultanan Buton memperluas wilayahnya. Selain itu, La Elangi, Sultan Buton 1578—1615, berkeinginan menjaga kekuasaan tetap berada pada lingkaran keturunannya. Tiap kekuatan dagang dan politik di kepulauan timur Hindia berupaya menjalin aliansi strategis dengan pihak lain untuk mengamankan kepentingannya masing-masing. Hubungan mereka tidak selamanya kawan seiring. Pernah pula hubungannya menegang. Berubah sesuai dengan keadaan politik, pertahanan, dan ekonomi masing-masing pihak. Ada kalanya Kesultanan Buton berkeberatan terhadap perjanjian baru dengan VOC. Ini terjadi setelah VOC berhasil melepaskan Buton dari ancaman Gowa pada 1655. Sementara Kesultanan Ternate mengurungkan niatnya memperluas pengaruh politik dan ekonominya ke Buton. Ternate justru tetap mengakui kedaulatan Buton dan turut dengan perjanjian baru VOC dengan Buton. VOC merasa berjasa terhadap Buton. Karena itu, mereka meminta lebih banyak dari Buton. Dalam perjanjian baru pada 25 Juni 1667, VOC menuntut Kesultanan Buton untuk memusnahkan suplai berlebih atas cengkeh dan pala, dua komoditas rempah paling laku. Tujuannya agar harga rempah tetap tinggi. Suplai berlebih akan menyebabkan harga rempah turun dan merugikan VOC. Kesultanan Buton juga harus mengirim upeti bahan makanan kepada VOC. Kedaulatan mereka pun terancam. Sebab hubungan ekonomi dan politik dengan pihak luar harus seizin VOC dan Kesultanan Ternate. Melihat kekuatan militer dan ekonomi VOC, Kesultanan Buton terpaksa menerima perjanjian ini. Penerimaan perjanjian ini juga berpunca pada pikiran untuk menjaga stabilitas kehidupan politik, ekonomi, dan keamanan negeri Buton. Tetapi perjanjian Buton dan VOC mulai goyah pada masa Himayatuddin berkuasa. Sultan ini menerima banyak laporan dari rakyat Buton tentang perilaku congkak orang-orang VOC dalam berdagang. Sikap ini lahir dari porsi istimewa dan besar pedagang VOC di perairan timur. Himayatuddin menimbang ulang perjanjian Buton dengan VOC. Dia berkesimpulan bahwa perjanjian ini membelenggu Buton dan lebih banyak menguntungkan VOC. “Himayatuddin telah menyadari betapa peranan dan campur tangan Kompeni Belanda dalam urusan pemerintahan kerajaan, sehingga Kerajaan Buton seperti kehilangan kedaulatannya,” terang Husein A. Chalik dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Sulawesi Tenggara . Bergerilya di Gunung Himayatuddin berada dalam dilema. Melawan VOC berarti harus siap dengan segala kemungkinan terburuk. Kekuatan militer VOC cukup besar. Menyerang secara langsung kedudukan mereka akan berakibat buruk. Tetapi tunduk pada perjanjian VOC juga akan menenggelamkan martabat Buton lebih dalam. Akhirnya Himayatuddin memilih jalan perlawanan. Bentuk perlawanannya berupa pembiaran terhadap kasus perompakan kapal VOC pada 17 September 1750. Yang menarik, kepala perompak adalah seorang bangsa Eropa. Tersebab itu dia berpendapat perompakan adalah urusan internal VOC. Dia menolak tuntutan ganti rugi dari VOC. Karuan pejabat VOC naik darah. VOC menyebut Himayatuddin tidak taat lagi pada perjanjian sebelumnya dan mengancam akan menggunakan kekuatan militernya untuk menyerang Buton. Himayatuddin menyongsong ancaman itu dengan mempersiapkan benteng dan pasukannya. Tetapi sebelum pertempuran pecah, Sara (Dewan Penasihat Kesultanan Buton) mempunyai siasat jitu untuk meredam serangan VOC. Mereka meminta Himayatuddin menyingkir sementara waktu sembari menyusun kekuatan perlawanan. Jabatannya diambil-alih oleh iparnya, Sultan Sakiyuddin VOC menerima baik suksesi ini. Sultan baru berjanji memberi VOC kompensasi atas kasus perompakan kapalnya. Tetapi Sultan baru pun enggan memenuhi semua permintaan kompensasi dari VOC. Akibatnya VOC pun menyerang Buton. Perang pecah. Orang Buton menyebutnya sebagai Zaman Kaheruna Walanda atau zaman huru-hara Belanda. Himayatuddin memimpin perlawanan dari sebuah benteng. Tetapi pasukan VOC berhasil mendesak rakyat Buton. Sakiyuddin dan Himayatuddin pun menyingkir ke pedalaman. Perang pun berakhir. VOC mencoba memperbaiki hubungan dengan Buton. Himayatuddin tetap menolak menjalin hubungan dengan VOC dan memilih bergerilya di hutan dan gunung. Dia sempat kembali ke keraton dan menjadi sultan lagi serentang 1760—1763. Tapi tak banyak keterangan tentang apa yang dilakukannya dalam rentang waktu itu. Himayatuddin turun takhta kembali pada 1763 dan memulai lagi perjuangan gerilyanya bersama rakyat. Selama gerilya, dia menekankan pentingnya pewarisan lingkungan kepada generasi setelahnya untuk melestarikan hidup bersama. Himayatuddin wafat pada 1776 di Gunung Siontapina. Atas ikhtiarnya menentang VOC dan melindungi rakyatnya, dia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

  • Detik-Detik Menjelang Surabaya Dibombardir

    KAMIS, 8 November 1945. Surat kedua dari Komandan Divisi ke-5 India Jenderal Mayor E.C. Mansergh itu datang begitu tiba-tiba dan langsung dibaca oleh Gubernur Jawa Timur, R.M.T.A. Soerjo. Isinya: Mansergh menuduh pihak Indonesia telah menunda-nunda evakuasi kaum interniran dan pengembalian pasukan Inggris yang tertawan atau terluka dalam pertempuran 28–30 Oktober 1945. Tak lupa dia mengumbar lagi ancaman bahwa kota Surabaya yang telah dikuasai oleh para perampok ( looters ) secepatnya akan diduduki oleh militer Inggris. “Pada akhir surat, sang jenderal meminta Gubernur Soerjo datang ke kantornya pada 9 November 1945,” ungkap sejarawan Nugroho Notosusanto dalam Pertempuran Surabaya . Alih-alih menuruti,  besok harinya, Gubernur Soerjo hanya membalas surat Mansergh. Secara tegas dia menolak anggapan bahwa pihak Indonesia bermaksud menunda evakuasi kaum interniran dan para prajurit Inggris yang terkepung di dalam kota. “Kami telah mengembalikan mayat-mayat tentara Inggris dan korban luka kepada induk pasukannya,” ujar Soerjo. Soerjo juga mengingatkan Panglima Inggris untuk Jawa Timur itu kepada kesepakatan antara Presiden Sukarno dengan koleganya, Jenderal Mayor D.C. Hawthorn pada akhir Oktober 1945. Menurut kesepakatan itu, terdapat dua lokasi di Surabaya yang akan dijaga oleh tentara Inggris yakni daerah sekitar Darmo dan Tanjung Perak. Penjagaan berlangsung selama proses pemindahan interniran dari sekitar daerah itu hingga Tanjung Perak. Jika proses pemindahan para tawanan telah selesai, pasukan Inggris dipersilakan mundur ke Tanjung Perak. Mansergh tidak mengindahkan surat balasan Gubernur Soerjo yang diantarkan oleh Roeslan Abdulgani, Residen Soedirman dan T.B. Kundan. Ia malah mengirim  dua pucuk surat lagi; yang pertama ditujukan kepada R. M. T. A. Soerjo (tanpa embel-embel jabatan gubernur), dan satu pucuk yang lain lagi dialamatkan kepada seluruh orang Indonesia di Surabaya. Kedua surat itu berisi pesan yang sama. Singkatnya, Mansergh menuntut pimpinan pemerintah RI di Surabaya, pemuda, dan badan-badan perjuangan agar melaporkan diri untuk menyerah kepada Inggris atau Sekutu. Gubernur Soerjo tetap bersikap tenang menghadapi sikap sombong pihak Inggris. Dia tetap menekankan kepada para stafnya untuk mengikuti pesan Presiden Sukarno agar menghindari pertumpahan darah. Maka diutuslah lagi Residen Soedirman dan Jenderal Major Mohammad Mangoendiprodjo untuk menawarkan perundingan dan meminta Inggris mencabut ultimatumnya. Namun Inggris menolaknya. Begitu pula utusan Gubernur Soerjo berikutnya—Roeslan Abdulgani dan Dokter Soegiri—ditolak mentah-mentah oleh pihak Inggris. “Sepanjang sejarah, British belum pernah membatalkan sebuah ultimatum militer. Kini terserah sepenuhnya kepada tuan-tuan, bersedia memenuhinya atau menolaknya. . .,” jawab seorang opsir Inggris, seperti dikutip Des Alwi dalam Pertempuran Surabaya November 1945 . Selepas tengah hari, masyarakat Surabaya dikejutkan oleh sebuah pesawat Inggris yang melayang-melayang di atas kota. Pesawat menyebarkan ribuan pamflet yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal E.C. Mansergh selaku Panglima Tentara Inggris di Jawa Timur. Isi pamflet persis sama dengan ultimatum yang telah diterima Gubernur Soerjo. Disebutkan bahwa semua yang tergolong pemimpin bangsa Indonesia, termasuk para pemuda, kepala polisi dan petugas radio diharuskan melapor kepada tentara Sekutu dan menyerahkan segala jenis senjata yang dimiliki. Tak pelak, ultimatum Inggris itu membuat rakyat Surabaya sangat marah. Begitu “hujan pamflet” reda, nyaris seluruh sudut kota Surabaya dipenuhi pemuda dan kelompok bersenjata. Dalam otobiografinya Memori Hario Kecik , Suhario Padmowirio (Wakil Komandan Tentara Polisi Keamanan Rakjat), saat itu di sekitarnya telah berkumpul ratusan pemuda. Semua menenteng senjata dan pistol otomatis. “Minimal mereka yang disebut tidak lengkap, membawa granat,” ujar Suhario. Pertemuan pemuda dan kaum bersenjata di Surabaya memutuskan mengangkat Sungkono sebagai Komandan Pertahanan Kota Surabaya dan Surachman sebagai Komandan Pertempuran. Dari sinilah muncul semboyan “Merdeka atau Mati” dan Sumpah Pejuang Surabaya sebagai berikut. Tetap Merdeka! Kedaulatan Negara dan Bangsa Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 akan kami pertahankan dengan sungguh-sungguh, penuh tanggungjawab bersama, bersatu, ikhlas berkorban dengan tekad: Merdeka atau Mati! Sekali Merdeka tetap Merdeka! Surabaya, 9 November 1945, jam 18.46. Gubernur Soerjo menerima laporan mengenai keputusan para pemuda Surabaya. Sementara, Doel Arnowo menghubungi Jakarta dan berbicara langsung dengan Presiden Sukarno. Menurut sejarawan Frank Falmos dalam Surabaya 1945, Sakral Tanahku , Sukarno telah memerintahkan Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo untuk meminta Jenderal Sir Philip Christison (wakil Komandan Pasukan Sekutu untuk wilayah Asia Tenggara) membatalkan ultimatum. Namun yang bersangkutan menolaknya. Menurut Soebardjo, keputusan akhir sepenuhnya di tangan Gubernur Soerjo secara keseluruhan. Pernyataan Jakarta itu sontakmenggusarkan Surabaya. “Jawaban macam apa itu! Tidak bilang bertempurlah sampai darah penghabisan atau sekalian bilang menyerah saja. Tapi mereka malah bilang “terserah Surabaya.” Pasti akan kami jawab: kami akan berjuang!” kenang Roeslan Abdulgani seperti dikutip Palmos. Pada akhirnya Gubernur Soerjo memang harus mengambil keputusan. Didampingi Doel Arnowo, tepat jam 21.00, Gubernur berbicara di depan corong Radio Surabaya: Saudara-saudara sekalian! Pucuk pimpinan kita di Jakarta telah mengusahakan akan membereskan peristiwa di Surabaya pada hari ini. Tetapi sayang sekali, sia-sia belaka, sehingga kesemuanya diserahkan kepada kebijaksanaan kita di Surabaya sendiri. Semua usaha kita untuk berunding, senantiasa gagal. Untuk mempertahankan kedaulatan negara kita, maka kita harus menegakkan dan meneguhkan tekad kita yang satu, yakni berani menghadapi segala kemungkinan. Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah: Lebih baik hancur daripada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris kita akan memegang teguh sikap ini. Kita tetap menolak ultimatum itu. Dalam menghadapi segala kemungkinan besok pagi, mari kita semua memelihara persatuan yang bulat antara pemerintah, rakyat, TKR, Polisi dan semua badan-badan perjuangan pemuda dan rakyat kita. Mari kita sekarang memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa, semoga kita sekalian mendapat kekuatan lahir batin serta rahmat dan taufik dalam perjuangan. Selamat Berjuang! Menurut Palmos, Soerjo menyampaikan pidatonya dalam nada serius, mirip gaya pidato Perdana Menteri Inggris Winston Churchill saat Perang Dunia II, sangat berbeda dengan pidato Bung Tomo sebelumnya yang berapi-api dan berdarah-darah. Pidato Soerjo terdengar sangat terhormat dan berwibawa. “Namun dia berpidato tanpa bertele-tele dan memahami keinginan rakyat Surabaya untuk melawan tentara Inggris,” kenang Hario Kecik. Usai pidato itu, Surabaya dicekam semangat perlawanan yang sangat kuat. Para pemuda di berbagai kampung bergotong royong membangun basis pertahanan berupa barikade tumpukan perabotan rumah, rongsokan kendaraan dan barang bekas lainnya. Meraka coba menahan laju tank dan infanteri Inggris sehingga membuka celah para pejuang melakukan penyergapan. Surabaya sedang bersiap menghadapi badai besar. Tepat jam 06.00 pada 10 November 1945, tentara Inggris membombardir Surabaya yang berlangsung hingga tengah malam, diikuti serbuan tank dan infanteri. Akibat penyerbuan besar itu, ribuan orang tewas seketika, mayoritas rakyat sipil. ”Di Pasar Turi saja saya menyaksikan gelimpangan mayat berjumlah hingga ratusan,” ungkap Letnan Kolonel (Purn.) Moekajat, salah seorang pelaku pertempuran di Surabaya. Dari hari ke hari, Surabaya menjadi lautan api dan mayat. Jasad manusia, kuda, anjing, kucing, kambing dan kerbau bergelimpangan di selokan dan jalan-jalan utama. Bau busuk yang bersanding dengan mesiu telah menjadi aroma sehari-hari di kota itu. Di bawah “guyuran” agitasi Bung Tomo dari Radio Pemberontak, pertempuran antara dua pihak berlangsung makin keras. Kendati hanya mengandalkan senjata tajam dan senjata api peninggalan KNIL dan rampasan dari tentara Jepang, arek-arek Suroboyo dan pemuda lainnya melakukan perlawanan sengit. Di pusat kota, pertempuran lebih dahsyat, jalan-jalan harus diduduki satu per satu, dari satu pintu ke pintu lainnya. Menurut sejarawan David Wehl dalam The Birth of Indonesia , perlawanan pejuang Indonesia di Surabaya berlangsung dalam dua cara; pertama dengan mengorbankan diri secara fanatik, orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau belati dan dinamit di badan secara nekat menyerang tank-tank Sherman. Cara kedua, menggunakan cara yang lebih terorganisasi dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang. Pada hari pertama pertempuran, Gubernur Soerjo untuk kesekian kali berpidato melalui corong radio: Saya berterimakasih, bahwa pemerintah pusat telah menyerahkan jawaban terhadap ultimatum Inggris kepada kami di Jawa Timur. Keputusan kami telah mengakibatkan meletusnya pertempuran seru di Surabaya. Namun itulah keputusan kami yang terbaik. Kami bertempur untuk merebut kembali hak-hak serta kedaulatan kami dari tangan musuh. Saat ini kami semua berada dalam suatu akhir masa. Suatu masa lama yang segera akan berakhir. Peristiwa di Surabaya tidak dapat dihindari, tidak dapat diubah. Ini adalah kemauan Tuhan Yang Maha Tinggi. Ini merupakan tanda-tanda, bahwa zaman keemasan segera akan datang kepada tanah air kita Indonesia. Seluruh rakyat Jawa Timur tanpa kecuali, semua buruh tinggi maupun rendah, percaya dengan sungguh-sungguh, bahwa Tuhan Yang Maha Tinggi akan melimpahkan tegaknya kebenaran kepada seluruh bumi dan alam Indonesia, yang sudah berabad-abad lamanya hilang.  Kami tidak pernah ingin menyerang. Tetapi kami akan mempertahankan hak-hak kami. Sebagai suatu bangsa yang mencintai kebebasan, kami berada di pihak yang benar.Kami hanya menghendaki kebenaran. Terpujilah selalu, Tuhan Yang Maha Tinggi. Tentara Inggris sempat terkejut menghadapi perlawanan rakyat Surabaya. Di hari kedua, tiga pesawat Mosquito ditembak jatuh. Termasuk yang membawa Brigadier Robert Guy Loder Symonds, Komandan Detasemen Artileri Pasukan Inggris, terkena tembakan PSU Bofors 40 (sejenis senjata penangkis serangan udara milik KNIL) yang dikendalikan oleh sekelompok veteran Heiho yang berpengalaman menghadapi pesawat-pesawat tempur Amerika Serikat di palagan Halmahera dan Morotai. Hingga pertempuran berakhir pada hari ke-21, korban tewas diperkirakan mencapai puluhan ribu jiwa. Menurut laporan dr. Moh. Suwandhi, kepala kesehatan Jawa Timur yang aktif menangani korban pihak Indonesia, jumlah orang Indonesia yang tewas dalam pertempuran itu sekitar 16.000 jiwa. Di pihak Inggris, sejak mendarat di Surabaya, telah kehilangan sekitar 1.500 prajuritnya, termasuk dua perwira setingkat jenderal junior dan 300 serdadu Inggris Muslim asal India dan Pakistan yang diklaim pihak Indonesia telah menyebrang ke pihak mereka.

  • Mereka Saling Menjaga: Kisah Persahabatan Sukarno-Hatta

    KENDATI kerap berselisih paham, Sukarno dan Hatta tetap menjaga hubungan pribadi dengan baik. Bagi keduanya politik hanya jalan untuk mewujudkan idealisme, tidak untuk memecah persahabatan. Meskipun banyak yang menilai Sukarno dan Hatta bermusuhan, tetapi orang-orang di sekitar mereka menyaksikan sendiri keduanya memang memiliki kedekatan emosional yang khusus. Menitipkan Sukarno Kisahnya terjadi saat Sukarno diasingkan ke Bengkulu pada 1938. Ketika itu Pengusaha Hasjim Ning –keponakan Hatta yang kelak menjadi sahabat Sukarno– tengah mengerjakan proyek rehabilitasi jalan raya Bengkulu-Manna. Suatu hari, Hasjim diberitahu ayahnya kalau ia telah dikirimi surat oleh Hatta yang sedang diasingkan di Banda Neira. Dalam surat tersebut Hatta berpesan agar ayah Hasjim bersedia membantu segala keperluan Sukarno selama menjadi tahanan di Bengkulu. Mendapat tugas menemui tahanan politik pada masa itu bukanlah persoalan yang mudah. Terlebih Hasjim belum pernah bertemu langsung dengan Sukarno. Ia lalu teringat kepada Raden Mas Rasjid, kepala proyek rehabilitasi yang telah kenal Bung Karno sejak masih di Bandung. Rasjid bersedia mempertemukan Hasjim dengan kawannya itu. Di rumah Bung Karno, Hasjim disambut dengan baik. Ia lalu menjelaskan maksud kedatangannya. Namun alih-alih merespon ucapan Hasjim, Sukarno malah menanyakan hal lain. “Wah Hatta masih memikirkan aku. Tapi bagaimana dengan dia sendiri?” ucap Bung Karno, dikutip Hasjim dalam memoranya Pasang Surut Pengusaha Pejuang . Keduanya terlibat obrolan yang panjang, terutama terkait hubungan kekerabatan Hasjim dan Hatta. Upaya bantuan Hasjim pun baru direspon Bung Karno setelahnya. “Aku perlu sepeda dan topi helm. Topi helm berwarna gading tua. Bukan coklat,” pinta Si Bung. Kebaikan itu tidak pernah dilupakan Sukarno. Saat ia akhirnya bertemu Hatta pada masa pendudukan Jepang, Sukarno menceritakan semuanya. Hatta hanya merespon singkat dan datar. Seolah itu hanya kejadian biasa buat dirinya. “Ya, kebetulan sekali ada seseorang kenalanku, pedagang Cina yang waktu itu mau ke Palembang menemui kakeknya yang sedang sakit,” kata Hatta. Melamar Buat Hatta Banyak hal yang diingat dari sosok seorang Hatta. Satu yang sangat terkenal adalah janji Hatta bahwa dia tidak akan menikah sebelum Indonesia memperoleh kemerdekaannya. Sukarno sebenarnya sudah sering mengingatkan tentang mencari pasangan, tetapi begitulah Hatta, teguh pada pendiriannya. “Bung Hatta sadar apa yang sedang dia prioritaskan,” kata Halida, putri ketiga Hatta, kepada Historia . Setelah Indonesia merdeka, Hatta akhirnya menentukan gadis pilihannya. “Waktu saya bertanya kepada Hatta, gadis mana yang dia pilih, jawabnya: ‘Gadis yang kita jumpai waktu kita berkunjung ke Instituut Pasteur, yang duduk di kamar sana, yang begini, yang begitu, tapi saya belum tahu namanya,” ungkap Sukarno kepada R. Soeharto, dikutip Saksi Sejarah . “Setelah saya selidiki ternyata gadis pilihan Hatta itu Rachmi, putri keluarga Rachim.” Keluarga Rachim tidaklah asing baik bagi Sukarno maupun Hatta. Menurut Mavis Rose dalam Indonesia Free: A Political Biography of Mohammad Hatta , Hatta sempat menaklukan hati seorang gadis cantik bernama Anni, anak Tengku Nurdin, seorang pengalih bahasa pemerintah Aceh. Keduanya diceritakan pernah bertunangan. Namun tidak berlanjut ke jenjang pernikahan. Anni kemudian menikah dengan Abdul Rachim, kawan dekat Bung Karno, dan memiliki dua putri: Rachmi dan Titi. Rachmi inilah yang memikat hati Hatta. Di tengah malam, ditemani R. Soeharto, Sukarno mendatangi rumah keluarga Rachmi. Ia menjelaskan makasud kedatangannya, yakni melamar Rachmi untuk sahabatnya, Hatta. Pada 18 November 1945, Hatta menikahi Rachmi di sebuah villa di Megamendung, Bogor. Sebagai mas kawin, Hatta mempersembahkan sebuah buku yang ditulisnya saat dibuang ke Digul pada 1934, Alam Pikiran Yunani . “Apakah Hatta melihat sifat Rachmi Rachim yang sebelumnya begitu dia kagumi pada diri ibunya, dia tidak menyebutkan,” tulis Mavis. “Bahkan, dalam memoar Hatta pernikahannya hanya ditandai dengan sebuah foto pasangan pengantin.” Namun ucapan itu dibantah Halida. Menurutnya, Mavis salah kaprah karena Anni bertemu kali pertama dengan Hatta pada 1945 ketika Sukarno datang melamar Rachmi untuk Hatta. Sehingga peristiwa hampir menikahnya Hatta dan Anni, kata Halida, tidak benar. “Karena Bung Hatta dan nenek saya (mertua Hatta) beda usia cuma sembilan hari, maka keluarlah cerita seperti itu,” kata Halida. Bak Saudara Kandung Meski telah berjuang bersama-sama mewujudkan kemerdekaan di negeri ini, pada akhirnya sang dwi tunggal mesti berpisah. Adalah perbedaan pandangan politik yang menjadi sebab. Hatta yang tidak setuju dengan konsep demokrasi terpimpin  vers Sukarno, memilih mengundurkan diri dari jabatannya sebagai wakil presiden. Namun bagi mereka, politik hanyalah politik. Persahabatan keduanya tidak terpengaruh sama sekali. Hubungan pribadi Sukarno dan Hatta tetap berjalan baik. PM Ali Sastroamidjojo menjadi saksi kedekatan dua proklamator itu. Dalam otobiografinya Tonggak-Tonggak di Perjalananku Ali pernah bertanya kepada kedua sahabatnya itu apakah keretakan hubungan mereka terjadi karena sentimen pribadi. “’Saya anggap Hatta sebagai saudara kandung saya sendiri, kata Bung Karno, yang saya tidak dapat menyetujui hanya pemandangan politiknya. Dari Bung Karno saya mengunjungi Bung Hatta, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sama seperti yang saya tanyakan kepada Bung Karno. Jawaban Hatta pun hampir sama dengan jawaban Bung Karno,” ungkap Ali. Asisten pribadi Hatta, Iding Wangsa Widjaja, juga menjadi saksi hubungan baik Sukarno-Hatta. Di dalam buku Mengenang Bung Hatta , Wangsa Widjaja memastikan bahwa keduanya tidak pernah saling mendendam. “Hal itu tidak sampai merusak hubungan pribadi beliau berdua. Ini saya ketahui persis, terutama yang menyangkut sikap Bung Hatta terhadap Bung Karno di balik pertentangan-pertentangan pendapat beliau,” ucapnya. Meski telah mengundurkan diri, fasilitas pengawalan dan penjagaan rumah tetap didapatkan Hatta. AKBP Mangli Martowidjojo, salah satu komandan Polisi Pengawal Pribadi Presiden dan Wakil Presiden dalam memoarnya Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967 menyebut mendapat perintah dari Sukarno agar Hatta tetap dikawal seperti biasa. “Bung Hatta adalah seorang proklamator negara Indonesia. Presiden dan Wakil Presiden RI dapat diganti setiap saat menurut kehendak rakyat, tetapi proklamator negara RI tidak dapat diganti oleh siapapun. Maka dari itu, jagalah Bung Hatta baik-baik, sebagai penghormatan bangsa Indonesia kepada Bung Hatta,” ucap Sukarno seperti dikutip Mangil. Namun fasilitas yang diberikan kepada Hatta itu hanya sampai tahun 1959. Menteri Keamanan Nasional AH Nasution memerintahkan penarikan pasukan penjagaan Bung Hatta. Dalam sebuah acara pamitan pada 27 November 1959, Hatta berpesan agar Mangil dapat menjaga Sukarno dengan baik. Menurutnya, Bung Karno adalah pemersatu bangsa Indonesia. “Tetapi kamu harus hati-hati kepada orang-orang yang mengelilingi Bung Karno,” kata Hatta. Menjaga dari Jauh Pasca naiknya Jenderal Soeharto menjadi presiden pada Maret 1967, Sukarno segera ditetapkan sebagai tahanan rumah di Istana Bogor, kemudian dipindah ke Wisma Yaso di Jakarta (sekarang Museum Satria Mandala). Ia menjalani akhir hidup yang memilukan. Menurut sejarawan Bob Hering dalam Soekarno Arsitek Bangsa , Bung Karno dikucilkan dari rakyatnya di Wisma Yaso sejak pengujung Desember 1967. “Bahkan, keluarga dan kerabatnya pun sulit menemui Bung Karno. Untuk membesuk Bung Karno, mereka harus mendapat izin lebih dulu dari otoritas yang berwenang.” Hal itulah yang membuat Hatta sangat kesulitan menemui sahabatnya itu. Bung Hatta bukan tidak mengusahakan pertemuannya dengan Sukarno, namun ia sangat mengerti apa yang akan terjadi kepada Bung Karno jika ia melakukan hal tersebut. Menurut Meutia Hatta, putri pertama Bung Hatta, ayahnya selalu bersabar menunggu kesempatan dapat bertemu Bung Karno. Karena memang pada waktu itu suasana tidak mendukung pertemuan keduanya. Rezim Soeharto menjaga ketat keberadaan Sukarno. “Pada prisipnya Bung Hatta itu tidak ingin memberatkan Bung Karno. Ayah saya tidak ingin kedatangannya malah membuat Bung Karno atau keluarganya lebih ditekan dan mereka lebih sewenang-wenang terhadap Bung Karno. Hatta menjaga kawannya dari jauh” kata Meutia kepada Historia . Wali Nikah Menyaksikan secara langsung prosesi pernikahan anak merupakan dambaan setiap orang tua. Namun kebahagiaan seperti itu tidak dapat dirasakan Sukarno. Sewaktu putra sulungnya, Guntur Sukarnoputra, hendak menikah pada Februari 1970, Bung Karno tidak dapat hadir. Selain karena memang kondisi kesehatannya yang buruk, larangan pemerintah Orde Baru pun menjadi alasan terberat Sukarno tidak bisa hadir bersama keluarganya. Kondisi itu membuat Guntur harus memilih seseorang menggantikan peran ayahnya sebagai wali nikah. Tidak mudah memang, tetapi ia akhirnya menjatuhkan pilihan kepada Hatta. Keputusan itu diambil setelah Guntur mendapat saran dari ayahnya sewaktu ia datang meminta restu. Ditemani ibunya, Farmawati, Guntur datang nemenui Hatta. Mereka lalu menjelaskan kondisi sulit yang sedang terjadi pada Sukarno dan meminta kesediaan Hatta untuk menggantikannya sebagai. “Ya, saya bersedia,” ucap Hatta menjawab permintaan putra sahabatnnya itu, sebagaimana dikenang Guntur dalam Bung Karno, Bapakku, Guruku, Sahabatku, Pemimpinku . Jawaban cepat itu cukup membuat Guntur terkejut, mengingat pertikaian politik antara Sukarno dan Hatta. Pernikahan Guntur berlangsung di Bandung pada Februari 1970, empat bulan sebelum Sukarno mangkat. Pernikahannya sederhana. Tidak banyak kawan-kawan Bung Karno yang hadir. Menurut sejarawan Saleh As’ad Djamhari dalam “De-Sukarnoisasi dan Akhir Demokrasi Terpimpin”, dimuat Malam Bencana 1965 , Hatta datang ke pernikahan Guntur dengan perasaan haru. Bung Hatta benar-benar menyadari kepedihan hati Bung Karno yang tidak bisa menyaksikan putranya menikah. Pertemuan Terakhir Pada Jumat Pagi, 19 Juni 1970, Bung Hatta dikirimi sepucuk surat oleh Masagung, salah seorang kawan Sukarno. Dia diberitahu kalau Bung Karno masuk Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Si Bung harus dirawat intensif setelah kesehatannya kian menurun. Mendengar kabar tersebut, Hatta segera mengusahakan izin membesuk Sukarno. Setelah menghubungi kesana kemari, Hatta akhirnya mendapat izin dari Presiden Soeharto. Kepada Historia Meutia Hatta menggambarkan suasana di ruangan tempat Sukarno dirawat, yang baginya sangat mengharukan.Hattaberdiri persis di samping tempat tidur Sukarno. Meutia dan adiknya Gemala Hatta berada sedikit di belakang Hatta, dekat kaki Sukarno. Sementara Wangsa Widjaja, sekertaris pribadi Hatta, berdiri di sisi lain tempat tidur. “Saya melihat ini sebagai pertemuan yang amat mengharukan antara dua sahabat yang cukup lama dipisahkan oleh suatu tirai yang tidak tampak, walaupun tidak berarti beliau berdua telah memutuskan hubungan persahabatan itu,” ungkap Wijdaja. Sukarno yang sebelumnya tidak sadarkan diri, tetiba terbangun saat Hatta dan rombongannya berada di dalam ruangan. Dia kemudian berusaha menggapai-gapai sesuatu. Semua orang di sana tidak mengerti apa maksud Sukarno. Wangsa Widjaja akhirnya menyadari bahwa ia sedang mencari kaca matanya. Suster lalu memakaikan kaca mata tersebut untuk Sukarno. Dalam posisi tertidur, terlihat tetesan air mata jatuh dari mata Sukarno. Hatta pun mencoba menghibur dengan memegang tangan dan memijat pelan kakinya. Tidak ada pembicaraan apapun di antara keduanya. Hanya pandangan mereka yang berbicara. “Sebetulnya itu hati yang berbicara. Tidak ada lagi kata-kata, tidak tersedu-sedu. Mungkin keduanya saling memaafkan karena memang itu adalah tahap terakhir dari kehidupan Sukarno,” ucap Meutia. “Kami semua tidak bisa berkata apa-apa. Kami hanya bisa mendoakan. Namun saya bersyukur bisa berada di sana. Menyaksikan kedua proklamator berpisah untuk terakhir kalinya.” Tidak diketahui dengan pasti berapa lama Hatta dan rombongannya menemani Sukarno. Setelah itu, Hatta pamit pulang, keluar dari ruangan perawatan tersebut. Mereka pun kemudian diantar pulang oleh Tjokorpranolo kembali ke kediamannya. Hatta dan siapapun yang hari itu menjenguk Sukarno tidak mengetahui bahwa itulah pertemuan terakhir mereka dengan sang proklamator. Dua hari kemudian, tepatnya Minggu 21 Juni 1970, Sukarno menghembuskan nafas terakhirnya. Saat menerima kabar duka itu, Hatta lama terdiam. Nampak sekali dia merasa kehilangan.

  • KH Masjkur, Kiai Pejuang Jadi Pahlawan Nasional

    Usulan gelar Pahlawan Nasional kepada KH Masjkur mendapat persetujuan berdasarkan hasil pertemuan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan pada 6 November 2019. Selain Masjkur, ditetapkan pula lima tokoh lainnya sebagai Pahlawan Nasional, yakni Rohana Kudus , Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi, M. Sardjito, KH Abdul Kahar Mudzakkir, dan A.A. Marimis. Kabar ini mendapat sambutan baik dari Nahdlatul Ulama (NU). Pasalnya, Masjkur menjadi tokoh NU kesembilan yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Usulannya pun telah diajukan sejak 2009. “Seingat saya sejak tahun 2009 yang efektif. Sudah lama kemudian menguap. Baru belakangan tahun 2014 diusulkan namun gagal,” kata Abdul Mun’im DZ, Wakil Sekjen PBNU kepada Historia . Selama ini NU telah mengusulkan beberapa nama calon Pahlawan Nasional, mulai dari Saifuddin Zuhri , Kiai Bisri Syamsuri, Kiai Ahmad Shidiq hingga Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Di antara tokoh-tokoh tersebut, Masjkur paling "senior". “Di medan laga, beliau komandan Hizbullah. Kemudian perang gerilya melawan agresi Belanda. Perang bersama Pak Soedirman, keliling Jawa bergerilya. Itu perjuangan yang memang riil. Ia berjuang di meja perundingan, lapangan, dan Konstituante. Sehingga beliau pantas diangkat sebagai pahlawan, bahkan terlambat sebenarnya,” kata Abdul Mun’im. Dari Pesantren ke Medan Laga Masjkur lahir di Singosari, Malang, pada 30 Desember 1902 dari pasangan Maksum dan Maemunah. Ia mengenyam pendidikan di tujuh pesantren berbeda di berbagai daerah. Dari Pesantren Bungkuk Singosari di kampung halamannya hingga Pesantren Tebuireng, Jombang, pimpinan KH Hasyim Asyari. Ia juga pernah menjadi murid KH Kholil Bangkalan di Madura dan terakhir belajar di Pesantren Jamsaren, Solo. Soebagijo I.N. dalam K.H. Masjkur, Sebuah Biografi menyebut, pada 1923 Masjkur mendirikan pondok pesantren Misbahul Wathan (Pelita Tanah Air) di kampung halamannya di Singosari, Malang. Ia juga aktif sebagai ketua NU cabang Malang pada 1926. Kemudian pada 1938, ia diangkat sebagai anggota PBNU yang bermarkas di Surabaya. Pada zaman pendudukan Jepang, Masjkur bergabung dengan Pembela Tanah Air (Peta). Ia juga aktif dalam laskar Hizbullah, kesatuan sukarela khusus Islam di bawah Masyumi. Ia mendapat pelatihan kemiliteran dan pelatihan khusus ulama dari Jepang. Masjkur kemudian menjadi anggota Syuu Sangi-kai, semacam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Namun, anggotanya tidak mempunyai hak bertanya atau wewenang membuat undang-undang. Tugasnya hanya memberi nasihat. Meski demikian, dalam banyak kesempatan, Masjkur seringkali mengeluarkan pendapat yang membela nasib rakyat. KH Masjkur (kiri) bersama Jenderal Daryanto saat pelantikan anggota MPR/DPR, 9 Mei 1978. (Perpusnas RI). Tak lama kemudian Masjkur menjadi anggota pengurus Badan Pembantu Prajurit (BPP) yang bertugas menghimpun dana untuk keperluan prajurit dan keluarga yang ditinggalkan. Di akhir masa pendudukan Jepang, Masjkur menjadi anggota Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berubah menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Meski sempat terjadi perdebatan soal Islam sebagai dasar negara, Masjkur dan tokoh-tokoh Islam lain akhirnya menerima konsep Pancasila usulan Sukarno. “Dengan sadar kelompok Islam pada waktu itu menerima konsep Bung Karno tentang Pancasila, dengan dasar pemikiran bahwa yang terpenting pada saat itu ialah utuhnya Negara Kesatuan RI yang akan lahir itu,” sebut Soebagijo. Pada 19 September 1945, terjadi perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato, Surabaya. Tergugah oleh peristiwa itu, Masjkur menghimpun para pemuda Islam dalam laskar Hizbullah, kelanjutan dari zaman Jepang. Laskar ini turut bertempur di Surabaya melawan pasukan Inggris yang geram pasca tewasnya Mayor Jenderal Mallaby . Pada masa revolusi fisik ini, Masjkur menjadi anggota Dewan Pertahanan Negara. Tugasnya membuat peraturan-peraturan yang disamakan dengan undang-undang dan tindakan-tindakan lain yang tersebut dalam undang-undang keadaan bahaya. Lima Kali Jadi Menteri Agama Menurut Ahmad Syafi’i dalam "K.H. Masjkur: Kementerian Gerilya dan Waliyul Amri" yang termuat dalam buku Menteri-Menteri Agama RI , suatu hari di bulan November 1947, Masjkur dipanggil Sukarno ke Yogyakarta. Rupanya, ia hendak diangkat menjadi menteri agama dalam Kabinet Amir Sjarifuddin II. Namun, pada 23 Januari 1948, Amir Sjarifuddin harus mundur dari jabatan Perdana Menteri karena Perjanjian Renville. Amir digantikan Mohammad Hatta. Dalam Kabinet Hatta I ini, Masjkur meneruskan tugasnya sebagai menteri agama. Pada masa ini, Masjkur ditugaskan ke Jawa Barat untuk menemui S.M. Kartosoewiryo, imam DI/TII yang mendirikan Negara Islam Indonesia. Meski tak berhasil menemui Kartosoewiryo, menurut Abdul Mun’im, Masjkur cukup berhasil meredam gerakan DI/TII. “Beliau menteri agama yang punya pengalaman lapangan. Cukup baik meredam gerakan DI/TII,” kata Mun’im yang menyusun buku Fragmen Sejarah NU . Sebagai menteri agama, Masjkur juga berperan dalam penyelidikan dan pencatatan jumlah korban Peristiwa Madiun 1948. Timnya berkeliling ke berbagai daerah untuk memberikan pengarahan dan memperkuat ketahanan mental masyarakat. Ketika Belanda menduduki Yogyakarta pada 19 Desember 1948, Masjkur termasuk menteri yang lolos dari sergapan. Sejak itu, ia gerilya dari Solo ke Ponorogo kemudian Trenggalek. Ia juga sempat bergabung dengan pasukan Panglima Jenderal Soedirman. Setelah Yogyakarta kembali ke tangan Republik, Masjkur menjadi menteri agama dalam Kabinet Hatta II dan berlanjut pada era acting Perdana Menteri Mr. Susanto Tirtoprodjo. Pada 19 April 1953, Ketua Umum PBNU Wahid Hasyim meninggal dunia dalam kecelakaan mobil. Masjkur yang menjabat Ketua I menggantikannya sebagai ketua umum. Pada 30 Juli 1953, ia ditunjuk lagi menjadi menteri agama dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo. Kritis terhadap Orde Baru Pasca Pemilu 1955, dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo II, Masjkur terpilih sebagai salah satu anggota Konstituante. Setelah Konstituante dibubarkan, ia menjadi anggota DPR Gotong Royong. Ia kemudian menjadi anggota staf biro politik Komando Tertinggi Retooling Aparatur ( Kotrar ). Masjkur tetap aktif di dunia politik hingga rezim berganti. Pada masa Orde Baru, ia menjadi anggota DPR dan pernah menjabat ketua Fraksi Persatuan Pembangunan. Di masa represif itu, ia termasuk tokoh yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan Orde Baru yang keliru. “Bersama yang lain, waktu itu mengkritisi undang-undang kepartaian karena partai dikebiri sedemikian rupa. PPP bersuara sangat keras. Tapi akhirnya PPP dibersihkan dari unsur NU,” ujar Abdul Mun’im. Masjkur juga menentang UU Perkawinan yang dianggap sekuler. Ia juga keras menentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau Eka Prasetya Pancakarsa bikinan rezim Soeharto. “Beliau juga menentang P4 karena negara dianggap memonopoli penafsiran tentang Pancasila. Bukan beliau anti-Pancasila tapi monopoli penafsiran Pancasila yang ditentang,” jelas Abdul Mun’im. Di akhir penjalanan hidupnya, Masjkur tetap aktif di NU. Ia menjabat ketua Yayasan Universitas Islam Malang (Unisma) hingga meninggal dunia pada 18 Desember 1992.

  • Dua Ras Nusantara dan Karakternya

    Secara fisik orang Papua dan sebagian Indonesia bagian timur berbeda dengan orang Indonesia di barat. Kendati begitu mereka tak benar-benar terpisah secara evolusi. “Papua dan Nusa Tenggara secara genom berlainan dari kita. Jadi sekarang fisiknya lain, tapi semua kalau dibedah ya sama, asalnya dari pohon evolusi yang sama, Homo sapiens yang bergerak keluar dari Afrika,” kata Harry Widianto, kepala riset Balai Arkeologi Yogyakarta. Sebelum penelitian tentang fosil dan genetika dilakukan, Alfred Russel Wallace telah menyimpulkan bahwa ada dua ras berbeda yang mendiami Nusantara, yaitu ras Melayu di Indonesia barat dan ras Papua di timur. “Ras Melayu mendiami hampir seluruh bagian barat kepulauan itu, sementara ras Papua mendiami wilayah New Guinea,” catatnya dalam Kepualauan Nusantara. Wallace, naturalis asal Inggris, berkelana di Kepulauan Nusantara selama delapan tahun (1854-1862). Dari perjalanan itu, ia membagi batas-batas fauna secara geografis yang disebut Garis Wallace. Selain itu, Wallace juga memiliki pandangan terkait ras-ras di Nusantara. Dalam catatannya yang berjudul asli The Malay Archipilago itu, ia menjabarkan perbedaan antara kedua ras berdasarkan fisik dan mental, sekaligus kemiripan dengan suku-suku di sekitarnya. Orang Melayu Wallace mencatat, warna kulit ras Melayu yang telah berkembang menjadi suku bangsa yang beraneka ragam adalah coklat kemerah-merahan dengan sedikit banyak kuning kecoklatan. Rambutnyahitam, lurus, dan agak kasar. “Warna rambut yang agak terang, yang berambut ikal, dan keriting merupakan akibat percampuran dengan ras lain,” jelas Wallace. Mereka tak berjanggut. Dada dan badan tak banyak bulu. Perawakannyasama dan lebih kecil dibanding orang Eropa. Badannyakuat dengan dada bidang. Kakinya kecil dan pendek. Tangannya kecil dan agak halus. Mukanyasedikit lebar dan cenderung datar. Dahinya agak bulat, alis tipis, dan hitam. Sorot matanyaramah. Hidungnyakecil, tak mancung namun lurus. Puncak hidungnya agak bulat dengan lubang hidung lebar. Tulang rahang agak menonjol. Mulutnya lebar, bibir tebal, tatapi tak monyong. Dagunya bundar. “Pada dasarnya orang Melayu tidak tampan. Tapi ketika masih remaja mereka sangat menawan,” kata Wallace . “Anak laki-laki dan anak perempuan yang berusia 12 atau 15 tahun sangat rupawan.” Wallace pun menyimpulkan bahwa kecantikan dan ketampanan mereka hilang karena kebiasaan buruk. Hidup mereka tak teratur. Dalam usia yang masih sangat muda, mereka terus-menerus memakan sirih. Mereka juga menghisap tembakau. Pun menderita kekurangan gizi. “Mereka sangat menderita karena terbakar matahari saat mencari ikan dalam perjalanan jauh,” lanjut Wallace. Orang-orang Melayu muda ini juga seringkali hidup antara kelaparan dan kelimpahan makanan. Antara kemalasan dan kerja berat. “Hidup semacam ini mempercepat penuaan dan menambah kesuraman wajah,”kata Wallace. Dari sisi emosi, orang Melayu termasuk yang datar. Mereka pendiam, kurang percaya diri, dan pemalu. “Para pengamat berpendapat bahwa sifat-sifat kejam dan haus darah yang dituduhkan kepada ras Melayu mungkin telah dibesar-besarkan,” kata Wallace. Pasalnya, orang Melayu sangat tertutup. Perasaan mereka tak pernah dikatakan secara terbuka. Mereka berbicara dengan sangat hati-hati, bahkan berbelit-belit. Orang Papua Berbeda dengan ras Melayu, orang Papua punya warna kulit coklat gelap. “Adakalanya kulit mereka berwarna coklat kehitam-hitaman,” kata Wallace. Rambut orang Papua sangat khas: keriting kecil-kecil, kasar, dan kering. Rambut itu tumbuh dalam rumpun-rumpun kecil. Saat muda, rambut mereka begitu pendek dan rapat. Kalau dipanjangkan, rambut itu akan mengembang. Bagi orang Papua, rambut adalah kebanggaan. “Rambut bagi orang Papua adalah lambang keagungan,” kata Wallace. Tak kalah dengan rambutnya, janggut orang Papua juga keriting. Di kaki, lengan , dan dada pun berambut. Dibanding orang Melayu, perawakan orang Papua lebih besar. Kaki mereka panjang dan kurus. Tangan dan kakinyajuga lebih besar. Soal wajah, muka orang Papua lonjong. Dahi mereka datar. Alisnya runcing. Hidungnya besar, agak bengkok, dan mancung. Pangkal hidungnya tebal dengan lubang yang lebar. Celah antarhidung dengan mulut tak terlihat, karena ujung hidungnya memanjang. Sementara mulutnya lebar, bibirnya tebal, dan menonjol. “Pada dasarnya wajah ras ini lebih mirip wajah orang Eropa daripada orang Melayu, karena memiliki hidung besar, alis runcing, dan bentuk kepala yang khas,” lanjut Wallace. Sifat orang Papua juga jauh berbeda dibandingkan orang Melayu. Wallace mengamati, orang Papua cenderung lebih ekspresif, baik dalam perbuatan maupun perkataan. Mereka riang dan penuh tawa. Pembauran Berdasakan pembagian secara etnologis, Wallace mencermati orang-orang berperawakan khas Melayu banyak meninggali wilayah barat Nusantara. Sementara mereka yang berciri Papua menghuni bagian timur, termasuk seluruh bagian Pulau Papua, Aru, Mysol, Kepulauan Kei, Waigeo, dan Salawati. “Ras Papua persebarannya juga meluas ke timur dan melampaui New Guinea Timur sampai ke Kepulauan Fiji,” jelas Wallace. Secara keseluruhan, kata Wallace, ras Melayu mirip dengan penduduk Asia Timur, dari Siam sampai wilayah Manchuria di Cina Daratan. Ia sempat terkesan melihat kebiasaan pedagang Cina yang mengikuti kebiasaan penduduk Bali sehingga sulit dibedakan. “Pada saat yang lain, saya melihat penduduk asli Jawa dengan raut wajah menyerupai orang Cina,” catatnya. Lebih jauh lagi, Wallace membandingkan kekhasan ras Melayu yang menghuni Benua Asia dan pulau-pulaunya sama dengan kekhasan mamalia besar yang juga menghuni wilayah itu. Ini, kata Wallace, menunjukkan kalau semua daerah ini pernah tersambung menjadi satu. Akhirnya, Wallacepun menarik sebuah garis dari Kepulauan Filipina, kemudian menyusuri Pantai Barat Gilolo, melalui Pulau Bouru, dan melengkung mengelilingi ujung barat Flores, kemudian membelok kembali di dekat Pulau Cendana terus ke Rote. Dari situ, ia membagi Nusantara menjadi dua bagian dengan dua ras yang berbeda. “Garis ini akan memisahkan ras Melayu dan semua ras Asia dari ras Papua serta semua penduduk Pasifik,” jelasnya. “Meskipun di sepanjang garis penghubung telah terjadi perpindahan dan percampuran antara ras.” Pada masa kini, terbukti alih-alih pemisahan lebih tepat jika disebut dengan pembauran. Itu dibuktikan oleh studi genetika yang dilakukan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Penelitinya, Herawati Supolo-Sudoyo, menjelaskan lembaga itu telah melakukan rekonstruksi dari 50.000 tahun pergerakan populasi manusia Nusantara dengan melibatkan 6.000 individu dari 70 populasi etnik di 12 pulau menggunakan penanda DNA. Hasilnya, populasi etnik yang mendiami Indonesia bagian barat dan timur memiliki gradasi pembauran genetik. “Data genomik menunjukkan adanya migrasi leluhur penutur Austronesia dari Taiwan yang bercampur dengan leluhur penutur Austroasiatik dari Cina Daratan yang kemudian menetap di Indonesia barat,” ujar Hera. Misalnya, gen manusia Jawa asli ternyata membawa gen moyang Austroasiatik dan Austronesia. Begitu pula manusia etnis Dayak dan manusia di Pulau Sumatera yang tampak pada etnis Batak Toba dan Batak Karo. Sedangkan penduduk asli Pulau Alor membawa genetika moyang Papua. Manusia asli Lembata dan Suku Lamaholot, Flores Timur, membawa genetika moyang Papua dengan persentase paling tinggi dan sedikit genetika leluhur penutur Austronesia. Hal itu kemudian dibuktikan pula dari penggunaan bahasanya. Di Indonesia timur hingga kini memakai bahasa non-Austronesia atau Bahasa Papua. Berbeda dengan Indonesia bagian barat yang memang bertutur bahasa Austronesia. “Latar belakang genetis itu bergradasi. Dari barat Austronesia yang dominan, lalu gen Papua dimulai dari NTT, Alor, dan seterusnya. Dengan gambaran ini kita baru bisa bicara tentang diri sendiri,” jelas Herawati. Ihwal adanya perbedaan fisik, seperti kulit misalnya, kata Hera, itu dipengaruhi kondisi lingkungan yang berubah-ubah. Dalam pengembaraan para leluhur hingga ke Nusantara, mereka banyak menemui kondisi lingkungan yang silih berganti. Lingkungan, seperti hutan, padang pasir yang kering, pinggir pantai yang bersuhu tinggi dan berkadar garam tinggi, sinar ultraviolet, dapat menciptakan variasi DNA. “Pigmentasi itu ada kodenya oleh DNA,” ucapnya. Secara Paleontologi, orang-orang Papua mewakili apa yang disebut sebagai ras Australomelanesid. Merekalah leluhur orang Papua masa kini. Sementara penutur Austroasiatik dan Austronesia mewakili ras Mongoloid. Semuanya adalah keturunan manusia modern ( Homo sapiens ) yang diperkirakan mulai menyebar keluar dari benua Afrika sejak 100.000-300.000 tahun yang lalu. Dalam migrasinya, leluhur orang Papua lebih dulu menghuni Nusantara. Itu terjadi sebelum migrasi Austroasiatik dan Austronesia ke Nusantara. Seiring kedatangan mereka, Austromelanesid bergeser sedikit demi sedikit menghuni kawasan Indonesia timur. Populasi ras Mongoloid itu kemudian bercampur dengan sebagian ras Australomelanesid yang masih bertahan. Mereka terutama yang hidup di wilayah Wallacea, seperti Sulawesi dan Nusa Tenggara. Karenanya kini orang-orang di wilayah Nusa Tenggara merupakan hasil percampuran Australomelanesid dan Mongoloid. Belakangan, sebagian populasi mendapat campuran gen lagi dari India, Cina, Arab, dan Eropa. Inilah yang kemudian membentuk keragaman genetika orang Indonesia.

  • Mengenal Rohana Kudus, Wartawan Perempuan Pertama yang Jadi Pahlawan Nasional

    ROHANA Kudus, wartawan perempuan pertama Indonesia, ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Joko Widodo pada Jumat (8/11/ 2019). Keputusan ini didapat dari hasil pertemuan antara Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan dengan Presiden Joko Widodo pada Rabu (6/11/2019). Rapat tersebut membahas tentang usulan calon Pahlawan Nasional 2019 yang terdapat dalam Surat Menteri Sosial Rl nomor: 23/MS/A/09/2019 tanggal 9 September 2019. Penetapan ini menjadi kabar baik untuk Pemerintah Sumatera Barat yang sudah mengusulkan nama Rohana Kudus sebagai pahlawan nasional sejak 2018. Rohana Kudus atau Sitti Rohana merupakan perempuan pejuang asal Sumatera Barat. Ia lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, pada 20 Desember 1884. Ayahnya, Moehammad Rasjad Maharadja Sutan seorang Hoofd Djaksa (Kepala Jaksa) di pemerintah Hindia Belanda, sedangkan ibunya bernama Kiam. Rohana tumbuh dalam keluarga moderat yang gemar membaca. Sejak kecil ia punya kesempatan untuk mengakses bacaan lewat buku, majalah, dan suratkabar yang dibeli ayahnya. Kegemaran membaca ayahnya ditularkan pada Rohana. Meski tak mengenyam bangku sekolah formal, atas didikan ayahnya, di usia lima tahun Rohana sudah mengenal abjad latin, Arab, dan Arab Melayu. Ketika Rohana berusia enam tahun, ayahnya pindah tugas ke Alahan Panjang sebagai juru tulis. Di sana ia bertetangga dengan Jaksa Alahan Panjang Lebi Jaro Nan Sutan. Lantaran tak punya anak, pasangan Sutan dan Adiesa menganggap Rohana sebagai anak sendiri. Adiesa sering memanggil Rohana untuk main di rumahnya. Di sana, Rohana tak semata main tapi juga diajari baca-tulis-hitung. Setelah dua tahun diajari Adiesa, Rohana bisa menulis dalam huruf Arab, Arab Melayu, dan latin. Ia juga sudah bisa berbahasa Belanda di usia 8 tahun. Untuk memperdalam kemampuan Rohana, ayahnya berlangganan buku dongeng anak terbitan Medan, Berita Ketjil. Terkadang sang ayah juga membelikan buku cerita terbitan Singapura atau mendapat oleh-oleh buku anak dari rekannya yang pegawai Belanda. Buku-buku itulah yang dilahap Rohana kecil. Menulis untuk Membela Nasib Perempuan Rohana amat peduli dengan nasib perempuan. Ketidaktersediaan sekolah untuk pribumi putri mendorong Rohana mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia, sekolah kaum putri yang mengajarkan keterampilan. Rohana tak berhenti berjuang hanya dengan mendirikan sekolah. Lewat diskusi dengan suaminya, Abdul Kudus, Rohana menceritakan keinginannya untuk memperluas perjuangan. “Kalaupun hanya mengajar, yang bertambah pintar hanya murid-murid saya saja. Saya ingin sekali berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman dengan kaum perempuan di daerah lain sehingga bisa membantu lebih banyak lagi,” kata Rohana pada suaminya, seperti ditulis Fitriyanti dalam Rohana Kudus, Wartawan Perempuan Pertama Indonesia. Setelah diskusi itu, Rohana mengirim surat kepada Datuk Sutan Maharadja, pemimpin redaksi Oetoesan Melajoe , di Padang. Rohana menyampaikan keinginannya agar perempuan diberi kesempatan mendapat pendidikan sama seperti lelaki. Ia juga mengusulkan agar Oetoesan Melajoe memberi ruang pada tulisan perempuan. Maharadja merupakan wartawan senior yang bijaksana dan kebapakan. Ia amat tersentuh membaca surat Rohana. Lantaran itu pula ia rela ke Koto Gadang untuk menemui perempuan cerdas yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal itu. Dalam pertemuan itu, Rohana menyampaikan bahwa idenya tidak sebatas pemberian ruang bagi tulisan perempuan di Oetoesan Melajoe , melainkan juga menerbitkan surat kabar yang dikhususkan untuk perempuan. Namun, Rohana tidak bisa mengurus itu seorang diri karena tidak bisa meninggalkan Sekolah Kerajinan Amai Setia. Sekolah Kerajinan Amai Setia yang didirikan Rohana Kudus. (Repro Rohana Kudus, Srikandi Indonesia). Maharadja lantas mengusulkan agar anaknya, Ratna Juwita Zubaidah, yang akan mengurus keperluan di Padang. Usulan pembagian tugas ini disetujui karena dianggap cukup adil. Rohana dan Ratna Juwita akan sama-sama menulis. Sementara Ratna Juwita mengurus keperluan redaksi di Padang, Rohana mencarikan kontributor untuk mengisi rubrik-rubrik dalam suratkabar mereka. Maka, terbitlah Soenting Melajoe . Kata “Sunting” dipilih karena berarti perempuan dan “Melayu” mewakili nama wilayah mereka. Singkatnya, surat kabar ini diperuntukan bagi perempuan di seluruh tanah Melayu. Soenting Melajoe terbit pertama 10 Juli 1912. Surat kabar ini terbit seminggu sekali dengan panjang 4 halaman. Biaya langganannya mencapai f 1.80 per tahun atau f 0.45 per triwulan. Persebaran Soenting Melajoe tak hanya di hampir seluruh Minangkabau dan Sumatera, namun juga menjaungkau Malaka dan Singapura karena disirkulasikan bersama Oetoesan Melajoe. Oleh karena itu, ada pula biaya langganan untuk wilayah di luar Hindia Belanda, yakni f 2.60 per tahun. Tulisan yang dimuat Soenting Melajoe beragam. Selain berita terjemahan dari bahasa Belanda yang dikerjakan Rohana, koran ini juga menyajikan sejarah, tulisan para kontributor, hingga puisi. Adanya wadah untuk menampung pikiran perempuan itu membuat Rohana semangat mengajak kawan-kawan dan muridnya untuk menulis di Soenting Melajoe. Di antara yang mengirim tulisannya, ada istri Wiria Atmadja dengan tulisan tentang obat sakit kolera pada terbitan tanggal 5 Oktober 1912. Lain waktu, pada Kamis 30 Januari 1913, Soenting Melajoe memuat puisi salah satu murid Rohana. Rohana dan Ratna Juwita sudah barang tentu menulis di setiap edisi. Pada Sabtu, 7 Agustus 1912, lewat artikel berjudul “Perhiasan Pakaian”, Rohana membahas keterampilan perempuan Minangkabau dalam menjahit dan merangkai manik-manik atau hiasan untuk pakaian. Ia menyoroti beberapa jenis keahlian tidak diturunkan sempurna dari nenek ke anak cucu mereka. Padahal, menurut Rohana, jika keahlian itu diturukan dengan baik dan ditekuni, hasilnya bisa mendatangkan keuntungan finansial bagi perempuan. Intinya, Rohana mengajak para perempuan untuk berbisnis dengan modal keterampilan menghias baju. Rohana bersama murid-muridnya (kiri). Rohana di usia senja (kanan). (Repro Rohana Kudus, Srikandi Indonesia ). “Sayang sekali kepandaian kita itu tidak dimajukan terus dan tidak dihikmatkan supaya kian lama bertambah halus dan bersih perbuatannya sampai boleh menjadi barang perniagaan seperti di bangsa lain,” tulis Rohana dalam artikel itu.   Adanya Soenting Melajoe membuat Rohana menjadi lebih sibuk. Disiplin mengatur waktu pun ia terapkan agar semua kegiatannya bisa berjalan lancar. Seperti ditulis Tamar Djaja dalam Rohana Kudus, Srikandi Indonesia, dalam sehari Rohana akan mengajar selama dua jam di sekolahnya, dua jam pula ia sempatkan untuk mengurus perkumpulan perempuan, dan malamnya ia fokuskan untuk menulis artikel di Soenting Melajoe. Kiprah Rohana dalam bidang jurnalistik tak terbatas pada penerbitan Soenting Melajoe . Ketika pindah ke Medan tahun 1920, ia berpartner dengan Satiman Parada Harahap untuk memimpin redaksi Perempuan Bergerak. Sekembalinya ke Minangkabau pada 1924, Rohana diangkat menjadi redaktur di suratkabar Radio, harian yang diterbitkan Cinta Melayu di Padang. Tulisan-tulisan Rohana kebanyakan berisi ajakan pada kaum perempuan agar lebih maju. Ia pun mengkritik praktik pergundikan yang dilakukan orang-orang Belanda kepada perempuan Indonesia, pekerjaan tak manusiawi di Perkebunan Deli, dan permainan para mandor yang menjebak buruh-buruh perempuan dalam prostitusi. “Aku ingin berbuat lebih banyak lagi untuk menolong kaum perempuan,” kata Rohana.

  • Membangkitkan Kembali Ratu Ilmu Hitam

    Hanif (Ario Bayu) mengajak istri (Hannah Al Rasyid) dan anak-anak mereka berkunjung ke panti asuhan tempat Hanif ditampung ketika kecil. Selain Hanif, Anton (Tanta Ginting) dan Jefri (Miller Khan) yang juga mantan anak panti turut datang. Mereka hendak menjenguk orang tua panti mereka, Pak Bandi (Yayu Unru) yang sedang sakit. Setelah sekilas bernostalgia dengan rumah panti yang nampaknya terpencil dan jauh dari kota itu, mereka mulai mengalami serangkaian teror. Berbagai kejadian tragis dalam waktu semalam itu kemudian mengingatkan mereka pada sejarah kelam yang terjadi di panti sekitar 20 tahun yang lalu. Bagaimana kelanjutannya? Sila tonton sendiri karena film Ratu Ilmu Hitam , hasil kolaborasi Joko Anwar bersama Kimo Stamboel telah resmi rilis di bioskop-bioskop Indonesia, 7 November 2019. Kali ini Joko Anwar sebagai penulis skenario sedangkan Kimo berperan sebagai sutradara. Dalam gala premier film ini, 4 November 2019, hadir mantan aktor Clift Sangra. Ia mengatakan bahwa film ini merupakan bentuk apresiasi sekaligus mengenang mendiang Suzzanna, pemeran Ratu Ilmu Hitam (1981). Ratu Ilmu Hitam  (2019) resmi tayang di bioskop-bioskop Indonesia mulai 7 November 2019. (Fernando Randy/Historia). Ratu Ilmu Hitam memang pertama kali dibuat pada 1981. Film ini mendapuk Suzzanna sebagai Sang Ratu Ilmu Hitam. Beberapa pemeran lainnya yakni Alan Nuari, Sofia WD , Teddy Purba, hingga WD Mochtar juga turut membuat film ini sempat populer pada era itu. Film ini disutradarai oleh Lilik Sudjio , ide cerita oleh Subagio Samtani, dan skenarionya ditulis oleh Imam Tantowi. Murni (Suzzanna) dituduh menggunakan ilmu hitam oleh Kohar (Alan Nuary) untuk mengacaukan pernikahan Kohar. Calon istri Kohar kesurupan, reog yang ditanggap mengamuk, pesta pernikahan itu pun berakhir kacau. Bahkan, dukun yang hendak membantu pun tewas mengenaskan. Kohar menghasut warga desa. Murni ditangkap, rumahnya dibakar, dan ia akhirnya dibuang ke jurang. Murni sendiri dulu sebenarnya adalah kekasih Kohar. Namun setelah ditiduri Kohar, Kohar justru menikahi perempuan lain. Seorang dukun teluh bernama Gendon akhirnya menyelamatkan Murni. Gendon memprovokasi Murni agar balas dendam kepada Kohar dan warga desa yang menyakitinya. Gendon melatih Murni ilmu hitam hingga menjadi Ratu Ilmu Hitam. Serangkaian pembunuhan oleh Murni pun terjadi di desa. Satu per satu warga yang dulu turut menganiaya Murni kena teluh dan tewas mengenaskan. Suatu ketika, seorang pemuda bernama Permana datang ke desa mencari keluarganya. Permana ternyata adalah kakak Murni. Namun, Murni justru jatuh cinta pada Permana. Semenjak balas dendamnya kepada Kohar terpenuhi, Murni sudah berniat ingin menghentikan terornya di desa. Namun Gendo menahannya. Akhirnya, Murni malah berniat membunuh Permana karena salah paham. Permana yang juga mempunyai kekuatan spiritual bisa menyadarkan Murni. Akhirnya, Murni menyerang Gendon hingga tewas. Namun, Murni sendiri juga tewas. Film ini dibuat pada masa film horor booming pada 1980-an dengan produksi mencapai sekira 69 judul film. Apalagi Suzzanna kala itu telah menjadi ikon film horor Indonesia. Sejumlah film horor yang dibintanginya, seperti Sundelbolong (1981), Nyi Blorong (1982), dan Malam Jumat Kliwon (1986) laris di pasaran. Setidaknya Suzzanna telah membintangi 18 film horor. Pada saat yang sama, latar tempat yakni desa terpencil dengan segala konstruksi mistisnya memang masih kental. Maka tak heran, banyak film horor saat itu berlatar belakang desa dengan makhluk mistis, ilmu gaib, maupun hantu-hantu ciptaan masyarakatnya. Dengan resep itu, film-film horor kala itu barangkali dengan mudah meneror para penontonnya. Mengutip filmindonesia.or.id , pada Festival Film Indonesia 1982, film Ratu Ilmu Hitam menyabet lima penghargaan sekaligus. Atas perannya sebagai Murni, Suzzana meraih penghargaan pemeran utama wanita terbaik sedangkan WD Mochtar meraih penghargaan pemeran pembantu pria terbaik. Tiga penghargaan lain yakni editing terbaik, fotografi terbaik, dan artistik terbaik.

  • Kebingungan Rombongan Perwira Angkatan Udara Sepulang dari China

    SAAT menerbangkan pulang helikopter Mi-6 dari Pangkalan Angkatan Udara (PAU) Husein Sastranegara, Bandung ke PAU Atang Senjaya, Bogor pada 2 Oktober 1965, Letda Udara (kini kolonel udara purnawirawan) Pramono Adam mendapati hal janggal. “Di atas, ramai (informasi radio, red .). Nggak boleh ke sana, nggak boleh ke sini. Nggak boleh ke Halim, Halim udah diduduki oleh Angkatan darat,” ujar Pram menirukan suara radio di cockpit helinya, kepada Historia . Ternyata, larangan di radio yang didengar Pram merupakan aturan yang dikeluarkan komandan-komandan PAU kepada pesawat-pesawat AURI yang sedang mengudara menyusul terjadinya G30S. Larangan itu muncul mengikuti keadaan yang cepat berubah lantaran keadaan darurat. Kondisi seperti yang dialami Pram juga dirasakan Kolonel Udara Santoso saat ditugaskan memiloti pesawat Hercules AURI untuk menjemput rombongan Seskau AU yang study tour ke RRC. Dari Canton (kini Guangzhou) sampai memasuki wilayah udara Indonesia, tanggal 6 Oktober, penerbangan Santoso berjalan dengan baik dan tenang. Perubahan baru terjadi ketika pesawat mendekati ibukota. “Setelah pesawat mendekati Jakarta, mendapat tiga instruksi. Pertama, agar Hercules mendarat di PAU Halim, instruksi kedua, agar mendarat di PAU Atang Senjaya Semplak dan yang ketiga, agar mendarat di PAU Husein Sastranegara,” tulis Aristides Katoppo dan kawan-kawan dalam Menyingkap Kabut Halim 1965 . Tiga instruksi itu membuat bingung Santoso dan juga Komodor Sri Bimo Ariotedjo, Danjen Sekolah Staf Komando AU (Seskau), yang berada di cockpit . “Ini perintah siapa?” tanya Bimo. “Kalau instruksi dari PAU Husein pasti datang dari Kolonel Ashadi komandan PAU Husein,” jawab Santoso. Ashadi (KSAU 1977-1982 ) merupakan komandan PAU pertama yang mengeluarkan himbauan kepada pesawat-pesawat AURI yang hendak mendarat ke Halim agar mengalihkan pendaratan ke PAU Husein yang dianggapnya lebih aman. Himbauan itu muncul menyusul didudukinya Halim oleh RPKAD pada 1 Oktober sore karena mengira AURI bakal membom Kostrad. Himbauan pertama Ashadi, dinihari 2 Oktober 1965, ditujukan kepada lima pesawat AURI yang dikirim dari Wing Ops 002 Abdulrachman Saleh, Melang ke Halim. Sebuah pesawat B-25 Mitchell yang terlanjur mendarat di Halim sebelum himbauan Ashadi keluar, akhirnya roda-rodanya digembosi para personil RPKAD. Namun karena tidak mengetahui maksud Ashadi dan justru menilai himbauan itu akan dimaksudkan untuk bermacam hal yang tak diinginkan, Bimo memerintahkan agar Santoso tak mendaratkan Hercules ke Bandung. Bimo lalu menanyakan pada Santoso apakah sebelum berangkat ke Canton mendapatkan kejadian aneh. Sang pilot pun menjawab bahwa pada dinihari 2 Oktober ketika Laksda Sri Mulyono Herlambang hendak kembali ke Jakarta dari Medan, di atas Tanjung Priok pesawatnya ditembaki oleh Artileri Serangan Udara milik AD. Mendengar jawaban Santoso, Bimo langsung memerintahkan agar Hercules mendarat di Halim dan sebelum masuk Karawang, pesawat turun ke ketinggian 500 kaki. “ Straight masuk Halim. Nggak usah call-call -an. Long final runway 24, langsung mendarat!” kata Bimo memberi perintah. Hercules akhirnya selamat mendarat di Halim yang saat itu sudah aman setelah pasukan RPKAD keluar usai diberi penjelasan Laksda Herlambang. Namun ketika rombongan siswa Seskau hendak pulang ke rumah masing-masing pada pukul 20.00, datang perintah agar rombongan segera menghadap Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto. Kendati bingung, Bimo dan rombongannya yang berisi 70 perwira AU pun berangkat menghadap Soeharto. Kebingungan Bimo makin bertambah ketika di Kostrad dia bertemu kawan lamanya di AMN Yogyakarta, Letkol Oerip Widodo, yang sama sekali beda dari biasanya. Sampai di situ, Bimo dan rombongan masih belum tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi. Terlebih, di ruangan tempat mereka diterima terdengar suara dua orang bercakap dengan keras di belakang ruangan. “Ada yang sedang berkelahi. Mayjen TNI Soeharto dan Mayjen TNI Pranoto Reksosamodro,” kata seorang ajudan berpangkat letnan yang menemani rombongan Bimo. Setelah sekira sejam menunggu, rombongan Bimo akhirnya ditemui Soeharto. Setelah menanyakan siapa pimpinan rombongan, Soeharto langsung mengambil sebuah catatan. “Begini ya, saya perlu brief semua,” kata Soeharto, dikutip Aristides dkk. Pangkostrad lalu membacakan kronologi peristiwa G30S. “Seolah-olah, pimpinanmu ada di pihak sana,” kata Soeharto menutup briefing . Pernyataan Soeharto itu makin menambah kebingungan para anggota rombongan Bimo. Terlebih setelah Soeharto mempertunjukkan foto beberapa jenazah jenderal yang dibunuh di Lubang Buaya. Puncak kebingungan Bimo dan rombongannya terjadi ketika Soeharto menutup pertemuan dengan sebuah pertanyaan. “Jadi, Saudara pilih pimpinanmu atau pilih kami?” kata Soeharto. Alih-alih memberi pilihan, Bimo yang sama sekali tak mengetahui perkembangan keadaan tanah air beberapa hari belakangan menjawab diplomatis. “Begini, Pak, saya berangkat atas perintah Men/Pangau. Saya pulang mau laporan dulu,” ujarnya. Jawaban itu membuat Soeharto kecewa. Dia langsung bangun dari duduknya dan keluar ruangan tanpa mengeluarkan sepatah kata.

  • Macz Man, Pelopor Suporter Kreatif Anti-Barbar

    TABUHAN drum bertalu-talu mengiringi nyanyian dan gerak koreografis suporter saat laga PSM Makassar kontra Arema FC, Rabu, 16 Oktober 2019. Kehangatan di Stadion Andi Mattalatta itu kian terasa dengan bersahabatnya kelompok suporter kedua tim yang berlaga. Kendati malam itu hampir segenap sudut stadion didominasi pendukung Juku Eja, julukan PSM, suporter tim tuan rumah itu tak sedikitpun menggunakan kedigdayaan untuk mengintimidasi Aremania, sebutan pendukung Arema FC, yang terselip di sektor tribun barat. Persahabatan itu membuat ratusan Aremania leluasa menyanyikan lagu-lagu penyemangat untuk timnya tanpa gangguan sehingga suaranya terdengar sampai ke tribun VIP Selatan yang Historia tempati. “Sudah sejak lama kami bersahabat dengan Aremania. Makanya ini mereka sekitar 300-an datang ke sini, tentu kita jamu. Sebagai bentuk balas budi karena ketika kami bertamu ke Malang pun kami dijamu dengan baik,” tutur Mustafa Amri, sekjen Macz Man, kepada Historia. Suasana bersahabat seperti itu memang selalu dikedepankan oleh Macz Man, kelompok suporter PSM terbesar dan pelopor gerakan suporter kreatif. Entah terinspirasi Andi Mattalatta ketika hendak menyalurkan pemuda ke hal-hal positif atau bukan, Macz Man ingin mengajak para suporter menjauh dari anarkis sehingga mengikis perilaku barbar para suporter yang hingga kini masih acap muncul di laga-laga sepakbola tanah air. Perintis Inisiatif Suporter Kreatif dan Atraktif Macz Man yang baru eksis pada 2001 jelas bukanlah kelompok suporter PSM tertua. Sebelumnya, PSM sudah dikawal Mappanyukki dan Suporter Hasanuddin di awal 1990-an, dan Ikatan Suporter Makassar (ISM) sejak 1995. Namun sebelum memasuki tahun 2000-an, suporter PSM termasuk salah satu suporter beringas. Perilakunya barbar. Lemparan benda-benda ke lapangan saat pertandingan, cacian rasis, hingga bentrok dengan suporter lawan menjadi ciri khas. “Perilaku suporter tahun 2000 ke bawah belum ada yang bersentuhan dengan kreativitas di stadion. Masih primitif. Artinya, perilakunya yang barbar. Sebelumnya, suporter PSM musuh dengan Bonek. Tidak ada sejarahnya merah (suporter PSM) bisa masuk stadion Gelora 10 November. Begitupun sebaliknya,” lanjut Mustafa. Penampakan harmonis Macz Man dan Aremania di Stadion Andi Mattalatta (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Hal itu menumbuhkan tekad Ocha Alim Bahri, pewarta foto cum fans PSM, untuk memberantasnya, terutama setelah PSM juara Liga Indonesia 1999-2000. Ocha sebelumnya mendapat “pencerahan” tentang suporter kreatif dari kiper PSM Hendro Kartiko. “Hendro Kartiko jelang laga away ke Malang dan Solo bisik ke bang Ocha. Tentang apakah enggak bisa bikin suporter PSM seperti Aremania atau menjadi suporter modern lain seperti Pasopati (suporter Persis Solo),” imbuh pria asal Palopo itu. Sepulang dari menemani PSM tur ke Jawa, Ocha mendekati sejumlah dedengkot kelompok suporter macam Suporter Hasanuddin dan ISM. Ocha ingin mengajak mereka memutar pemahaman bahwa bukan lagi zamannya jadi suporter beringas dan sudah saatnya berubah jadi suporter yang modern laiknya Aremania dan Pasopati. “Tapi kelompok-kelompok yang eksis saat itu tidak terima. Dibilangnya, bukan tipe (orang) Makassar itu. Kalau suporter Jawa boleh saja karena orangnya kan kalem-kalem. Makassar tidak bisa begitu. Karena tidak ada yang mau, makanya (Ocha) bikin kelompok sendiri,” sambung Mustafa. Ocha lalu mengajak rekannya Amarullah Pase dan Iriantosyah Kasih untuk menggodok konsep wadah baru pendukung tim Ayam Jantan dari Timur itu pada Desember 2000. Ketiganya juga berhasil menggalang massa “perintis” dengan menggaet 14 orang suporter lain yang punya pemahaman sama. “Mulai saat itu ikut bergabung 14 orang yang awalnya mereka anggota ISM kawasan Cilallang. Pak Ocha mulanya yang temui mereka dan kebetulan gayung bersambut dan sepaham dengan idenya Pak Ocha. Padahal kan ini anggota ISM. Jadi secara organisasi lembaga, tidak mau terima ide Macz Man untuk jadi suporter kreatif. Tetapi ada bagian dari kelompoknya yang mau terima dan itulah yang kemudian dibina,” tambahnya. Ketiga inisiator sengaja tak mendeklarasikan kelompok suporternya karena ingin lebih dulu punya “modal” agar ditengok publik. Utamanya via media, mengingat Ocha merupakan salah satu pewarta senior di Makassar. Ocha lalu meminta bantuan Mayor Haristanto, dedengkot Pasopati, untuk melatih bernyanyi dan koreografi. “Mulai latihan di Lapangan Karebosi, lalu berpindah-pindah di stadionnya UNM (Universitas Negeri Makassar). Lalu mulai bertambah anggota di situ sampai sekitar 100 orang. Karena dilatihnya sama Bung Mayor, makanya sampai sekarang yel-yel kita masih banyak pakai lagu pinjaman. Belum ada lagu lokal,” tutur Mustafa. Jajaran pengurus minus Presiden Macz Man Ocha Alim Bahri (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Setelah merasa “cukup” terlatih, Macz Man dideklarasikan pada 1 Februari 2001. Macz Man merupakan akronim Macazzart –pelesetan dari nama kota Makassar– Mania. Mustafa belum turut dalam “rombongan” perintis itu. Ia masih sekadar pendukung PSM tanpa organisasi. Butuh waktu agak lama sampai Macz Man bisa debut di Stadion Andi Mattalatta. Macz Man, kata Mustafa, pertamakali hadir di laga kandang PSM kontra Pelita Solo, 24 Juni 2001. Saat itulah Mustafa terpesona Macz Man dan memutuskan bergabung.  “Cikal-bakalnya banyak yang gabung dari situ. Termasuk saya.” Macz Man mulai dikenal publik via “kekuatan” media. “H+1 setelah debut itu, Macz Man muncul di media-media, bahkan media nasional ikut muat, tabloid Bola, karena ada rekan Pak Ocha, Sigit Nugroho,” kenang Mustafa. Kemunculan Macz Man tentu menuai nyinyiran dari kelompok-kelompok yang lebih senior. “Awalnya mereka tidak anggap kita. Dibilang, ‘ah, Macz Man ini baru seumur jagung.’ Tapi karena sering ter- cover media, jumlah kita mulai besar. Baru tahun kedua kita mulai adakan silaturahim ke para senior. Kita sepakat bahwa sekalipun beda payung, beda organisasi, tapi tim yang kita dukung sama. Setelah itu mereka mulai mengerti,” ujarnya. Salam Jabat Hati Sebagai identitas, Macz Man punya logo dan slogan. Logonya, seekor ayam jantan, sesuai julukan PSM, merupakan hasil sayembara yang dimuat di Harian Fajar . Sementara slogannya adalah “Salam Jabat Hati”, dicetuskan Mustafa sendiri. “Kebetulan ini slogan baru ada 2002 setelah kita tur ke Jawa. Ketemu dengan teman-teman Jakmania, Aremania, Bonek, sekaligus kita jalin persahabatan memperbaiki masa lalu. Di Aremania dikenal salam ‘Salam Satu Jiwa’. Bonek punya ‘Salam Satu Nyali, Wani!’. Nah pada saat itu kebetulan kita sepakat akan punya salam yang spesifik punya kita,” terang Mustafa. Ayam Jantan, logo Macz Man (Foto: the-maczman.com ) Ide Mustafa terinspirasi dari kata-kata “Salam Jabat Hati” di sebuah siaran radio lokal di Palopo. “Saya ingat sejak SMA sering dengar radio swasta di Palopo. Sebelum rampung siaran, penyiarnya berslogan ‘Salam jabat hati untuk saudaraku di pulau ini.’ Ah , kayaknya bagus ini. Saya lempar ke teman-teman di forum, mereka oke. Jadi maknanya, sekalipun kita berjauhan tapi tetap nyambung. Makanya salam jabat hati agar lebih akrab, kira-kira begitu,” tambahnya. Faktor slogan yang nyaris sama itu yang turut mengikat persahabatan Macz Man dengan Aremania dan bahkan Bonek, kendati dua suporter besar dari Jawa Timur itu saling bermusuhan. Soal ini, Macz Man tak mau pilih-pilih kawan. “Karena sama-sama disambut ketika kita bertamu ke Surabaya maupun ke Malang. Sama Aremania memang kita paling dekat, selain sama Pasopati. Sudah seperti silsilah keluarga. Pasopati yang mengajari Arema. Lalu Pasopati mengajari Macz Man. Jadi istilahnya, Pasopati itu bapaknya Macz Man dan Arema ini neneknya, hahaha …” Satu tradisi unik yang dimiliki Macz Man adalah tradisi memandikan patung legenda PSM Andi Ramang yang berdiri di Anjungan Losari dan menziarahi makam Ramang tiap merayakan hari jadi Macz Man 1 Februari. “Karena dia satu manusia langka orang bola di Indonesia. Satu-satunya pemain Indonesia yang diperingati saat wafatnya oleh FIFA. Dan memang ya itu (skandal suap) menghancurkan kariernya. Akhirnya dia pensiun, habis itu. Itulah… Padahal dia kan juga tidak akui terlibat skandal itu,” cetus Mustafa. Macz Man diakui publik sebagai pelopor suporter kreatif di Makassar. Eksistensinya menginspirasi kemunculan sejumlah kelompok lain yang juga tak mau kalau atraktif dalam menyemangati PSM, seperti Laskar Ayam Jantan, Red Gank atau PSM Fans. Namun, Macz Man tetap masih yang terbesar. Dari data 2018, jumlah resmi pemegang kartu anggota mencapai 5.000 orang. ini belum termasuk para perantauan asal Makassar yang di luar Sulawesi. Meski tak mendapatkan dispensasi apapun dari klub, Macz Man tetap setia menemani di manapun PSM berlaga. “Enggak ada dispensasi dari manajemen (klub). Orang umum didiskon (tiket) 10 persen, kita pun sama saja. Tur ke luar juga biaya sendiri. Betul-betul mandiri. Tak jarang ada cerita anggota kita gadaikan BPKB kendaraannya untuk ongkos ke luar kota,” sambung Mustafa. Mustafa Amri, Sekjen The Macz Man (Foto: Randy Wirayudha/HISTORIA) Jelas bukan perkara mudah bagi pengurus untuk membuat Macz Man sesuai dengan angan di awal mengingat jumlah anggotanya begitu besar untuk ukuran di luar Jawa. Meski sudah “dididik” untuk menjadi suporter yang sportif dan kreatif, masih ada saja sisa-sisa perilaku barbar yang muncul. Insiden pelemparan terhadap para pemain Persija jelang final Piala Indonesia pada Agustus silam, contohnya. “Sangat sulit mengatur mereka. Tiap kepala punya pikiran sendiri-sendiri. Tak ada pendekatan meritokratis yang mudah laku karena sebagian suporter sepakbola kita, saya sebut sebagai kumpulan useful idiots , himpunan kaum teroris yang dilegalkan untuk berhimpun di stadion-stadion yang tak pernah dihukum ketika berbuat onar,” ujar Bambang Haryanto, mantan Sekjen Asosiasi Suporter Seluruh Indonesi (ASSI), dikutip Anung Handoko dalam Sepakbola tanpa Batas: City of Tolerance . Namun, para petinggi Macz Man tetap amat memperhatikan para anggotanya soal itu lantaran mewujudkan kelompok suporter kreatif sesuai angan tak secepat membalikkan telapak tangan. “Tidak jarang awal-awal kita bentrok dengan anggota kita karena ada yang mau lempar-lempar ke lapangan. Memang biasanya yang memantik brutalisme suporter adalah wasit. Walau kita sudah arahkan berperilaku kreatif, masih ada yang kambuh kalau terpancing. Memang butuh waktu,” tandas Mustafa.

  • Leluhur Orang Papua

    Ada dua ras berbeda yang mendiami Kepulauan Nusantara. Ras Mongoloid menempati bagian barat dan utara. Sementara di timur dan selatan ditinggali ras Australomelanesid. Secara fisik, keduanya dengan mudah dapat dibedakan. Orang Papua mewakili ras Australomelanesid. Sementara orang Melayu mewakili ras Mongoloid. Namun, leluhur orang Papua yang tertua tiba di Nusantara. Keberadaannya bisa ditarik mundur sampai masa Homo sapiens atau manusia yang secara anatomis modern, bermigrasi keluar dari Afrika. Harry Widianto, kepala riset Balai Arkeologi Yogyakarta, menjelaskan berdasarkan bukti paleoantropologis, sampai kini benua Afrika masih dipercaya sebagai sumber asal dan tempat evolusi hominid. Homo sapiens diperkirakan mulai menyebar keluar dari benua itu sejak 100.000-300.000 tahun yang lalu. Dengan menyusuri garis pantai dari Afrika, mereka berjalan kaki hingga kawasan Asia Tenggara. Secara berkelompok mereka menyusuri garis pantai dari Afrika sampai Nusantara dengan memanfaatkan jembatan darat yang menggabungkan Sumatra, Kalimantan, dan Jawa. Mereka lalu bergerak ke Halmahera sampai ke wilayah Papua. Merekalahyang kemudian disebut ras Melanesia. “Ini garis keturunan langsung dan bertahan sampai sekarang. Cirinya rambut merah, keriting. I ni diturunkan sampai sekarang di Papua dan Halmahera,” kata Harry yang ditemui dalam diskusi “Jejak Manusia Nusantara” di Museum Nasional, Jakarta, Selasa (5/11/2019) . Bukti penjelajahan manusia modern awal itu di Nusantara ditemukan di Lida Ajer, Sumatra Barat berupa gigi dari 73.000-63.000 tahun yang lalu. Kemudian di Indonesia bagian timur berupa alat-alat batu berumur 45.000-20.000 tahun yang lalu. “Manusia modern awal ini yang kemudian menurunkan ras Australomelanesid yang segera menyebar ke seluruh Kepulauan Nusantara sejak 15.000 tahun yang lalu,” kata Harry. Populasi ras Melanesia awalnya menjelajah dari kawasan inti mereka di sekitar Nugini, termasuk di Kepulauan Bismarck di pantai timur laut Nugini, Samudra Pasifik, hingga sampai ke Australia Tenggara. Populasi ini hidup di Australia sampai 30.000 tahun yang lalu. Dari sana barulah beberapa bermigrasi sampai ke Nusa Tenggara, Jawa, dan Kalimantan pada 15.000-5.000 tahun yang lalu. Mereka inilah ras Australomelanesid. “Cirinya berbadan kekar, kepala lonjong, gigi maju. Mereka menghuni gua lalu hilang pada 5.000 tahun lalu,” jelas dia lagi. Ras Australomelanesid segera menguasai hampir seluruh wilayah Kepulauan Nusantara hingga 5.000 tahun yang lalu. Menrut Harry, mereka kemudian menjadi satu ras yang cukup besar, Mereka hidup di gua-gua Jawa Timur, Jawa Tengah, DIYogyakarta, Sumatra, Kalimantan, Nusa Tenggara Barat, dan Timur. Orang-orang ini juga punya kebiasaan menguburkan kerabatnya yang mati dengan sistem penguburan terlipat. “Seperti janin di dalam perut ibu,” kata Harry. Masyarakat Wamena, Papua, Indonesia. (Sergey Strelkov/123rf). Peter Bellwood dalam Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia juga menjelaskan Daratan Sunda, Wallacea, dan Daratan Sahul merupakan wilayah yang bisa dikatakan sebagai kawasan Melanesia Lama. Populasi yang dulunya menempati kawasan itu merupakan leluhur orang-orang di Australia dan Melanesia modern. Melanesia mencakup gugus kepulauan yang memanjang dari Papua dan Aru lalu ke timur sampai Pasifik bagian barat, serta utara dan timur laut Australia.  “Jadi orang Papua itu justru keturunan manusia modern yang 70.000 tahun lalu tiba di Nusantara yang kemudian menghasilkan Australomelanesid,” kata Harry. “Sementara orang Nusa Tenggara adalah keturunan langsung dari Papua. Papua itu sulung. Paling tua (leluhurnya, red. ).” Populasi awal yang mendiami Nusantara kala itu pun terus menerus berevolusi menjadi kelompok yang beragam. Mereka mengalami perubahan tertentu, yaitu semakin mungilnya wajah dan tengkorak. “Saya curiga bahwa perubahan karena tekanan seleksi setempat mungkin juga berperan penting, walaupun proses ini tak terekam dalam perubahan budayanya,” tulis Bellwood. Kendati begitu, kelompok itu secara fenotip tetap Australomelanesid. Beberapa di antaranya bahkan tetap bertahan hingga kini. Mereka adalah orang-orang Indonesia yang menghuni bagian timur. Sementara pada 5.000 tahun yang lalu sekelompok manusia modern lainnya datang dari utara menuju Kepulauan Nusantara. Merekalah ras Mongoloid, atau yang secara khusus disebut para penutur Austronesia. Mereka berpindah ke selatan dari Taiwan pada 5.000 tahun yang lalu dan tiba di Nusantara dan Filipina pada 4.000 tahun yang lalu. Mereka lalu menduduki daerah-daerah yang sudah pernah ditinggali populasi Australomelanesid. Populasi ras Mongoloid itu kemudian bercampur dengan sebagian ras Australomelanesid yang masih bertahan. Mereka terutama yang hidup di wilayah Wallacea, seperti Sulawesi dan Nusa Tenggara. Karenanya kini orang-orang di wilayah Nusa Tenggara merupakan hasil percampuran Australomelanesid dan Mongoloid. “Tentu saja sebaiknya kita senantiasa ingat bahwa semua bukti ini menunjukkan bahwa banyak di antara populasi Mongoloid yang sekarang tinggal di Indonesia dan Malaysia juga mempunyai banyak warisan genetik Australomelanesid,” tulis Bellwood. Bukti lain bahwa Australomelanesid masih bertahan ketika ras Mongoloid datang adalah temuan di Gua Harimau, Sumatra Selatan. Dari 82 rangka manusia yang ditemukan, 77 di antaranya adalah ras Mongoloid dan lima lainnya Australomelanesid. “Di situ hidup bersama, co-habitation namanya, di Gua Harimau pada 3.500 tahun lalu. Ini membuktikan bahwa ras Australomelanesid masih bertahan di Sumatra ketika Mongoloid datang. Tapi mereka tidak berkawin. Karena di situ terpisah ditemukannya, tidak seperti penduduk Nusa Tenggara sekarang,” kata Harry. Pada perkembangannya, Mongoloid, yaitu penutur Austronesia, menghuni kawasan Indonesia barat. Sementara Austromelanesid bergeser sedikit demi sedikit menghuni kawasan Indonesia timur. Kendati begitu, desakan migrasi penutur Austronesia itu tidak sampai kepedalaman Papua. Karenanya karakter Melanesia yang lebih asli masih dijumpai di pedalaman Papua. “Papua dan Nusa Tenggara secara genom berlainan dari kita. Jadi kalau sekarang fisiknya lain. Tapi kita semua kalau dibedah ya sama, asalnya dari pohon evolusi yang sama, Homo sapiens yang bergerak keluar dari Afrika,” lanjut Harry.

bottom of page