top of page

Hasil pencarian

9594 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Masa Gemilang Pattimang

    DESA Pattimang sedang bersolek. Gerbang utama kompleks situs pemakaman Datu Sulaiman dan Andi Patiware dicat ulang. Di kiri-kanan jalan dihiasi walasuji atau bambu yang dirajut dengan indah, hingga terlihat seperti pagar. Di depan gerbang utama itu, penduduk mendirikan bangunan dari atap daun sagu, seakan membungkus badan jalan, sebagai tempat melakukan manre sappera  atau makan bersama sepanjang 1 kilometer. Persiapan melakukan hajatan manre sappera  itu berlangsung selama seminggu. Menghidangkan sekitar 110 jenis makanan tradisional dan dihadiri puluhan raja dari se-Nusantara.

  • Fifi Young, Indo Nan Jelita

    Siapa tak tertarik padanya. Hidung bangir, kulit putih, badan tinggi semampai, paras yang cantik. Plus kepandaian olah peran dan menari membuat Fifi Young tenar hingga ke Negeri Jiran, Malaysia. Sampai-sampai saat tampil di Kuala Lumpur, Gubernur Selangor yang kerap menonton pertunjukan grup sandiwara kenamaan Miss Riboet Orion memimpin seruan: “ One, two, three, we want Fifi .” Nama aslinya Tan Kim Nio. Lahir di Sungai Liput, Aceh 12 Februari 1915, dari ayah Prancis dan ibu peranakan Tionghoa-Aceh. Sam Setyautama dan Suma Mihardja dalam Tokoh-tokoh Etnis Toinghoa di Indonesia  menulis kalau Kim Nio tak pernah mengecap pendidikan formal. Di usai 14 tahun dia menikah dengan Njoo Cheong Seng, seorang penulis serbabisa –khususnya novel dan naskah sandiwara– yang juga aktif sebagai sutradara teater. Saat menikahi Fifi, Cheong Seng aktif di grup sandiwara Miss Riboet Orion.

  • Pengikat Angkatan Darat

    "SERANGAN kita sudah saya tetapkan tanggal 1 Maret subuh," kata Marcell Siahaan yang memerankan Letkol Soeharto dalam film komedi sejarah Laskar Pemimpi . Kata-kata itu mirip pernyataan Soeharto dalam otobiografinya, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya . Peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 yang digambarkan dalam sejarah versi Orde Baru menyanjung Soeharto dan melupakan Sultan Hamengkubuwono IX sebagai konseptor dan Kolonel Bambang Sugeng sebagai pemberi perintah. Padahal Letnan Kolonel Soeharto hanyalah salah satu pelaksana operasi di lapangan .

  • Dari Pemujaan hingga Bisnis

    CALIGULA, Kaisar Romawi (37-47 M), pernah hampir menjadikan kudanya, Incitatus, sebagai konsul (salah satu pimpinan Kekaisaran Romawi). Caligula menyanjung kudanya lantaran beberapa kali menang balap chariot (kereta kuda). Balapan ini mulai diminati masyarakat Romawi dari semua kalangan sejak abad ke-6 SM. Beberapa Kaisar Romawi bahkan menggunakan ajang ini sebagai alat politik untuk mempertahankan kekuasaan. Pada 530 SM, Raja Lucius Tarquinis Superbus memerintahkan pembangunan Circus Maximus, arena khusus untuk balap chariot. Dia menginginkan kemegahan Kerajaan Romawi termanifestasi dalam salah satu amphiteater (arena) tertua dan terbesar di Roma ini. “Panjang bangunan ini 1800 kaki, lebarnya 600 kaki. Bentuknya seperti leter U panjang. Di tengah lapangan amphiteater ini terdapat semacam barikade panjang, disebut Spina,” tulis majalah Varia , 20 September 1961.

  • Makanan Jiwa dari Sang Pematung

    Bagi sebagian besar warga Jakarta, patung Selamat Datang di bundaran Hotel Indonesia, patung Dirgantara di Pancoran, atau patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng tentu tak asing lagi. Seniman Edhi Sunarso menjadi pelaksana penggarapan ketiga patung monumental tersebut.  Lahir di Salatiga, 2 Juli 1933, perjalanan Edhi di dunia seni menyimpan kisah unik. Dalam katalog pameran “The Monumen”, digelar di Galeri Salihara, Agustus 2010, Edhi menceritakan, menjadi seniman tak pernah dia bayangkan sebelumnya.

  • Terowongan Neyama Romusha

    PADA 17 November 1942, Sungai Brantas meluap, merendam 150 desa dan 9.000 rumah di Kabupaten Tulungagung. Luapan air juga menghancurkan areal pertanian. Genangan air di daerah hilir membentuk tanah berawa yang luas, yang oleh penduduk setempat disebut “campur darat.” Untuk mengatasinya, pemerintah Karesidenan Kediri membangun sebuah terowongan melalui wilayah perbukitan untuk menguras air yang masih menggenangi rawa-rawa ke Samudra Hindia. Selain itu, diharapkan terowongan itu bisa menjaga tanaman padi, yang sedang diintensifkan Jepang untuk menyuplai pasokan makanan tentaranya di medan perang.

  • Kain Kulit Kayu

    SEHELAI kulit kayu ivo  terentang di atas balok kayu kanore . Farida, berusia 54 tahun, memukulkan ike  di genggaman tangannya ke lembaran kulit kayu itu. Irama pukulannya statis, layaknya sedang menumbuk padi. Terhantam ike , kulit kayu menipis dan melebar. "Ini baru tahap awal setelah pemotongan dan pengeratan kulit kayu dari tungkainya. Proses pemukulan dengan ike  memakan waktu sehari," ujar Farida, seorang pengrajin kulit kayu asal Desa Pandere, Sulawesi Tengah, saat dijumpai di Museum Tekstil, Jakarta.

  • Antara Padi Bulu, Cere, dan Horai

    PADI yang ditanam di Jawa sebelum perang secara kasar dikelompokkan menjadi dua jenis: pade cere (padi tak berambut) dan padi bulu (padi berambut). Orang Jawa lebih menghargai padi bulu ketimbang padi cere karena lebih enak dan dianggap bermutu lebih tinggi, sehingga harganya pun lebih mahal. Ketika menduduki Indonesia, pemerintah militer Jepang mendorong petani agar menanam padi cere yang lebih produktif. Setiap hektarnya, padi cere bisa menghasilkan panen lebih tinggi karena tahan terhadap musim kering dan bisa tumbuh di tanah yang kurang subur.

  • Si Putih yang Mendunia

    KEMEJA Arrow pernah bikin Sukarno dan Sjahrir bertengkar semasa sama-sama jadi tawanan Belanda. Peristiwa tersebut terjadi saat Sukarno meminta kemeja Arrow kepada penjaga tahanan. Karena jenggah, Sjahrir berucap: "Kamu ini kan presiden, kenapa minta-minta seperti itu? Jaga martabat, Bung!" Kisah tersebut memang hanyalah fiksi, tertulis dalam novel Presiden Prawiranegara garapan Akmal Nasery Basral. Meski demikian, kecintaan Bung Karno terhadap kemeja Arrow adalah sebuah kenyataan. Dalam Menyingkap Tirai Sejarah Bung Karno & Kemeja Arrow , sejarawan Asvi Warman Adam merujuk catatan Maulwi Saelan, ajudan Presiden Sukarno, yang menuliskan saat keluar istana Bung Karno meninggalkan banyak buku dan benda lainnya seperti arloji dan kemeja Arrow.

  • Gejolak Revolusi di Selatan Jakarta

    JEANETTE Tholense mengenangnya sebagai peristiwa kelam dalam hidupnya. Suatu siang Oktober 1945, segerombolan pemuda bersenjata menggeruduk rumah orangtuanya di Kerkstraat (kini Jalan Pemuda), Depok. Selain merampok, para pemuda prokemerdekaan itu membunuh salah seorang saudaranya, Hendrick Tholense. Merasa tak aman lagi, Jeanette dan keluarganya mengungsi ke rumah saudara di Jalan Bungur. Alih-alih terlindungi, mereka malah menjadi tawanan para pemuda. “Semua disuruh buka baju. Yang lelaki tinggal pakai celana kolor dan yang perempuan tinggal pakaian dalam saja. Kami digiring ke Stasiun Depok Lama,” ujar perempuan kelahiran Bandung, hampir 76 tahun lalu.

  • Berlayar Sampai Madagaskar

    Orang Indonesia adalah nenek moyang penduduk Madagaskar, demikian penelitian yang dimuat dalam jurnal Proceedings of the Royal Society B , 21 Maret 2012. Ahli biologi molekuler Universitas Massey Selandia Baru, Murray Cox, memimpin penelitian untuk menganalisis DNA mitokondria yang diturunkan lewat ibu dari 2.745 orang Indonesia yang berasal dari 12 kepulauan dengan 266 orang dari tiga etnis Madagaskar (Malagasi): Mikea, Vezo, dan Andriana Merina. Menurut Cox, seperti dikutip The Australian (21/3/2012), hasil riset tersebut menyimpulkan bahwa sekira 30 orang perempuan Indonesia menjadi pendiri dari koloni Madagaskar 1.200 tahun silam. Mereka disertai beberapa lelaki yang jumlahnya lebih sedikit.

  • Nusantara dalam Kitab Tiongkok

    SEJARAH kuno Indonesia tak bisa dilepaskan dari sumber-sumber Tiongkok. Selama ini, sejarah ditulis berdasarkan sumber Tiongkok yang dihimpun oleh W.P. Groeneveldt dalam Notes on Two Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Resources (1880), yang baru-baru ini diterjemahkan menjadi Nusantara dalam Catatan Tionghoa . Berdasarkan buku ini pula disusunlah buku babon Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno (1975 dan 1984). Dibanding karya Groeneveldt, buku karya Prof Liang Liji ini, menggunakan sumber-sumber primer yang lebih kaya, yaitu kitab-kitab sejarah Tiongkok kuno.

bottom of page