top of page

Hasil pencarian

9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Stunting dan Sejarahnya di Indonesia

    Aktif mengikuti Historia di media sosial Twitter mengantarkanTriawan (24 tahun) ke acara Ngobras (Ngopi Bareng Rasa Sejarah) pada 16 Mei 2019. Acara yang diadakan Historia bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika ini berlangsung di Beranda Coffee, Jakarta Selatan. Ngobrasedisi kali ini mengangkat tema “Stunting dan Sejarahnya di Indonesia”, dengan menghadirkan para pakar kesehatan di Indonesia, di antaranya Agus Setiawan, Ph.D (dosen sejarah kesehatan Universitas Indonesia), dan dr. Dermawan C. Nadeak, Sp.GK (dokter spesialis gizi klinik). “Tema yang diangkat menarik. Jarang ada bahasan tentang stunting di sejarah kesehatan,” ucap mahasiswa sejarah UNJ itu. Antusiasme para peserta Ngobras begitu besar. Terbukti dari banyaknya pertanyaan dan tanggapan tentang materi stunting ini. Kendati kursi telah habis, mereka rela berdiri demi dapat mendengarkan pemaparan dari para pemateri. Gizi dan Stunting Permasalahan kesehatan gizi, lebih lanjut dapat menjadi stunting , telah menjadi momok bagi dunia kesehatan Indonesia. Stunting terjadi manakala seorang bayi tidak tumbuh secara optimal akibat asupan gizi pada 1000 hari pertama kehidupannya tidak terjaga. “Dampak jangka panjang dari stunting ini cukup mengkhawatirkan. Misal meningkatkan risiko penyakit, postur tubuh tidak optimal, produktivitas yang tidak maksimal, dan sebagainya,” kata Dermawan. Sejak masa kolonial, pemerintah sudah memberikan fokus terhadap persoalan gizi buruk tersebut. Agus mengatakan bahwa bentuk nyata dari perhatian pemerintah Hindia Belanda terhadap permasalahan kesehatan dilakukan dengan membangun banyak fasilitas kesehatan. Namun awalnya hanya untuk menjaga kesehatan para tentara. “Perhatian pemerintah kepada sipil ini malah belakangan mendapat prioritas karena tentara kolonial menjadi ujung tombak pemerintah Hindia Belanda,” ujar Agus. Masalah kesehatan terburuk dialami oleh rakyat Indonesia sejak diberlakukannya kebijakan Tanam Paksa pada 1830. Terjadi kelaparan besar-besaran di berbagai daerah di Indonesia. Jangankan gizi, pangan pun tidak tercukupi. “Orang-orang Indonesia itu jangankan untuk mendapatkan nutrisi yang cukup, untuk mendapatkan bahan pangan dasar saja sudah sangat terbatas,” kata Agus. Kasus gizi buruk di masyarakat terus meningkat, terlebih sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1930. Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan penanggulangan dengan mendirikan Instituut Voor de Volkvoeding (IVV) pada 1934. Melalui lembaga riset ini, pemerintah mencoba membuat solusi terkait permasalah gizi. Seorang konsultan pertanian untuk pendidikan, G.A. van de Mol, dalam tulisannya Gezonde Voeding (Makanan Sehat), menyerukan agar orang Eropa yang tinggal di Hindia untuk beralih ke pangan “pribumi”, yang lebih kaya sayuran dan buah-buahan ketimbang daging, sebagai alternatif. Namun, kesulitan harus dihadapi masyarakat Indonesia. Upaya perbaikan gizi kembali terhalang saat masa pendudukan Jepang. Kebijakan yang mengharuskan rakyat menyetor hasil pertanian membuat mereka kekurangan pangan. Rakyat harus hidup dengan makanan seadanya. Dalam bukunya Mobilisasi dan Kontrol, Aiko Kurasawa menjelaskan keadaan yang dialami rakyat Indonesia saat menghadapi krisis tersebut. Untuk mengatasinya, diperkenalkanlah resep-resep makanan baru pengganti beras. “Salah satunya adalah ‘bubur perjuangan’, yang terbuat dari campuran ubi, singkong, dan katul,” tulis Aiko. Pada masa pendudukan Jepang segala lembaga kesehatan dan hasil-hasil riset yang telah dibangun oleh Belanda dikuasai sepenuhnya untuk kepentingan militer Jepang. Tidak sedikit pun mereka memberi ruang bagi pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia. “Satu kata untuk masa pendudukan Jepang ini: gizinya sangat buruk,” kata Agus. Agus kemudian menulis dalam makalahnya bahwa setelah Indonesia merdeka, Kementerian Kesehatan segera dibentuk atas usulan panitia kecil (Sukarno, Hatta, Agus Salim, Achmad Subardjo, dll). Setelah itu kementerian kesehatan bergerak cepat mengatasi permasalah kesehatan ini. Pada 1950, dibentuk Lembaga Makanan Rakyat (LMR), kelanjutan dari IVV pada masa Belanda. Lembaga pimpinan Poorwo Soedarmo ini merintis berbagai program gizi nasional, seperti penyuluhan, penanggulangan, dan pendidikan untuk para ahli gizi. Tetapi bukan persoalan mudah bagi LMR menjalankan misinya. Keadaan ekonomi yang belum stabil, ditambah tidak meratanya pemahaman masyarakat tentang kesehatan membuat LMR harus bekerja sangat keras. Pada 1951, LMR mendirikan Sekolah Juru Penerang Makanan. Hal itu dilakukan untuk mencetak ahli-ahli gizi di Indonesia. LMR juga menginisiasi diadakannya Hari Gizi Nasional pertama pada pertengahan 1960-an. Untuk mempercepat program kerja LMR, Poorwo kemudian membuat slogan “4 Sehat 5 Sempurna”. Hasilnya, kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga keseimbangan makanan terus meningkat. “Kalau saya pribadi sebagai dokter gizi mengatakan bahwa 4 sehat 5 sempurna ini sudah lebih gampang diterima,” ucap Dermawan. Pada 1999, pemerintah mulai mengeluarkan kebijakan desentralisasi untuk urusan kesehatan ini. Mereka memberikan wewenang penuh kepada pemerintah daerah untuk mengatasi berbagai persoalan kesehatan di wilayahnya, termasuk urusan gizi. Namun, hal itu sangat memberatkan. Pemerintah daerah yang kekurangan fasilitas dan tenaga kesehatan kesulitan menanggulangi perosalan gizi tersebut. Acara Ngobras diakhiri dengan pemaparan dari perwakilan Kominfo, Irawan, mengenai program-program yang telah dijalankan dalam persoalan stunting . “Sejak tahun 2014, Kominfo diberi kepercayaan untuk mengkampanyekan stunting di Indonesia,” terang Irawan. Sebagai langkah nyata, Kominfo kemudian membentuk sebuah gerakan yang dikenal sebagai “Genbest” (Generasi Bersih dan Sehat). Gerakan ini ditujukan untuk menyelesaikan persoalan gizi di berbagai daerah di Indonesia. Caranya dengan penyuluhan langsung pada masyarakat, terutama generasi-generasi muda.

  • Di Bawah Simbol Banteng

    FOTO usang itu menyiratkan kegagahan. Sekelompok pemuda dengan takeyari (bambu runcing) terhunus berbaris rapi.  Wajah-wajah mereka terlihat keras seolah siap menghancurkan musuh yang datang menghadang. Sementara  salah satu dari pemuda itu memegang panji bersimbol siluet kepala banteng.  Siapakah mereka? “Anak-anak muda itu adalah anggota sebuah lasykar ternama di era revolusi, namanya BBRI (Barisan Banteng Republik Indonesia),” ungkap sejarawan Rushdy Hoesein. Kendati didirikan oleh kaum nasionalis  dan kerap dihubungkan dengan PNI (Partai Nasional Indonesia), pada kenyataannya  BBRI bukanlah “milik seutuhnya” dari partai kaum nasionalis tersebut. Menurut Kemal Asmara Hadi, pada awal pendiriannya loyalitas BBRI lebih cenderung ditujukan kepada Sukarno. “ Wajar karena sebagian besar pimpinannya seperti dr. Moewardi dan Soediro adalah kader Bung Karno,” ungkap salah satu putra dari tokoh BBRI, Asmara Hadi itu BBRI memang salah satu milisi terkuat di Indonesia pasca proklamasi. Menurut George McTurnan Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia , pada akhir 1945, anggotanya melampaui angka 20.000 orang. Suatu jumlah yang hanya bisa dikalahkan oleh Hizboellah (Masyumi), Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia) dan Lasjkar Rakjat (Murba). Awalnya Barisan Pelopor Di tengah gelora permusuhan terhadap Sekutu yang ditiupkan oleh pemerintah militer Jepang, kaum nasionalis Indonesia mengajukan permohonan untuk membentuk suatu badan semi militer. Menurut Rushdy Hoesein, permohonan itu direspon secara cepat oleh Chuo Sangi In (Dewan Pertimbangan Pusat). Maka  pada 1 November 1944 didirikan sebuah organ bernama Barisan Pelopor ( Syuisyintai ) yang ada di bawah kendali  Djawa Hokokai. “Sebagai pimpinan diangkatlah Ir. Sukarno, sedangkan tiga wakilnya adalah R.P. Suroso, Otto Iskandardinata dan dr. Buntaran Martoatmojo serta dr.Moewardi selaku pimpinan Barisan Pelopor cabang Jakarta,” ungkap Rushdy. Kendati disiapkan untuk menjalankan bela negara, namun dalam kenyataannya kegiatan Barisan Pelopor (BP) hanya difokuskan kepada upaya menggalang massa aksi dan upaya pengamanannya saat berlangsung pidato-pidato para tokoh nasionalis. Namun, struktur dan pengorganisasian BP bisa disebut sangat baik. Itu dibuktikan dengan berdirinya cabang-cabang BP hingga tingkat kawedanaan bahkan sampai tingkat kelurahan. “ Jumlah anggotanya diperkirakan meliputi 60.000 orang…” tulis Nugroho Notosusanto dan Marwati Djoened Poesponegoro dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI . Sejarah mencatat peran besar BP dalam proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Selain mengurusi hal-hal teknis, mereka pun terlibat dalam pengamanan Sukarno-Hatta.  “Para komandannya terdiri dari mahasiswa-mahasiswa radikal yang aktif di grup Menteng 31,” ujar Rushdy. Terbentuknya Barisan Banteng Pada 16 Desember 1945, di bawah dr.Moewardi BP merubah namanya menjadi BBRI. Walaupun jumlah anggotanya melorot tajam dibanding saat masih bernama BP, namun BBRI dikenal sebagai milisi yang memiliki persenjataan lengkap dan jaringan paling kuat di pelosok Jawa dan Sumatera. Wajar dengan kondisi seperti itu BBRI bisa bicara banyak di berbagai palagan, baik saat menghadapi militer Inggris maupun ketika berhadapan dengan militer Belanda. Salah satu contoh, pada  awal 1946, BBRI pimpinan Soeroso secara heroik  sempat membuat kalangkabut Batalyon 3/3 Gurkha Rifles di palagan Cianjur.  “ Padahal yang mereka hadapi adalah pasukan elite milik Inggris, pemenang Perang Dunia II…” ujar Letnan Kolonel (Purn) Eddie Soekardi, salah satu sesepuh Divisi Siliwangi. Namun menurut Kahin, melimpahnya persenjataan dan keberanian mereka kerap tidak dibarengi dengan penerapan disiplin yang bagus. Terlebih di BBRI, jumlah komandan yang cakap secara militer sangatlah sedikit. Otomatis itu menimbulkan lebih banyak masalah di lapangan. “ Akibatnya, semangat tempur dan kekuatan politik BBRI perlahan mengecil,”ujar pakar sejarah revolusi Indonesia asal Amerika Serikat itu. Akhir April 1946, BBRI terlibat dalam kericuhan di Surakarta. Berawal dari adanya tuntutan PNI Surakarta yang meminta agar kekuasaan Sunan dicabut dan provinsi yang ia kuasai dimasukan ke dalam Republik dengan tingkat pemerintahan yang sama sebagaimana wilayah yang diperintah secara langsung. Beberapa hari kemudian, pasukan BBRI mengepung kepatihan dan gudang logistik milik Sunan. “ Aksi ini dilakukan bersama Rono Marsono, seorang pemimpin serikat buruh lokal yang kuat tetapi bejat,” ungkap Kahin. Akibat kejadian tersebut,pada Mei 1946, Pemerintah Sjahrir menangkapi 12  pemimpin PNI dan BBRI, termasuk dr.Moewardi.  Tentu saja BBRI tidak menerima penangkapan itu. Mereka lantas melakukan demonstrasi besar-besaran di Solo guna menuntut pembebasan pemimpin-pemimpin mereka. Aksi tersebut ditanggapi secara positif oleh pimpinan TRI (Tentara Republik Indonesia) Jenderal Soedirman dengan membebaskan 12 orang itu. Tanpa Kompromi S ecara politik, BBRI menganut  pendirian “tak mengenal kompromi dengan Belanda”. Pilihan ini jelas membuat milisi bersimbol banteng kekar tersebut bersimpangan jalan dengan PNI, yang mendukung Perundingan Linggarjati dan Perundingan Renville laiknya sang patron: Presiden Sukarno. “Di sinilah simpang jalan itu, Moewardi melihat PNI dan Sukarno mulai “tidak konsisten” terhadap garis perjuangan semula,” kata Rushdy Hoesein. Sebaliknya pendirian BBRI itu justru bertemu dengan para pendukung Tan Malaka yang berprinsip: Indonesia harus merdeka 100%. Maka bertempat di Surakarta, pada 25 Januari 1948,terbentuklah GRR (Gerakan Revolusiener Rakyat), suatu aliansi antara para nasionalis yang ada di BBRI dengan para murbais (pendukung ide-ide politik Tan Malaka) dan kaum komunis di luar PKI (Partai Komunis Indonesia) pimpinan Musso. Pembentukan GRR memantik konflik dengan FDR (Front Demokrasi Rakyat) yang di antaranya disponsori oleh PKI dan Pesindo. Puncak perseteruan terjadi kala dr.Moewardi (yang saat itu sudah menjadi Ketua GRR) diculik oleh sekelompok orang bersenjata pada 13 September 1948. “Karena BBRI dan GRR menuduh pelakunya adalah orang-orang Pesindo, mereka lantas memberikan ultimatum agar mengembalikan secepatnya dr.Moewardi,” ujar sejarawan Harry A.Poeze dalam Madiun 1948:PKI Bergerak . Hingga insiden di Madiun pecah enam hari kemudian, Moewardi tak kunjung muncul jua. Maka terjadilah “persekutuan aneh” saat secara bahu membahu GRR bersama Divisi Siliwangi (pasukan yang ditugaskan Hatta menumpas gerakan Musso cs) menghabisi kubu FDR tanpa ampun. Usai Insiden Madiun 1948, nama BBRI secara perlahan mulai sirna dari pentas revolusi kemerdekaan. Itu terjadi karena sebagian anggotanya banyak bergabung dengan TNI (Tentara Nasional Indonesia). Sedang sisanya, mendirikan milisi-milisi lokal yang secara sentimentil masih terhubung dengan ide-ide BBRI, seperti Banteng Ketaton di wilayah Purwakarta atau Lasykar Napindo (Nasionalis Pelopor Indonesia) di Sumatera Timur.

  • Perubahan Wajah Manusia

    Wajah manusia masa kini telah berubah dari wajah milik spesies manusia lainnya yang telah punah. Pun dengan kerabat terdekat manusia secara evolusioner, seperti bonobos dan simpanse, wajah kita berbeda. Kenapa begitu? Arkeolog dari Universitas Flinders, Ian Moffat dalam The Conversation menulis spesies Homo erectus adalah nenek moyang pertama manusia yang secara fisik sudah mulai menyerupai manusia masa kini. Mereka lebih tinggi dan otak mereka lebih besar dari spesies hominin sebelumnya seperti Australopithecus sp. atau Homo habilis . “Namun, mereka memiliki wajah yang agak berbeda dengan kita, yaitu datar dengan alis yang lebih menonjol,” tulisnya. Bukti fosil menunjukkan, wajah manusia telah banyak berubah dalam 20.000 tahun terakhir. Menurut Paul O’Higgins, profesor anatomi University of York di Inggris, pola makan, fisiologi pernapasan, iklim, dan lingkungan adalah faktor utama yang membentuk wajah. Tengkorak hominin selama 4,4 juta tahun terakhir. (Rodrigo Lacruz) Seperti disebutkan dalam Phys , pola makan secara mekanis, khususnya, telah membuat wajah manusia makin mengecil sejak lebih dari 100.000 tahun yang lalu. Pasalnya kemampuan manusia untuk mengolah makanannya membuat kerja mekanis lebih ringan. Mereka tak butuh banyak waktu untuk melumat makanannya. Proses penyusutan wajah ini menjadi sangat terlihat sejak revolusi pertanian, saat manusia beralih dari pemburu dan pengumpul makanan menjadi petani. Bentuk Alis Baru-baru ini, dalam jurnal Nature Ecology and Evolution , O'Higgins bersama para peneliti lainnya menyampaikan gagasan lain, yaitu kombinasi pengaruh biomekanik, fisiologis, dan sosial telah membentuk wajah manusia modern. Faktor-faktor itu mengubahnya dari bentuk mirip kera menjadi morfologi yang lebih lembut dan lebih halus. Dia mengungkapkan perubahan kemampuan sosial manusia merupakan hal penting yang mampu mengubah bentuk wajah manusia. Peralihan gaya hidup ke bertani memberikan manusia lebih banyak kesempatan untuk membentuk komunitas. Dengan itu, wajah manusia telah menyusut secara signifikan dalam ukuran, menjadi lebih ramah dan seperti bayi. Sementara temuan fosil menunjukkan, Neanderthal dan hominin terkait lainnya tampak sangat mirip dengan manusia modern. Namun, mereka memiliki wajah yang sangat besar dengan tonjolan alis yang mencolok. Mereka punya hidung besar, alis besar dan rahang besar yang terdorong ke depan. "Gagasan baru adalah bahwa ekspresi sosial itu penting. Kita, sebagai manusia modern, sangat bergantung pada pembacaan ekspresi wajah," kata O'Higgins, seperti dikutip CBC Radio . Perubahan bentuk wajah membantu manusia dalam hal komunikasi sosial. “Perubahan ini didorong kebutuhan kita akan kemampuan sosial yang baik,” kata O'Higgins. Selama 80.000 tahun terakhir, ketika manusia pindah dari Afrika, mereka harus semakin bergantung satu sama lain untuk bertahan hidup di lingkungan baru. Untuk melakukannya, penting bagi mereka untuk mampu mengkomunikasikan perasaannya. "Wajah kita berkurang kesan kekarnya dan lebih seperti bayi melalui evolusi. Itu membuka peluang untuk komunikasi. Orang-orang lebih cenderung berkomunikasi dengan makhluk yang tampangnya empatik daripada agresif," papar O’Higgins. Transisi ke bentuk alis yang lebih kecil dengan dahi yang rata membebaskan alis untuk bergerak ke atas dan ke bawah. Ini penting untuk mengekspresikan semua jenis emosi. Perubahan itu memungkinkan manusia untuk mengekspresikan lebih dari 20 jenis emosi termasuk emosi yang halus seperti pengakuan dan simpati. “Itu membuatnya mudah bagi kita untuk bekerja bersama dalam suatu komunitas, yang mana itu menjadikan kita sangat sukses sebagai spesies yang bertahan hidup hingga sekarang,” kata O'Higgins. Di masa depan, O'Higgins percaya bahwa wajah manusia akan terus berubah. Dia memperkirakan wajah manusia akan menjadi lebih seperti bayi dengan makanan yang semakin diproses dan gaya hidup yang tidak banyak bergerak. “Tetap ada batas seberapa banyak wajah manusia dapat berubah, misalnya bernapas membutuhkan rongga hidung yang cukup besar, tetapi evolusi wajah manusia kemungkinan akan berlanjut selama spesies kita bertahan, bermigrasi dan menghadapi kondisi lingkungan, sosial, dan budaya baru," jelasnya.

  • Awas Cacar Monyet

    Untuk pertama kalinya terjadi kasus cacar monyet ( monkeypox ) di Singapura. Penderitanya seorang warga Nigeria yang tiba di Singapura pada 28 April 2019. Lelaki 38 tahun itu positif terjangkit virus cacar monyet pada 8 Mei. Sebelum ke Singapura, dia menghadiri pernikahan di Nigeria. Dia mungkin mengonsumsi daging hewan liar, yang bisa menjadi sumber penularan virus cacar monyet. “Bulan Mei 2019 dilaporkan seorang warga negara Nigeria menderita monkeypox , saat mengikuti lokakarya di Singapura. Saat ini pasien dan 23 orang yang kontak dekat dengannya diisolasi untuk mencegah penularan lebih lanjut,” kata dr. Anung Sugihantono, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, dalam rilis yang dimuat di depkes.go.id . Kementerian Kesehatan meminta masyarakat tidak panik dengan cacar monyet yang kemungkinan dapat masuk ke Indonesia. Meski demikian, masyarakat diimbau untuk waspada dan menjaga kebersihan. “Sampai saat ini belum ditemukan kasus monkeypox di Indonesia,” kata Anung. Cacar monyet adalah penyakit akibat virus yang ditularkan melalui binatang ( zoonosis ). Penularan dapat terjadi melalui kontak dengan darah, cairan tubuh, atau lesi pada kulit atau mukosa dari binatang yang tertular virus. Penularan pada manusia, menurut Anung, terjadi karena kontak dengan monyet, tikus gambia dan tupai, atau mengonsumsi daging binatang yang sudah terkontaminasi. Inang utama dari virus ini adalah rodent (tikus). Penularan dari manusia ke manusia sangat jarang. Menurut drh. Soeharsono dalam Zoonosis, Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia Volume 2 , kasus cacar monyet pada manusia pertama kali ditemukan di laboratorium primata di Kopenhagen, Denmark, tahun 1958. Setelah temuan pertama itu, pada 1970, penyakit menyerupai small pox ( small pox-like disease ) ditemukan pada manusia di Zaire, Afrika Barat. Penelitian lebih lanjut membuktikan bahwa penyakit tersebut bukan small pox melainkan cacar monyet. Sejak saat itu, kejadian cacar monyet beberapa kali ditemukan sebagai zoonosis di desa-desa yang terletak di dekat hutan tropik Afrika Barat dan Afrika Tengah (Zaire, Republik Afrika Tengah, Nigeria, Pantai Gading, Liberia, dan Sierra Leone). Soeharsono menjelaskan bahwa sumber penyakit cacar monyet adalah monyet Afrika. Sejauh ini belum diketahui keberadaan cacar monyet pada satwa primata di luar Afrika.Penularan dari monyet ke manusia terjadi secara kontak langsung. Berhubung ada beberapa kasus penyakit yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan monyet, timbul dugaan bahwa nyamuk kemungkinan berperan sebagai vektor penyakit. Berbeda dengan cacar manusia, daya tular cacar monyet ke manusia relatif sulit. “ Oleh karena itu, penyebaran geografik cacar monyet di alam, terbatas di Afrika Barat dan Tengah, terutama di Zaire. Dalam kurun waktu 1970-1986 hanya ditemukan sekitar 400 kasus cacar monyet pada manusia. Kejadian cacar monyet di laboratorium primata Kopenhagen bersifat terbatas dan tidak berlanjut,” tulis Soeharsono. Anung menyebut bahwa cacar monyet pernah menjadi Kejadian Luar Biasa di beberapa wilayah. Tahun 1970 terjadi KLB pada manusia pertama kali di Republik Demokratik Kongo. Tahun 2003 dilaporkan kasus cacar monyet di Amerika Serikat, akibat kontak manusia dengan binatang peliharaan prairie dog yang terinfeksi oleh tikus Afrika yang masuk ke Amerika. Tahun 2017 terjadi KLB di Nigeria. Menurut Anung cacar monyet dapat dicegah dengan cara menerapkan hidup bersih dan sehat seperti cuci tangan dengan sabun; menghindari kontak langsung dengan tikus atau primata; menghindari kontak fisik dengan orang yang terinfeksi atau material yang terkontaminasi; menghindari kontak dengan hewan liar atau mengkonsumsi daging yang diburu dari hewan liar ( bush meat ). Anung berpesan kepada pelaku perjalanan yang baru kembali dari wilayah terjangkit cacar monyet agar segera memeriksakan diri jika mengalami gejala-gejala demam tinggi yang mendadak, pembesaran kelenjar getah bening dan ruam kulit, dalam waktu kurang dari tiga minggu setelah kepulangan, serta menginformasikan kepada petugas kesehatan tentang riwayat perjalanannya. Gejala dan Tanda Masa inkubasi (interval dari infeksi sampai timbulnya gejala) cacar monyet biasanya 6-16 hari, tetapi dapat berkisar dari 5-21 hari. Gejala yang timbul berupa demam, sakit kepala hebat, limfadenopati (pembesaran kelenjar getah bening), nyeri punggung, nyeri otot dan lemas. Ruam pada kulit muncul pada wajah kemudian menyebar ke bagian tubuh lainnya. Ruam ini berkembang mulai dari bintik merah seperti cacar ( makulopapula ), lepuh berisi cairan bening, lepuh berisi nanah, kemudian mengeras. Biasanya diperlukan waktu hingga tiga minggu sampai ruam tersebut menghilang. Cacar monyet biasanya dapat sembuh sendiri dengan gejala yang berlangsung selama 14-21 hari. Kasus yang parah lebih sering terjadi pada anak-anak dan terkait dengan tingkat paparan virus, status kesehatan pasien, dan tingkat keparahan komplikasi. “Kasus kematian bervariasi tetapi kurang dari 10% kasus yang dilaporkan, sebagian besar di antaranya adalah anak-anak. Secara umum, kelompok usia yang lebih muda lebih rentan terhadap penyakit monkeypox ,” kata Anung. Tidak ada pengobatan khusus atau vaksinasi yang tersedia untuk infeksi virus cacar monyet . Pengobatan simptomatik dan suportif dapat diberikan untuk meringankan keluhan .

  • Rabeg, Santapan Sang Raja

    SETIAP mengunjungi kota Serang, Toni selalu menyempatkan diri singgah ke restoran milik Haji Naswi di seberang Rutan (Rumah Tahanan) Serang. Di sana ada satu menu yang selalu dia incar yakni rabeg, makanan yang sulit didapatkan di luar Banten. “Sejak kali pertama mencicipinya pada 2003, saya jadi tergila-gila pada makanan ini,” ujar jurnalis lepas asal Jakarta itu.   Rabeg memang makanan asli Banten. Berbahan dasar daging sapi atau kambing, rupanya nyaris sama seperti semur. Selain rasa manis yang berasal dari kecap, cita rasa rabeg juga diperkaya dengan berbagai bumbu dasar seperti bawang merah, bawang putih dan lada. Ada rasa pedas juga di dalam rabeg. Itu berasal dari campuran rempah-rempah seperti biji pala, jahe, lengkuas, cabe rawit dan kayu manis. Dipercaya semua campuran bumbu tersebut merupakan obat untuk menghangatkan tubuh sekaligus penetralisir kandungan lemak yang dibawa oleh daging sapi maupun kambing. Pembuatannya Mudah Kendati rasanya sangat enak dan khas, pembuatan rabeg bisa dibilang tidak terlalu susah. Terlebih bagi siapa pun yang terbiasa  mengolah makanan. Sebagai catatan, bahan dasar yang sebenarnya paling pas adalah daging kambing. Namun jika anda tidak menyukai daging kambing maka bisa diganti dengan daging sapi.   Cara pembuatannya, kali pertama tentu saja anda harus memilih daging terbaik sebagai bahan utama. Setelah direbus, daging dicincang dalam potongan kecil-kecil lantas dimasukan ke dalam tumisan bumbu yang sudah dihaluskan. Tambahkan kaldu, bekas rebusan daging ke dalam tumisan daging. Biarkan hingga air rebusan menjadi kental dan menyatu dengan potongan daging. Guna mengantisipasi bau khas daging (terutama daging kambing) yang kadang terasa anyir, maka daun salam dan bunga lawang yang beraroma harum bisa dijadikan “penutup”  bau tersebut. Makanan Sultan Tidak banyak penyuka rabeg tahu bahwa makanan tersebut memiliki sejarah yang panjang. Menurut Gagas Ulung dan Deerona dalam Jejak Kuliner Arab di Pulau Jawa , sesungguhnya rabeg tidak akan pernah ada di Banten andaikan salah seorang raja di Kesultanan Banten tidak melakukan muhibah ke tanah Arab. Tersebutlah Sultnan Maulana Hasanuddin alias Pangeran Sabakinking (1552-1570) yang tengah menunaikan ibadah haji ke Mekah. Setelah berbulan-bulan berlayar dari Nusantara maka sampailah sultan dan rombongannya ke suatu pelabuhan bernama Rabigh (terletak di tepi Laut Merah). Rabigh adalah sebuah kota kuno yang sebelumnya bernama Al Juhfah dan saat ini masuk dalam wilayah Jeddah, Arab Saudi. Pada awal abad ke-17, sebuah tsunami besar menghancurkan kota tersebut. Namun beberapa waktu setelah kejadian itu, Al Juhfah dibangun kembali dan malah menjadi sebuah kota yang sangat indah. Sultan Maulana Hasanuddin sangat kagum dengan keindahan kota Rabigh. Dia pun kerap menghabiskan waktu untuk berkeliling kota tersebut. Saat menikmati suasana kota Rabigh, Sultan Maulana Hasanuddin sempat mencicipi satu makanan yang bahan dasarnya terbuat dari daging kambing. Dia ternyata berkenan dengan kuliner khas Rabigh itu. Singkat cerita, Sultan Maulana Hasanuddin pun selesai menunaikan ibadah haji dan kembali ke tanah air. Namun kenangan akan Rabigh tidak pernah hilang dari benaknya, terutama kelezatan olahan daging kambingnya. Untuk mengobati kerinduannya, maka dia memerintahkan juru masak istana untuk membuat masakan yang serupa dengan santapan yang dia nikmati saat di Rabigh. Merasa kesulitan dengan permintaan itu, maka sang juru masak menciptakan resep sendiri yang didasarkan pada makanan-makanan khas tanah Arab. Kendati tidak sama persis dengan masakan khas Rabigh, saat dihidangkan Sultan Maulana Hasanuddin menyukainya. “Sejak itulah, makanan yang terinspirasi dari negeri Arab itu, menjadi menu wajib di Istana Kesultanan Banten,” ujar Gagas Ulung dan Deerona. Kalangan istana lalu menamakan makanan eksklusif  santapan raja tersebut sebagai rabigh. Seiring waktu, resep rabigh bocor ke khalayak kemudian menyebar ke seluruh Banten. Hingga akhirnya kata “rabigh” berubah menjadi “rabeg”, yang  kerap dinikmati Toni setiap singgah di kota Serang.

  • Strategi Kooperasi Serikat Buruh Kereta Api

    Buruh kereta api di Hindia Belanda mogok kerja besar-besaran selama hampir tiga bulan. Dari Mei sampai Agustus 1923. Lebih dari 10 ribu buruh kereta api rendahan (penjaga palang kereta, tukang wessel, pengawas rel, juru api, tukang rem, dan kuli plat) milik negara dan swasta turut serta dalam pemogokan. Sebagian besar buruh rendahan kereta api berwadah di dalam VSTP (Vereeniging van Spoor en Tramweg Personeel/Serikat Kerja Buruh Kereta Api dan Trem Listrik). Tuntutan buruh kereta api bertumpu pada kesejahteraan. Tetapi perusahaan kereta api negara dan swasta enggan memenuhi tuntutan tersebut. Mereka memecat buruh demi meredakan mogok kerja. Tindakan perusahaan kereta api beroleh sokongan dari pemerintah kolonial. Pengejaran dan penangkapan menimpa sejumlah tokoh VSTP. Pemerintah kolonial lalu membatasi aktivitas VSTP melalui sejumlah aturan. “Setelah pemogokan tersebut usai, bagian-bagian anti pemogokan ditambahkan pada Hukum Pidana pada bulan Mei 1923 sebagai senjata ampuh untuk penggunaan di masa yang akan datang,” tulis John Ingleson dalam “Pemogokan Buruh Kereta Api”, termuat di Tangan dan Kaki Terikat: Dinamika Buruh, Sarekat Kerja dan Perkotaan Masa Kolonial . VSTP akhirnya menjadi organisasi terlarang pada akhir 1926. Hilanglah serikat buruh pembela nasib dan kepentingan buruh kereta api rendahan. Yang tersisa hanya Spoorbond (Perhimpunan Pekerja Kereta Api) untuk buruh kelas 1 ( ambtenaar ) seperti juru tulis, teknisi, tenaga administratif, masinis, dan kondektur. Spoorbond memiliki kepentingan berbeda dengan buruh kereta api rendahan. Keadaan buruh kelas 1 lebih baik daripada buruh rendahan. “Mereka adalahpekerja yang bergaji agak tinggi dan memiliki banyak jaminan kerja,” tulis Kalam Jauhari dalam Radikalisasi Buruh Kereta Api di Perkotaan 1914—1926 , tesis di Program Studi Ilmu Sejarah, Universitas Gajah Mada. Nasib buruh rendahan kereta api tidak banyak berubah setelah pemogokan besar-besaran. Jam kerja panjang, ketiadaan jaminan, dan upah rendah. Mereka merasa perlu membuat serikat lagi. Mereka memandang serikat kerja berperan dalam memperkuat posisi mereka di hadapan pemerintah kolonial dan perusahaan. Strategi Kooperasi Tetapi buruh kereta api rendahan menginginkan serikat ini nantinya terlepas dari ikatan atau afiliasi politik manapun dan menahan diri dari konflik terbuka dengan perusahaan dan pemerintah kolonial. Setelah pemogokan buruh-buruh kereta api di bawah VSTP dan perlawanan Partai Komunis Indonesia pada 1926, pemerintah kolonial mulai bertindak keras terhadap aktivitas kaum pergerakan dan organisasi pendukungnya. Karena itu, buruh kereta api rendahan mengubah strategi serikat kerjanya menjadi kooperatif dengan pemerintah kolonial dan perusahaan. Kecenderungan tersebut tampak pada aktivitas Perhimpoenan Beambte Spoor dan Tram (PBST). Serikat buruh kereta api baru ini berdiri di Bandung pada 10 Juli 1927. Pemimpinnya antara lain Wiriaatmadja, Soemodinoto, dan Wiriosoeharto. Beambte berarti buruh rendahan atau buruh kelas 2. Ini menggambarkan latar belakang anggota mereka. Tapi Beambte di sini tidak mencakup semua buruh kereta api rendahan di berbagai perusahaan kereta api. PBST hanya beranggotakan buruh-buruh perusahaan kereta api milik pemerintah (Staats Spoorwegen/SS). PBST menerbitkan surat kabar bulanan bernama Kereta Api untuk menjalin komunikasi antar anggota. Dalam majalah ini termuat banyak kisah suka-duka, kesulitan, dan pengalaman para anggota selama bekerja di perusahaan. Melalui Kereta Api , PBST juga mengumumkan tujuan pendiriannya. “Menjadi suatu perkumpulan yang dapat menyatukan semua pekerja supaya suatu permohonan yang menyangkut kesejahteraan anggota untuk diajukan ke atasan-atasan dapat dimudahkan,” tulis Kereta Api , 15 Agustus 1927. Pembentukan PBST beroleh sambutan hangat dari pemimpin SS dan perusahaan kereta api swasta (Nederlansch Indisch Spoorweg Maatschappij/NISM). Mereka memuji tekad PBST menjauhi aksi politik dan berharap tidak mengulang mobilisasi pemogokan seperti VSTP.   Hingga awal Januari 1928, PBST mempunyai 13 cabang di Jawa dan Sumatra dengan anggota sebanyak 2.000. Anggota wajib membayar uang iuran bulanan ke PBST untuk memastikan aktivitas serikat berjalan. Selain itu, iuran juga berguna untuk membiayai kebutuhan tidak terduga atau mendesak para anggota. Misalnya dana kesehatan, dana pinjaman pendidikan anak-anak anggota, dan dana cadangan jika ada sengketa buruh dengan petinggi perusahaan. Terkait dengan kesejahteraan, PBST mengeluarkan tuntutan perbaikan tunjangan, upah, pengurangan jam kerja, dan perumahan buruh kereta api. Cara mereka menyampaikannya ke perusahaan jauh berbeda dari cara VSTP. Meskipun sebenarnya antara VSTP dan PBST masih beririsan. “Berdirinya PBST adalah atas inisiatif mantan anggota VSTP yang berusaha menghubungkan buruh kereta api dan buruh trem kelas dua,” tulis Razif dalam “Buruh Kereta Api dan Komunitas Buruh Manggarai”, termuat di Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa. VSTP menggunakan bahasa agitatif dan perlawanan, sedangkan PBST memilih menggunakan bahasa diplomatis. Mereka mengajukan tuntutan tersebut melalui surat resmi kepada pemimpin SS sesuai dengan aturan penyampaian pendapat untuk serikat kerja saat itu. Pemecatan Massal Cara lunak seperti ini menyelamatkan PBST dari tindakan represif pemerintah kolonial. Tapi tak bisa menghadirkan banyak perbaikan bagi nasib anggotanya. Situasi ini terlihat ketika depresi ekonomi melanda Hindia Belanda pada 1930-an. Biaya operasional SS membengkak, sedangkan pendapatannya menurun. Akibatnya kemampuan SS menggaji pekerjanya turut melemah. “Perusahaan-perusahaan kereta api baik Staats Spoor dan NIS saling berlomba untuk memberhentikan buruh-buruh dari perusahaan agar ongkos produksi dapat ditekan serendah mungkin,” tulis Razif. Dorongan penghematan ini berasal dari pemerintah negeri induk Belanda melalui De Graaf, Menteri Urusan Tanah Jajahan. Pemecatan buruh kereta api mengurangi jumlah anggota PBST. Keadaan ini berimbas pada isi kas PBST. Bila anggota PBST kena pemecatan, mereka tidak bisa membayar uang iuran. Dan bila uang iuran tidak dibayar, status keanggotaan mereka hilang. Ujungnya, jumlah dana darurat untuk para anggota merosot drastis justru pada masa sulit. PBST memang telah bergabung ke Persatoean Vakbonden Pegawai Negeri (PVPN) sejak 12 April 1930. Tujuannya untuk memperkuat posisi PBST dalam negosiasi dengan pemerintah dan perusahaan untuk mencegah pemecatan. PVPN merupakan federasi serikat buruh pegawai negeri di Hindia Belanda. Mereka menentang pemecatan buruh perusahaan milik pemerintah selama masa depresi. Keberatan-keberatan mereka tertulis dalam surat resmi kepada pemimpin perusahaan dan pemerintah. Serupa dengan cara perlawanan PBST. Tetapi perlawanan mereka tidak mengubah keputusan pemerintah.   PBST masih bertahan hingga beberapa tahun setelah depresi. Tetapi jumlah anggota dan perannya semakin merosot. Mereka tidak mampu berbuat banyak untuk mengangkat tingkat kesejahteraan buruh kereta api.

  • Menyambut Koleksi Kurasawa

    MASA pendudukan Jepang telah lewat 74 tahun silam. Namun masih banyak misteri yang belum tuntas. Buku Bibliografi Beranotasi Sumber SejarahMasa Pendudukan Jepang di Indonesia ini bertujuan menjadi pintu gerbang bagi peneliti muda Indonesia. Buku ini memuat daftar lengkap sumber-sumber sejarah primer dari berbagai tempat. Selain koleksi Kishi Koichi dan koleksi Nishijima Shigetada yang sebelumnya sudah dikenal para peneliti, buku ini mendata sumber-sumber dari lembaga resmi seperti Lembaga Kajian Pertahanan Jepang (NIDS), Arsip Departemen Luar Negeri Jepang, dan Perpustakaan Parlemen Jepang. Selain itu, buku ini memuat sumber-sumber arsip dari Asahi Shinbun , salah satu penerbit suratkabar resmi pada masa pendudukan Jepang, terutama di Jawa dan Borneo (Kalimantan). Pada masa itu ada Jawa Shinbun dan Borneo Shinbun yang terbit di bawah Asahi Shinbun .    Yang paling menarik dari daftar sumber dalam buku ini adalah koleksi pribadi milik Aiko Kurasawa, sejarawan Jepang. Kurasawa-sensei telah meneliti Indonesia selama lebih dari 50 tahun dan mengumpulkan banyak sumber primer. Dokumen-dokumen yang dikumpulkannya meliputi catatan harian, dokumen pribadi dari pelaku/saksi sejarah, dan beberapa dokumen yang tidak diketahui lagi lokasi penyimpanannya.   Dengan menyajikan daftar inventaris yang lengkap, buku ini berfungsi sebagai penuntun awal bagi para peneliti untuk melihat langsung sumber arsip dan dokumen pada masa pendudukan Jepang. Lebih jauh, buku ini dapat menjadi batu pondasi untuk menyelami sumber-sumber primer guna meningkatkan pengetahuan kita sendiri. Judul: Bibliografi Beranotasi Sumber Sejarah Masa Pendudukan Jepang di Indonesia. Penyusun: Aiko Kurasawa dan Mitsuko Nanke.Penerbit: Direktorat Sejarah, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Terbit: Jakarta, 2018. Tebal: 266 halaman. Tantangan bagi Peneliti Muda Memang, sebagian besar sumber arsip dan dokumen ini ditulis dalam bahasa Jepang.  Bagi peneliti Indonesia, mempelajari bahasa Jepang tentu menjadi tantangan tersendiri. Bukan hanya sekadar untuk berbicara, tapi membaca naskah. Terlebih naskah tulisan tangan. Pula, dalam bahasa Jepang dari masa Perang Dunia II. Bahasa Jepang, seperti bahasa-bahasa lainnya, mengalami perubahan dan perkembangan drastis. Bahasa Jepang masa Perang Dunia II jelas berbeda dari bahasa Jepang abad ke-21. Bekerjasama dengan peneliti Jepang adalah salah satu cara mengatasi tantangan ini. Saat ini, penelitian sejarah tidak bisa mengabaikan aspek kerjasama antarpeneliti dari berbagai bangsa. Dari kerjasama ini diharapkan akan tumbuh generasi baru Indonesia yang benar-benar ahli membaca arsip dan dokumen sejarah Jepang. Dengan kemahiran berbahasa yang mumpuni, peneliti muda Indonesia tentu akan punya andil yang penting dalam mengembangkan teknis membaca dan menafsir sejarah.  Selain itu, dari daftar sumber-sumber primer ini terlihat bahwa masih ada banyak kisah sejarah yang belum sepenuhnya digarap. Kisah-kisah ini masih terpendam, belum sepenuhnya dipahami, atau masih perlu ditafsir-ulang. Ini adalah lahan yang terbuka lebar bagi peneliti muda Indonesia. Jalan Masih Panjang Di samping arsip dan dokumen dari zaman penjajahan Jepang, sesungguhnya masih ada banyak foto dan film yang belum seluruhnya diinventaris lengkap dan dikategorisasikan. Foto dan film adalah juga sumber sejarah penting. Karena itu, perlu kiranya ada usaha untuk melengkapi ini. Buku ini diterbitkan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan tujuan untuk menyebarluaskan upaya pengembangan penulisan sejarah. Dengan menggunakan dana publik, buku ini tidak untuk dijual. Kiranya, buku ini dapat diperoleh dengan mudah, tak terkecuali bagi para peminat sejarah di tanah air. Acara peluncuran buku ini akan berlangsung pada 26 Juni 2019 di perpustakaan Universitas Rikkyo, Tokyo, dengan dihadiri Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid sebagai pembicara utama. Juga akan berlangsung seminar yang akan dihadiri sejumlah peneliti Jepang antara lain Nakamura Mitsuo, Hayase Shinzo, dan Himemoto Yumiko.

  • Samurai dalam Pembantaian Banda

    PULAU kecil di bawah Maluku ini memang tidak semewah Batavia. Tapi ketenarannya mampu memikat orang-orang dari belahan bumi lain untuk datang dan menguasai kekayaan alamnya yang begitu melimpah. Dalam The Banda Islands: Hidden Histories & Miracles of Nature,  disebutkan sebelum VOC datang menguasai kepulauan Banda, Inggris telah lebih dahulu melakukan kontak dengan masyarakat di sana. Mengetahui adanya ladang rempah yang sangat melimpah di Banda, Belanda pun merangsak masuk. Kedua negara penjelajah itu akhirnya bersinggungan, dan melakukan cukup lama perang untuk menentukan kekuasaan pulau. Belanda sendiri baru memasuki Kepulauan Maluku pada 1607 saat membantu penguasa Ternate mengusir pasukan Spanyol dari negerinya. Setelah itu, pada 26 Juni 1607, Belanda melakukan perjanjian dengan Kesultanan Ternate untuk mendapatkan hak monopoli perdagangan rempah-rempah. Dalam perang tersebut, masyarakat Banda yang dimotori oleh orang-orang kaya sebagai penguasa pribumi, lebih berpihak kepada Inggris. “Orang Banda itu cukup cerdik. Mereka lebih suka berbisnis dengan orang Inggris dibandingkan dengan orang Belanda,” kata Meta Sekar Puji Astuti, saat mengisi seminar “Peran Samurai dalam Pembantaian Banda (1621) dan Maluku (1623): 400 Tahun Keterlibatan Orang Jepang di Maluku”, yang diadakan oleh Program Studi Jepang FIB UI. Lama kelamaan, baik Belanda maupun Inggris lelah dengan perang yang mereka lakukan. Keduanya pun sepakat untuk mengakhiri konflik dalam perundingan. Hasilnya, Belanda rela memberikan New Amsterdam, Manhattan (sekarang New York), kepada Inggris demi mendapatkan pulau penghasil pala satu-satunya di dunia tersebut. Berawal dari Dendam Setelah mendapat hak atas kepulauan Banda, Belanda segera melakukan kontak dengan masyarakat Banda. Admiral Pieterszoon Verhoeven, pemimpin Belanda, tiba di Banda pada 1608 untuk bernegosiasi. Mereka mencoba mendekati orang-orang kaya, yang memimpin masyarakat di sana. “Ketika mencoba bernegosiasi, orang-orang Banda ini malas bertemu dengan orang Belanda,” kata Meta Orang-orang Banda menaruh curiga kepada Belanda saat mereka datang dengan membawa pasukan, serta persenjataan lengkap. Akhirnya orang-orang Banda ini mengelabui Belanda, dengan mengarahkan mereka ke satu tempat yang sudah dipersiapkan sebagai tempat pertemuan. Tanpa menaruh curiga, Verhoeven pun menyutujui pertemuan tersebut, karena merasa perlu mendapat kepercayaan dari orang-orang Banda seperti yang Inggris terima. Verhoeven pun ditemani oleh beberapa bawahannya. Namun setelah sampai di tempat pertemuan, Verhoeven tidak menemukan siapapun. Ia lalu menyuruh penerjemahnya, Adriaan Ilsevier, untuk mencari penduduk Banda. Bukannya sambutan yang terima, Ilsevier malah dihadang oleh banyak orang bersenjata. Penerjemah itu lalu menjelaskan bahwa kedatangan mereka dimaksudkan untuk melakukan negosiasi seperti yang telah dijanjikan. Ia bahkan menyebut bahwa Verhoeven datang dengan damai, sebagai buktinya mereka tidak membawa satupun tentara. Namun orang-orang Banda itu tidak mempercayai perkataan Ilsevier. Setelah mendengar laporan dari penerjemahnya, Verhoeven sangat kecewa dan marah. Namun saat hendak pergi, orang-orang Banda itu menyerang. Sang admiral dan beberapa orang bawahannya tewas dalam serangan mendadak itu. “Verhoeven tewas seketika dan kepalanya ditancapkan di atas tombak oleh orang-orang Banda , ” tulis Willard A. Hanna, dalam The Banda Islands: Hidden Histories & Miracles of Nature. Penyerangan orang-orang Banda tidak berhenti sampai disitu. Mereka segera menyerbu tentara Belanda yang tidak siap bertempur. Hanya beberapa orang yang selamat dari penyerangan itu, salah satunya adalah juru tulis Verhoeven, Jan Pieterszoon Coen. Jan Coen sangat marah, dan diliputi rasa ingin balas dendam yang sangat besar kepada orang-orang Banda. Ia lalu kembali ke negeri Belanda. Karirnya yang baik membuat Jan Coen dengan cepat meraih posisi gubernur jenderal Hindia Belanda. Sebagai permulaan, Jan Coen membangun kekuatan tempurnya di Batavia. Ia menghimpun armada kapal besar sebelum bertolak ke Banda. Samurai Dilibatkan Bergabungnya para samurai dengan tentara VOC bermula dari kemelut yang terjadi, sekitar tahun 1600, di negerinya. Perang penentu kekuasaan Jepang, yang dikenal sebagai Perang Sekigahara, telah memecah dua kekuatan para samurai di negara tersebut. Sebagai pihak yang menang, Tokugawa Ieyasu dan para samurai pengikutnya berhak memegang kekuasaan. Sementara mereka yang kalah menjadi ronin –samurai tak bertuan. Jumlahnya tidak main-main, ada lebih dari 100.000 samurai yang kehilangan tuannya. Oleh karena tidak mendapat tempat di negerinya, para ronin itu mulai bekerja sebagai tentara sewaan. Lalu bagaimana para samurai itu dapat berhubungan dengan Belanda? Mengingat sebelum Restorasi Meiji, Jepang merupakan negara yang sangat tertutup terhadap bangsa asing. Meta menjelaskan bahwa pada 1600, Jepang belum menerapkan politik isolasi di negaranya. Namun walau begitu, tidak semua bangsa dapat keluar masuk wilayah Jepang seenaknya. “Pada waktu itu negara Eropa satu-satunya yang boleh melakukan kontak dengan Jepang adalah Belanda. Sebelumnya Portugis, tetapi mereka bermain agama sehingga orang Jepang mengusirnya keluar,” kata Meta. Belanda, yang berjanji hanya melakukan misi perdagangan, masuk ke Jepang melalui sebuah pelabuhan kecil di Hirado. Tetapi tidak lama setelah melakukan kontak di sana, Belanda memutuskan pindah ke Dejima, Nagasaki, karena merasa membutuhkan wilayah dagang yang lebih besar. “Satu tempat administrasi khusus untuk Belanda ada di Hirado dan Dejima,” lanjut Meta. Pemerintah Belanda yang mengetahui keberadaan para ronin itu akhirnya menyewa mereka untuk kepentingan-kepentingan penaklukan mereka. Para ronin itu ditempatkan pada satu kesatuan khusus. Dalam De archieven van de Verenigde Oosteindische Compagnie, yang disimpan oleh arsip nasional Belanda di Den Haag, pada 23 Januari 1613 Hendrik Brouwer mengirim surat resmi dari pemerintah Belanda kepada Pieter Both untuk menyewa para samurai tersebut. Awalnya pemerintah Belanda berencana membawa sekitar 300 samurai, tetapi karena pengeluaran selama pendudukan terlampau besar, akhirnya mereka hanya dapat menyewa 68 orang samurai saja, termasuk 9 tukang kayu, 3 pandai besi, dan beberapa pekerja kecil lainnya. Para samurai yang terpilih kemudian menandatangani sebuah kontrak dengan pemerintah Belanda. Mereka juga harus mematuhi seluruh peraturan yang dibuat. Salah satunya adalah larangan untuk bermain perempuan. “Mereka tidak boleh berkelahi sesama mereka, tidak boleh melakukan gambling (judi), tidak boleh bermabuk-mabukan. Mereka juga harus mengikuti perintah atasannya. Kemudian tidak boleh membuat kekacauan,” terang Meta. Awal Pembantaian Setelah seluruh persiapan dirasa matang, pada 1621, Jan Coen akhirnya berangkat menuju Banda. Kali ini mereka sama sekali tidak berniat untuk berunding, apalagi berbaik hati kepada orang-orang Banda. Jan Coen segera memerintahkan pasukannya untuk menguasai Banda beserta isinya. Jan Coen lalu mengumpulkan seluruh rakyat Banda di sebuah lapangan besar untuk menyaksikan eksekusi orang-orang kaya, yang dahulu hampir membunuh dirinya. Di sinilah peran para samurai itu dimulai. Mereka dilibatkan dalam pasukan VOC sebagai eksekutor karena pemerintah Belanda tahu kemampuan berpedang para samurai itu, ditambah senjata yang mereka gunakan dapat dengan mudah memotong tulang. Meta menjelaskan bahwa para Samurai Jepang ini mengeksekusi 8 orang kaya, dan beberapa penduduk lainnya, yang sebelumnya ditempatkan di sebuah kurungan yang sangat kecil. Orang-orang kaya itu dipenggal, dan tubuhnya dibagi menjadi empat bagian.. Kemudian kepalanya diseret di depan umum. Tujuan dari VOC melakukan eksekusi publik itu adalah untuk memperingatkan penduduk lain yang berani berbuat macam-macam dengan pemerintah Belanda. Menjadi Korban Berbeda dengan di Banda, para samurai Jepang yang ada di Maluku justru menjadi korban tentara VOC. Pada 1623, para samurai yang ada di Maluku ini merupakan tentara yang disewa oleh pemerintah Inggris. Pembantaian terhadap para samurai dan beberapa orang yang terlibat dengan pemerintah Inggris dilakukan karena Belanda curiga Inggris menyewa para samurai itu untuk memata-matai mereka. Suatu ketika ada seorang samurai yang sedang berkeliling di dekat benteng milik pemerintah Belanda. Ia kemudian berhenti dan bertanya kepada tentara Belanda mengenai cara menjaga benteng tersebut. Merasa curiga, tentara Belanda lalu menangkap samurai tersebut. Sejak saat itu, Belanda mulai melakukan penangkapan terhadap tentara Inggris dan samurai Jepang. Hingga akhirnya mereka dieksekusi. Menurut data yang diperoleh dari catatan pemerintah Inggris, dalam amboyna.org , ada 10 orang Inggris dan 9 samurai yang dieksekusi oleh pemerintah Belanda. “Meskipun orang Jepang itu jumlahnya sedikit yang terlibat dalam pembantaian Banda dan Maluku, tetapi sejarah ini menjadi sejarah yang sangat signifikan dalam sejarah dunia khusunya di kolonialisme,” kata Meta.

  • Kala Bandung Dilanda Bingung

    TERSIARNYA berita pembacaan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 tidak hanya membuat suka cita, tetapi juga kebingungan. Bandung menjadi salah satu daerah yang mengalami situasi tersebut. “Seperti halnya di berbagai tempat, di sini pun telah ada bermacam-macam kelompok lokal yang sulit dikoordinasikan berhubung rapinya pengawasan Jepang,” tulis A.H. Nasution, dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 1 . Namun walau begitu, para pemuda Bandung tidak kehilangan cara untuk mengabarkan proklamasi,. Alih-alih kehilangan nyali, mereka malah lebih bersemangat untuk menyiarkan berita kemerdekaan Indonesia di kotanya. “Dengan menaiki sepeda masing-masing, kami bergegas ke balai kota, menemui shicho (walikota). Pada waktu itu walikota adalah Pak Atmadinata. Beliau sudah berumur,” kenang Achmad Tirtosudiro dalam biografinya, Jenderal dari Pesantren Legok: 80 Tahun Achmad Tirtosudiro karya Rayani Sriwidodo. Misi utama para pemuda itu adalah meminta walikota untuk menginstruksi penurunan bendera Jepang yang tersebar di sudut-sudut kota Bandung, dan segera menggantinya dengan mengibarkan bendera merah putih.Di antara mereka yang pergi menemui walikota ada Mashudi (pangkat terakhir Letanan Jenderal dan mantan gubernur Jawa Barat), serta Achmad Tirtosudiro (pangkat terakhir Letnan Jenderal). Setelah berhasil bertemu, Achmad dan Mashudi langsung meminta jawaban walikota atas situasi kemerdekaan tersebut. Tetapi bukannya mendapat arahan yang tegas, Atmadinata malah kebingungan. Para pemuda yang tidak sabar mendesak walikota untuk segera mengambil tindakan sebelum situasi bertambah kacau. Namun bukannya mengambil sikap, sang walikota malah nyaris menangis karena bingung, tidak berani menentukan tindakan apa yang harus diambil sebelum ada instruksi resmi. Dalam situasi yang semakin tidak menentu karena ketidaktegasan sang walikota, para pemuda itu segera pergi menemui syucho (residen). Saat itu karesidenan Priangan dipimpin oleh Puranegara. Namun setelah berhasil menemui residen, lagi-lagi para pemuda tidak mendapat perintah yang jelas dan tegas. Mereka malah kembali harus melihat ketidakmampuan para pemimpin untuk menentukan sikap dalam situasi yang harus serba cepat itu. “Kami, para pemuda yang sedang haus-hausnya akan kepastian tindakan yang seharus dilakukan ketika itu, malah tidak mendapat pengarah sama sekali,” kata Achmad. Nasution menyebut bahwa pertimbangan-pertimbangan militer dari para pemuda Bandung mengalami jalan buntu. Mereka memutuskan untuk menunggu instruksi dari Jakarta. Keyakinan para pemuda dan barisan rakyat Bandung sangat besar terhadap para pemimpin di pusat. "Suatu keyakinan yang ternyata sangat naif. Dan seharusnya kita jangan berat sebelah dalam memperhitungkan pemberontakan secara militer," tulis Nasution. Tanpa di sangka-sangka, beberapa kelompok rakyat Bandung melakukan pergerakan. Walau masih ragu-ragu, karena tekanan polisi Jepang, tetapi mereka sudah berani turun ke jalan. Mahasiswa dan masyarakat bersatu melakukan aksi demonstrasi. Senjata dan kendaraan milik pasukan Jepang dengan cepat diliucuti.

  • Ketika Rumah Susi Susanti Nyaris Dibakar

    KENANGAN pahit itu masih mengendap di kepala Alan Budikusuma kendati sudah 21 tahun berlalu. Kala sebagian etnis Tionghoa yang tergabung dalam tim Thomas dan Uber Cup Indonesia sedang berjuang di Hong Kong untuk mempersembahkan Thomas dan Uber Cup kepada ibu pertiwi, etnis Tionghoa di tanah air justru jadi mangsa saat negeri tengah dilumpuhkan huru-hara.  “Konsentrasi tim tuh pecah. Bingung dengan keadaan di tanah air pada 1998 itu. Pusing kita, sempat berpikir, gimana ya? Apa mereka masih bisa bertanding dengan situasi seperti ini?,” tutur Alan mengingat 21 tahun lalu saat ditemui Historia di Kelapa Gading. Kerusuhan rasialis di tanah air pecah pada 13-14 Mei 1998. Jelas saja mental para pemain terpengaruh. Mereka yang beretnis Tionghoa mengkhawatirkan kondisi keluarga masing-masing. Alan yang turut dalam tim sebagai asisten pelatih, merasakan betul kecemasan mendalam istrinya (Susi Susanti) akan keluarganya di Tasikmalaya. “Keadaan semua panik dan cemas. Apalagi rumah orangtua Susi di Tasikmalaya itu sudah hancur, kaca jendela sudah habis. Mau dibakar (massa) rumahnya,” imbuhnya. Alan Budikusuma menceritakan 21 tahun lalu ketika tim bulutangkis berjuang di tengah situasi prahara. (Randy Wirayudha/Historia) Dewi Anggraeni dalam Mereka Bilang Aku China: Jalan Mendaki Menjadi Bagian Bangsa menyingkap, ayah Susi, Risad Haditono (Ong Siong Lie) nyaris jadi bulan-bulanan massa. Gerombolan massa sudah pasang target untuk membumihanguskan rumah peraih medali emas pertama Olimpiade bagi Indonesia itu. “Ayah Susi waktu itu sedang sendirian di rumah. Lalu dia mendengar bunyi-bunyi gerombolan massa. Mereka berteriak, ‘Bakar Rumah Susi Susanti!’ dan melemparkan batu. Untunglah ayah Susi sempat mencari perlindungan dan terhindar dari cedera fisik. Ternyata massa bukan dari warga lokal, melainkan orang luar,” tulis Dewi. Risad sudah lebih dulu diamankan para tetangga dekatnya. Rumahnya pun akhirnya urung dibakar massa tak dikenal berkat campur tangan warga sekitar. “Kebetulan tetangga-tetangga ini kan dekat hubungannya walau mereka bukan Tionghoa. Sudah seperti saudara. Mereka yang bantu. Yang mau bakar rumah Susi dihalau oleh mereka,” sambung Alan. Keluarga Alan sendiri di Surabaya dalam kondisi aman. Situasi Kota Pahlawan relatif kondusif. Pengalaman keluarga Susi itu jadi hal yang luput dari jaminan yang sebelumnya diberikan ketum PBSI. Saat kejadian, manajer tim mengeluarkan kebijakan membolehkan para pemain mengontak keluarga masing-masing di tanah air. “Kami semua dikumpulkan, dimintai alamat rumahnya, keluarganya, kemudian beliau (manajer tim, red. ) berpesan: ‘Sekarang kita di sini baru berjuang, keluarga yang ada di Indonesia dijamin aman.’ Beliau sampaikan itu, kemudian kita sendiri jadi termotivasi ya, apapun yang terjadi di Indonesia, ya kita lagi berjuang, kita membawa nama merah putih. Apapun itu, sebisa mungkin kita semaksimal yang kami mampu pada saat itu,” ujar Sigit Budiarto, anggota tim Thomas, kepada Historia . Sigit Budiarto, salah satu anggota tim Thomas 1998 Indonesia. (Randy Wirayudha/Historia) Alan ditunjuk jadi koordinator urusan mengontak keluarga masing-masing. “Jadi saya yang bantu anak-anak, meng- arrange kalau ada butuh apa-apa. Jadi kamar saya yang di- open (sambungan) telefonnya untuk mengontak masing-masing orangtua,” ujarnya. Toh , kebijakan itu tak menghilangkan rasa cemas masing-masing pemain. Terutama buat tim Uber, yang gagal di partai puncak setelah dibekuk China 1-4 pada 23 Mei 1998.  “Kami terganggu? Iya. Tapi tugas tetap berjalan. Susi sendiri menang tapi timnya kalah. Tapi syukur putranya (tim Thomas) masih bisa menang,” imbuh Alan lagi. Tim Thomas menang 3-2 atas Malaysia sehari setelahnya. Sigit yang berpasangan dengan Candra Wijaya di partai pamungkas, ganda putra, menjadi penentu kemenangan itu. “Itu momen pertamakali saya ikut Thomas Cup. Alhamdulillah kita bisa pertahankan, itu jadi suatu kebanggaan tersendiri. Pada saat Indonesia terjadi huru-hara sampai sedemikian rupa ya pada saat itu, kami di sana sedang berjuang dan kemudian kita menang. Merah Putih berkibar, nyanyi ‘Indonesia Raya’, kemudian kita pulang juga dengan suasana yang berbeda ya. Kita diterima dengan presiden yang lain. Kepada kita, presiden (BJ Habibie, red. ) berterimakasih sudah memberikan yang terbaik buat bangsa Indonesia,” kata Sigit menutup obrolan.

  • Gaya Rambut Nabi Muhammad

    Penyanyi religi Aunur Rofiq Lil Firdaus alias Opick mengaku membawa sehelai rambut Nabi Muhammad Saw. Dia menerimanya dari Dewan Dakwah dan Pemerintah Turki, saat dia dan istrinya, Bebi Silvana, berbulan madu ke Timur Tengah.  “Opick menceritakan, sehelai rambut Nabi Muhammad Saw. itu telah dijaga 100 pasukan khusus dan dikawal tujuh pesawat tempur saat dibawa ke Rusia untuk dipamerkan,” demikian dikutip tribunnews.com . Masduki Baidlowi, Ketua MUI Pusat Bidang Informasi dan Komunikasi, menanggapi bahwa “banyak yang bertanya kebenarannya. Sehingga perlu ada penelitian dari laboratorium.” Namun, menurut Masduki, memang ada museum yang memelihara artefak kehidupan Nabi Muhammad, salah satunya adalah rambut. Di museum itu pula dirawat dan dipelihara berbagai peninggalan Nabi Muhammad. Terkait sehelai rambut Nabi Muhammad yang dibawa Opick itu, Masduki menyatakan, ada beberapa pandangan ulama. “Banyak yang menyebutnya sebagai barokah dari peninggalan Nabi. Saat Nabi mencukur rambutnya, ada kisah bahwa rambutnya diambil para sahabat,” kata Masduki dikutip tribunnews.com . Lalu, seperti apa gaya rambut Nabi Muhammad? KH Moenawar Chalil dalam Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad Saw Jilid III , menyebut bahwa rambut Nabi Muhammad lebih lebat dan tidak terlalu panjang (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah dari Aisyah Ra). Riwayat lain (HR Nasa’i dari Anas bin Malik Ra). menyebut rambut Rasulullah berombak, tidak keriting dan tidak pula lurus, antara kedua telinganya dan tengkuknya. “Beberapa riwayat menerangkan bahwa panjang rambut Nabi Saw. sampai ke atas kedua bahunya, atau sampai ke cuping kedua telinganya, kadang-kadang sampai ke pertengahan kedua telinganya, kadang-kadang dibiarkan sampai ke bahunya,” tulis Moenawar Chalil. Abdul Moqsith Ghazali, dosen UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, mengutip keterangan Ibn Katsir dalam Al-Bidayat wa al-Nihayat, Juz VI , bahwa kesukaan Nabi Muhammad memodel rambutnya seperti kebiasaan orang Yahudi dan Nasrani yang suka membiarkan rambutnya terurai lepas. Nabi kerap meniru kebiasaan orang-orang Musyrik yang suka membelah tengah rambutnya.  "Aisyah sering membantu membelah tengah rambut Nabi," tulis Abdul Moqsith Ghazali dalam Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an . Menurut Moenawar Chalil, Aisyah meriwayatkan cara menyisir rambut Nabi Muhammad: "bila aku mengorakkan (menguraikan, membuka) rambut Rasulullah Saw., aku belah orakan rambut beliau dari ubun-ubunnya dan aku uraikan di antara kedua pelipis beliau." KH Ali Mustafa Yaqub, mantan Imam Besar Masjid Istiqlal, menjelaskan dalam tausiyahnya di  @islamidotco (31/12/2018) bahwa ada hadis yang sahih yang tidak pernah disampaikan oleh sementara orang tentang gaya rambut Nabi Muhammad. Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dalam kitab Sahih Bukhari , bersumber dari sahabat Ibn Abbas Ra.  Beliau mengatakan Rasulullah semula kalau menyisir rambut memakai jambul di depan. Dan itu tradisi orang-orang Musyrikin. Tapi kemudian Rasulullah mengubah cara menyisir rambutnya dengan dibelah ke kanan dan ke kiri. Dan itu adalah tradisi orang-orang Yahudi dan Nasrani –Abd. Moqsith Ghazali menyebutnya tradisi kaum Musyrikin. Rasulullah menyukai model rambut kedua itu.  "Makanya Ibn Abbas mengatakan Rasulullah suka untuk menyamai orang-orang Yahudi dan Nasrani selama tidak ada larangan," kata Ali Mustafa Yaqub. "Jadi, Islam itu sebenarnya sangat lentur sekali. Yang bikin sumpek dan kaku itu sebagian orang Islam yang tasyaddud (mempersulit diri)."

bottom of page