top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Membuka Peristiwa Pembantaian di Sulawesi Selatan

    ANHAR GONGGONG, sejarawan sohor Indonesia, punya alasan untuk marah dan benci kepada Pasukan Komando Khusus/Depot Speciale Troepen (DST) pimpinan Raymond Westerling. Ayah Anhar beserta kakak dan pamannya tewas di tangan DST di Sulawesi Selatan. Selama Desember 1946 sampai Maret 1947, DST membunuh ribuan warga sipil. “Bagi rakyat Sulawesi Selatan tindakan pembunuhan brutal yang dilakukan oleh Westerling dan pasukannya, adalah tindakan yang tidak akan bisa dilupakan,” kata Anhar dalam diskusi buku Di Belanda Tak Seorang Pun Mempercayai Saya karya Maarten Hidkes di Universitas Indonesia, Jawa Barat, 28 September 2018. Anhar mengakui DST telah meninggalkan luka dan dendam mendalam bagi banyak keluarga di Sulawesi Selatan. “Seingat saya pada 1950—1960, setiap menjelang Desember, ada berita bahwa banyak orang Sulawesi Selatan mencari Westerling. Mereka ingin mengajaknya berkelahi dan bertikaman,” kata Anhar. Tapi di Universitas Indonesia hari itu, Anhar memendam marah dan bencinya dalam-dalam kepada DST. Dia berjabat tangan hangat dengan Maarten Hidskes, anak dari Piet Hidskes, seorang anggota DST di Sulawesi Selatan. Menurut Anhar, marah dan benci tidak akan menjernihkan persoalan sejarah sekitar sepak terjang DST di Sulawesi Selatan.    Maarten Hidskes, kelahiran 1967, berupaya menggali apa yang sebenarnya terjadi di Sulawesi Selatan pada masa 1946—1947. Dia tahu ayahnya mantan anggota DST. “Tapi dia tak pernah sedikit pun cerita tentang pengalamannya di Sulawesi Selatan. Saya pun awalnya tak pernah tertarik menanyakannya,” kata Marteen. Maarten masih ingat ujian sejarah di sekolah menengah atasnya pada tahun ajaran 1987—1988. Topik ujian itu tentang Belanda dan Hindia Belanda. Pada paket ujian tertera “Di Sulawesi Selatan kasusnya benar-benar lepas kendali. Pada akhir tahun 1946 dan awal tahun 1947, Kapten Westerling dengan penuh kekerasan mengakhiri kerusuhan di Sulawesi. Di kemudian hari cara tindakan seperti itu dianggap sebagai kejahatan perang.” Isi kepala Maarten waktu itu penuh oleh gagasan anti-perang dan perdamaian antar-bangsa. Dia mengecat rambutnya dengan dua warna dan mengenakan jaket berlambang perdamaian. Dia juga menentang bentuk-bentuk industri militer. “Saat itu bukanlah waktu yang pas untuk bertanya tentang masa lalu militer ayah saya,” kata Marteen. Suatu hari pada 1992, ayah Maarten menerima kunjungan teman-temannya di rumah. “Di Sulawesi Selatan ada beberapa kejadian yang kita bawa ke liang kubur. Saya sendiri tidak menyaksikan kejahatan perang, tetapi itu pastilah telah terjadi. Pasti,” kata ayah Marteen kepada teman-temannya. Maarten berada di sebuah ruangan dan mendengar percakapan ayah dan teman-temannya tentang Peristiwa Sulawesi Selatan. Pada diri Maarten muncul dorongan kuat untuk bertanya tentang Peristiwa Sulawesi Selatan itu. Tapi dia masih segan mengeluarkan pertanyaan itu. Hingga akhirnya tiga minggu kemudian ayahnya wafat. Hari-hari setelah kematian ayahnya, Maarten bertekad untuk mencari tahu sendiri pengalaman ayahnya selama di Sulawesi Selatan pada 1946—1947. Dia datang pada rekan-rekan ayahnya, merapikan kembali surat-surat ayahnya, mengumpulkan guntingan koran lama, dan mengorek-ngorek arsip militer berupa laporan dinas dan rekaman wawancara. Dia melakukannya selama lebih dari 25 tahun. Pada hari-hari pertama mencari tahu pengalaman ayahnya, dia langsung menemukan laporan militer mengerikan tentang Peristiwa Sulawesi Selatan. Dan di situ tertera pula peran ayahnya. Laporan itu menyebut pergerakan DST di Makassar pada 11 Desember 1946. Mereka masuk ke sejumlah kampung, menembak mati para pejuang Republik, menggeledah rumah-rumah penduduk, dan menginterogasi tiap lelaki dewasa. Anak dan perempuan ditempatkan secara terpisah. Ayah Maarten berdiri membawa pistol otomatis dengan kedua tangannya di depan dada. Dia mengawasi tiap lelaki dewasa penduduk kampung. Tak jauh dari tempat ayah Maarten berpijak, Kapten Raymond Westerling berjalan masuk kampung. Juru bahasa setempat bernama Gerrit mengikuti di belakangnya. Westerling berbicara singkat kepada penduduk kampung dengan bahasa Melayu. Vokalnya terdengar mirip suara penyanyi bariton opera. Dia mengatakan bahwa kedatangan pasukannya untuk memulihkan keamanan di Sulawesi Selatan. Dia menyebut para pejuang Republik dengan teroris, penjahat, dan pengacau. Mereka tega membunuh orang dan menebar ketakutan di kalangan penduduk. “Apakah engkau ingin mendukung orang-orang yang melakukan teror, pembunuhan, dan menebar ketakutan?” tanya Westerling. Tak ada jawaban dari penduduk kampung. Westerling melanjutkan pidato singkatnya, kemudian menengok ke salah satu stafnya. Sebuah kertas berisi daftar nama tersangka teroris diberikan kepada Westerling dari staf tersebut. Dia memanggil satu per satu nama yang tertera di daftar dan menginterogasinya. Orang-orang yang dipanggil oleh Westerling membantah telah membunuh dan berbuat kejahatan. Segelintir orang mengaku hanya ikut-ikutan atau terpaksa membunuh lantaran keluarganya diancam oleh pihak tertentu. Tapi buat Westerling interogasi itu hanya formalitas belaka. Mendapat pengakuan dari tersangkanya atau tidak, Westerling akan tetap menerapkan standrecht atau pengadilan di tempat. Vonisnya hukum mati dengan ditembak oleh regu penembak. Westerling pun turut menembak sendiri nama-nama yang dipanggil. Kejadian ini terus berlangsung berbulan-bulan. Korban tewas mencapai ribuan orang. Selama "operasi pembersihan teroris" oleh DST di Sulawesi Selatan, mayat-mayat terserak di jalanan kampung. Mayat-mayat itu tak hanya berasal dari korban operasi DST, tapi juga dari kekejaman orang Indonesia sendiri. Situasi keamanan di Sulawesi Selatan mencekam sejak Februari 1946. Tak ada bulan-bulan yang berlalu tanpa kerusuhan dan kekacauan. Orang-orang saling mencurigai dan melukai. “Apakah dia pro-Belanda, atau dia pro-Republik,” kata Anhar. Yang ketahuan menolong gerakan pro-Belanda akan sengsara, begitu pula dengan orang-orang yang berhubungan dengan pejuang Republik. Kepala bisa putus kapan saja dan perut akan robek pada waktunya. Kekacauan dan kerusuhan ini membuka pintu bagi kehadiran tentara Belanda di Sulawesi Selatan. Anhar menyebutnya sebagai pemaksaan perang kolonialis Belanda terhadap Indonesia. “Belanda tak ingin kehilangan jajahannya yang demikian luas dan kaya dengan sumber alamnya itu,” kata Anhar. Maka Belanda sebisa mungkin mencari celah untuk masuk kembali ke wilayah Republik. Maarten mengatakan pulau Jawa dan bagian Barat Indonesia telah berada di tangan kaum Republik setelah Proklamasi Kemerdekaan. “Tidak akan pernah dipegang Belanda sebagai tanah jajahan lagi,” ungkap Maarten. Kesempatan Belanda untuk merebut kembali wilayahnya hanya terletak di wilayah Indonesia Timur. Salah satunya adalah Sulawesi Selatan. Anhar dan Maarten bersepakat bahwa perang di Sulawesi Selatan selama 1946—1947 telah merugikan kedua belah pihak. “Perang dengan alasan sesuci apapun telah mengakibatkan jatuhnya banyak korban dan penderitaan yang tak berkesudahan di kedua belah pihak,” kata Anhar. Maarten pun menyatakan Belanda tidak memperoleh apa-apa dari perang di Sulawesi Selatan, kecuali jenazah pasukannya. Secara pribadi, sebagai keluarga mantan anggota DST, dia bilang cukup sulit menerima kenyataan bahwa ayahnya ikut terlibat dalam operasi pembersihan itu. “Mustahil ayah saya terlibat dalam eksekusi-eksekusi semacam itu. Ayah yang saya kenal bukan seperti itu dan saya juga tidak bisa membayangkan bahwa dia seperti itu,” kata Maarten. Tapi catatan tertulis dan kesaksian rekan ayahnya sulit dibantah. Dia harus mengaku dan membuka kisah ini kepada publik. “Saya berharap dengan penulisan Peristiwa Sulawesi Selatan melalui buku saya, ada pemahaman yang lebih jelas antara orang Indonesia dan Belanda tentang periode-periode berdarah itu,” kata Maarten. Anhar pun menyatakan pendapat serupa. Dia mengakhiri diskusi ini dengan harapan akan ada lagi penelitian lebih jauh mengenai Peristiwa Sulawesi Selatan agar ada pemahaman lebih jelas dari dua bangsa.

  • Soeharto Menutup Pintu Rezeki Korban 1965

    TANPA mempedulikan bahaya yang bisa menghinggapinya dan stigma yang bakal melekatinya, Anna Frederica Lambaihang berangkat ke Kamp Bukit Duri seorang diri dari rumahnya di Jalan Pramuka, Jakarta. Beberapa pakaian bersih dan rantang berisi makanan dia bawa untuk diberikan kepada orang yang akan dijenguknya.

  • Sepakbola Surabaya Punya Cerita

    SEDARI masa pergerakan, Surabaya sohor sebagai “dapurnya” nasionalisme. Segala segi kehidupan arek-arek Suroboyo sejak 1930-an, termasuk sepakbola, hampir selalu mengacu pada “promosi” ke-Indonesia-an. Sepakbola jadi alat perjuangan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Permainan si kulit bundar begitu efektif untuk mengundang massa dan merekrut simpatisan. Terlebih, untuk golongan kelas dua (Timur Asing: Arab, Tionghoa) dan kelas terbawah (Bumiputera). Pertandingan-pertandingan bal-balan jadi “senjata” politik untuk menohok Nederlandsch Indische Voetbalbond (NIVB), induk sepakbola bentukan pemerintah Hindia Belanda. Sejak 1930, NIVB mendapat rival politis, PSSI. Setiap tim di bawah masing-masing federasi itu saling bersaing mencuri hati penggila bola di semua lapisan masyarakat. Meski tak sama dengan kondisi di kota-kota lain, yang penuh kebencian, persaingan NIVB dan PSSI yang diwakili Soerabajasche Voetbalbond (SVB) dan Soerabajasche Indonesisch Voetbalbond (SIVB) di Surabaya tetap berjalan. “Yang menarik di Surabaya dan berbeda dengan klub-klub lain di luar Surabaya, SIVB justru memiliki hubungan yang baik dengan SIVB. Memang saling bersaing tapi juga bersanding dalam beberapa pertandingan, di mana mereka melakukan laga persahabatan,” cetus pengamat olahraga cum dosen Universitas Negeri Surabaya, Rojil Nugroho Bayu Aji kepada Historia . Tim Eersteklassers Soerabaija berisi pemain campuran Belanda, Tionghoa, dan Bumiputra. ( Soerabaijasch Handelsblad , 20 Januari 1936). Boikot Namun, keharmonisan antara kubu NIVB dan PSSI sempat tercoreng oleh kerikil rasialis. Saat hendak menggelar putaran final perebutan gelar juara kompetisi Stedenwedstrijden (antarkota) di Surabaya, 13-16 Mei 1932, Bekker (wartawan Suratkabar d’Orient ) selaku comite Lid. NIVB mengeluarkan kebijakan rasis. Menurut HAA Achsien dalam Majalah Intisari edisi 5 Mei 1972, Bekker mengeluarkan keterangan pers bahwa wartawan etnis Tionghoa, Arab, India, dan Bumiputera tak diizinkan lagi datang ke laga-laga kompetisi di bawah NIVB. Alasannya, mereka kerap memberitakan hal-hal negatif tentang NIVB dan SVB. Alhasil, kaum Bumiputera dan terutama Tionghoa langsung merespon kebijakan Bekker dengan boikot. Seruan boikot dicetuskan hoofdredacteur (pemred) Koran Sin Tit Po Liem Koen Hian bersama Comité van Actie Persatoean Bangsa Asia. “Liem ini pendiri Partai Tionghoa Indonesia. Dia mengutarakan tentang nasionalisme Tionghoa harus merujuk pada Indonesia, bukan mengabdi pada China. Dia mengajak orang-orang Tionghoa lompat pagar untuk jadi golongan kelas tiga (bersama Bumiputera). Lahir dan besar di Indonesia, orang-orang Tionghoa harus ikut menguatkan ke-Indonesia-an. Ini yang menjadi gerakan di mana sepakbola jadi alat perjuangan bangsa di Surabaya,” lanjut Rojil. Seruan itu menjalar ke seantero Surabaya via berbagai suratkabar Tionghoa, Arab, dan Bumiputera. Masyarakat pun tergerak dan emoh menonton laga-laga putaran final Kampioenswedstrijden, 13-16 Mei 1932. NIVB dan SVB merugi karena sepi penonton kendati tuan rumah menjadi juara setelah mengalahkan rival-rivalnya asal Batavia (Jakarta), Bandung, dan Blitar. Di hari pembukaan Stedenwedstrijden, 13 Mei 1932, para pemboikot berhasil menarik massa memadati Lapangan Tambaksari (kini Stadion Gelora 10 November) untuk menyaksikan laga eksebisi  Indonesia Marine vs Arabisch XI dan laga utama Tim “selection” Bumiputera kontra Tionghoa-Arab. Kedua tim berisi tokoh pergerakan hingga pemred suratkabar. Laga yang dipimpin wasit perempuan Nyonya Sardjono itu berakhir 0-0. Namun setelah ditentukan pemenang lewat cara “ soet ”, tim Bumiputera dinyatakan menang. Nahas, pasca-pertandingan, Liem Koen Hian dan sejumlah pemrakarsa boikot diciduk Politieke Inlichtingen Dienst. Mengutip laporan De Indische Courant , 20 Mei 1932, Liem ditahan dan baru dibebaskan tujuh hari berselang (19 Mei 1932). Liem dibebaskan pemerintah Hindia Belanda berkat protes Ketua Pemoefakatan Perhimpoenan Politiek Kebangsaan Indonesia MH Thamrin di Volksraad. “Yang bisa dipetik dari kisah ini adalah rasa kebersamaan yang muncul tanpa membedakan SARA. Antara orang-orang Tionghoa, Arab, dan Bumiputera, mereka tinggal di Kota Surabaya pada masa itu dan atas dasar persamaan dan persaudaraan mereka bersatu melawan musuh bersama: kembalinya kolonialis itu ke Surabaya (pasca-Proklamasi 1945),” sebut penggiat sejarah Roodebrug Soerabaia Ady Setyawan dalam Surabaya: Di Mana Kau Sembunyikan Nyali Kepahlawananmu.*

  • Gempa dan Tsunami di Sulawesi Tengah Tahun 1938

    GEMPA dengan magnitudo 7,4 mengguncang Donggala, Sulawesi Tengah, pada Jumat, 28 September 2018, pukul 17:02 WIB. Tsunami setinggi 1,5–2 meter menerjang Palu dan Donggala. Ratusan gempa susulan terus terjadi. Gempa disebabkan oleh patahan Palu-Koro. Pada 30 September 2018, BNPB menyampaikan data korban meninggal sebanyak 832 jiwa. Korban kemungkinan akan terus bertambah. Dalam sejarah, tsunami pertama terjadi pada 1927. Gelombang setinggi 15 meter menerjang kota, menewaskan 15 orang dan 50 orang terluka. Setelah itu, gempa dan tsunami kembali terjadi pada 1938 dan 1968. National Oceanic and Atmospheric Administration ( ngdc.noaa.gov ) mendata bahwa pada 19 Mei 1938 terjadi gempa berkekuatan magnitudo 7,6 dengan pusat gempa di Teluk Tomini. Gempa terasa hampir di seluruh Pulau Sulawesi dan di sebelah timur Pulau Kalimantan. Gempa mencapai kekuatan terbesarnya di wilayah Parigi. Gempa mengakibatkan 18 orang meninggal, 942 rumah (lebih dari 50%) ambruk di 34 desa dan 184 rumah rusak. Di permukiman Pelawa, pohon-pohon tumbang. Di permukiman Marantale, tanah retak dan terbelah di perkebunan kelapa; satu rumah dan tanah di sekitar perkebunan pisang bergeser 25 meter. Jalan-jalan retak hingga puluhan meter dengan lebar retakan 50 cm; di sana-sini lumpur mengalir. Di Parigi, sekolah dan gereja ambruk. Di wilayah Palu dan Donggala terjadi sedikit kerusakan. Sedangkan di daerah Poso dan Tinombo, tidak ada kerusakan sama sekali, meskipun ada guncangan kuat. Ada banyak gempa susulan. Setelah gempa, tsunami setinggi 2-3 meter dari teluk sekitar Toribulu menerjang ke Parigi. “Pada 1938 terjadi gempa yang hebat menyebabkan air laut naik menyapu rumah-rumah dan pohon kelapa rakyat di sepanjang pantai Kampung Mamboro, di tepi pantai Barat Kabupaten Donggala,” tulis Masyhuddin Masyhuda dalam  Sejarah Perlawanan Terhadap Kolonialisme dan Imperialisme di Daerah Sulawesi Tengah . Orang yang selamat dari gempa dan tsunami itu adalah Tjie Sim Poe dan Lie Eng Nio. Orangtua pengusaha Ciputra itu tinggal di Parigi, kota yang terletak di perbatasan Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Ciputra lahir dengan nama Tjie Tjin Hoan di Parigi pada 24 Agustus 1931. Ketika gempa terjadi, dia tinggal di rumah kakeknya yang biasa disebut Engkong di Gorontalo untuk sekolah dasar. “Tahun 1938 terjadi gempa bumi hebat di Sulawesi Tengah yang mengakibatkan tsunami dahsyat di Teluk Tomini. Parigi termasuk desa yang porak poranda. Beruntung, Papa dan Mama selamat. Tapi mereka sudah tak mau lagi membangun rumah dan meneruskan hidup di Parigi,” kata Ciputra dalam biografi terbarunya, Ciputra The Entrepreneur: The Passion of My Life (2018) karya Alberthiene Endah. Setelah gempa itu, keluarga Ciputra pindah ke Bumbulan, desa kecil sekitar 140 kilometer dari Gorontalo. Di sana, orangtuanya mengelola toko milik Engkong. Selamat dari gempa dan tsunami, hidup ayah Ciputra berakhir di tangan polisi rahasia Jepang ( Kempeitai ) yang menuduhnya mata-mata Belanda. Dia meninggal dalam tahanan Jepang di Manado. Gempa dan tsunami kembali terjadi di Sulawesi Selatan pada Agustus 1968 yang menewaskan 200 orang dan 800 rumah hancur bahkan sebuah pulau hilang.

  • Asal Usul Anjing Sahabat Manusia dalam Film Alpha

    PADA zaman prasejarah, seorang pemuda bernama Keda gagal melakukan perburuan pertamanya. Dia jatuh dari tebing dan dikira mati oleh kelompoknya. Terbangun dari pingsan, dia sadar telah ditinggalkan di tengah ladang berburu yang liar. Dengan tubuh penuh luka, pemburu amatir itu bertekad kembali pulang ke sukunya sambil mencoba bertahan hidup.   Di tengah perjuangannya, Keda diserang kawanan serigala yang akan memangsanya. Dia obati seekor serigala yang terluka. Mereka pun bersahabat. Selama perjalanan, serigala yang dinamai Daya itu berulang kali membantu menangkap hewan. Sepintas film berjudul Alpha ini seolah hanya berkisah soal balas budi seekor serigala kepada manusia yang menyelamatkan hidupnya. Tema dari film ini memang soal persahabatan manusia dan binatang.  Namun, yang menarik, film ini seperti merekonstruksi kehidupan manusia 20.000 tahun yang lalu pada masa akhir zaman es. Dikisahkan di dalamnya bagaimana manusia berburu, alat apa yang dipakai, bagaimana membuat alatnya, sampai bagaimana alat itu dipakai dalam perburuan. Film ini juga menceritakan, tentu menurut versinya, bagaimana awalnya domestikasi anjing, dari hidup liar menjadi jinak dan berkawan dengan manusia. Berdasarkan penelitian, hubungan manusia dan serigala memang menjadi pembuka awal domestikasi anjing. Data arkeologis menunjukkan leluhur anjing pertama adalah serigala abu-abu ( Canis lupus).  Menurut Darcy F. Morey manusia dan hewan-hewan yang semarga dengan anjing telah berhubungan lama, paling tidak selama 11.000-12.000 tahun. “Berdasarkan tinggalan arkeologi di seluruh dunia, domestikasi anjing mungkin sudah terjadi 14.000 tahun lalu. Jadi, indikasinya sudah dilakukan ketika manusia masih berburu dan meramu,” tulis Darcy dalam “The Early Evolution of the Domestic Dog,” yang terbit di  American Scientist, Vol. 82, No. 4. Buktinya, zooarkeolog Simon Davis dan Francois Valla melaporkan dalam sebuah makam prasejarah di Ein Mallaha, Israel utara, ditemukan rangka seekor anak anjing atau serigala diletakkan di bawah tulang lengan kiri rangka manusia. Makam manusia dengan anjing di Ein Mallaha di Israel utara. (Repro  The Early Evolution of the Domestic Dog ). Tujuan Domestikasi Untuk apa anjing dipelihara pada awalnya? Bukti menunjukkan kalau pada awalnya anjing dijadikan sebagai pemulung sisa makanan manusia. Menurut M.F. Ashley Montagu, antropolog Hahnemann Medical College and Hospital di Philadelphia, awalnya manusia hidup dengan berburu dan mengumpulkan makanan. Mereka hidup tanpa menanam atau memelihara hewan. Bisa dibilang, manusia hidup secara semi nomaden. Mereka akan menempati suatu wilayah hingga sumber makanan di tempat itu berkurang. Selanjutnya, mereka pindah ke area lainnya, di mana sumber makanan lebih melimpah. Pada masing-masing permukiman yang mereka buat, ada semacam tumpukan sisa makanan yang begitu besar. Di sanalah mereka selama tinggal membuang makanan yang sudah tak dikonsumsi lagi. Besarnya, tentu tergantung seberapa lama mereka tinggal dan jumlah mereka.  Bisa dibayangkan baunya pasti sangat mengganggu. Mereka lalu mengetahui kalau anjing ternyata tak keberatan diberi makanan sisa manusia itu. Karena inilah anjing kemudian mulai mendapat peran di tengah kehidupan manusia.  “Penjelasan itu berasal dari letak temuan rangka anjing yang berada satu konteks dengan sampah dapur dan permukiman prasejarah di Eropa,” tulis Ashley dalam “On the Origin of the Domestication of the Dog” yang terbit di jurnal  Science, New Series, Vol. 96, No. 2483 (31 Juli 1942). Namun, Ashley menambahkan, bukti paling kuat bisa dilihat dari kebiasaan di tengah suku Aborigin Australia. Di sana, kebudayaan zaman batu masih berjalan. Di setiap permukiman mereka, sekelompok anjing bisa ditemukan. Kondisi permukiman suku Aborigin Australia itu ditulis oleh ahli ornitologi W.H.D. Le Souef dalam Wild Life in Australia  (1907). Awalnya, dia bertanya-tanya mengapa penduduk di sana begitu sering menggeser perkemahan mereka. Namun, dia paham ketika sadar kalau bau sampah dapur tempat itu, meski hanya tiga hari lamanya, sudah bisa tercium dari jauh.  “Bau itu tercium bahkan sebelum perkemahan terlihat. Jika kita punya banyak anjing alih-alih hanya satu, mungkin tidak demikian buruk,” tulis Le Souef.  Sementara itu Darcy berpendapat serigala dan manusia pemburu-pengumpul makanan pada akhir pleistosen sering bertemu karena punya mangsa yang sama. “Serigala mungkin sudah terbiasa dengan praktik perburuan manusia dan telah berada di sekitar pemukiman manusia secara teratur,” tulisnya. Asumsinya, menurut Darcy, jalan menuju domestikasi anjing dimulai ketika beberapa anak serigala menjadi bagian dari lingkungan permukiman manusia. Mereka begitu saja dipelihara manusia. Menurutnya, orang seringkali memelihara hewan liar karena berbagai alasan tanpa berusaha mencapai domestikasi jangka panjang. “Siapapun bisa berspekulasi tentang motivasi sadar orang-orang mengambil anak-anak serigala,” lanjutnya.  Arkeolog Puslit Arkenas, Triwurjani mengatakan saat ini pun masih bisa dilihat, anjing seringkali membantu dalam aktivitas manusia. Di Payakumbuh, Sumatra Barat, misalnya. “Saya hanya mengamati mengapa orang Sumbar yang sangat Islami itu sampai mau memelihara anjing. Anjingnya saja tak boleh jalan. Dia dibawa naik motor,” katanya lewat pesan singkat.  Orang-orang ladang di pedalaman, kata Triwurjani, juga membawa anjingnya ke kebun atau ladang. “Anjing itu kan hewan yang bisa diandalkan untuk menjaga kebun,” katanya. Saat berburu pun semua anjing piaraan warga turut serta. Mereka bersama-sama memburu babi atau celeng. Tugas anjing-anjing ini menggiring hewan buruan sampai terlokalisir.  “Setelah itu dilepaslah anjing pemburu untuk menyerang babi hutan itu. Nah, ketika dia menyerbu anjing lainnya tidak ada yang bergerak,” kata Triwurjani.  Dalam  Alpha  pun, Daya menjadi pasangan berburu yang solid bagi Keda. Dia mengejar buruan sambil mengarahkannya pada Keda yang siap dengan kapak genggam batunya.

  • Sukarno Sang Kolektor Lukisan

    SEHARI setelah pengakuan kedaulatan, 28 Desember 1949 Sukarno beserta keluarganya tiba di Jakarta dari Yogyakarta. Dia langsung mendiami Istana Merdeka untuk pertama kalinya. Rakyat yang berkumpul di depan Istana Gambir mengelu-elukannya dengan pekik merdeka. Melihat gelora sambutan rakyat, Bung Karno berpidato di depan Istana Gambir. Salah satu keputusannya adalah mengubah nama Istana Gambir menjadi Istana Merdeka dan Istana Rijswijk menjadi Istana Negara. “Belanda tidak meninggalkan apapun. Hanya meninggalkan dinding kosong. Saat Sukarno pertama masuk istana, dia melihat kekosongan. Dia tidak punya uang untuk belanja mengisi istana,” kata Mikke Susanto dalam acara peluncuran bukunya, Sukarno's Favourite Painters di Gedung Masterpice, Tanah Abang IV, Jakarta Pusat. Sukarno kemudian mengisi istana dengan barang-barang seni. Dia memindahkan semua koleksi lukisannya yang dipajang di rumahnya di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56. Dia pun rajin mengunjungi rumah pelukis, sanggar-sanggar seni, dan komunitas-komunitas seni di seluruh Indonesia. Saat itu, Sukarno belum punya uang, tapi tak tega meminta gratisan lukisan dari para pelukis. “Akhirnya Sukarno memberanikan diri ketika bertemu para pelukis akan membeli lukisannya, namun dengan cara mencicil. Dia paham bagaimana kesulitan pelukis sekadar membeli kanvas saat itu. Saat itu belum ada pasar, belum ada kriteria yang disebut sebagai maestro atau legenda. Jadi, antara Sukarno dan seniman berkembang bersama. Mereka dalam tahap mencetak sejarah,” papar kurator seni ini. Perlahan, jumlah benda seni khususnya lukisan di istana bertambah. Mereka ditata sedemikian rupa di dinding-dinding semua istana kepresidenan. Lukisan-lukisan itu kemudian diberi tanda di bagian belakang dengan tulisan seperti “milik Sukarno” atau “milik Ir. Sukarno” atau tanda tangan Sukarno saja. Ternyata, dalam memberi tanda ini, bukan dilakukan oleh Sukarno sendiri tapi dibantu sejumlah pelukis. “Dengan memberi tanda ini, efeknya luar biasa. Koleksi ini bernilai tinggi karena tulisan ini juga. Selain lukisan yang bagus tentunya. Ya, karena dia presiden,” ujar Mikke. Total Nilai Sukarno gandrung dengan karya seni khususnya lukisan karena dia sendiri suka melukis. Dia melukis pertama kali saat kuliah di Technische Hoogeschool Bandoeng di bawah asuhan arsitek Belanda bernama Charles Prosper Wolff Schoemaker. Dia kembali melukis ketika diasingkan ke Ende, Flores. “Ada lukisan dia, dari cat air, ukurannya kecil. Sukarno membeli bahan lukisan dari luar Ende. Meski dalam pengasingan, dia dapat gaji. Nah, dia titip dibelikan cat air dan kertas kepada orang-orang yang ke Surabaya, lewat kapal laut. Inilah salah satu yang membuat semangatnya tetap hidup meski terkena malaria,” ujar Mikke. Awal pertemanan Sukarno dengan para pelukis dimulai pada 1930-an dan puncak masa panen koleksi antara 1945-1965. Pihak rumah tangga istana pernah menghitung nilai dari semua koleksi seni kepresidenan yang dikumpulkan Sukarno. “Kami bersama pihak rumah tangga istana pernah menaksir nilai benda seni tersebut. Hasilnya adalah sebesar dua triliun untuk 16 ribu barang seni yang ada di istana,” ujar krititikus seni, Agus Dermawan T. Dari sekitar 16 ribu koleksi seni istana, Agus mendengar dari Guntur Sukarnoputra bahwa sekitar 2000-an lukisan milik Sukarno. Mikke menyebut ada 250 pelukis yang lukisannya dikoleksi Sukarno. Angka itu didapat dari buku-buku koleksi Sukarno dan arsip yang ditulis oleh Gafur, sepupu pelukis Dullah yang turut bekerja di istana era Sukarno. Pendataan koleksi seni kepresidenan dilakukan dengan penyusunan kitab koleksi seni Sukarno. Jilid I dan II dilakukan oleh pelukis Dullah tahun 1956, lalu jilid III dan IV dikerjakan pelukis Lee Man Fong pada 1959. Keempat jilid itu, tulis Agus Dermawan T. dalam Bukit-Bukit Perhatian , diterbitkan oleh Pustaka Kesenian Rakyat di Tiongkok. Pada 1 Januari 1964, terbit buku selanjutnya yang berisi sama dengan keempat jilid sebelumnya ditambah satu jilid khusus gambar foto dan keramik. “Namun, buku-buku itu tak lepas dari kesalahan juga, seperti yang ditemukan Pak Agus dan saya,” kata Mikke. “Jadi, jangan percaya 100 persen. Misalnya, salah nama, T. Ganani, ternyata Tatang Ganar. Lalu pelukis Fadjar Sidik, ditulis Djafar Sidik,” kata Mikke. Selama tiga tahun penelitian untuk buku Sukarno's Favourite Painters , Mikke menemukan sejumlah koleksi Sukarno yang berada di luar istana. “Lebih kurang dari yang temukan saat ini, 5-10 karya ada di luar istana. Istana juga tidak bisa mengklaimnya karena diberikan oleh Sukarno pribadi. Itu urusan lain di luar pendataan karya seni yang ada di dalam istana,” ujarnya.*

  • Surabaya dan Sepakbolanya

    SIAPA bilang Thor, tokoh fiksi pahlawan super kepunyaan Marvel Universe yang katanya leluhur bangsa Viking, hanya ada di Amerika Serikat. Di Surabaya juga ada. Warisannya kini tersisa hanya sebidang lapangan dan stadion di Jalan Patmosusastro, Wonokromo. Pemugarannya diresmikan Walikota Tri Rismaharini pada 12 Oktober 2017. Namun, Thor di Surabaya bukan superhero Thor di franchise Avengers. Thor di Surabaya merupakan nama klub sepakbola zaman Hindia Belanda yang ikut membentuk Surabaya jadi kota sepakbola. Seperti Jakarta dan Bandung, Surabaya di masa kolonial populasinya juga terkotak-kotak berdasarkan ras sejak 1855: Eropa, Timur Asing (Arab, Tionghoa), dan yang terendah bumiputera. Sekat rasial itu juga masuk ke dalam olahraga, terutama sepakbola, yang dibawa orang Eropa ke Nusantara sejak akhir abad ke-19. “Di Surabaya, klub pertamanya juga didirikan pemuda HBS (Hoogere Burger School) John Edgar dengan klub Victoria tahun 1895. Kemudian berkembang lagi ada SIOD (Scorens In Ons Doel), Sparta, Rapiditas, dan Thor (Thot Heil Onzer Ribben). Ini yang menjadi cikal bakal persepakbolaan di Surabaya,” ujar pengamat olahraga Rojil Nugroho Bayu Aji saat ditemui Historia di Universitas Airlangga, Surabaya. Klub-klub itu lantas bernaung di bawah Oost Java Voetbalbond (OJVB) pada 1907. Dua tahun berselang OJVB berganti jadi Soerabajasche Voetbalbond (SVB). Mulai 1914, SVB berinduk pada Nederlandsch Indische Voetbalbond (NIVB) seiring berdirinya federasi sepakbola bikinan Belanda itu. Seakan tak mau kalah dari orang kulit putih, orang Tionghoa dan Bumiputera pun mendirikan klub masing-masing. Oei Kwie Liem mendirikan klub Tiong Hoa Soerabaja pada 1914, sementara kaum Bumiputera lewat R Pamoedji dan Paidjo mendirikan Soerabajasche Indonesische Voetbalbond (SIVB) pada 18 Juni 1927 (kini Persebaya), yang tiga tahun kemudian ikut mendirikan PSSI. “Klub Tiong Hoa Soerabaja ini pesat perkembangannya karena mereka juga punya (sokongan) POR (Perkoempoelan Olah Raga) yang membawahi banyak cabang olahraga, termasuk sepakbola. Walau akhirnya kemudian mereka ikut kompetisi di bawah SVB,” lanjut penulis buku Tionghoa Surabaya dalam Sepakbola dan Mewarisi Sepakbola, Budaya dan Kebangsaan Indonesia itu. Di Surabaya lantas muncul satu “poros” kekuatan sepakbola lagi, yakni Soerabajasche Kantoor Voetbalbond (SKVB). Pada 1950, SKVB meleburkan diri ke Persebaya. “Ketika sudah terbentuk dua kutub, SIVB dan SVB, di tengah-tengah ini muncul SKVB. Isinya tim-tim kecil dari perkumpulan orang-orang kantoran di Surabaya (SV Douane, SV Factorij, SV Handelsbank, SV Internatio, SV Marine Kazerne Goebeng). Diinisiasikan oleh Radjamin Nasution, seorang dokter, pegawai bea cukai yang di kemudian hari jadi walikota Surabaya di tiga zaman (Belanda, Jepang, dan Indonesia). Beliau juga anggota Volksraad (wakil rakyat) Bumiputera pertama di Surabaya,” ujar Dhion Prasetya, peneliti sejarah Persebaya dan penulis Persebaya and Them , kepada Historia ketika ditemui di Surabaya. Saling Bersanding Hadirnya SVB dan SIVB sebagai dua kutub persepakbolaan Surabaya menjadi eksponen dari rivalitas PSSI-NIVB di berbagai kota. Uniknya, di Surabaya SVB dan SIVB malah akur. Beberapa kali pernah ada saling tukar atau pinjam pemain, baik saat SVB ikut kompetisi antarkota Stredenwedstrijden maupun kala SIVB bertarung di kompetisi Perserikatan. “Kalau di kota-kota lain kan perlawanannya vis-à-vis . Tidak mau saling bertemu, saling berkonfrontasi. Tapi di Surabaya justru sering berbagi lapangan, sering sparring , terlepas mereka punya kompetisi masing-masing. Tentunya untuk menunjukkan siapa yang terbaik,” sambung Rojil. Pengamat sepakbola surabaya Rojil Nugroho Bayu Aji (Randy Wirayudha/Historia). Namun, lanjut dosen Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Surabaya (Unesa) tersebut, SIVB tetap mampu mengembangkan nasionalisme lewat sepakbola. “Artinya dari dulu kultur sepakbola di Surabaya tidak sama dengan di Jakarta atau Bandung. Di Surabaya, mereka (SIVB dan SVB) bisa bertanding dan bersanding dengan fair ,” tambah Rojil. Zaman Jepang hingga Sekarang Seiring berkuasanya Jepang, olahraga, terutama sepakbola nyaris vakum. “Masa paling suram dalam sepakbola, tak hanya di Surabaya tapi di seluruh Indonesia. Olahraga hanya dikerucutkan melalui satu pintu, Tai Ku Kai . Masa yang paling susah menggelar olahraga untuk hiburan rakyat. Olahraga hanya untuk kepentingan perang. Kalaupun ada pertandingan, tapi tidak reguler seperti sebelumnya,” sambung Rojil. Kelumpuhan sepakbola mulai sedikit terobati di era Perang Kemerdekaan. “Lebih diprioritaskan untuk dijadikan tim PON (Pekan Olahraga Nasional) 1948 di Solo. Para pemain dari berbagai klub di Surabaya diseleksi untuk dijadikan tim PON mewakili Surabaya. Kompetisi reguler baru kembali digulirkan setelah Kongres PSSI di Semarang 1950 usai perang,” lanjutnya. Tim-tim Tionghoa dan Belanda lalu meleburkan diri ke dalam SIVB, yang kini menjadi Persebaya Surabaya, untuk bertarung di Perserikatan. Ketika Liga Sepakbola Utama (Galatama) muncul tahun 1979, tim-tim baru asal Surabaya bermunculan. Selain NIAC Mitra (berubah menjadi Mitra Surabaya), yang besar adalah Assyabaab Salim Grup Surabaya (ASGS, berdiri 1948, ikut Galatama 1991). Assyabaab mulai menghilang setelah Liga Indonesia 1996-1997. Sementara NIAC Mitra pindah “rumah” ke Palangkaraya pada 1999 dan menjadi Mitra Kalteng Putra. Dua tahun berselang, dibeli PT Kutai Kartanegara Sport Mandiri dan berubah nama jadi Mitra Kukar hingga sekarang. “Padahal dulu NIAC Mitra cukup punya pendukung banyak, meski ceritanya agak beda dengan ASGS yang tidak begitu didukung arek-arek Suroboyo. Ya pendukungnya Persebaya juga. Kan dua tim ini main di kompetisi berbeda (Perserikatan dan Galatama). Misal minggu ini masyarakat dukung Persebaya, minggu depan dukung NIAC. Ya ganti-ganti dukungan tim begitu,” tandas Dhion.

  • Barisan Jenderal Sahabat Wartawan

    Edy Rahmayadi, mantan jenderal yang kini menjadi gubernur Sumatera Utara sekaligus ketua umum PSSI tengah dalam pusaran pemberitaan. Pada sesi wawancara di salah satu televisi swasta baru-baru ini, Edy memperlihatkan mimik wajah yang gusar. Ketika pembawa acara berita menanyakan perihal rangkap jabatan yang dipegangnya, Edy sontak menjawab penuh hardikan: “Apa urusan Anda menanyakan itu? Bukan hak Anda bertanya kepada saya.” Edy lantas memutuskan pembicaraan. Wawancara terhenti. Telewicara itu berjalin menyusul peristiwa meninggalnya seorang anggota Jakmania akibat keroyokan suporter Persib jelang laga Persib kontra Persija di Bandung (23/9). Si pembawa acara berita bertanya dalam kapasitasnya selaku juru warta. Sementara Edy, menjadi narasumber terkait kedudukannya sebagai orang nomor satu di PSSI. Ceplosan Edy berbuah blunder. Entah sengaja atau karena lagi banyak pikiran, jawabannya mendadak viral dan menuai gunjingan. Yang jelas, ini bukan kali pertama Edy mengeluarkan pernyataan bernada berang. Banyak kalangan menilai, Edy yang pernah menjabat panglima Kostrad ini masih terbawa gaya militer ala perwira tinggi. Namun sebagai pejabat publik, sikap Edy menyikapi persoalan terkesan arogan. Diajak Meliput Dinas Kebalikan dari Edy Rahmayadi, Jenderal M. Jusuf barangkali perwira tinggi TNI yang paling disenangi wartawan pada masanya. Jusuf yang menjadi Panglima ABRI periode 1978—1983 memang di kenal ramah terhadap pemburu berita. Pada 1981, Jusuf pernah mengajak sejumlah wartawan untuk ikut dan meliput perjalanan dinasnya. Saat itu, Jusuf sedang gencar melakukan peninjauan ke berbagai penjuru daerah di Indonesia. Satu diantara puluhan wartawan yang beruntung itu adalah Atmadji Sumarkidjo. Atmadji seorang reporter muda Harian Umum Sinar Harapan . Menurut Atmadji, hubungannya dengan Jusuf pada awalnya sebatas profesionalitas antara wartawan dengan narasumbernya. “Kemudian hubungan tersebut berkembang menjadi hubungan pribadi yang amat berkualitas dan tak pernah satu kali pun terhenti hingga Pak Jusuf wafat,” kenang Atmadji. Hubungan karib tersebut dimulai dengan perhatian khusus yang diberikan oleh istri Jusuf, Elly Jusuf Saelan atas tulisan-tulisan yang dimuat di suratkabar Sinar Harapan . Atmadji kemudian dipercaya untuk menuliskan biografi M. Jusuf yang berjudul Jenderal M. Jusuf: Panglima Para Prajurit. Dibekali Pistol Wartawan TVRI, Hendro Subroto menyimpan kesan mendalam terhadap sosok Sarwo Edhie Wibowo. Keduanya bersua saat Sarwo menjabat komandan pasukan elite RPKAD. Pada 1965, Sarwo memimpin pasukan RPKAD menumpas gerakan PKI di lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah. Sementara Hendro yang menjadi juru kamera film berita TVRI ikut meliput. Melihat Hendro yang cuma menenteng tas ransel tanpa senjata, Sarwo bertanya, “Hen, mengapa kamu tak membawa senjata?.” Kontan saja Sarwo membuka couple ring di pinggangnya yang tertambat pistol Makarov 9 x 18 mm berikut tiga magasen peluru dan sebilah pisau komando. Dengan nada kebapakan Sarwo memberikan senjatanya kepada Hendro sambil kasih nasihat. “Kamu jangan sembrono. Pakai ini,” demikian pengalaman itu dikenang Hendro dalam memoarnya Perjalanan Seorang Wartawan Perang . Bertahun berselang, hubungan baik itu terus terbina. Hendro selalu meliput operasi militer yang dipimpin Sarwo, termasuk ketika Sarwo menjadi panglima Kodam Cenderawasih di Papua. Pada dekade 1980-an, nama Hendro telah malang melintang sebagai wartawan senior. Sementara Sarwo, telah pensiun dan dalam keadaan sakit-sakitan. Sekali waktu di tahun 1989, berita sakitnya Sarwo terdengar oleh Jenderal (purn.) Soemitro, mantan pangkopkamtib. Dikenal sebagai orang dekat Sarwo, Soemitro bertanya kepada Hendro saat bertemu di Singapura. “Hen, bagaimana keadaan bapakmu?.” Sebutan bapakmu yang dimaksud Soemitro ialah Sarwo Edhie Wibowo. Kalau You Berani Pertanyaan menantang oleh wartawan juga pernah dialami Benny Moerdani. Pada 1990, Benny pernah mengomentari biografi Jenderal Yoga Soegomo berjudul Memori Jenderal Yoga saat peluncuran di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta. Kata Benny, “Pak Yoga kalau bercerita mirip James Bond, selalu menang.” Tetiba seorang wartawan muda harian Kompas celetuk. “Pak, boleh saya muat komentar tadi,” kata Julius Pour, nama si wartawan tadi. “Silahkan, kalau you berani,” gertak Benny dengan nada datar tanpa ekspresi. Pengalaman "cari perkara" itu dikenang Julius Pour dalam pengantar buku Benny: Tragedi Seorang Loyalis . Meski telah pensiun, aura angker masih menyelubungi Benny. Di masa jaya Orde Baru, dia  adalah jenderal paling berkuasa. Benny menjabat Panglima ABRI periode 1983—1988 dan memegang kendali lembaga intelijen. Wajahnya pun cukup sangar karena jarang melempar senyum. Di kalangan pers, Benny juga dikenal galak. Dia tak pernah mau dipotret lensa kamera wartawan.  Atas anjuran seniornya, Julius membatalkan niat untuk memuat kutipan Benny. Di kemudian hari, kalimat “silahkan, kalau you berani” ternyata selalu diulangi Benny dalam serangkaian wawancara bersama Julius. Sampai pada akhirnya, disepakati bila kisah perjalanan karier Benny akan ditulis oleh Julius. Biografi itu rampung pada 1993 dengan judul Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan .     Menurut Julius, Benny adalah orang yang antusias dan cukup terbuka. Benny bersedia menjawab pertanyaan hingga tuntas. Bahkan, berkenan menjelaskan secara rinci tentang semua isu sampai pada desas-desus, dari kecaman hingga fitnah sekitar dirinya. “Beliau selalu rela dengan tangan terbuka bersedia menerima kedatangan saya. Sehingga akhirnya kami sering harus berdiskusi sampai jauh dini hari, di kamar kerjanya nya yang senyap," kenang Julius Pour. Edy Rahmayadi agaknya perlu belajar dari para pendahulunya tersebut dalam memperlakukan pewarta. Sebagai aparat sipil, Edy mengemban amanah rakyat. Saat menjalankan tugas sebagai pelayan rakyat tak selayaknya dia berlagak seperti jenderal di tengah gelanggang perang.

  • Sejarah Tertib Berlalu-Lintas

    KORPS Lalu Lintas Polisi Republik Indonesia (Korlantas Polri) hendak menerapkan sistem tilang elektronik bagi para pelanggar lalu-lintas pada Oktober 2018. Sistem ini mengandalkan bantuan teknologi kamera closed circuit television (CCTV), basis data, dan jaringan internet. Polisi mengatakan penilangan model begini bertujuan mengubah perilaku pengendara bermotor menjadi lebih beradab dan menghindari suap-menyuap dari pelanggar ke polisi. Perilaku berlalu-lintas pengendara bermotor telah lama menjadi perhatian banyak pihak. Perhatian itu berasal dari unsur pemerintah seperti Dewan Perwakilan Rakyat Sementara, Pemerintah Kota, dan Kepolisian Lalu-Lintas. Mereka merivisi Undang-Undang Lalu-Lintas Jalan Tahun 1933 melalui penetapan Undang-Undang No. 7 Tahun 1951. Perubahan ini berkaitan dengan perkembangan angkutan jalan raya di Indonesia. Kendaraan bermotor mulai jamak hilir-mudik di jalanan. UU Lalu-Lintas Tahun 1951 memuat pembagian lajur cepat dan lambat. Lajur cepat untuk kendaraan bermotor, lajur lambat untuk sepeda, gerobak, dan becak. Ada juga ketentuan mengenai surat izin mengemudi dan syarat perlengkapan keselamatan berkendara. Hukuman dan sanksi terhadap pelanggaran lalu-lintas termaktub pula di dalam UU tersebut. Selain dari Kepolisian, perhatian terhadap perilaku berlalu-lintas pengendara bermotor juga muncul dari warga biasa. Antara lain dari seorang penulis bernama S. Soemiati. Artikelnya termuat di Teruna , majalah remaja, 10 Oktober 1959. S. Soemiati mengingatkan bagaimana seharusnya orang berperilaku dalam berlalu-lintas di kota besar. Sopan-santun mesti berlaku di jalan dengan cara berbeda. Tidak sebagaimana sopan-santun dalam pertemuan keseharian. “Tak perlu kita setiap kali berjumpa dengan seseorang di jalan, lalu berkenalan atau berjabat tangan, mengangguk ramah tersenyum manis ataupun menyapa sopan. Mana mungkin pula, sebab demikian ramainya dan cepatnya lalu-lintas,” tulis Soemiati. Soemiati mencontohkan sopan-santun berlalu-lintas. “Sopan ialah, jika di dalam kota kita tidak memakai lampu yang besar, sebab menyilaukan pengemudi kendaraan lain yang berlawanan arah,” lanjut Soemiati. Intinya, menurut Soemiati, sopan-santun berlalu lintas berada pada kesadaran kewajiban pengemudi dan penghormatan terhadap hak pengguna jalan. “Barulah dapat dikatakan, bahwa kita mempunyai peradaban batin yang tinggi, telah mencapai tingkat atas dari peradaban,” catat Soemiati. Tapi anjuran Soemiati ini tak selalu hadir di lalu-lintas keseharian. Lalu-lintas di kota-kota besar Indonesia, semisal Jakarta, penuh dengan kesemrawutan. Perilaku tidak tertib pengendara bermotor dan pengguna jalan menjadi pemandangan sehari-hari. Undang-undang, aturan, dan himbauan tentang tertib berlalu-lintas tak sampai di kepala mereka. “Sering kita melihat oplet yang dengan satu isyarat jari dari seseorang yang ingin menumpang, segera membelokkan stirnya dengan tiada ambil pusing ada atau tidak ada kendaraan di kiri atau kanannya,” tulis Kementerian Penerangan dalam Kotapradja Djakarta Raya . Kelakuan pengguna jalan non-kendaraan bermotor hampir setali tiga uang dengan sopir oplet. “Becak-becak yang tiada mau kenal dengan aturan lalu-lintas dengan tanda-tandanya yang penting itu. Sepeda-sepeda yang tiada mau menuruti jalan yang telah disediakan untuknya… Sampai kepada orang-orang jalan kaki yang kurang memperhatikan suasana kelilingnya,” catat Kementerian Penerangan. Tak jarang perilaku serampangan ini menyebabkan kecelakaan lalu-lintas. Polisi lalu-lintas kesulitan menertibkan perilaku pengendara bermotor dan pengguna jalan. Jumlah mereka belum mencukupi untuk menindak tiap pelanggaran lalu-lintas hari demi hari. “Cobalah kita ingat kalau hampir 40 sampai 50 pelanggaran yang harus diperbal (diproses, .) setiap hari, berapa banyak tenaga-tenaga yang dibutuhkan khusus untuk memperbal kesalahan-kesalahan belaka,” lanjut Kementerian Penerangan. Barisan Keamanan Lalu-Lintas Menyadari keterbatasan jumlah, polisi lalu-lintas merekrut warga kota agar turut membantu menertibkan perilaku pengendara dan pengguna jalan. Mereka terdiri dari pandu dan anak-anak sekolah. Nama kelompok ini Badan Keamanan Lalu-Lintas (BKLL). Tugas mereka bukan menindak para pelanggar lalu-lintas, melainkan mencegah pelanggaran itu terjadi. Pemilihan anggota BKLL dari kalangan pandu dan anak-anak sekolah berangkat dari gagasan bahwa tertib berlalu-lintas sudah harus membiasa sejak usia dini. Ketertiban lalu-lintas bukanlah urusan polisi semata, tetapi juga soal masyarakat. Polisi berpikir jika pemahaman tentang tertib berlalu lintas membiasa sedari dini, kesemrawutan di jalan akan berkurang secara perlahan. Ujungnya ialah penurunan angka kecelakaan. “Menjadikan penduduk kota Jakarta traffic-minded , terutama anak-anak sekolah sebagai usaha untuk ikut mengurangi jumlah kecelakaan,” ungkap Kementerian Penerangan.  Polisi membekali calon anggota BKLL dengan pengetahuan tentang aturan berlalu-lintas. Pembekalan berlangsung pada sore hari sebanyak dua kali seminggu. Jadwal ini tak mengganggu kegiatan sekolah reguler pagi calon anggota BKLL. Setelah memperoleh 10 kali pembekalan, calon anggota BKLL akan menghadapi ujian di Kantor Besar Polisi Jakarta. Mereka akan memperoleh ijazah dari kepolisian jika berhasil lulus ujian. Menjadi anggota BKLL berarti siap pula mengemban tugas sebagai pelopor disiplin berlalu-lintas. Karena itu, polisi memberi anggota BKLL latihan baris-berbaris saban ahad pagi. “Dengan maksud supaya disiplin dapat tertanam,” ungkap Kementerian Penerangan. Polisi percaya, disiplin baris-berbaris anggota BKLL akan berkembang ke disiplin berlalu-lintas. Saat dirasa sudah siap dengan sikap disiplin berlalu-lintas, anggota BKLL mulai bertugas di jalan. Mereka berada di persimpangan-persimpangan ramai. Tapi kehadiran mereka tak cukup membantu menertibkan perilaku pengendara bermotor dan pengguna jalan. Alasannya, jumlah anggota BKLL dengan pengendara bermotor dan pengguna jalan tidak seimbang. Selain itu, kehadiran anggota BKLL tidak terlalu menggugah kesadaran tertib berlalu-lintas pengendara bermotor dan pengguna jalan. Perilaku Penegak Hukum Keruwetan lalu-lintas di Jakarta kian sulit tertata pada 1960-an. Jalan-jalan terus penuh oleh kendaraan bermotor, sedangkan perilaku pengendara bermotor dan pengguna jalan makin jauh dari disiplin. Bahkan di jalan utama seperti M.H. Thamrin, pengendara bermotor dan pengguna jalan bertindak seenaknya. Pengendara bermotor melaju cepat, mengabaikan rambu penyeberang untuk pejalan kaki. “Masih banyak Bung-Bung Sopir dan Tuan-Tuan pengendara yang nampaknya belum begitu paham sopan-santun lalu-lintas. Mereka main serobot dan ngebut saja tanpa mempedulikan pejalan kaki yang sudah berjubel di zebra-cross hendak menyeberang,” tulis Kompas , 24 Juni 1967. Polisi lalu-lintas berupaya menindak para pelanggar batas kecepatan dan rambu. Mereka akan meniup peluit jika menemukan pelanggaran lalu-lintas. Pelanggar harus berhenti, menunjukkan rebewes atau surat izin mengemudi, dan menyodorkan surat bukti kendaraan. Polisi menjelaskan pelanggaran dan sanksinya sesuai dengan UU No. 3 Tahun 1965. Tapi ada segelintir polisi menerapkan “hukum” sendiri. Para pelanggar tak perlu repot membayar denda atau menjalani hukuman sesuai UU No. 3 Tahun 1965. “Hukum” di luar hukum ini disebut prit jigo . “Sekali pelanggaran kena semprit, harus memberi sogokan 25 rupiah,” kenang Firman Lubis dalam Jakarta 1960-an . Tindakan korup polisi lalu-lintas tak hanya terjadi di kota Jakarta. Niels Murder, antropolog asal Belanda, menceritakan pengalamannya bertemu dengan polisi korup di Brebes, Jawa Tengah, pada November 1969. Dia sedang berkendara motor saat itu. Polisi menggelar razia di depan kantor dan memeriksa setiap pengendara bermotor. Niels kena giliran diperiksa oleh polisi. Surat-suratnya lengkap. Dan dia yakin tak ada aturan berlalu-lintas yang dilanggar. Tetapi seorang polisi tak mengembalikan surat-suratnya. Polisi itu justru membawa surat-suratnya ke sebuah meja. “Para polisi itu, seperti juga orang lainnya, mencari cara untuk mengais sedikit rupiah dari orang yang lewat,” tulis Niels dalam Petualangan Seorang Antropolog . Polisi mencari-cari kesalahan Niels. Nasib serupa menimpa pengendara bermotor lainnya. Polisi mengatakan bahwa mereka telah melanggar aturan lalu-lintas. Pasal sekian, ayat segini, dengan sanksi demikian. Polisi menawarkan cara singkat agar surat-surat pengendara bermotor lekas kembali. Pengendara tak punya pilihan. “Orang yang bijaksana selalu menyisipkan uang seratus rupiah ke dalam SIM itu,” tulis Niels. Itulah harga untuk pengembalian surat-surat kendaraan atas pelanggaran yang tak pernah mereka lakukan. Niels enggan membayar seratus rupiah. Dia mendatangi meja tempat suratnya ditahan. “Kutinggalkan motorku di tempatnya, berjalan menuju meja itu, merampas surat-suratku dari tangan si polisi, lalu pergi,” ungkap Niels. Perilaku korup polisi mencoreng wibawa mereka. Banyak orang menjadi ragu dengan upaya penertiban perilaku berlalu-lintas para pengendara bermotor. Keadaan ini jadi alasan bagi mereka untuk terus melanggar aturan. Toh , polisinya juga sering melanggar hukum. Kemudian zaman bergerak cepat dan teknologi berkembang. Kamera CCTV kini terpasang di banyak sudut jalan. Ide penerapan tilang elektronik pun muncul untuk memperbaiki perilaku berkendara dan menghindari suap-menyuap.

  • Di Balik Nama Pangeran Samber Nyawa

    DARI mana sebutan Samber Nyawa diterima Mangkunegara I? Dalam  Wikipedia  disebut julukan Pangeran Samber Nyawa diberikan oleh Nicolaas Hartingh, perwakilan VOC, karena dalam peperangan dianggap selalu membawa kematian bagi musuh-musuhnya.  Sejarawan M.C. Ricklefs bilang itu salah. "Itu adalah kesalahan tentang Samber Nyawa yang sudah banyak beredar," katanya lewat tayangan video yang diputar dalam acara peluncuran buku barunya, Soul Catcher: Java's Fiery Prince Mangkunegara I, 1726-1795 , di auditorium UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Rabu (26/9).  Untuk mengoreksinya, Ricklefs mengutip Serat Babad Pakunegaran . Serat ini memuat otobiografi Pangeran Mangkunegara I atau R.M. Said.  "Dari Babad Pakunegaran , bisa dikutip kata-kata Pangeran Mangkunegara sendiri," kata Ricklefs.  Dalam naskah itu dijelaskan, kalau nama Samber Nyawa sebenarnya adalah nama dari panji-panji perang pasukan Mangkunegara I. Panji-panjinya berwarna biru-hitam dengan bulatan putih, yang kata Ricklefs sudah pasti bulan sabit. "Jadi, kita tahu bagaimana pasukan Mangkunegara terlihat. Jadi Samber Nyawa itu berasal dari panji-panji Mangkunegara," jelas Ricklefs. Menyoal Serat Babad Pakunegaran , Ricklefs menyebut dalam bukunya, bahwa itu adalah karya otobiografi tertua dari tahun 1757 yang pernah ditulis di Jawa. Sejarawan Peter Carey menambahkan, isinya semacam notulen ketika perang berjalan. "Sastra berbaur dengan pertempuran. Jadi, bagaimana membangkitkan ksatria," jelas Carey. Mengenai pribadi R.M Said, kata Carey, dia merupakan pemimpin yang di eranya begitu mengutamakan pendidikan perempuan. Ketika itulah, Jawa mengenal adanya Prajurit Estri di mana perempuan bisa maju sebagai pengawal raja yang terdidik. "Ini mencerminkan realitas dari Keraton Mangkunegaran. Harus diwariskan. Kalau negara mau maju harus memajukan pendidikan perempuan," tegasnya. Adapun guru besar sejarah filologi Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra menyoroti, masa Mangkunegara I merupakan era ketika pembentukan tradisi Islam Jawa dan Nusantara secara luas. "Dia adalah tipikal orang muslim Jawa. Priyayi pencinta gamelan wayang tapi di saat yang sama dia juga muslim yang saleh," ujarnya.  R.M. Said, kata Azyumardi, sebagaimana bangsawan Keraton Jawa yang menghormati Nyi Roro Kidul. Namun, dia juga tekun menjalankan rukun Islam.  "Suasana keislaman meningkat pada masa Mangkunegara I di keraton. Itu disebut dalam buku (Ricklefs, red. )," lanjutnya. Yang tak banyak diketahui, pendiri Praja Mangkunegaran itu juga sempat membangun pesantren di lingkungan Mangkunegaran. Dalam bukunya, Ricklef menyebutnya sekolah. Namun, menurut Azyumardi pada masa itu apa yang disebut dengan sekolah secara institusi belum ada.  "Jadi, itu mengacu pada pesantren. Keterangan berikutnya dikasih tahu bahwa itu untuk menampung orang-orang belajar ilmu pengenalan Islam, jadi tidak seperti pesantren sekarang ini," kata Azyumardi. Dengan begitu, Mangkunegaran menjadi salah satu tanda munculnya Jawa sebagai pusat intelektual Islam baru. Sebelumnya, pada abad ke-17, pusat intelektual Islam ada di Sumatra, seperti Aceh dan Palembang.  "Dia punya rasa yang kuat dengan identitas Islam, bagian yang tak bisa terpisah dengan identias Jawanya. Menjadi Jawa dan menjadi muslim sekaligus," ungkap Azyumardi.

  • Nasib Pasien Negeri Jajahan

    SEJAK rumahsakit jiwa (RSJ) pertama dibangun di Buitenzorg (Bogor) tahun 1882, pasien gangguan jiwa terus berdatangan. Bahkan ketika Pulau Jawa sudah memiliki dua RSJ baru, dibangun pada awal abad ke-20 di Malang dan Magelang, tetap kewalahan menangani jumlah pasien yang terus membludak. Pasien itu ada yang diantar keluarga, ada juga yang diantar prabot desa. Salah satu pasien, orang Tionghoa berusia 30 tahun, misalnya, diantar keluarganya ke RSJ Magelang akibat sering memukuli istrinya. Pasien yang diantar oleh keluarganya ini adalah mereka yang membayar perawatan secara penuh. Biasanya mereka kelas atas pribumi dan Tionghoa, atau keluarga Eropa. Sementara, pasien golongan kedua adalah mereka yang dirawat secara cuma-cuma lantaran gangguan jiwa yang dianggap mengganggu masyarakat. Mereka merupakan pribumi miskin. Sebelum dimasukkan ke RSJ, penderita jenis ini terlebih dulu ditangkap, dipenjara, dan diadili. Jumlah mereka amat banyak, mendominasi jumlah pasien RSJ. Di RSJ Sumber Porong, Malang, misalnya, jumlah mereka mencapai 2000 dari 2600 pasien yang mesti dirawat RSJ sampai tahun 1930. Menurut Hans Pols dalam “The Psychiatrist as Administrator: The Career of W. F. Theunissen in the Dutch East Indies”, jumlah pasien yang membayar secara penuh pengobatannya hanya sekira dua ratusan orang. Dengan perbandingan yang senjang antara pasien yang dirawat gratis dan mereka yang membayar, pengelola rumah sakit melakukan siasat. RSJ Sumber Porong yang dipimpin WF Theunissen lalu membangun banyak tempat tidur  dan menghemat biaya pembangunan serta lahan dengan mengurangi jumlah paviliun. Meski RSJ di era kolonial menampung pasien dari segala ras atau etnis, pemisahan kelas antara Eropa, pribumi kaya, dan pribumi miskin tetap terjadi. “Tidak ada bangunan dari batu bata untuk inlander . Bangsal mereka disesuaikan dengan gaya hidup dan etnisitasnya, juga kebutuhannya,“ kata JW Hoffman, psikiatris yang menggagas perawatan kesehatan mental untuk pribumi dan perawatan kesehatan mental pribumi berbiaya murah, dikutip Sebastiaan Broere dalam In and Out of Magelang Asylum . Bangsal berbatu bata selain mahal dianggap tak cocok untuk pasien pribumi. Alhasil, mereka ditempatkan di rumah bambu yang bahkan tak berjendela. “Mereka akan makin stres dan kena beri-beri lalu meninggal. Biarkan orang Jawa melihat gunung birunya, menetap di daerah pedesaan, di mana alam menenangkan jiwanya,” Hoffman melanjutkan. Para pasien pribumi tinggal di pondok bambu yang mereka bangun sendiri atas pengawasan pengelola rumahsakit. Perawatan yang mereka terima juga alakadarnya. Mereka menjalani perawatan dengan banyak kegiatan di RSJ yang terintegrasi dengan perkebunan. Mereka terus dibuat sibuk beraktivitas sehingga hanya menyisakan sedikit waktu dan tenaga untuk mengamuk. “Kehidupan sehari-hari di dalam suaka mencerminkan realitas kehidupan sosial di luar: pasien laki-laki sibuk membuat dan memperbaiki perabotan, berkebun, dan berurusan dengan ternak, sementara pasien perempuan membuat, memperbaiki, dan mencuci pakaian, juga bekerja di dapur,” tulis Pols. Bahkan ketika para pasien pribumi miskin itu telah sembuh dan tak punya tempat untuk hidup, mereka tetap bisa bekerja di perkebunan rumahsakit. Kerja-kerja dari mereka jelas menguntungkan pihak RSJ sehingga mereka tak benar-benar menerima perawatan secara gratis. Bila mereka tidak melakukan kerja-kerja fisik di RSJ, mereka akan dicap malas karena seolah trah- nya pribumi adalah bekerja fisik. Sementara, pasien Eropa juga diberi tugas namun ringan dan ketika mereka tidak melakukan pekerjaan itu, mereka dianggap menjaga kehormatan sebagai ras unggul yang tak pantas melakukan kerja fisik. Mereka hidup di RSJ dengan sangat dilayani. Selain ditempatkan di paviliun privat dan mahal, pasien Eropa dapat pulih dari afeksi mental yang kurang serius sekalipun. Mereka juga dimanjakan dengan fasilitas mewah untuk ukuran RSJ, seperti bisa mandi kapan pun mereka mau, perawatan di tempat tidur, dan waktu luang untuk berjalan-jalan di saat pasien pribumi miskin harus bekerja sampai kelelahan. Pemisahan ini, tulis Nathan Porath dalam “The Naturalization of Psychiatry In Indonesia and Its Interaction with Indigenous Therapeutics”, menjadi satu bukti adanya perbedaan rasial dalam memperlakukan pasien RSJ.

  • Kesaksian Peristiwa Tanjung Priok

    SEBUT saja namanya Muhammad. Lelaki tua yang jalannya pincang itu hingga kini tak paham mengapa dirinya sempat dipenjara. Bermula dari kejadian pada 12 September 34 tahun lalu di Tajungpriok. Menjelang magrib seperti biasa dia pulang dari tempat kerjanya: sebuah bengkel kecil di bilangan Jalan Yos Soedarso, Jakarta Utara. “Saya sedang menunggu bus yang lewat, ketika terjadi rame-rame lalu kaki kanannya saya tiba-tiba terasa nyeri,” kenang kakek berusia 68 tahun itu. Kaki Muhammad ternyata terhantam sebutir peluru. Saat kejadian dia mengaku tak berdaya untuk ikut lari seperti yang lainnya. Memang sempat ada sekelompok orang yang membawanya ke rumah sakit terdekat, namun tak lama kemudian dia justru dijemput oleh lima petugas berpakaian preman lantas dibawa ke suatu tempat yang sangat asing baginya. “Belakangan baru saya tahu itu adalah Rumah Tahanan Militer Cimanggis di Depok sana,” ujarnya. Tiga bulan lamanya Muhammad berstatus sebagai tahanan di RTM Cimanggis. Dia kemudian diantarkan ke rumahnya dengan ancaman keras: tidak boleh bicara dengan siapapun terkait apa-apa yang sudah dialaminya. Namun benarkah dia terlibat dalam insiden berdarah di Tanjung Priok malam itu? “Saya ini buta politik. Boro-boro ngurusin politik, makan sehari-hari saja sudah susah,” katanya dalam nada pelan. Aktivis Pengajian Berbeda dengan Muhammad, Dudung bin Supian (55) hadir dalam pengajian malam itu dalam kapasitas yang memang bisa disebut aktivis. Sebagai seorang muslim yang tidak menyetujui pemberlakuan Pancasila sebagai asas tunggal, Dudung termasuk  rajin mendengarkan para ustadz radikal itu berdakwah di wilayah Jakarta Utara. Pada saat terjadinya insiden berdarah di Tanjung Priok, Dudung adalah salah satu dari ribuan massa yang bergerak ke markas Kodim Jakarta Utara.Masih segar dalam ingatannya, dia bersama kawan-kawannya tengah meneriakan takbir pada saat berondongan peluru menyiram barisan mereka. Akibatnya, beberapa tubuh langsung rubuh. Dia sendiri terluka di bagian lengan kananya dan cepat diangkut ke rumah sakit terdekat. “Setelah dua bulan di rumah sakit, saya dijemput aparat untuk dipenjarakan,” kenang lelaki yang saat itu berprofesi sebagai penjual air bersih. Aktivis pengajian lainnya yakni Amir bin Bunari (53) harus iklash kehilangan tiga jari tangannya akibat dihantam peluru tajam. Malam itu, dia bergabung dalam barisan massa yang bergerak menuju pos komando tentara. Tetapi di tengah perjalanan, Amir mendengar berondongan senjata menyalak tak hentinya sehingga membuat orang-orang di sekitarnya jatuh terjengkang. “Saya sendiri mencoba lari, tetapi keburu tertembak,” ungkapnya seperti dikutip Tapol London dalam Muslim on Trial . Seperti yang lainnya, Amir lantas dibawa ke rumah sakit dan mendapat perawatan sekadarnya. Dia lantas dipindahkan ke sebuah rumah sakit tentara dan menjadi tahanan hingga tiga bulan ke depan. Mencari Adik Damsirwan bin Nurdin (55) masih ingat malam itu dia disuruh sang bapak untuk mendari dua adik laki-lakinya. Ketika mendengar di Jalan Sindang ada terjadi keributan, dia langsung berlari ke arah tempat tersebut dan berharap bisa menemukan adik-adiknya. Beberapa orang sudah memperingatinya, namun Damsirwan jalan terus, hingga dia bertemu dengan sekumpulan massa yang tengah berlari ke arahnya. “Seorang yang lari melewati saya, tiba-tiba terkena peluru dan langsung roboh, saya sendiri secara spontan langsung menjatuhkan diri,” ujarnya. Karena kondisi yang tak terkendali dan banyaknya orang yang tertembak, Damsirwan memutuskan untuk tidak bangkit lagi dan berpura-pura mati. Namun aksinya ini diketahui oleh seorang polisi yang langsung mendekatinya lantas menendang kepalanya. Dia kemudian diseret dan dilemparkan secara kasar ke dalam satu truk tentara dan langsung diangkut ke rumah sakit tentara. Di sana dia bertemu dengan dua adiknya yang juga mengalami luka-luka karena tembakan. Ada ratusan orang yang menjadi korban dalam Peristiwa Tanjung Priok 1984, namun secara resmi hanya mayat Amir Biki (pemimpin demonstrasi) yang dikembalikan oleh pihak aparat kepada keluarganya untuk dimakamkan. Itupun setelah pihak aparat dibujuk oleh Mayor Jenderal TNI Edi Nalapraya, salah seorang link militer Amir Biki sejak penumpasan orang-orang kiri pada 1966-1967. “Tidak kurang 400 orang muslim menjadi syahid, ratusan lagi yang luka-luka, lalu diikuti penangkapan para ulama dan mubaligh,” ungkap Abdul Qadir Djaelani dalam Peran Ulama dan Santri dalam Perjuangan Islam di Indonesia. Sepanjang kesaksian para korban yang dinukil Tapol London, selain Biki ada tiga mayat lagi yang dikembalikan kepada keluarganya masing-masing. Namun mereka dilarang keras untuk menguburkan para korban tersebut secara terbuka. Adapun ratusan korban lain, hingga kini keberadaan mereka masih misterius. Rumor-rumor menyebar bahwa mereka dibuang ke laut lepas di wilayah Kepualauan Seribu. Versi Pemerintah Bagaimana pemerintah Orde Baru sendiri memandang kejadian berdarah di Tanjung Priok? Dalam suatu tulisan berjudul ‘Tragedi Berdarah di Priok”, jurnalis Sinar Harapan Panda Nababan menyebut insiden itu sebagai dipicu oleh adanya gap sosial yang disiram oleh isu SARA sehingga menimbulkan gejolak. Sinar Harapan sendiri menilai bahwa peristiwa berdarah itu diawali oleh penyerbuan massa bersenjata clurit, parang dan pentungan-pentungan besi ke markas Kodim Jakarta Utara, sehingga menimbulkan reaksi yang keras dari aparat. Dalam pernyataan pers setelah 10 jam terjadinya insiden berdarah itu, Pangkopkamtib Jenderal L.B. Moerdani menyebut posisi sulit 15 prajuritnya yang harus menghadapi massa beringas berjumlah sekira 1.500 orang. Kendati demikian, Moerdani megatakan sesungguhnya pihak aparat telah melakukan tahapan persuasif namun ditolak mentah-mentah oleh massa. Para prajurit lantas melepaskan tembakan ke udara, namun tak digubris jua akhirnya terpaksa dilepaskan tembakan langsung. “Karena massa terus menyerang dengan mengayunkan senjata clurit dan berusaha merebut senjata petugas keamanan,” ujar Moerdani dalam biografinya, Profil Prajurit Negarawan  karya Julius Pour. Pengutukan terhadap para pengunjukrasa juga kembali dilontarkan oleh Moerdani saat melakukan konfrensi pers di Aula Deparetemn Hankam/Markas Besar ABRI pada 13 September 1984. Dalam kesempatan itu, Moerdani yang didampingi oleh Menteri Penerangan Harmoko dan Panglima Kodam V Jakarta Raya, Mayjen Try Soetrisno mengecam peristiwa itu sebagai bentuk nyata perlawanan terhadap hukum yang berlaku. “Di samping itu, mereka menyalahgunakan ajaran agama dan tempat ibadah untuk menghasut umat beragama dan anak-anak sekolah,” ujar Benny Moerdani seperti dinukil oleh Sinar Harapan edisi 14 September 1984. Peristiwa Tanjung Priok menyebabkan citra Benny Moerdani menjadi buruk di sebagian kalangan Islam. Kepada sejarawan Salim Said, seorang aktivis Islam terkemuka bahkan secara terang-terangan menyebut Moerdani sebagai “pembantai orang-orang Islam di Tanjung Priok”. Situasi tersebut menyebabkan Benny Mioerdani harus melakukan klarifikasi kepada Menteri Agama Munawir Sjadzali. Bahkan, tidak cukup sowan kepada Menteri Agama, Moerdani pun melakukan safari ke pesantren-pesantren terkemuka di daerah.*

bottom of page