top of page

Hasil pencarian

9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Ratu Layar Perak

    FILM Putri Solo (1953) meraup sukses. Pundi-pundi Titin Sumarni bertambah. Selain main film, dia dan suaminya, Mustari, mencoba peruntungan lain dengan membuat perusahaan film bernama Titin Sumarni Film Production. Dia menjadi aktris Indonesia pertama yang memiliki perusahaan film. Pada 1950-an, mendirikan perusahaan film butuh modal besar. Ketika mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini), Usmar Ismail dan tujuh rekannya hanya bisa mengumpulkan Rp30.000. Padahal, biaya produksi per film mencapai Rp350.000. Usmar pun harus berutang kepada Bank Industri Negara sebesar Rp3.050.000 untuk mendirikan Perfini. Produksi pertama perusahaan film Titin adalah Gadis Medan dengan produser Mustari dan sutradara Djadug Djajakusuma. “Ketika pengambilan gambar di Medan, Titin mengeluarkan pernyataan bahwa dirinya menyetujui adegan ciuman dalam film jika diwajibkan oleh sutradara atau produser,” tulis Tanete Pong Masak dalam Sinema Pada Masa Sukarno. Tak lama kemudian, giliran Mustari angkat bicara soal adegan ciuman. “Saya tidak keberatan istri saya Titin Sumarni dicium dalam setiap adegan film jika itu yang diwajibkan regisseur (sutradara) atau pihak pengusaha,” kata Mustari. “Tetapi saya berpendapat selaku bangsa timur yang memiliki perasaan halus, wajib cium itu tidak diperlukan malahan sebaliknya mendatangkan kerusakan.” Karier Titin mencapai puncaknya pada 1954. Tahun itu, dia membintangi sembilan judul film salah satunya Lewat Jam Malam . Majalah film, drama, dan cerita pendek, Kentjana, menobatkannya sebagai Bintang Kentjana. Kentjana dan majalah Dunia Film juga menobatkannya sebagai Ratu Layar Perak. Aktris manis bertahi lalat di atas bibir kiri itu semakin masyhur. Kesuksesan di layar perak tak diikuti dalam kehidupan nyata. Setelah tujuh tahun menikah dengan Mustari, Titin memutuskan bercerai pada 1955. Di tahun perpisahan itu, dia hanya melakoni film Senyum Derita dan Sampah . Tahun berikutnya, dia juga hanya membintangi film Saidjah Putri Pantai dan Janjiku . Setelah tahun 1956, Titin tak terdengar lagi di jagad film nasional. Film terakhirnya, Janjiku diproduseri Djamaludin Malik dan G.H. Sawlani. Janjiku muncul saat film India merangsek sehingga sineas Indonesia harus bersiasat. “Bagaimana menghadapi ancaman film India? Bagi Djamaludin Malik solusinya gampang dan praktis, sesuai dengan ungkapan Inggris if you cannot beat the enemy, you join him . Maka seperti dalam kasus dengan Filipina, Djamaludin Malik joint production dengan orang India. Pada 1956 Persari memproduksi film Janjiku dengan sutradara/penulis skenario BK Raj, kamera MKS Meyer,” tulis Ramadhan KH dan Nina Pane Budiarto dalam biografi Djamaludin Malik, Pengusaha, Politikus, Pelopor Industri Film. Saat membintangi Janjiku , Titin baru setahun menjanda. Dia berusaha mencukupi kebutuhannya sendiri dengan menanamkan uangnya di bisnis hotel dan batik. “Waktu saya bercerai dari Mustari tidak membawa apa-apa. Demikian pula ketika menikah dengan suami kedua Subjakto, saya tidak membawa apa-apa. Jadi praktis uang yang saya miliki diperoleh dari film Janjiku ,” kata Titin dalam harian Pikiran Rakjat , 13 Agustus 1959. Pada 1957, tersiar kabar Titin memiliki hubungan khusus dengan Laurens Saerang, raja kopra dari Minahasa, namun tak berlangsung lama. Titin menikah kedua kali dengan Subjakto, pengusaha dari Jombang, Jawa Timur. Setelah bercerai, dia menikah lagi dengan Mohammad Jahja Ali dari Bandung. Hingga meninggal pada 13 Mei 1966, dia menikah delapan kali.

  • Titin yang Genit

    SUATU ketika di tahun 1951, dr. Huyung, sineas Korea yang berkiprah di Indonesia, menerima dua orang wartawan majalah Life dan Time . Mereka bertemu di lobi hotel Des Indes, Jakarta. Wartawan itu meminta masukan dari Huyung mengenai aktris Indonesia yang layak dimuat fotonya di kedua majalah tersebut. Huyung, yang saat itu menyewa kamar di Des Indes, segera menuju kamarnya untuk mengambil album “Gadis Olahraga” dan menyerahkannya kepada wartawan itu. Pada halaman pertama, mereka mendapati wajah Grace Andreas, pemeran film Antara Bumi dan Langit . Hingga beberapa halaman, mereka hanya mendapati aktris-aktris Indonesia berwajah Indo. Keduanya menggeleng. “Kami cari bintang film Indonesia, berpakaian Indonesia, bersenyum simpul Indonesia, dan mempunyai tipe Indonesia,” ujar salah satu wartawan. Huyung tersenyum, seperti mengetahui wajah aktris yang dikehendaki kedua wartawan itu. Dia pun membolak-balik halaman album sampai kepada gambar Titin Sumarni, aktris film Gadis Olahraga besutan Huyung tahun 1951. Dalam film tersebut, Titin memerankan Sumiati, tunangan Anwar yang diperankan Supeno Subono Partosandjojo atau lebih dikenal sebagai S. Bono. Titin Sumarni lahir pada 28 Desember 1932 dari keluarga priyayi. Ayahnya seorang Jawa pensiunan pegawai negeri di Surabaya, sementara ibunya dari Sunda. Masa kecil Titin dihabiskan di Tasikmalaya, Jawa Barat. Semasa kecil, Titin kelewat lincah sampai harus terus digandeng ibunya jika sedang bepergian. “Kalau Ibu memegang tangan, sakitnya seperti tang menjepit,” ujar Titin dalam Rahasia Hidup Titin Sumarni karya Rd. Lingga Wisnu MS. Jika tak dipegang tangannya, dia akan segera lari dari ibunya. Dia juga lebih suka naik sepeda lelaki dari pada sepeda model perempuan. Saat itu, tentu saja belum jamak seorang gadis naik sepeda lelaki. Pada usia 16 tahun, Titin dinikahkan dengan Mustari, duda berusia 32 tahun yang bekerja sebagai pegawai negeri di kantor urusan ekonomi wilayah Tasikmalaya. Bersama Mustari, Titin mulai menapaki jalan keartisan. Melalui perantara Harun Al Rasyid, pegawai di studio Golden Arrow, dia dikenalkan kepada Rd. Arifin yang akan menggarap sebuah film. Dalam Apa Siapa Orang Film Indonesia, 1926-1978 , Titin disebut mendapat peran dalam film Seruni Laju (1951). Dalam debut pertama ini, dia memerankan Seruni, dan beradu peran dengan Turino Djunaedi yang membawakan tokoh Herlan. Seruni digambarkan sebagai wanita yang menikah dengan Herlan, namun belum memiliki kematangan jiwa untuk berumah tangga. Setelah Seruni Laju , Titin mulai dilirik beberapa produser. Selama tahun 1951, dia membintangi film Gadis Olahraga ; KenanganMasa , Main-Main Jadi Sungguhan , Dunia Gila , dan Sepanjang Malioboro . Tahun berikutnya, Titin kembali membintangi lima film: Si Mientje , Satria Desa , Terkabul , Pengorbanan , Pahit-Pahit Manis , dan Apa Salahku . Dalam film Terkabul , Pengorbanan dan Satria Desa , dia beradu peran dengan aktor S. Bono. Para sutradara cenderung memasangkan Titin dan S. Bono sebagai pasangan romantis. Kematangan teknik seni peran Titin menggoda Djamaludin Malik, bos Perseroan Artis Indonesia (Persari). Dia telah mengendus bakat Titin sejak bermain di filmnya, Sepanjang Malioboro . Pada 1953, Titin bermain dalam tiga film produksinya, yaitu Asam Digunung Garam Dilaut , Gara-gara Hadiah dan Lagu Kenangan . Tak hanya main film drama, Titin pun menjajal film komedi musikal, seperti Putri Solo besutan sutradara Fred Young. “Rumah produksi Bintang Surabaya NV berusaha untuk mengedepankan mitos tentang ‘putri Solo’ dengan menjadikannya judul film,” tulis Tanete Pong Masak dalam Sinema Pada Masa Sukarno. Di film tersebut, Titin memerankan tokoh Sulastri yang berhasil membuat Hirlan (Chatir Harro) jatuh hati padanya. Padahal Hirlan sudah mempunyai tunangan, Haryati (Paulina Robot). Suasana komedi semakin kental dengan hadirnya aktor-aktor komedi pendukung seperti S. Poniman, Sri Mulat dan Kuncung. “Saya sebagai regisseur (sutradara, red. ) hanya melihat suatu kemungkinan yang baik. Titin bisa menjadi lebih baik. Pokoknya hanya kepada regisseur , apakah bisa menciptakan dia jadi seorang ceriwis atau genit dalam filmnya. Itulah sifat dan tokoh yang harus diperankan oleh Titin,” ujar Huyung. Dalam film-film berikutnya, Titin beberapa kali mendapatkan karakter perempuan genit. Bahkan, dia tak menampik jika harus beradegan ciuman dengan lawan mainnya.

  • Janda Terkaya dan Makhluk Tak Kasat Mata

    PUNYA harta melimpah bukan jaminan hidup pasti tenang. Sarah Winchester contohnya. Perempuan yang kisahnya belum lama ini diabadikan dalam film Winchester itu justru dirongrong sosok-sosok tak kasat mata Siapa sebenarnya Sarah? Bagaimana janda terkaya di masanya itu hidupnya melulu diganggu makhluk gaib? Apa pula motifnya membangun rumah besar berdesain ganjil yang di zaman now dijadikan salah satu destinasi wisata di San Jose, California, Amerika Serikat? Merunut data Connecticut Historical Society terkait dokumen Bennett-Winchester Family , perempuan cantik berselubung misteri itu lahir di New Haven, Connecticut dengan nama Sarah Lockwood Pardee. Dia anak kelima dari pengusaha kelas menengah Leonard Pardee dan Sarah W. Burns. Lantaran tak ditemukan catatan tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya, kelahiran Sarah diperkirakan antara tahun 1835-1845. Sarah tumbuh menjadi gadis jelita. Di lingkungannya dia dijuluki “Si Cantik dari New Haven”. Di salah satu foto ambrotype dari arsip Museums of San Jose, parasnya mirip “Ratu Horor” Suzzanna. Sarah juga pribadi cerdas. Semasa muda, penggemar bacaan karya Homer dan William Shakespeare itu sudah menguasai empat bahasa asing: Latin, Prancis, Spanyol, dan Italia. Sarah lantas berjodoh dengan William Wirt Winchester, putra semata wayang Oliver Winchester, pemilik pabrik senjata Winchester Repeating Arms Company. Mereka menikah pada 30 September 1862 dan melahirkan seorang putri, Annie Pardee Winchester, pada 15 Juni 1866. Nahasnya, bayi Annie hanya bertahan 40 hari lantaran mengidap marasmus , penyakit malnutrisi tubuh yang tak bisa memetabolisme protein. Tak lama setelah putrinya tiada, Sarah kembali didera duka berturut-turut. Setelah suaminya meninggal karena penyakit TBC ( tuberculosis ) pada Maret 1881, ayahnya, Oliver Winchester, menyusul pada 1880. Sarah jadi janda terkaya di dunia di masa itu. Dia mendapat warisan uang US$20 juta (setara US$507,172.414 pada 2017). “Sarah juga diwarisi 50 persen saham pabrik senjata Winchester dengan pendapatan US$1.000 per hari (setara US$25.359 pada 2017),” ungkap Mary Beth Sammons dan Robert Edwards dalam American Hauntings. Diusik Kutukan, Diganggu Arwah Penasaran Sejak menikah dengan anak tunggal keluarga Winchester plus diterpa musibah bertubi-tubi, Sarah merasa kehidupan keluarganya dinaungi kutukan. Mary Jo Ignoffo dalam The Captive of the Labyrinth: Sarah L. Winchester, Heiress to the Rifle Fortune menulis, Sarah sampai mencari bantuan seorang paranormal. Adam Coons, paranormal asal Boston, menyatakan bahwa keluarga Winchester dikutuk roh-roh dari sejumlah korban yang tewas oleh letusan senapan-senapan Winchester. Coons menyarankan Sarah untuk pindah dan membangun rumah di bagian barat Amerika, untuk tempat tinggal Sarah dan para arwah tersebut. Dari berbagai rumah yang diseleksinya, Sarah memilih sebuah rumah besar berlantai empat dan lahan berbentuk “L” di San Jose, California milik John Hamm. “Sarah membelinya (seharga) US$12.570 untuk properti rumah dan lahan pertanian seluas 45 hektare. Setelah itu Sarah membaptis rumah barunya dengan nama Llanada Villa,” tulis Ignoffo. Sarah menghuni rumah itu bersama keponakannya Marian Winchester pada 1886. Lantaran merasa rumahnya kurang megah, Sarah terus-menerus merenovasi rumahnya selama 38 tahun dengan desainnya sendiri. Dia mempekerjakan sejumlah buruh bangunan dan mandor yang bekerja dengan sistem shift nonstop. Jadi, pembangunan terus berjalan selama 24 jam, tujuh hari seminggu, 365 hari setahun hingga 38 tahun berikutnya. Hal itu dilakukan karena paranormal berpesan jika berhenti membangun rumah, dia akan mati. Rumah itu didesain dengan beragam interior dan perabotan absurd. Sarah yang sangat terobsesi angka 13, mendesain beberapa bagian rumah dengan angka itu. Seperti, jumlah kamar mandi ada 13, jendela-jendela memiliki 13 panel, lampu gantung dengan 13 lilin, 13 anak tangga, dan sebagainya. Namun, gempa San Francisco berkekuatan 7,9 Skala Richter pada 18 April 1906 menghentikan renovasi rumah itu. Reruntuhan akibat gempa bahkan memerangkap Sarah di salah satu kamar tidurnya selama beberapa jam. Renovasi yang kembali berjalan pasca gempa membuat rumah itu setinggi tujuh lantai dan memiliki 600-an ruangan. Sarah membangun interior yang kian aneh, seperti tangga-tangga dan pintu-pintu yang tak menuju ruang manapun, kaca atap yang dipasang di lantai, atau ruangan di dalam ruangan. Sarah sengaja membuat rumah itu agar tampak seperti labirin. Hal itu menyebabkan para pelayannya membutuhkan peta denah rumah untuk penunjuk tempat yang harus dibersihkan. “Semua itu dimaksudkan untuk membuat bingung hantu-hantu yang menggentayangi (Sarah) Winchester. Dia membuat labirin pribadi yang hanya bisa dipahaminya sendiri, di mana dia merasa aman dari roh-roh jahat,” terang Colin Dickey dalam Ghostland: An American History in Haunted Places. Sebelum meninggal pada 5 September 1922, Sarah menulis surat wasiat sebanyak 13 lembar yang tiap lembarnya dibubuhi tandatangannya. Wasiat itu berisi pembagian harta, perabotan, dan peninggalan properti lainnya. Sarah tutup usia dalam tidurnya akibat gagal jantung. Jasadnya disandingkan dengan kuburan suami dan putrinya di Evergreen Cemetery, New Haven, Connecticut. Rumah misteriusnya kemudian dilelang –sesuai wasiat Sarah– dan dibeli penawar tertinggi, John dan Mayme Brown senilai US$135 ribu. Lima bulan pasca Sarah meninggal, rumah itu dijadikan tempat wisata mistis hingga sekarang. Rumah itu terdaftar di US National Register of Historic Places dan California Historical Landmark nomor 868.

  • Mempertanyakan Pengakuan Nyak Sandang

    NYAK Sandang, lelaki berusia 91 tahun, menjadi perhatian dan pemberitaan luas karena mengaku sebagai penyumbang pembelian pesawat pertama Republik Indonesia, Seulawah RI-001. Dia menunjukkan buktinya berupa obligasi tahun 1950. Presiden Joko Widodo mengundangnya ke Istana Negara pada Rabu malam, 21 Maret 2018. Jokowi menawarinya umrah sebelum naik haji. Direktur Utama Garuda Pahala N. Mansyuri juga menjenguknya di RSPAD Gatot Subroto karena Seulawah RI-001 merupakan cikal bakal Garuda. Namun, sejarawan Asvi Warman Adam, mempertanyakan pengakuan Nyak Sandang sebagai penyumbang pembelian Seulawah RI-001. Dengan membeli obligasi, Nyak Sandang memang telah menyumbang untuk pemerintah, namun bukan untuk membeli pesawat. “Pesawat pertama itu dibeli tahun 1948 dengan sumbangan rakyat Aceh,” kata Asvi. Sedangkan obligasi yang dimiliki Nyak Sandang dikeluarkan tahun 1950. Pada saat pengumpulan dana, Mayor Udara Wiweko Supono, membawa 25 miniatur pesawat dari kayu yang diserahkan sebagai tanda bukti dan tanda terima kasih kepada penyumbang. “Apakah Nyak Sandang punya miniatur pesawat dari kayu itu? Dia hanya punya tanda bukti membeli obligasi tahun 1950. Ini tidak ada hubungannya dengan pesawat pertama RI, Seulawah,” kata Asvi. Pembelian pesawat itu permintaan dari Presiden Sukarno ketika berkunjung ke Aceh pada 16 Juni 1948. Sukarno dan rombongan tiba di Aceh dengan pesawat RI-002 milik Bobby Earl Freeberg, mantan pilot Angkatan Laut Amerika Serikat, yang disewa pemerintah Indonesia. Sukarno menghadiri jamuan makan malam di Hotel Aceh yang diadakan pemerintah daerah dan pimpinan Gasida (Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh). Undangan yang hadir antara lain pejabat sipil dan militer, ulama, tokoh masyarakat, pemimpin-pemimpin organisasi politik, perjuangan dan pemuda. Dalam sambutannya, Sukarno menyarankan agar masyarakat Aceh menyumbangkan pesawat kepada pemerintah. “Alangkah baiknya apabila kaum saudagar dan rakyat Aceh berusaha membuat ‘jembatan udara’ antara satu pulau dengan pulau lain di Indonesia. Untuk itu, saya anjurkan rakyat mengumpulkan dana untuk membeli kapal udara, umpamanya pesawat Dakota yang harganya hanya 25 kilogram emas,” kata Sukarno. Hadirin terutama para saudagar menyambut hangat anjuran Sukarno tersebut. Bahkan, Residen Aceh Teuku M. Daudsyah mengumumkan bahwa Aceh sanggup menyumbang sekurang-kurangnya dua buah pesawat Dakota. Pada 20 Juni 1948, Teuku Panglima Polem Muhammad Ali, ketua panitia pembeli pesawat udara sumbangan rakyat Aceh, disaksikan Residen Aceh Teuku M. Daudsyah menyerahkan cek sebesar ratusan ribu Strait Dollar kepada Sukarno sebelum kembali ke Yogyakarta. Uang tersebut cukup untuk membeli sebuah pesawat Dakota. Sementara dana untuk satu pesawat lagi akan menyusul paling lambat dua minggu. Pada awal Juli 1948, panitia pembeli pesawat udara sumbangan rakyat Aceh telah dapat mengumpulkan dana untuk membeli satu lagi pesawat. Pada 2 Agustus 1948, Gasida menyerahkan 120.000 Strait Dollar kepada residen Aceh untuk disampaikan kepada pemerintah Indonesia di Yogyakarta. Menurut A. Hasjmy, pelaku sejarah yang saat bertemu Sukarno menjabat pemimpin umum Divisi Rencong dan kepala jawatan sosial Aceh, pesawat pertama sumbangan rakyat Aceh dengan registrasi RI-001 dan bernama Seulawah tiba di pangkalan udara Yogyakarta pada awal Oktober 1948. “Pada tanggal 20 November 1948, pesawat Seulawah RI-001, sumbangan rakyat Aceh, mendarat di pangkalan udara Lhoknga, Banda Aceh, yang diterbangkan oleh Komodor Udara Suryadarma. Pesawat membawa Wakil Presiden Mohammad Hatta,” kata Hasjmy dalam Semangat Merdeka . “Setelah beberapa hari di Banda Aceh, Suryadarma dan Seulawah RI-001 terbang meninggalkan Tanah Aceh.”

  • Konflik Mereda Tapi Bioskop Terlupa

    DIREKTUR Aceh Documentary Faisal Ilyas menyayangkan penetapan darurat militer atas Aceh pada awal 2003. Tak hanya merusak faktor keamanan semata, status itu mengubah banyak hal, antara lain hilangnya bioskop. “Di Aceh sampai tahun 2002 atau 2003 masih ada bioskop. Sejak Aceh ditetapkan sebagai daerah darurat militer, bioskop sudah tidak beroperasi lagi mungkin karena adanya konflik. Pada masa sebelumnya, bioskop sudah beroperasi di beberapa daerah di Aceh, seperti Banda Aceh, Lhokseumawe, Bireuen, dan Langsa. Semuanya bioskop lokal, belum masuk bioskop jaringan,” kata Faisal Ilyas dihubungi Historia via telepon. Kehadiran bioskop di Aceh sudah ada sejak 1930-an. Di Kota Banda Aceh, ada Deli Bioskop di Jalan Muhammad Jam dan Rex Bioskop di Peunayong. Masing-masing bioskop dimiliki pengusaha Tionghoa dan Benggali. Mereka menjadi perintis usaha bioskop ketika belum ada anggapan bahwa usaha ini investasi yang menguntungkan. Selain Deli dan Rex, antara 1900-1936 ada beberapa bioskop yang cukup terkenal di Aceh, misalnya Bioscoop di Bireuen dan Langsa, Tiong Wha Bioscoop di Lhokseumawe, Sabang Bioscoop di Sabang, ada juga Gemeente Bioscoop di Sigli. Saat itu bioskop dikenal dengan kumedi gambar. Bioskop sudah hadir di Aceh bahkan sebelum listrik masuk. Untuk memutar film, tulis Rizal Saivana dkk. dalam artikel “Perkembangan Bioskop di Kota Banda Aceh, 1930-2004” yang dimuat dalam Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah , Vol. 1, No. 1, Oktober 2016, orang-orang menggunakan pijar yang ditembak ke layar. Salah seorang bertugas memutar tuas agar film tetap berjalan. Film yang beredar pada 1930-an masih film bisu dengan warna hitam-putih. Film-film Eropa dan film Arab menjadi film yang banyak diputar di era ini. Di kursi paling depan duduk para pemain musik yang tugasnya mengisi kebisuan film. Pada 1947, Deli Bioskop berubah menjadi Garuda Bioskop. Di depan Garuda Bioskop inilah Presiden Sukarno pernah menyampaikan pidato politiknya pada 16 Juni 1948. Dengan begitu, Garuda Bioskop menjadi gedung bioskop paling bersejarah di Aceh. Selain Garuda Bioskop, ada pula Bioskop Merpati yang dibangun di tahun 1960 di Peunayong. Memasuki 1970-an, dibarengi dengan kemajuan perfilman Indonesia, film-film baru banyak diproduksi. Untuk memfasilitasi pemutaran film baru ini, bioskop baru juga banyak berdiri. Dari 1970-an sampai 1990-an, beberapa bioskop baru itu adalah Gajah Theater di Simpang Lima yang dibangun tahun 1975, Bioskop Elang di Setui (1978), Sinar Indah Bioskop (SIB) di Peunayong (1979), Bioskop Jelita di Beurawe (1979), dan Pas 21 di Pasar Aceh Shopping Centre (1980). Beberapa bioskop, seperti SIB, Jelita Theatre, Garuda Theatre, Bioskop Gajah, Bioskop Merpati, dan PAS 21 masih beroprasi hingga awal tahun 2000-an. Konflik berkelanjutan antara GAM-pemerintah Indonesia, yang disusul penetapan status darurat militer pada 2003-2004, mematikan bioskop. Tak ada bioskop di Aceh hari ini. Sejak 15 tahun lalu, begitu konflik Aceh pecah, mobilitas orang-orang jadi tebatas. Untuk keluar rumah dengan relatif aman, orang-orang hanya bisa melakukannya sejak pukul 06.00 pagi hingga 06.00 sore. Bioskop-bioskop sepi pengunjung. Bukan hanya itu, tsunami yang melanda Aceh akhir 2004 mengubah kondisi politik dan bioskop di Aceh. Konflik GAM-RI mereda sementara bioskop terlupa. Tak ada rekonstruksi gedung bioskop di Aceh. Sejak itu, masyarakat Aceh kehilangan ruang putar. Untuk menonton film, para pegiat film meminjam sebuah aula untuk mereka sulap jadi ruang putar. Pada Desember 2017, misalnya, Aceh Documentary menyelenggarakan Aceh Film Festival. Film-film diputar di Aula Taman Budaya. Usaha untuk menghadirkan kembali bioskop di Aceh jelas ada. Sejak lima tahun terakhir, isu tentang pembangunan bioskop di Aceh disampaikan oleh para pegiat dan penikmat film. Kehadiran bioskop bagi mereka tidak hanya sebagai sarana hiburan tetapi juga ruang apresiasi atas karya-karya film yang mereka buat. Namun, tulis Rizal dkk., sebagian orang menganggap kehadiran bioskop di Banda Aceh bisa memperluas akses maksiat bagi muda-mudi yang belum menikah. “Konotasi bioskop di Aceh agak negatif karena ruangnya gelap. Kalau ruang gelap, bisa dipisah antara laki-laki dan perempuan. Kalau filmnya, film itu kan subjektivitas pembuat film. Kalau kami hanya berusaha memasyarakatkan film. Film yang kami putar adalah film yang dekat dengan masyarakat Aceh,” kata Faisal.

  • Kisah Warung Siluman

    BANDUNG 1946. Di hari ke-24 bulan Maret, secara perlahan namun pasti api mulai melahap seluruh area kota tersebut. Namun pada beberapa titik, sekelompok pejuang masih sibuk membakar rumah-rumah dengan menggunakan dinamit lokal yang sumbunya harus disulut secara langsung. “Bayangkan di tengah hujan gerimis, kami harus melakukannya satu persatu: betapa melelahkannya…”kenang Aleh (93), eks pejuang Bandung. Dalam keadaan gelap dan hujan tiada henti, Aleh dan kawan-kawan merasakan waktu berjalan sangat lama. Tetiba pukul 20.00 terdengar ledakan yang sangat keras dari arah timur: tanda perintah untuk membakar Bandung lebih dipercepat lagi. “Akhirnya kami memutuskan untuk menggunakan granat dan Molotov saja supaya lekas selesai…” ujar Aleh kepada Historia . Ledakan dasyat pun terdengar di seantero Bandung. Keadaan kota marak oleh cahaya api, yang memanjang dari arah barat hingga timur. Gumpalan asap putih yang bersanding dengan kepulan debu-debu berwarna hitam membumbung ke angkasa. Jalan yang semula gelap menjadi terang. Dan nampaklah iringan-iringan pengungsi bergerak menuju selatan Bandung. “Sulit untuk dilukiskan perasaan kami saat itu, melihat tumpah darah kami menjadi lautan api. Rasanya pasti sedih…” ungkap Karman Somawidjaja dalam Hari Juang Siliwangi . Rasa lelah yang mendera, menjadikan perut mereka keroncongan. Namun sama sekali tak ada makanan yang mereka bawa. Sementara untuk meminta kepada para pengungsi mereka pun merasa tak tega. Beruntung rasa lapar itu tak berlangsung lama. Begitu para pejuang dan pengungsi memasuki pinggiran Bandung, mereka menemukan warung-warung yang ternyata menyediakan makanan selama 24 jam. “Warung-warung yang malam buta pun tetap beroperasi itu kami sebut sebagai “warung siluman”,” kenang Mohamad Rivai dalam biografinya, Tanpa Pamrih Kupertahankan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 . Munculnya “warung-warung siluman” itu adalah murni atas inisiatif rakyat di pinggiran kota Bandung. Awalnya mereka membangun dapur umum di setiap desa, tetapi karena dapur umum tersebut tidak mencukupi untuk menampung para pejuang dan pengungsi, maka rakyat pun membuat sejenis warung darurat secara mandiri. Penyediaan bahan mentahnya pun dilakukan secara swadaya: memanfaatkan hasil kebun dan peternakan pribadi. Petugas-petugas warung tersebut terdiri dari para lelaki dan perempuan. Merekalah yang menyelenggarakan kebutuhan logistik para tamunya dari Bandung. “Tak ada yang mau dibayar, semua mereka berikan secara gratis dan ikhlas…” kenang Aleh. Menurut Haji Rusdi, salah satu koordinator warung-warung siluman itu, jumlah pos-pos logitsik tersebut mendekati jumlah ribuan. Di kawasan Cibaduyut saja, kata Haji Rusdi, jumlah warung siluman mencapai angka seratus lebih. “Sepanjang jalan Ciparay-Majalaya, saat itu dipenuhi warung-warung siluman yang diperkuat oleh ratusan pengelolanya…” ujar Haji Rusdi kepada surat kabar Minggu Buana edisi 18 Juli 1983.

  • Teror Arwah di Rumah Bersejarah

    HENRY kecil (Finn Scicluna-O’Prey) terbangun di tengah malam dan melengos keluar kamar begitu saja, seolah ada kekuatan gaib yang menuntunnya. Sang ibu, Marian Marriott (Sarah Snook), sesaat setelahnya kebingugan mencari putranya yang akhirnya didapati sudah terpaku di ujung lorong dekat tangga. Marion melihat mata Henry memutih pertanda kerasukan roh. “Mereka mengincar kita!” seru Henry menunjuk sisi atas tangga yang mentok langit-langit. Sekelebat penampakan yang hadir dalam teknik jumpscare menutup adegan di menit-menit awal film ini. Film besutan sutradara kembar Peter dan Michael Spierig ini mengisahkan drama-horor di sebuah rumah berasitektur era Victoria nan bersejarah, Winchester Mystery House atau Puri Misteri Winchester, di San Jose, California, Amerika Serikat dengan latar waktu tahun 1906. Setelah adrenalin dipacu jump scare di scene pembuka, penonton diajak mendalami kisah nyata di balik misteri rumah dan pemiliknya, Sarah Lockwood Winchester (Helen Mirren). Sarah merupakan janda William Wirt Winchester, pemilik Winchester Repeating Arms Company. Kepemilikan 50 persen saham di perusahaan itu membuat Sarah perempuan terkaya era itu. Sarah hidup dalam duka setelah ditinggal mati suami dan bayinya. Kedukaan ditunjukkannya dengan selalu mengenakan busana bernuansa hitam. Sarah percaya kehidupan keluarganya dikutuk. Selain kian menutup diri, perangainya pun mulai tak masuk akal. Kondisi Sarah membuat cemas anggota dewan direksi Winchester Repeating Arms Company. Arthur Gates (Tyler Coppin), salah satu anggota direksi, langsung meminta bantuan dokter jiwa Eric Price (Jason Clarke). Dia tak ingin perilaku-perilaku ganjil Sarah merugikan perusahaan. Dokter Price awalnya tak percaya paparan Sarah bahwa keluarganya dikutuk hantu-hantu gentayangan. Roh-roh yang mendiami rumah berlantai tujuh itu merupakan roh mereka yang mati akibat senapan buatan Winchester, baik kala Perang Saudara Amerika maupun akibat tindak kriminal. Tapi lama-kelamaan, Price percaya banyak arwah di rumah itu. Sambil menyelipkan sejumlah jump scare , Spierieg bersaudara tak lupa melukiskan alasan Sarah membangun sendiri sejumlah desain interior ganjil yang berkaitan dengan angka 13 dan kamar-kamar yang disegel palang kayu. Kamar-kamar itu dibuat memang untuk didiami para hantu yang senantiasa menggentayanginya. Sarah selalu mendesainnya di tengah malam dan dalam kondisi kerasukan. “Jadi, hantu-hantu itu yang membangun rumah seperti ini?” tanya Price. “Ya, kamar-kamar yang dipalangi untuk mereka yang belum bisa tenang agar terkunci di dalam kamar. Jika arwah mereka sudah bisa tenang, kamarnya akan dibuka dan dibongkar lagi untuk ditempati arwah lainnya,” jawab Sarah. Pada suatu tengah malam, Sarah merasakan kehadiran arwah yang lain dari biasanya. Arwah dengan kekuatan jahat itu ternyata yang merasuki tubuh Henry hingga Henry nyaris membunuh Sarah dengan senapan Winchester-nya. Ternyata, itu arwah Kopral Benjamin Block (Eamon Farren), prajurit Pasukan Konfederasi yang tewas oleh senapan Winchester pasukan Serikat di Perang Saudara Amerika. Kedua saudaranya juga tewas akibat tembakan senapan Winchester. Arwah Block tak hanya meneror Sarah dan Price, tapi juga Marion, keponakan Sarah yang menemani di rumah itu, beserta Henry putranya. Drama panjang nan menegangkan itu mencapai akhir di sebuah klimaks yang dengan apik dihadirkan sutradara. Dengan scene perpaduan gempa dahsyat San Fransisco, 18 April 1906, dan rajutan plot seperti keterkaitan Price dengan kutukan Winchester, Spierig bersaudara sukses membuat ending apik. Spierig bersaudara tak lupa menyisipkan keterangan akhir bahwa Sarah terus merenovasi rumahnya sampai akhir hayatnya pada 1922. Fakta dan Pakem Sejarah Film dengan sound effect yang amat “ ngefek” ini dibuat dengan cukup apik baik detail maupun sejarahnya. Wardrobe, properti, dan gaya/karakter pemeran cukup bisa membangun atsmosfer masa pasca-era Victoria. Namun, kebocoran akurasi fakta sejarah tetap ada lantaran adanya alur dan karakter fiktif. Tokoh Henry Marriott, misalnya, diceritakan merupakan putra dari Marian Marriott, keponakan Sarah. Padahal, faktanya Marian tak punya anak. “Dia dan mendiang suaminya mengadopsi seorang anak perempuan, namun itupun setelah kejadian yang ada dalam film (pasca-gempa 1906),” ungkap kolumnis Sal Pizarro dalam artikelnya di The Mercury News , 2 Februari 2018. Lalu, pada 1906, yang merupakan setting waktu film, Marian faktanya sudah tak lagi menemani bibinya. Dia pindah setelah menikah dengan Frederick Marriott. Di sisi lain, patut diapresiasi bahwa sutradara tak ingin melupakan sejumlah kecanggihan yang tercetus dari kreativitas Sarah seperti sistem drainase, alat komunikasi internal rumah, hingga ide sepatu roda. Namun yang menjadi kekeliruan, terkait ide sepatu roda baru muncul 20 tahun dari set film (1906). Film ini juga cacat di alur yang tak sesuai pakem sejarah. Selain di scene pembantaian balas dendam Kopral Block terhadap para karyawan perusahaan Winchester, ketidaksesuaian terjadi di scene gempa. Dalam film, gempa digambarkan terjadi tak lama setelah jam 12 tengah malam. Padahal, aslinya gempa itu terjadi saat fajar, sekitar pukul 05.12 pagi dan pastinya bukan gara-gara kemarahan arwah Kopral Block.

  • Petisi 24 Oktober

    TAK peduli kenaikannya ke kursi ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (DMUI) ikut dibantu tim Opsus pimpinan Ali Moertopo, yang merupakan think tank Orde Baru (Orba), Hariman Siregar ogah tinggal diam melihat banyak penyelewengan yang dilakukan pemerintah Orba. Bersama sekjen DMUI Judilherry Justam dan mahasiswa-aktivis lain dari UI maupun kampus-kampus lain, mereka terus aktif mengkritik pemerintahan Orba. Kritik mahasiswa dipicu penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan pemerintah. Belum lagi kasus korupsi di Pertamina awal 1970-an tuntas diusut, penyelewengan demi penyelewengan lain bermunculan. “Gerakan mahasiswa 1973/73 memprotes pemerintah pada mulanya berasal dari penentangan terhadap korupsi, yaitu sungguh-sungguh banyak pejabat negara, terutama personil militer telah membangun kepentingan bisnis substansian mereka sendiri,” tulis Muchtar Effendi Harahap dan Andris Basril dalam Gerakan Mahasiswa dalam Politik Indonesia . Selain korupsi, yang menjadi sorotan mahasiswa adalah keadilan ekonomi dan strategi pembangunan yang dijalankan pemerintah. “Pada pertengahan 1973, kritik mahasiswa banyak ditujukan pada masalah modal asing yang dianggap memperbesar jurang perbedaan dalam masyarakat, karena model pembangunan ekonomi yang dipilih adalah pertumbuhan ekonomi yang banyak dipotong dengan modal asing, yang dianggap sebagai ‘penjajahan model baru’,” tulis Ignatius Haryanto dalam Indonesia Raya Dibredel! Isu-isu tersebut menjadi bahasan dalam diskusi rutin mahasiswa yang digelar Grup Diskusi Universitas Indonesia (GDUI) pimpinan Sjahrir. Diskusi makin intens semenjak Hariman menjabat ketua umum DMUI pada pertengahan 1973. “Langkah pertama yang diambil Hariman setelah menduduki jabatan Ketua Umum DMUI adalah mengadakan kegiatan dalam bentuk diskusi-diskusi. Arahnya adalah fokus menyoroti masalah-masalah sosial-politik dan kemasyarakatan,” tulis Max Diaz Riberu, Syafinuddin al-Mandari, dan Nunik Iswardhani dalam biografi Judilherry Justam, Anak Tentara Melawan Orba . Pada 13-16 Agustus 1973, DMUI dan GDUI menghelat diskusi untuk menyambut HUT kemerdekaan. Diskusi bertema “28 Tahun Kemerdekaan Indonesia” itu mengundang pembicara tokoh-tokoh populer seperti Soebadio Sastrosatomo, Sjafruddin Prawiranegara, Yuwono Sudarsono. Diskusi itu menghasilkan sejumlah kesimpulan, antara lain: perlunya praktek politik dan serangkaian tindakan untuk menyelesaikan masalah dan bukan sekadar diskusi-diskusi, dan adanya perbedaan gambaran mengenai struktur sosial-politik antara generasi muda dan tua. Diskusi tersebut memicu semangat mahasiswa untuk makin merapatkan barisan dan aktif mengkritik pemerintah. Hariman gencar menggalang kerjasama dengan kalangan mahasiswa-kalangan mahasiswa lain di berbagai tempat. Pada Oktober, 11 mahasiswa ITB mendatangi pimpinan DPR. Setelah diterima ketua Komisi IX Djamal Ali, mereka mengajukan tuntutan. Para mahasiswa kembali bergerak pada 24 Oktober. Hari itu, DMUI menghelat sebuah diskusi untuk memperingati Sumpah Pemuda dan mengundang tokoh lintas generasi. Selain Menlu Adam Malik, tokoh-tokoh yang hadir antara lain Sudiro (mantan walikota Jakarta), BM Diah (tokoh pers, pendiri Merdeka ), Soebadio Sastrosatomo (intelektual PSI), Sjafruddin Prawiranegara (presiden Indonesia semasa pemerintahan darurat), Ali Sastroamidjojo (politisi PNI), TB Simatupang (mantan Kepala Staf Angkatan Perang), dan Dorodjatun Kuntoro-Djakti (dosen FE UI). Usai diskusi, mereka berziarah ke TMP Kalibata. Di sana, mereka membacakan ungkapan ketidakpuasan dan tuntutan pada pemerintah yang diberi nama Petisi 24 Oktober 1973. Petisi itu berisi antara lain: meninjau kembali strategi pembangunan dan menyusun satu strategi yang di dalamnya terdapat keseimbangan di bidang-bidang sosial, politik, dan ekonomi yang antikemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan; segera bebaskan rakyat dari cekaman ketidakpastian dan pemerkosaan hukum, merajalelanya korupsi dan penyelewengan kekuasaan, kenaikan harga, dan pengangguran. Petisi 24 Oktober tak hanya membuat Soeharto berang, tapi juga memantik gerakan protes lebih militan kepada pemerintah Orba yang berpuncak pada Peristiwa Malari. “Gerakan yang melahirkan Petisi 24 Oktober 1973 adalah permulaan daripada perlawanan yang juga berkembang terus, meskipun lewat pasang-surut,” tulis sejarawan Max Lane di lamannya, www.maxlaneonline.com .

  • Ketika Sukarno Enggan Berperang Melawan Soeharto

    DI kalangan Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI), Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto adalah pahlawan. Kendati demikian, kepopuleran Soeharto tak mencegah para aktivis KAMI mendatangi rumahnya dan melayangkan protes. Mereka kecewa karena Soeharto tak melakukan apapun untuk mencegah pembubaran KAMI oleh Presiden Sukarno.

  • Ida Sang Legenda

    IDA Royani, aktris top 1970-an, tak pernah lupa suatu hari di tahun 1965 ketika sedang rekaman sebuah lagu anak-anak di Studio Remaco. Semangatnya langsung berganti kekesalan lantaran produsernya tiba-tiba memintanya mengganti lagu. Dia berarti harus memulai dari awal. Kekesalan Ida makin bertambah karena pencipta lagu penggantinya, yang diperkenalkan produser kepadanya, merupakan orang yang menyebalkan. “Kampungan,” kata Ida mengisahkan kesan pertamanya bertemu dengan Benyamin Sueb, kepada Historia . Lahir di Jakarta pada 24 Maret 1953, Ida sejak kecil hobi menyanyi. Keriernya dimulai dari penyanyi cilik. Pada 1960-an, Ida juga menjadi bintang iklan. Menginjak remaja, Ida mulai menyanyikan country . Penampilan Ida pun berganti menjadi funky : sepatu boots , baju trendy , dan rambut warna-warni. Ida dikenal sebagai penyanyi remaja yang funky dan fashionable. Gaya pakaian Ida kerap kali jadi panutan anak muda kala itu. Kepopuleran Ida bertambah ketika kerap sepanggung bersama Benyamin. “Sekitar 1968-1969 Ida mulai sering satu panggung dengan Ben, meski belum duet,” tulis Wahyuni dalam Kompor Mleduk Benyamin S: Perjalanan Karya Legenda Pop Indonesia . Merasa cocok, Ben lalu mengajak Ida berduet menyanyikan lagu Betawi. Ida menerimanya. "Aku lulus SMA tahun 1972. Waktu itu aku sudah nyanyi sama Benyamin," kata Ida. Meski awalnya Ida kerap mendapat ejekan publik karena melakukan hal berkebalikan dari citranya yang fungky, a lbum perdana Ida-Benyamin, Tukang Kridit , sukses di pasaran. Orang-orang yang awalnya mengejek Ida malah berbalik menjadi pembeli kasetnya dan menjadi penggemar. Duet Ida-Benyamin menjadi salahsatu artis paling terkenal pada 1970. Beberapa hits mereka seperti “ Begini-Begitu”, “Di Sini Aje”, “Hujan Gerimis”, “Lampu Merah”, “Nimang Anak”, “Dipatil Ikan Sembilang”, atau “Tukang Kridit” amat familiar di telinga masyarakat . “Waktu terkenal-terkenalnya Benyamin waktu nyanyi sama aku,” kata Ida. Menurut Wahyuni, kesuksesan duet Ida-Ben disebabkan karena kemampuan Ida mengimbangi Benyamin. Bahkan Ida yang terkenal fashionable , pernah nyanyi mengenakan sandal jepit, kain, dan kebaya. T ak ada pasangan duet Benyamin yang bisa menyaingi Ida. Ketenaran mereka membuat Ida dan Ben dikenal sebagai pasangan legendaris. Namun, Benyamin bukan satu-satunya pasangan Ida. Ida pernah duet bareng Frans Daromes pada 1971. Ketika itu, Ida jarang tampil bareng Benyamin. Duet Ida-Benyamin memang beberapa kali putus-sambung. Usai duet dengan Frans, Ida kembali duet dengan Benyamin di acara Jakarta Fair. “Tahun 1975-1976 aku ke London. Tadinya mau belajar desain tapi aku cuma belajar modeling dan bahasa,” kata Ida. Duet mereka kembali bubar setelah Ida menikah dengan Pangeran Tengku Aziz dan pindah ke Malaysia tahun 1976. Tapi tahun 1978 Ida dan Benyamin kembali berduet di acara ulang tahun TVRI menyanyikan lagu “ Tuak Asem”. Dari hasil duetnya dengan Benyamin, Ida mendapat penghasilan besar. “Aku dan Benyamin kan lagi populer-populernya. Dan nyanyi itu hasilnya nggak sedikit, tiap bulan beli mobil bisa,” kata Ida. “Aku sama Benyamin bayarannya sama.” Tapi Ida dan Benyamin punya cara beda membelanjakan uang. “Aku nggak punya tanah yang berhektar-hektar, aku nggak punya gunung. Benyamin beli bukit, ditanami cengkih, aku nggak punya. Aku Cuma punya sepatu, tas, baju bermerek. Barang-barangku harganya hampir sama kayak tanahnya Benyamin.” Selain menyanyi, Ida juga bermain dalam 15 judul film dari 1970-1978. Di film pertamanya, Di Balik Pintu Dosa, Ida beradu peran dengan aktris Fifi Young. Ida juga beradu peran dengan Rhoma Irama dan menyanyi bersamanya di film itu. Tapi, dari 15 judul film yang dimainkan Ida, 10 di antaranya merupakan adu peran Ida dengan Benyamin. Keduanya bermain bareng antara lain di Benyamin Biang Kerok (1972), Ratu Amplop (1974), dan Tarsan Pensiunan (1976). Film Benyamin-Ida paling banyak diproduksi tahun 1974, mencapai 5 judul film. Ketika memutuskan berjilbab (1978), Ida mengurangi show dan akhirnya mundur dari dunia tarik suara. Namun, dia sempat membintangi sinetron Mat Beken di TPI yang naskahnya ditulis Benyamin. Keduanya juga menyanyikan lagu “Si Mirah Jande Merunde” yang jadi bagian sinetron itu. Duet keduanya bubar ketika Ida mundur dari dunia hiburan dan terjun ke dunia bisnis pakaian muslim.

  • Mengapa Ahmad Sukarno?

    PADA 1946-1947, mahasiswa Indonesia di Mesir giat mempromosikan nama Indonesia negeri seribu piramid tersebut. Selain mengadakan kegiatan amal dan diskusi, mereka pun aktif memperkenalkan para pemimpin Indonesia ke berbagai lapisan masyarakat. “Kita tidak bisa menafikan jika para pejuang Indonesia di Mesir menggunakan Islam sebagai alat pendekatan terhadap masyarakat dan pemerintah Mesir,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein. Upaya itu terbukti berhasil. Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia telah mendapat simpati besar dari rakyat Mesir yang juga mayoritas muslim. Menurut M. Zein Hasan dalam Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri , situasi itu disadari dan dimanfaatkan secara baik oleh para aktivis mahasiswa pendukung kemerdekaan Indonesia. “Sentimen agama terbukti sangat efisien menarik sokongan masyarakat Arab atas dasar solidaritas Islam,” ujar diplomat senior Indonesia yang kala itu aktif sebagai mahasiswa pendukung kemerdekaan Indonesia di Mesir. Namun, ada satu hal yang mengganjal: nama Sukarno (presiden Indonesia) sangat tidak berbau Arab (baca: Islam). Ini memunculkan pertanyaan dari hampir kalangan kaum muslim di Mesir: Sukarno, pemimpin Indonesia itu, apakah seorang muslim atau bukan? Guna mengantisipasi persoalan tersebut, aktivis mahasiswa Indonesia, sepakat menambahkan nama “Ahmad” di depan nama Sukarno. Demikianlah, saat Zein Hassan diwawancarai oleh wartawan Mesir, pertanyaan soal agama Sukarno itu lantas muncul kembali. Kali ini Zein menjawabnya secara percaya diri, “Kenapa bukan Muslim? Bukankah nama lengkap dia adalah Ahmad Sukarno?” katanya. Sejak itulah masyarakat dan pers Timur Tengah, tak pernah lagi mempersoalkan apa agama presiden Republik Indonesia tersebut. Mereka pun kerap menyebut presiden Republik Indonesia dengan sebutan: Ahmad (atau Ahmed) Sukarno. Lantas bagaimana sikap Sukarno sendiri terhadap penambahan nama tersebut? Menurut Zein, awalnya Si Bung menerimanya. Itu terbukti dengan dibiarkannya nama “Ahmad” tersebut tercantum oleh yang bersangkutan kala menandatangani surat-surat resmi untuk negara-negara Islam. Baru setelah peyerahan kedaulatan oleh Belanda pada 27 Desember 1949, penambahan nama “Ahmad” mulai dipersoalkan oleh Sukarno. Hal itu tercetus saat dirinya berpidato dalam rapat umum menyambut Pemimpin Uni Sovyet Kliment Voroshilov di Surabaya pada 1959. “Siapa yang menambah namaku dengan 'Ahmad'?" tanya Sukarno. Jawaban baru diberikan oleh Zein pada rapat staf Departemen Luar Negeri pada 1959. Dia menyatakan bahwa dirinya yang menambahkan “Ahmad” pada nama sang presiden. “Tujuannya, menarik sokongan umat Islam sedunia bagi perjuangan Indonesia sesudah Proklamasi,” ungkap Zein.*

  • All England dari Masa ke Masa

    PUJIAN tinggi patut dilayangkan untuk Kevin Sanjaya Sukamuljo dan Marcus Fernaldi Gideon. Pasangan ganda putra Indonesia yang menyandang peringkat satu dunia ini berhasil mempertahankan gelar All England pada Minggu, 18 Maret 2018, di Arena Birmingham, Inggris. Kevin/Marcus menang 21-18 dan 21-17 atas pasangan Denmark Mathias Boe/Carsten Mogensen. All England merupakan turnamen bulutangkis perorangan. Turnamen ini merupakan turnamen resmi tertua di dunia sebagaiana FA Cup (Inggris) di cabang olahraga sepakbola. Berikut fakta-fakta All England dalam angka yang dinukil dari berbagai sumber: 10 Maret 1898 All England dihelat untuk pertamakalinya sebagai turnamen eksebisi, terinspirasi dari sebuah turnamen yang diprakarsai Percy Buckley, sekretaris Guildford Badminton Club, pada 10 Maret 1989 di Guildford Drill Hall. Hajatan nan sukses itu mendorong Badminton Association of England (BAE) – federasi bulutangkis pertama dunia yang berdiri 1893, menggelar event yang lebih akbar setahun setelahnya. 4 April 1899 BAE untuk kali pertama menggelar The Open English Championships di London Scottish Regiment Drill Hall. Semua pesertanya pebulutangkis Inggris. Mereka masih mengenakan busana kasual era itu karena belum ada pakaian olahraga. Para peserta putra mengenakan celana panjang dan peserta putri mengenakan rok panjang. Di edisi perdana ini, All England mempertandingkan tiga nomor: ganda putra (dimenangi D. Oakes/Stewart Massey), ganda putri (Meriel Lucas/Mary Graeme), dan ganda campuran (D. Oakes/Daisey St. John). All England masih merupakan turnamen kejuaraan dunia “tak resmi”. “Oleh karenanya pemenangnya boleh dikatakan sebagai juara dunia,” tulis Don Paup dalam Skills, Drills & Strategies for Badminton. 1900 Pada edisi kedua, jumlah nomor yang dipertandingkan di All England bertambah dengan masuknya nomor tunggal putra dan putri. Sydney H. Smith menjadi juara tunggal putra pertama, sementara Ethel B. Thompson jadi kampiun pertama tunggal putri. Ethel mengulanginya di edisi 1901. 1902 Di tahun ini, The Open English Championships berganti nama menjadi The All England Championships dan bertahan hingga kini. Venue -nya juga berpindah dari London Scottish Regiment Drill Hall ke Crystal Palace Central Transept. Situs allenglandbadminton.com mencatat bahwa pada edisi 1902, lapangannya diubah dari yang berbentuk mirip jam pasir menjadi persegi panjang yang bertahan sampai sekarang. 1903-1909 All England kembali berpindah lokasi. Dari edisi keempat hingga 1909, All England dimainkan di London’s Rifle Brigades City Headquarters. Di tahun 1903 pula atlet serbabisa George Alan Thomas mengukir prestasi pertamanya di nomor ganda campuran. Hingga 25 tahun berikutnya, Thomas meraih total 21 gelar di berbagai nomor (4 tunggal putra, 9 ganda putra, 8 ganda campuran). Hingga zaman now , Thomas masih memegang rekor pemain tersukses di All England. 1910-1939 Lagi-lagi, All England pindah venue. Dari 1910 sampai 1939, All England dimainkan di The Royal Horticultural Hall, London. Di tahun 1910 juga untuk pertamakalinya muncul juara dari luar Inggris. Adalah Guy Sautter (Swiss), yang berpasangan dengan Dorothy Cundall (Inggris), berhasil menjuarai nomor ganda campuran. Setahun berselang, dan juga di edisi 1913-1914, Guy menjuarai nomor tunggal putra. Pada edisi 1924, sebuah rekor baru tercipta ketika Kathleen McKane Godfree menyapu bersih gelar di tiga nomor yang diikutinya: tunggal putri, ganda putri, dan ganda campuran. Sedangkan pada edisi 1931, fashion pebulutangkis mulai beralih. Raymond “Bill” White menginspirasi para pebulutangkis lain untuk mengubah gaya busana dari celana panjang ke celana pendek. Adapun di edisi 1938, popularitas All England kian meluas lantaran mulai disiarkan via radio. 1947 All England kembali bergulir setelah terhenti sejak 1939 akibat Perang Dunia II. Tempat penyelenggaraan pun berpindah lagi, kali ini ke Harringay Arena, London Utara. Di tahun ini juga, Herbert Scheele memulai kariernya sebagai wasit hingga kelak jadi wasit kehormatan dan tokoh bulutangkis dunia . 1949 Malaya mempelopori keikutsertaan negara dari Asia Tenggara di All England. Bahkan, pasangan ganda putranya, Ooi Teik Hock/Teoh Seng Khoon, sukses menjadi juara. Di edisi ini pula Amerika Serikat menorehkan sejarah pertama kesuksesan All England-nya lewat keberhasilan David G. Freeman menjuarai nomor tunggal putra. 1950-1951 Setelah kembali berpindah lokasi ke Empress Hall, Earls Court, London pada 1950, All England untuk kali pertama ditayangkan via siaran televisi pada 1951. 1957-1968 Pada 1957, All England mulai dihelat di Wembley Pool (kini Wembley Arena), London yang terus bertahan hingga 36 tahun berikutnya. Di edisi 1959, Indonesia menorehkan tinta emas pertamanya lewat nomor tunggal putra. “Tan Joe Hok juara All England 1959, sekaligus mengukuhkan diri sebagai orang Indonesia pertama yang juara pada turnamen yang disebut-sebut kejuaraan dunia bulutangkis,” ujar Broto Happy dalam Baktiku Bagi Indonesia. Di partai puncak bertajuk “All Indonesian Final”, Tan Joe Hok mengalahkan Feerry Sonneville 15-8, 10-15 dan 15-3. Indonesia kembali membuat rekor di edisi 1968. Rudy Hartono mendunia sebagai juara termuda di usia 18 tahun 7 bulan. 1977-1982 John Player & Son, perusahaan tembakau dan rokok berbasis di Nottingham, Inggris, mempelopori perusahaan yang mensponsori All England (1977). Sedangkan di edisi 1982, China menjalani debutnya dengan menurunkan tujuh pemain. Mereka pulang dengan membawa dua gelar: tunggal putri (Zhang Ailing) dan ganda putri (Lin Ying/Wu Dixi). 1984 Yonex, produsen alat olahraga asal Jepang, memulai debutnya sebagai sponsor utama. Posisi itu bertahan hingga 32 tahun berikutnya, menjadikan rekor kerjasama terlama dalam berbagai sejarah olahraga. Rekor ini kembali dipertegas dengan perpanjangan kerjasama baru pada 2015 hingga 2021. “All England adalah turnamen tertua dan paling prestisius di dunia dan kami senang bisa tetap menjadi bagian dari mereka,” cetus Presiden Yonex Ben Yoneyama di situs resmi Yonex, 7 Maret 2014. 1994-2018 Mulai 1994, venue All England pindah dari London ke Birmingham, tepatnya di National Indoor Arena, dan bertahan hingga sekarang. Tragisnya, wakil-wakil Inggris mulai kesulitan juara di “rumah sendiri”. Terakhir wakil mereka juara pada 2005 lewat kemenangan Nathan Robertson/Gail Emms di ganda campuran. Salah satu staf pelatih Inggris kala itu adalah mantan pebulutangkis Indonesia Rexy Mainaky. Pada 2007, turnamen ini disematkan status “Superseries” oleh BWF (Federasi Bulutangkis Dunia). Empat tahun kemudian, All England naik kelas dengan status “Superseries Premier”. Bagi Indonesia, All England lumbung gelar. Hingga sekarang, Indonesia nyaris tak pernah pulang tanpa gelar. Pada 2016, gelar dipersembahkan ganda campuran Praveen Jordan/Debby Susanto. Sementara pada 2017-2018, ganda putra Marcus/Kevin masih digdaya mempertahankan gelar.

bottom of page