top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Teror di Masjid Al-Noor

    NEGERI Kiwi yang lazimnya tenang mendadak jadi sorotan dunia. Total 49 jemaah Salat Jumat di dua masjid di Kota Christchurch, Canterbury, Selandia Baru, meninggal dunia, Jumat siang, 15 Maret 2019 sekira pukul 13.40 waktu setempat. Perdana Menteri (PM) Selandia Baru, Jacinda Ardern, terpukul dan mengecam aksi terorisme itu. “Hari ini adalah salah satu hari paling kelam di Selandia Baru. Kita telah melihat kejadian yang belum pernah kita alami sebelumnya. Aksi ini hanya bisa dijelaskan sebagai serangan teroris,” kata Jacinda Ardern dalam konferensi pers dengan suasana haru, dikutip RTE , Jumat (15/3/2019). Selain 49 orang meninggal, sekira 20 lainnya terluka dan dua di antaranya Warga Negara Indonesia (WNI). “Kami berduka untuk para keluarga dan kerabat korban, termasuk dua WNI yang terluka dalam insiden itu,” cuit Menteri Luar Negeri RI, Retno Marsudi, di akunnya, @Menlu_RI . Secara biadab pelaku teroris di Masjid Al-Noor menyiarkannya secara langsung di Live Facebook Jemaah Salat Jumat itu jadi korban penembakan keji empat pelaku yang diduga simpatisan kelompok rasisme sayap kanan. Masing-masing menyerang dua lokasi dekat pusat Kota Christchurch: Islamic Centre di wilayah Linwood dan Masjid Al-Noor di Riccarton. Mula Masjid Al-Noor Masjid Al-Noor atau Masjid Cahaya dibangun pada 1982 dan diresmikan pada 1985 oleh MAC (Asosiasi Muslim Canterbury). Masjid ini tertua kedua di Selandia Baru, setelah masjid di Ponsonby yang dibangun tahun 1979. Desainnya dirancang seorang mualaf asal Australia, Martin “Rasjid” Wallen. Bangunan megah itu juga diakui sebagai salah satu masjid terjauh dari kiblat di Kabah, Makkah, Arab Saudi, setelah Masjid Dunedine di Kota Auckland. Menurut Abdullah Martin Drury, MAC mulai mengajukan usulan pembangunan masjid pertama kali pada 1979, mengingat mulai bertambahnya jumlah komunitas muslim di Canterbury, khususnya Riccarton yang sebelum 1989 masih jadi kota kecil yang mandiri dan terpisah dari Kota Christchurch. Proyek pembangunan Masjid Al-Noor pada Desember 1984 (Foto: Christchurch Star) “Di awal 1982, MAC membeli sebuah properti di Deans Avenue, Kota Riccarton seharga 80 ribu dolar Selandia Baru (NZD). Mulanya properti itu hanya sekadar istal kuda. Pada 10 Mei 1982, Dewan Kota Riccarton baru menyetujui proposal MAC untuk perizinan pembangunan,” tulis Drury dalam “Once Were Mahometans: Muslims in the South Island of New Zealand, Mid-19th to Late 20th Century, with Special Reference to Canterbury,” tesis di University of Waikato. MAC pula yang memilih Martin Wallen yang bermukim di Christchurch sejak 1965 sebagai arsiteknya, dibantu seorang mualaf lainnya, Abdul Hadi Bollard. Tidak lupa, desain interiornya dibantu Osman Mahgoub Gaafar, arsitek ekspatriat Sudan, khusus untuk mendekorasi hiasan-hiasan kaligrafinya berupa dua kalimat Syahadat dan potongan Surah al-Jinn ayat 18. “Peletakan batu pertama pembangunannya dilakukan 12 Juni (1982) kala bulan suci Ramadan. Salah satu donatur terbesarnya adalah Dr. Salih al-Samahy yang punya koneksi dekat dengan anggota-anggota Kerajaan Arab Saudi dengan sumbangan NZD300 ribu,” tulis Drury yang juga penulis buku Islam in New Zealand: The First Mosque . Ditambah sumbangan NZD460 ribu dalam bentuk cek dari sejumlah donatur asal Saudi, Kuwait, dan Bahrain yang disampaikan melalui Duta Besar Saudi untuk Australia, Dr. Alohaly, setelah mengunjungi situs pembangunan masjid itu pada Juli 1984. Pembangunan masjid selesai pada 1985 dan dinamai Al-Noor oleh MAC. “Masjid Al-Noor berarti Masjid Cahaya. Ungkapan dari simbol kesucian yang diharapkan menjadi sumber cahaya. Makna yang merupakan kombinasi dari cat putih dengan beberapa motif hijau, serta kubah yang juga hijau sebagai warna favorit Rasulullah Muhammad SAW,” lanjut Drury. Kubahnya kemudian tak lagi berwarna hijau, melainkan berwarna emas. Ternyata, perubahan warna itu terjadi pada 2003, seiring terjadi kisruh pemegang kepengurusan masjid. Masjid Al-Noor dalam fase pembangunan tahap akhir pada Januari 1985 (Foto: Christchurch Star) Menurut Nahid al-Kabir dalam “Muslim Minorities in Australia, New Zealand and the Neighbouring Islands” yang termuat di The Different Aspects of Islamic Culture: Volume Six, komunitas muslim di internal MAC dari Asia Selatan (India, Pakistan, Bangladesh) dengan muslim Arab serta Afrika, memperebutkan kepengurusan masjid untuk mendapatkan posisi yang dihormati secara politik dan sosial-ekonomi dalam masyarakat muslim di Selandia Baru. “Pada 2003 terjadi konflik kepengurusan masjid yang sejak lama dipegang kelompok muslim asal Asia Selatan di MAC. Kisruh berawal dari komunitas muslim asal Jazirah Arab dan Somalia yang ingin memegang kepengurusannya,” tulis Nahid.

  • Proyek Tol Pandaan-Malang dan Kerajaan Bawahan Majapahit

    STRUKTUR bata merah kuno tersingkap di tengah pengerjaan proyek jalan tol Malang-Pandaan di Dusun Sekaran, Desa Sekarpuro, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang, akhir Februari 2019. Situs Sekaran itu diduga memiliki korelasi dengan wilayah kuno Kabalan dari masa Mataram sampai Majapahit. “Temuan Situs Sekaran lokasinya hanya sekitar 1 km dari wilayah Dusun Kebalon, dapat dikatakan temuan di Situs Sekaran memperkuat keberadaan wilayah kuno yang bernama Kabalan memang berada di Malang sekarang,” demikian “Laporan Tinjauan Awal Situs Sekaran” yang di susun Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Malang dan Komunitas Jelajah Jejak Malang . Nama Kebalon mengingatkan pada wilayah kuno Kabalan. Kitab Pararaton menyebut semasa awal Singhasari (Tumapel) pada abad ke-8 M, Kabalan merupakan tempat panepen (menyepi) sekaligus sentra perajin emas yang tersohor pada zamannya. Pada masa Majapahit, Kabalan merupakan satu di antara dua kerajaan bawahan (vasal) di kawasan Malangraya pada masa pemerintahan Raja Hayam Wuruk dan Wikramawarddhana (abad 14-15). Wilayah ini antara lain diperintah oleh putri mahkota Hayam Wuruk, Kusumawarddhani sebagai Bhre Kabalan. Kabalan disebut di dalam beberapa prasasti dan naskah-naskah sastra kuno. Prasasti yang menyebut Kabalan yaitu Dinoyo II dari 773 Saka dan 820 Saka (851 M dan 898 M), Prasasti Pamotoh dari 1120 Saka (1198 M), Prasasti Waringin Pitu dari 1369 Saka (1447 M), dan Prasasti Pamintihan dari 1395 Saka (1473 M). Adapun dalam naskah, Kabalan disebut dalam Kitab Nagarakṛtagama (ditulis tahun 1350 M) dan Serat Pararaton. Khususnya pada akhir abad ke-15 M, menurut Prasasti Pamintihan (1478 M), Desa ( Thani ) Pamintihan, yang berlokasi di sebelah utara Tugaran dan di barat Kabalan, dianugerahi status desa sima (perdikan). Anugerah itu diberikan pada Aryya Surung. Melihat gelarnya, aryya , Surung pastilah seorang pejabat daerah. Menurut Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang,disebutkan di dalam prasasti itu, Kabalan merupakan batas daerah perdikan Pamintihan di utara dan timur. “Konon wilayah thani Pamintihan bisa jadi meliputi wilayah Madyopuro, Ngadipuro, Sekarpuro dan Ampeldenta sekarang,” kata Dwi.*

  • Permukiman Kuno di Proyek Tol Pandaan-Malang

    STRUKTUR bata merah kuno tersingkap di tengah pengerjaan proyek jalan tol Pandaan-Malang akhir Februari 2019. Beberapa bata pecah dan susunannya ambrol tak beraturan. Tak cuma bata merah kuno yang muncul akibat galian pembangunan jalan tol itu, banyak pula artefak lainnya yang ditemukan tanpa sengaja, seperti fragmen keramik, uang kepeng, benda-benda yang terbuat dari emas dan kuningan. Tak lama setelah temuan di Dusun Sekaran, Desa Sekarpuro, Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang itu banyak diberitakan, penggalian liar pun makin sulit dihindari. “Mereka sebagian besar adalah kolektor dan kolekdol barang-barang antikan bahkan juga masyarakat desa sekitar ikut juga mencari, demi mengambil artefak-artefak yang ada di lokasi,” ujar Devan Firmansyah, sejarawan Komunitas Jelajah Jejak Malang, melalui pesan singkat. Proyek jalan tol ini setingkat provinsi. Warga menyebutnya Jalur Proyek Tol Mapan Seksi V Desa Sekarpuro atau Tol Nomor 37. Sebelum tol dibangun, warga setempat sudah beberapa kali tanpa sengaja menemukan artefak. “Sejak dulu bahkan sebelum dibongkar, mereka memungut dan menjual artefak dari situ. Ada yang dapat motor ninja ada juga yang dapat Rp10 juta,” kata Devan. Berdasarkan “Laporan Tinjauan Awal Situs Sekaran” yang disusun Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Malang dan Komunitas Jelajah Jejak Malang, diduga situs itu memiliki korelasi dengan wilayah kuno Kabalan dari masa Mataram sampai Majapahit. Laporan itu untuk diteruskan ke Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan dan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Jawa Timur. Jika dilihat sekilas reruntuhan di Situs Sekaran itu seakan membentuk pagar yang terbuat dari bata merah dengan posisi memanjang, pada bibir DAS (Daerah Aliran Sungai) Amprong. Berdasarkan laporan itu, kemungkinan daerah itu merupakan sebuah kompleks permukiman kuno pada masa Hindu-Buddha. Sekira 100 meter dari bawah reruntuhan ditemukan sebuah arung kuno yang tersisa bagian mulutnya saja. Arung adalah gua atau lorong bawah tanah yang umumnya digunakan untuk saluran air. Arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, Dwi Cahyono menjelaskan wilayah Sekarpuro, di mana situs itu berada, merupakan salah satu dari empat tempat yang punya unsur toponimi -puro yang artinya kota: Madyopuro di tengah, Lesanpuro di selatan, Sekarpuro di utara, dan Dusun Ngadipuro di timur. Wilayah di Kelurahan Madyopuro dan sekitarnya adalah desa-desa kuno. Karenanya tak heran jika di tempat itu dijumpai jejak arkeologis. “Kelurahan Madyopuro beserta Kampung Ngadipuro di dalamnya, Kelurahan Lesanpuro, dan Desa Sekarpuro, ketiganya berdekatan, mengingatkan kita kepada konsep panyaturdesa ( catur berarti empat ) , pada Masa Hindu-Buddha,” kata Dwi. Dwi menjelaskan unsur nama madyo dalam Madyopuromenjadi petunjuk lokasinya berada di tengah dari suatu kesatuan yang terdiri atas lima atau sembilan desa ( visayapumpunan ). “Mestinya ada satu lagi -puro di barat, kelimanya memiliki formula kosmologis 4+1, yaitu empat penjuru mata angin dan titik sentrum, yang konon merupakan kawasan pusat kota, sekaligus pusat peradaban,” kata Dwi. Menurut Dwi bukan kebetulan jika keempat nama daerah itu berunsur puro . Secara harfiah kata pura , dari bahasa Sanskerta, bisa berarti benteng, kota, ibukota, istana (tempat tinggal raja), atau apartemen wanita. “Dalam arti demikian, timbul pertanyaan apakah pada masa lalu subarea ini pernah menjadi pusat kota?” kata Dwi. Di desa-desa kuno itu, kata Dwi, misalnya di Lesanpuro terdapat Dusun Tegaron. Konon dulunya bernama Tugaran. Wilayah ini pernah menjadi pusat daerah watak pada era Mpu Sindok, pada paruh pertama abad ke-10 M. Ia menjadi salah satu di antara tiga watak di Kawasan Malangraya, selain watak Kanuruhan dan Hujung. Pemimpinnya adalah Rakai Tugaran. Di Kampung Ngadipuro Lor, Kelurahan Madyopuro, Kecamatan Kedungkandang, terdapat sebuah punden desa yang bernama Punden Mbah Sentono. Letak kampung ini tak jauh dari Dusun Sekaran, Desa Sekarpuro. Punden desa itu terdiri dari kumpulan artefak batu andesit yang berbentuk seperti pengapit, sebuah umpak yang mirip yoni, sebuah umpak berbentuk trapesium, dan beberapa fragmen bata merah berukuran besar. Tak jauh dari lokasi, Kampung Ngadipuro Ringin, di mana terdapat pohon beringin, terdapat sebuah lingga di pekarangan milik warga. “Keberad a an artefak-artefak tersebut dan juga adanya dua pohon beringin yang letaknya tidak berjauhan seakan menggambarkan pada masa lalu tempat ini adalah alun-alun kuno tak jauh dari sebuah kedaton,” demikian di sebut dalam “Laporan Tinjauan Awal Situs Sekaran”. Melihat sebaran temuan itu, bisa dikatakan situs yang baru saja muncul di pinggiran proyek tol itu merupakan bagian dari kompleks permukiman kuno, setidaknya sejak zaman Hindu-Buddha. Selain itu, kata Dwi, bisa ditambahkan juga wilayah Kelurahan Kedungkandang. Di dalamnya termasuk Dusun Kebalon dan Desa kuno Ampeldenta.*

  • Supeni, Perempuan di Balik Kemenangan PNI

    RAPAT dibuka. Supeni yang duduk di depan para kader PNI langsung memimpin rapat strategi kampanye untuk memenangkan pemilu 1955. Tugas itu dia lakoni sebagai bagian dari tugasnya menangani pemilu 1955, tugas yang dipikulnya sejak bergabung dengan PNI pada 1946. Selain memimpin rapat-rapat, Supeni rutin berkunjung ke cabang-cabang PNI di daerah untuk memberi ceramah. Tapi tugas yang menghampiri Supeni bukan hanya dari partai. Sejak awal 1950-an, lewat panitia persiapan pemilu, Supeni ditugaskan pemerintah untuk mempelajari penyelenggaraan pemilu di berbagai negara, seperti India dan Amerika Serikat (AS). Kala itu, ia berangkat bersama tim kecil yang diketuai Subagio Reksodiputi. Selain mempelajari penyelenggaraan pemilu, tim kecil ini juga ditugaskan merancang UU pemilu. Selama dua bulan tinggal di India, Supeni menemukan kesamaan kondisi penyelenggaraan pemilu di negeri itu dan di Indonesia. Kedua negara mayoritas rakyatnya masih buta huruf, awam pada model pemilihan langsung, dan sama-sama baru keluar dari penjajahan. Saking banyaknya hal yang didapatkannya dari kunjungan ke India, Supeni sampai membukukannya dengan judul Pemilihan Umum di India, terbit 1952. Pada Oktober 1952, Supeni berangkat ke AS untuk memenuhi undangan pemerintah negeri itu mempelajari pemilihan presiden dan sistem dua partai di sana. Kunjungan selama tiga bulan itu dimanfaatkannya untuk bertemu tokoh-tokoh seperti Dr. Polock (guru besar politik Universitas Michigan), Eleanor Roosevelt, dan League of Women Voters. Kunjungan dan diskusi dengan para tokoh politik itu juga membuahkan buku yang terbit pada 1954, Wanita dan Pemilihan Umum . Setelah kunjungan ke dua negara tersebut, Supeni bersama tim kecil berkonsentrasi membuat rancangan UU pemilu yang kemudian disahkan tahun 1953. Setelah tugasnya selesai, Supeni diangkat oleh menteri Kehakiman dan menteri Dalam Negeri sebagai Ketua Penitia Pemilihan Daerah Jakarta Raya. Kecakapan Supeni dalam memahami pemilu membuatnya dipercaya sebagai Ketua Badan Pekerja Aksi Pemilihan Umum PNI (PAPU PNI). Supenilah otak di balik strategi pemenangan PNI dalam pemilu 1955. Informasi tentang penyelenggaraan pemilu di India dan Amerika dia sebarkan ke kader-kader PNI melalui ceramah dan rapat strategi pemenangan PNI. Hasilnya, luar biasa. PNI menjadi peraih suara terbesar dalam pemilihan anggota DPR. Kemenangan itu membawa Supeni duduk di DPR dan Dewan Konstituante bersama tiga perempuan lain dari Fraksi PNI. Supeni dipercaya menjadi ketua Seksi Luar Negeri di sana. Supeni pula yang ditunjuk mewakili PNI dalam Dewan Konstituante yang rapatnya dilakukan di Bandung.

  • Meluruskan Fakta Pertemuan Soeharto dan Sultan

    LANGIT Kota Yogyakarta sudah gulita. Malam itu, 13 Februari 1949, sekira pukul 11, Lettu Marsudi “menyelundupkan” Overste (letnan kolonel) Soeharto masuk kota dan keraton. Komandan Wehrkreise (WK) III sekaligus komandan Brigade X-Mataramitu dibawa menghadap Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) IX dalam sebuah pertemuan klandestin.

  • Seorang Menak di Garis Depan

    SEJARAWAN Rushdy Hoesein mengenang Achmad Wiranatakusumah sebagai sosok yang menyenangkan. Sebagai narasumber sejarah, Achmad hampir tak pernah menyimpan rahasia tentang segala sesuatu yang pernah dialami dalam hidupnya. Terutama yang terkait dengan kiprah menak Sunda itu di era revolusi. “Saya ingat sebulan sekali dia kerap mengundang saya untuk sekadar sarapan pagi sambil bercerita di sebuah hotel di Jakarta,” ujar Rushdy. Kendati seorang priyayi, Achmad dikenal sebagai seorang egaliter. Lahir di Bandung pada 11 Oktober 1925, putra pertama dari Dalem Bandung R.A.A. Haji Muharam Wiranatakusumah dengan Raden Ayu Sangkaningrat itu sejak remaja bergaul dengan siapa saja tanpa memilah-milah kasta. Bisa jadi itu disebabkan oleh pengaruh sang ibu yang seorang nasionalis sekaligus tokoh perempuan Sunda yang merakyat. “Dia cerita kepada saya bahwa kebenciannya kepada kolonialisme karena cerita-cerita ibunya,”ungkap Rushdy. Membentuk Pasukan Menginjak usia remaja, Achmad bersama saudara dan kawan-kawannya mendirikan sebuah organisasi kepanduan bernama PJT (Padjadjaran Jeugd Troep). Berbeda dengan organisasi kepanduan lainnya di era itu, PJT lebih mengutamakan ketrampilan militer bagi para anggotanya. Secara rutin, PJT mempelajari  cara menggunakan senjata, taktik pertempuran dan survival. “Achmad menyewa seorang sersan Belanda bernama Schouten untuk melatih kemiliteran,” tulis Aam Taram, R.H. Sastranegara, Iip D. Yahya dalam Letjen TNI (Purn) Achmad Wiranatakusumah: Komandan Siluman Merah . Saat militer Jepang menyerang Jawa pada Maret 1942, PJT diperbantukan sebagai pasukan bantuan. Tugas utama mereka adalah memantau pergerakan tentara Jepang di sekitar Bandung. Saat itulah, Achmad sempat memergoki sepasukan KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) yang sudah putus asa dan membuang senjata-senjata itu ke sungai. “Setelah prajurit-prajurit KNIL itu pergi, Achmad dan kawan-kawannya kemudian mengambil senjata-senjata tersebut dan kemudian menyembunyikannya di beberapa gua dan sebagian dikubur di tempat-tempat tersembunyi,”tutur Rushdy. Singkat cerita, pemerintah Hindia Belanda menyerah kepada militer Jepang. Achmad sendiri sempat ditahan oleh Bepang, sejenis unit intelijen militer Jepang, karena ketahuan menyembunyikan senjata. Untunglah senjata-senjata tersembunyi yang diketahui militer Jepang itu hanya sebagian kecil saja. Sebagian besar tetap ada di tempat aman. Senjata-senjata itu baru dibongkar oleh Achmad ketika militer Jepang sudah bertekuk lutut kepada Sekutu pada 14 Agustus 1945. Bermodalkan senjata-senjata itulah, Achmad membentuk sebuah pasukan di Ciwideuy pada 7 Oktober 1945, lengkap dengan seragamnya yang terbuat dari karung goni “kualitas terbaik”. Karena seragam unik itulah ketika pasukan Achmad berbaris menuju Soreang, Bandung, orang-orang menjulukinya sebagai “Pasukan Karung”. Sejarah mencatat Pasukan Karung kemudian banyak terlibat dalam kontak senjata melawan tentara Jepang dan tentara Sekutu di Bandung. Akhir 1946, saat proses evakuasi para prajurit Jepang dan masalah para interniran (tawanan Jepang) sudah selesai, pasukan ini juga terbilang aktif menyerang kedudukan pasukan Belanda. Termasuk ketika mereka menyandang nama baru: Batalyon 26 Brigade Guntur Divisi Siliwangi. Batalyon Siluman Merah Selaku seorang komandan, Achmad tak pernah absen di garis depan. Kendati sangat dekat dengan para prajuritnya, namun layaknya saat memimpin PJT, tradisi disiplin tetap berlaku tanpa kompromi. Karena itu tak heran jika Batalyon 26 yang dipimpin Mayor Achmad Wiranatakusumah diperhitungkan oleh militer Belanda. Para serdadu Belanda mengenal batalyon yang dipimpin Achmad sebagai suatu pasukan yang tak pernah terdeteksi ketika akan menyerang. Pada saat lengah, secara mendadak mereka muncul dengan serbuan yang dasyat dan mematikan. Namun sebelum pasukan Belanda sadar dan bisa berkoordinasi, anak buah Achmad sudah menghilang. Itulah yang menyebabkan militer Belanda menjuluki pasukan Achmad sebagai pasukan siluman. Menghadapi gerakan Batalyon 26 di wilayah Soreang dan sekitarnya, militer Belanda tak mau lagi kecolongan. Mereka lantas berinsiatif memburu kedudukan pasukan Achmad dengan dukungan banyak pasukan dan persenjataan lengkap nan mutakhir. Akibatnya, Batalyon 26 harus mundur ke Gunung Sadu. Di Gunung Sadu, Achmad lantas menasbihkan nama pasukannya dengan nama “Siluman Merah”. Kata “merah” ditambahkan oleh Achmad dari Red Devil. Itu nama kesatuan baret merah resimen pasukan para Inggris. Sebagai lambang, dipilih gambar kepala siluman berwarna merah dengan dasar bintang kuning dan latar hijau. Ster (lambang bintang) mengikuti lambang 2rd Infantry Division Indianhead. Bedanya simbol kesatuan itu yang berupa kepala ketua suku Indian diganti dengan kepala siluman merah yang digambar oleh seorang prajurit Batalyon 26 bernama Oyo Kartawilaya. (Bersambung).

  • Babi dalam Masyarakat Nusantara

    Ketika pengikut Magellan berkunjung ke Tidore, raja meminta kami untuk membunuh semua babi yang kami bawa dalam kapal. Itu demi menunjukkan cinta kami kepadanya. Padahal dalam hal-hal lainnya dia tak begitu taat. Itu meski dia telah lima puluh tahun memeluk agama Islam. Sebagai gantinya, sang raja pun bilang akan memberi kami kambing serta ayam dalam jumlah yang sama. Kami membunuh babi-babi itu demi menyenangkan hatinya dan menggantungnya di bawah dek.  "Kalau orang-orang itu kebetulan melihat babi mereka menutup muka agar tak melihat atau mencium baunya," tulis Pigafetta, penjelajah Venesia, dalam catatannya pada 1524.  Menurut Anthony Reid dalam  Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2 , pada masa lalu pantang makan daging babi adalah isyarat pertama yang paling mencolok jika seseorang taat pada Islam. Padahal babi sudah sejak lama menjadi salah satu sumber protein hewani bagi masyarakat yang hidup di Nusantara. Beberapa jenis babi purba diketahui telah ada di Nusantara sejak ratusan ribu tahun lalu. Di Sangiran misalnya, jenis  Sus macrognathus, Sus brachynathus, Sus terhaari,  dan  Sus stremmi  ditemukan dalam bentuk fosil di lapisan kabuh yang berusia sekira 780.000 tahun. Temuan fosil itu biasanya berupa fragmen gigi dan fragmen tulang kaki. Citranya juga ditemukan di dinding goa di Maros, Sulawesi Selatan. Salah satunya di Leang PattaE Kere, yaitu gambar babi rusa yang bercampur dengan lukisan cap tangan. Diketahui juga hewan itu sudah diternakkan paling tidak sejak 3.500-4.000 tahun yang lalu. Demikian menurut Peter Bellwood, dkk., dalam “A 4000 Year-old Introduction of Domestic Pigs into the Philippine Archipelago: Implications for Understanding Routes of Human Imigration through Island Southeast Asia and Wallacea” yang terbit dalam jurnal  Antiquity tahun 2009. Babi juga terpahat dalam panil relief Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur. "Masyarakat Jawa pada masa itu mungkin telah terbiasa beternak babi," tulis Kresno Yulianto Sukardi, arkeolog Universitas Indonesia dalam "Sumber Daya Pangan Pada Masyarakat Jawa Kuno: Data Arkeologi-Sejarah Abad IX-X Masehi", termuat dalam  Pertemuan Ilmiah arkeologi IV.  Babi dalam relief Karmawibhangga di kaki Candi Borobudur. Babi termasuk dalam daging yang paling banyak tersedia selain ayam dan kerbau. "Babi adalah pengalih yang paling efisien dari padi-padian ke daging. Ia merupakan sumber utama daging di daerah di mana Islam belum masuk," tulis Reid. Nagarakrtagama  yang ditulis Mpu Prapanca pada abad ke-14 menyebutkan jenis daging yang dihidangkan di Keraton Majapahit. Babi liar disebutkan selain daging domba, kerbau, ayam, lebah, ikan, dan bebek.  Menurut berbagai data prasasti babi termasuk dalam daging yang sering dikonsumsi. Di antaranya babi ternak ( celeng ) dan babi hutan ( wok ). Pada masa Jawa Kuno, agama telah membatasi masyarakat dalam kehidupan sosial. Namun, tak berlaku ketat dalam hal makanan. Dalam  Nagarakrtagama  tercatat adanya konsumsi daging yang “tak biasa” di Keraton Majapahit. Hidangan itu tak dihidangkan kepada orang yang taat karena pantangan Hindu. “Santapan terdiri dari daging kambing, kerbau, burung, rusa, madu, ikan, telur, domba, menurut adat agama dari zaman purba, makanan pantangan: daging anjing, cacing, tikus, keledai, dan katak. Jika dilanggar, mengakibatkan hinaan musuh, mati, dan noda,” tulis Mpu Prapanca. Makanan pantangan pun tetap disajikan bagi yang menyukainya dan rupanya digemari rakyat biasa “karena asalnya dari berbagai desa. Mereka diberi kegemaran biar puas…,” kata Prapanca lagi. Tak heran jika kemudian kebiasaan makan babi menjadi hambatan utama masuk Islam. Itu kejadian umum di Asia Tenggara. "Babi adalah sumber daging utama dan unsur utama dalam upacara," sebut Reid. Islam mengharuskan perubahan dalam hal makanan, pakaian, dan gaya rambut. Karenanya pengislaman sering dilihat sebagai perubahan status etnik. "Meninggalkan babi menjadi satu ciri masuknya Islam masyarakat Nusantara, selain menyunat dan meninggalkan berhala," lanjut Reid. Dalam  Hikayat Patani  dari awal abad ke-16 misalnya disebutkan penguasa Patani telah menerima Islam. Hikayat itu menyinggung zaman raja berikutnya, yang membangun masjid pertama, penduduk kota telah dengan mudah meninggalkan kebiasaan makan babi dan benda pemujaan tetapi tetap menyembah pohon, batu, dan roh. Babi pun nampaknya menjadi simbol orang kafir. Mendes Pinto, penjelajah Portugis pada 1578, menyebut raja-raja Aceh dan Demak sebagai pahlawan antikafir. Dikatakan kalau Pahang tak akan membiarkan orang Portugis dimakamkan di daratan.  “Tanah akan menjadi terkutuk dan… tidak ada yang bisa tumbuh lagi karena mayat-mayat belum dibersihkan dari daging babi yang banyak dimakan,” tulisnya seperti dikutip Reid. Pada abad ke-16, orang Makassar terkenal menolak Islam karena babi merupakan sumber daging mereka. Kata Reid, menurut kronik setempat dari Bulo-bulo di daerah Sindjai, distrik ini sempat diajak menerima Islam dengan ancaman perang oleh raja Makassar pada abad ke-17. Seorang penguasa terkemuka setempat pun berkata menantang kalau dia tidak akan memeluk Islam meski sungai penuh dengan darah. Itu selama masih ada babi yang bisa dimakan di hutan Bulo-bulo. "Anehnya, menurut cerita ini, seluruh babi di hutan lenyap malam itu juga. Sang penguasa pun beserta semua pengikutnya harus masuk Islam," tulis Reid. Selain babi, di beberapa tempat, anjing juga dimakan. Itu sangat berbeda dengan kucing, yang tidak pernah dimakan dan sering dipandang setengah suci karena melindungi padi dari hewan pengerat.  Setelah Islam masuk, anjing bersama babi, kodok, dan ular kemudian dipandang sebagai hewan yang haram untuk dimakan. Menurut Reid, larangan atas sumber daging semacam itu, khususnya babi, dinilai mengakibatkan berkurangnya konsumsi protein hewani. "Telah dibuktikan di Borneo pada abad ke-20, orang Dayak Ngaju yang menjadi penganut Islam lebih sedikit makan daging dibandingkan dengan penganut animisme. Itu meski mereka umumnya lebih kaya," tulis Reid. Islam juga mengurangi perlunya pengorbanan hewan dalam ritus penghormatan leluhur. Hal ini pun bisa ikut berperan dalam mengurangi konsumsi protein hewani pada makanan Asia Tenggara di masa yang lebih modern. Sekalipun begitu, bagi Reid, Islam begitu egaliter. Karenanya bisa lebih efektif menerapkan larangan-larangannya. "Terlepas dari popularitas daging babi, semangat pantang bagi orang Islam dalam menghindarinya tampaknya cukup meyakinkan banyak orang yang bukan Islam bahwa daging babi pastilah mengandung sesuatu yang buruk," tulis Reid.

  • Captain Marvel, Antara Nostalgia dan Isu Feminisme

    KEKALUTAN mengacaukan sebuah misi rahasia. Alih-alih menyelamatkan mata-mata, Vers (Brie Larson) dan rekan-rekan militer bangsa Kree justru disergap. Vers sempat ditangkap dan diinterogasi Talos (Ben Mendelsohn), pemimpin bangsa Skrull, tapi lantas bisa melarikan diri meski harus terdampar ke planet C-53 alias bumi. Adegan itu jadi pilihan duet sutradara Anna Boden dan Ryan Fleck untuk membuka film bertajuk Captain Marvel . Keduanya ingin lebih dulu menghadirkan asal-usul sang jagoan yang superhero perempuan terkuat di Marvel Cinematic Universe (MCU) yang berpusar pada rentang masa 1995. Kedatangan Vers di bumi tak pelak menarik perhatian bos agen SHIELD, Nick Fury (Samuel L. Jackson). Walau harus melewati “perkenalan” rumit, Vers dan Fury akhirnya bisa akur dan bertandem untuk meladeni Talos dan anak-anak buahnya yang juga mengejar Vers ke bumi.  Seiring petualangan menghadapi Talos dkk., Vers dan Fury lamat-lamat mendapati pemahamanbahwa apa yang dilakukannya bersama pasukan Kree pimpinan Yonn-Rogg (Jude Law) dalam memerangi bangsa Skrullternyata tak seperti dugaannya. Sepanjang perjalanannya, Vers juga mengetahui bahwa dirinya bukanlah bangsa asli Kree, melainkan bangsa manusia asal bumi bernama Carol Danvers yang sebelumnya merupakan pilot tempur Angkatan Udara Amerika Serikat (AU AS). Untuk lebih detail tentang keseruannya, jauh lebih baik menyaksikannya langsung di bioskop-bioskop tanah air, di mana produksi ke-21 MCU ini sudah tayang sejak 6 Maret 2019. Di film ini juga Anda akan tahu sedikit-banyak tentang mua sal “Avengers Initiative” yang jadi core seri-seri “Avengers”. Jangan pula segera beranjak dari kursi bioskop saat film usai lantaran ada dua adegan post-credit di pengujung film yang akan berkelindan dengan produksi MCU berikutnya yang juga patut dinanti – Avengers: Endgame. Selain apiknya efek visual, film berdurasi 124 menit itu juga akan membawa Anda sedikit-banyak bernostalgia dengan sejumlah hal di era 1990-an. Era 1990-an hadir mulai dari musicscoring , suasana,hingga teknologinya. Eksistensi komputer jadul dengan loading yang leletkala Vers dan Fury mencoba mengakses sebuah CD ( compact disc ),misalnya. CD sudah beredar sejak 1982 meski baru jadi perangkat penyimpanan populer menggantikan floppy disc alis disket pada 2000-an. Di beberapa adegan lain, penonton yang tumbuh di era 1990-anakan dimanjakan selipan-selipan lagu sohor era itu, seperti “Come as You Are” (Nirvana), “Only Happy When It Rains” (Garbage), “Man on the Moon” (REM) hingga “Just a Girl” (No Doubt). Di sisi lain, beberapa pembeda akan sangat terasa ketimbang 20 produksi MCU terdahulu. Selain tetap ada selingan-selingan komedi yang menyegarkan dan menjadi film terakhir dengan (mendiang) Stan Lee sebagai cameo , Captain Marvel sarat akan isu feminisme. Sarat Agenda Feminisme Di negara asalnya, AS, Captain Marvel baru resmi rilis pada 8 Maret 2019, bertepatan dengan Hari Perempuan Internasional. Bukan kebetulan, lantaran jadwal rilis Marvel semula 2 November 2018. Captain Marvel juga menjadi film superhero perempuan solo pertama dari MCU, yang tak mau kalah dari DC Entertainment yang lebih dulu menelurkan Wonder Woman (2017). MCU selama ini hanya menghadirkan para jagoan perempuan macam Black Widow, The Wasp, Shuri, Scarlet Witch , atau Valkyrie sebagai sidekicks . Dalam 20 produksi sebelum Captain Marvel, MCU juga belum pernah mempercayakan penggarapannya pada sineas perempuan. “(Captain Marvel) ini jadi film pertama dengan karakter utama jagoan perempuan dan yang pertama digarap sutradara perempuan (Anna Boden). Tentu ini pertaruhan yang besar tapi film ini sangat layak dinanti. Paketan dua jam tentang pemberdayaan perempuan dengan kekuatan visual yang Anda harapkan dari sebuah blockbuster Marvel,” ungkap Patricia Puentes dalam ulasannya di CNET , Minggu (10/3/2019). Dalam salah satu adegan, Anna Boden menggambarkan bagaimana diskriminasi gender pernah dialami Carol Danvers dalam masa lalunya saat menjalani orientasi untuk menjadi pilot perempuanAU AS. Dalam riset dan pendalamannya, Brie Larson, pemeran Carlon Danvers, berkonsultasi langsung dengan para pilot tempur AU AS dan Brigjen Jeannie Leavitt, perempuan pilot AS pertama yang mendobrak hegemoni kaum adam pada 1993. Para pemeran film Captain Marvel bersama Brigjen Jeannie Leavitt (Foto: defense.gov) “Saya sangat respek tentang betapa seriusnya dia (Brie Larson) mendalami perannya. Dalam film, mereka bekerjasama sebagai sebuah tim dan itu yang kami lakukan di AU. Memiliki teladan yang positif, seseorang yang bekerja keras dan berjibaku demi kebebasan dan keadilan, itu yang kami lakukan di AU dan Captain Marvel menjadi role model yang patut dicontoh para pilot muda kami,” ujar Brigjen Leavitt di situs Kemenhan AS, defense.gov , 8 Maret 2019. Satu dari Sekian Versi Karakter Captain Marvel merupakan karya mendiang Stan Lee dan ilustrator Gene Colan. Sosoknya pertamakali dimunculkan dalam komik Marvel Super-Heroes edisi ke-12 pada Desember 1967. Tom DeFalco dan Gilber Laura dalam Marvel Chronicle: A Year by Year History mengungkapkan, versi pertama Captain Marvel bukanlah seorang manusia bernama Carol Danvers, melainkan pahlawan alien laki-laki yang dijuluki Captain Mar-Vell. “Captain Mar-Vell adalah perwira militer Kree yang dikirim sebagai mata-mata ke bumi. Tetapi kemudian oleh Kree dia dianggap pengkhianat dan seterusnya bertarung melindungi bumi dari segala ancaman jahat dari lain semesta.” Hingga kini, setidakada tujuh versi Captain Marvel. Khusus di film ke-21 MCU, karakter yang diambil adalah versi Carol Susan JaneDanvers yang aslinya punya julukan Ms. Marvel, buah karya penulis Roy Thomas yang didampingi ilustrator Gene Colan. Carol Danvers muncul pertamakali di komik Marvel Super-Heroes edisi ke-13 pada Maret 1968, sebagai kepala keamanan pangkalan udara AU Cape Canaveral. Danvers mendapatkan kekuatannya setelah DNA-nya terpapar ledakan peralatan teknologi yang sedang dikembangkan Dr. Walter Lawson alias Captain Marvel, ilmuwan alien Kree yang menyamar di bumi. Captain Marvel edisi awal (1968) dengan seragam superhero berwarna perak dan hijau ciptaan Roy Thomas Tapi seperti yang diketahui bersama, produser tim penulis (Nicole Perlman dan Meg LeFauve) justru membawa karakter Danvers sebagai Captain Marvel itu sendiri meski basis ceritanya tetap mengacu pada versi Carol Danvers ciptaan Roy Thomas. Terkait improvisasi ini, Roy Thomas mengaku tak keberatan. “Saya mengenalkan sosoknya (Carol Danvers) sebagai kepala keamanan di Cape Canaveral, namun identitasnya (dalam film) sebagai pilot tempur masih masuk akal. Mulanya aneh melihat karakter yang saya ciptakan bersama Gene Colan dikembangkan setelah 50 tahun oleh orang-orang berbakat, sampai dia menjadi pahlawan utama Marvel. Tapi mereka patut dipuji dan saya senang bisa memberi sesuatu (karakter Carol Danvers) untuk bisa mereka kembangkan,” tutur Roy Thomas saat diwawancara Majalah Trip Wire , 13 Februari 2019.

  • Perempuan dalam Pemilu Pertama

    MENJELANG pemilu nasional pertama, 1955, beragam manuver politik dilakukan partai politik. Salah satunya, usaha menjaring pemilih perempuan. Beberapa partai politik mengambil cara dengan membentuk organisasi sayap perempuan. Partai Murba membentuk Perwamu (Persatuan Wanita Murba), Partai Kebangsaan Indonesia mendirikan Parkiwa (Partai Kebangsaan Indonesia bagian Wanita), Partai Indonesia Raya membentuk Wanita Nasional, dan Wanita Demokrat Indonesia berafiliasi dengan PNI. “Setelah Pemerintah RI kembali ke Jakarta, partai politik mengadakan perkumpulan-perkumpulan wanita. Mungkin untuk membantu perolehan suara dalam pemilihan umum,” kata Sujatin Kartowijono dalam memoarnya Mencari Makna Hidupku . Organisasi sayap perempuan ini bertugas memperkenalkan partai pada kelompok-kelompok perempuan dan menyebarluaskan ideologi mereka. Kegiatan yang dilakukan beragam, seperti bakti sosial atau kegiatan perkumpulan perempuan di kampung-kampung. Usaha kedua, seringnya cukup efektif lantaran anggota yang kadung masuk akan merasa sungkan bila tidak memilih partai yang berafiliasi dengan organisasinya. Keaktifan organisasi perempuan sayap partai ditambah dengan rutinnya mereka bersinggungan dengan rakyat bawah otomatis membuat citra partai menjadi baik di mata rakyat. Rakyat yang terkesan kemudian menyumbangkan suara mereka dalam pemilu. “Suara rakyat ini menjadi jalan utama partai untuk mendudukkan wakilnya yang mayoritas laki-laki di parlemen, padahal kerja-kerja akar rumput tersebut dilakukan oleh perempuan,” tulis Saskia Eleonora Wieringa dalam Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia. Organisasi sayap perempuan yang sudah dibentuk jauh sebelum pemilu 1955, seperti Aisyiyah dan Wanita Katolik, juga digunakan untuk mendulang suara. Aisyiyah yang berada dalam naungan Muhammadiyah, menjadi agen kampanye Masyumi sebagai wadah politik organisasi Islam. Pun dengan Wanita Katolik yang merupakan sayap perempuan Partai Katolik. Selain pembentukan sayap perempuan, partai politik juga menjalin relasi dengan organisasi perempuan yang ada. Sukanti Suryochondro dalam Potret Pergerakan Wanita Indoesia menyebut PKI menjadi dekat dengan Gerwani (semula bernama Gerwis) menjelang pemilu 1955. Kedekatan antara parpol dan organisasi perempuan tak semata untuk penjaringan suara. Kanal-kanal ini menjadi perantara suara-suara perempuan dalam politik. Beberapa anggota Gerwani, seperti Nyonya Mudikdo dan Umi Sarjono, masuk DPR dari Fraksi PKI. Bhayangkari, organisasi istri polisi, juga mendapat jalan untuk menyalurkan suaranya. Bhayangkari memang memutuskan tidak ikut pemilu 1955 secara mandiri melainkan berkampanye untuk angkatan kepolisian. Sebagai imbalan dari dukungan Bhayangkari, kepolisan menambahkan tiga butir tuntutan dalam kampanye mereka: UU perkawinan yang adil, menolak Peraturan Presiden No. 19 tahun 1952 tentang Uang Pensiun Janda PNS, dan pembuatan lembaga pengadilan anak. Berbeda lagi dengan Perwari yang sejak semula tak mau ikut andil dalam pemilu. Alih-alih merapat ke partai politik seperti Gerwani, Perwari mengirimkan program perjuangan yang berisi penghapusan buta huruf, pembentukan UU perkawinan yang adil, dan kesejahteraan nasib buruh ke 15 parpol. Namun hanya PSI dan PNI yang menyetujui program tersebut. Meski secara organisasi Perwari tidak mendekat ke partai mana pun, beberapa anggota Perwari masuk ke PNI. Supeni, yang kemudian hari menjadi duta besar RI keliling, salah satunya. Dalam tubuh PNI, Supeni duduk sebagai Ketua Badan Pekerja Aksi Pemilihan Umum PNI (PAPU PNI). Tugasnya mengunjungi daerah-daerah untuk memberi penjelasan tentang pemilu. Seringkali Supeni memberi ceramah politik pada kader-kader PNI tentang tata cara kampanye untuk memenangkan PNI dalam pemilu. Hasilnya tak sia-sia, PNI menjadi partai dengan suara terbesar dalam pemilu. Namun, pemilihan umum itu mengecewakan kaum perempuan karena sangat sedikit wakil perempuan yang dipilih. Dari 257 kursi di DPR, hanya ada 19 perempuan yang terpilih, yakni 4 orang dari PNI dan Masyumi, 5 dari NU, serta 1 dari PSI.

  • Razia Homoseksual Zaman Kolonial

    Tiga perempuan ditetapkan sebagai tersangka karena kampanye hitam. Dalam video yang viral, mereka menyebut jika Joko Widodo terpilih kembali menjadi presiden maka azan akan dilarang dan LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) akan dilegalkan. Selama ini memang kelompok LGBT mendapat penolakan dari berbagai kalangan dalam bentuk aturan yang diterbitkan pemerintah-pemerintah daerah, persekusi, pemidanaan, pembubaran acara, dan sejumlah kekerasan lainnya. Penolakan itu dengan berbagai alasan. Mulai soal moral, penyebab bencana, sampai keyakinan kalau kelompok LGBT telah dirasuki jin sehingga harus di- ruqyah . Upaya menghapus kelompok LGBT dari masyarakat bukan hal baru di Indonesia. Pemerintah kolonial Belanda bahkan membentuk satuan khusus Polisi Susila (z edenpolitie ) untuk menangkap pria-pria homoseksual. Peristiwa itu dikenal sebagai Skandal Susila ( zedenschandaal ). Sejarawan Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda, menulis antara Desember 1938 dan Mei 1939, polisi di seluruh Hindia Belanda menggelar operasi besar-besaran terhadap lebih dari 200 pria. Kebanyakan mereka adalah warga Eropa, termasuk di dalamnya pejabat tinggi. Mereka dicurigai bersalah karena berhubungan seks dengan anak laki-laki di bawah umur. Perbuatan itu, baik di Hindia Belanda maupun di Belanda, diancam pidana. Sekalipun larangan demikian sebenarnya sudah berlaku sejak 1918. Dari 223 yang ditahan, 171 dinyatakan terbukti bersalah. Mereka dijatuhi hukuman. Koran-koran dengan penuh perhatian mengikuti razia kaum homoseksual itu. Sebab, sebelumnya belum pernah digelar operasi besar-besaran semacam itu. “Aksi itu dalam pemberitaan dirujuk sebagai aksi atau operasi pembersihan rumah besar-besaran, pembersihan akhlak, atau proses pembersihan,” tulis Marieke. Secara formal, razia polisi memang menyasar pria yang berhubungan badan dengan anak laki-laki di bawah umur (di bawah 21 tahun). Karena ini memang diatur dalam Pasal 292 Wetboek van Strafrecht  (Kitab Undang-Undang Pidana Hindia Belada). Pedofilia adalah tindak pidana.  Namun, menurut Marieke sebenarnya operasi ini memberikan kewenangan kepada polisi untuk memberantas homoseksualitas. Pasalnya, sebelum 1938 jarang orang dituntut karena hal itu. “Kemudian sangat jelas pula kalau sasaran kepolisian umumnya adalah para homoseksual, khususnya pria,” tulis Marieke. Sebelumnya, meskipun masyarakat memandang berdasarkan norma Kristiani sebagai tidak alamiah, abnormal, dan haram, homoseksualitas di Hindia Belanda dibiarkan saja. Homoseksual tidak termasuk perbuatan yang diancam pidana.  Persoalan moral yang didengungkan sebelum 1938 lebih menargetkan praktik  prostitusi yang terkait perdagangan perempuan dewasa dan anak. Baru setelah dibentuk Polisi Susila, kaum homoseksual menjadi sasaran utama. "Homoseksualitas dipandang tidak hanya sebagai aib yang mencemari akhlak mulia masyarakat, namun juga dimaknai sebagai suatu kejahatan," tulis Marieke. Polisi Susila dibentuk pula di sejumlah kota. Ia menjadi bagian dari reserse. Di Surabaya misalnya, prakarsa pembentukannya datang dari pejabat menengah dan tinggi kepolisian yang beranggapan bahwa kesusilaan umum adalah ciri masyarakat modern. Sej umlah dokter spesialis juga menulis artikel terkait dengan penyimpangan perilaku seksual.  “Sikap lemah lembut dan halus yang diasosiasikan dengan homoseksual tentu saja dianggap tidak pantas bagi sarana kekerasan yang sekaligus mencitrakan wajah negara kolonial,” tulis Marieke. Homoseksual juga ternyata ada di lingkungan kepolisian. Ada empat pejabat polisi menjadi terdakwa, ditahan, dan dituntut. Tiga darinya dibawa ke pengadilan dan dijatuhi hukuman.  “Bagi kepolisian, skandal kesusilaan itu mebuka peluang untuk menunjukkan bukan kelemahannya, namun justru kekuatan dan akhlak mulianya. Dengan cara itu pula, kekuatan dan akhlak mulia dari negara,” tulis Marieke. Antihomoseksual dan Politik Skandal kesusilaan di Hindia Belanda tak berdiri sendiri. Skandal serupa muncul juga di tempat lain pada 1930-an. Di Malaya-Inggris, Belanda, dan Jerman-Nazi. “Meski dengan skala berbeda, semuanya menunjukkan kemiripan pola,” catat Marieke. Menurutnya, aksi perburuan homoseksual muncul dalam periode ketidakpastian politik ekonomi. Ditambah lagi, masyarakat tengah terpecah oleh pertentangan politik internal yang tajam. Ketika sentimen antihomoseksual meruak di Belanda, pengaruh Nazi tengah merasuk. Banyak pejabat tinggi Belanda bersimpati pada pandangan politik Nazi, termasuk soal kebencian mereka terhadap kaum homoseksual. Sentimen antihomoseksual itu pun terbawa ke negara jajahannya, bahkan lebih masif. Menurut sejarawan Onghokham,kampanye itu tak sepenuhnya bisa dilaksanakan di Belanda karena harus berhadapan dengan masalah hak asasi kelompok borjuis yang sedang tumbuh. Sementara di Hindia Belanda, para elite politik Belanda bisa menerapkan kebijakan dan politik yang berkedok pada moralitas puritan itu. “Di koloni, politik represif itu dapat dilancarkan tanpa kritik dan tantangan yang berarti dari pemerintah kolonial,” tulis Onghokham dalam “Kekuasaan dan Seksualitas,” Prisma , Juli 1991. Aksi Polisi Susila kemudian terkesan berkaitan dengan persaingan dan perebutan kekuasaan. Mulanya aksi itu menyasar pejabat-pejabat tinggi atau anggota partai-partai politik. Berawal dari desas-desus kemudian ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung dugaan itu.   Ditambah lagi pemikiran masyarakat umum yang memandang homoseksualitas sebagai kelemahan dan kelembekan karakter laki-laki. Maka, pria homoseksual dianggap tak layak diberi kepercayaan untuk mengemban tugas memimpin masyarakat di zaman yang penuh ketidakpastian saat itu. Dari kurun waktu kemunculannya, gerakan antihomoseksual di Hindia Belanda dan Jerman seolah muncul saling bersambungan. Di Jerman, homoseksual menjadi musuh negara. Perburuannya sejak 1936 menjadi kebijakan resmi negara.

  • Bandit-bandit Kakap Batavia dan Sekitarnya

    BELUM hilang kenangan penduduk tentang sosok Si Tjonat, Si Pitung, dan Si Ronda, penduduk Batavia dan Ommelanden  mesti berkarib lagi dengan sosok bandit lainnya. Mereka adalah Si Gantang, Si Kesen, dan Si Oesoep. Nama mereka sohor sepanjang 1900-1930-an.

  • Monumen yang Ternoda

    SETELAH jadi sasaran aksi vandalisme pada Jumat (15/2/19), sekira 25relief di Monumen Serangan Umum 1 Maret,Kompleks Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta sudah kembali tampak kinclong pada 4 Maret 2019. Hal itu dikarenakan tim Konservator Museum Benteng Vredeburg yang dipimpin Darsono langsung bergerak cepat membersihkannya. “Kurang lebih seminggu kita bersihkan dengan berbagai cara. Karena noda catnya sudah lengket sekali, satu-satunya cara kami cat ulang. Tapi di bagian penyangga selasar dan patung tidak kami cat karena itu terbuat dari batuan andesit. Kami kesulitan meski sudah kami coba pakai minyak. Pakai pengencer cat juga kurang maksimal, pun begitu dengan semprotan air bertekanan tinggi. Catnya sudah masuk ke pori-pori batu,” terang Darsono kepada Historia. Aksi tak terpuji itu jelas merugikan. Pasalnya, benda yang jadi sasaran merupakan benda bersejarah. “Kita tidak bisa menghitung kerugian karena itu merupakan bagian sejarah yang sangat penting yang ada di Yogya. Semua pihak, termasuk Gubernur Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) X turut prihatin. Beliau berpesan, agar ke depannya jangan terulang lagi bagaimanapun caranya,” sa mbu ng nya. Tim Darsono mengebut pembersihan itu lantaran plasa monumen akan dijadikan tempat upacara sebagai salah satu rangkaian peringatan 70 tahun Serangan Umum pada Jumat, 1 Maret 2019. Meski belum 100 persen, sekira 25 relief itu sudah tampak kinclong pada Minggu (4/3/19) lalu. Di Balik Monumen 1 Maret Gagasan TNI manunggal dengan rakyat sangat terlihat dari lima patung yang ada di Monumen 1 Maret:tiga sosok tentara bersenjata diapit dua sipil. Sementara di 25 relief di bawahnya, dituturkan Darsono, mengisahkan perang gerilya pasca-Agresi Militer Belanda II dan Serangan Umum 1 Maret 1949. “Karena Serangan Umum (1 Maret 1949) itu di Yogya merupakan peristiwa yang sangat heroik. Apalagi peringatannya kini sedang diajukan Dinas Kebudayaan Provinsi DIY ke pemerintah pusat, untuk dijadikan hari besar nasional,” paparnya. Monumen yang dibuat lima tahun setelah Soeharto menjadi presiden itu merupakan karya Saptoto, seniman yang juga membuat Monumen Pancasila Sakti. “Monumen, patung, dan reliefnya dibuat seniman dari ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) Saptoto. Dibuatnya ya dari permintaan tokoh-tokoh seperti Pak Harto dsb.,” lanjut Darsono. Bagian selasar dan penyangga patung di Monumen 1 Maret yang belum bisa dibersihkan (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Soeharto berperan besar dalam pembangunan monumen yang menelan biaya sebesar Rp20.870.000,00 itu. Sebagaimana dicatat RB Soegiantoro dalam “Pengalaman Semasa Gerilya”, termuat di Warisan (daripada) Soeharto , dia menyumbang Rp5 juta. Begitu pembangunan rampung, Soeharto turun tangan meresmikannya. “ Tepatnya 1 Maret 1973 , diresmikan langsung oleh Soeharto ,” ujar Darsono. Dalam peresmiannya, Soeharto untuk kali pertama berbagi kisah pengalamannya bergerilya di luar kota Yogyakarta selaku komandan Brigade X-Mataram berpangkat overste (letnan kolonel), kepadapublik. Selain baku tembak untuk menahan ofensif Belanda di Kampung Nyutran pada 19 Desember 1948 (Agresi Militer II), dia juga menceritakan upayanya menyerang Belanda 10 hari setelah Yogyakarta direbut Belanda, dan nyaris tertangkap Belanda di Imogiri medio Februari 1949. “Persis jam satu malam, rumah yang saya tempati dilewati kompi Belanda yang akan menyerang Imogiri. Tapi entah mengapa, satu jam sebelumnya lampu yang ada di muka rumah tiba-tiba mati. Sehingga musuh tidak tahu. Rumah itu terletak antara Kotagede dan Imogiri,” kenang Soeharto. Soeharto juga menceritakan tentang inspeksi terakhirnyake sejumlah basis pasukan republik pada malam 29 Februari 1949 jelang serangan umum. “Anak buah saya percaya bahwa saya kebal peluru. Sekalipun tidak benar, tapi saya tidak membantahnya. Karena dapat membantu menyusun moril prajurit-prajurit,” lanjutnya. Upacara peresmian monumen itu ditutup dengan penyalaan api perjuangan yang apinya diambil dari Desa Bibis, Bantul. Di masa revolusi, desa itu jadi markas Soeharto di luar kota. “Sejak peresmian, mulanya monumen itu berada di bawah pengawasan dan pemeliharan diserahkan oleh pihak Gedung Agung (Istana Kepresidenan Yogyakarta), bukan Museum Benteng Vredeburg. Dulu itu sempat tak terawat, banyak rumput panjang di sekitarnya. Mulai tahun 2000 pengelolaannya diserahkan ke museum karena memang masih di areal museumsehingga sekarang sudah bisa terkondisikan dan dinikmati pengunjung,” kataDarsono. Monumen Indoktrinatif Sosok Soeharto begitu menyolok di mayoritas relief itu ketimbang figur-figur lain macam Sukarno, Sri Sultan HB IX, atau Panglima besar Sudirman. Di tiga adegan terakhir relief bahkan terpahat gambar-gambar yang mendeskripsikan Soeharto sebagai “Bapak Pembangunan” saat sudah menjadi Presiden kedua RI. Monumen dan relief ini hanyalah satu dari sejumlah proyek Seminar Angkatan Darat III pada 1972. Seminar ini, menurut Katharine E. McGregor dalam Ketika Sejarah Berseragam , merupakan upaya pertama framing peran militer dalam revolusi kemerdekaan. Utamanya, framing politis berbalut motif Jawa kuno terkait sosok Soeharto sebagai penguasa rezim Orde Baru. Sekira 25 adegan relief di selasar Monumen Serangan Umum 1 Maret (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Selain lewat pembangunan monumen, upaya framing dilakukan dengan pembuatan beberapa film perjuangan, termasuk Janur Kuning (1979) yang sangat mempahlawankan Soeharto. “Salah satu instruksi yang diberikan oleh Seminar Angkatan Darat 1972 kepada militer ialah agar mereka mengedarkan versi mereka sendiri melalui museum, monumen, film dan buku pelajaran sekolah,” tulis McGregor. Detail-detail di berbagai monumen maupun relief yang dibuat, dengan demikian, merupakan medium penyampai pesan politis penguasa. Semisal, lima patung yang menggambarkan seorang prajurit, pelajar, pedagang, petani, dan perempuan sebagai perwakilan golongan dalam revolusi kemerdekaan. Lalu, patung singa perlambang angka satu (tanggal satu), patung api berlidah tiga dengan makna bulan tiga atau Maret, tulisan Jer Basuki Mawa Beya yang berarti kemenangan membutuhkan pengorbanan, serta Tetesing Ludiro Kusumoning Bawono yang merujuk angka 1949.  “Relief di monumen juga sebagai cara memberikan narasi historis kepada pesan utama monumen, atau untuk mengendalikan tafsiran-tafsiran terhadap pesan monumen. Pesan terkait peran Soeharto dalam Serangan Umum dan kembalinya (panglima) Sudirman ke Yogyakarta (dari gerilya),” tambah McGregor.

bottom of page