Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Prabowo di Mata Soe Hok Gie
KENDATI terpaut usia yang agak jauh (9 tahun), tak banyak orang tahu kalau Prabowo Subianto dulu sempat berteman akrab dengan tokoh demonstran 1966, Soe Hok Gie. Perkawanan itu terjalin bisa jadi karena keterlibatan Gie dalam gerakan bawah tanah anti Sukarno yang digalang secara rahasia oleh orang-orang PSI (Partai Sosialis Indonesia).
- Akar Perlawanan Ken Angrok
HAMPIR sembilan abad yang lalu, Raja Jayabhaya memberikan anugerah kepada Desa Hantang dan 12 dusun yang masuk ke dalam wilayahnya. Hak-hak istimewa dilimpahkan kepada para penduduk. Sebab mereka telah berbakti kepada raja saat perang perebutan takhta. Mereka setia memihak paduka raja. Kisah itu tertoreh dalam Prasasti Hantang (1057 Saka/1135 M). Peristiwa itu dinilai awal tragedi Ken Angrok, pendiri Kerajaan Singhasari, dan keturunannya. Perebutan kekuasaan antara trah Ken Angrok dan Tunggul Ametung mewarnai jalannya pemerintahan di tanah Jawa, bahkan hingga era Majapahit akhir. “Jadi, sebenarnya perseteruan itu memang buntut panjang dari peristiwa dari masa sebelumnya. Mengapa ada perseteruan dari sebelum masa hidup keduanya (Ken Angrok dan Tunggul Ametung, red .)?” kata arkeolog Dwi Cahyono. Dwi menjelaskan, dalam Prasasti Hantang yang dikeluarkan Raja Jayabhaya pada masa keemasan Kadiri atau Pangjalu, terdapat tulisan Pangjalu jayati yang berarti Pangjalu menang. Ini tanda peristiwa perebutan takhta, Jayabhaya memperoleh kemenangan kemudian menyatukan Janggala di bawah Kadiri. Dalam prasasti itu juga diberitakan kemenangan Pangjalu atas Hemabhupati yang ditafsirkan sebagai kakak dari Jayabhaya. Dia melawan karena enggan mengakui kekuasaan Kadiri. Menurut Dwi, apa yang dilakukan Hemabhupati berhubungan dengan Ken Angrok. Keduanya terlibat dalam usaha yang berkelanjutan, yaitu membebaskan wilayah timur Gunung Kawi dari cengkeraman penguasa Kadiri. Kata panual dalam Prasasti Hantang menunjukkan hal itu. Dalam bahasa Jawa baru, kata panual menjadi uwal , artinya terlepas dari ikatan. “Hemabhupati berusaha melakukan panual. Dia berusaha memisahkan timur Gunung Kawi dari klaim Kadiri, karena itu dia diserang dan kalah,” jelas Dwi. Selanjutnya, nama Hantang yang kini muncul di sebuah Kecamatan bernama Ngantang, Kabupaten Malang. Sekarang, letaknya di tengah antara Kediri dan Batu. “Di sebelah baratnya Batu, dan timurnya adalah wilayah Kediri. Di tengah-tengah. Jadi sangat mungkin kemenangan (Jayabhaya, red. ) ada di sebelah timur Hantang, yaitu di timur Gunung Kawi,” kata Dwi. Serangan pertama kemungkinan datang dari arah Kadiri. Bergerak ke timur, lalu diadang pasukan Hemabhupati. “Sehingga tak sampai ke wilayah timur Gunung Kawi, tapi bertemu di tengah, yaitu Hantang,” jelasnya. Artinya, Hemabhupati merupakan penguasa di wilayah timur Gunung Kawi, atau sekarang wilayah Malang Raya. Bisa jadi wilayah kekuasaannya bernama Tumapel. Daerah inilah yang dikalahkan oleh Pangjalu. Sementara dalam Pararaton , daerah itu merupakan zona jelajah Ken Angrok. “Mungkin penguasa di Malang Raya waktu itu adalah raja Janggala atau bawahan raja Janggala. Belum tahu persis,” kata pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang itu. Semenjak itu, wilayah timur Gunung Kawi pun posisinya menjadi daerah pendudukan Kadiri. Kadiri lalu menempatkan utusannya sebagai penguasa di daerah pendudukan itu. Setelah berita dari tahun 1135 itu, kelanjutannya tak begitu jelas, sampai 63 tahun kemudian muncul Prasasti Ukir Nagara atau Prasasti Pamotoh (1120 Saka/1198 M). Prasasti ini dikeluarkan penguasa Kadiri lainnya, Raja Kertajaya. Isinya pemberian anugerah sima bagi beberapa desa. “Ada yang di lembah Kali Metro, Lembah Brantas, atau daerah antara dua aliran ini, sebagai perdikan. Pada masa yang sama Kadiri juga memberikan anugerah perdikan ke wilayah Trenggalek, Tulungagung, terutama di selatan, dan juga Blitar, bahkan sampai Blitar timur,” sebut Dwi. Pemberian status perdikan itu dalam rangka menarik kembali dukungan kepada Kadiri. Pasalnya, disinyalir banyak daerah bawahan berupaya melepaskan diri dari kekuasaan Kadiri. Buktinya muncul di Prasasti Sirah Keting (1126 Saka/1204 M). Menurut arkeolog Balai Arkeologi Sumatra Utara, Churmatin Nasoichah dalam tulisannya “Pembacaan Angka Tahun Prasasti Sirah Keting dan Kaitannya dengan Tokoh Sri Jayawarsa Digwijaya Sastraprabhu” termuat dalam Jurnal Purbawidya Vol.6 , prasasti itu ditemukan di Ponorogo, diterbitkan oleh Sri Jayawarsa, penguasa daerah Wengker, Ponorogo. Dalam prasasti itu, Jayawarsa menyebut dirinya keturunan Sri Isana Dharmmawangsa Tguh. Melihat angka tahunnya, bisa diperkirakan Jayawarsa bukanlah penguasa Kadiri. Pasalnya, ketika itu Kertajaya masih berkuasa di Kadiri. Jayawarsa adalah anggota keluarga Raja Daha yang diberikan daerah lungguh di Wengker, atau sekarang wilayah Ponorogo. Dia merasa cukup kuat untuk melepaskan diri dari kekuasaan kemaharajaan di Daha. Prasasti itu bahkan secara khusus memuji Jayawarsa sebagai jelmaan Dewa Wisnu. Dia dibuat untuk memperingati masa pemerintahan raja yang telah berlangsung selama seribu bulan. “Ini menujukkan adanya daerah yang semi otonom terhadap Kadiri. Jadi, Ponorogo bergolak. Tulungagung selatan, Trenggalek, Tulungagung, Blitar, sampai Malang juga mulai bergolak,” ujar Dwi. Pergolakan itu berlanjut sampai peristiwa yang diterangkan Pararaton, yaitu kisah Ken Angrok. Setelah menggulingkan penguasa Tumapel, Tunggul Ametung, dia memenangkan pertempuran melawan Kadiri di Ganter pada 1222 M. “Jadi, kalau Hemabhupati mengalami kekalahan dari Kadiri di Hantang, keberhasilan itu baru didapat pada masa Ken Angrok sebagai penguasa Tumapel yang menang melawan Kadiri,” jelasnya. Menurut Dwi, Angrok adalah tokoh perlawanan. Dia tokoh yang kembali berusaha memisahkan wilayah timur Gunung Kawi dari Kadiri. Bahkan bisa dikatakan, peristiwa Ken Angrok adalah peristiwa kudeta. Dia telah melibatkan masyarakat yang lebih luas daripada pergerakan sebelumnya. Sejak muda, Ken Angrok sudah mulai membangun jaringan masyarakat antardesa yang merasa tak sejalan dengan penguasa Kadiri. Termasuk kepada bawahannya yang berkuasa di Tumapel, Tunggul Ametung. Ken Angrok berhasil menghimpun berbagai kekecewaan masyarakat. Di antaranya dari kalangan agamawan Buddha dan Waisnawa sampai pencuri dan perampok. Maka, menurut Dwi, apa yang tercatat dalam Pararaton tentang kisah Ken Angrok bukanlah perkara sederhana. Dia bukan cuma mewakili dirinya sendiri sebagai anak nakal yang mengalahkan seorang penguasa. Namun, pergerakannya melibatkan kekuatan besar. “Artinya, perseteruan Kadiri dan Tumapel sudah terjadi sejak masa yang panjang. Bukan hanya ketika ada Angrok. Ini buntut saja,” jelas Dwi. Namun, belum pasti apakah pergerakan Ken Angrok itu secara terorganisir merupakan pergerakan lanjutan dari yang sebelumnya telah terjadi.*
- Peluru Nyasar ke Gedung DPR
GEDUNG DPR RI menjadi sasaran peluru nyasar pada 15 Oktober 2018. Peluru dari senjata jenis Glock 17 itu mengenai ruang kerja (1313) anggota Fraksi Golkar, Bambang Heri Purnomo, dan ruang kerja (1601) anggota Fraksi Gerindra, Wenny Warouw. Polisi menetapkan dua tersangka yang bekerja sebagai PNS Kementerian Perhubungan dan bukan anggota Perbakin (Persatuan Menembak Sasaran dan Berburu Indonesia). Dua hari kemudian, 17 Oktober 2018, peluru nyasar kembali ditemukan di ruang kerja (1008) anggota Fraksi Demokrat, Vivi Sumantri Jayabaya; dan retakan di kaca ruang kerja (2003) anggota Fraksi Partai Amanat Nasional, Totok Daryanto, tapi pelurunya belum ditemukan. Peluru nyasar bukan kali ini saja terjadi. 19 tahun lalu peluru nyasar menggegerkan para politikus Senayan. Majalah bulanan DPR, Parlementaria No. 28 Th. XXXI, 1999, sampai menurunkan tulisan berjudul “Penembak Gelap Mulai Incar Anggota DPR Vokal: Orang Mau Celaka Itu Tak Lihat Tempat.” Pada 7 Februari 1999, peluru ditemukan di ruang kerja (1601) anggota Fraksi PPP Suryadharma Ali. Ketika bekas tembakan itu ditemukan, dia tidak berada di tempat. Dia sedang membacakan pemandangan umum fraksinya terhadap RUU Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, RUU Rahasia Dagang dan RUU Desain Industri di Sidang Paripurna DPR. Bekas tembakan itu ditemukan tak sengaja. Chaeruddin, staf Suryadharma Ali, curiga dengan serpihan kaca di meja kerja, sofa panjang termasuk karpet. Dia lalu mencari asal serpihan kaca tersebut dan melihat lobang berdiameter 3 mm persis di tempat duduk Suryadharma Ali. “Mungkin karena penembaknya orang terlatih, maka bekas tembakan itu mengarah tepat di bagian belakang kepala calon korban,” tulis Parlementaria . Chaeruddin segera melapor ke pimpinan Fraksi PPP. Sekretaris Fraksi PPP Endin AJ Soefihara dan wakilnya, Achmad Farial, disertai beberapa petugas Pamdal (pengamanan dalam) DPR memeriksa ruang kerja Suryadharma Ali. Setelah melakukan pemeriksaan, petugas Pamdal menyampaikan bahwa lobang yang terletak persis di belakang kepala Suryadharma Ali berasal dari tembakan senjata api laras panjang. Proyektil sepanjang 1,5 sentimeter ditemukan nyangkut di lampu neon. Barang bukti itu diserahkan ke polisi untuk diteliti di laboratorium forensik Mabes Polri. Dari jenis pelurunya, Endin merasa tak mungkin tembakan itu datang dari lapangan tembak Senayan, tempat latihan menembak. Ini pasti senjata laras panjang. Menurutnya, tembakan itu mungkin dari gedung bertingkat –seperti Hotel Mulia– yang bisa saja digunakan penembak jitu mengarahkan moncong senjata ke calon korban. Kendati demikian, dia berharap mudah-mudahan hanya peluru nyasar. Endin tak tahu apakah penembakan itu ada kaitannya dengan pernyataan keras Suryadharma Ali soal bisnis panti pijat beberapa hari sebelumnya. Dia minta pengamanan ditingkatkan, jangan sampai ada anggota DPR yang mati konyol. “Kita jadi heran, kenapa teror terhadap FPPP akhir-akhir ini makin meningkat. Sesudah anggota kita, Tengku Nashiruddin Daud ditemukan tewas di Pancurbatu, Sumatra Utara, kok kini ancaman diarahkan ke anggota yang lain,” ujar Endin masih dalam Parlementaria . Sementara itu, Suryadharma Ali mengaku tak punya musuh dan selama ini berusaha baik kepada siapa pun. Dia juga mengaku tak pernah diteror, baik melalui telepon, didatangi atau lewat surat kaleng. Suryadharma Ali kemudian menjabat ketua umum PPP (2007-2014). Dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, dia menjabat Menteri Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (2004-2009) dan Menteri Agama (2009-2014). Akhirnya, Suryadharma Ali terkena “peluru” KPK. Dia divonis enam tahun penjara karena menyalahgunakan kewenangan sebagai Menteri Agama dalam penyelenggaraan haji. Di tingkat banding, majelis hakim memperberat hukumannya menjadi sepuluh tahun penjara, denda Rp300 juta, dan mencabut hak politiknya selama lima tahun. Dia kemudian mengajukan Peninjauan Kembali.
- Mengejar Gembong Nazi Terakhir
KLAUS Eichmann (Joe Alwyn) begitu membanggakan ayahnya saat bercerita di depan calon mertuanya, Lothar Hermann (Peter Strauss). Klaus yang memacari Sylvia Hermann (Haley Lu Richardson) membuka sedikit demi sedikit kehidupan pribadinya. Dia mengaku diasuh pamannya di Buenos Aires, Argentina, sepeninggal ayahnya yang gugur di front timur Perang Dunia II sebagai prajurit SS (Schutzstaffel/Paramiliter Jerman Nazi). Plot film bertajuk Operation Finale ini lalu bergantian. Lothar Hermann, pria tunanetra Jerman berdarah Yahudi yang sejak 1938 mengungsi ke Buenos Aires, segera melayangkan info penting itu kepada Fritz Bauer (Rainer Reiners), jaksa penuntut umum (JPU) Hessen, Jerman Barat yang lantas meneruskannya ke Direktur Mossad (Badan Intelijen Israel) Isser Harel (Lior Raz) di Tel Aviv, Israel, awal 1960. Bauer meyakinkan Harel bahwa Adolf Eichmann (Ben Kingsley) masih hidup di Buenos Aires dengan nama samaran Ricardo Klement, orang yang diaku Klaus Eichmann sebagai pamannya. Adolf Eichmann, bos SS urusan Yahudi yang terlibat pembantaian jutaan orang Yahudi dalam Perang Dunia II, merupakan satu dari sekian gembong terakhir Nazi yang masih hidup pasca-kematian Adolf Hitler, Reischsführer SS Heinrich Himmler, Menteri Propaganda Joseph Goebbels, dan Reichsmarschall Hermann Göring. Eichmann sukses melarikan diri ke Argentina berkat Carlos Fuldner (Pêpê Rapazote), eks-perwira SS yang dekat dengan Presiden Argentina Juan Péron. Peron acap membantu para eks-Nazi mengungsi, termasuk Eichmann. Misi Klandestin Setelah mendapat kepastian kabar bahwa Eichmann masih menghirup udara bebas di Buenos Aires, pemerintah Israel langsung menyusun rencana klandestin penculikan Eichmann dengan membentuk tim pasukan khusus Shabak. Israel ingin mengadili Eichmann dan menjadikannya sebagai penegas ingatan tentang kejinya holocaust setelah 15 tahun perang usai. Adegan Tim Shabak Merencanakan "Penjemputan" Adolf Eichmann dari Argentina ke Israel (Foto: MGM Pictures) Meski tim itu dipimpin interogator senior Zvi Aharoni (Michael Aronov) dan Rafi Eitan (Nick Kroll), penonton akan segera mengetahui peran sentral justru dipegang Peter Malkin (Oscar Isaac) dan Hanna Elian (Mélanie Laurent). Peter dan Hanna, yang banyak anggota keluarganya tewas akibat holocaust, diperintahkan membawa Eichmann hidup-hidup ke Israel. “Jika kalian berhasil membawanya hidup-hidup, maka untuk pertamakali dalam sejarah kita bisa mengadili algojo Nazi. Jika kalian gagal, dia akan terhindar dari keadilan. Demi rakyat kita, saya mohon kalian jangan gagal. Buku sejarah masih terbuka dan kalian adalah tangan-tangan yang memegang penanya,” pesan Perdana Menteri Israel David Ben-Gurion (Simon Russel Beale) kepada segenap anggota tim. Semua anggota tim sampai di Buenos Aires awal Mei 1960 dengan menggunakan paspor Prancis, Inggris, Jerman, Amerika Serikat, dan Spanyol. Dengan hanya berbekal pengintaian rutinitas Eichmann, bukan perkara sulit bagi mereka menculik target. Premis utamanya justru terletak pada bagaimana membawa Eichmann keluar dari Argentina tanpa diketahui otoritas setempat. Pasalnya, pemerintahan Argentina saat itu pro-fasis. Lebih sulit lagi, di masa itu belum ada penerbangan komersial Tel Aviv-Buenos Aires langsung. “Jika kita ketahuan, ini berarti pelanggaran terhadap kedaulatan Argentina saat mereka merayakan 150 tahun kemerdekaan. Israel juga akan mendapat malu, penduduk Yahudi di Argentina bisa diteror,” cetus Harel. Dalam keterbatasan waktu, Malkin mendapat ide memanfaatkan momen 150 tahun kemerdekaan Argentina untuk melancarkan misi. “(Maskapai) El Al bisa jadi opsi. Jadi kita bisa meminta duta besar, politisi atau pejabat negara lainnya untuk datang dengan El Al ke Argentina. Lalu kita selundupkan Eichmann ke pesawat untuk dibawa pulang langsung ke Tel Aviv,” seru Malkin memberi ide. Adolf Eichmann Diadili di Yerusalem pada 1961 (Foto: lakesuccessj.org) Drama seru penuh intrik dan trik pun bermunculan dalam scene - scene yang dilatari music scoring apik. Sutradara Chris Weitz dengan apik menutup film dengan footage rekaman asli Eichmann dihadapkan ke pengadilan pada 1961. Bagaimana hasil pengadilan itu dan berhasilkah tim Shabak? Ah , lebih baik saksikan sendiri. Menengok Fakta Sejarah Film berdurasi 122 menit ini nyaris tak mencederai fakta-fakta sejarah yang ada. Hampir setiap adegan berangkat dari kejadian asli. Selain tata suara yang simpel garapan Alexandre Desplat, film ini cukup mampu membawa penonton merasakan suasana di zaman itu dengan beragam properti dan busana yang otentik. Hanya ada beberapa poin kecil yang memang tak sesuai fakta sejarah dalam Operation Finale . Contohnya, status Lothar dan Sylvia Hermann. Lotar disebutkan sebagai seorang Jerman Katolik yang menjadi orangtua asuh Sylvia yang gadis Yahudi. Padahal menurut Deborah Lipstadt dalam The Eichmann Trial , Lotar memang orang Jerman yang mengungsi ke Argentina pada 1938, namun tetap punya darah Yahudi dan Sylvia adalah putri kandungnya. Adegan Klaus yang mengajak Sylvia ke sebuah pertemuan para eks-Nazi sebagai agenda pacarannya juga merupakan hasil dramatisir belaka. Contoh lain, adegan ketika Bauer bertemu Harel di Tel Aviv setelah mendapat info keberadaan Eichmann, pada awal 1960. Faktanya, Bauer menemui Harel di Jerman pada 1957. Lalu, keterlibatan Fuldner, anggota kepolisian Argentina, membantu Klaus saat mencari ayahnya. Faktanya, Klaus Eichmann tak pernah berani minta bantuan polisi karena takut ketahuan asal-usulnya. Pemerintah Argentina juga enggan terlibat karena bisa dicitrakan pro-Nazi. Overall , film ini layak ditonton sebagai versi lain sejarah penangkapan Eichmann. Sebelumnya, ada film serupa bertajuk The House on Garibaldi Street (1979) dan The Man Who Capture Eichmann (1996). Film yang rilisan tahun 1996 dan Operation Finale menggunakan sumber data sama, memoar Malkin berjudul Eichmann in My Hands (1990).
- Jenderal Yani di Lapangan Golf
SESUDAH makan siang bersama keluarga, Letnan Jenderal Ahmad Yani berangkat ke Senayan. Menteri Panglima AD itu punya agenda latihan golf bersama pengusaha Bob Hasan. Jelang petang, Yani tiba kembali di kediamannya, Jalan Lembang, Jakarta Pusat. Beberapa tamu penting akan sowan di malam hari. Salah satu di antaranya Panglima Brawijaya, Mayor Jenderal Basuki Rachmat. “Pada jam enam sore, bapak pulang dari bermain golf lewat garasi dan masuk melalui pintu belakang sambil berpesan kepada Pak Dedeng, supir bapak, agar alat-alat golf itu dibersihkan, karena sudah tak akan dipakai lagi,” tutur Amelia Yani dalam biografi ayahnya Profil Seorang Prajurit TNI . Alat-alat golf tadi menjadi saksi bisu hari terakhir Yani. Pada esok subuh 1 Oktober 1965, kediaman Yani disambangi sepasukan Tjakrawbirawa yang merenggut nyawa sang panglima. Kini, peralatan golf itu masih tersimpan sebagai koleksi Museum Sasmitaloka Pahlawan Revolusi Ahmad Yani, di Jalan Lembang. Olahraga Para Jenderal Golf merupakan salah satu olahraga kegemaran Yani. Olahraga ini semakin rutin dilakoni Yani terutama setelah dirinya menjabat Menteri Panglima AD (Menpangad). Kesempatan main golf kerap menjadi ajang kongkow bagi Yani dengan para koleganya maupun sesama jenderal. “Jenderal Yani juga yang memulai bermain golf dan langsung mendapat pengikut pajabat-pejabat militer dan sipil lainnya dalam permainan golf, yang saat itu dipandang sebagai permainan atau hobi yang mahal atau mewah,” tulis Hario Kecik yang bernama asli Suharyo Padmodiwiryo, mantan Panglima Kodam Mulawarman, dalam Pemikiran Militer 2: Sepanjang Masa Bangsa Indonesia. Priguna Sidharta, dokter neurologi terkemuka yang juga doyan main golf, kerap menyaksikan Yani bermain bersama kawan-kawan pegolfnya di Jakarta Golf Club, Rawamangun. Yani, kata Priguna dalam otobiografinya Seorang Dokter dari Losarang, biasanya punya rekan tetap bermain ( golf buddy ) seperti Bob Hasan, Brigadir Jenderal Achmad Tirtosudiro, dan Junus Jahya, tokoh Tionghoa anggota Dewan Perimbangan Agung (DPA). Pernah sekali waktu, Yani membiarkan dan malah menonton Bob Hasan baku hantam dengan sesama rekan pegolf bernama George Hadi. Amelia Yani juga mengisahkan, beberapa bulan sebelum Gerakan 1 Oktober (Gestok), Yani bersama para asisten dan deputinya berkunjung ke Kalimantan. Turut serta dalam kunjungan itu Mayor Jenderal Harjono Mas Tirtodarmo, Mayor Jenderal Suwondo Parman, Brigadir Jenderal Donald Pandjaitan, dan Brigadir Jenderal Sutoyo. Tak ketinggalan, aktivitas main golf mengisi waktu luang sang panglima di sana. Di suatu sore, Yani main golf ditemani Taswin Natadiningrat. Panglima Mulawarman Brigjen Soemitro datang ke lapangan untuk melapor. Yani menyapa Mitro. “Golf, Mit?” kata Yani mengajak. Karena Soemitro belum mahir main golf, dia menolak. “Golf itu untuk orang disabled (cacat)!,” katanya. Yani membalas, “Kurang ajar kowe (kau)!” Nasution Main Duluan Pada 30 September 1965, hari itu, Yani dan Jenderal Nasution punya agenda serupa: main golf. Bedanya, Nasution main lebih pagi. Setelah berlatih di lapangan golf Rawamangun, Nasution pulang ke rumahnya. Dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 6: Masa Kebangkitan Orde Baru, Nasution masih mengingat sewaktu berada di jalan besar, mobilnya tedesak ke pinggir. Iring-iringan Korps Polisi Militer yang melintas, menutupi sebagian badan jalan. Ada pengawalan terhadap pejabat penting. Pada konvoi itu, terlihat Ahmad Yani didampingi deputi administrasinya, Mayor Jenderal Soeprapto dalam satu mobil yang memakai bendera Panglima AD menuju Tanjung Priok. Destinasi Yani siang itu berkunjung ke kantor Pelni untuk menyerahkan piagam penghargaan atas jasa-jasa membantu operasi TNI. “Tiada firasat pada saya, bahwa inilah yang terakhir saya melihat mereka,” kenang Nas.
- Perlawanan Lewat Bahasa
SEKEMBALINYA dari Belanda tahun 1931, Maria Ullfah bertekad mematuhi Sumpah Pemuda dengan cara menggunakan bahasa Indonesia. Untuk itu, bersama Soegiarti (kemudian jadi istri Sutan Takdir Alisyahbana) sahabat karibnya Maria mencari seseorang yang bisa mengajari bahasa Indonesia. Upaya itu berhasil. Pujangga Amir Hamzah bersedia menjadi guru les mereka. Namun, Amir rupanya tak cocok menjadi guru Maria Ullfah dan Soegiarti. Kosakata yang diajarkan Amir terlalu mendayu-dayu dan sangat sastrawi, sementara kebutuhan Maria dan Soegiarti bukan itu. Maria lalu berterus terang pada Amir. “Maaf, Saudara Amir Hamzah. Bahasa Indonesia yang Saudara ajarkan pada kami adalah bahasa pujangga. Kami memerlukan bahasa Indonesia yang biasa untuk berpidato dan bercakap-cakap, bukan untuk menjadi sastrawan,” kata Maria seperti ditulis Gadis Rasyid dalam biografi Maria Ullfah Subadio Pembela Kaumnya. Sejak itu, Amir tak lagi mengajar mereka. Sebagai gantinya, mereka meminta rekan dari Sekolah Muhammadiyah bernama Sutopo untuk mengajari bahasa Indonesia. Kesulitan menggunakan bahasa Indonesia tidak hanya dialami Maria Ullfah dan Soegiarti. Tokoh pendidik perempuan Kajatoen Wasito pun merasakannya. “Bahasa Indonesia belum banyak aku kuasai secaram mendalam, terlebih dalam hal pidato,” kata Kayatoen, yang ikut Jong Java –yang kemudian melebur jadi Indonesia Muda (IM)– kala usianya masih 20-an. Dalam pertemuan-pertemuan IM, dia selalu kagum pada rekan-rekannya yang pandai berpidato dalam bahasa Indonesia. “Waktu itu mayoritas orang pakai bahasa daerah atau bahasa Belanda. Bahasa Indonesia menjadi hal yang tidak mudah pada waktu itu. Tapi melihat usaha para pemuda juga perempuan untuk menggunakannya, betapa keinginan untuk bersatu sangat kuat dan alatnya adalah bahasa Indonesia,” kata Yerry Wirawan, sejarawan Universitas Sanata Dharma, pada Historia. Kongres Perempuan Indonesia sebagai federasi organisasi perempuan pun turut memenuhi Sumpah Pemuda dengan mewajibkan terbitannya, Isteri, menggunakan bahasa Indonesia. Aturan itu merupakan keputusan kongres Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPII) di Surabaya pada 1930. Usaha menggunakan bahasa Indonesia terus dilakukan, bahkan dalam rapat organisasi perempuan. Dalam kumpulan memoar perempuan di Sumbangsihku Bagi Ibu Pertiwi, Kayatin Sahirntihardjo mengisahkan bagaimana dia dan rekan-rekan Pengurus Besar Keputrian Indonesia Muda berusaha keras berbahasa Indonesia. “Nona Burdah yang Sunda, Nona Moni Tumbel dari Minahasa, dan Rusmali yang Minang kesulitan berbahasa Indonesia. Bila kami tidak bisa menyelesaikan kalimat dalam bahasa Indonesia yang baik, diwajibkan membayar denda satu kwartje atau dua puluh lima sen,” ujar Kayatin. Tak ayal, rapat menjadi penuh tawa ketika ada yang kena denda. Uang denda itu dimasukkan ke dalam kas pengurus. Anekdot dari masa perjuangan menggunakan bahasa Indonesia juga dialami Theo Pangemanan, kakak ipar tokoh perempuan Partindo Dina Pantow. Theo kala itu aktif di kepanduan Indonesie Padvinders Organisatie (INPO). Ketika INPO merayakan tercetusnya Sumpah Pemuda, Theo berpidato penuh semangat menggunakan bahasa Indonesia yang belum dia kuasai benar. Sampai di rumah, dia malah ditertawakan oleh saudara-saudaranya, termasuk Dina. Tapi setelah itu, Leen Pantow, istri Theo, harus bersedih karena mendapat ancaman dikeluarkan dari pekerjaannya di Laboratorium dr. Peverelli jika suaminya tak keluar dari INPO. Dari kesaksian Dina, para mahasiswa Indonesia juga diancam dikeluarkan dari perguruan tinggi bila ketahuan ikut Kongres Pemuda. Para pemuda disuruh memilih, tetap teguh pada perjuangan kemerdekaan tapi dikeluarkan dari sekolah atau tetap bersekolah tapi meninggalkan perjuangan. Menurut Yerry, usaha-usaha para pemuda di tahun 1930-an bahkan sampai 1950-an untuk menggunakan bahasa Indonesia menjadi satu hal yang amat politis di tengah penggunaan bahasa Belanda sebagai bahasa yang dominan. “Bahasa menjadi simbol nasionalisme dan perlawanan pada penjajah. Penggunaannya pada dekade 1930-an amat politis sebagai wujud nasionalisme. Ia dijadikan alat pemersatu yang memungkinkan orang berkomunikasi dengan suku yang berbeda,” kata Yerry.
- Mengapa Wallace Kalah Populer Dibandingkan Darwin?
SETELAH 90 tahun sebelas bulan, naturalis Inggris Alfred Russel Wallace meninggalkan warisan besar selama ekspedisi di Kepulauan Nusantara. Namanya membekas pada Wallacea dan dunia sains. Jejaknya muncul dalam berbagai artikel, buku dan surat, spesimen dan catatan sejarah alam yang besar, dan tentu saja teori evolusi melalui seleksi alam. Meski begitu, kata sejarawan JJ Rizal, Wallace dan karyanya hampir tidak banyak dibicarakan di Indonesia. "Hampir sama seperti sejarah perempuan, sejarah ilmu pengetahuan itu tidak dibicarakan," kata Rizal dalam diskusi buku The Malay Archipelago karya Wallace di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, Jumat (12/10) sore. Padahal, ada nama penanda di kota sebagai tempat yang berhubungan dengan kegiatan para ilmuwan pada masa lalu. Misalnya di Jakarta, Rizal menjelaskan, ada satu gang di wilayah Pecinan, Glodok, bernama Gang Torong, cara pengucapan masyarakat setempat terhadap toren . Lokasi itu berhubungan dengan seorang pendeta kelahiran Jerman, Johan Maurits Mohr yang punya perhatian pada bidang astronomi. Di sana dia mendirikan observatorium pertama di Batavia pada 1765. Observatorium itu menjulang tinggi bagaikan menara. Ketika observatorium Mohr masih serupa menara ( toren ), kawasan ini disebut Torenlaan. "Kalau nggak salah Eijkman juga jadi nama jalan di Bandung. Banyak, tapi perkembangan waktu jadi hilang. Sekarang Wallace nggak ada dalam historiografi Indonesia," kata Rizal. Hal serupa diutarakan Sangkot Marzuki, direktur Lembaga Eijkman (1992-2014). Dia ragu apakah saat ini masih banyak yang mengetahui cerita di balik garis Wallace yang memisahkan geografi hewan Asia dan Australia. Pun soal teori evolusi yang dikemukakan Wallace. "Sekarang kalau ditanya teori evolusi siapa? Darwin di Galapagos. Paling jawaban anak-anak sekarang begini," kata peneliti yang menekuni biogenesis dan kelainan genetik manusia itu. Padahal karya Wallace sangat populer pada masanya. Bukunya, The Malay Archipelago , pertama kali terbit pada 1869. Catatan perjalanannya itu dicetak seribu eksemplar dan langsung ludes. Edisi kedua terbit pada tahun itu juga. Setelahnya edisi Amerika diterbitkan pada tahun yang sama. Tahun berikutnya giliran edisi Jerman, kemudian Belanda. "Berpuluh bahasa sudah dipakai menerjemahkan buku ini. Di Indonesia di mana lokasi yang dipakai jadi bahan buku ini malah baru saja," ujarnya. Sementara itu, pencetus teori evolusi lainnya, Charles Darwin lebih banyak dikenal dibanding Wallace. Namun, tak heran kalau kata John van Wyhe, sejarawan National University of Singapore, buku Darwin, On the Origin of Species , ketika diterbitkan pada 1859 telah mengguncang dunia. Karyanya begitu kontroversial. "Wallace setelah paper- nya tinggal empat tahun lagi di Indonesia, pulang-pulang Darwin sudah terkenal," kata Sangkot. Seorang jurnalis yang mengagumi Wallace, Aristides Katoppo pun bilang kalau Wallace memang sama sekali tak mencari ketenaran lewat karyanya. Dia hanya mencatat apa yang dia lihat dan dapatkan selama di lapangan. Bahkan hasil laporan pertamanya justru dia kirimkan kepada Darwin. "Menurut kesaksian, Darwin terperanjat dengan laporan Wallace. Jadi Wallace ini polos. Dia laporkan semua pada Darwin. Mungkin merasa bukan saingan. Lalu Darwin terbitkan karyanya lebih cepat," ungkap Aristides. Terlepas dari itu, Sangkot menekankan pentingnya mengingat penemuan-penemuan ilmiah yang pernah dilakukan di Indonesia. Bagaimana caranya mengembalikan ingatan soal sejarah ilmu pengetahuan, khususnya Wallace? Dia mengusulkan melalui pariwisata. "Kalau kita tahu penemuan Darwin di Pulau Galapagos, kan jadi daya tarik di sana. Lalu di Serawak, lokasi Wallace, pernah juga jadi wisata," ujarnya.
- Menyingkap Makna Ndas Mangap
BERMACAM aksi koreo di setiap sudut tribun Gelora Bung Tomo, Surabaya, acap jadi penyedap mata tiap Persebaya tampil di hadapan Bonek, fans Persebaya. Ada kalanya nyanyian-nyanyiannya diiringi tampilan spanduk Bung Tomo, kadang buaya raksasa. Namun yang tak pernah absen, penampakan logo yang oleh para penggila bola Surabaya disebut “Ndas Mangap” atau “Wong Mangap”. Logo berwujud seorang pemuda berambut gondrong dan memakai ikat kepala bertuliskan “Persebaya” sedang berteriak itu senantiasa menghiasi beragam atribut Persebaya, mulai dari kaos hingga stiker. Logo itu ternyata lahir hampir bersamaan dengan mulai dikenalnya penyebutan “Bonek” alias Bondo Nekat sebagai identitas suporter tim berjuluk Green Force itu. “Itu dari (suratkabar) Jawa Pos desainernya. Gambar atau karikaturnya dibuat Pak (Mister) Muchtar. Itu mulai muncul tahun 1987 dan meluas melekat di berbagai atribut pada 1988, waktu Persebaya juara Perserikatan,” cetus dedengkot Bonek Andie ‘Peci’ Kristianto kepada Historia. Mister Muchtar merupakan seniman jebolan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) Yogyakarta. Sejak 1986, dia berkecimpung sebagai ilustrator dan lay outer Suratkabar Jawa Pos . Sketsa pertamanya dibuat pada suatu malam hanya dalam kurun waktu 10 menit. Pembuatan Ndas Mangap tak lepas dari inisiasi Dahlan Iskan. Pada awal Maret 1987, jelang laga final Perserikatan musim 1987 kontra PSIS Stadion Utama Senayan, Jakarta, Dahlan ingin ada tambahan atribut untuk mengiringi pemberangkatan puluhan ribu Bonek ke ibukota –dikenal sebagai fenomena “Tret Tet Tet”. “Malam itu juga dibuatnya (sebelum Bonek berangkat ke Jakarta). Di ruangan ada saya, tukang sablon dan bos (Dahlan Iskan). Karena besok sudah berangkat, saya gambar cepat-cepat di atas film. Mendesain di atas film sangat licin, dibuat di sana supaya langsung disablon,” ujar Mister Muchtar, dikutip Nor Islafatun dalam Arek Bonek: Satu Hati untuk Persebaya . Karena dibuat terburu-buru, gambar Ndas Mangap pertama belum seperti sekarang yang dikenal umum. Sosok pemuda berambut gondrong yang mirip karakter Rambo yang diperankan Sylvester Stallone. “Ya, dulu seingat saya, desain awalnya belum gondrong. Tapi sudah pakai ikat kepala saja,” timpal Andie Peci. Terinspirasi Perjuangan 10 November 1945 Laikya “Boeng, Ajo Boeng” karya pelukis Affandi dengan model sesama pelukis, Dullah, karya Ndas Mangap pun memakai model yang tak jauh dari penciptanya. Keterdesakan waktu membuat Dahlan Iskan sendiri yang dijadikan model. Foto Dahlan direproduksi dengan coretan karya Mister Muchtar itu. Pertamakali publikasinya di-launching di Jawa Pos edisi 3 Maret 1987 dan dinyatakan logonya milik umum. “Maskot Persebaya 1927 kini sudah jadi milik umum. Penjual kaos, stiker, dan pemilik kendaraan bisa menggunakan maskot itu secara luas,” tulis Jawa Pos , 11 Maret 1987. Sketsa Pertama Logo Ndas Mangap (Foto: Repro "Arek Bonek: Satu Hati untuk Persebaya") Meski mencontoh foto Dahlan, Mister Muchtar mengaku sketsa awal Ndas Mangap juga terinspirasi semangat Bung Tomo dan para pemuda Surabaya pada Pertempuran 10 November 1945. “Saya orang lama. Masih ada simbol-simbol lama terpengaruh gerakan-gerakan Bung Tomo. Bos memperagakan ekspresi seperti berteriak. Jadi logo itu adalah gambaran Pak Dahlan berteriak,” sambung Mister Muchtar. Seiring waktu, logo Ndas Mangap bertransformasi dan pada era 1990-an disempurnakan oleh ilustrator Jawa Pos lain, Boediono. Logo Ndas Mangap yang dikenal sekarang merupakan hasil penyempurnaannya dan tetap tidak meninggalkan pengaruh semangat Surabaya sebagai “Kota Pahlawan”. “Yang sekarang pakai ikat kepala tapi gondrong. Ikat kepala kan laikya identitas Surabaya sebagai Kota Pahlawan. Identitas nekat, pemberani, simbol kebebasan, perlawanan, kemerdekaan,” tandas Andie Peci.
- Palestine Walk di Bandung
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi bersama Menteri Luar Negeri Palestina Riyad al-Maliki dan Walikota Bandung Oded M. Danial, meresmikan Palestine Walk: Road to Freedom, taman sepanjang 100 meter di Jalan Alun-alun Timur, Bandung, Sabtu (13/10/2018). “Palestine Walk menggambarkan dukungan dan komitmen masyarakat Indonesia, khususnya Kota Bandung terhadap perjuangan rakyat Palestina dan sebagai pengingat agar semangat perjuangan tersebut tetap beresonansi di hati kita. Dukungan bangsa Indonesia tidak akan pernah luntur hingga rakyat Palestina memperoleh kemerdekaannya. Palestina selalu ada dalam napas diplomasi Indonesia,” kata Retno Marsudi dikutip dari kemlu.go.id . Acara selanjutnya talkshow di Museum Asia Afrika yang dihadiri sekitar 400 mahasiswa. Maliki menyampaikan terima kasih atas persaudaraan yang diberikan Indonesia. Dia yakin Indonesia akan menjadi suara bagi Palestina di Dewan Keamanan PBB. Oded M. Danial, Riyad al-Maliki, dan Retno Marsudi dalam peresmian Palestine Walk di Bandung. (Dok. Kemlu RI). Setelah di Bandung, acara Solidarity Week for Palestine (dari Indonesia untuk Palestina) kemudian diadakan di Jakarta berupa walk for peace and humanity bersamaan dengan car free day di Wisma Mandiri Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat. Esoknya, Maliki akan memberikan kuliah umum di Universitas Indonesia, Salemba. Maliki juga dijadwalkan bertemu Presiden Joko Widodo dan DPR RI. Pembuatan Palestine Walk di Bandung tentu terkait peran Indonesia dalam menyuarakan kemerdekaan Palestina dalam Konferensi Asia Afrika (KAA) pada 18-24 April 1955. Sebelum KAA, pada 1953 Achmad Subardjo, mantan menteri luar negeri yang menjadi duta besar keliling, menyampaikan sumbangan Indonesia sebesar 60 ribu dolar Amerika untuk Palestine Relief Fund (Sumbangan Pengungsi Palestina). Dalam pidato pembukan KAA, Presiden Sukarno mengatakan bahwa kolonialisme belum mati, hanya berubah bentuknya. Neokolonialisme itu ada di berbagai penjuru bumi, seperti Palestina, Vietnam, Aljazair, dan seterusnya. Oleh karena itu, Sukarno-Hatta tak menyambut tawaran pembukaan diplomatik dari Israel ketika Indonesia mendapatkan pengakuan kedaulatan dari Belanda pada akhir tahun 1949. Soal kemerdekaan Palestina jadi agenda pembahasan dalam rapat tertutup bidang politik KAA. Sekretaris Jenderal KAA, Roeslan Abdulgani, dalam The Bandung Connection, Konferensi Asia Afrika di Bandung Tahun 1955, mengungkapkan bahwa pembahasan Palestina menyerempet ke persoalan zionisme yang menimbulkan perselisihan pendapat di antara delegasi. Misalnya, Mohammad Fadhel Jamali, ketua delegasi Irak, menyamakan bahaya zionisme dengan kolonialisme dan komunisme. Meski semua delegasi menyetujui kemerdekaan Palestina, pernyataan Fadhel itu memanaskan suasana rapat. Delegasi Arab, Pakistan, Afghanistan, dan Iran pun mengutuk zionisme internasional. Tanggapan datang dari Burma (Myanmar) dan India yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru keberatan menyamakan zionisme dengan kolonialisme dan imperalisme. Tetapi dia mengakui zionisme memang adalah suatu gerakan agresif. Perdana Menteri Tiongkok Zhou Enlai mencoba mendinginkan suasana. Dia menyetujui resolusi KAA supaya semua resolusi PBB tentang Palestina dilaksanakan dengan syarat kekuatan luar, seperti Amerika Serikat, tak boleh mencampurinya. Dia mengusulkan penyelesaian Palestina sebagaimana Tiongkok membebaskan Taiwan secara damai setelah menyaratkan kekuatan militer Amerika Serikat mundur. Selain menegaskan sokongannya terhadap pembebasan Palestina, KAA juga menyerukan penyelesaian konflik Palestina-Israel secara damai. Sementara itu, sebagai bentuk dukungan kepada kemerdekaan Palestina, Sukarno melarang timnas Indonesia melawan Israel dalam perebutan tiket ke Piala Dunia 1958. Berikutnya, ketika menjadi tuan rumah Asian Games IV pada 1962, Sukarno juga tak memberikan visa kepada kontingen Israel. Sejak zaman Sukarno hingga Joko Widodo, Indonesia tetap pada pendirian mendukung kemerdekaan Palestina. Dalam pidato pembukaan pertemuan Puncak Bisnis Asia Afrika di Jakarta Convention Center, 23 April 2015, yang menjadi bagian dari rangkaian peringatan 60 tahun KAA, Jokowi menegaskan: “Kita dan dunia masih berutang kepada rakyat Palestina. Dunia tidak berdaya menyaksikan penderitaan rakyat Palestina. Kita tidak boleh berpaling dari penderitan rakyat Palestina. Kita harus mendukung sebuah negara Palestina yang merdeka.”
- Bonek dan Stigma Kekerasan Suporter Fanatik
SETIAP kali dua dari empat klub saling berhadapan dalam liga sepakbola nasional, kegemparan selalu muncul. Setelah duel Persib vs Persija beberapa waktu lalu menghebohkan lantaran diwarnai pengeroyokan terhadap seorang suporter Persija hingga tewas, belum lama ini muncul kekhawatiran serupa saat Arema FC menjamu Persebaya. Laga “Derbi Jawa Timur” itu beberapa tahun belakangan berkalang kekerasan, terutama di antara kedua suporter. Beragam imbauan agar Bonek, suporter militan Persebaya, tak menemani tim “Bajul Ijo” ke Malang pun muncul sebelum laga, termasuk dari Walikota Surabaya Tri Rishamarini. Partai di Liga I pada Sabtu, 6 Oktober 2018 itu dimenangkan Arema 1-0. Tapi bukan kekalahan Persebaya yang jadi sorotan besar Bonek, melainkan chant-chant rasis yang berkumandang di stadion dan perobekan bendera Persebaya oleh Aremania, suporter Arema FC. Hal-hal negatif itu kian meruncingkan rivalitas Bonek dengan Aremania, yang akarnya ada pada fanatisme para pendukung klub-klub Surabaya dan Malang. Mula Bentrokan Bonek vs Aremania Rivalitas Surabaya-Malang sudah ada sejak lama. Di kompetisi Perserikatan, rivalitas kedua kota diwakili Persebaya vs Persema, sementara di Galatama diwakili Niac Mitra vs PS Arema (sebutan lama Arema FC). Meski bentrok antarsuporter Persebaya dan Arema kerap terjadi, tak ada yang ingat pasti kapan dan bagaimana itu bermula. “Ada banyak versi ya. Tapi kan suporter Persebaya sudah lama ada, dari awal-awal kompetisi Perserikatan. Sementara, Arema baru berdiri 1987. Jauh sebelum itu sebenarnya rival kita itu Persema Malang,” cetus dedengkot Bonek Andie ‘Peci’ Kristianto kepada Historia. Dari banyak versi itu, ditengarai pemicu awal bentrok adalah insiden di Stadion Tambaksari, Surabaya pada 23 Januari 1990. Mereka “konflik” bukan dalam rangka menonton tim pujaan bertanding, tapi menonton konser musik Kantata Takwa. Massa Bonek selaku “tuan rumah” tersinggung saat bagian depan panggung dikuasai para penonton asal Malang. Ketersinggungan itu membuat sebuah gesekan kecil berubah jadi bentrokan yang melebar sampai ke sekitar Stasiun Gubeng. Andie 'Peci' Kristianto, dedengkot Bonek (Foto: Randy Wirayudha/Historia) Versi lain, kecemburuan arek-arek Malang terhadap pemberitaan-pemberitaan media Jawa Timur. Di era awal 1990-an, Persebaya dengan Boneknya acap jadi “media darling” hingga timbul ketidaksukaan pada Bonek. “Ya mungkin dari pihaknya Arema merasa mereka harus cari musuh yang kuat agar dikenal banyak orang. Waktu itu kan klub baru, bukan klub perserikatan dan ketika (Arema) berdiri agar bisa eksis, memusuhi Persebaya dan pendukungnya,” tambah Andie Peci. Versi ketiga menyatakan, serangan oknum pendukung Persema terhadap bus Persebaya dalam sebuah laga Liga Indonesia II, 26 Desember 1995. Serangan batu yang dilontarkan dengan ketapel itu memecahkan kaca bus dan pecahannya mengenai mata salah seorang pemain Persebaya. “Ada itu pemain Persebaya, Nurkiman, dikatapel (oknum suporter Malang). Itu juga pemicu konflik Surabaya dan Malang. Matanya kena itu. Habis itu matanya cacat dan harus berakhir kariernya,” sambungnya lagi. Dari semua versi mula konflik itu, menurut peneliti sejarah Persebaya Dhion Prasetya, hal terpenting yang harus dipahami adalah rival klasik Persebaya adalah dengan tim-tim Perserikatan, bukan tim Galatama seperti Arema. “Tapi elemen suporter sekarang sudah mulai paham. Kalau sama tim Galatama, enggak ada sejarahnya persaingan dengan mereka. Sebenarnya Bonek sudah mulai terbuka juga, kok. Dengan Lamongan, dengan Solo. Tapi asal jangan sampai ada provokasi satu-dua pihak yang men- judge Bonek begini atau begitu yang buruk,” jelas Dhion. Masih Sulit Untuk Berdamai Fakta-fakta itu, berjalin dengan fanatisme kedaerahan yang sempit, membuat perdamaian di antara keduanya belum terjadi. Untuk bisa berdamai dengan suporter Malang, Andie Peci mengakui masih sulit walau di masa mendatang itu tak mustahil. “Sebenarnya permusuhan itu tidak statis ya. Dulu Bonek dan Bobotoh juga tidak akur. Juga dengan Panser Biru (suporter PSIS), Pasopati (suporter Persis), LA Mania (suporter Persela), Brajamusti (suporter PSIM Yogyakarta). Tapi perlahan semua bisa berubah, kami sudah bisa akur,” tutur Andie Peci. Bersama beberapa dedengkot Bonek, sejak beberapa tahun lalu Andie Peci berhasil mengupayakan perdamaian. “Saya sempat ikut proses perdamaian dengan Pasopati. Padahal dulu konfliknya keras luar biasa. Terakhir Persebaya main di Solo, sudah tidak ada gesekan. Setelah itu dengan suporter Lamongan, saya juga terlibat langsung (mendamaikan). Teman-teman pendahulu kami juga sudah bisa proses damai dengan PSIS,” tambahnya. Selain Arema, yang saat ini masih sulit diajak berdamai dengan Bonek adalah The Jakmania, suporter Persija. “Sebetulnya sudah pernah dimulai (pendekatan antar-petinggi suporter), tapi gagal. Ya itu, gara-gara kejadian di Bantul (bentrokan Bonek-Jakmania, 3 Juni 2018). Kita sudah niat untuk mencairkan (konflik) walau ya belum berhasil,” lanjutnya. Stigma Kekerasan dan Perjuangan Selain dikenal dengan konflik terhadap suporter lain, Bonek dikenal masyarakat luas akan kekerasannya. Andie Peci pun mengakui masih ada oknum-oknum nakal yang akhirnya mencoreng kebesaran nama Bonek sekaligus merugikan klub. “Saya selalu sampaikan ke siapapun, kalau ada Bonek yang bersalah, keliru, dan sudah melanggar dalam level pidana, penjarakan saja. Tapi bahwa stigma (kekerasan) itu masih melekat, iya. Kita dan teman-teman semua tidak dalam posisi mengiyakan tapi kita tidak munafik bahwa Bonek itu identik dengan kekerasan. Sampai sekarang masih ada, tapi frekuensinya menurun. Butuh waktu tapi saya dan teman-teman selalu mendudukkan persoalan inti, di mana kami sendiri harus introspeksi juga, harus berbenah,” cetus Andie. Di dalam Bonek sendiri, sambungnya, sudah mulai lahir komunitas Bonek yang sikap dan pikirannya relatif lebih maju. “Ada Bonek Pelajar, Bonek Kampus dan sebagainya. Kelompok-kelompok yang mencitrakan Persebaya dengan baik. Di dalam kota juga sekarang mulai kondusif, tidak seperti dulu. Kalau di stadion selalu beli tiket sampai tercatat sebagai penonton terbesar di Liga I ini. Kami paham problemnya tapi butuh waktu dan lambat laun kami yakin stigma itu akan berubah.” Namun, sikap cair itu hanya terjadi kepada suporter tim lain. Dalam hal membela klub kesayangan, terutama saat terjadi dualisme Persebaya setelah tak diakui PSSI pada 2009, sikap Bonek tak pernah melunak. “Kita melawan suatu sistem yang kotor saat itu. Versi saya dan teman-teman, ya itu ada permainan, ada skenario khusus untuk Persebaya didegradasi. Akhirnya ya kita didegradasi. Kepemimpinan (manajemen) Persebaya juga mengalami dualisme. Ya kita mendukung Persebaya di bawah PT Persebaya Indonesia. Tapi sementara, yang diakui PSSI Persebaya di bawah PT MMIB (Mitra Muda Inti Berlian). Kita sebenarnya didegradasi tidak masalah, tapi yang diakui mestinya manajemen sebelumnya karena sejak 2009 Persebaya sudah profesional di bawah perseroan yang asli itu,” seru Andie. Bonek memboikot dan berulangkali mendemo Persebaya di bawah PT MMIB. “Saya sampai pernah luka dibacok karena bela Persebaya. Itu tahun 2012. Dari pihak sana ada kelompok yang tidak senang saya dan kawan-kawan berdemo. Kelompok sana yang pakai kekerasan,” kenangnya. Bonekmania Selalu Menyertai Persebaya, Termasuk saat klub versi PT Persebaya Indonesia Tak Diakui PSSI (Foto: persebaya.id) Perjuangan mereka tak sia-sia. Pada 2017, PSSI kembali mengakui. “Militansi Bonek ini keliatan sekali bukan glory hunter . Mereka tetap membela klub yang sejarahnya sudah panjang, bukan kloning-an,” timpal Dhion. Hingga kini, Andie Peci dan rekan-rekannya terus berusaha mencontohkan yang baik agar Bonek terus menggerus stigma buruk yang melekat pada dirinya. Bukan hanya Bonek, jika kondisi sepakbola nasional sudah mapan nir-kepentingan politis, suporter lain juga takkan mau lagi anarkis yang akhirnya merugikan klub. “Suporter akan menemukan jalannya sendiri (untuk berlaku baik). Kita juga harus belajar dari Eropa. Di sana mereka selalu menyediakan kuota untuk suporter tim lawan. Artinya masing-masing bisa berivalitas dalam konteks batas-batas sepakbola. Terlebih, kecil kepentingan politis, mafia sepakbola pun nyaris tidak ada. Itu cukup memengaruhi jalan pikiran suporter,” imbuhnya. Seandainya sepakbola nasional sudah bisa mapan seperti itu, lanjut Andie, moralitas suporter akan berubah. Saling bunuh antarsuporter atau aksi-aksi rasisme takkan ada lagi. “Itu yang belum ada di sini. Butuh waktu memang untuk mengubah, terutama kemapanan sepakbola nasional kita,” tutup Andie.
- Kata Pemuda Zaman Kolonial tentang Sumpah Pemuda
SEORANG pengendara sepeda melaju di Jalan Kawi, tak jauh dari asrama pelajar STOVIA (Sekolah Pendidikan Dokter Hindia Belanda) —sekarang menjadi Museum Sumpah Pemuda Jalan Kramat No 106—di Batavia. Usia pengendara masih remaja belasan tahun. Dia memasang kain berwarna merah-putih di bagian depan sepeda. Polisi menghentikan si remaja dan menurunkan kain itu dari depan sepeda. “Demikianlah nasib ‘anak-anak nakal’ yang merasa dirinya terpanggil untuk setia kepada Sang Merah-Putih,” kenang Frits K.N. Harahap dalam “Bersifat Temporerkah Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928?” termuat di 45 Tahun Sumpah Pemuda . Dia ingat peristiwa itu terjadi menjelang Ikrar pemuda di asrama pelajar STOVIA pada 28 Oktober 1928. Frits mendengar bahwa sekelompok pemuda akan menggelar rapat untuk membentuk organisasi kepanduan nasional di asrama pelajar Stovia. Dia dan teman-temannya telah bergabung di sebuah organisasi kepanduan bentukan Pemerintah Hindia Belanda. Tapi mereka merasa kurang puas dengan aktivitas di organisasi tersebut sehingga memutuskan datang ke lokasi rapat. “Kami pandu-pandu menjadi ‘pengawal’, yang menjaga ‘keamanan dan ketertiban’ di pekarangan gedung keramat Jalan Kramat, tempat diselenggarakan Kongres Pemuda,” tulis Frits, yang saat itu menjadi pandu termuda di sana. Tiga hari rapat, pemuda-pemuda itu tak hanya membicarakan organisasi kepanduan, tetapi juga merumuskan soal-soal kebangsaan terkait tanah air, bangsa, dan bahasa Indonesia. Frits ingat kawan-kawan pandu menyambut hasil rapat itu dengan gembira. Ketika mendengar lagu Indonesia Raya berkumandang dari biola Wage Rudolf Soepratman, jantung Frits berdebar. Perasaannya campur aduk. Antara khawatir polisi bertindak membubarkan rapat sekaligus takzim terhadap gesekan Soepratman. Mitologisasi Sumpah Pemuda? Pengakuan Frits menjelaskan sepotong pengaruh Sumpah Pemuda dalam kehidupan banyak pemuda di Hindia Belanda. Bertahun-tahun lalu muncul pertimbangan ulang tentang makna dan peran Sumpah Pemuda yang semakin termitologisasi atau lebih banyak bumbunya ketimbang kenyataan sebenarnya. Pertimbangan itu muncul antara lain dari tulisan Taufik Abdullah dalam “Selamat Tinggal (?) Sumpah Pemuda” termuat di Tempo , 28 Oktober 1978; Riyadhi Gunawan dalam “Sumpah Pemuda: Diantara Pemuda, Peristiwa, dan Kesadaran Sejarah” termuat di Kedaulatan Rakyat, 27 Oktober 1978, dan seorang penulis tak bernama menulis “Yongelingen Yang Abrnormal” dalam majalah Matahari , 16—31 Oktober 1978. Tiga artikel tersebut mencoba mendudukkan Sumpah Pemuda secara apa adanya. Tapi artikel tersebut tak memuat kesaksian dari pemuda sezaman ketika Sumpah Pemuda terjadi. Beberapa terbitan lain berupaya mengungkap apa peran dan makna Sumpah Pemuda bagi para pemuda sezaman. Seorang pemuda bernama Machfoeld, misalnya, turut mengalami hal serupa Frits. “Penulis kini masih ingat jelas betapa hening sahdu dan indahnya suasana dalam Gedung IC (Indonesische Clubhuis —nama lain asrama pelajar STOVIA) Kramat 106 Jakarta, di kala itu. Banyak pasang mata tampak berkedip-kedip basah. Banyak pasang bibir tampak berkomat-kamit syukur berterimakasih kepada Tuhan YME,” tulis Machfoeld dalam “Sumpah Pemuda: Sebelum, Semasa, Sesudah Lahirnya.” Redakan Pertikaian Machfoeld terkenang hari-hari sebelum pemuda mengucap ikrar untuk bersatu. Para pemuda dari beragam daerah Hindia Belanda kerap kali bersitegang di Kutoarjo, kota di mana Machfoeld menempuh pendidikan menengahnya. Dia mengalami masa-masa perkelahian antarpemuda dari Pasundan, Ambon, Minahasa, dan Jawa. Sebabnya hanya karena senggolan. “Perkara demikian itu, biasanya belum cukup diselesaikan di tempat itu. Kadangkala masih disambung dengan perbuatan kenakalan-kenakalan pada lain-lain hari terhadap dia atau mereka yang dianggapnya ‘bersalah’,” tulis Machfoeld. Sumpah Pemuda mengubah pertikaian antarpemuda menjadi gagasan dan semangat untuk bersatu secara perlahan. “Tetapi Sumpah Pemuda yang didengungkan di Jakarta (Betawi di waktu itu), juga terdengar di pelosok-pelosok daerah. Semangat pemuda-pemudi dan orang-orang tua mereka, pegawai-pegawai negeri, guru-guru dibangkitkan oleh pers secara diam-diam,” ungkap Limbak Tjahaja, seorang gadis muda di Sawah Lunto pada waktu Sumpah Pemuda terlaksana, dalam “Sumpah Pemuda dan Kebangkitan Nasional” termuat di Bunga Rampai Soempah Pemoeda 50 Tahun . Gaung Sumpah Pemuda juga sampai ke gadis muda bernama Sujatin di kota Yogyakarta. Dia aktif dalam organisasi Jong Java dan memperoleh kabar tentang Sumpah Pemuda melalui surat kawan-kawannya dari Jakarta. “Dapat dibayangkan betapa berdebar-debar hati saya dan kawan-kawan ketika ‘Sumpah Pemuda’ telah dicetuskan dan kami bersama Angkatan Muda semua mempunyai bendera Merah Putih dalam buku kami, pun lagu Indonesia Raya mulai di kalangan pemuda dinyanyikan,” ungkap Sujatin Kartowijono dalam “Apa Arti Sumpah Pemuda Bagi Diriku”. Sujatin menambahkan pengaruh Sumpah Pemuda terasa pula pada pergerakan wanita. “Setelah Sumpah Pemuda didengungkan maka kami merasa pula bahwa kaum wanita harus dibangkitkan dari keadaan yang masih agak pasif dan diberi semangat nasional,” lanjut Sujatin. Kelak usaha Sujatin dan kawan-kawannya berbuah Kongres Perempuan Indonesiapertama pada 22 Desember 1928. Humor Pemuda Cerita S.K. Trimurti, menteri perburuhan pertama Indonesia, tentang keadaan pemuda setelah Sumpah Pemuda lain lagi. Usia Trimurti 16 tahun ketika Sumpah Pemuda berlangsung di Batavia. Dia masih bersekolah di Surakarta dan hanya mendengar sayup-sayup kabar Sumpah Pemuda. Dia merasakan Sumpah Pemuda mempunyai pengaruh dalam kehidupan para pemuda di kota lainnya beberapa tahun kemudian. Trimurti mengungkap cerita humor sekitar kehidupan pemuda setelah Sumpah Pemuda. Menurut dia, kehidupan pemuda masa itu tidaklah melulu berisi keseriusan dan ketegangan. “Tetapi pemuda-pemuda yang selalu ada unsur ‘humornya’ dalam diri masing-masing. Muka-muka mereka bukanlah muka-muka yang seram, yang kelihatan selalu ‘tegang’,” terang dia dalam “Sikap Humor dalam ‘Keseriusan’ Pejuang-Pejuang Muda”. Trimurti menyatakan aktivitas organisasi pergerakan nasional semakin berkurang setelah Sumpah Pemuda. Sebab pemerintah Hindia Belanda melarang pertemuan anggota partai, organisasi pemuda, dan organisasi wanita yang memiliki cita-cita Indonesia merdeka dan menentang pemerintah. “Apakah dengan itu kegiatan politik lantas berhenti?” tanya Trimurti. Pemuda selalu mempunyai cara untuk menghadapi situasi sulit dan beban berat. Misalnya untuk menyiasati larangan rapat, pemuda mengadakan rapat sembari berjalan di dalam gang. Cara ini berhasil mengelabui anggota Politiek Inlichtingen Dienst (PID—semacam dinas intelijen pemerintah). Cara lain pemuda untuk mengelabui anggota PID adalah dengan menyaru sebagai pasangan sejoli ketika menggelar rapat. “Kalau terjadi begini, bukan PID yang ribut, akan tetapi orang-orang tua itu. Mereka mengira, bahwa anak-anaknya benar-benar pacaran,” lanjut Trimurti. Trimurti mengakui pengaruh Sumpah Pemuda 1928 dalam kehidupan anak muda pada zamannya. “Banyak sekali. Yang jelas tekad untuk mewujudukan Indonesia Raya yang satu, berdaulat, meresap sungguh-sungguh di hati sanubari pejuang-pejuang muda ketika zaman penjajahan.” Begitulah pengaruh Sumpah Pemuda menurut pemuda-pemuda sezaman.
- Hikayat Lagu Melati di Tapal Batas
KETIKA tenor asal Bandung Sudaryanto bersama Paduan Suara Esbhita dan kelompok Orkes Simfoni Angkatan Darat pimpinan F.A. Warsono melantunkan lagu Melati di Tapal Batas dalam suatu konser di tahun 1970-an, banyak orang terhenyak dengan lagu lawas ciptaan penyair Ismail Marzuki tersebut. Para veteran menitikkan air mata dan banyak mantan pejuang terkenang kembali suasan-suasana di front Jakarta timur pada era revolusi. “Lagu itu begitu populer dan sering kami nyanyikan bersama saat kami pulang dari medan perang,” kenang Mochamad Kajat, salah seorang eks pejuang yang pernah berjuang di wilayah Bekasi dan sekitarnya. Menurut Ninok Leksono dalam Seabad Ismail Marzuki: Senandung Melintas Zaman , lagu Melati di Tapal Batas memang dicipta oleh Ismail dalam pencitraan sosok “perempuan yang jantan dan herois”. Tentu saja itu paradoks dengan lagu-lagu Ismail lainnya seperti Sabda Alam , di mana disebutkan “wanita dijajah pria sejak dulu, dijadikan perhiasan sangkar madu.” Silakan Anda simak sendiri bait-bait lagu tersebut: Engkau gadis muda jelita/ bagai sekuntum melati// Engkau sumbangkan jiwa raga/ di tapal batas Bekasi// Engkau dinamakan srikandi// pendekar putri sejati// Engkau turut jejak pemuda/ turut mengawal negara// Oh pendekar putri nan cantik// Dengarlah panggilan ibu//Sawah ladang rindu menanti//Akan sumbangan baktimu// Duhai putri muda remaja/suntingan kampung halaman//Kembali ke pangkuan bunda/berbakti kita di ladang//. Lagu Pesanan Namun di balik ketenaran lagu yang bernuansa seriosa tersebut, tak banyak orang tahu jika Melati di Tapal Batas memiliki kisah tersendiri. Alkisah di front Jakarta Timur (tapal batas Bekasi) pasca-proklamasi dikumandangkan, eforia revolusi begitu menggelegak di dada setiap anak muda Indonesia. Bukan hanya para pemuda, para pemudi pun ikut terlibat sebagai pejuang bersenjata. “Kebanyakan mereka adalah anak-anak perempuan para petani di Karawang dan Bekasi,” ungkap Kajat. Keikutsertaan para pejuang perempuan itu tidak diiringi dengan keterampilan untuk bertempur. Rata-rata bergabungnya para putri petani tersebut hanya bermodalkan keberanian dan keinginan untuk ikut mengusir penjajah. Akibatnya banyak para gadis perang yang tergabung dalam lasykar-lasykar itu menjadi makanan peluru musuh di medan laga. Demi mengetahui hal tersebut, Komandan Resimen V Cikampek Letnan Kolonel Moeffreni Moe’min (yang membawahi wilayah pertempuran Jakarta dan sekitarnya) merasa prihatin. Dia menyatakan bahwa sejatinya palagan bukanlah tempat bagi para perempuan tersebut. “Bukan kami tidak percaya, namun sebagai perempuan mereka memiliki tugas yang lebih penting untuk melahirkan generasi baru. Kalau mereka semua gugur di medan perang, lantas siapa yang akan meneruskan perjuangan ini?” ujar Moeffreni dalam biografinya berjudul Jakarta-Karawang-Bekasi, Dalam Gejolak Revolusi: Perjuangan Moeffreni Moe’min karya Dien Madjid dan Darmiati. Tetapi jika hal itu disampaikan secara langsung kepada mereka, Moeffreni yakin akan ada upaya penolakan. Maklum, darah muda. Karena itu, dia lantas mencari akal agar bukan saja komandan yang melarang tetapi masyarakat juga ikut melarang. Ketika situasi penuh kebingungan itu, tetiba di markas Resimen V Cikampek muncullah penyair Ismail Marzuki dan penyair Suto Iskandar. Mereka singgah di Cikampek dalam rangka perjalanan mereka ke Yogyakarta. Kepada dua seniman itu Moeffreni lantas menceritakan masalah yang tengah dihadapinya di front Jakarta Timur. Lalu terbetiklah ide untuk menciptakan suatu lagu yang bisa mempengaruhi para remaja putri tersebut untuk menarik diri dari garis depan tanpa harus merasa kehilangan kehormatan. “Terserahlah kepada kalian caranya,” ujar Moeffreni. Maka sekira awal 1947, berkumandanglah lagu Melati di Tapal Batas di seantero palagan Pulau Jawa. Bekasi dan Jakarta Timur pun heboh. “Responnya sangat bagus, para remaja putri banyak yang sadar bahwa berjuang mempertahankan kemerdekaan tidaklah harus lewat memanggul senjata,” kata Moeffreni. Cerita Nyata Banyak kalangan menyebut bahwa kisah di balik lagu Melati di Tapal Batas tersebut tak lebih sebagai fiksi semata. Tapi benarkah? Beberapa waktu lalu, saya pernah berupaya menelusuri soal ini dan menemukan kenyataan menarik bahwa ada kemungkinan subyek-subyek yang dikisahkan dalam lagu tersebut adalah nyata. Dalam lagu itu, Ismail dan Suto memanggil para petempur putri itu sebagai “srikandi”, seorang prajurit perempuan dalam dunia pewayangan (merupakan istri Arjuna) yang piawai menggunakan senjata panah. Di lagu itu juga duo penyair tersebut mangidentifikasi secara eksplisit sang srikandi adalah putri dari para petani. Dan anggapan terakhir itu dibenarkan oleh Kajat seperti di atas. Soal sebutan “srikandi”, Ninok Leksono berpendapat bahwa penyebutan itu hanya sekadar simbol untuk mencitrakan sosok perempuan yang gagah perkasa dan tak kalah ksatria dari para pejuang laki-laki. Tapi dari penelusuran yang saya lakukan terhadap para pelaku sejarah di Karawang dan Bekasi, nama “srikandi” memang pernah ditabalkan kepada suatu kelompok lasykar perempuan yang aktif berjuang melawan tentara Inggris dan Belanda di sekitar Karawang dan Bekasi, “Nama kelompoknya BSI, Barisan Srikandi Indonesia,” ungkap Abdurachman, salah seorang eks anggota lasykar di Karawang Utara. Nama BSI juga sekilas sempat disebut-sebut dalam buku sejarawan asal Australia Robert B. Cribb berjudul Gangsters and Revolutionaries (diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi: Para Jago dan Kaum Revolusiener Jakarta 1945-1949 ). Cribb menyatakan kepada saya bahwa dia sendiri kesulitan untuk mencari data lengkap tentang kelompok tersebut. Yang jelas, kata Cribb, BSI terkait dengan nama Sidik Kertapati, salah seorang tokoh pejuang yang mengikuti jalur politik Tan Malaka dan pernah bergabung dengan LRDR (Lasjkar Rakjat Djakarta Raja).





















