Hasil pencarian
9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Perempuan Kembali Menghadapi Domestifikasi
SETELAH 20 tahun Reformasi, gerakan perempuan menghadapi tantangan yang hampir serupa dengan rezim otoriter Soeharto. Bila masa Orde Baru (Orba) “Ibuisme” yang menjadi tantangan, kini gerakan perempuan menghadapi tantangan konservatisme agama seperti domestifikasi perempuan, poligami, dan pernikahan dini. Konservatisme agama telah menggeser dominasi negara terhadap perempuan. Ia menghendaki perempuan menjadi istri yang saleh dengan menjadi ibu yang baik dan juga bersedia dipoligami. Hal semacam ini juga menjadi dasar ideologi “Ibuisme” Soeharto meski Orba melarang poligami. “Perempuan yang ideal kembali digeser untuk mengisi ranah domestik. Padahal itu yang gerakan perempuan lawan ketika masa Orba. Ketika Reformasi, ide (domestifikasi, red. ) itu diharapkan hilang. Sekarang berusaha ditarik mundur,” kata Atnike Nova Sigiro, direktur eksekutif Jurnal Perempuan dalam Media Briefing yang diselenggarakan Komnas Perempuan, Minggu (20/04/28). Dalam “Ibuisme”, perempuan yang baik dicitrakan patuh, diam, dan perawat keluarga. Soeharto berusaha membungkam politik perempuan dan menempatkan peran perempuan hanya sebagai konco wingking , pasangan bapak yang berperan di garis belakang: dapur, kasur, dan sumur. “Relasi perempuan dengan negara seperti relasi perempuan dengan bapakisme negara. Representasinya ada dalam organisasi wanita, Dharma Wanita dan PKK,“ kata Ruth Indiah Rahayu, peneliti feminis di Institut Kajian Kritis dan Studi Pembangunan Alternatif (Inkrispena). Organisasi istri yang sejalan dengan ideologi gender Orba ini tidak mempunyai visi politik tentang pembebasan perempuan, kesetaraan, dan keadilan. Akibatnya, organisasi tersebut tidak akan bisa berbuat apapun pada problem perempuan seperti pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), kesejahteraan perempuan, dan akses perempuan terhadap politik. Adanya permasalahan fundamental itu menjadi alasan berdirinya Yayasan Annisa Swasti (Yasanti), Kalyanamitra, dan Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita pada 1980-an. Organisasi-organisasi perempuan berbasis feminisme itu muncul untuk mengubah ideologi gender Orba di samping berupaya menurunkan pemimpin Orba-nya yang sudah terlalu lama berkuasa. Keberadaan mereka memicu gelombang kemunculan gerakan perempuan meningkat pesat pada 1990-an. Solidaritas Perempuan, Yayasan Perempuan Mardika, Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA), dan Lembaga Bantuan Hukum APIK menambah kekuatan gerakan perempuan yang muncul sedekade sebelumnya. Dalam perjuangannya, gerakan perempuan membangun emosi poitik. Politik empati yang sumbernya dari etika kepedulian digunakan untuk melawan otoritarianisme yang patriarkis dan militeristik. Aksi turun ke jalan Koalisi Perempuan untuk Kebebasan Pers (KPKP), misalnya, ditujukan untuk menentang pembredelan pers tahun 1994. Hal serupa dilakukan Suara Ibu Peduli (SIP) lewat demonstrasi untuk merespons krisis ekonomi 1997, yang dibentuk untuk memobilisasi empati massa dan membangun kepedulian pada para ibu yang tak sanggup membeli susu anak. Aksi SIP, menurut Ruth, menampilkan kekhasan politik perempuan, yaitu perlawanan pada krisis ekonomi-politik yang berdasar etika kepedulian. Kampanye SIP menarik kepedulian publik dan memperkuat kekuatan massa untuk melawan rezim otoriter Soeharto. Gerakan perempuan terus tumbuh, puncaknya pada Reformasi 1998. Para perempuan ingin mengubah idelogi patriarki menjadi egaliter. Gerakan perempuan mengupayakan agar negara tidak lagi menempatkan posisi perempuan sebagai konco wingking tapi memberi akses politik dan kesejahteraan sosial. Perubahan yang diperjuangkan gerakan perempuan itu semua dilandasi etika kepedulian. Reformasi dan demokrasi yang dilandasi oleh etika kepedulian, menghindari egoisme kelompok, kebrutalan, kesewenang-wenangan, dan diskriminasi baik terhadap perempuan maupun kelompok marginal. Budaya politik yang ingin ditumbuhkan gerakan perempuan, pernyataan Komnas Perempuan dalam rilisan persnya, adalah demokrasi sejati bukan demokrasi yang otoriter dan fasis. Selama 20 tahun pasca-jatuhnya Suharto, menurut Ruth, gerakan perempuan sibuk mengisi kebijakan, ide pembangunan ramah perempuan tetapi justru lalai pada serangan terhadap perempuan di ranah sosial. Akibatnya, nilai-nilai intoleransi dan ide konservatifisme yang cenderung menyasar perempuan meningkat liar tanpa pengawasan. “Reformasi 20 tahun ini terlalu banyak digunakan untuk mendorong perempuan ke lingkup publik. Kita melupakan arena privat yang diintervensi oleh kekuatan konservatif fundamentalis,” kata Atnike.
- Di Balik Pendudukan Gedung DPR
JAKARTA, 19 Mei 1998. Fadli mulai merasa tegang ketika memasuki kawasan Senayan. Bersama sekira 6.000 mahasiswa Front Nasional (gabungan dari tiga perguruan tinggi: Universitas Nasional Jakarta, Universitas Jayabaya Jakarta dan Universitas Pakuan Bogor), ia merasa menghadapi situasi hidup dan mati. “Sebelumnya kami mendapat informasi, Gedung DPR/MPR dijaga ketat oleh tentara. Jadi untuk memasukinya kami harus bertempur dulu dengan mereka,” kenang eks mahasiswa Universitas Pakuan tersebut. Begitu rombongan bus dan kendaraan yang memuat rombongan Front Nasional mencapai kawasan Taman Ria, situasi ternyata tidak seperti yang dikhawatirkan para mahasiswa. Memang ada beberapa panser milik Korps Kavaleri AD dan sekira dua kompi prajurit Korps Marinir AL yang tengah berjaga-jaga. Namun, mereka membiarkan begitu saja rombongan mahasiswa melaju ke Gedung DPR/MPR. “Situasi begitu absurd, kami yang sudah siap bertempur ternyata dibiarkan begitu saja. Tak ada bentrok dan tak ada sama sekali suara tembakan,” ungkap Faizal Hoesein, Koordinator KM UNAS (Keluarga Mahasiswa Universitas Nasional). Setiba di muka pintu gerbang Gedung DPR MPR, alih-alih dihadang, rombongan mahasiswa malah disambut secara baik-baik oleh pasukan Kostrad (Komando Strategi Angkatan Darat). Para prajurit berbaret hijau itu menyilakan para korlap (koordinator lapangan) untuk mengatur secara tertib barisannya. Mereka lantas menyilakan para mahasiswa untuk masuk secara berbanjar. Sementara di kanan kiri, para prajurit bersenjata lengkap mengawal. “Baru setelah semua kawan-kawan masuk, kami dilepas,” ujar Faizal. Apa yang menyebabkan tentara membiarkan para mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR? Tidak Biasa Secara politis, sejatinya para mahasiswa memerlukan untuk menduduki Gedung DPR/MPR. Menurut Muchtar E. Harahap dan Andris Basril, pendudukan itu harus mereka lakukan guna mendesakkan isu penyelenggaraan Sidang Istimewa MPR. “Ada semacam persepsi di kalangan para pimpinan mahasiswa bahwa tidak ada cara lain untuk melakukan desakan secara konstitusional kecuali melalui para wakil rakyat yang berada di Gedung DPR/MPR,” tulis Muchtar dan Andris dalam Gerakan Mahasiswa dalam Politik Indonesia. Maka sejak 19 Mei 1998, arus kedatangan mahasiswa terus mengalir deras ke Gedung DPR/MPR. Mereka tidak hanya datang dari kawasan Jabodetabek semata, tapi juga ada yang dari Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur bahkan ada yang khusus datang dari luar pulau Jawa. Hingga menjelang detik-detik pengunduran diri Soeharto sebagai presiden, massa mahasiswa yang sudah terkumpul mencapai jumlah kira-kira 60.000 orang. Bagi Letnan Jenderal TNI (Purn.) Sintong Panjaitan, fenomena tersebut sesungguhnya tidak biasa. Menurut eks perwira Kopassus itu, dalam situasi kacau seperti pada Mei 1998, seharusnya ABRI tidak membolehkan seorang pun masuk ke Gedung DPR/MPR. “Karena itu, saya heran mengapa Gedung DPR/MPR bisa diduduki secara mudah oleh massa mahasiswa kala itu?” ujar Sintong. Dalam biografinya, Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando , Sintong sangat meyakini bahwa tidak terlalu sulit bagi ABRI saat itu untuk mencegah massa mahasiswa masuk ke Gedung DPR/MPR. Namun nyatanya mereka tidak melakukan upaya pencegahan tersebut. Padahal saat itu kekuatan ABRI di Jakarta sangat besar dan Presiden Soeharto yakin mereka ada di belakangnya. “Presiden Soeharto sudah mempercayakan masalah-masalah keamanan dan ketertiban kepada ABRI,” ujar Sintong seperti disampaikan kepada penulis Hendro Subroto. Campur Tangan Elite Bisa jadi melonggarnya penjagaan Gedung DPR/MPR terkait dengan alotnya pergumulan yang terjadi di tingkat elit termasuk elit militer. Edward Aspinal, pengamat politik Indonesia asal Australia berpendapat, menjelang kejatuhan Soeharto, sejatinya militer Indonesia tidak lagi ada dalam suatu kesatuan sikap. “Orang bilang di sekitar Soeharto ada kelompok 'tentara hijau' yang lebih cenderung berpihak ke Islam dan kelompok 'tentara merah-putih' yang lebih nasionalis,” ungkap Edward dalam suatu diskusi di PIJAR Indonesia pada 1997. X-Pos edisi 28 Februari-6 Maret 1998 malah secara gamblang menyebut perseteruan dua kelompok itu mengerucut kepada nama Letnan Jenderal Prabowo Subianto dan Jenderal Wiranto. Menurut buletin yang beredar secara gelap menjelang kejatuhan Presiden Soeharto tersebut, Prabowo sangat kuat di Jakarta sedangkan Wiranto menguasai Markas Besar ABRI. Dalam konteks seperti itu, keberhasilan mahasiswa menduduki Gedung DPR/MPR tidak terlepas dari berjalannya secara efektif lobi-lobi politik yang dilakukan oleh para intelektual yang memiliki kedekatan dengan para mahasiswa. Majalah Time edisi 30 Maret 1998, menyebut adalah Hermawan Sulistyo dan Daniel Sparingga yang beberapa kali menjalin kontak rahasia dengan elit militer. Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk mengukur sejauh mana para mahasiswa dapat diperbolehkan melakukan aksinya. Namun analisa yang dilansir oleh Time itu dibantah oleh keduanya dalam majalah Gamma edisi 8 Agustus 1999. Yang jelas pendudukan mahasiswa terhadap Gedung DPR/MPR tidaklah berlangsung lama. Dua hari setelah lengsernya Soeharto sebagai presiden, nyatanya massa mahasiswa bisa “diusir” secara mudah oleh tentara.
- Catatan Seorang Aktivis: PRD dan Penggulingan Soeharto (2)
SELAMA 1993 sampai 1994, setiap kali kereta api yang kutumpangi memasuki Stasiun Jatinegara, sejenak aku menengok ke kiri. Kupandangi tembok Lembaga Pemasarakatan Cipinang yang terlihat begitu angkuh. “Suatu saat aku akan berada di sini. Cepat atau lambat rezim Soeharto akan memenjarakanku,” gumamku.
- Catatan Seorang Aktivis: PRD dan Penggulingan Soeharto (1)
GEDUNG Bundar Kejaksaan Agung (Kejagung) begitu "angker” bagi tokoh-tokoh oposisi, terutama dari Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Satu per satu mereka diperiksa sebagai saksi Peristiwa 27 Juli 1996. Mereka antara lain Megawati Soekarnoputri, Ridwan Saidi, Aberson M. Sihaloho, Sophan Sophiaan, Sabam Sirait, Soetardjo Soerjogoeritno, Sukowalujo Mintorahardjo, Julius Usman, dan Permadi.
- Jalan Panjang Panama ke Piala Dunia
EUFORIA Piala Dunia 2018 di Rusia kian terasa. Dalam pesta sepakbola terbesar sejagat edisi ke-21 ini, Panama –dan Islandia– bakal unjuk gigi sebagai debutan. Panama memang “bocah” baru yang prestasi sepakbolanya masih segelintir. Selain juara ketiga (1948) dan juara pertama (1950) turnamen Confederacion Centroamericana y del Caribe de Futbol, pendahulu CONCACAF (Konfederasi Sepakbola Amerika Tengah dan Karibia), prestasi tertinggi Panama adalah masuk ke putaran final Piala Dunia 2018. Ketidakstabilan politik dan pergolakan dalam negeri menjadi faktor penting yang membuat Panama tak bertaji. Selain itu, popularitas sepakbola di negeri berpenduduk empat juta jiwa itu masih di bawah bisbol, tinju, dan basket. Publik Panama lebih kenal dan memuja maestro bisbol Mariano Rivera, Bruce Chen, Manny Sanguillen atau legenda tinju Roberto Duran ketimbang pesepakbola macam Luis Ernesto Tapia atau Rommel Fernandez. Perhatian pemerintah terhadap sepakbola pun tak besar. Panama baru punya induk organisasi sepakbola (FEPAFUT) pada 1937 atau 34 tahun setelah merdeka. Tak heran bila infrastruktur sepakbola Panama amat minim. Era Baru Kendati sudah punya beberapa klub amatir sejak 1920-an dan kejuaraan amatir Liga Nacional sejak 1925, minimnya perhatian menyisakan banyak kekurangan pada persepakbolaan Panama. Kekurangan-kekurangan itu menjadi cambuk bagi para aktivis sepakbola Panama seperti Gary Stempel untuk makin keras berupaya memajukan persepakbolaan negerinya. Stempel yang lahir di Panama City, 15 Desember 1957, merupakan aktivis sepakbola Panama. Saat usianya lima tahun, anak mantan pebisbol Panama itu ikut orangtuanya pindah ke Inggris, negeri asal ibu Stempel. Di Inggris Stempel bergabung dengan klub lokal Millwall. Stempel belajar banyak soal sepakbola Inggris. Para aktivis sepakbola Panama, di sisi lain, tak kenal lelah memperbaiki persepakbolaan negerinya. “Tak ada dukungan. Kami sering kekurangan materi untuk pelatihan, kadang kami juga tak punya bola. Bukan hal aneh latihan di lapangan-lapangan bisbol atau saat melihat sepatu para pemain kami rusak. Semua pihak berkorban secara ekonomi hanya untuk datang ke lapangan demi latihan karena para pemain tak diberi uang transport untuk perjalanan mereka,” kenang Stempel, dikutip mondofutbol.com . Hasil perjuangan itu, pada 1988 berdiri Asociacion Nacional Pro Futbol (ANAPROF). Asosiasi ini yang menjalankan liga profesional. Berdirinya ANAPROF, yang lantas bertransformasi jadi Liga Penamena de Futbol (LPF), jadi momen lepas landas sepakbola Panama dan timnasnya ke level lebih tinggi. Liga profesional itulah yang jadi tempat penerapan ilmu Stempel sepulangnya 34 tahun berguru di Inggris. Mula-mula, Stempel menjadi pelatih klub lokal San Fransisco dan Panama Viejo. Dia bergerilya ke berbagai wilayah untuk mencari pemain klub-klubnya. “Para pemain saya berasal dari anak-anak jalanan dan semua dari mereka punya masalah. Sebagian tak pernah kenal ayahnya. Sebagian lagi ibu mereka di penjara hingga harus melakukan dua-tiga pekerjaan selain latihan sepakbola, demi menafkahi saudara-saudara mereka,” cetusnya, dilansir The Sun , 24 Desember 2017. Gary Stempel, kembali ke Panama untuk mengasuh tim U-17 (Foto: fepafut.com) Latar belakang para pemainnya yang bermasalah membuat Stempel memberikan penanganan khusus. Dia tak hanya mengasah skill , tapi juga intens melakukan pendekatan kepada masing-masing bocah. Di luar itu, Stempel mesti kuat karena besarnya tekanan gang kriminal. “Jika Anda kalah dua laga berturut-turut yang tentu saja saya pernah alami, Anda akan mendapatkan ancaman pembunuhan dari geng-geng,” ujar Stampel, disitat Football Paradise , 21 Desember 2017. Kerja keras Stempel membuahkan hasil manis. Dia membawa Panama Viejo empat kali juara liga dan dua gelar juara lain. Stempel lalu dipercaya menangani timnas U-20 tahun 2002 dan membawa tim itu lolos Piala Dunia U-20 tahun berikutnya. Lima tahun berselang, dia dipercaya melatih tim senior. Pada 2009, berhasil membawa timnya menjuarai UNCAF Nations Cup. Di tahun yang sama, Stempel membawa Panama hingga perempatfinal Gold Cup. Salah satu binaannya, Ramon Torres, kini jadi pilar terpenting Panama menembus Piala Dunia 2018. “Dia datang dari jalanan. Kami benar-benar mengasahnya dari nol,” kata Stempel. Sejak itu, sepakbola tak lagi olahraga yang dipandang sebelah mata di Panama. Sepakbola berhasil lepas dari bayang-bayang pamor bisbol. Warisan Stampel kini masih sangat terasa. Stampel kini mengabdi di timnas Panama U-17.
- Kekecewaan Soeharto pada Habibie
PADA 21 Mei 1998, Presiden Soeharto mengumumkan pengunduran diri di Istana Merdeka, Jakarta. Dia digantikan wakilnya, BJ Habibie, yang saat itu juga diambil sumpah sebagai presiden. Inilah pertemuan terakhir mereka.
- Riwayat dan Kinerja Perusahaan Daerah DKI Jakarta
PELEPASAN saham Pemprov DKI sebesar 26,25 persen di PT Delta Jakarta menjadi sorotan. Pemprov berpotensi meraup satu triliun rupiah dari penjualan saham, sekaligus juga bakal kehilangan dividen 38 miliar rupiah per tahun. Jumlah dividen ini cukup besar di antara perolehan dividen Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemprov DKI. Kontribusi BUMD —dulu disebut Perusahaan Daerah— untuk menggemukkan kas Pemprov DKI berbeda satu sama lain. Bergantung pada kinerja, bidang usaha, dan laba bersih mereka. Ada Perusahaan Daerah berkinerja baik dalam bidang usaha yang menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga menghasilkan laba bersih yang tinggi. Tapi ada juga Perusahaan Daerah berkinerja buruk dalam bidang usaha menyangkut kebutuhan keseharian rakyat sehingga laba bersihnya rendah. Berikut ini riwayat singkat dan gambaran kinerja masa lalu sejumlah Perusahaan Daerah Pemprov. PT Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jaya Perusahaan Daerah pertama Pemprov DKI. Berdiri pada 1961 dari gagasan Soemarno, gubernur Jakarta 1960-1964 dan 1965-1966. Pemerintah Daerah ketika itu menaruh modal senilai dua juta rupiah, sedangkan pihak swasta berkontribusi setengah juta rupiah. Gerak BPD Jaya berputar pada penghimpunan dan penyaluran dana untuk pembangunan. “Tahun 1961 Bank Pembangunan Daerah boleh bergerak 80 persen dalam bidang pembangunan daerah Jakarta dan 20 persen dalam bidang Bank Umum dalam hubungannya dengan pembangunan,” tulis Soemarno dalam Karya Jaya: Kenang-Kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945-1966. Pemda Jakarta mengambil-alih semua saham BPD Jaya dari pihak swasta pada 1967. Kemudian Ali Sadikin, gubernur Jakarta 1966-1977, mengembangkan fungsi BPD Jaya melampaui fungsi bank umum. Antara lain menjadi penggerak kegiatan ekonomi pedagang lemah, pelaksanaan Tabungan Pembangunan Nasional (Tabanas) dan Tabungan Asuransi Berjangka. “Dengan penetapan kebijaksanaan yang dimaksud di atas, hasil usaha BPD Jaya, baik dalam bentuk pengumpulan dan pengerahan dana terus meningkat,” tulis Ali Sadikin dalam Gita Jaya. Sekarang BPD Jaya berubah nama jadi PT Bank DKI. PD Dharma Jaya Bergerak dalam bidang penyediaan, pemotongan, dan penyaluran daging hewan ternak seperti sapi dan ayam. Pendiriannya berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor lb.3/2/17/1966 tanggal 24 Desember 1966. Perusahaan ini gabungan dari Jawatan Kehewanan DKI, Perusahaan Peternakan Negara Unit Yojana, dan Pelaksana Kebutuhan Daerah Jaya dan Niaga Jaya. Pada awal pendiriannya, PD Dharma Jaya menghadapi tantangan berat. “Modal hanya terdiri dari barang-barang ( assets ) tidak bergerak yang umumnya dalam kondisi tua dan banyak yang rusak, bahkan tidak sedikit yang tidak dapat dipergunakan lagi,” tulis Ali Sadikin. Selain itu, jumlah tenaga kerja melampaui kebutuhan nyata perusahaan. Untuk memecahkan masalah tersebut, Ali Sadikin merehabilitasi alat-alat produksi, meningkatkan efisiensi, dan membekukan usaha-usaha yang tidak produktif. Dia juga mengoordinasi Rumah Pemotongan Hewan (RPH) di Jakarta dengan PD Dharma Jaya dan menyediakan mobil pengangkut. PD Dharma Jaya merumuskan ulang visi dan misinya sekaligus membuat rencana jangka panjang pada 1985 setelah keluar Peraturan Daerah No. 5 Tahun 1985. Dua poin pentingnya antara lain peningkatan operasi dan laba bersih dan menjadi pemimpin di bidang perdagangan dan industri daging. Tapi sekarang PT Dharma Jaya justru terlilit masalah internal dan ketiadaan dana untuk menyediakan daging murah atau subsidi. Perusahaan Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD) Perusahaan ini berawal dari nasionalisasi terhadap perusahaan asing bernama Bataviasche Vorkers Mastschappij NV pada 1954. Kepemilikannya berada di Kementerian Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi, dan Pariwisata. Lingkup usahanya meliputi penyediaan, perawatan, dan penyelenggaraan transportasi massal. PPD menjadi milik Pemerintah Jakarta melalui Peraturan Pemerintah No. 229 Tahun 1961 pada masa Gubernur Soemarno. “Dasar pertimbangan adalah bahwa perusahaan negara yang menyelenggarakan pengangkutan penumpang untuk umum dengan kendaraan bermotor khusus dalam wilayah Daerah Swatantra lebih tepat dikuasai, diasuh, dan dibimbing oleh Pemerintah Daerah itu,” tulis Ali Sadikin. Saat awal menjadi milik Pemerintah Jakarta, PPD mempunyai seratusan bus Leyland berwarna kuning. Terpampang tulisan khas di kaca depannya, “Bis ini dibeli dengan uangmu, peliharalah baik-baik,” tulis Djaja, 13 Juli 1963. Manajemen PPD berjalan cukup baik pada dekade 1960-an. Bus-busnya baru, sopir berkendara santun, dan kernet bisa hidup layak. Tapi masuk dekade 1970-an, manajemen PPD “Semakin hari, semakin rusuh akibat manajemen gado-gado yang masih terlalu amatir dan kampungan,” tulis Ekspres , 19 April 1971. PPD pun merugi puluhan tahun. Sekarang PPD telah banyak berbenah. Bus-bus baru berdatangan dan beroperasi melayani penumpang dalam Busway . PPD kembali memperoleh laba sejak 2012. PT Delta Djakarta Serupa PPD, PT Delta Djakarta bermula dari perusahaan asing pada 1932. Berkedudukan di Batavia, perusahaan ini bernama De Archipel Brouwerij milik orang Jerman. Menurut Bisuk Siahaan dalam Industrialisasi di Indonesia: Sejak Hutang Kehormatan Sampai Banting Stir , kepemilikannya berpindah ke orang Belanda menjelang Perang Dunia II. Namanya pun berganti jadi De Orange Brouwerij. De Orange Brouwerij terus berkembang. Hingga datanglah masa nasionalisasi terhadap perusahaan asing pada 1957. Kepemilikannya beralih ke perusahaan Indonesia dan diserahkan ke Pemerintah Jakarta pada 1964. Namanya ganti lagi jadi PT Budjana Djaja-Pabrik Bir Jakarta. Anker jadi nama produknya. Seiring terbitnya Undang-Undang Penanaman Modal Asing (UU PMA) pada 1967, kota Jakarta mulai berubah. Salah satu pengaruh UU PMA bagi Jakarta adalah kehadiran tempat hiburan malam. Tempat-tempat itu menyediakan bir dan pengunjungnya cukup ramai. Ali Sadikin melihat potensi menguntungkan dari situasi tersebut. Dia menggagas bentuk kerja sama yang titik beratnya terletak pada peleburan seluruh sistem perusahaan ( join venture ) dengan modal swasta asing. “Sebagai pilot project dari usaha-usaha kerja sama tersebut di atas, dapat dikemukakan sebagai contoh join venture antara Pabrik Bir Anker Jakarta dengan pihak pemilik semula NV Bier Brouwerij de Drie Hoofijzers,” tulis Ali Sadikin. Dan mulai 1970, perusahaan itu menyandang nama PT Delta Djakarta Perhitungan Ali Sadikin jitu. PT Delta Djakarta tumbuh sebagai perusahaan bir raksasa dan menjadi salah satu Perusahaan Daerah yang berkinerja baik dengan laba positif.
- Boedi Oetomo di Bulan Puasa
20 Mei 1908 Boedi Oetomo didirikan oleh para pelajar STOVIA (Sekolah Dokter Pribumi) di Batavia. Ia disebut sebagai organisasi modern pertama sehingga tanggal pendiriannya, 20 Mei ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Sebulan kemudian, Soewarno, sekretaris Boedi Oetomo, mengumumkan pendirian Boedi Oetomo di koran Bataviaasch Nieuwsblad . “Dalam pernyataannya yang pertama ini Soewarno mengumumkan bahwa sidang umum (kongres, red. ) pertama Boedi Oetomo akan diselenggarakan pada bulan puasa (Oktober) di Yogyakarta,” tulis sejarawan Akira Nagazumi dalam Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo, 1908-1918 . Pada 8 Agustus 1908 diadakan rapat di STOVIA untuk membahas segala hal mengenai kongres mendatang. Diputuskan kongres akan terbuka untuk umum, seseorang akan diutus untuk memberitahu gubernur jenderal tentang kongres itu, dan diharapkan gubernur jenderal memberikan pengakuan terhadap organisasi itu. Selain itu, menurut sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo dalam Budi Utomo Cabang Betawi , suratkabar Java Bode , 4 September 1908, memberitakan rapat Boedi Oetomo cabang Bogor yang dihadiri ketua cabang Betawi dan Bupati Temanggung yang kebetulan berada di Bogor. Rapat memutuskan untuk menulis surat kepada gubernur jenderal guna meminta izin kongres di Yogyakarta. Diputuskan juga soal bahasa perantara yang akan dipakai di dalam kongres, yaitu bahasa Jawa, Melayu dan Belanda. Disinggung pula perlunya surat kabar yang akan menyuarakan Boedi Oetomo. Kehadiran Boedi Oetomo disambut baik. Menjelang diadakannya kongres pertama, Boedi Oetomo telah memiliki delapan cabang di Betawi, Bogor, Bandung, Yogyakarta I, Yogyakarta II, Magelang, Surabaya dan Probolinggo. Pada Juli, jumlah anggotanya sekitar 650 orang, meningkat menjadi 1200 orang pada September, di antaranya 700 orang priayi dan partikelir (swasta). Abdurrachman mengungkapkan bahwa untuk membiayai kongres pertama Boedi Oetomo, para pelajar mengumpulkan dana dengan cara menjual arloji, kain panjang, ikat kepala, bahkan menyumbangkan tunjangan untuk bulan puasa. Selain itu, Dr. F.H. Roll, direktur STOVIA yang berpikiran maju dan mendukung pelajar berorganisasi, memberi pinjaman untuk kongres pertama Boedi Oetomo. Akhirnya, kongres pertama Boedi Oetomo bertepatan dengan bulan puasa digelar di Yogyakarta selama tiga hari, 3-5 Oktober 1908. Kongres dihadiri sekitar 300 orang yang memenuhi gedung Kweekschool (Sekolah Pendidikan Guru). Sebagian besar dari mereka adalah priayi yang berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Sejumlah bupati juga hadir; lainnya mengirim surat atau utusan. Hadir pula 15 atau 20 perempuan Jawa dan beberapa orang Eropa.
- Di Bawah Kuasa Agen Rahasia
DALAM kunjungan ke Jakarta pada 2008, Prof. John L. Esposito menyatakan rasa kagumnya terhadap kecintaan kaum Muslim terhadap agamanya. Namun dia mengkritik ekspresi itu kerap kali tidak disertai semangat untuk memahami Islam lebih mendalam. Akibatnya, banyak kelompok Islam yang terjatuh dalam tindak radikalisme. “Sedangkan gerakan radikalisme agama merupakan taman bermain paling nyaman bagi para agen intelijen dan ini membahayakan masa depan agama itu sendiri,” ujar Guru Besar Studi Islam di Universitas Georgetown, Amerika Serikat itu. Pernyataan Esposito bisa jadi benar. Menurut Karen Armstrong dalam The Batlle for God , (lewat badan intelijen) negara-negara di dunia sering menggunakan kelompok-kelompok keagamaan sebagai instrumen untuk memainkan kepentingan mereka. Kasus HAMAS (Gerakan Pertahanan Islam) di Palestina, menjadi salah satu contohnya. “Israel pada awalnya mendukung HAMAS, sebagai cara untuk meruntuhkan PLO,” ujar perempuan yang dijuluki sebagai “Duta Besar Islam di Dunia Barat” tersebut. Pendiri WikiLeaks Julian Assange memperkuat pendapat Karen Armstrong. Dalam suatu wawancara dengan sebuah surat kabar Argentina yang dikutip Russia Today edisi 25 Maret 2015, Assange mengatakan: “Jaringan kami mengungkapkan bahwa Israel selalu mendukung HAMAS terutama pada masa awal kelompok ini berkembang, tujuannya untuk memecah perjuangan rakyat Palestina untuk merdeka.” ISIS (Negara Islam Irak dan Syam) yang menjadi biang keladi kerusuhan berdarah di Mako Brimob dan beberapa kota di Indonesia belakangan ini, juga disinyalir sebagai organ yang dibentuk para agen Mossad (Badan Intelijen Israel), CIA (Badan Intelijen AS) dan M16 (Badan Intelijen Inggris). Berbagai kalangan mengakui hal tersebut, termasuk Edward Snowden, eks anggota NSA (Badan Keamanan Nasional AS) yang membelot ke Rusia. Kasus Indonesia Di Indonesia, pemanfaatan kelompok-kelompok radikal oleh para agen rahasia sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Salah satunya adalah DI/NII (Darul Islam/Negara Islam Indonesia), gerakan yang menjadi cikal bakal adanya dua gerakan Islam radikal pada hari ini: Jamaah Islamiyah (JI) yang menginduk ke Al Qaidah dan Jamaah Anshar Daulah (JAD) yang berafiliasi kepada ISIS. Kisah tersebut bermula dari kejadian pada 1 Agustus 1962, saat DI/NII memutuskan untuk mengakhiri pemberontakan mereka terhadap pemerintah RI (Republik Indonesia) yang sudah berusia 13 tahun. Keputusan itu dicetuskan oleh 32 tokoh dan ulama DI/NII (terdiri dari orang-orang terdekat Imam DI/NII S.M. Kartosoewirjo). Mereka antara lain Adah Djaelani, Danu Muhammad Hasan, Tahmid Rahmat Basuki, Dodo Muhammad Darda, Ateng Djaelani dan Djaja Sudjadi. Ikrar kesetiaan terhadap pemerintah RI tidak sia-sia karena beberapa waktu kemudian pemerintah RI (lewat tentara) mengganjar mereka dengan berbagai “hadiah”. Untuk para eks kombatan DI/NII setingkat prajurit dan perwira disediakan modal usaha dan biaya untuk memulai hidup baru di wilayah transmigrasi. Sedangkan untuk para petingginya, mereka langsung dibina oleh Kodam Siliwangi dan dimodali untuk berbisnis. “Seperti Ateng Djaelani dan Adah Djaelani, mereka dijadikan penyalur minyak tanah di Bandung dan Jakarta,” ujar Solahudin dalam NII Sampai JI: Salafy Jihadisme di Indonesia . Hubungan mesra antara eks anggota DI dengan tentara semakin kuat manakala mereka dilibatkan dalam penumpasan orang-orang PKI (Partai Komunis Indonesia) pasca Peristiwa 1 Oktober 1965. Pihak tentara menunjuk pentolan Kodam Siliwangi seperti H.R. Dharsono dan Aang Kunaefi serta beberapa pejabat BAKIN (Badan Koordinasi Intelijen Negara) yakni Ali Moertopo dan Yoga Sugama untuk berkoordinasi dengan para petinggi DI. “Dalam operasi itu, pihak tentara hanya memberikan pinjaman senjata sedangkan untuk soal-soal teknis termasuk logistik, orang-orang DI membiayai sendiri,” ungkap Sholahudin. Sukses memberangus eks anggota PKI, para tokoh DI/NII diarahkan oleh para petinggi BAKIN untuk terlibat dalam proyek pemenangan Golkar (Golongan Karya) dalam Pemilihan Umum 1971. Kendati sempat terjadi perdebatan di kalangan internal eks anggota DI/NII, pada akhirnya ajakan itu diterima. “Lewat Pertemuan Situaksan, Bandung (yang ditengarai dananya dari BAKIN) pada 21 April 1971, sekitar 3000 eks anggota DI menyatakan siap mendukung Golkar,” kata Solahudin. Perkembangan selanjutnya DI/NII bermetamorfosis menjadi sebuah gerakan bersenjata kembali. Sejak pertengahan tahun 1970-an, ruang lingkup perjuangan mereka tidak lagi hanya semata di Jawa, namun juga sudah meluas hingga Sumatera dan Sulawesi. Aksi-aksi DI/NII semakin militan, kreatif dan mulai berjejaring secara internasional, terutama setelah mereka mendirikan JI dan JAD. Apakah mereka sudah terlepas dari kuasa para agen rahasia? Dalam dunia intel, tak ada yang bisa menjamin itu tidak terjadi.
- Lima Gebrakan Revolusioner Wenger
DIPUJA dan dihujat. Dua hal itulah yang selang-seling diterima Arsene Wenger sepanjang 22 tahun mengasuh klub London utara Arsenal FC. Sanjungan setinggi langit menghampirinya kala dia membawa The Gunners dua kali menyabet double winners –raihan trofi Premier League dan FA Cup– pada musim 1997/1998 dan 2001/2002. Pujian kian deras kala Arsenal menutup musim 2003/2004, tim ini mengukir rekor tak terkalahkan sepanjang musim, mengulang Preston North End 115 tahun sebelumnya. Namun, cercaan dan makian langsung menghampiri Wenger begitu prestasinya jeblok. “ Wenger Out !” kata slogan yang pernah diusung fans Arsenal saat performa tim itu buruk. Belakangan, terutama pada 2017, tekanan terhadapnya untuk menyudahi masa bakti di Emirates Stadium kian intens. Sejumlah kelompok fans menginginkan pergantian rezim Wenger. Les Professeur (sang professor), julukan yang diberikan media Inggris pada Wenger yang tak pernah berhenti menggali pelajaran sepakbola modern, resmi meninggalkan Arsenal pada 13 Mei 2018. Kepergiannya tak hanya meninggalkan kenangan manis buat fans Arsenal, dia meninggalkan banyak hal berharga buah inovasinya kepada sepakbola Inggris. Apa saja warisan revolusioner Wenger yang dikenang? Diet Pemain Urusan nutrisi jadi satu dari sekian pekerjaan rumah (PR) pertama Arsene Wenger kala datang ke Arsenal, 1996. Wenger merombak asupan makanan para pemainnya, tak ada lagi santapan utama macam steak atau camilan cokelat Mars di kamp latihan. Wenger menggantinya dengan beragam makanan sehat seperti wortel mentah dan seledri, brokoli, ikan atau ayam rebus, hingga kentang tumbuk. “Menurut saya di Inggris makanan mereka terlalu banyak mengandung gula, daging dan justru kurang sayuran. Padahal gaya hidup kita berkaitan erat dengan kesehatan,” ungkap Wenger di Evening Standard , 18 Oktober 1998. Arsene Wenger "mereformasi" gaya hidup dan nutrisi para pemainnya (Foto: arsenal.com) Wenger “belajar” soal nutrisi dengan diet ketat sejak menukangi klub Jepang Nagoya Grampus Eight. Dia kagum pada gaya hidup orang Jepang yang menjaga kesehatan dengan makanan-makanan rebusan. Soal alkohol, Wenger tak serta-merta melarang, Namun, hampir setiap waktu dia mengingatkan alhokol bakal merusak otot dan metabolismenya. Perombakan Metode Latihan Penerapan diet dan penggantian asupan makanan pemain Arsenal oleh Wenger bertujuan agar kondisi para pemain lebih segar untuk bisa mengikuti arahan-arahannya dalam latihan. Tony Adams cs. tak lagi diarahkan dengan sesi-sesi latihan fisik monoton yang banyak berlari. Wenger menerapkan sesi latihan pendek variatif dan enerjik serta selalu bersentuhan dengan bola. Sesi stretching pun selalu dengan bola. Semua sesi latihan diawasi ketat oleh Wenger yang nyaris tak pernah melepas stopwatch -nya. Arsene Wenger menyontohkan salah satu gaya stretching baru dengan bola (Foto: arsenal.com) “Saya menyukainya. Latihan sesi pendek, tajam dan intens. Sebelumnya, kami selalu berlari dan digenjot fisik. Tapi bersama Arsene latihan lebih variatif. Seperti sesi pergerakan tim, mengolah bola. Dia ingin semua pemain bergerak bersama, menciptakan banyak opsi pada permainan,” kenang eks-bek Arsenal Nigel Winterburn, dikutip John Cross dalam Arsene Wenger: The Inside Story of Arsenal under Wenger. Hasil dari pola latihan ala Wenger sangat terlihat di lapangan, permainan Arsenal yang membosankan berubah jadi permainan cantik. Klub-klub lain pun mengadaptasi metodenya. Filosofi Permainan Atraktif Begitu bergabung, Wenger mengganti gaya permainan bertahan Arsenal yang dibentuk pelatih George Graham dengan permainan ofensif cepat dari kedua sayap. Seringkali, bek sayap ikut membantu serangan. Meski tak jarang membuka ruang pertahanan untuk dimanfaatkan musuh, pola penguasaan bola menjadikan permainan Arsenal lebih sedap dipandang. The Gunners tak lagi dicibir banyak orang sebagai tim yang membosankan. Gaya bermain Arsenal berubah total, dari bertahan menjadi ofensif dengan style yang atraktif (Foto: Repro "The Wenger Revolution") Filosofi permainan begini membuat Wenger berhasil menorehkan rekor 49 pertandingan berturut-turut tanpa kekalahan sejak Mei 2003-Oktober 2004. Rekor ini mematahkan rekor 42 laga tanpa pernah kalah Nottingham Forest pada November 1977-November 1978. “Terdapat filosofi, gaya bermain, dan kultur terkait bagaimana Anda ingin menerapkan permainan. Penting untuk klub terus berkembang dan buat saya, kebanggaan terbesar setiap pelatih adalah keyakinan terhadap ambisi positif dan filosofi,” cetus Wenger dikutip Ted Richards dalam Soccer and Philosophy. “Wenger membangun tim terbaik yang pernah saya hadapi. Tim 1998 mereka luar biasa. Pujian terbesar karena filosofi Wenger membuat kami mengubah cara bermain untuk menghadapi mereka,” puji mantan bek Manchester United Gary Neville dalam akun Twitter @GNev2 pada 20 April 2018. Membuka Gerbang Pemain dan Pelatih Asing Untuk mengembangkan gaya bermain atraktif Arsenal, Wenger butuh pemain asing yang karakternya berbeda dari pemain Inggris. Dia mendatangkan Marc Overmars dari Belanda hingga para kompatriotnya dari Prancis: Emmanuel Petit, Nicolas Anelka, dan Thierry Henry. “Petit dan Overmars merupakan pembelian penting. Melihat mereka beradaptasi dengan gaya di Inggris sangat menarik,” ujar Wenger, dikutip Amy Lawrence dalam The Wenger Revolution. Wenger tak alergi menurunkan 11 pemain utama dengan mayoritas pemain asing. Pada 2005 saat meladeni Crystal Palace, Wenger menurunkan tim tanpa satu pun asli Inggris: enam Prancis, tiga Spanyol, dua Belanda serta masing-masing satu pemain Jerman, Pantai Gading, Kamerun, Brasil, dan Swiss. Menengok bagaimana suksesnya Wenger, klub-klub lain tak segan merekrut lebih banyak pemain asing untuk dijadikan punggawa utama. Arsene Wenger bersama para pemain asingnya (Foto: arsenal.com) Sukses Wenger juga berdampak pada membanjirnya pelatih non-Inggris. Saat kedatangan Wenger, di kasta teratas Liga Inggris hanya ada satu pelatih asing, Ruud Gullit yang menakhodai Chelsea. Kini (musim 2017/2018), 13 dari 20 klub ditangani pelatih asing. Timnas Inggris kena imbas tak alergi menyewa pelatih asing: Sven-Goran Eriksson (2001-2006) dan Fabio Capello (2008-2012). Pemoles Calon Bintang Beda dari rival-rivalnya, Wenger enggan belanja pemain berlebihan. Wenger justru dikenal sebagai pemoles pemain muda berprospek cerah menjadi bintang. Sebut saja Patrick Vieira, Freddie Ljungberg, Anelka, Henry, Robin van Persie, Ashley Cole, Cesc Fabregas, hingga generasi Jack Wilshere dan Ainsley Maitland-Niles. Ada yang diasah dari akademi, ada pula yang dibeli dari klub lain dengan harga murah. Saat dijual, harga mereka amat menguntungkan manajemen klub. Francesc Fabregas i Soler, satu dari sekian pemain muda yang sukses diorbitkan Arsene Wenger (Foto: Instagram @cescf4bregas) Sir Alex Ferguson sudah lebih dulu memoles generasi Manchester United 1992 memang, namun Wenger lebih memberdayakan pemain muda non-Inggris. Inspirasi ini bertahan sampai sekarang. Hampir semua akademi tim-tim Liga Inggris ikut mengembangkan para pemain muda asing.





















