Hasil pencarian
9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Tio Oen Bik, Tokoh Tionghoa yang Terlupakan
NAMANYA tak pernah disebut di dalam buku pelajaran sejarah. Mungkin juga dianggap terlalu kecil apabila disandingkan dengan tokoh-tokoh besar dalam sejarah di Indonesia. Tapi kisah kecil dokter lulusan Sekolah Kedokteran Hindia Belanda (Nederlands Indische Artsen School, NIAS) di Surabaya itu menjadi penting untuk diketahui karena ia bagian dari peristiwa besar di dalam sejarah dunia: Perang Sipil Spanyol.
- Imlek tanpa Tanjidor
JALAN-jalan raya di daerah Glodok-Pancoran, Senen, dan Jatinegara riuh ramai oleh musik tanjidor, barongsai, suling, dangsu atau pemain akrobat rakyat, dan topeng. Bukan hanya orang Tionghoa yang ikut dalam perayaan Imlek di Batavia, ada juga orang Betawi, Jawa, Sunda, Bugis, Makasar, Arab, dan Belanda. Anak-anak keluar rumah dari pukul empat sore. Mereka mengenakan pakaian baru dan selop yang dihiasi manik-manik. Jika bertemu dengan sebayanya, mereka saling memamerkan oto-oto , pakaian dalam penutup dada dan perut yang dibuat dari kain berwarna-warni. Kantung-kantung mereka diisi dengan petasan cabe rawit. Dengan berbekal dupa yang dinyalakan, anak-anak akan menyalakan petasan itu. Ada juga yang membawa petasan tikus, jenis petasan yang bisa mengejar orang. Bunyi petasan dan musik tanjidor selalu mengiringi perayaan Imlek. Perayaan Imlek juga diadakan di kampung-kampung. Tanjidor tak ketinggalan mengiringi. Kesenian tanjidor, tulis Sufwandi Mangkudilaga dalam “Fungsi Tanjidor bagi Masyarakat Betawi”, memang tumbuh dan berkembang di lingkungan Tionghoa dan Belanda. Mulanya, tanjidor dimainkan para budak untuk tuan-tuannya. Begitu aturan tentang penghapusan budak diketok palu pada abad ke-19, budak pemain tanjidor itu membentuk kelompok sendiri dan main keliling. Orkes tradisional Betawi hasil adaptasi budaya Eropa dan Tionghoa ini mengamen dari rumah ke rumah orang Tionghoa. Dengan rombongan antara lima hingga delapan orang, mereka membawa alat-alat musik berupa tanjidor (tambur besar), trompet, klarinet, seruling dan trombone. Lagu-lagu yang dibawakan, tulis Alwi Shahab dalam Robinhood Betawi, kebanyakan mars warisan Belanda. “Yang didatangi merasa senang dan menghadiahi mereka angpau, uang yang dibungkus kertas merah,” tulis James Dananjaya dalam “Perayaan Imlek dan Pesta Capgome” yang dimuat di Bunga Rampai Seni Pertunjukan Kebetawian. Pada hari-H Imlek, orang-orang akan dibangunkan oleh suara tanjidor. Meskipun suaranya agak sumbang tetapi orang-orang tua sangat suka mendengarnya. Seluruh gambaran Imlek ini diceritakan oleh narasumber James, seorang Betawi keturunan Tionghoa Daniel D, pada perayaan Imlek awal abad ke-20. Pada puncak perayaan Imlek, yakni malam Capgome, pemain tanjidor masih terus menyemarakkan acara. “Musik yang paling setia selama perayaan Tahun Baru Imlek sudah tentu tanjidor,” tulis James. Tanjidor juga dimainkan pada perayaan Ceng Beng, tanggal satu bulan kelima dalam penanggalan Tionghoa. Pada perayaan Peh-Cun atau pesta sungai (dulu masih dirayakan di beberapa kali di Batavia seperti Kali Besar, Kali Pasar Baru, dan Kali Angke), pemain tanjidor disewa untuk meramaikan acara. Tapi, keikutsertaan tanjidor dalam perayaan-perayaan orang Tionghoa berakhir ketika pada 1953 Wali Kota Jakarta Raya Sudiro melarang tanjidor mengamen pada perayaan Imlek hingga Capgome. Alasannya, ketika para pemain tanjidor mengamen untuk perayaan Imlek dan Capgome sama saja merendahkan derajat orang “pribumi”. Menurutnya, golongan “pribumi” seolah-olah mengemis kepada orang Tionghoa. Padahal, tulis James, sebagai orang Jawa Sudiro tidak banyak tahu bahwa beberapa pemain tanjidor adalah orang Betawi keturunan Tionghoa. Namun karena kulitnya coklat dan agamanya sudah Islam mereka tidak lagi terlihat seperti orang Tionghoa. Ditambah lagi, secara ekonomi para orang Betawi keturunan Tionghoa dalam grup tanjidor ini juga miskin dan tinggal di daerah pinggiran kota seperti Bekasi dan Tangerang. Karena sudah tidak memenuhi stereotip orang Tionghoa, alhasil mereka disangka “pribumi”. Setelah dilarang mengamen oleh Sudiro, kelompok tanjidor tetap mengamen ketika Imlek, tapi di luar Jakarta. Sementara, di Jakarta mereka tetap menerima permintaan untuk tampil di berbagai perayaan, bukan mengamen lagi. “Tanpa tanjidor, perayaan tahun baru Imlek dan pesta rakyat Capgome akan kehilangan pamornya,” kata James.
- Nasihat Menjelang Pemberontakan
14 Februari 1945, kota Blitar dikejutkan dengan kejadian yang menghebohkan. Sepasukan prajurit PETA (Pembela Tanah Air) pimpinan Shodanco Supriyadi, Shodanco Muradi dan Shodanco Sunanto melakukan perlawanan terhadap militer Jepang. Selain perilaku diskriminasi dari prajurit-prajurit Jepang, pemberontakan tersebut dipicu juga oleh kemarahan para anggota PETA terhadap pihak militer Jepang yang kerap membuat penderitaan terhadap rakyat. Kendati gagal, namun tidak dapat dimungkiri jika pemberontakan tersebut sempat membuat penguasa militer Jepang ketar-ketir. Itu terbukti saat mereka melakukan penumpasan, seluruh kekuatan militer Jepang di Blitar dikerahkan, bahkan juga melibatkan unsur-unsur kavaleri dan infanteri dari wilayah lain. “Tentara Jepang sama sekali tidak menyangka, para pemuda Indonesia yang tergabung dalam PETA memiliki nyali untuk melawan mereka,” ungkap Purbo S. Suwondo, eks anggota PETA kepada Historia . Namun tidak banyak orang tahu bahwa pemberontakan itu terjadi dengan sepengetahuan Sukarno. Hal itu diakui sendiri oleh Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat . Menurut Sukarno, seharusnya dirinya pun terkena imbas dari pemberontakan itu karena dirinya sendiri tersangkut paut. “Aku telah mengetahui sebelumnya. Ingatlah bahwa rumahku di Blitar,” ujar Sukarno seperti dikutip penulis Cindy Adams. Dikisahkan beberapa minggu sebelum meletusnya perlawanan, datanglah Supriyadi, Muradi dan Sunanto menemui Sukarno yang saat itu sedang pulang ke rumah orangtuanya. Dalam wajah serius dan suara agak berbisik, ketiga perwira PETA itu mengemukakan niat mereka untuk melakukan pemberontakan. Sukarno tentu saja terkejut. “Pertimbangkanlah masak-masak untung ruginya, saya minta saudara-saudara memikirkan tindakan yang demikian itu tidak hanya dari satu segi saja,” ujar Sukarno. “Kita akan berhasil!” jawab Supriyadi, yang merupakan pimpinan tertinggi dalam rencana itu. “Saya berpendapat bahwa saudara terlalu lemah dalam kekuatan militer untuk dapat melancarkan gerakan semacam itu pada waktu sekarang,” tukas Sukarno. “Kita akan berhasil!” Supriyadi tetap bersikukuh dan berupaya meyakinkan Sukarno. Menurut Tommy Darmadi (saudara dari Supriyadi) dalam kesempatan itu Bung Karno juga menyatakan bahwa sejatinya Supriyadi dan kawan-kawan adalah cikal bakal para pemimpin ketentaraan Republik Indonesia yang sudah merdeka. Si Bung juga mengingatkan agar Supriyadi dan kawan-kawan bercermin kepada insiden yang baru saja terjadi di Manchuria, ketika satu kompi tentara Jepang yang sudah gerah terhadap perilaku rekan-rekannya melakukan pemberontakan dan ditindas secara kejam. “Kalau sekiranya saudara-saudara gagal dalam usaha ini, hendaklah sudah siap memikul akibatnya. Jepang akan menembak saudara-saudara semua!” “Apakah Bung tidak bisa membela kami?!” tanya Supriyadi “Tidak. Saudara anggota tentara, bukan orang preman. Dalam hukum militer, hukumanmu otomatis,” jawab Sukarno. Dan apa yang dikatakan Sukarno memang benar adanya. Ketika dalam kenyataannya pemberontakan itu gagal maka pihak Jepang menghukum sekeras-kerasnya para pelaku. Dari 421 anggota PETA Blitar yang terlibat maka 78 diantaranya langsung dihukum berat. Termasuk Muradi dan Sunanto yang dijatuhi hukuman mati pada 16 April 1945. Supriyadi sendiri hingga kini masih tak jelas rimbanya. Beberapa kalangan meyakini bahwa sesungguhnya begitu pemberontakan berhasil dipadamkan, Supriyadi langsung ditangkap dan dihukum mati di suatu tempat yang dirahasiakan. Namun versi-versi lain pun banyak bertebaran di kalangan masyarakat dan menunggu penelusuran yang lebih serius dari para sejarawan.
- 10 Hal yang Perlu Anda Ketahui Tentang Museum Multatuli
MUSEUM Multatuli telah diresmikan oleh Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya dan Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid pada Minggu, 11 Februari 2018 di Rangkasbitung, Lebak, Banten. Apa sajakah yang bisa membuat Anda memiliki alasan kuat untuk mengunjungi museum anti-kolonial pertama di Indonesia ini? Bangunan Kuno Museum Multatuli menempati gedung kuno yang dibangun pada 1923. Semula berfungsi sebagai kantor sekaligus kediaman wedana Lebak. Gedung berbentuk huruf “T” ini dilengkapi pendopo yang digunakan sebagai tempat pertemuan. Perpaduan Masa Lalu dan Masa Kini Bangunan kolonial dengan desain interior modern bergaya fraktal asimetris dengan pencahayaan ruang yang apik. Kisah sejarah ditampilkan melalui ilustrasi grafis kekinian untuk menarik minat generasi muda zaman kini. Warna sejarah yang identik hitam putih tidak selamanya mendominasi ruang pamer museum. Tujuh Ruangan, Satu Benang Merah Museum Multatuli memiliki tujuh ruang pamer. Setiap ruangan mewakili periode di dalam sejarah kolonialisme. Ruang pertama merangkap sebagai lobi dengan hiasan wajah Multatuli terbuat dari kepingan kaca serta kalimat kutipan Multatuli yang tenar: “Tugas Seorang Manusia Adalah Menjadi Manusia”. Ruang kedua mengisahkan masa awal kedatangan penjelajah Eropa ke Nusantara. Ketiga, tentang periode tanam paksa dengan fokus budidaya kopi. Keempat, ruang Multatuli dan pengaruhnya kepada para tokoh gerakan kemerdekaan. Kelima, menceritakan gerakan perlawanan rakyat Banten dan kemudian gerakan pembebasan Indonesia dari penjajah Belanda. Keenam, terdiri dari rangkaian kronologis peristiwa penting di Lebak dan era purbakala. Ketujuh, terdiri dari foto mereka yang pernah lahir, menetap serta terinspirasi dari Lebak. Multimedia Bentuk penyampaian informasi di Museum Multatuli juga sudah menggunakan multimedia, baik dalam bentuk podcast maupun video yang diputar pada layar monitor. Di ruang empat terdapat video singkat mengenai Multatuli yang menghadirkan wawancara Pramoedya Ananta Toer. Layar monitor juga tersedia di ruang enam dan tujuh, masing-masing mengisahkan tentang sejarah Lebak serta klip singkat tentang tokoh-tokoh yang lahir dan pernah singgah di Rangkasbitung. Di ruangan tujuh juga bisa didengar rekaman suara penyair Rendra yang membacakan sajak “Demi Orang-orang Rangkasbitung”. Benda Bersejarah Selain benda pamer duplikasi, Museum Multatuli juga memiliki artefak asli. Salah satunya ubin rumah asisten residen Lebak yang juga pernah ditempati Eduard Douwes Dekker alias Multatuli yang bertugas sejak 22 Januari sampai dengan April 1856. Ubin ini, bersama dengan satu ubin lain yang berwarna hitam, sempat berada di Belanda. Pada 1987 Arjan Onderdenwijngard, seorang jurufoto dan wartawan Belanda, datang ke Rangkasbitung untuk perjalanan jurnalistik menelusuri jejak Multatuli. Dia menemukan dua ubin itu tak jauh dari reruntuhan rumah Multatuli dan menyelamatkannya ke Belanda. Pada 2016, Multatuli Genootschap menyerahkan ubin ini kepada Bupati Lebak Iti Octavia Jayabaya dalam sebuah perhelatan di Amsterdam, Belanda. Sedangkan satu ubin berwarna hitam kini tersimpan di Multatuli Huis, Amsterdam. Selain ubin, ada koin kuno dari tahun 1857 dan alat giling kopi kuno. Surat Bersejarah Ada dua surat penting yang turut dipamerkan di Museum Multatuli, yakni surat Eduard Douwes Dekker untuk Raja Willem III dan surat Sukarno kepada sahabatnya Samuel Koperberg. Surat Eduard Douwes Dekker kepada Raja Belanda Willem III , memuat protes atas situasi di tanah jajahan yang pernah dialaminya serta pemberitahuan perihal naskah buku Max Havelaar yang akan terbit. Dalam surat ini, Douwes Dekker memohon agar Raja Willem III memberikan perhatian lebih kepada Hindia Belanda yang dikelola sembarangan dan banyak merugikan rakyat. Sedangkan surat Sukarno kepada Samuel Koperberg dikirim dari pembuangannya di Ende. Samuel Koperberg, sekretaris Java Instituut dan salah satu tokoh dalam kepengurusan Indische Sociaal-Democratishe Partij (ISDP, sempalan ISDV). Dalam surat bertitimangsa 27 September 1935 itu, Sukarno mengungkapkan kondisi di tempat pembuangannya: sepi, jalanan berdebu dan hawa panas. Ende sebuah kota tepi pantai yang terletak di Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pemerintah kolonial mengasingkan Sukarno ke Ende selama empat tahun (1934-1938). Kronologi Sejarah Lebak Di ruang keenam, terdapat sederet foto yang meriwayatkan tonggak-tonggak sejarah di Kabupaten Lebak, mulai berdiri sampai dengan peristiwa penting lainnya di dalam sejarah. Di dalam deretan kronik ini terdapat pula beberapa fakta-fakta penting, seperti buruh Suriname yang ternyata juga ada dari Lebak. Patung Multatuli, Saidjah dan Adinda Di Museum Multatuli, Anda bisa melihat patung karya pematung terkemuka Dolorosa Sinaga. Patung tersebut adalah karya seni patung instalasi pertama di Indonesia, di mana pengunjung bisa berinteraksi di area berdirinya patung dan berselfie ria dengan karakter patung yang ada. Patung tersebut melambangkan bersatunya manusia-manusia yang mendambakan keadilan tiada peduli ras dan bangsanya. Juga menganjurkan semangat mencari ilmu pengetahuan lewat buku. Pendopo yang Teduh Di depan Museum Multatuli terdapat sebuah pendopo yang asri, ciri khas bangunan tradisional Jawa pada umumnya. Pendopo ini sama tuanya dengan bangunan rumah dan kantor wedana yang digunakan sebagai museum. Menurut Kepala Museum Multatuli Ubaidilah Muchtar, di pendopo inilah beragam kegiatan akan diselenggarakan. Museum Anti-Kolonial Pertama di Indonesia Museum Multatuli bukan semata museum tentang kisah pribadi Eduard Douwes Dekker. Museum ini adalah museum anti-kolonial pertama di Indonesia. Tema museum ini menurut Hilmar Farid, Direktur Jenderal Kebudayaan Kemdikbud RI berperan mengisi kekosongan yang selama ini belum ada di museum-museum lainnya. Museum ini juga tempat belajar sejarah yang mengasyikan buat anak-anak.
- Dendang Cinta Kala Martandang
Orang dari suku Batak dikenal dengan perangainya yang tegas. Nada suara tinggi. Bicara pun ceplas-ceplos, tak pandang bulu. Lantas, bagaimana cara mereka untuk menyatakan cinta? Tradisi Batak lama mengenal istilah martandang . Secara harfiah, ia berarti keluar kandang, melawat, atau berkunjung. Dalam adat Batak, martandang merupakan etika pergaulan yang mempertemukan doli-doli (pria lajang) dan boru-boru (anak gadis). “Kesempatan berkencan diantara muda-mudi inilah yang dikenal dengan istilah martandang di kalangan masyarakat Batak,” tulis E. H. Tambunan dalam Sekelumit Mengenai Masyarakat Batak Toba dan Kebudayaannya . Biasanya martandang dilakukan sesudah “telungkup periuk” atau malam hari. Namun petang hari adalah waktu yang tepat untuk berkencan. Para pemuda berjumpa dengan gadis dari kampung sekitar. Mereka mendatangi rumah sang gadis incaran; menyelinap ke bawah kolong rumah panggung atau di balik dinding rumah yang bersekat tepas. Cara lain bisa juga secara berkelompok. Pasangan muda-mudi menghabiskan malam dengan bersenda gurau di halaman balai desa. “Seorang gadis yang menutup diri ketika sekelompok pemuda akan datang bertandang dianggap tidak sopan,” tulis Jacob Cornelis Verwogen, pegawai pemerintah Belanda yang pernah menetap di Tapanuli Utara pada 1927dalam Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba . “Kunjungan seperti ini (martandang) bersifat informal dan biasanya diakhiri pada waktu yang belum begitu malam,” ujar Verwogen. Kasmaran ala Batak Dalam acara martandang , pada mulanya tidak menjurus pada soal-soal cinta. Dengan berbisik-bisik, sepasang anak muda berbicara mengenai soal-soal biasa. Sering kali pihak pemuda mengajukan teka-teki atau pantun. Lambat laun menjurus pada hal-hal yang lebih khusus. “Kalau sang pemuda menyampaikan teka-tekinya, kemudian sang gadis menjawabnya dengan perhatian dan jujur, tahulah sang pemuda bahwa dirinya berkenan di hati gadis itu,” tulis Tambunan. Saat martandang , sebagaimana dijelaskan E. St. Harahap dalam Perihal Bangsa Batak, merupakan kesempatan bagi sang pria mengutarakan isi hatinya. Curahan perasaan itu dituangkan lewat nyanyian yang diliputi sajak dan irama, pepatah dan petitih, umpama dan peribahasa. Teristimewa lagi bila terjadi saling berbalas pantun. Bila pihak wanita menjawab si pria dengan pantun yang memberi harapan, maka hubungan keduanya mulai memasuki tahap asmara. “Dengan jalan beginilah pemuda belajar nyanyian Batak yang asli,” tulis Harahap. “Keluarlah sajak dan irama menurut kesusastraan Batak. Terbitlah nyanyian di atas nyanyian dan umpama demi umpama, selingan dan sentuhan berbalas-balasan.” Kalau martandang semakin sering, pertanda pergaulan muda-mudi itu semakin akrab. Besar kemungkinan telah tumbuh benih-benih cinta diantara mereka. Setelah memantapkan pilihan, maka pasangan kasmaran ini akan memberitahukan maksudnya kepada orang tua masing-masing. Orang tua kedua belah pihak kemudian saling bertemu dan menyelenggarakan perundingan tentang perkawinan. Kini tradisi pergaulan tersebut telah sirna ditelan zaman. Itu dimulai ketika tanah Batak memasuki peradaban modern lewat misi Zending. Budaya baru yang diperkenalkan guru-guru misionaris dalam Batakmission meninggalkan praktik budaya lama. Menurut sastrawan Batak, Paian Sihar Naipospos dalam Aku dan Toba: Tjatatan dari masa anak-kanak, bentuk sosialisasi ini akhirnya lenyap, terutama di kalangan anak muda modern, yang lebih suka menulis surat. Naipospos bahkan menyebut ada suatu masa ketika orang tua melarang anak-anak gadis mereka mengikuti sekolah lanjutan. Sebabnya, kebanyakan anak gadis pergi ke sekolah hanya untuk belajar mengirim surat cinta kepada anak laki-laki. Oleh karena itu, anak-anak gadis hanya diperkenakan agar terampil membaca saja. Sementara menurut Harahap, kebanyakan orang Kristen dahulu dilarang bertandang, apalagi calon guru Zending. “Padahal bertandang itu sebenarnya adalah suatu adat yang baik dan sopan. Baik: supaya orang yang mau kawin berkenalan dulu dengan kawan hidupnya kelak. Dengan jalan ini orang boleh memilih rekan hidupnya,” ujar Harahap.
- Si Bung dan Dua Gadis Jepang
AWAL 1966. Indonesia bergolak. Di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, ribuan demonstran nyaris tiap hari tumpah ruah ke jalanan. Selain menuntut penurunan harga, rombak kabinet dan pembubaran PKI (Partai Komunis Indonesia), mereka pun mengeritik tingkah polah Presiden Sukarno yang dinilai tidak peka terhadap penderitaan rakyat. Salah satu yang dikritik mahasiswa adalah kebiasaan Bung Karno memiliki banyak istri. Dalam Angkatan 66: Sebuah Catatan Harian Mahasiswa karya Yozar Anwar disebutkan bagaimana pada 9 Februari 1966, serombongan mahasiswa Jakarta berparade dalam dandanan ala geisha (perempuan penghibur Jepang) lengkap dengan o-icho (sanggul tradisional Jepang) dan kimono khas-nya. Di dada mereka sebuah poster tergantung dengan tulisan yang berbunyi: “Gundik-Gundik Impor” Kata-kata di poster itu sangat jelas ditujukan kepada Bung Karno. Seperti sudah umum diketahui, selain memiliki istri-istri pribumi, Sukarno pun mengambil seorang gadis Jepang bernama Naoko Nemoto menjadi pendamping hidupnya. Namun rupanya Naoko Nemoto bukanlah perempuan Jepang pertama yang hadir dalam hidup Bung Karno. Menurut seorang penulis Jepang bernama Masashi Nishihara, empat tahun sebelum menikahi Naoko, Si Bung ternyata pernah menjalin cerita cinta dengan seorang gadis Jepang yang lain. Namanya Sakiko Kanasue. “Ia adalah seorang model fesyen,” tulis Nishihara dalam The Japanese and Sukarno's Indonesia . Perjumpaan kali pertama Bung Karno dengan Sakiko terjadi di Kyoto. Begitu berkenalan, nampak sekali Si Bung sudah merasa tertarik dengannya. Sinyal cinta sang presiden rupanya tidak disia-siakan oleh Kinoshita, sebuah perusahaan Jepang yang memiliki kepentingan menanamkan investasi di Indonesia saat itu. Jadilah Sakiko ‘dibawa’ oleh grup Kinoshita sebagai bagian dari lobi bisnis tingkat tinggi di Indonesia. Ternyata Sukarno memang benar-benar suka kepada Sakiko. Maka pada suatu hari di penghujung 1958, didatangkanlah Sakiko ke Indonesia, sebagai “pengajar anak-anak ekspatriat Jepang” di Jakarta dan ditempatkan dalam wilayah elite Menteng. Namun aslinya, menurut Nishihara, Sakiko sebenarnya dijadikan sebagai salah satu nyonya rumah bagi Sukarno. Lengkap dengan nama Indonesianya: Nyonya Basuki. Namun menurut sejarawan Aiko Kurasawa, hubungan Sukarno-Sakiko tak berlangsung lama. Diperkirakan itu terjadi karena setahun kemudian, saat mengunjungi Jepang untuk kesekian kali, Sukarno jatuh cinta kembali kepada seorang perempuan Jepang berusia 19 tahun bernama Naoko Nemoto. Perempuan Jepang yang cantik itu ternyata menjadi andalan grup Tonichi (saingan Kinoshita) untuk memuluskan jalur bisnis perusahaan tersebut di Indonesia. Singkat cerita, sekembali dari Jepang Sukarno mengundang Naoko Nemoto untuk berlibur ke Indonesia. Tahun 1959, tepatnya di hari keempat belas dalam bulan September, Naoko dengan suka cita datang ke Indonesia. Menurut penulis CM Chow, Naoko datang tidak sendiri, ia didampingi oleh dua gadis Jepang cantik lainnya. “Mereka ditempatkan di rumah yang disediakan secara khusus oleh perusahaan Tonichi di Jakarta,“ tulis CM Chow dalam Autobiography as told to Atoh Matsuda . Lalu bagaimana nasib Sakiko setelah kedatangan Naoko? Entah merasa dirinya “terbuang” atau mungkin ada masalah lain, diberitakan dua minggu usai kunjungan Naoko itu, Sakiko Kanasue memilih mengakhiri hidupnya dengan cara memutus urat nadi. “Jasad Sakiko dimakamkan secara diam-diam di Pemakaman Blok P, namun sekitar akhir tahun 1970-an, kerangka Sakiko dipindahkan oleh keluarga besarnya ke Jepang,” ungkap Aiko. Demi mendengar kabar menyedihkan itu, Sukarno sendiri konon sempat shock dan berurai air mata. Tapi, umumnya lelaki di dunia, duka itu bisa terhapus seketika. Obatnya? Apalagi jika bukan Naoko yang tiga tahun setelah kejadian itu, akhirnya dinikahi secara resmi oleh Sukarno. Kelak nama gadis Jepang kedua-nya itu dia ubah menjadi lebih me-Nusantara: Ratna Sari Dewi.
- Berkabung untuk Setan Merah
STADION Old Trafford hening pada petang 6 Februari 2018. Legenda hidup Sir Bobby Charlton dan Harry Gregg bersama jajaran petinggi dan staf klub Manchester United, para pemain dan pelatih Jose Mourinho, serta fans khidmat mengheningkan cipta selama satu menit. Usai mengheningkan cipta, di bawah hujan salju Mourinho memimpin para pemainnya meletakkan karangan bunga di sebuah panggung kecil dengan backrop hitam bertuliskan “Munich, 60 Years”. Para fans Manchester United (MU) yang hadir langsung menyambut dengan standing applause . Di waktu bersamaan, para bos klub Jerman Bayern Munich juga menghelat peringatan serupa meski tak sebesar di Manchester. Ketua klub Karl-Heinz Rummenigge dan Presiden Bayern Uli Hoeness memimpin acara yang dihadiri oleh Walikota Munich Dieter Reiter dan duta MU Denis Irwin itu. Mereka meletakkan karangan bunga di sebuah tugu peringatan di Manchesterplatz, Kota Munich. Sekira 1000 orang dengan bermacam atribut MU memadati Manchesterplatz petang itu. “Kepada para fans Manchester United, izinkan saya memperingati mereka hari ini, di saat kita berkabung bersama dengan disertai janji: Wir warden Euch nie vergessen (kami takkan melupan mereka,” cetus Rummenigge sebagaimana dilansir situs resmi klub, fcbayern.com . Mereka semua hadir di Manchester maupun Munich untuk memperingati 60 tahun “Munich Air Disaster” atau musibah yang menewaskan sejumlah pilar MU di Bandara Munich-Riem, Jerman pada pukul 03.03 petang, 6 Februari 1958. Selama enam dekade, hari terjadinya musibah itu dikenang publik sebagai salah satu hari paling menyedihkan dalam sepakbola. Akhir Tragis Busby Babes Tim besutan Matt Busby baru saja membawa pulang “tiket” ke semifinal European Cup (sebutan lama Liga Champions) dari Belgrade, Yugoslavia. Laga leg kedua perempatfinal kontra Red Star Belgrade, 5 Februari 1958, yang berakhir 3-3 cukup membuat mereka melaju ke semifinal berkat keunggulan agregat 5-4 (Manchester menang 2-1 di leg pertama). Dengan sukacita mereka pulang menggunakan pesawat carteran Airspeed AS-57 Ambassador milik maskapai British European Airways dengan nomor penerbangan 609. Dari Bandara Zemun, Belgrade, pesawat transit untuk mengisi bahan bakar di Bandara Munich-Riem. Namun saat hendak lepas landas lagi, pilot James Thain merasakan ketidakberesan pada mesin pesawat. Dua kali percobaan lepas landas, pesawat gagal terbang. Para penumpang pun turun dan menunggu di bandara. Keadaan tak mengenakkan itu, ditambah kian lebatnya hujan salju, melecutkan firasat dalam diri striker Liam Whelan. “Kejadian ini bisa berarti kematian, namun saya siap,” cetus Whelan, dikutip Jim White dalam Manchester United: The Biography . Setelah menunggu sekira 15 menit di bandara, para penumpang diinstruksikan untuk naik ke pesawat guna percobaan take-off ketiga. Namun ketika melaju untuk lepas landas, pesawat tergelincir di landasan hingga menabrak pagar landasan dan sebuah rumah di dekatnya. Badan pesawat hancur dan sebagian terbakar. Para penumpang dan kru yang selamat panik. Kiper Harry Gregg, satu dari beberapa yang selamat, langsung berinisiatif menyeret orang-orang yang masih selamat dari puing-puing pesawat, termasuk pelatih Matt Busby. Kecelakaan itu langsung menewaskan tujuh anggota “ Busby Babes ” (julukan bagi para pemain MU asuhan Matt Busby), Geoff Bent, Roger Byrne, Eddie Colman, Mark Jones, David Pegg, Tommy Talyor, dan Liam Whelan; tiga staf tim; delapan jurnalis Inggris; seorang travel agent ; dan seorang suporter MU yang merupakan sahabat Busby; dan dua kru pesawat. Dua kru itu masing-masing pramugara Tom Cable dan kopilot Kenneth Rayment. Duncan Edwards, salah satu pemain yang selamat, meninggal 15 hari kemudian akibat luka-luka yang dideritanya. Pasca-kejadian, butuh waktu lama tim "Setan Merah" untuk pulih dari duka. Meski begitu, Matt Busby masih bisa membangun kembali generasi kedua “Busby Babes” dengan bermodalkan para pemain lama yang selamat: Gregg, Charlton, Bill Foulkes, Kenny Morgans, Albert Scanlon, Dennis Viollet dan Ray Wood. Dua pemain lain, Johnny Berry dan Jackie Blanchflower, tak pernah merumput lagi usai kecelakaan itu akibat trauma dan cedera permanen.
- Polisi Khusus Bentukan Daendels
DI zaman kolonial, Tegal yang terletak di pantai utara Jawa Tengah, merupakan daerah pemasok beras ke bagian timur Nusantara. Karena punya nilai strategis, pemerintah kolonial secara khusus memproteksi kawasan ini. Pramoedya Ananta Toer dalam Jalan Raya Pos, Jalan Daendels menyebut keamanan di kota Tegal dilakukan oleh sejenis kesatuan polisi pribumi berkuda. Mereka berseragam dan berpeci biru dengan senjata kelewang dan pistol. Kesatuan tersebut dinamai: Jayeng-sekar. “Pasukan ini berada di bawah perintah masing-masing kepala distrik (kabupaten) tetapi di ibukota karesidenan (prefektur setara provinsi, red. ) di bawah pejabat kulit putih,” tulis Pram. Prajurit Pilihan Dalam Kamus Sansekerta Indonesia, Jayengsekar berarti nama kesatuan prajurit kraton. Pakar sejarah militer Indonesia, Nugroho Notosutanto menyebut Jeyengsekar sebagai salah satu diantara penerus tradisi keprajuritan Indonesia dalam bentuk yang sudah dicampuri unsur-unsur Barat. Pasukan khusus ini berupa detasemen kavaleri yang dibentuk oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels. Prajurit Jayengsekar direkrut dari kalangan anak-anak elite pribumi yang tak tertampung dalam birokrasi kolonial. Mereka juga tak dapat bekerja sebagai petani karena terbentur kelas sosial. Pada 1 September 1808, Daendels melakukan reorganisasi pemerintahan di Pantai Timur Laut Jawa dan ujung timur Jawa. Daendels tetap mempertahankan bupati sebagai penguasa tertinggi orang pribumi dan harus mengikuti perintah prefek, penguasa orang Eropa. Maka pada setiap prefektur dibentuk pasukan pengawal pribumi yang disebut Jayengsekar yang berjumlah antara 50–100 orang, tergantung dari luasnya wilayah. Menurut Nugroho dalam Tentara Peta pada Jaman Pendudukan Jepang di Indonesia dengan memobilisasi prajurit Jayengsekar, pemerintah Belanda mencapai dua tujuan. Pertama, mencegah terjadinya pengangguran yang mungkin akan menjadi elemen berbahaya dalam masyarakat kolonial. Kedua, mereka bisa dikerahkan untuk mengisi kekurangan tenaga militer; melakukan tugas kepolisian sewaktu-waktu terjadi gejolak. Berasal dari anak negeri pilihan, Prajurit Jayengsekar dikenal cerdas dan tangkas. Mereka mendapat pelatihan militer, senjata (bayonet, sangkur, dan pistol), dan kuda berkualitas. Penggunaan seragam dan tanda-tanda kemiliteran secara khusus kian menan dai ciri Jayengsekar sebagai polisi profesional. Tersebar di sembilan prefektur, Jayengsekar bertugas menjaga keamanan dan melindungi warga di wilayahnya. Mereka dipimpin oleh perwiranya sendiri –berpangkat setara bupati– yang berjumlah tiga orang untuk setiap daerah komando. Sementara para bintara dan prajurit Jayengsekar diberikan pangkat setara para mantri besar dan mantri kecil agar berbeda dengan orang kebanyakan. “Pasukan Jayengsekar akan memperoleh sejumlah petak sawah di setiap distriknya,” tulis Djoko Marihandono dalam disertasinya di Universitas Indonesia berjudul “Sentralisme Kekuasaan Pemerintahan Herman Willem Daendels di Jawa 1808–1811. “Sawah-sawah yang digunakan sebagai ganti gaji para prajurit Jayengsekar diambil dari seluruh kabupaten yang berada di bawah prefektur sesuai dengan luas tanah dan jumlah penduduknya,” Berdasarkan pasal 25 Ordonantie den 18 Augustus 1808 , Djoko Marihandono mencatat sejumlah pasukan Jayengsekar di berbagai prefektur. Untuk wilayah Tegal dibentuk 80 pasukan Jayengsekar dengan kekuatan 80 prajurit; Pekalongan 50 prajurit; Semarang 100 prajurit; Jepara 100 prajurit; Rembang 50 prajurit; Gresik 50 prajurit; Surabaya 80 prajurit; Pasuruan 100 prajurit; Sumenep 100 prajurit. Selama tiga tahun memerintah Jawa, Daendels melaporkan kepada kaisar Prancis Napoleon Bonaparte bahwa dirinya telah merekrut sebanyak 13.838 pasukan Jayengsekar. Dibubarkan Jayangsekar tercatat dalam berbagai palagan penting. Ketika Inggris menyerbu Jawa pada 1811, Jayengsekar ikut memperkuat pertahanan Belanda yang saat itu dipimpin Gubernur Jenderal Janssens. Dalam Pertempuran Jatingaleh di Semarang, sebanyak 50 prajurit Jayengsekar menjadi garda terakhir. “Mereka gagah berani, namun jumlahnya tidak mencukupi,” tulis sejarawan Prancis Jean Rocher dalam Perang Napoleon di Jawa 1811: Kekalahan Memalukan Gubernur Jenderal Janssens. Sejarawan Universitas Indonesia Saleh As'ad Djamhari juga mengungkap keterlibatan Jayangsekar dalam Perang Diponegoro. Dalam disertasinya “Stelsel Benteng dalam Pemberontakan Diponegoro 1827–1830, Saleh mencatat sebanyak satu detasemen Jayengsekar dari Tegal didatangkan untuk menghadang pasukan Diponegoro yang hendak menyerang benteng Belanda di Bagelen. Pada operasi militer lain, barisan Jayengsekar dari Kendal masuk ke dalam Kolone Mobil 11 pimpinan Mayor Michiels. Ekspedisi yang diperintahkan Jenderal de Kock tersebut bertujuan untuk merebut dan menguasai kembali wilayah Mataram, Bagelen, dan Ledok selama tahun 1828. Begitu pula, Jayengsekar berperan dalam memadamkan kerusuhan di Cirebon pada 1830. Dalam perkembangannya, Jayengsekar menjadi kekuatan polisional yang begitu diandalkan pemerintah kolonial. Tetapi lambat laun, kemunduran terjadi pada mereka. Akibatnya disipilin pasukan memudar. Gejala pembangkangan yang mulai terlihat membuat pemerintah bersiap membubarkan Jayengsekar. “Pasukan Jayengsekar yang merasa dirinya berjasa, akhirnya sukar dikendalikan karena merasa kedudukannya terlalu tinggi untuk menjalankan tugas-tugas polisi, sehingga mereka sebagai aparatur kepolisian sudah tidak memenuhi syarat-syarat lagi,” tulis Suparno dalam Perkembangan Kepolisian dari Zaman Klasik–Modern. Dalam roman sejarah berjudul Semua untuk Hindia, Iksaka Banu menggurat sisi lain di balik pembangkangan pasukan Jayengsekar. Tak ada lagi kesetiaan dan rasa terimakasih dari mereka terhadap pemerintah kolonial. Mengapa? “Mereka melihat tuan-tuan mereka bukan orang terhormat yang bisa menjadi teladan. Tuan-tuan mereka memelihara gundik, melakukan kawin campur, serta segala bentuk kebejatan moral lain.” Pada 1874, sebagaimana dikutip Nugroho Notosutanto dalam Encyclopaedie van Nederlandsch-Indie , unit terakhir Jayengsekar dileburkan ke resimen kavaleri kolonial. Sementara Jean Rocher menyebut, kesatuan Jayengsekar yang tersisa menjadi cikal bakal pasukan elite Marsose dalam Perang Aceh.
- Tiga Menteri Keuangan Terbaik Indonesia di Dunia
UNTUK ketiga kalinya World Government Summit di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), mendaulat satu menteri sebagai Best Minister in the World Award atau Penghargaan Menteri Terbaik Dunia. Indonesia patut berbangga karena tahun ini penghargaan itu jatuh kepada Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Sebelumnya, penghargaan itu diberikan kepada Menteri Lingkungan Australia Greg Hunt pada 2016 dan Menteri Kesehatan dan Sosial Senegal Awa Marie Coll-Seck pada 2017. Emir UEA merangkap Wakil Presiden dan Perdana Menteri UEA, Sheikh Mohammed bin Rashid al-Maktoum, menyerahkan penghargaan itu kepada Sri Mulyani pada Minggu, 11 Februari 2018. Presiden Joko Widodo turut berbangga dan menyalami langsung Sri Mulyani pada rapat kabinet di Istana Negara, Senin, 12 Februari 2018. World Government Summit menilai Sri Mulyani mampu mengurangi 40 persen angka kemiskinan di Indonesia dalam lima tahun terakhir, memangkas ketimpangan pendapatan masyarakat, menciptakan lapangan kerja yang luas, peningkatan tiga persen perekonomian secara transparan, mengurangi 50 persen utang Indonesia, serta peningkatan cadangan devisa tertinggi dalam sejarah Indonesia senilai 50 juta dolar Amerika. Dilansir situs resmi Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, setkab.go.id , Minggu, 11 Februari 2018, Sri Mulyani menyatakan penghargaan itu merupakan pengakuan kerja kolektif pemerintah di bawah Presiden Jokowi, khususnya bidang ekonomi. “Menkeu juga mendedikasikan penghargaan tersebut kepada 257 juta rakyat Indonesia dan 78.164 jajaran Kemenkeu dalam pengelolaan keuangan negara dengan integritas dan komitmen untuk menyejahterakan rakyat yang merata dan berkeadilan,” demikian keterangan Setkab. Mantan Managing Director World Bank itu bukan menkeu pertama yang diakui dunia. Johannes Baptista (JB) Sumarlin, menkeu periode 1988-1993 juga pernah diakui sebagai menkeu terbaik dunia tahun 1989. Ketika dihelat Annual Meetings of World Bank-IMF (Pertemuan Tahunan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional) di Washington DC, Amerika Serikat, 25 September 1989, Sumarlin menerima penghargaan Finance Minister of the Year dari majalah tersohor Euromoney. Penghargaan yang diberikan di sela-sela pertemuan Bank Dunia-IMF itu, diserahkan langsung oleh pendiri Euromoney , Sir Patrick Sergeant. Sumarlin dianggap berperan besar meracik perombakan besar dalam perekonomian Indonesia yang sebelumnya sangat bergantung dari sektor minyak dan gas (migas) ke arah diversifikasi ekonomi non-migas, serta membalikkan orientasi substitusi impor ke orientasi ekspor. Sebagaimana Sri Mulyani, Sumarlin juga menyatakan bahwa penghargaan itu hasil kerja kolektif di Kabinet Pembangunan V di bawah Presiden Soeharto. “Hanya dari kepemimpinan yang tepat dari Presiden Soeharto serta kerjasama dari teman sekerja dan dukungan masyarakat terhadap kebijaksanaan ekonomi nasional yang membuat ekonomi Indonesia, memasuki pintu kemakmuran yang mulai dinikmati sekarang ini,” kata Sumarlin, dikutip harian Sinar Indonesia Baru , 28 September 1989. Mar’ie Muhammad yang menjadi suksesor Sumarlin juga tak kalah membanggakan. Dia menjabat Menkeu periode 1993-1998 dalam Kabinet Pembangunan VI. Menkeu berjuluk “Mr. Clean” itu diakui majalah Asiamoney sebagai Menkeu Terbaik pada Mei 1995. “Mar’ie Muhammad mendapat gelar Finance Minister of the Year dari majalah terkemuka Asiamoney yang berpusat di Hong Kong. Dia dipandang sukses menangani skandal Bapindo,” tulis mingguan Warta Ekonomi, Mei 1995. Dalam skandal megakredit Bapindo (Bank Pembangunan Indonesia) senilai Rp1,3 Triliun pada 1994 itu, awalnya Mar’ie mengambil tindakan likuidasi yang sialnya, tak direstui Soeharto. Meski begitu, Mar’ie “ditantang” Soeharto untuk menyelesaikan kasusnya. “Presiden Soeharto memerintahkan (Mar’ie) Muhammad untuk menyelesaikan Skandal Bapindo, di mana dia diperintahkan untuk bisa ‘menangkap ikannya, namun jangan memperkeruh airnya’,” tulis Andrew Rosser dalam The Politics of Economic Liberalization in Indonesia: State, Market and Power. Pada akhirnya, Mar’ie mampu membawa skandal itu ke meja hijau. Pengusaha Eddy Tansil dan empat direktur eksekutif Bapindo disidang ke pengadilan. Sementara sejumlah pejabat dekat Soeharto, termasuk Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA) Laksamana (Purn.) Sudomo, akhirnya tak tersentuh. Setidaknya dalam penyelesaian kasus itu, Sudomo bersama pendahulu Mar’ie, Sumarlin, turut “diseret” sebagai saksi peradilan Eddy Tansil. Pada putusannya, Eddy Tansil divonis 17 tahun bui, namun kemudian melarikan diri hingga kini belum tertangkap. Sedangkan empat petinggi Bapindo lainnya dihukum antara empat sampai sembilan tahun
- Kisah Kiri Melawan Kanan
WALUJO Martosugito masih ingat kejadian setengah abad lalu itu. Suatu siang saat dirinya dan Wakil Perdana Menteri Roeslan Abdulgani tengah berbincang dengan Presiden Sukarno di bagian belakang Istana Negara, seorang perwira tiba-tiba datang menghadap. Ia melaporkan bahwa Istana Negara sudah dikepung oleh para demonstran dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). “Dilapori itu, Bung Karno sama sekali tidak panik. Ia malah bilang supaya dinamika anak-anak muda jangan dimatikan,” ujar lelaki kelahiran Klaten 82 tahun lalu tersebut. Pulang dari Istana, Walujo tak tinggal diam. Sebagai anggota Presidium GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), ia langsung mengordinasi anak-anak muda sesama “marhanenis” untuk melakukan reaksi atas demonstrasi-demonstrasi itu. Caranya, tentu saja dengan mengadakan demonstrasi tandingan mendukung kepemimpinan Bung Karno. “Bung Karno itu kan ibarat bapak kami sendiri, wajar dong jika kami saat itu melakukan pembelaan terhadap beliau …” katanya kepada Historia . Memasuki tahun 1966, desakan kelompok kanan untuk mengeliminasi Presiden Sukarno dan kekuatan-kekuatan kiri semakin besar. Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) yang didominasi aktivis-aktivis HMI dan PMKRI (Pergerakan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia) hampir tiap waktu turun ke jalan. “Demonstrasi tersebut kerap diringi juga aksi penempelan poster dan pamflet yang isinya menggugat pemerintahan Sukarno dan PKI,” ujar John R. Maxwell dalam Soe Hok Gie: Pergulatan Intelektual Muda Melawan Tirani . Aliansi kelompok mahasiswa kiri yang terdiri dari GMNI Ali-Surachman, Germindo (Gerakan Mahasiswa Indonesia) dan Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI), tentu tak diam saja. Mereka pun membuat demonstrasi tandingan dan balik merobek poster-poster yang ditempelkan massa KAMI lalu menggantinya dengan poster-poster yang diantaranya berbunyi : “Hidup Bung Karno!” atau “KAMI kanan dan Ditunggangi Nekolim!” Menurut Soe Hok Gie, beberapa hari sebelum turun ke jalan, perwakilan GMNI-Germindo telah datang menemui Presiden Sukarno. Di hadapan sang presiden, mereka berjanji untuk membela Bung Karno sampai mati. Hok Gie juga juga melansir sebuah kabar yang ia dapat dari Soeripto, kawannya yang bekerja di KOTI (Komando Operasi Tertinggi) bahwa telah disediakan sejumlah dana untuk menandingi demonstrasi KAMI dan mendirikan Barisan Sukarno. “Jumlahnya 100 juta rupiah…” tulis Soe Hok Gie dalam Catatan Seorang Demonstran . Bentrok antara massa akhirnya tak terelakan. Bukan saja di jalanan, di kampus-kampus pun terjadi adu aksi berujung perkelahian. Suasana semakin kritis karena kedua pihak sama-sama didukung oleh kesatuan-kesatuan tentara. Itu terbukti saat chaos berlangsung di Salemba, suatu peleton pasukan Cakrabirawa sempat membuat pos di suatu sudut kampus UI. “Sementara pasukan-pasukan Kostrad dan RPKAD berpakaian preman selalu siap melindungi demonstrasi-demonstrasi mahasiswa anti Sukarno,” tulis John Maxwell. Perkembangan politik pada akhirnya tidak berpihak ke kubu kelompok sayap kiri. Pada Maret 1967, Presiden Sukarno dilengserkan lewat sidang MPRS. Jenderal Soeharto naik sebagai pejabat Presiden.Begitu berkuasa, Soeharto langsung memberangus kekuatan-kekuatan kiri termasuk Germindo dan CGMI. GMNI sendiri tentu saja langsung terkena imbas angin politik yang tengah bertiup kencang. Unsur-unsur kanan kaum yang bercokol di PNI (Partai Nasional Indonesia) pimpinan Osa Maliki dan Usep Ranawidjaja kembali menemukan momentumnya. Tanpa perlu waktu lama mereka pun membersihkan GMNI dari unsur-unsur kiri dan lewat kongres-nya yang kelima mengganti pimpinannya dengan orang-orang pro Orde Baru.





















