Hasil pencarian
9598 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Dari Pengungsian ke Pengungsian
MENYUSUL bumi hangus yang dilakukan Tentara Republik Indonesia (TRI) terhadap kota Bandung, gelombang pengungsi pun berbondong-bondong keluar dari kota berhawa sejuk itu sejak 24 Maret 1946. Emma Poeradiredja, pegawai Djawatan Kereta Api yang menjadi anggota Palang Merah Indonesia (PMI) setelah Perang Kemerdekaan pecah, di dalam gelombang pengungsian itu. Begitulah keadaan masyarakat kota Bandung semenjak Perang Kemerdekaan. Kedatangan Inggris/Sekutu sebagai pemenang perang mengakibatkan Bandung secara politis terbagi dua. Bandung utara dikuasai pasukan Inggris dan Belanda. Bandung selatan dikuasai pemuda dan penduduk pro-republik yang mengungsi dari utara ke selatan. Meski ada pembagian itu, kaum republiken tak menggubrisnya. Serangan gerilya ke Bandung utara dan penghadangan terus mereka lacarkan. Pertempuran paling banyak terjadi di front Viaduct, di mana pasukan pejuang dan TRI berjaga di selatan rel dan pasukan Gurkha berjaga di sisi sebaliknya. Tak jauh dari sana, di Jalan Veteran (Bungsu) berdiri markas PMI. Di sanalah Emma, dr. Djundjunan Setiakusumah, dan anggota-anggota PMI lain bertugas. Selain mengurusi pejuang yang terluka, Emma juga ikut mengatur suplai makanan dan menjadikan rumahnya sebagai markas pemuda pejuang. Ketika Bandung menjadi lautan api, Emma ikut mengungsi. Dalam Saya Pilih Mengungsi karya Ratnayu Sitaresmi dan kawan-kawan, disebutkan mereka diperintahkan untuk mengungsi sejauh 11 km ke selatan Bandung. Emma memilih mengungsi di Ciamis. Di Ciamis, Emma tinggal bersama orang tua dan dua anaknya yang sudah lebih dulu diungsikan, Saraswati dan Amarawati Poeradiredja. Tak lama di Ciamis, Emma bergerak ke Cisurupan, Garut, membawa dua anaknya. Stasiun Cisurupan oleh Kepala Djawatan Kereta Api Republik Indonesia Ir. Djuanda Kartawidjaja dijadikan kantor untuk sementara menyusul didudukinya Bandung. Pegawai-pagawai kereta api di Bandung yang non-kooperatif dengan Belanda, berbondong-bondong mengungsi ke Cisurupan. Mereka mengadakan rapat konsolidasi dan menginventarisasi aset-aset perkeretaapian yang belum terdata. Emma Poeradiredja (kedua dari kiri) bersama Soekarno di sebuah stasiun kereta api. (Koleksi pribadi Amarawati Poeradiredja). “Bu Emma tidak mau bekerja untuk perusahaan kereta Belanda (Staatsspoorwegen) maunya ke (jawatan, red. ) kereta api yang dikuasai Indonesia. Di sana ada rekan Bu Emma, seperti Effendi Saleh, Toha Sumanagara, dan Pupela,” kata Amarawati kepada Historia . Amarawati ingat, saat berada di Cisurupan ia tinggal di bedeng-bedeng sekitar stasiun. Ketika Belanda melancarkan serangan, para pegawai kereta api pindah ke Yogyakarta. Amarawati yang kala itu masih berusia 6 tahun, tidak diajak karena terlalu berbahaya. Ia diungsikan ke Ciamis, sementara Emma dan Saraswati yang kala itu berusia sekira 10 tahun, ikut rombongan pegawai kereta api. Dari Cisurupan, Emma singgah di Gombong pada Juni 1947. Pada Agustus 1947, Emma dan Saraswati tiba di Yogyakarta. Di kota gudeg, mereka menginap di rumah Ir. Djuanda yang istrinya, Julia Wargadibrata, masih berkerabat dengan Emma. Mereka kemudian tinggal di tempat Sentot Iskandardinata. Dari situ Emma kemudian pindah ke rumah Mochtar Kusumaatmadja. Amarawati Poeradiredja Soesmono saat diwawancara oleh Historia di Jakarta. (Fernando Randy/Historia). Ketika tinggal di Yogyakarta, Emma tetap aktif berjuang bersama kaum republiken. Emma mengompori pegawai kereta api lain untuk menolak bekerja pada Belanda. Agitasinya itu berujung pada penangkapannya pada 10 Februari 1949. “Sudah sembunyi di kolong tempat tidur, tapi ditangkap. Lalu dibikin huisarrest (tahanan rumah, red. ) di Yogya,” kata Amarawati. Pada 18 Februari, Emma dipindahkan ke Jakarta. Saraswati yang ikut bersamanya berusaha pulang ke Ciamis dengan bantuan rekan-rekan sesama pegawai kereta api. “Kakak saya terlunta-lunta, tidur di stasiun, kurang makan. Waktu keretanya mulai masuk Jawa Barat, dilempari batu,” sambungnya. Saraswati akhirnya sampai rumah kakeknya dengan selamat, sementara Emma ditahan hingga Mei 1949. Emma kemudian kembali ke Bandung dan tinggal di Jalan Dago 133. Rumah tersebut milik adik Emma, Adil Poeradiredja, mantan perdana menteri Negara Pasundan yang mengundurkan diri pada 1948. Emma kembali bekerja pada Djawatan Kereta Api yang bermarkas di Jalan Gereja No. 1 Bandung. Sebagai Direktur Kematian Warga Kereta Api, Emma mengurusi kesejahteraan buruh kereta api dan jaminan sosial janda buruh kereta api yang suaminya gugur masa perjuangan kemerdekaan. “Saya kalau pulang sekolah seringnya ke situ, biar bisa bareng ke rumah jam 3 sore,” kata Amarawati.
- Perkawanan Dua Perwira AD, Yani dan Mitro
DENGAN kondisi punggung sakit, Kolonel Soemitro menghadap bosnya, Menteri Panglima AD Letnan Jenderal Ahmad Yani. Mitro dipanggil langsung ke rumah Yani di Jalan Lembang untuk membicarakan penugasannya ke Kalimantan. Sang kolonel yang berperut tambun itu sedang menderita slipped disc - tulang belakang keseleo yang mengenai urat - sehingga jalannya miring-miring untuk mengurangi rasa sakit. Melihat perut bawahannya yang besar, Yani nyeletuk dalam bahasa Jawa kepada istrinya, Yayuk. “Bu, Bu lihat Mitro, wetenge, weteng Panglima (perutnya perut Panglima),” kata Yani. Dia kemudian kemudian memberikan perintah kepada Mitro. “Mit, kamu pergi ke Balikpapan, gantikan Hario Kecik,” ujar Yani. “Ini perintah, atau masih tanya pendapat,” tanya Mitro. “Perintah,” jawab Yani tegas. Dijawab demikian, Mitro tidak dapat berkutik. Padahal, dirinya baru saja "menolak" rencana Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudra (Asisten III Menpangad bidang personel) dan Mayor Jenderal Soeprapto (Deputi II Menpangad bidang administrasi) yang akan memberinya posisi baru. Mitro memang selalu menolak dengan alasan ingin tetap bersama keluarga. Tapi kalau sudah berurusan dengan Yani – orang nomor satu di jajaran Angkatan Darat – lain cerita. “Namanya prajurit, ya, harus nurut perintah. Hidup prajurit itu ditentukan oleh perintah,” kenang Mitro dalam otobiografinya Soemitro: Dari Panglima Mulawarman sampai Pangkopkamtib yang disusun Ramadhan K.H. Perintah Yani disanggupi oleh Mitro. Bagi Mitro, Yani adalah seorang atasan sekaligus kawan sejak lama. Menurut Mitro, Yani bersedia mendengarkan pendapat yang berbeda dan siapa saja bebas berargumentasi. Tapi kalau Yani sudah ambil keputusan, semua orang mesti tunduk. Maka pada Februari 1965, berangkatlah Mitro ke Balikpapan, Kalimantan Timur. Mitro menggantikan Panglima Kodam Mulawarman Brigadir Jenderal Soehario Padmodiwirio yang biasa dipanggil Hario Kecil. Sementara Mitro, akrab disapa Mitro Gendut. Sebagai panglima yang baru, pangkat Mitro naik setingkat jadi brigadir jenderal. Di Balikpapan, Soemitro cukup ketat terhadap anak buahnya. Dia menahan tiga perwira menengah yang berafiliasi dengan PKI. Berita ini terdengar sampai ke Jakarta. Akibatnya, Mitro dipanggil menghadap Presiden Sukarno. Yani ikut serta mendampingi Mitro ke Istana Negara. Pagi sekali Yani dan Mitro diterima Bung Karno yang tengah berada di beranda belakang Istana Negara. Perbincangan terjadi di sela-sela waktu Bung Karno bersarapan. Selagi asyik makan, tiba-tiba Bung Karno bertanya kepada Mitro. “Saya dengar Generaal Mitro sering ngrasani (membicarakan kejelekan, red ) saya? tanya Sukarno. Mitro kaget dalam beberapa detik. Namun kemudian dia menjawab: “Oh tidak pernah, Pak. Saya bisa merasakan nggraga gitok (kekurangan) saya sendiri.” “Oh, bagus, bagus,” balas Bung Karno. Sejurus kemudian, dia kembali bertanya, “lalu ngrasani apa, Generaal Mitro?” “Saya tidak pernah ngrasani, Pak. Saya cuma belajar dari kesalahan-kesalahan Bapak,” ujar Mitro. Mendengar itu, Yani cemas karena menganggap jawaban Mitro agak lancang. Sontak saja Yani menginjak kaki Mitro. Mitro tertegun dan berbisik pada Yani dalam bahasa Jawa, apakah dia tetap lanjut melapor keadaan di Balikpapan kepada Bung Karno atau tidak sama sekali. “ Wis, menenga cengkemmu ! (Sudah, tutup saja mulutmu!),” kata Yani dengan nada jengkel. Yani dan Mitro beruntung karena Bung Karno menanggapi dengan santai. Mereka pun pulang dari Istana dengan hati lega karena terhindar dari “omelan” Presiden. Keakraban Yani dan Mitro pun ditangkap oleh Amelia Yani, salah seorang putri Yani. Amelia yang menulis biografi ayahnya, Profil Seorang Prajurit TNI dalam bab khusus “Apa dan Siapa, Teman-teman Bapak” memasukan Mitro sebagai salah satu di antaranya. Perkenalan mereka bermula di kereta api pada 1956. “Sewaktu bapak pindah ke Jakarta sedangkan Pak Mitro dalam perjalanan ke Surabaya,” tulis Amelia. Beberapa bulan sebelum peristiwa 30 September 1965, Yani bersama para asisten dan deputinya berkunjung ke Kalimantan. Turut pula dalam kunjungan itu Mayor Jenderal Harjono Mas Tirtodarmo, Mayor Jenderal Suwondo Parman, Brigadir Jenderal Donald Pandjaitan, dan Brigadir Jenderal Soetoyo. Tidak ketinggalan, aktifitas main golf mengisi waktu luang sang panglima di sana. Sore hari, Yani main golf ditemani Taswin Natadiningrat. Panglima Mulawarman Brigadir Jenderal Soemitro datang ke lapangan untuk menyambut Yani dan melaporkan kiriman radiogram dari Jakarta. Yani menyapa Mitro. “Golf, Mit?” kata Yani. Karena Soemitro belum mahir main golf, dia menolak. “Golf itu untuk orang disabled (cacat)!,” ujar Mitro bercanda. Yani membalas, “Kurang ajar kowe (kau)!” Itulah pertcakapan terakhir Mitro dengan Yani. Sepeninggal Yani, Mitro menjadi perwira penting di masa peralihan menuju Orde Baru. Pada awal 1970-an, Mitro merupakan orang kedua di jajaran TNI AD dengan kedudukan Panglima Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib). Karier militer Jenderal Mitro jatuh usai peristiwa kerusuhan Malari 1974. Dalam insiden itu, dia berseteru dengan mantan anak buah Yani yang lain: Ali Moertopo.
- Asal-Usul Gen Asia Selatan Riri Riza
Riri Riza, sineas beken Indonesia, menghabiskan masa kecilnya selama sembilan tahun di Ujung Pandang (kini Makassar). Setelah itu, dia ikut orangtuanya ke Jakarta. Dia mengalami masa-masa rendah diri di awal menjadi anak baru di sekolah dasar di Jakarta pada 1979. “Saya sendiri punya perasaan inferior tentang asal-usul saya,” kata Riri Riza. Riri merasa tidak nyaman bercerita kepada teman-temannya tentang daerah asalnya. “Saya merasa ada semacam superioritas dari orang Jawa dibandingkan dari kami yang berasal dari Indonesia Timur,” tuturnya. Riri berupaya mempelajari cara berbahasa teman-temannya, dialek Jakarta. “Usaha yang harus kita lakukan gitu untuk bisa nyaman bergaul dengan teman-teman,” kata Riri. Pergaulannya menjadi lebih akrab. Rasa rendah dirinya mulai terkikis. Tapi mempelajari bahasa orang lain bukan berarti menanggalkan identitasnya. Riri kemudian sering dipanggil “Makassar” oleh teman-temannya ketika duduk di sekolah menengah pertama dan atas. “Tapi saya tidak merasa itu sebagai bagian dari bully … Biasa kita lakukan untuk teman-teman yang seangkatan,” tambah Riri. Panggilan itu justru memperkuat identitasnya sebagai orang Makassar. Dia juga kian percaya diri dengan daerah asalnya. Riri memperoleh sebutan “Makassar” tersebab dirinya kelahiran Makassar. Tapi orangtuanya berasal dari dua daerah berbeda di Sulawesi Selatan. Ibunya kelahiran Gowa Sungguminasa, 10 kilometer sebelah tenggara kota Makassar. Masih termasuk daerah pesisir. Sedangkan ayahnya berasal dari Enrekang, pedalaman Sulawesi Selatan bagian tengah, dekat Gunung Latimojong. Dua daerah termaksud juga berbeda bahasa. Wilayah ibunya berbahasa Makassar, sedangkan ayahnya menggunakan rumpun bahasa Bugis. Meski Riri kelahiran Makassar dan orangtuanya sama-sama berasal dari Sulawesi Selatan, ternyata dalam tubuhnya mendekam gen dari luar Sulawesi Selatan. Hasil tes DNA menunjukkan besaran komposisi masing-masing gen: Asia Selatan (46,24%), Asia Timur (33,95%), Diaspora Asia (17,27%), dan Timur Tengah (2,53%). “Apa yang tertulis di sini bahwa gambaran moyangnyaditemukan di banyak sekali suku di India,” kata Herawati Supolo Sudoyo, ahli genetika dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, mengomentari hasil tes DNA Riri. Suku-suku di India antara lain Brahmin, Rajput, Naga, Karan, Khandayat, Nepali, Gope, dan Tamil. “Banyak sekali, berarti kita ambil saja memang India gitu, Asia Selatannya,” tambah Herawati. Dominasi Asia Selatan dalam komposisi DNA Riri membuka kembali kemungkinan adanya sejarah hubungan India dan Sulawesi Selatan pada masa kuno (masa Hindu-Buddha pada abad ke-5 sampai ke-16). Hindu-Budha di Sulawesi Selama ini, sejarah hubungan India dan Nusantara lebih sering berkaitan dengan Sumatra dan Jawa. Pengaruh kebudayaan dan peninggalan India cukup menonjol di dua pulau termaksud. Misalnya dalam bentuk kepercayaan, politik, bahasa, seni, dan artefak. Catatan musafir dan prasasti tentang jejaring dagang India-Sumatra-Jawa dan interaksi mereka juga tersedia melimpah. Para arkeolog berkesimpulan telah terjadi kontak intensif antara orang-orang India beragama Hindu dan Buddha dengan orang tempatan di dua pulau termaksud. Ini berbeda dari apa yang terjadi Sulawesi Selatan. Catatan tentang hubungan India dan Sulawesi Selatan hanya sedikit. Tapi ini bukan berarti menihilkan kontak antara India dan Sulawesi Selatan. Penemuan tiga arca Buddha di Bantaeng, 90 kilometer arah tenggara dari Makassar, menunjukkan kemungkinan adanya hubungan antara India dan Sulawesi Selatan sejak masa kuno. “Arca tersebut diperkirakan berasal dari abad ke-6 M karena mempunyai kemiripan dengan arca Sriwijaya,” catat Budianto Hakim, arkeolog Balai Arkeologi Sulawesi Selatan, dalam “Pengaruh Hindu-Budha di Sulawesi: Kajian Pendahuluan Terhadap Data Arkeologis dan Historis” termuat di Amerta , berkala Arkeologi tahun 1993. Penyebaran agama Buddha di Sriwijaya melibatkan peran pedagang-pedagang India. Pedagang itu kemungkinan meneruskan perdagangan hingga ke Sulawesi Selatan. Atau sebaliknya, bahwa orang-orang dari Sulawesi berlayar hingga ke Sriwijaya, mempelajari agama Buddha, lalu kembali lagi ke Sulawesi ketika angin muson barat bertiup. Tradisi berlayar orang-orang di Sulawesi Selatan, utamanya Bugis dan Makassar, sangat kuat. “Sejak zaman prasejarah masyarakat Bugis dan Makassar terkenal sebagai pelaut-pelaut ulung yang dapat mengarungi samudera-samudera besar,” lanjut Budianto Hakim. Dari perdagangan dan tradisi berlayar inilah hubungan dengan India terbentuk. Dari situ pertukaran kebudayaan pun mengada. Tadjuddin Maknun, Ketua Jurusan Sastra Indonesia Universitas Hasanuddin, Makassar, dalam “Fenomena-fenomena Budaya India/Hindu di Sulawesi Selatan dan Barat” menyebut adanya pengaruh India-Hindu dalam sejumlah aspek kehidupan orang Sulawesi Selatan. “Baik berupa aksara (bahasa), konsep Ketuhanan, tata cara pelaksanaan upacara ritual, penggolongan stratifikasi sosial, dan benda-benda budaya yang dapat diinterpretasi sebagai pengaruh agama dan budaya Hindu,” ungkap Tadjuddin. Tadjuddin menambahkan, masuknya pengaruh kebudayaan India di Sulawesi Selatan tak lepas dari migrasi sekelompok orang dari satu wilayah ke wilayah lainnya. “Kedatangan orang atau sekelompok orang di suatu tempat, sudah barang tentu secara eksplisit terbawa pula kebudayaannya,” sambung Tadjuddin. Dan pertukaran kebudayaan bakal lebih intensif dengan pernikahan campur antara pendatang dan orang-orang tempatan. Tapi Tadjuddin mengakui, sumber dan literatur sejarah untuk memperjelas hubungan India dan Sulawesi Selatan masih sangat lowong. Sebagai konsekuensi dari ketiadaan sumber yang dapat memberi informasi, maka sampai sekarang belum diketahui siapa yang menyebarkan dan kapan proses penyebarannya mulai terjadi. Kebangkitan Makassar Herawati berpendapat migrasi orang-orang India ke Nusantara mulai terang pada masa berkembangnya kota pelabuhan antara abad ke-8 sampai ke-14. Di sinilah periode Indianisasi dan Islamisasi Nusantara paling kental. Kota pelabuhan Makassar muncul pada abad ke-15. Ia tumbuh cepat menjadi pelabuhan singgah para pedagang dari Gujarat, Tiongkok, Malaka, Jawa, dan Eropa. “Siklus muson di wilayah Sulawesi menjadikan Makassar sebagai pusat jalur perdagangan, baik jalur perdagangan barat (Eropa, Gujarat, India Selatan, Semenanjung Malaka, Sumatra, Jawa, dan Kalimantan-Makassar-Maluku serta Papua) maupun jalur pelayaran utara (Cina, Filipina, dan Jepang-Makassar-Nusa Tenggara-Australia,” ungkap Edward L. Poelinggomang dalam Makassar Abad XIX . Selain itu, Edward juga menyebut beberapa faktor pendorong kemunculan Makassar sebagai kota pelabuhan atau dagang. “Pertama, letaknya strategis —posisinya berada di tengah-tengah dunia perdagangan. Kedua, munculnya intervensi bangsa Eropa sehingga pedagang di pusat niaga mengalihkan kegiatan mereka ke tempat lain, salah satunya ke Makassar. Ketiga, pedagang dan pelaut setempat melakukan pelayaran niaga ke daerah penghasil dan bandar niaga lain,” terang Edward. Anthony Reid, pakar sejarah Asia Tenggara, menjelaskan Makassar telah berkembang pesat menjadi kota kosmopolitan pada pertengahan abad ke-17. Beragam komunitas tumbuh dengan mantap di Makassar. “Setelah Melaka-Portugis jatuh ke tangan Belanda pada 1641, Makassar menjadi tempat berlabuh utama bagi orang-orang Portugis di Nusantara dengan lebih dari 3.000 orang Portugis menetap di kota ini. Inggris mendirikan loji di Makassar pada 1613, Denmark pada 1618, sementara para saudagar Spanyol dan Cina masing-masing mulai muncul pada 1615,” catat Anthony Reid dalam Sejarah Modern Awal Asia Tenggara . Penguasa tempatan begitu toleran dalam menerima kedatangan beragam bangsa. Keramahan itu tergambar dalam dialog antara penguasa Makassar dengan utusan VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) pada 10 Desember 1616. “Tuhan telah menjadikan bumi dan laut; bumi dibagi di antara umat manusia dan laut diberikan secara umum. Tidak pernah terdengar seseorang dilarang berlayar di laut. Jika anda melakukan itu berarti anda merampas makanan (roti) dari mulut. Saya seorang raja miskin,” kata penguasa setempat, sebagaimana dikutip oleh Edward. Keberterimaan penguasa tempatan itu turut dinikmati oleh pedagang-pedagang dari India Selatan. Mereka menjual tekstil secara bebas di sini dan menukarnya dengan komoditas lain seperti teripang, agar-agar, kerang, sirip ikan hiu, lilin, kayu cendana, kulit, tanduk, damar, kambing, sapi, kuda, dan beras. Sembari menunggu angin bertiup ke barat, pedagang India tersebut menetap sementara di Makassar. Sebagian di antaranya menikah dengan orang tempatan. Sampai akhirnya keturunannya menikah lagi dengan orang-orang dari pedalaman Sulawesi sehingga meninggalkan jejak DNA yang beragam. Ini menjadi penjelas dari mana DNA Asia Selatan milik Riri Riza. Riri mengaku senang mengetahui hasil DNA-nya. “ Saya merasa menjadi bagian dari sebuah keluarga global yang besar, ” kata Riri. Hasil tes juga membawanya ke pemahaman baru mengapa dia begitu nyaman dengan aroma, rasa, atau lingkungan yang banyak orang Indianya. “Saya Muhammad Rifai Riza dan saya merasa sangat nyaman,” tambahnya.
- Kemungkinan yang Terjadi: Prabowo Menteri Pertahanan
Di media sosial beredar video seorang santri yang ditanya Presiden Joko Widodo nama-nama menterinya. Santri itu menjawab Prabowo. Jokowi dan hadirin pun tertawa terbahak-bahak. Meski salah, santri itu tetapdapat sepeda. Apa yang dikatakan santri itu kemudian terjadi. Jokowi menunjuk Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan dalam Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024.
- Perjalanan Prabowo Menuju Menteri Pertahanan
PRESIDEN Joko Widodo telah mengumumkan jajaran menterinya untuk Kabinet Indonesia Maju. Sebanyak 34 menteri diperkenalkan Jokowi di Istana Negara. Ada satu nama anyar yang menduduki kursi Menteri Pertahanan: Prabowo Subianto. Meski telah santer diberitakan, penunjukan Prabowo terbilang mengejutkan. Joko Widodo dan Prabowo sempat bertarung dalam dua kali gelaran Pemilihan Presiden (Pilpres). Kini, keduanya akan bahu-membahu menjalankan roda pemerintahan.
- Di Balik Pidato Presiden Sukarno
GANIS HARSONO terperangah dalam rasa kaget yang bukan alang kepa la ng. Di tengah riuh rendah massa yang memenuhi Istora Senayan siang itu, ia tak habis pikir, bagaimana bisa isi pidato Presiden Sukarno di depan peserta peringatan Konfrensi Asia Afrika ke-10 itu berbeda dengan isi copy naskah pidato yang tengah ia pegang. “Kok bisa terjadi seperti ini?” pikir Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI tersebut. Dalam perasaan tak menentu itu, Ganis lantas menengok ke arah kumpulan para wartawan. Benar saja perkiraannya, sambil memegang kertas copy naskah pidato tersebut, para kuli tinta itu terlihat bergumam dalam ketidakmengertian. Sebagian dari mereka, terlihat memandangnya, seolah meminta penjelasan tentang “kekacauan” ini. “Yang anda berikan pada saya lain, dan saya sudah bagi-bagikan kepada semua anggota pers” tiba-tiba sekretarisnya yang bernama Alex Alatas (kelak menjadi Menteri Luar Negeri di erapemerintahan Presiden Soeharto) berbisik kepadanya. “Ini copy asli naskah pidato Presiden,” jawab Ganis sambil membolak-balik kembali lembaran kertas yang di awal tulisannya tertera judul Keep the Bandung Spirit High . Lantas naskah karya siapa yang tengah dipidatokan oleh Bung Karno di atas podium tersebut? ** MEMASUKI AWAL 1960-AN, kondisi kesehatan Presiden Sukarno mulai menurun. Situasi ini tentu saja berpengaruh kepada kemampuannya untuk melakukan aktifitas sehari-hari, termasuk ia tidak lagi sanggup menulis sendirian konsep pemikiran yang akan dipidatokan di depan khalayak mancanegara. Akhirnya diputuskan, setiap pidato Bung Karno akan ditulis oleh sebuah tim khusus. Julius Pour dalam G30S, Fakta atau Rekayasa , menyebut setidaknya ada dua tim penulis bayangan di sekitar Presiden Sukarno yang secara ketat “bersaing”. Tim pertama adalah tim-nya Soebandrio, yang tak lain adalah Menteri Luar Negeri sekaligus pimpinan Badan Pusat Intelejen (BPI ). Sedangkan tim kedua dipunyai Njoto, Menteri Negara dan juga Wakil Ketua II Central Commite Partai Komunis Indonesia (CC PKI). Banyak kalangan (termasuk Ketua CC PKI, D.N. Aidit) yang melihat Njoto tak lebih sebagai seorang sukarnois dibanding seorang komunis. Dalam kenyataanya, Nyoto dan Aidit memang berbeda kiblat. Nyoto lebih cenderung mengikuti Partai Komunis Uni Sovyet, sedangkan Aidit lebih condong kepada Partai Komunis Tiongkok. “Setelah memperhatikan pertentangan yang semakin memuncak di antara kedua tokoh komunis itu, Presiden Sukarno mulai mengambil pilihan dengan lebih memihak Nyoto,” ungkap Ganis Harsono dalam Cakrawala Politik Era Sukarno. Uniknya, Soebandrio dan Nyoto memiliki asisten yang masing-masing merupakan perempuan bule. Jika Soebandrio memiliki tandem bernama Molly Warner dari Australia, maka Njoto terlihat sangatkompak bermitra dengan Carmel Brickman dari Inggris. Berbeda dengan anggapan orang kebanyakan yang melihat kehadiran dua perempuan bule tersebut hanya sebagai penerjemah, sesungguhnya mereka berdua memiliki peran yang sangat strategis dalam menuangkan konsep-konsep yang bernas terkait kebijakan politik luar negeri yang dianut Bung Karno. Dunia internasional pastinya tak akan pernah melupakan pidato fenomenal Sukarno di depan Majelis Umum PBB pada 1960. Konon Molly memiliki peran signifikan dalam penyusunan pidato yang berjudul To Build the World Anew itu. Siapakah Molly sebenarnya? Molly tak lain adalah istri Muhammad Bondan,seorang aktivis pergerakan yang “diculik mengungsi” oleh pemerintah Hindia Belanda ke Australia saat tentara Jepang menyerbu Indonesia pada 1942. Perempuan kelahiran Selandia Baru dan kemudian menetap di Sydney tersebut kerap menyebut keterkaitan hari kelahirannya dengan tenggelamnya kapal Titanic. “Saya lahir persis tiga bulan sebelum tragedi tenggelamnya kapal pesiar Titanic di lautan dasar Atlantik,” ujarnya dalam In Love With a Nation, sebuah memoir yang ditulisnya langsung. Ya Molly memang lahir pada 9 Januari 1912. Begitu pemerintahan Indonesia menyingkir ke Yogyakarta pada 1947, Bondan memboyong sang istri bulenya itu ke tanah air. Ia lantas direkrut oleh Sukarno-Hatta sebagai pejabat diKementerian Perburuhan. Sedangkan Molly, bekerja di RRI Pemancar Yogyakartayang khusus mengasuh program The Voice of Free Indonesia . Sebagai penyiar RRI, Molly dikenal sebagaipenyiar asing yang sangat rajin mengenalkan perjuangan negara yang membuatnyajatuh simpati itu kepada masyarakat internasional. Melihat bakat luar biasa didalam diri Molly, Sukarno kemudian memindahkannya ke Kementerian Luar Negeri. Di sana,ia didapuk untuk mengajar bahasa Inggris kepada para diplomat Indonesia. Sekitar awal 1960, Sukarno memutuskan Molly untuk menjadi pendamping Soebandrio dalam membuat naskah-naskah pidato yang khusus ditujukan bagi kepentingan luar negeriIndonesia.Sebagai perancang naskah-naskah pidato sang presiden, Molly sangat mengenal pemikiran-pemikiran dan kebiasaan-kebiasaan Sukarno saat berpidato. “….Ia gemarmelakukan pengulangan kata sebagai upaya untuk lebih menjelaskan apa yang diamaksud…”katanya. Molly mengakui jika kemampuan pidato Sukarno samabagusnya dengan kemampuan ia menulis teks pidato. Molly sendiri sebagai penerjemah sering kehabisan kosa-kata untuk menerjemahkan teks pidato BK lengkap dengan ekspresi dan bumbu-bumbunya. “Terus terang, saya seringmengabaikan akurasi demi mencapai nuansa terjemahan yang pas. Tapi tentu sajasaya lakukan dengan tidak mengubah substansi,” ujar Molly. Nasib Carmel, tak jauh berbeda dengan Molly. Bertemu sebagai sesama aktivis kiri dengan Soewondo Budiardjo di Praha, Chekoslovakia pada 1950. Ia kemudian dinikahi oleh pegiat Himpunan Sarjana Indonesia (HSI) tersebut, organisasi yang sangat dekat dengan PKI. Lewat PKI inilah, Carmel kemudian terhubung dengan Njoto.Melihat kemampuan Carmel yang sangat baik dalam segi analisa politik dan pemikiran, tokoh PKI saingan Aidit itu (Aidit pernah menyindirnya sebagai kaum revisionis modern pro Moskwa),menunjuknya untuk menjadi tandem penulisan pidato-pidato Bung Karno. Posisi Carmel tetap eksis sebagai penulis bayangan, hingga Insiden 1965 meletus. Ia kemudian ditangkap tentara dan kemudian ikut dibuang ke Pulau Buru bersama suaminya, sebelum Pemerintah Inggris (ia masih memegang paspor Inggris rupanya) turun tangan dan meminta Presiden Soeharto mendevortasi perempuan pakar ekonomi lulusan Universitas London itu ke negeri leluhurnya pada 1971. Begitu sampai di Inggris, dua tahun kemudian Carmel Budiardjo mendirikan TAPOL, sebuah lembaga hak asasi manusia yang menyoroti kehidupanpara tahanan politik di Indonesia. “Saya tak bisa melupakan begitu saja nasib kawan-kawan yang masih berada di penjara Soeharto,”tulisnya dalam Surviving Indonesia's Gulag , sebuah buku yang mengisahkan pengalaman dia menjadi tahanan politik selama di Indonesia . *** 18 APRIL 1965. Teriakan “hidup Bung Karno!” yang bergemuruh di seantero Istora Senayan tiba-tiba menyeret benak Garnis Harsono ke kejadian 9 hari sebelumnya. Suatu siang, ketika akan menghadap Bung Karno guna membahas isi naskah pidato memperingati satu dasawarsa Konfrensi Asia Afrika, ia berpapasan dengan Njoto yang baru saja keluar dari ruang kerja BungKarno. Mereka lantas bertegur sapa dan saling bertukar senyum. Senyum masih tertinggal di wajah Garnis, ketika di mulut ruang kerja Sukarno, diplomat kelahiran Jombang itu mendengar kata-kata keras: “Garnis! Saya sudah bosan dengan gaya pidato tulisan Soebandrio. Saya ingin sebuah pernyataan politik!. Oratory, I mind you, not a speech! Your minister has got into the habit of falling into philosopichal reveriesthese days (Pidato, bukan ceramah!, Menterimu itu akhir-akhir ini mulai keranjingan fantasi filsafat! Tentu saja segera Garnis mengiyakan keinginan sang presiden itu. Seminggu kemudian, ia berdiskusi dengan Soebandrio dan Molly Bondan untuk merevisi isi pidato tersebut. Setelahdiperbaiki, 17 April 1965, seorang anggota Resimen Tjakrabirawa lantas mengambil naskah pidato hasilrevisi itu. Ganis sendiri langsung memperbanyaknya guna disebar ke para wartawan. Tak dinyana olehnya, ternyata naskah pidato yang dibuat Pak Ban dan Molly tetap tak berkenan di hati Presiden Sukarno. Buktinya, dia lebih suka“meneriakan” hasil tulisan Njoto dan Carmel di Istora Senayan. Dan Garnis, hari itu hanya bisa terperangah dalam rasa kaget yang bukan alang kepalang. “Dari kejadian-kejadian tersebut di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa Presiden Sukarno bersedia mengorbankan wakil perdana menteri pertama-nya demi naskah pidato yang kaku dan liar buatan Nyoto-Carmel Budiardjo itu,” tulis Ganis dalam catatan harian-nya bertanggal 24 April 1965.
- Susi Susanti yang Tak Sedramatis Kisah Asli
GEGARA kakaknya di- bully lawannya, Susi Susanti kecil (diperankan Moira Tabina Zayn) menantang balik sang jawara bulutangkis Tasikmalaya. Susi menang. Dari kemenangan itu, Susi mendapat tawaran berlatih di PB Jaya Raya medio 1985. Dari sinilah perjalanan sang “Ratu Bulutangkis” Indonesia itu bermula. Secuplik kisah masa kecil Susi itu jadi pembuka biopik bertajuk Susi Susanti: Love All garapan sineas Sim F. Scene lalu beralih, ke dalam sebuah bus yang ditumpangi Susi menuju menuju Jakarta. Susi duduk terdiam dekat jendela lalu dikagetkan oleh hinaan seorang pedagang asongan yang tak terima Susy menolak membeli dagangannya. “Dasar sipit, pelit!” Di masa Orde Baru berkuasa itu, masyarakat etnis Tionghoa acapkali jadi mangsa perundungan diskriminasi rasial. Susi mencoba tegar. Ia juga harus menahan rindu lantaran lama meninggalkan keluarganya demi menebus utang ayahnya, Rishad Haditono (Iszur Muchtar), mantan pebulutangkis level PON, terkait prestasi emas olimpiade. Beruntung, Susi mendapat tambahan motivasi dari idolanya, Rudy Hartono (Irwan Chandra), yang melihat bakat hebat dalam diri Susi. “Tetapi bakat saja tidak cukup. Butuh kerja keras dan kedisiplinan,” cetus Rudy kala menasihati Susi yang tengah jenuh dengan rutinitas latihan PB Jaya Raya. Alur cerita lantas bergulir cepat. Setahun kemudian (1986), Susi (diperankan Laura Basuki) sudah menginjakkan kaki di Pelatnas PBSI Cipayung. Ia langsung ditangani pelatih bertangan besi Liang Tjiu Sia (Jenny Zhang Wiradinata). Sia dan Tong Sinfu (Chew Kin Wah), digambarkan bekas eksil di Cina, didatangkan Ketum PBSI Try Sutrisno (Farhan) untuk mendongkrak prestasi bulutangkis Indonesia yang tengah menukik. Target pertama adalah Sudirman Cup perdana di Jakarta, 1989. Sebelum ke Indonesia, Sia dan Sinfu sempat mempertanyakan status kewarganegaraan mereka. Namun Try Sutrisno dan Sekjen PBSI Mangombar Ferdinand Siregar (Lukman Sardi) ingin lebih dulu mendapatkan bukti prestasi dari keduanya. Sudirman Cup 1989 juga jadi satu dari sekian ujian berat Susy, yang dibebani harus mencetak poin lantaran dua laga sebelumnya dimenangkan wakil Korea Selatan. Meski tertekan, Susi mampu keluar sebagai pemenang. Moira Tabina Zayn sebagai Susi Susanti kecil (Foto: Instagram @sim_f) Sementara, berada di Pelatnas dalam waktu lama membuat Susi mendapatkan “pelabuhan” hati dari sesama penghuni pelatnas asal PB Djarum, Alan Budikusuma (Dion Wiyoko). Acapkali keduanya melanggar jam malam demi berkencan, terpapar kenakalan remaja laiknya pebulutangkis lain yang juga menjalin kasih, Sarwendah Kusumawardhani (Kelly Tandiono) dan Hermawan Susanto (Rafael Tan). Drama-drama itu jadi bumbu tersendiri dalam film berdurasi 96 menit ini. Agar bisa merasakan sendiri bagaimana rasanya kasmaran yang bergonta-ganti dengan kesedihan, ketegangan, maupun tangis kebahagiaan Susi setelah memetik emas Olimpiade Barcelona 1992, jauh lebih baik Anda saksikan sendiri film yang tayang di bioskop-bioskop mulai 24 Oktober 2019 ini. Yang Tercecer dan Melenceng dari Fakta C oloring dan music scoring film ini ditata dengan sangat apik. Beberapa adegan menegangkan terbukti terasa menegangkan lantaran diiringi efek suara menggebu. Tata warna dalam film ini juga diracik dengan ciamik oleh Sim F yang sebelumnya sudah malang melintang menyutradarai iklan dan video klip. Pokoknya feel dan suasana 1980-an hingga 1990-an sangat terasa. Sayangnya, karakter dua sosok utama yang diperankan Laura dan Dion dibawakan kurang maksimal. Emosi penonton yang mulai dibangun lewat scene persiapan dan pertandingan, termasuk saat Susy pontang-panting menghadapi lawannya di final tunggal putri bulutangkis Olimpiade Barcelona 1992, sekonyong-konyong buyar. Adegan Susi menangis di puncak podium arena Pavelló de la Mar Bella gagal jadi klimaks yang memuaskan. Mungkin publik akan lebih terpuaskan jika memutar lagi footage aslinya yang bertebaran di YouTube . Bisa jadi karena beberapa faktor teknis yang menggerogotinya, seperti lagu kebangsaan ‘Indonesia Raya’ yang dipotong. Atau, venue -nya tak menyerupai venue asli di Barcelona. Dilihat dari ciri-ciri bangunannya, syuting adegan itu diambil di BritAma Arena, Kelapa Gading untuk adegan indoor dan Museum Bank Indonesia untuk adegan outdoor . Namun yang lebih fundamental, soal muatan isu rasial. Dari setengah durasi ke belakang, isu diskriminasi yang pernah jadi luka bagi etnis Tionghoa itu begitu dominan. Film ini kembali membongkar luka yang telah lama “diperban”. Dominasi pesan ini menjadikan film ini terlena menampilkan perjuangan Susi, baik sejak di klub maupun di pelatnas. Porsi-porsi latihan berat Susi di bawah asuhan Tjiu Sia dan Alan di bawah besutan Tong Sinfu dan Rudy Hartono tak digambarkan sebagaimana mestinya. “Dulu kita latihan sampai jam 10 malam biasanya. Kalau sudah latihan, kita sudah sampai enggak bisa bangun dari tempat tidur,” kata Alan mengenang, kepada Historia. Alan juga menguraikan, dia dan Susi sampai tak sempat memikirkan waktu berpacaran, terlebih saat persiapan olimpiade. “Kalaupun ada waktu libur, biasanya kalau pergi pun bareng-bareng dengan kawan-kawan pelatnas lainnya, enggak berduaan,” tambahnya. Dion Wiyoko dan Laura Basuki sebagai Alan Budikusuma dan Susy Susanti (Foto: Instagram @filmsusisusanti) Maka aneh jika di film Alan dan Susi acap digambarkan jalan-jalan berduaan, bahkan sampai berkencan di kawasan Melawai. Bayangkan betapa jauhnya mereka mencuri waktu berpacaran dari Cipayung di ujung Jakarta Timur ke Melawai di Jakarta Selatan. Peran Tjiu Sia dan Tong Sinfu dalam beberapa adegan juga “menggantung”, terlepas dari akting Jenny sebagai Tjiu Sia dan Chew Kin Wah sebagai Tong Sinfu patut diacungi jempol ketimbang Laura dan Dion. Problem status warga negara Sia dan Sinfu sekadar dijadikan pelengkap isu rasial yang menerpa Susi hingga kerusuhan Mei 1998. Padahal tanpa tokoh Susi dan Alan pun, kisah asli kedua tokoh tersebut tak kalah mengharukan. Lebih runyam lagi, beberapa adegan melenceng jauh dari aslinya. Kendati lumrah dalam hal-hal yang dialihwahanakan ada bumbu-bumbu tambahan, alangkah baiknya tak menyerong jauh dari fakta. Celakanya, itu terjadi bahkan sedari awal, di adegan yang menggambarkan klub pertama Susi adalah PB Jaya Raya. Padahal, sebelum itu Susi sudah “memoles” bakatnya di PB Tunas Tasikmalaya. Lalu, soal sosok Rudy Hartono yang diperankan Irwan Chandra. Pada masa Susi masuk PB Jaya Raya, 1985, hampir semua anak didik berebut ingin bisa latihan dengan Rudy. Well , kurun 1981-1985 sejatinya Rudy masih disibukkan tugas sebagai Kabid Pembinaan PBSI di Senayan. Yang juga aneh karena anakronisme, saat Susi pertamakali masuk pelatnas, ia langsung berlatih di Cipayung. Faktanya, gedung Pelatnas PBSI itu baru dibangun pada 1992. Semasa angkatan Susi, Pelatnas masih di GOR Asia Afrika, Senayan. Chew Kin Wah dan Jenny Zhang Wiradinata sebagai Tong Sinfu dan Liang Tjiu Sia (Foto: Instagram @chewkinwah) Pelatih Alan juga digambarkan hanya Tong Sinfu. Padahal dalam biografinya, MF Siregar menguraikan para pebulutangkis putra, termasuk Alan, juga dipegang Rudy (selepas menjabat Kabid) dan Indra Gunawan. “Indonesia kalah di Thomas Cup Mei 1992 jelang olimpiade. Pelatih Alan ketika itu, Rudy Hartono dan Indra Gunawan, marah besar. Menimpakan penyebab kekalahan kepada pundak pemain kelahiran Surabaya itu,” kata Siregar dalam biografinya yang ditulis oleh jurnalis olahraga Brigitta Isworo Laksmi dan Primastuti Handayani, Matahari Olahraga Indonesia . Adegan kehadiran Siregar di final Olimpiade Barcelona 1992, yang menyaksikan pertandingan dari tribun kehormatan bersama Try Sutrisno, dalam film juga menunjukkan lemahnya riset film ini. Faktanya, Siregar tak sempat menyaksikan Susi berlaga di momen besar itu lantaran sedang pemulihan kondisi pasca-operasi jantung. Lukman Sardi (kanan) sebagai teknokrat olahraga Mangombar Ferdinand Siregar (Foto: Instagram @lukmansrd) Dalam biografinya, Siregar dituliskan hanya memantau laga final Susi sembari menemani para penghuni pelatnas lain yang tak ikut ke Barcelona, di Gedung Bulutangkis PBSI DKI Jakarta. Ia hanya menerima informasi jalannya pertandingan dari asistennya, Richard Mainaky. Jika menyaksikan langsung, dikhawatirkan jantung Siregar belum kuat. “Saat Richard keluar dengan kedua jempol ke atas dan bersorak kegirangan, Siregar tak bisa menahan luapan emosi. Namun Siregar berusaha tetap kalem menerima sukses besar yang sesuai prediksinya itu,” sebut Brigitta dan Primastuti. Terlepas dari banyaknya kekurangan itu, biopik ini patut diapresiasi. Ia hadir di tengah dahaga penonton Indonesia akan film yang membangkitkan nasionalisme lewat nostalgia prestasi Susi Susanti. Ia juga berani berbeda di tengah persaingan ketat antar- genre yang didominasi action , horor, dan komedi; dan banjir film Hollywood.
- Buah Kengototan Maria Ullfah dalam Rapat BPUPKI
MARIA Ullfah menjadi satu-satunya perempuan yang duduk dalam Panitia Pertama Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ketika membahas Undang-Undang Dasar, 29 Mei 1945 di Gedung Departemen Luar Negeri, Pejambon, Jakarta. “Karena saya ahli hukum, saya dimasukkan ke sana. Ketua aktif adalah Prof. dr. Supomo. Dialah yang banyak menyusun UUD 1945,” kata Maria Ullfah pada Dewi Fortuna Anwar dalam rekaman suara yang dikeluarkan Arsip Nasional. Namun, Maria bukan satu-satunya perempuan dalam rapat BPUPKI dari 28 Mei-1 Juni 1945 itu. Di luar Panitia Pertama, ada Siti Sukaptinah (ketua Fujinkai) di Panitia Ketiga yang membahas tentang pembinaan tanah air. Terlepas dari hanya ada dua perempuan dalam kongres tersebut, BPUPKI berhasil merumuskan banyak hal terkait bentuk negara dan luas wilayah. Dalam hal bentuk negara, sempat muncul dua pilihan dalam rapat tersebut, yakni republik atau kerajaan. Mayoritas peserta rapat yang datang dari Jawa Tengah menghendaki bentuk kerajaan. Mereka ingin mengikuti ramalan Joyoboyo. Namun, mayoritas peserta rapat menginginkan republik. “Kalau tidak salah yang mau kerajaan cuma 9 orang,” sambung Maria. Mengenai luas wilayah, rapat juga berjalan alot. Mohammad Yamin, salah satu anggota BPUPKI, mengusulkan untuk memperluas wilayah Indonesia sampai mencakup Malaya, Kalimantan bagian Inggris, Irian Timur, Timor jajahan Portugis, dan Pulau Madagaskar. “Yamin bilang Brunei, Malaysia dimasukkan. Yamin selalu begitu, semuanya mau dimasukkan,” kata Maria diiringi tawa kecil. Pada akhirnya diputuskan, luas wilayah Republik Indonesia hanya bekas Hindia Belanda. Dalam Maria Ullfah Pembela Kaumnya, Gadis Rasyid menyebutdefinisi warga negara juga masuk dalam pembahasan. Rapat memutuskan bahwa orang-orang keturunan pun boleh jadi warga negara Indonesia, seperti keturunan Tionghoa, keturunan Arab, dan keturunan Belanda. Sementara, dalam rapat Panitia Pertama yang membahas UUD, Maria mengusulkan tentang pemberian hak dasar yang sama bagi warga negara baik perempuan maupun lelaki. Usul Maria ini dianggap penting dalam gerakan perempuan sebagai upaya secara legal menyetarakan hak dasar perempuan dan lelaki. Namun, baru selesai Maria mengutarakan usulnya, Sukarno yang menghadiri rapat itu langsung menolak ide itu. “Nggak perlu. Itu sudah cukup,” kata Sukarno. Mendengar penolakan Sukarno, Maria mencoba menjelaskan maksudnya ialah hak dasar yang berlaku di tiap negara, bukan hak asasi yang berlaku universal sehingga perlu ditetapkan dalam UUD. Lebih jauh, ia ingin mencegah adanya diskriminasi pada perempuan dalam penegakan hukum sehingga ide tentang ‘semua orang sama di mata hukum’ harus dicantumkan. “Saya tidak bilang hak asasi tapi hak dasar. Bung Karno memang selalu keras terhadap saya, tapi waktu itu Pak Supomo yang menyusun,” sambungnya. Maria juga menyampaikan impresinya terhadap ketua panitia pertama, Prof. dr. Supomo. Menurut Maria Ullfah, Supomo berpihak pada gerakan perempuan sehingga ide pemberian hak dasar sama bagi perempuan dan lelaki didukung oleh Supomo. “Supomo baik sama (gerakan) perempuan. Dia yang menyusun sebagian besar UUD dan usulan saya dimasukkan. Untung saya ada di situ sebagai perempuan,” kata Maria. Usaha ngeyel Maria terbayar. Idenya disepakati dan tercatat dalam pasal 27 yang berbunyi: “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.” “Pasal 27 itu harus selalu kita pegang sebagai warga negara, pegawai negeri, dan sebagai tenaga kerja wanita,” kata Maria. Atas jasanya itu, Komnas HAM memberikan penghargaan Anugerah HAM kepada Maria Ullfah pada 2014 bersama Munir Said Thalib.
- Menteri Pertahanan yang Hilang
Pasca Proklamasi 17 Agustus 1945, urusan pemerintahan mulai ditata. Kabinet pertama pun dibentuk pada 19 Agustus 1945 bernama Kabinet Presidentil. Kabinet Presidentil terdiri atas 12 Menteri Departemen ditambah lima Menteri Negara yang tidak mengepalai suatu Departemen tertentu. Kabinet ini kemudian dilantik oleh Presiden Sukarno pada 2 September 1945. Salah satu menteri dalam kabinet ini adalah Supriyadi, tokoh pemberontakan Peta (Pembela Tanah Air) di Blitar pada Februari 1945. Supriyadi diangkat sebagai Menteri Keamanan Rakyat. Kementerian ini kemudian berubah menjadi Kementerian Pertahanan. Namun, Supriyadi tak pernah kelihatan bahkan dinyatakan hilang. “Menteri Keamanan Rakyat Supriyadi tidak pernah datang ke Jakarta dan tidak memberi jawaban yang pasti kesediannya diangkat menjadi Menteri. Maka tanggal 20 Oktober 1945 Presiden mengangkat Sulyadikusumo sebagai Menteri Keamanan Rakyat ad interim yaitu menteri sementara sebelum menteri yang asli ditemukan,” tulis Bibit Suprapto dalam Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan Indonesia. Saat itu, Indonesia baru memiliki Barisan Keamanan Rakyat yang menghimpun bekas anggota Peta, Heiho, dan sebagainya, belum memiliki tentara. Maka, pada 5 Oktober 1945 dibentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Meski tak ada kabarnya, pada 20 Oktober 1945, berbarengan dengan digantinya Menteri Keamanan Rakyat, Supriyadi ditunjuk sebagai Pemimpin Tertinggi TKR. Namun, Kabinet Presidentil jatuh pada 14 November 1945, hanya bertahan selama dua bulan 12 hari.Kabinet ini kemudian digantikan dengan kabinet parlementer dengan Sutan Sjahrir sebagai Perdana Menteri Hilangnya Supriyadi masih menjadi misteri hingga kini. Ratnawati Anhar dalam Pahlawan Nasional Supriyadi menyebut beberapa informasi tentang Supriyadi sempat muncul setelah dia menghilang. Ronomejo, seorang kamituwo desa Ngliman, Kabupaten Nganjuk mengaku pernah mengantar Supriyadi ke persembunyiannya di sebuah gua dekat air terjun Sedudo. Namun, ketika didatangi ayahnya, Darmadi, ia sudah tidak ada. Menurut Ronomejo, kemungkinan Supriyadi lari ke arah barat menuju Jawa Tengah. Informasi lainnya muncul dari M. Nakajima, Direktur Taisei Internatonal Coporation di Singapura. Ia menerangkan bahwa sekitar bulan Februari-Maret 1945, Supriyadi bersama dua orang kawannya datang ke rumahnya di Jalan Jangkongan, Salatiga. Di rumah Nakajima, mereka menginap semalam lalu harus pergi lagi karena didatangi Kempetai Jepang dari Semarang. Sementara itu, pada 2008, masyarakat dihebohkan dengan seseorang bernama Andaryoko Wisnuprabu yang mengaku sebagai Supriyadi. Sejarawan Baskara T. Wardaya dalam Mencari Supriyadi , mewawancarai Andaryoko yang saat itu Ketua Umum Perkumpulan Kesenian Sobokartti Semarang. Dalam kesaksiannya, Andaryoko tidak berharap diakui sebagai Supriyadi, ia hanya ingin menyampaikan narasi sejarah yang ia ketahui sepanjang hidupnya. Dalam wawancara itu, Andaryoko mengaku masih berada di sekitaran Sukarno dan terkadang bolak-balik Jakarta-Semarang. Ia juga mengetahui dirinya diangkat menjadi Menteri Keamanan Rakyat. “Waktu saya ditunjuk jadi menteri itu saya tidak diberi kantor, wong memang tidak ada tempat. Bung Karno saja masih belum tinggal di Istana,” katanya. Pada 12 Oktober 1945, Andaryoko pamit kepada Sukarno ke Semarang. Setelah ikut dalamPertempuran Lima Hari di Semarangpada 14 Oktober 1945, ia kembali ke Jakarta. Pada 20 Oktober 1945, Sukarno mengangkat Supriyadi menjadi Pemimpin Tertinggi TKR. Andaryoko membenarkan hal ini. “Organisasi BKR ditingkatkan menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR), dan saya diangkat menjadi Panglima Tertinggi TKR itu,” sebutnya. Andaryoko mengaku mengundurkan diri sebagai Menteri Keamanan Rakyat dan Panglima Tertinggi TKR serta memilih menyepi untuk bersemadi. Namun, ia tetap diminta menjadi pembantu Sukarno.Selama menjadi pembantu Sukarno, ia sering bolak-balik Jakarta-Semarang. Ia ditugasi untuk mencari informasi apapun terkait situasi politik saat itu. Sejarawan Asvi Warman Adam meragukan pengakuan Andaryoko. Ia lebih meyakini Andaryoko sebagai anggota Peta yang kemudian bekerja di bidang pemerintahan di Semarang. “Sebagai seorang anggota Peta yang ada di Blitar, dia tahu segala kegiatan Peta di Blitar. Tapi mungkin bukan Supriyadi, karena anggota Peta yang ada waktu itu ratusan,” kata Asvi dalam wawancara dengan kompas.com . Menurut Asvi, waktu ada orang di Yogyakarta mengaku Supriyadi, Wakil Presiden Try Soetrisnomeminta Utomo Darmadi, adik tiri Supriyadi untuk mengeceknya.Utomo mengajak bicara dalam Bahasa Belanda,orang itu tidak mengerti.Ia juga menanyakan sesuatu dalam bahasa populer Jepang, orang itu juga tidak bisa menangkap. Supriyadi, kata Asvi, sekolah MULO dan Stovia pasti bisa Bahasa Belanda. Juga latihan Jepang, pasti menguasai istilah-istilah Jepang. Namun, dalam percakapan dengan Baskara, Andaryoko sama sekali tidak mengucapkan satu pun istilah Bahasa Belanda. Padahal, berbicara dengan orang-orang yang berusia 70-80 tahun dan pernah sekolah Belanda, pasti keluar istilah-istilah Belanda. Sementara Andaryoko cuma Bahasa Jawa. Selain itu, Asvi menambahkan, Andaryoko menyampaikan banyak keterangan yang tidak sesuai fakta sejarah. Misalnya,dia mengaku hadir pada Proklamasi 17 Agustus 1945 bahkan ikut mengerek bendera merah putih. Padahal secara historis, pengerek bendera merah putih adalah Latief Hendraningrat. Andaryoko juga menyebut sidang-sidang untuk menetapkan UUD 1945 diadakan di Gedung Joang 45. Padahal sidang-sidang itu di Gedung Pantjasila yang sekarang berada di dalam kompleks Kementerian Luar Negeri. Dia juga mengaku hadir ketika Supersemar diserahkan di Istana Bogor. “Yang menurut saya sangat aneh, tahun 1945 dia menolak ikut dalam pemerintahan karena meramalkan 20 tahun lagi akan ada huru-hara dan orang yang dukung Bung Karno akan tersingkir. Dia memilih di luar pemerintahan. Menurut saya itu klenik, mistis. Jadi, pengakuan Andaryoko dipertanyakan karena dia hadir di mana-mana. Dia tokoh mistis yang bisa meramal kejadian 20 tahun yang akan datang,” kata Asvi. Andaryoko Wisnuprabu,salah satu dari beberapa orang yang mengaku sebagai Supriyadi, meninggal dunia di Semarang pada 3 Juni 2009.
- Berbagi Kekuasaan dengan Lawan
Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto dan Wakil Ketua Umum Gerindra Edhy Prabowo masuk dalam Kabinet Indonesia Maju 2019-2024. Prabowo sebagai Menteri Pertahanan. Edhy sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan. Padahal Prabowo dan partainya merupakan rival Jokowi dalam Pilpres 2019. Drama rekonsiliasi antara lawan tanding politik semacam itu pernah terjadi pada era Kerajaan Singhasari. Saling rebut kursi pimpinan hingga saling tikam selama beberapa generasi akhirnya reda lewat jalan berbagi kekuasaan antara dua cabang keturunan Ken Dedes. Itu ketika Wisnuwarddhana, keturunan Ken Dedes dengan Tunggul Ametung naik takhta. Ia memilih memerintah bersama sepupunya, Narasinghamurti, keturunan Ken Dedes dengan Ken Angrok. Serat Pararaton menceritakan kisah itu dimulai dari kiprah seorang anak Desa Pangkur bernama Ken Angrok. Ia membunuh Tunggul Ametung, akuwu Tumapel yang berada di bawah Kerajaan Kadiri. Angrok menggantikan kedudukannya sebagai akuwu sekaligus memperistri jandanya, Ken Dedes. Karier politik Ken Angrok makin naik setelah mengalahkan Dandang Gendis, Raja Kertajaya dari Kadiri pada 1222. Ia pun menjadi raja yang berkedudukan di Tumapel dengan gelar Sri Rajasa Sang Amurwabhumi. Menurut Suwardono, mantan pengajar sejarah di IKIP Budi Utomo Malang, sejak masa Tunggul Ametung, Tumapel berfungsi sebagai kuwu (perumahan). Ia berkembang pesat hingga menjadi sebuah kerajaan pada masa Ken Angrok. Dwi Cahyono, arkeolog dan pengajar sejarah di Universitas Negeri Malang, mengatakan setelah Kadiri diduduki Ken Angrok, kondisi keluarga kerajaan menjadi rumit. Paling tidak ada tiga faksi yang sedang berebut ingin naik kursi pimpinan. Selain Ken Dedes, Ken Angrok kemudian memperistri Ken Umang. Ken Dedes telah hamil seorang putra dari Tunggul Ametung ketika dinikahi Ken Angrok. Anaknya dipanggil Anusapati. Dari Ken Dedes, Ken Angrok memperoleh putra bernama Mahisa Wong Ateleng. Sementara dari Ken Umang, Ken Angrok mempunyai putra bernama Tohjaya. “Kan masih ada mantan pejabat atau keturnanannya Dandang Gendis. Ini satu faksi. Di tubuh keluarga Ken Angrok paling tidak ada tiga, trah Ken Angrok-Ken Dedes, Ken Angrok-Ken Umang, Ken Dedes-Tunggul Ametung,” kata Dwi. Perpecahan itu, kata Dwi , makin mencuat setelah Ken Angrok mati. Berdasarkan Prasasti Mulamalurung, keturunan Ken Angrok beruntun menjadi raja Kadiri sesudah matinya Dandang Gendis. Mereka adalah Bhatara Parameswara (Mahisa Wong Ateleng), Gunung Bhaya (Agni Bhaya), dan Tohjaya. Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakrtagama menyebutkan penobatan Mahisa Wong Ateleng sebagai penguasa di Kadiri membuat iri Anusapati. Karena merasa anak sulung, Anusapati punya hak menduduki takhta. “Ibu, saya bertanya, apa sebab ayahanda kalau melihat kepadaku, berbeda tampaknya dengan saudara-saudara saya semua, apa lagi dengan putera ibu muda (Tohjaya, red. ), semakin berbeda pandangan ayah,” tanya Anusapati suatu hari pada Ken Dedes. Anusapati akhirnya tahu kalau bukan anak kandung Ken Angrok. Ia pun membunuhnya untuk membalas dendam kematian ayah kandungnya, Tunggul Ametung. Di luar persoalan dendam, menurut Slamet Muljana,ada latar belakang politik di balik pertanyaan Anusapati. Pertanyaan itu harus ditafsirkan: “mengapa bukan saya, melainkan adik saya Mahisa Wong Ateleng yang dinobatkan sebagai raja Kadiri.” Setelah kematian Ken Angrok, Anusapati dinobatkan menjadi penggantinya di Tumapel. Dari sana, kekuasaan pun terbelah dua: Kadiri di bawah Mahisa Wong Ateleng dan Tumapel di bawah Anusapati. Sementara Prasasti Mulamalurung tak menyinggung nama Anusapati. Karenanya, Slamet Muljana menjamin, tokoh itu tak dibunuh Tohjaya dengan Keris Gandring sebagaimana cerita Pararaton . Kalaupun keterangan di Pararaton ada benarnya, yang ditikam keris oleh Tohjaya bukan Anusapati. Tapi Guning Bhaya yang memerintah di Kadiri menggantikan kakaknya, Mahisa Wong Ateleng. Pembunuhan itu pun bukan karena balas dendam. Namun, lebih kepada ingin merebut kekuasaan. Pasalnya, dalam Prasasti Mulamalurung disebut Tohjaya adalah pengganti Raja Guning Bhaya di takhta Kadiri. “Tohjaya punya anggapan dia memiliki hak yang sama seperti saudara-saudaranya. Hanya saja, menurut Pararaton , dia dilahirkan dari selir, Ken Umang,” tulis Slamet Muljana. Kendati berhasil menduduki Kadiri, Tohjaya memerintah tanpa rasa tenang. Dia selalu curiga kepada keponakan-keponakan tirinya, putra Anusapati yang bernama Mapanji Sminingrat dan putra Mahisa Wong Ateleng yang bernama Mahisa Campaka atau Narajaya. Prasangka buruknya terbukti karena kedua ponakan tirinya itu kemudian menyingkirkannya. Sepeninggal Tohjaya, Mapanji Sminingrat menjadi raja dan digelari nama Wisnuwarddhana. Sementara Narajaya dimahkotai sebagai Ratu Angabhaya bergelar Narasinghamurtti. “Keduanya pun memerintah bersama laksana Wisnu dan Indra, bagaikan dua ekor ular dalam satu lubang,” catat Pararaton . Menurut Suwardhono dalam Sejarah Indonesia Masa Hindu-Buddha, keputusan itu dibuat karena Wisnuwardhana tak ingin memisahkan lagi kekuasaan Kadiri dan Tumapel seperti yang pernah dilakukan oleh kakeknya, Sri Rajasa. Tak cukup di situ, kakak tertua Mahisa Campaka, yaitu Nararya Waningyun yang menjadi putri mahkota Kerajaan Kadiri, ia jadikan permaisuri. “Bersatu kembalilah Kadiri dan Tumapel,” tulis Suwardhono. Prasasti Mulamalurung juga menyebut saat itu administrasi pemerintahan dibagi ke dalam delapan nagari. Masing-masing anggota keluarga mendapat kekuasaan sebagai vasal. “Dikokohkan secara birokrasi militer. Ini politik berbagi kekuasaan agar benturan politik bisa diminimalkan,” kata Dwi. Langkah Wisnuwardhana itu kemudian dikenang oleh putranya, Raja Kertanegara. Ia mencatat kembali peristiwa pembagian Kerajaan Janggala dan Panjalu yang pernah dipisah oleh Raja Airlangga dari Kerajaan Kahuripan. Perpecahan yang pernah terjadi sejak itu, menurutnya telah disatukan kembali berkat ayahnya. “Sebagaimana tertulis dalam Prasasti Wurara, di atas lapik arca Buddha Aksobhya sebagai tumbal magis di daerah Wurara, bekas pertapaan Pu Bharada. Tujuannya agar tak ada pemisahan lagi,” kata Suwardhono. Pilihan Wisnuwardhana berbagi k ek uasa an dengan lawan politiknya agaknya berhasil menjadi pondasi bagi keemasan Singhasari pada masa berikutnya. Tapi itu dulu. Bagaimana dengan sekarang, akankah Indonesia maju dengan memberikan kekuasaan kepada lawan?
- Kristalisasi Keringat dan Air Mata Susi Susanti
BULUTANGKIS boleh dibilang merupakan permainan merakyat paling sering menghadirkan kebanggaan buat Indonesia. Prestasi mulai dari tingkat regional hingga internasional, macam olimpiade, yang dimiliki Indonesia datang darinya. Di pentas olimpiade, mestilah menyebut Susi Susanti dan Alan Budikusuma. Keduanya merupakan atlet pertama yang memberi Indonesia medali emas olimpiade, yakni di Olimpiade Barcelona 1992. Di seantero bumi pertiwi, nyaris semua orang mengenal sosok Susi. Sosok pahlawan olahraga itu kisahnya diangkat ke layar perak oleh Daniel Mananta dengan tajuk Susi Susanti: Love All, mulai tayang di bioskop-bioskop pada Kamis, 24 Oktober 2019. “Iya, beberapa tahun lalu dia (Daniel) ketemu Susi. Buat dia, sayang kalau kisahnya tidak difilmkan. Badminton kan olahraga yang merakyat, jadi dia memberanikan diri untuk mengambil tema olahraga dan mengangkat kisahnya Susi ini ke layar lebar,” kata Dion Wiyoko, aktor yang ikut terlibat dalam film, kala bertandang ke redaksi Historia, Senin (21/10/2019). Dion bermain memerankan Alan Budikusuma, kekasih Susi yang bareng dalam mempersembahkan emas olimpiade. Sementara, Susi diperankan Laura Basuki. “Susi sosok legenda perempuan untuk badminton. Hanya Susi, belum ada yang menggantikan rekornya dia memenangkan olimpiade. Film ini tentang perjuangannya, terus juga kisah cintanya. Biopik ini dimulai dari awal perjuangan Susi sebagai atlet,” kata Laura menimpali. Laura Basuki sebagai pemeran Susi Susanti. (Fernando Randy/Historia). Selain Dion dan Laura, turut bercerita Nathaniel Sulistiyo yang di film erperan sebagai Ardy B. Wiranata, pebulutangkis Indonesia yang jadi rival Alan di final bulutangkis tunggal putra Olimpiade Barcelona 1992. Nathan ingin masyarakat Indonesia bisa melihat langsung bagaimana pontang-pantingnya atlet sebelum berlaga di arena. “Film ini seperti membawa kita flashback lagi. Mungkin orang akan nostalgia lagi tentang momen itu. Tapi di sisi lain, kita ingin orang bisa mengapresiasi atlet-atlet. Banyak prosesnya. Panjang prosesnya untuk seorang atlet sampai bertanding membawa nama negara,” ujar Nathan yang juga mantan pebulutangkis dari PB Tangkas itu. Keringat dan Air Mata Tidak mudah jalan yang dilalui Susi sampai bisa berdiri di podium tertinggi penyerahan medali di Barcelona 27 tahun lewat. Tidak hanya peras keringat dalam persiapan, aral-rintang di luar arena juga membebaninya hingga meneteskan air mata. Sebagai atlet berdarah Tionghoa, Susi, Alan, dan para pebulutangkis lain terimbas isu-isu rasialisme yang kental di masa Orde Baru. “Dalam olahraga, kita lupa mengingat ras, agama, atau apapun itu. Di lapangan, kita hanya tahu bahwa kita bawa nama Indonesia. Buat saya di film ini, kita enggak ingat lagi nih, dia orang (etnis) apa. Di lapangan ya tahunya kita mewakili Indonesia,” lanjut Laura. Demi bisa merasakan keringat dan air mata itu yang lantas mengkristal jadi prestasi di Barcelona laiknya Susi 27 tahun lampau, Laura rela dikarantina selama enam bulan guna dilatih oleh pembesut Susi saat itu, Liang Tjiu Sia. Selain Laura, Dion pun ditempa latihan keras serupa selama empat bulan oleh pelatih yang sama. Laura, Dion, dan Nathan pun ingin mengajak publik untuk datang berbondong-bondong ke bioskop-bioskop terdekat mulai 24 Oktober 2019. Pasalnya film ini bakal mengungkap banyak hal, apa-apa saja yang jadi “musuh” Susi dan Alan dalam kesehariannya di pelatnas maupun kehidupan pribadi di luar lapangan. “Film ini ingin menyampaikan bahwa mengasihi adalah jawaban dari semua tantangan yang dialami oleh seorang Susi menjadi seorang juara dunia dan dirinya sendiri. Film ini harus ditonton karena akan banyak hal yang tidak pernah masyarakat tahu latar belakang Susi yang bisa menjadi seorang juara dunia dan legenda,” ujar sang sutradara Sim F ketika dihubungi Historia dalam kesempatan berbeda.






















