top of page

Hasil pencarian

9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Mas Slamet Dikutuk Kaum Republik

    Kelompok kanan reaksioner Belanda selalu menganggap Sukarno seorang pengkhianat atau quisling –diambil dari nama Perdana Menteri Norwegia yang bekerjasama dengan tentara Nazi selama Perang Dunia II– yang menjual bangsanya kepada Jepang. Sebaliknya, kaum republiken menganggap kolaborasi Sukarno dengan Jepang hanyalah perkara strategi perjuangan merebut kemerdekaan. Justru orang-orang yang anti-Jepang dan anti-Republik serta pro-Belandalah yang pantas disebut quisling; salah satunya Mas Slamet, pendiri Partai Demokrat. Mas Slamet tak hanya mencap Indonesia sebagai bentukan Jepang, dia juga menganggap bendera merah putih sebagai produk Jepang. “Mr. Slamet di dalam surat terbuka kepada Ratu Wilhelmina terkesan tidak mengenal makna simbolis bendera merah putih bagi gerakan nasional di negerinya,” tulis Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah.

  • Rais Abin, Panglima Perdamaian Dunia

    SETELAH lama mengalami masa diaspora, bangsa Israel berusaha kembali ke tanah yang dijanjikan. Mereka mendambakan rumah bagi bangsa Yahudi sendiri. Dan Palestina menjadi pilihan mereka, sebagai tanah yang dijanjikan. Dari sini, perang pun dimulai. Perang Arab-Israel pertama pecah pada 1948. Israel menang meski dikeroyok enam negara Arab. Peperangan berikutnya terjadi pada 1956, 1967, dan 1973. Keadaan genting di Timur Tengah mendorong pembentukan pasukan perdamaian PBB (UNEF) .  Indonesia mengirimkan Kontingen Garuda yang tergabung dalam UNEF.

  • Menganyam Fakta dan Fiksi

    KAJIAN mengenai pembunuhan massal 1965-1966 di Indonesia, bahkan kajian atas politik negara secara umum, akan mengalami perombakan dengan diluncurkannya film dokumenter The Act of Killing  yang disutradarai Joshua Oppenheimer dan baru-baru ini diluncurkan di Toronto International Film Festival. The Act of Killing  berbeda dari berbagai film dokumenter dengan tema serupa yang selama ini pernah ada. Inilah film panjang pertama tentang pembunuhan massal 1965-1966 yang menampilkan para pelaku pembantaian, bukan korban atau simpatisan, sebagai tokoh utama. Dalam film ini, mereka mantan tokoh organisasi paramiliter Pemuda Pancasila yang ikut membantai ratusan orang pengikut atau yang diduga komunis di Sumatra Utara, sebagai bagian dari pembantaian berlingkup nasional yang seluruhnya memakan hampir satu juta jiwa.

  • Dari Kanal Hingga Rumah Pintal

    EMPAT kapal, The Duke , The Duchess , The Marquiss , The Batchelor Frigate , berlayar meninggalkan pantai Amerika Selatan pada 10 Januari 1710. Pelayaran tersebut dipimpin kapten asal Inggris, Woodes Rogers. Mereka mengambil rute samudera Pasifik menuju Guam. Perjalanan tidak semulus yang dikira, persediaan makanan menipis dan kebocoran salah satu kapal menjadi ujian bagi awak kapal. “Persediaan makanan dan minuman menipis, jatah dijaga dengan ketat. Setiap orang hanya memperoleh sepotong daging dan 1,5 pon gandum sehari, sementara jatah untuk budak negro lebih sedikit lagi,” tulis Frieda Amran dalam bukunya Batavia, Kisah Kapten Woodes Rogers dan Dr Strehler .

  • Menjelang Blitzkrieg di Ibukota Republik

    BERLIKUNYA jalur politik yang ditempuh Belanda menghadapi Republik Indonesia usai Perang Dunia II membuat Panglima Tentara Belanda Letjen Simon Hendrik Spoor “gerah”. Lamanya waktu yang dibutuhkan dengan hasil tak tentu pula dari diplomasi membuat Spoor “nekat” mengambil jalan sendiri yang berbeda dari para politisi negerinya. “Pemerintah merasa terpaksa untuk menempuh langkah terakhir. Dari Anda sekalian diminta kesediaan untuk melaksanakan tahap terakhir, mengingat bahwa setelah perundingan-perundingan tak berkesudahan, kesabaran telah terkuras habis dan tidak ada lagi jalan yang dapat ditempuh,” begitu petikan dagorder  (perintah harian) Letjen Simon Hendrik Spoor tertanggal 18 Desember 1948.  Dagorder dari sang legercommandant  itu diterima berbagai kesatuan tempur Belanda yang dilibatkan dalam “Operatie Kraai” (Operasi Gagak) menjelang embarkasinya dari Pangkalan Udara (Lanud) Andir dan Semarang pada dini hari, 19 Desember 1948. Operasi serangan kilat ke ibukota republik, Yogyakarta, itu ibarat penuntasan Agresi Militer I (Juli 1947) yang dianggap tak memuaskan karena pihak republik masih “bernafas”.  “Operasi militer dengan mengadopsi serangan kilat Jerman terhadap Belanda saat Perang Dunia II, Blitzkrieg –serangan kilat. Ini adalah rencana besar yang mereka sebut Operatie Kraai dengan melibatkan pasukan khusus KST (Korps Speciale Troepen), dan pasukan-pasukan organik di bawah komando Brigade T (Tijgerbrigade) dari Semarang. Serangan yang dibagi dua gelombang dengan gerakan bersamaan menuju satu titik temu, Yogyakarta,” tulis Wawan Kurniawan Joehanda dalam Djocjakarta: Mereka (Pernah) Di Sini: Des 1948-Juni 1949. Dari dagorder  itu, militer Belanda hendak mencapai tiga tujuan utama. Pertama , menangkapi para petinggi pemerintahan RI. Kedua , merebut semua kantong-kantong militer republik. Ketiga , mengepung dan menghancurkan kekuatan lawan.  Kala itu kota Yogyakarta praktis nyaris tanpa tentara republik. Selain hanya ada segelintir perwira pengamat Komisi Tiga Negara (KTN) dari Amerika Serikat dan Australia, hampir segenap Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) sedang menggelar latihan perang di luar Yogyakarta. Di Yogyakarta hanya tersisa pasukan pangkalan Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) di Lanud Maguwo, kepolisian, dua peleton kadet Militaire Academy (MA), dan kompi markas Brigade X pimpinan Letkol Soeharto.  “Panglima Teritorium Jawa pertengahan bulan Desember 1948, Kolonel A.H. Nasution sedang melakukan inspeksi ke Jawa Timur. Praktis Yogyakarta ‘kosong’. Pasukan Siliwangi yang ada pada waktu itu sudah mulai meninggalkan ibukota, bergerak kembali memasuki Jawa Barat sesuai perintah pimpinan. Pasukan Brigade X yang diperbantukan pada Pangkalan Udara Maguwo hanya tinggal satu kompi,” tulis Subdisjarah TNI AU dalam Peran TNI-AU pada Masa Pemerintah Darurat Republik Indonesia tahun 1948-1949 keluaran.  Gubernur Jenderal Dr. Louis Joseph Maria Beel (kiri) & Legercommandant Letjen Simon Hendrik Spoor. (nationaalarchief.nl). Diplomasi Ditolak, Perang Bertindak Dalam bukunya Vom Kriege  (1832), jago militer asal Prusia Jenderal Carl von Clausewitz menuliskan, “perang adalah kelanjutan dari politik (diplomasi) dengan sarana lain.” Sangat mungkin “filosofi” itu mempengaruhi langkah Louis Joseph Maria Beel ketika menggantikan Hubertus Johannes van Mook sebagai letnan gubernur jenderal Hindia Belanda merangkap Wakil Tinggi Mahkota Belanda pada 1 November 1948 dalam konteks mengatasi buntunya perundingan-perundingan dengan pihak republik pasca-Perjanjian Renville (17 Januari 1948). “Pada 11 Desember 1948 perundingan terhenti sama sekali, ketika pihak Belanda memberitahukan kepada KTN bahwa, ‘negosiasi dengan bantuan komite (KTN, red. ) pada fase ini sia-sia, di mana hanya akan berujung pada pembicaraan-pembicaraan tanpa tujuan’,” lanjut buku Subdisjarah TNI AU.  Pemerintah kerajaan di Den Haag sudah memutuskan untuk mengakhiri perundingan dengan pihak republik. Beel juga menganggap opsi yang tersisa hanyalah opsi militer.  “Menurut Beel dengan tindakan militer, Republik (Indonesia) harus dienyahkan dan dalam daerah baru yang dikuasai harus didirikan negara bagian baru atau terdiri dari negara-negara bagian, dan dalam pada itu agar secepat mungkin didirikan pemerintahan peralihan federal yang berada di bawah pengawasan Belanda. Kabinet koalisi Belanda sebenarnya khawatir akan munculnya sanksi-saksi dari PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) dan Amerika nantinya. Namun karena tidak ada jalan lain akhirnya menyetujui,” tulis PMH Groen dalam Mededelingen van de sectie militaire geschiedenis landmachtstaf. Rencana operasi militer pun disusun lagi oleh Kepala Staf Umum Letjen Dirk Cornelis Buurman van Vreeden. Menurut Himawan Sutanto dalam Y ogyakarta 19 Desember 1948: Jenderal Spoor (Operasi Kraai) vs Jenderal Sudirman (Perintah Siasat No. 1) , rancangan awalnya sudah disiapkan Buurman sejak Januari 1948.  “Awal Januari 1948 Buurman merampungkan pengembangan rencana militer serangan merebut Yogya oleh tiga kolone tempur: merebut Yogyakarta dengan pasukan gerak cepat (KST dari udara), gerak ofensif dari Banyumas ke Yogyakarta, dan Brigade T digerakkan dari Semarang ke Yogyakarta,” tulis Himawan.  Muhammad Jusuf Ronodipuro (kiri) dan Horace Merle Cochran. (ANRI). Menteri Daerah Seberang Lautan Belanda EMJA Sassen mewakili kabinet Perdana Menteri (PM) Drees mengirim telegram ke Jakarta agar operasi militer dilakukan sebelum tanggal 21 Desember. Hal ini membuat Jenderal Spoor meradang dan mengancam akan mundur. Spoor menilai penundaan akan menghilangkan unsur dadakan. Kabinet akhirnya “mengalah”. Terlebih setelah mengetahui Presiden Sukarno bakal mengagendakan kunjungan ke luar negeri, yang artinya pucuk pimpinan republik itu akan lepas dari bidikan Belanda.  “Sidang kabinet Belanda memutuskan untuk mempercepat sehari serangan ke Yogyakarta (yaitu dari tanggal 20 Desember menjadi tanggal 19 Desember 1948) karena mendengar bahwa Presiden Sukarno akan berangkat ke India tanggal 19 Desember,” tulis Pramoedya Ananta Toer dalam Kronik Revolusi Indonesia: Jilid V (1948). Di sisi lain, pada 15 Desember 1948 PM RI Mohammad Hatta kembali meminta bantuan Merle Cochran, utusan Amerika di KTN, untuk membuka kembali pintu negosiasi dengan Belanda. Cochran bersama utusan RI di KTN, Jusuf Ronodipuro, bolak-balik ikut terbang dari Yogyakarta ke Jakarta untuk meminta audiensi lagi dengan Beel. Tapi pada 16 Desember, Cochran dan Jusuf Ronodipuro justru mendapat jawaban berupa ultimatum dari Belanda: Pemerintah RI harus menerima segala usul Belanda dengan tenggat waktu 18 Desember pukul 10 pagi. “Jusuf Ronodipuro pukul 21.00 tanggal 18 Desember menerima telepon dari Istana Rijswijk (kini Istana Merdeka Jakarta). Ia diminta datang mengambil sebuah surat yang dialamatkan kepada delegasi Indonesia. Segera surat itu dibawa ke rumah Mr. Soedjono, Sekjen Delegasi RI. Mereka sangat terkejut membaca isinya. Sebab di situ Belanda menyatakan ‘mulai pukul 00.00 tanggal 19 Desember 1948 tidak lagi terikat kepada ketentuan-ketentuan gencatan senjata’,” ungkap Rosihan Anwar dalam  Sejarah Kecil Petit Histoire Indonesia: Jilid 3. Keadaan makin runyam. Pasalnya, Jusuf –yang kembali terbang ke Yogyakarta dan kembali lagi ke Jakarta malamnya– tak bisa mengirim telegram berisi pernyataan Belanda itu lantaran semua jalur komunikasinya ke Yogya diputus Belanda. Situasi kian runyam ketika di Lanud Kemayoran pukul 10 malam Jusuf dan Cochran hendak terbang untuk kesekian kalinya ke Yogya.  “Rupanya ini adalah jebakan yang sengaja dibuat dan menimbulkan kesan bahwa pemerintah Republik Indonesia tidak serius menanggapi surat tersebut. Namun pada kenyataannya semua alat komunikasi sudah diputus dan transportasi udara pun diblokade dengan tidak memberi izin terbang menuju Yogyakarta,” sambung Wawan.  Lanud Maguwo setelah direbut pasukan KST pada pagi 19 Desember 1948. (NIMH/defensie.nl). Jenderal Spoor akhirnya puas karena unsur dadakan operasinya berhasil. Meski begitu, militer republik yang tak mengendus rencana agresi kedua Belanda masih tetap eksis.  Panglima Markas Besar Komando Djawa Kolonel Nasution sejatinya telah menerima informasi kegiatan dan pemusatan pasukan Belanda pada awal Desember 1948. Selain itu, pasukan Belanda yang terdiri dari KST dan DST (Depot Speciale Troepen) diketahui melakukan latihan terjun payung di Lapangan Banteng, Jakarta. Meski diplomasi masih terus diperjuangkan oleh utusan republik, firasat akan datangnya agresi dari kalangan militer republik kian kuat seiring waktu. Hal itu turut disinggung Nasution dalam briefing- nya di Kediri dalam rangka persiapan peresmian pasukan Divisi I/Brawijaya pada 17 Desember 1948. “Kita tidak tahu kapan musuh akan menyerbu kita lagi, tetapi kita yakin musuh akan menyrang kita lagi. Mungkin sekarang, mungkin besok, mungkin lusa. Ini penderitaan kita semua. Untuk itulah kita di Yogyakarta mengadakan rapat bagaimana menghadapi musuh itu nanti,” ujar Nasution dikutip Nugroho Notosusanto dalam Markas Besar Komando Djawa. Maka, sejak sebulan sebelum agresi datang, solusi meladeni agresi sudah dipikirkan kalangan militer republik. Terutama setelah Panglima Besar Jenderal Sudirman mengeluarkan Perintah Siasat No. 1 tahun 1948 tanggal 9 November 1948. Inti perintah itu yakni setiap kekuatan militer agar bergerak fleksibel dan melancarkan perang gerilya di pedalaman. Maka ketika Belanda berhasil dengan unsur dadakannya, militer republik setidaknya tak mengalami kepanikan. Berbeda dari kalangan politisi sipil, termasuk presiden dan wakil presiden-perdana menteri, yang banyak ditawan setelah Lanud Maguwo diserbu dan secepat kilat direbut Belanda pada 19 Desember 1948 pagi. Pun di Jakarta, sejumlah delegasi RI di KTN seperti Sekjen Delegasi Mr. Soedjono dan Jusuf Ronodipuro ditawan pula.  “Republik telah diserang tanpa pemberitahuan,” tandas Jusuf Ronodipuro.*

  • Antiklimaks Belanda Usai Serbuan di Ibukota Republik

    DI sebelah sebuah sepatu lars khas serdadu Nazi Jerman dengan angka tahun 1940 yang menginjak lantai bertuliskan “Holland”, sebuah klompen  (sepatu khas Belanda) dengan angka tahun 1948 menginjak sesuatu bertuliskan “Indonesie”. Begitulah ilustrasi di Majalah Kroniek van de Week  edisi Desember 1948 menggambarkan pendudukan Belanda atas Yogyakarta sebagai ibukota Republik Indonesia. Ilustrasi yang menyamakan keburukannya dengan pendudukan Nazi Jerman atas Belanda (1940-1944) dalam Perang Dunia II (1939-1945).  Ilustrasi itu jadi satu dari sekian kritik tajam media massa mancanegara atas pendudukan Yogyakarta via Agresi Militer Belanda II, 19 Desember 1948. Kritik mencolok lain dimuat suratkabar De Waarheid  edisi 20 Desember 1948 yang menuliskan: “Sekali lagi kekerasan militer terjadi di Indonesia. Mereka menggunakan cara-cara (pemimpin Jerman Nazi, Adolf) Hitler dalam melakukan aksinya. Orang-orang tercengang, pada malam Minggu, pada malam Natal, pada saat semua sedang mengumandangkan doa tentang kedamaian di muka bumi. Ini adalah malam Natal berdarah dari ibukota kolonial!”  Lalu, ada harian Het Vrije Volk edisi 23 Desember 1948 yang mengutip komentar Letkol (Purn.) William Roy Hodgson. Wakil delegasi Australia di Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) itu bahkan ketus mengatakan, aksi Belanda lebih buruk dari Hitler.  “Aksi tragis ini menimbulkan akibat yang tak terhitung, tidak hanya bagi Indonesia tapi bagi seluruh Asia dan bagi Belanda sendiri. Ia (Hodgson) menilai tuntutan Belanda terakhir yang disebut sebagai ultimatum dengan batas waktu hanya 18 jam, ‘lebih buruk dibandingkan apa yang dilakukan Hitler terhadap Belanda pada tahun 1940’,” tulis harian itu.  Ilustrasi kritik tajam Agresi Militer II di majalah Kroniek van de Week.  (Koleksi Gerard de Boer). Hodgson merujuk pada ultimatum Belanda pada 18 Desember 1948 pukul 10 pagi. Menjadi kacau ketika Belanda menentukan tenggat waktunya lewat surat susulan kepada anggota delegasi RI dalam Komisi Tiga Negara (KTN) PBB Jusuf Ronodipuro pada pukul 9 malam.  “Jusuf Ronodipuro pukul 21.00 tanggal 18 Desember menerima telepon dari Istana Rijswijk (kini Istana Merdeka Jakarta). Ia diminta datang mengambil sebuah surat yang dialamatkan kepada delegasi Indonesia. Segera surat itu dibawa ke rumah Mr. Soedjono, Sekjen Delegasi RI. Mereka sangat terkejut membaca isinya. Sebab di situ Belanda menyatakan ‘mulai pukul 00.00 tanggal 19 Desember 1948 tidak lagi terikat kepada ketentuan-ketentuan gencatan senjata’,” ungkap Rosihan Anwar dalam  Sejarah Kecil Petit Histoire Indonesia: Jilid 3.   Kepanikan segera melanda segenap delegasi RI. Pasalnya, Jusuf tak bisa langsung meneruskan kabar itu kepada Perdana Menteri (PM) merangkap Wakil Presiden Mohammad Hatta di Yogyakarta karena semua jalur komunikasi Jakarta-Yogyakarta diputus Belanda. Pun ketika ia bersama Merle Cochran, utusan Amerika Serikat di KTN, ingin terbang ke Yogyakarta, militer Belanda tak memberi izin terbang.  “Republik telah diserang tanpa pemberitahuan,” ungkap Jusuf dikutip Rosihan.  Penerjunan (kiri) dan penguasaan Lanud Maguwo oleh KST. (NIMH/defensie.nl). Agresi Berujung Bumerang Belanda melancarkan agresi kilat ala Blitzkrieg Jerman di Eropa pada Perang Dunia II. Yogyakarta diserbu dari udara via pesawat-pesawat yang berangkat dari Pangkalan Udara (Lanud) Andir, Bandung dan pasukan darat dari Semarang. Dalam tempo enam jam, Yogyakarta pun jatuh ke tangan Belanda.  Presiden Sukarno sendiri sempat memberi mandat kepada Menteri Kemakmuran Sjafruddin Prawiranegara. Mandat itu berisi pemberian kuasa untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatra.   Seperti yang disebutkan Jusuf, Belanda seakan tak “menyatakan perang”. Mirip dengan pembokongan Pangkalan Angkatan Laut Amerika di Pearl Harbor oleh Jepang (7 Desember 1941) yang dianggap Amerika serangan tanpa pernyataan perang.  Meski begitu, delegasi RI di KTN masih bisa menotifikasi perwakilan RI di India. Sangat memungkinkan dunia internasional mengetahui serbuan Belanda ke Yogyakarta itu via siaran radio dari India. “Waktu lewat tengah malam (dini hari 19 Desember, red. ) Prof. Supomo dan Jusuf pergi ke rumah Mr. Soedjono. Mereka menyusun isi telegram dan laporan mengenai kejadian-kejadian untuk dikirimkan kepada Dr. Sudarsono dan Mr. Alex Maramis di New Delhi, India. Telegram dan laporan dikirimkan pagi hari melalui Konsul Jenderal India di Jakarta,” sambung Rosihan.  Para pemimpin Republik yang ditawan Belanda. (NIMH/defensie.nl). Hal serupa juga dilakukan PM Hatta sebelum tertawan. Ia memberi pernyataannya kepada Sudarsono, Maramis, dan L.N. Palar di India agar selanjutnya berhubungan dengan PDRI di Sumatera di bawah Sjafruddin. Juga dimintanya menyiapkan pemerintahan pengasingan sebagai antisipasi akhir.  “Jika ikhtiar Sjafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat di Sumatera tidak berhasil, kepada saudara-saudara dikuasakan untuk membentuk exile-government Republik Indonesia di India. Harap dalam hal ini berhubungan dengan Sjafrudin di Sumatera. Jika hubungan tidak mungkin, harap diambil tindakan-tindakan seperlunya,” ujar Bung Hatta, dikutip Album Perjuangan Kemerdekaan, 1945-1950: Dari Negara Kesatuan ke Negara Kesatuan. Dari kabar yang tersiar itulah agresi Belanda ke Yogyakarta menjadi backfire  atau bumerang. Dunia internasional bereaksi dan mengecam Belanda. DK PBB sampai menggelar sidang darurat di New York pada 20 Desember 1948 dan di Paris pada 22 Desember 1948.  Atas usul sidang DK PBB pertama di New York, Cochran mengirimkan laporannya, “Report of the Committee of Good Offices on the Indonesian Question in Reply to the Council’s Request of 20 December 1948”. Laporannya berisi bahwa Belanda tak menyatakan pemberitahuan terkait pembatalan gencatan senjata (Perjanjian Renville, Januari 1948), surat wakil ketua delegasi Belanda di KTN tidak dapat diteruskan ke pemerintahan di Yogyakarta karena diputusnya hubungan komunikasi Jakarta-Yogyakarta, penangkapan sekjen dan anggota delegasi RI di KTN, dan penyitaan dokumen-dokumen KTN di kantor delegasi RI. “KTN menyerukan kepada Dewan Keamanan, dengan dasar yang mendesak, untuk memandang meletusnya permusuhan di Indonesia sebagai perkosaan terhadap persetujuan gencatan senjata Renville yang ditandatangani pemerintah Belanda dan RI pada tanggal 17 Januari 1948,” tukas Cochran mengakhiri laporannya.  Dari dua sidang DK PBB itu akhirnya ditelurkan dua resolusi penghentian baku tembak. PBB juga “memaksa” Belanda untuk kembali ke meja perundingan. “Pemerintah Belanda tampaknya tak menduga reaksi keras dari dunia internasional dan dari dalam negeri. Akhirnya diputuskan PM Drees harus segera ke Jakarta untuk memantau situasi serta berunding dengan berbagai pihak di Indonesia,” tandas Wawan.*

  • Mengulik Lirik Indonesia Raya

    BELASAN pelajar dari SMP 14 Jakarta, pagi itu (28/10) mengunjungi Museum Sumpah Pemuda, Jalan Kramat Raya 106, dibawah pengawasan Adro’i Abdullah, guru mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan. “Memberikan pelajaran sejarah seperti ini efektif untuk mengenalkan anak-anak dengan sejarahnya, tragis kalau anak-anak sampai tidak tahu,” ujarnya. Semakin siang, suasana di museum semakin meriah ketika datang serombongan remaja, dengan kemeja dan celana panjang putih, memasuki ruangan utama gedung itu. “Kami dari Cilay Ensemble, Jakarta, siang ini akan menyanyikan usulan revisi lagu Indonesia Raya, momentum 84 tahun Sumpah Pemuda dan museum ini sengaja kami pilih untuk lebih mudah diingat,” ujar Cilay, pemusik asal Padang, pendiri sekaligus pimpinan Cilay Ensemble. “Sumpah Pemuda tahun 1928 dilaksanakan pada hari minggu, dan tahun ini jatuh pada hari minggu pula, kami berpandangan ini kebetulan yang baik,” tambahnya.

  • Dari Politik hingga Bahasa

    SEBELUM meninggal pada 16 Agustus 1985, R. Katjasungkana berpesan agar dimakamkan di TPU Tanah Kusir, Bintaro, Jakarta Selatan. Dia ingin dekat dengan makam sahabatnya, Wakil Presiden Mohamad Hatta. Setelah 26 tahun lebih, pihak keluarga memutuskan memindahkan makam itu ke Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan. “Kalau di TPU Tanah Kusir, ada kekhawatiran soal keamanan makam nantinya digusur dan jadi mall,” kata Nursyahbani Katjasungkana, aktivis perempuan yang merupakan anak ketujuh R. Katjasungkana.

  • Gus Dur Hanya Pulang

    LAMAT-lamat terdengar shalawat narriyah , yang dilantunkan sekelompok penyanyi di halaman Taman Ismail Marzuki, 28 September lalu. “Shalawat ini adalah kesukaan Gus Dur,” ujar salah satu vokalis grup An-Nabawi dalam pagelaran seni budaya mengenang 1000 hari meninggalnya Abdurrahman Wahid atau yang kerap dipanggil Gus Dur. Salah satu putri Gus Dur, Alissa Wahid, disela-sela acara tersebut menerangkan, “di acara malam ini, akan kita lihat bagaimana pluralitas yang identik dengan sosok Gus Dur sebagai seorang anak bangsa.” Acara dengan tajuk “Ziarah Budaya” untuk mengenang nyewu -nya Gus Dur tersebut bernafas Nusantara dan kebhinekaan. Pengisi acaranya berasal dari Aceh hingga Papua. Di awal acara, terlihat aksi menawan barongsay dari kelompok Naga Merah Putih dari Bogor. “Kami tampil di acara ini karena ingin menyumbang saja, sebagai wujud terima kasih kami, karena Gus Dur pula kesenian barongsay menemukan kebebasannya,” ujar Ade, pelatih kelompok ini.

  • Mengembalikan Sejarah ke Publik

    TIGA bersaudara dari Salina, Italia, tiba di Sydney, Australia pada musim dingin tahun 1880. Iklim di sana sangat berbeda dari Italia. Lebih dingin dan berangin. Tapi mereka tetap berusaha membangun mimpinya: hidup lebih baik. Jeli melihat peluang, mereka berjualan bebuahan dengan mendirikan toko di sebuah tepi jalan di Sydney. Meski ramai pengunjung, toko itu hanya bertahan tiga tahun. Mereka memilih kembali ke Italia. Menyerah lantaran iklim yang tak bersahabat. Beberapa tahun kemudian, orang Italia lainnya kembali membuka toko bebuahan. Bertahan lebih lama dari pendahulunya. Selama puluhan tahun, toko itu memengaruhi cara makan, hidup, dan berpikir orang Australia. Hingga kini, warga Sydney merawat dan membanggakan toko itu. “Ini semua karena peran sejarah publik,” tutur Paul Ashton, profesor pada University of Technology Sydney, dalam seminar internasional tentang sejarah publik di Universitas Indonesia, 26-27 September 2012.

  • Langkah Gila Belanda di Yogyakarta

    HARI Minggu itu adalah saat kelabu bagi Yogyakarta dan penghuninya. Sejak pagi, pesawat-pesawat pembom Belanda jenis P51 dan Spitfires terus menghujani ibu kota Republik Indonesia (RI) tersebut dengan ratusan bom dan rentetan tembakan senapan otomatis. "Kami saja yang tentara sudah merasa tegang menghadapi situasi tersebut, apalagi rakyat sipil," kenang almarhum Mayor Jenderal (Purn) Sukotjo Tjokroatmodjo. Sukotjo adalah anggota pasukan Corps Polisi Militer (CPM) yang mengawal Istana Negara. Pada saat militer Belanda menginvasi Yogyakarta, dia seorang letnan muda yang bersama pasukannya tengah bersiap untuk menjaga keselamatan Presiden Sukarno. Tidak hanya bom dan tembakan, roket-roket pun diluncurkan ke berbagai gedung yang berfungsi sebagai instalasi militer milik Republik. Tak jarang, amunisi-amunisi berat itu mengenai sasaran yang salah dan jatuh di lingkungan pemukiman penduduk hingga menimbulkan korban. Sejatinya pihak RI sudah menduga bahwa Belanda akan keluar dari kesepakatan Perjanjian Renville dan melakukan penyerbuan ke wilayah Republik. Namun pihak RI tidak mengira jika hari H-nya adalah 19 Desember 1948. Alasannya, selain di Yogyakarta saat itu sedang ada para pengawas dari Komisi Tiga Negara (KTN), para pemimpin Republik juga percaya bahwa Belanda baru berani menyerang setelah mereka mendirikan pemerintah federal sementara yang terdiri atas negara-negara bagian Indonesia yang sudah dibangun dan dikuasai Belanda. Demikian diungkapkan oleh George McTurnan Kahin dalam  Nasionalisme dan Revolusi Indonesia . Wakil Presiden RI Mohammad Hatta termasuk yang kecele dengan serangan itu. Satu hari sebelum invasi tersebut terjadi, Hatta menyatakan kepada Kolonel T.B. Simatupang bahwa tak mungkin militer Belanda akan menyerang Yogyakarta pada 19 Desember 1949. "Itu langkah gila jika Belanda berani melakukannya," ujar Hatta seperti dikisahkan Simatupang dalam Laporan dari Banaran: Kisah Pengalaman Seorang Prajurit dalam Perang Kemerdekaan. Hatta percaya bahwa Belanda akan menyerang Yogyakarta. Tapi dia sangsi jika mereka akan melakukanya pada 19 Desember 1948. Hatta memperkirakan Belanda harus berpikir panjang, karena pagi itu Ketua KTN H. Merle Cochran, diplomat Amerika Serikat, tengah berangkat ke Jakarta, membawa surat jawaban Belanda atas pertanyaan dari pemerintah RI. "Tidakkah akan merupakan penghinaan besar terhadap Amerika Serikat, bila Belanda melancarkan serangannya sementara surat menyurat RI-Belanda dengan perantara Amerika Serikat belum diputuskan?" kata Hatta kepada Simatupang. Namun, ternyata Belanda memang mengambil langkah gila itu keesokan harinya. Sementara itu, pada waktu yang sama ketika Hatta dan Simatupang bertemu, di Jakarta Merle Cochran dan Yusuf Ronodiporo, anggota delegasi RI dalam perundingan dengan Belanda, baru saja tiba di Jakarta. Mereka keesokan harinya ada rencana menyampaikan surat dari Wakil Presiden RI untuk Dr. L.J.M. Beel, Wakil Tinggi Mahkota Kerajaan Belanda. Sekitar jam 21.00, Yusuf menerima telepon dari Istana Rijswijk (sekarang Istana Merdeka) untuk secepatnya mengambil surat yang ditujukan kepada delegasi Indonesia. Jam 21.15, surat tersebut sudah ada di tangan Yusuf. Ketika surat yang dialamatkan kepada The Chairman of the Delegation of the Republic (tanpa menyebut Indonesia) itu dibuka, alangkah terkejutnya Yusuf Ronodipuro. Ternyata isi surat tembusan yang sejatinya ditujukan kepada KTN itu adalah keputusan sepihak dari Belanda untuk membatalkan kesepakatan Perjanjian Renville. "…dan mulai hari Minggu, 19 Desember 1948 jam 00.00 (kami) tidak lagi terikat oleh persetujuan tersebut," demikian salah satu bunyi surat yang saat ini ada di dokumen Kementerian Luar Negeri Belanda bertajuk Indonesie in de veligheidsraad de Verenidge Naties (November 1948-Januarie 1949) . Dikisahkan oleh Himawan Soetanto dalam Yogyakarta 19 Desember 1948: Jenderal Spoor vs Jenderal Soedirman , Yusup lalu berinisiatif mengirimkan kabar penting itu ke Yogyakarta melalui Kantor Pos Umum di Jakarta, namun tidak berhasil. Operator telegram tidak dapat mengirimkan berita, karena semua kontak dengan Yogyakarta tetiba diblok. Tidak ada cara lain, Yusuf lalu mendatangi kamar Cochran di Hotel Des Indes. Begitu selesai membaca surat tersebut, merah padamlah wajah diplomat Amerika Serikat itu, hingga keluar ucapan kasar dari mulutnya: "Damn it! We have to go to Jogja now! (Sialan! Kita harus pergi ke Yogya sekarang juga)," teriaknya. Namun, dalam kenyataannya kepergian ke Yogyakarta pun tidak bisa dilakukan malam itu juga. Itu terjadi karena U.S. Airforce yang digunakan untuk kepentingan KTN tidak mendapatkan izin terbang dari Belanda. Upaya Cochran untuk meminta tolong kepada Elink Schuurman, Pejabat Sementara Ketua Delegasi Belanda, ditolak. Keesokan harinya, aksi ofensif terhadap Yogyakarta pun dilakukan. Pagi sekali Panglima KNIL Jenderal S.H. Spoor sudah memimpin penyerbuan ke Yogyakarta melalui pesawat Mitchell B-25 buatan Amerika Serikat. Ketika situasi sudah sepenuhnya terkendali, dari Maguwo, Spoor ke Semarang untuk mengamati gerak maju pasukan darat ke Yogyakarta dan Solo. Sekitar jam 9 siang, dia kembali ke Jakarta untuk melaporkan kesuksesan Operasi Gagak kepada Dr. Beel. Saat menuju rumah Dr. Bell, menurut  sejarawan J.A. de Moor dalam Jenderal Spoor: Kajayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia , dia sempat bertemu dengan seorang pemantau militer dari Amerika Serikat. "What a lovely day to start a war!  (Hari yang sangat menyenangkan untuk memulai sebuah perang)," kata sang perwira itu menyindir.*

  • Mengatasi Tawuran dengan Operasi Khusus dan Pesantren Kilat

    Tawuran pelajar kembali merenggut korban jiwa. Alawy Yusianto Putra (15), siswa SMAN 6 Jakarta, tewas setelah dia dan teman-temannya diserang siswa SMAN 70. Kabarnya, permusuhan kedua SMA yang bertetangga itu telah bebuyutan. Menurut sejarawan Universitas Leiden, Belanda, Kees van Dijk, perkelahian antarpelajar dapat berlangsung bertahun-tahun karena saat memulai tahun pertama bersekolah, para pelajar baru diberi tahu oleh anak-anak yang lebih senior mana saja sekolah yang merupakan musuh mereka.

bottom of page