top of page

Hasil pencarian

9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Guru Buddha Terkemuka Belajar di Sriwijaya

    DI kota Foshi yang berbenteng, terdapat biksu Buddhis berjumlah ribuan. Hati mereka bertekad untuk belajar dan menjalankan tindakan bajik. Mereka menganalisis dan mempelajari semua mata pelajaran persis seperti yang ada di Kerajaan Tengah (Madhyadesa, India). Tata cara dan upacaranya sama sekali tak berbeda. Begitulah catatan I-Tsing atau Yi Jing, seorang biksu Tiongkok, dalam Mulasarvativadaejasatakarman. Kota berbenteng yang dimaksud kemungkinan besar merujuk pada kawasan Candi Muara Jambi. Di tempat itu, banyak dari guru Buddha terkenal mendapatkan pengajaran. Shinta Lee, penerjemah catatan perjalanan Yi Jing menjelaskan, menurut catatan Yi Jing, semua biksu di Fo-shi mempelajari mata pelajaran yang sama dengan yang dipelajari di Nalanda. Misalnya,  Pancavidya  yang mencakup pelajaran tata bahasa, pengobatan, logika, seni, keterampilan kerajinan, dan ilmu mengelola batin. “Beliau bahkan merekomendasikan jika biksu ingin ke Nalanda, yang konon susah sekali, baiknya belajar dulu di Sriwijaya,” kata dia. Dalam karyanya yang lain,  Da Tang,  Yi Jing menyebut 57 mahabiksu dan guru-guru besar. Dia menemuinya selama perjalanan terutama di India, di pulau-pulau Lautan Selatan (Nusantara), dan negeri-negeri tetangga. Adapun dalam Nanhai, Yi Jing mencatat, Sakyakirti merupakan salah satu yang tinggal di Shili Foshi ketika itu. Dia merupakan salah satu di antara lima guru terkemuka pada masanya. Empat abad setelah kunjungan Yi Jing, Dipamkara Srijinana pada abad ke-11, juga datang ke Suvarnadwipa. Biksu dari Benggala itu belajar di sana selama 12 tahun. “Sumber lain mengatakan biksu penerjemah, Danapala atau Shihu dari Swat (sekarang Pakistan Barat) pada 1018 menguasai bahasa Sriwijaya dan tinggal di sana selama beberapa waktu,” jelas Shinta. Selain itu, ada pula Atiśa Dipankara Sri Jnana, guru Buddha yang berasal dari Kekaisaran Pala. Pada 1013, Atisha memulai perjalanan ke Sriwijaya dengan menumpang kapal pedagang. Di dalam rombongan ini, terdapat juga guru lain beserta muridnya. Mereka berangkat ke Sumatra untuk menerima instruksi ajaran secara langsung dari Swarnadwipa Dharmakirti, salah satu guru Buddhis paling tersohor pada masa itu. “Ke Swarnadwipa itu demi mencari ajaran yang paling tinggi. Minta diajar guru di Swarnadwipa, karena guru Swarnadwipa itu pemegang silsilah,” jelas Biksu Bhardra Ruci dalam makalahnya “Hayat dan Karya Atisha: Bagaimana Sriwijaya Menitipkan Ajaran ke Tibet”, yang diterbitkan dalam acara Borobudur Writers Cultural Festival ke-7 2008. Dia menjelaskan dalam tradisi Sanskerta semua ajaran diturunkan lisan kepada murid. Begitu pula guru yang ditemui Atisha di Swarnadwipa. Sang guru belajar di Vikramashila, India, menerima warisan ilmu dan berhak meneruskan ajaran itu. Apa yang dipelajari Atisha selama di Swarnadwipa adalah filosofi Buddha, yaitu Prajnaparamitha. Ajaran ini melatih seseorang untuk mencapai kebuddhaan dengan cepat. “Guru Atisha ini belajar prajnaparamitha , yaitu kebijakan yang paling tinggi. Ibu ilmu semua buddha. Mau aliran Pali atau Sanskerta dia butuh kebijaksanaan supaya hidupnya berguna semua makhluk,” kata Biksu Bhardra Ruci. Dari Sriwijaya, selanjutnya Atisha diberi pesan untuk meneruskan ajaran itu ke utara, yaitu ke Tibet. Inilah yang membuat hubungan Buddha di Indonesia dan Tibet begitu dekat. “Studi Atisha selama 12 tahun di Sriwijaya kelak terbukti menjadi bekal pengalaman dalam mereformasi Buddhisme di Tibet,” jelasnya. Dengan begitu, Shinta menjelaskan, paling tidak selama 400 tahun lebih, Sriwijaya sudah merupakan pusat pembelajaran terkenal. Itu sejak abad ke-7, yaitu ketika Yi Jing tiba hingga abad ke-11, yaitu tahun 1025 ketika Dipamkara Srijnana meninggalkan Nusantara.  “Di Nusantara sudah berdiri pusat pembelajaran atau universitas tertua dan terlanggeng di Nusantara,” kata Shinta.

  • Depok, Tanah Warisan Saudagar VOC

    KENDATI sama-sama mendulang kekayaan di Hindia Belanda, Cornelis Chastelein bersilang jalan dengan VOC. Pada 1691, Chastelein memutuskan pensiun sebagai saudagar. Dia mengundurkan diri dari kongsi dagang Belanda itu karena menolak politik eksploitasi yang diterapkan Gubernur Jenderal Mr. Willem of Outhoorn. Chastelein menyadari bahwa sebuah koloni akan stabil dan makmur apabila penduduknya tidak ditindas. Pada 1695, Chastelein membeli beberapa lahan partikelir di selatan Batavia di antaranya adalah Serengseng (sekarang Lenteng Agung) dan Depok. Tanah di Serengseng dibangun menjadi rumah peristirahatan menikmati masa pensiunnya. Sementara itu, tanah Depok hendak dijadikannya sebagai lahan penghasil produk-produk pertanian.  “Sebagai penguasa tanah Depok, Chastelein ingin mewujudkan cita-cita memerintah dengan pendekatan soft-power dan penyebaran nilai Kristen” ujar Lilie Suratminto, dosen Sastra Belanda FIB UI. Cornelis Chastelein menjadi sosok penting dalam pembangunan tanah Depok. Dia lahir pada 10 Agustus 1657 di Rokin, Amsterdam dari pasangan keluarga Prancis-Belanda yang berada. Ayahnya, Anthony Chastelein adalah anggota De Heeren Zeventien (Dewan Tujuh Belas) dari kongsi dagang VOC. Ibunya, Maria Cruydenier putri walikota Dordrecht. Chastelein memulai kariernya pada usia 18 tahun sebagai pemegang tatabuku kongsi dagang VOC yang bertugas di Hindia Belanda. Dia kemudian sohor sebagai pedagang tajir. Di masa senjanya, Chastelein membangun tanah koloninya sendiri. Dalam Jejak-Jejak Masa Lalu Depok: Warisan Cornelis Chastelein (1657—1714) , Jan-Karel Kwisthout menguak sepak terjang Chastelein dalam mengelola tanah perawan yang kemudian dikenal dengan nama Depok. Untuk mengelola tanah Depok yang subur, Chastelein mendatangkan sejumlah budak yang berasal dari Bali, Makassar, Malaka, hingga Sri Lanka. Beberapa produk natura unggulan dihasilkan, seperti: indigo, coklat, sirsak, nangka, dan belimbing. Buah terakhir menjadi maskot kota Depok hingga saat ini. Nama Depok sendiri merujuk dari bahasa Belanda De Eerste Protestantse Organisatie van Kristenen yang berarti Organisasi Kristen yang Pertama. Menurut Kwisthout, negeri Depok merupakan eksperimen dari Chastelein yang ingin melanggengkan kekuasaan lewat pendekatan humanis dan agama. Namun, dalam perkembangannya, nama Depok memiliki cerita lain. “Ada istilah Padepokan, diambil dari bahasa Sunda yang berarti pertapaan, merujuk Depok sebagai tempat pertapaan. Depok ditafsirkan pula sebagai Daerah Pemukiman Orang Kota,” kata Lilie.  Menjelang mangkat, Chastelein mewariskan tanah Depok kepada para budaknya. Dalam surat wasiat bertanggal 13 Maret 1714, tanah warisan itu diamanatkan dalam bentuk kepemilikan bersama. Wasiat itu menerangkan pula, setelah Chastelein meninggal, 150 orang hambanya yang mengerjakan tanah pertanian Depok akan dimerdekakan. Baik Kristen atau Muslim mereka memperoleh kebebasan. Bacas, Iskah, Jacob, Jonathans, Josef, Laurens, Leander, Loen, Samuel, Soedira, Tholense, dan Zadok. Dua belas nama tersebut adalah nama marga keluarga yang menjadi penduduk asli tanah Depok. Bermula dari 150 budak yang dimerdekakan oleh tuan mereka, Cornelis Chastelein. Bagi yang telah memeluk Kristen, mereka diharuskan memilih salah satu dari 12 marga yang ditetapkan Chastelain, yang mengacu kepada 12 murid Yesus. Chastelein meninggal pada 28 Juni 1714 di Batavia akibat wabah epidemi. Sejak saat itu budak kuli pertanian yang mewarisi tanah Chastelein hidup sebagai orang merdeka. Mereka kemudian menjadi penduduk asli Depok yang lebih dikenal sebagai Belanda Depok. Komunitas ini hidup secara turun-temurun dengan sistem pemerintahan yang diwariskan Chastelein. Pemerintahan di Depok dipimpin oleh seorang kepala yang disebut presiden dan dibantu tujuh anggota dewan penasihat. Mereka dipilih lewat mekanisme pemilihan umum yang dilangsungkan tiga tahun sekali. Setelah dua abad lamanya hidup tentram dan makmur, petaka menerpa komunitas Belanda Depok. Mereka menjadi korban gejolak revolusi pada masa awal kemerdekaan Indonesia. Mereka harus mengalami teror dan penjarahan yang dikenal dalam peristiwa “Gedoran Depok” karena dianggap sebagai sisa-sisa rezim kolonial. Beberapa keluarga keturunan Belanda Depok ini masih ada hingga sekarang. Setelah melebur ke dalam Republik Indonesia pada tahun 1952, mereka mendirikan Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein (YLCC). Yayasan ini mengelola situs sejarah Depok tempo dulu seperti gereja, pemakaman, sekolah, dan kegiatan sosial. YLCC berbasis di kawasan yang kini dikenal sebagai Depok Lama.*

  • Benarkah Boedi Oetomo Anti-Islam?

    PADA 3 Desember 2018, Babeh Haikal Hassan mencuit: “Aksi 2018 ini mrpkn ultah seratus tahun dari aksi thn 1918, saat boedi oetomo sang penghina Nabi Muhammad (dinobatkan sbg pahlawan?) didemo besar2an oleh semua elemen. Ingat, boedi oetomo bilang Nabi Muhammad pemabuk & pezina dlm buletin Djawi Hisworo , 11 Jan 1918.” Banyak yang setuju dengan cuitan keliru itu. Padahal, penghina Nabi Muhammad bukan Boedi Oetomo (organisasi bukan orang) tapi Djojodikoro yang menulis “Pertjakapan antara Marto dan Djojo” di Djawi Hiswara , 9 dan 11 Januari 1918. Tulisan itu dimuat oleh redakturnya, Martodharsono. Tulisan itu menyulut kemarahan dan demonstrasi karena memuat kalimat “Gusti Kandjeng Nabi Rasoel minoem A.V.H. Gin, minoem opium dan kadang soeka mengisep opium.” Setelah viral dan banyak yang mengoreksi, Babe Haikal Hassan kembali mencuit: “1. Lagi baca-baca ulang ttg boedi oetomo... Confirm , 100% merupakan ‘kompetitor’ gerakan Islam dan menghina Nabi Muhammad....” dengan menyebut sumber: “(Api Sejarah - Ahmad mansur suryanegara), (Sang Pemula - Pramoedya ananta toer), (Rangkaian Mutu Manikam - Amir Hamzah Wirjosukarto).” Boedi Oetomo dan Islam Boedi Oetomo didirikan oleh para pelajar Stovia (Sekolah Kedokteran untuk Bumiputera) pada 20 Mei 1908. Namun kemudian kepemimpinannya diambil alih kalangan priayi. Dalam kongres pertamanya diputuskan bahwa Boedi Oetomo akan tampil sebagai sebuah organisasi sosial-budaya, tetapi apabila perlu akan menempuh cara-cara politik untuk mencapai cita-citanya. Namun, sebagian besar peserta menafsirkan bahwa Boedi Oetomo bukanlah organisasi politik. Kendati demikian, tanggal pendirian Boedi Oetomo kemudian ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.  Boedi Oetomo juga tidak akan mencampuri urusan adat. Kendati netral terhadap agama, usulan untuk merebut simpati dari kalangan umat Islam pernah disampaikan Mohammad Tahir pada kongres kedua, Oktober 1909. Dia mengusulkan agar masjid-masjid di Batavia diberi bantuan keuangan. Menurut Akira Nagazumi, sejarawan asal Jepang, usul yang tidak pernah dilaksanakan oleh pimpinan organisasi itu delapan tahun kemudian dalam kongres (5-6 Juli 1917), bukan hanya didengungkan kembali melainkan diperluas. Sebab para pimpinan menyimpulkan salah satu alasan kegagalan Boedi Oetomo memperoleh dukungan massa adalah sikapnya yang netral terhadap agama. Untuk pertama kalinya para pemimpin Boedi Oetomo dengan terbuka mempersoalkan sikap netral terhadap agama karena dihadapkan dengan keberhasilan luar biasa Sarekat Islam yang dengan terang-terangan mendukung agama Islam. Kepada sidang kongres, Badan Pengurus mengajukan: “Boedi Oetomo bertujuan menyokong Islam tanpa mengganggu kebebasan beragama, membuat peraturan tentang anggaran masjid untuk membayar penghulu (pejabat pimpinan masjid) dan personel masjid lainnya, mengurus lebih baik pesantren (pusat-pusat pendidikan agama untuk mempelajari Islam tingkat lanjutan), dan mendirikan lembaga-lembaga yang memberikan pendidikan tingkat menengah dalam tradisi Islam dan mata pelajaran lain sehubungan dengannya.” “Dengan demikian, jelaslah usul untuk memasuki dunia pendidikan pesantren, dan pendidikan Islam tingkat lanjutan, menunjukkan tujuan pengurus yang hendak meningkatkan persaingannya terhadap Sarekat Islam,” tulis Akira Nagazumi dalam Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Boedi Oetomo 1908-1918 . Buku ini diangkat dari disertasinya di Universitas Cornell, Amerika Serikat, tahun 1967. Sayangnya, usulan Badan Pengurus itu tak diterima peserta kongres. Mereka ingin tetap mempertahankan sikap netral terhadap agama. Kongres pun memutuskan “mengenai masalah agama, organisasi berniat menghormati dipertahankannya kebebasan beragama.” Soetomo, Muhammadiyah, dan Nahdlatul Ulama Kendati secara organisasi netral dan mendukung kebebasan beragama, Boedi Oetomo berperan dalam mendorong pendirian organisasi Islam Muhammadiyah. “Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh Kiai Ahmad Dahlan atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang anggota Boedi Oetomo untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen,” tulis Deliar Noer dalam Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942 . Buku ini berasal dari disertasinya di Universitas Cornell, Amerika Serikat, tahun 1963. Sementara itu, pendiri Boedi Oetomo yang dekat dengan Muhammadiyah adalah dr. Soetomo. Setelah keluar dari Boedi Oetomo, dia mendirikan Indonesische Studie Club (ISC) di Surabaya pada 11 Januari 1924. Dua tokoh organisasi Islam terkemuka yang bergabung dengan ISC adalah KH Mas Mansyur (ketua Muhammadiyah 1937-1943) dan KH Abdul Wahab Chasbullah (pendiri Nahdlatul Ulama). Menurut Darul Aqsha dalam biografi Kiai Haji Mas Mansur, 1896-1946: Perjuangan dan Pemikiran, Mas Mansyur bersahabat baik dengan Soetomo. Kedua tokoh ini kerap terlibat diskusi mengenai filsafat dan pergerakan. Selain ISC, Soetomo juga mendirikan Yayasan Kuliah Islam Surabaya. Ini menunjukkan perhatiannya terhadap pengembangan pemikiran Islam. Abdul Munir Mulkhan, guru besar UIN Sunan Kalijaga, menyebut Soetomo dan pengurus Boedi Oetomo lain, seperti Dwidjosewojo dan Sosrosugondo, terlibat aktif dalam berbagai kegiatan Muhammadiyah. “Dr. Soetomo-lah yang memelopori berdirinya Rumah Sakit Muhammadiyah yang pertama di Yogyakarta pada 1923 (kini dikenal sebagai RS PKU). Satu tahun kemudian, dr. Soetomo membuka lembaga yang sama di Surabaya,” tulis Abdul Munir Mulkhan dalam Moral Politik Santri: Agama dan Pembelaan Kaum Tertindas. Selain dengan Muhammadiyah, Soetomo juga dekat dengan kalangan Nahdlatul Ulama. Dia punya gagasan menarik tentang pesantren. “Apresiasi positif dr. Soetomo terhadap pesantren karena relasi sosial dengan individu-individu yang kemudian dikenal sebagai pemrakarsa NU, yaitu Kiai Abdul Wahab Chasbullah, yang pernah terlibat aktif di ISC,” tulis Choirotun Chisaan dalam Lesbumi: Strategi Politik Kebudayaan. Buku ini diangkat dari tesisnya di program magister religi dan budaya, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Menurut Soetomo pesantren yang menggunakan sistem pondok membuahkan keuntungan ganda: memberi pengajaran yang murah sekaligus memelihara jiwa dan sukma anak didik. Dalam konteks inilah dia mendorong pengadaan sekolah-sekolah dengan menggunakan sistem pondok atau pesantren terutama di kota-kota besar. “Nilai lebih pesantren, demikian dr. Soetomo menekankan, terletak pada fungsinya sebagai penyebar kecerdasan batin,” tulis Choirotun Chisaan. “Bagi dr. Soetomo, pesantren yang dicitrakan ‘Timur’ sudah seharusnya hadir di kota-kota besar. Hal itu dimaksudkan untuk menjadi alternatif dan imbangan atas keberadaan sekolah-sekolah yang didominasi oleh sistem pengajaran yang dicitrakan ‘Barat’.”

  • Wadah Lahirnya Kesadaran Berbangsa

    BEBERAPA penumpang keretaapi Commuter Line serius menatap layar televisi di langit-langit gerbong. Acara yang mereka tonton bukan film, siaran olahraga, atau infotainment. Mereka menonton sebuah iklan yang menampilkan beragam kesenian dan produk budaya di tanah air. Iklan itu makin intens tayang sejak beberapa pekan terakhir menjelang Desember. Pada bulan itulah Kongres Kebudayaan (KK) 2018, yang diiklankan di Commuter Line tadi, akan dihelat Direktorat Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dari tanggal 5 sampai 9.   “Kongres Kebudayaan yang rencananya diselenggarakan nanti bertujuan membentuk strategi kebudayaan yang menjadi acuan 22 kementerian dalam menjalankan kebijakan terkait budaya,” kata Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid. Nasionalisme Jawa kontra nasionalisme Hindia Kongres Kebudayaan pertamakali diadakan pada 5-7 Juli 1918 di Surakarta dengan nama Kongres tentang Pengembangan Kebudayaan Jawa. Pemrakarsanya para anggota Boedi Oetomo cabang Surakarta dan sejumlah intelektual bumiputra lain dengan dukungan penuh Pangeran Prangwadono (kemudian menjadi Mangkunegoro VII). Panitia KK I, diketuai R. Sastrowidjono, menghelat acara tersebut di Kepatihan Keraton Surakarta. Lebih dari 50 asosiasi di Jawa dan 1200 peserta, termasuk dari luar Jawa, menghadiri KK I. Sembilan intelektual, lima intelektual Jawa dan empat intelektual Belanda, menjadi pemakalah dalam kongres tersebut. Sebagaimana saat dipersiapkan, KK I menghadirkan banyak perdebatan. Begitu selesai membacakan makalahnya, masing-masing pemakalah dalam KK I langsung mendapat sanggahan bahkan kritikan pedas dari para peserta. Perdebatan tersengit terjadi antara RM Soetatmo Soerjokoesoemo, pemimpin Komite Nasionalisme Jawa, dan dr. Tjipto Mangoengkoesoemo, tokoh nasionalisme Hindia. Soetatmo mengemukakan, sebuah bangsa semestinya dapat dan dibangun atas landasan bahasa dan kebudayaan. Oleh karena itu, katanya, yang bisa diperjuangkan adalah nasionalisme Jawa karena punya landasan kebudayaan, bahasa, dan sejarah yang sama dari etnis Jawa. Nasionalisme Jawa merupakan alat ekspresi diri bagi orang Jawa. Nasionalisme Hindia, katanya, tak pantas diperjuangkan karena tidak memiliki landasan kebudayaan. Ia merupakan produk pemerintah kolonial. “Nasionalisme Hindia pada Indische Partij atau Islamisme pada Sarekat Islam hanya merupakan reaksi terhadap penjajahan Belanda atas Hindia,” ujarnya sebagaimana dikutip Takashi Shiraishi dalam “Satria vs Pandita, Sebuah Debat dalam Mencari Identitas”, dimuat dalam buku Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang yang dieditori Akira Nagazumi.  Soetatmo menekankan pentingnya bimbingan dalam mengembangkan kebudayaan Jawa. Pendidikan Jawa, yang disampaikan antara lain lewat wayang, mesti menjadi dasar dalam pengembangan itu. “Pendidikan yang didirikan menurut dasar Barat perlu dilakukan penyesuaian dengan kondisi bangsa dan negeri kita. Jangan dilupakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengambangkan intelek –daya pikir– akal budi manusia Jawa,” ujarnya sebagaimana ditulis Nunus Supardi dalam Bianglala Budaya: Rekam Jejak 95 Tahun Kongres Kebudayaan 1918-2013 . “Soetatmo menganjurkan pendidikan budi pekerti, namun ia tak bermaksud mempersoalkan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat. Pendapatnya ialah bahwa orang Jawa dapat mengungguli modernisasi dengan jalan memajukan diri lewat pendidikan budi pekerti dan dengan berbuat demikian modernisasi dapat dikaitkan dengan kebudayaan Jawa. Mengingat arti ideologis dari konsep pendidikan menurut pemikiran etis, makalah Soetatmo yang sebetulnya merupakan suatu usaha untuk membentuk atau merumuskan kembali konsep pendidikan dalam konteks kebudayaan Jawa tradisional, sangat provokatif,” tulis Shiraishi. Tjipto, yang berbicara tepat setelah Soetatmo, langsung mendebat argumen Soetatmo yang dinilai terlalu menjurus ke chauvinisme sehingga minim unsur perkembangan sejarah dunia. “Bangsa Jawa harus menyadari bahwa mereka tidak dapat hidup terpisah, menyendiri, melainkan merupakan bagian dari dunia yang lebih luas,” kata Tjipto, dikutip Nunus. Orang Jawa harus mengakui keunggulan bangsa Eropa. “Oleh sebab itu, orang Jawa dapat belajar dari pengalaman-pengalaman sejarah orang Eropa mengingat pembentukan bangsa di Hindia akan mengikuti arah itu,” tulis Shiraishi. Para pendukung nasionalisme Jawa juga dipandang Tjipto hanya memusatkan perhatian pada bidang humaniora tanpa mau memperhatikan ilmu eksakta dan teknik sehingga kehilangan kemandirian. Padahal, Jawa telah kehilangan kedaulatannya dan hanya merupakan bagian dari Hindia yang dijajah Belanda. Tanah air orang Jawa bukanlah Pulau Jawa semata lagi tetapi seluruh Hindia Belanda dan tugas yang dipikul oleh para pemimpin sekarang adalah bekerja untuk nasionalisme Hindia tersebut. Meski sarat perdebatan, KK I berajalan lancar. “Masalah yang timbul antara Soetatmo dan Tjipto bukanlah masalah tentang apakah modernisasi itu harus diutamakan atau apakah kecerdasan akal atau pendidikan budi pekerti yang harus didahulukan. Sesungguhnya, masalah yang mereka bahas dan pertengkarkan, walaupun tak pernah dibicarakan secara eksplisit dalam makalahnya, ialah bagaimana merumuskan tradisi itu dan bagaimana zaman serta dunia pergerakan itu seharusnya dipahami. Pada hakekatnya masalah yang sesungguhnya dihadapi ialah mencari apa arti zaman dan dunia pergerakan dalam kebudayaan dan sejarah Jawa dan selanjutnya bagaimana mereka harus hidup di zaman pergerakan sebagai cendekiawan Jawa yang ikut serta dalam pergerakan itu,” tulis Shiraishi. KK I juga menghasilkan keputusan pendirian sebuah lembaga penelitian kebudayaan, yang setahun kemudian bermaujud dalam Java Instituut. Harian De Locomotief , Majalah Djawa , dan Sri Pestaka memberitakan kongres bersejarah itu. “KK pertama tahun 1918 pantas disebut sebagai peristiwa budaya yang bersejarah karena merupakan peristiwa ‘lahirnya kesadaran tentang nasib budaya bangsa’, di samping ‘lahirnya kesadaran berbangsa’,” tulis Nunus.

  • Sang Pilot "Mengudara" untuk Selamanya

    NEGERI Paman Sam berduka. Jumat 30 November 2018 waktu setempat (Sabtu, 1 Desember WIB), Presiden ke-41 George Herbert Walker Bush tutup usia di umur 94 tahun. Bush Sr. meninggal setelah lama menderita parkinson yang memburuk pasca-meninggalnya sang istri, Barbara Bush, April 2018 lalu. Bush Sr. merupakan presiden yang juga pahlawan Perang Dunia II (PD II) terakhir. Sebagai bentuk penghormatan kepadanya, pemerintah menggelar upacara pemakamannya secara khidmat diiringi sejumlah gun salutes dari meriam berbagai kapal perang Amerika Serikat (AS) selama 30 menit. Ayah dari Presiden AS ke-43 George Walker Bush (Bush Jr.) itu terjun ke pentas politik lewat Partai Republik setelah mapan di dunia bisnis perminyakan di Texas Barat. Debutnya dimulai dari menjadi ketua Dewan Kota Harrys County tahun 1963. Bush lalu jadi anggota House of Representatives pada 1966, duta besar AS untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 1971, ketua Kantor Penghubung untuk China pada 1974, direktur CIA (Badan Intelijen AS) pada 1976, dan terpilih menjadi wakil presiden ke-43 sebelum menjadi presiden (1989-1993). Pesatnya laju karier politik Bush tak terlepas dari dua faktor. Pertama , Bush lahir dari keluarga pebisnis minyak. Kedua, statusnya sebagai pahlawan perang, kendati pengalamannya di kemiliteran dalam kurun 1942-1945. Dengan pangkat terakhir letnan penerbang, pria jangkung itu mengoleksi tiga keping medali penghargaan: Distinguished Flying Cross, Air Medal, dan Presidential Unit Citation. Sepakterjang di Perang Pasifik Lahir di Milton, Massachusetts pada 12 Juni 1924 dari pasangan Prescott Sheldon Bush dan Dorothy Walker, Bush tak pernah kesulitan mengenyam pendidikan lantaran ayahnya seorang bankir dan politisi. Begitu lulus dari sekolah di Phillips Academy, Andover, Bush mendaftarkan diri ke US Navy (AL AS) tepat di usia 18 tahun, enam bulan setelah AS menyatakan perang terhadap Jepang. Naval Historical Center 6 April 2001 menyebutkan, Bush menjalani karantina pelatihan penerbang USNR (AL Cadangan) di Kapal Induk USS Sable (IX-81) yang berbasis di Pangkalan AL Corpus Christi, Texas selama 10 bulan. Setelah lulus pada September 1943, Bush menjadi penerbang AL termuda. Dia ditugaskan di Skadron Torpedo 51 di Kapal Induk USS San Jacinto (CVL-30) dan berposisi sebagai pilot pesawat pembom torpedo Grumman TBM Avengers. Dari total 58 misi yang dijalani, Bush pernah hampir terserempet maut. Saat itu Bush menerbangkan Avengers-nya untuk misi pemboman ke sejumlah basis militer Jepang di Pulau Chichijima, pulau terpencil Kepulauan Bonin, 1 Agustus 1944. James Bradley mengungkapkan dalam Flyboys: A True Story of Courage , Bush berangkat dalam misi sebagai salah satu dari sembilan kru di empat pesawat Avengers yang take - off dari USS San Jacinto . Keempat pesawat itu sempat terkena tembakan meriam-meriam anti-udara Jepang hingga jatuh. Semua selamat kala mendarat darurat di perairan Chichijima dengan lokasi yang tersebar. Bush yang bertahan selama empat jam di perahu karet, lebih beruntung. Lokasinya lekas diketahui para kompatriotnya dan terus-menerus dikawal pesawat-pesawat AS dari udara demi mencegah penangkapan Jepang. Bush akhirnya diselamatkan para kru Kapal Selam USS Finback . Momen George HW Bush diselamatkan para kru Kapal Selam USS Finback (Foto: George Bush Library) Saat diselamatkan, kondisi Bush mengenaskan. Kepalanya terluka dan sudah muntah-muntah. “Senang bisa berada di kapal (selam),” tutur Bush setelah diselamatkan, dikutip Bradley. Namun, malang menimpa delapan rekan Bush yang hidup. Mereka ditangkap Jepang. Sampai investigasi Bradley diterbitkan dalam bentuk buku pada 2006, Bush tak pernah tahu bagaimana nasib kedelapan rekannya. Ternyata, menurut penelusuran Bradley, kedelapan rekan Bush itu mengalami penyiksaan yang luar biasa. Kepala mereka lantas dipenggal dan sisa tubuhnya dimakan para tentara Jepang. “Reaksinya (Bush) senyap, terdiam. Lebih banyak geleng-geleng kepala. Tidak ada reaksi jijik, syok atau ngeri. Dia seorang veteran dari generasi yang berbeda,” ujar Bradley setelah Bush tahu hasil investigasi insiden itu diungkap, dilansir Telegraph , 6 Februari 2017. Setelah mengetahui nasib kedelapan temannya, Bush hanya bisa bersyukur. “Kenapa saya yang terselamatkan dan apa yang direncanakan Tuhan untuk saya?” Bush mengunjungi lagi lokasi jatuhnya di Chichijima pada 2002. Dinukil Time , 15 September 2002, Bush ditemani Bradley, beberapa perwakilan pemerintah Jepang, dan Duta Besar AS untuk Jepang Howard Baker. “Kru saya, Ted White dan John Delaney, tewas dan saya masih hidup. Sampai hari ini saya masih merasa bertanggungjawab atas kematian mereka meski saya sudah melakukan apa yang seharusnya saat pesawat kami terbakar. Kunjungan ini bukan hanya sangat personal tapi juga sangat emosional. Meski begitu, saya berharap kunjungan ini bisa melupakan masa lalu yang brutal,” kata Bush yang mengakhiri kunjungan dengan melempar dua buket bunga ke laut.

  • Mencari Arah Pendidikan Sejarah

    DIRJEN Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan, pendidikan sejarah sekarang kurang menarik: membosankan, mengundang kantuk, dan penuh hafalan. Akibatnya, menjelang ujian kompetensi, banyak murid mengeluarkan jurus hafalan satu malam. Materi sejarah pun tak banyak masuk ke kepala mereka karena mayoritas pengajaran sejarah di sekolah semata membacakan ulang isi buku tanpa pemahaman sejarah yang riil dan relevan. Hal itu menjadi satu masalah yang disoroti Direktorat Jenderal Kebudayaan sejak penyelenggaraan Seminar Sejarah Nasional (SSN) tahun 2017. Banyak hal dalam pembelajaran sejarah yang perlu dibahas secara mendalam dan dirumuskan ulang, seperti cakupan materi, kisah-kisah terpinggirkan, dan pengajaran sejarah lokal. Bertolak dari situ, Direktorat Jenderal Sejarah mengambil “Paradigma dan Arah Baru Pendidikan Kesejarahan di Indonesia” sebagai tema SSN tahun ini. Baca juga:  Sejarah di mata generasi z “Tema (SSN, red.) merupakan amanat SSN yang pertama. Kita belum menemukan arah pendidikan sejarah. Seminar ini memberi masukan penting untuk pemerintah pada praktik pelajaran sejarah di sekolah,” kata Ketua Panitia Sri Margana dalam sambutannya di UGM, Senin (3/12) malam. Selama ini, lanjut Margana, pembahasan SSN lebih fokus pada penulisan sejarah. Sementara bahasan tentang pembelajaran kesejarahan kurang menjadi fokus, permasalahan dalam pengajaran sejarah pelan-pelan menumpuk. Hilmar yang berhalangan hadir dalam pembukaan SSN memberikan pidato sambutannya lewat video singkat. Menurutnya, pembelajaran sejarah di Indonesia memiliki cakupan sangat luas dan seringkali menyulitkan siswa dengan hafalan tahun, tokoh, dan peristiwa. Padahal, dia mencontohkan, di beberapa negara di Eropa, pendidikan sejarah selalu terkait dengan upaya mendidik sekaligus membangun generasi bangsa. Materi dan cakupan pengajarannya pun jauh lebih sederhana. Baca juga:  Penulisan sejarah dalam mode 2.0 “Dalam kurikulum kita, pembelajaran sejarah bertujuan menumbuhkembangkan nilai-nilai kebangsaan dan mengaitkan peristiwa nasional dengan peristiwa lokal serta membangun memori kolektif kebangsaan. Cita-citanya sangat idealis namun cakupan dalam silabus masih sangat luas,” kata Hilmar. Sebagai pembanding, Hilmar mencontohkan, pembelajaran sejarah di Singapura lebih sederhana dan tidak memberatkan siswa. Siswa tidak melulu dicekoki materi sejarah dari satu arah tetapi diajak aktif untuk menyingkap sejarah terdekat di lingkungannya. Siswa juga tidak menilai atau membuat kesimpulan tergesa-gesa atas peristiwa sejarah. Singapura mengajarkan siswa mereka untuk terbiasa melihat pandangan yang berbeda sehingga menimbulkan sikap toleran. “Selain itu, anak diberi pembelajaran secara perlahan yang sedikit-sedikit akan menimbulkan kesadaran sejarah dan empati.” Pembelajaran sejarah ala Romo Mangun Model pembelajaran yang disebutkan Hilmar pernah dicetuskan YB Mangunwijaya, tokoh pendidik asal Yogyakarta lewat Sekolah Dasar Kanisius Eksperimentasi Mangunan. Pengajaran sejarah, menurut Romo Mangun, sapaan akrabnya, bisa dimulai dari yang terdekat seperti sejarah keluarga, sejarah desa, atau muasal produk budaya yang ditemui sehari-hari, semisal seperti cara makan, cara berpakaian, dan makanan. Tema-tema yang dekat dengan lingkungan sekitar akan memudahkan anak dalam mempelajari sejarah. Pengajaran model ini, menurut Romo Mangun, membuat anak paham tentang perubahan dan perkembangan yang terjadi di sekelilingnya. Baca juga:  Mendikbud: pengajaran sejarah harus diubah Pengamatan dimulai dari yang terdekat seperti keluarga, sekolah, tetangga, desa, hingga wilayah yang lebih luas namun disesuaikan dengan kemampuan anak SD. Mengajarkan sejarah yang jauh dari jangkauan anak-anak, seperti sejarah politik, selain tidak punya relevansi langsung pada anak juga menyulitkan imajinasi mereka karena tidak dapat ditemui dalam dunia sederhana anak. “Pembelajaran sejarah menjadi bermakna ketika anak dapat menemukan nilai sebuah peristiwa masa lampau yang dapat gunakan untuk memahami kondisi masa kini. Pada dasarnya, belajar sejarah yakni memahami kemanusiaan dan melahirkan kesadaran sejarah,” kata Romo Mangun seperti dikutip Dedy Pradipto dalam Belajar Sejati vs Kurikulum Nasional. Baca juga:  Pengajaran sejarah tak lengkap dapat memicu konflik

  • Pers Berbahasa Arab Penyebar Kemerdekaan Indonesia

    SEBUAH lahan kosong tertutup pagar seng di Gang Tengah, Jalan Percetakan Negara, Jakarta Pusat. Di lahan ini dulu berdiri sebuah rumah. Aneka macam cerita keluar dari rumah itu. Pernah menjadi markas pemuda pro-Republik, anggota BKR, dan gudang senjata pada masa Jepang sampai awal kemerdekaan Indonesia. Tapi cerita berikut ini bukan tentang tiga hal itu. Ini cerita tentang peran kantor berita Arabian Press Board ( APB ). Dari rumah itulah APB turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia sejak 2 September 1945. Tapi peran APB tak selalu terang. Perlu penambahan data untuk memperjelasnya dan memperkuatnya. “Terkait peran pers APB dalam kemerdekaan, sangat menarik untuk penggalian sumber lagi,” ungkap sejarawan Rusdhy Hosein dalam diskusi “Diplomasi Pers Asad Shahab dalam Kemerdekaan Indonesia” di FISIP Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Selasa, 28 November 2018. Penggagas APB adalah dua bersaudara orang Indonesia keturunan Arab, Mohammad Dzya Shahab dan Mohammad Asad Shahab. Mereka memandang pendirian kantor berita cukup penting bagi kemerdekaan Indonesia. Menurut mereka, keadaan Indonesia setelah Proklamasi kemerdekaan harus disiarkan ke mancanegara. Ada dua kantor berita di Indonesia yang juga turut berperan dalam menyebarkan keadaan Indonesia merdeka : Antara dan Domei. Memberdayakan Jejaring Antara dan Domei mempunyai kelemahan. Antara hanya mampu menyiarkan berita itu di dalam negeri, sedangkan Domei masih berada dalam kendali Jepang. Ruang kosong penyiaran ke luar negeri diambil oleh APB . Demikian menurut A.M. Shahab dalam Sang Penyebar Berita Proklamasi: Perjuangan M. Asad Shahab & Arabian Press board . Dzya dan Asad menyasar negara-negara di Timur Tengah sebagai ruang penyebaran berita tentang Indonesia. Mereka memiliki jaringan kuat di Timur Tengah. Mereka kenal dengan tokoh pers tempatan dan pelajar Indonesia di sana. Karena itu, menurut Solichin Salam dalam APB Arabian Press Board: Sejarah dan Perjuangannya , langkah awal APB untuk mengabarkan keadaan Indonesia setelah kemerdekaan adalah mengontak semua jejaring mereka di Timur Tengah. Alasan lain pemilihan lapangan bergerak APB di Timur Tengah adalah ikatan erat antara Indonesia dan Timur Tengah. Dua wilayah ini terikat oleh agama Islam dan jejaring pendidikan selama ratusan tahun. Tetapi pada kurun awal kemerdekaan Indonesia, banyak warga Timur Tengah belum tahu kelahiran negara merdeka baru bernama Indonesia. “Bagi orang-orang Mesir umumnya hanya tahu tentang bangsa-bangsa Timur Jauh, seperti India dan Cina. Sebagian kelompok intelektual mengetahui tentang jajahan Belanda, juga para mahasiswa Mesir yang kenal dengan orang Indonesia yang bersekolah di sana. Sedang para haji —yang karena pernah pergi ke Mekkah—menjadi tahu tentang Jawa,” catat A.R. Baswedan dalam “Catatan dan Kenangan”, termuat di Seratus Tahun Haji Agus Salim . A.R. Baswedan bersama Haji Agus Salim, Nazir St. Pamoentjak, dan Rasjidi merupakan anggota delegasi Indonesia di Mesir pada April 1947. Mereka bertugas mencari dukungan dan pengakuan dari Mesir dan negara Timur Tengah atas Proklamasi kemerdekaan Indonesia. Mereka juga berupaya meyakinkan pemerintah negara-negara di Timur Tengah bahwa Republik Indonesia bukanlah bentukan Jepang. Sebab kabar yang santer tersebar menyebutkan bahwa Republik Indonesia adalah negara bentukan Jepang. Alasan pemerintah Indonesia mencari dukungan dan pengakuan dari negara-negara Timur Tengah mirip dengan alasan APB bergerak di sana. Orang Indonesia memiliki kesamaan agama dan telah menjalin hubungan ratusan tahun dengan orang-orang di Timur Tengah. Dua hal ini menjadi modal penting untuk memperoleh dukungan dan pengakuan dari negara-negara di Timur Tengah. Sasaran pertama para diplomat Indonesia adalah Mesir. Suranta Abdul Rahman dalam “Diplomasi RI di Mesir dan Negara-Negara Arab pada Tahun 1947” termuat di Jurnal Wacana  Vol. 9 No. 2 Tahun 2007, menyebut Mesir adalah pemimpin Liga Arab. Liga Arab memiliki tujuan membantu negara-negara mayoritas muslim mencapai kemerdekaan. Dengan demikian, Mesir merupakan pintu bagi Indonesia untuk memperoleh dukungan dan pengakuan dari negara Timur Tengah lainnya. Bukti dukungan Liga Arab pada negara mayoritas muslim terjajah tampak dalam kunjungan Abdul Mun’im, utusan Liga Arab, ke Yogyakarta pada awal 1947. Kedatangan Mun’im ke Yogyakarta beralas pada sidang keputusan Liga Arab di Kairo, Mesir, pada November 1946. Liga Arab menganjurkan anggotanya mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Menembus Blokade Belanda menyadari ikatan erat agama dan historis antara Indonesia dengan Timur Tengah. Mereka berusaha memblokade segala macam bentuk komunikasi dan kontak antara Indonesia dan Timur Tengah. Blokade ini membuat kabar tentang Indonesia menjadi simpang-siur di Timur Tengah. Selain itu, Belanda juga mengirim sejumlah propagandis ke negara Timur Tengah untuk mempengaruhi pemerintahan di sana agar membatalkan dukungan kepada Indonesia. Pemimpin propagandis Belanda tersebut bernama Muhammad bin Abdullah Alamudi. “Dia bermaksud akan mempropagandakan Belanda dan membuat berita buruk tentang RI,” tulis Suranta.   Dalam keadaan inilah, APB berperan menjernihkan kabar tentang Indonesia dan turut mencegah infiltrasi utusan Belanda ke Timur Tengah. APB juga giat mengabarkan kegiatan delegasi Indonesia selama berada di Timur Tengah. “Masyarakat Arab dapat mengakses langsung informasi pergerakan dan perjuangan dari Indonesia berkat kantor berita The Arabian Press Board ( APB ),” tulis Suranta. APB menerjemahkan berita-berita berbahasa Indonesia ke dalam bahasa Arab, kemudian menjembarkannya ke jejaring mereka di Timur Tengah. Dari situlah, warga Timur Tengah memperoleh kabar terbaru tentang Indonesia dan gerakan mempertahankan kemerdekaan. Dukungan pun datang dari sejumlah organisasi masyarakat di Timur Tengah seperti Ikhwanul Muslimin. Asvi Warman Adam, sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, menyorot cara APB menembus blokade informasi Belanda. “Buku A.M. Shahab menyebut keberhasilan APB . Tetapi bagaimana APB menembus blokade tersebut tak diterangkan secara detail. Barangkali menarik kalau ada tambahan dokumentasi terkait hal tersebut,” kata Asvi. Oleh sebab minim sumber, Asvi lebih banyak menerangkan peran golongan Arab dalam upaya pencapaian kemerdekaan Indonesia.   Terkait pencegahan utusan Belanda ke negara Timur Tengah, Suranta mengulasnya secara terang. “ APB menggalang semua surat kabar Arab untuk menyiarkan berita dengan judul ‘Rombongan Pengkhianat akan Mengunjungi Negara-Negara Arab’, ‘Propagandis Belanda’, dan ‘Pedagang Belanda’,” catat Suranta. Pemimpin politik di Timur Tengah membaca berita-berita tersebut. Berkat informasi dari APB , sikap pemimpin politik di Timur Tengah tidak goyah terhadap kemerdekaan Indonesia. Jasanya Terawat Mulyadi, doktor Ilmu Politik FISIP UI, memperkuat pernyataan Suranta. Menurut Mulyadi, dukungan dan pengakuan dari negara Timur Tengah terhadap Indonesia tak lepas dari peran APB . “Negara-negara tersebut memperoleh berita terpercaya dari orang-orang dan lembaga yang terpercaya pula, dimana hal itu telah dilakukan oleh Asad Shahab melalui kantor berita Arabian Press Board ,” kata Mulyadi. Mulyadi menambahkan, dari sudut pandang ilmu politik dan hubungan internasional, pengakuan dan dukungan dari negara lain terhadap Indonesia turut memperkuat posisi Indonesia. Salah satu cara untuk memperoleh pengakuan dan dukungan negara lain adalah melalui pemberitaan pers. Inilah peran pers dan Asad Shahab yang luput dari amatan. Asad Shahab, melalui APB- nya, telah meninggalkan jejak perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan. Jejak itu tak melulu berupa perjuangan bersenjata dan diplomasi, melainkan juga catatan tinta para jurnalis. Sekarang kantor APB sudah rata dengan tanah. Tetapi Mulyadi mengingatkan bahwa jejak APB dan jasa Shahab bersaudara tidak akan bisa dihapus dan ditelan zaman.

  • I-Tsing Mencatat Letak Ibu Kota Sriwijaya

    DI Shili Foshi, pada pertengahan bulan delapan dan pertengahan musim semi (bulan dua), lempeng jam (bayangan tiang) tidak berbayang. Seseorang yang berdiri di tengah hari tidak berbayang. Matahari tepat di atas kepala dua kali dalam setahun. Itulah sekelumit informasi yang diberikan I-Tsing atau Yi Jing, biksu Tiongkok tentang letak pusat Kerajaan Sriwijaya dalam bukunya Nanhai . Yi Jing merupakan salah satu dari tiga peziarah terkenal asal Tiongkok. Pendahulunya adalah Fa Xian dan Xuan Zang. Sejauh ini letak pusat Kadatuan Sriwijaya masih menjadi persoalan. Pasalnya ibu kotanya berpindah-pindah. Sejarawan India, Ramesh Chandra Majumdar, berpendapat kalau Sriwijaya harus dicari di Jawa. Sarjana Belanda, J.L. Moens menduga Sriwijaya berpusat di Kedah (Malaysia) dan pindah ke Muara Takus (Jambi). Sementara sejarawan lainnya, G. Coedes, Slamet Muljana, dan O.W. Wolters, lebih memilih Palembang. Berdasarkan prasasti-prasasti Sriwijaya yang ditemukan di Palembang, diduga lokasi kota Sriwijaya adalah Palembang. Prasasti Kedukan Bukit misalnya, yang tertanggal 16 Juni 682 M menandai dibangunnya sebuah perkampungan. Prasasti Talang Tuo, tertanggal 23 Maret 684 M, menandai dibangunnya Taman Sri Ksetra. Prasasti Telaga Batu menandai pejabat-pejabat yang disumpah. “Semuanya ditemukan di Palembang, merupakan suatu bukti bahwa Palembang merupakan Kota Sriwijaya,” kata Bambang Budi Utomo, arkeolog dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) dalam acara Borobudur Writers and Cultural Festival, di Hotel Manohara, Magelang. Bambang menjelaskan berdasarkan catatan Yi Jing yang kemudian dihitung secara astronomis, lokasi Shili Foshi diduga berada tak jauh dari Palembang. “Bila diukur berdasarkan soltice, yang dapat dikatakan akurat, Shili Foshi tidak terletak di Kota Palembang sekarang atau di sekitar Upang-Sungsang di muara Sungai Musi,” kata Bambang. Namun, Bambang melanjutkan, jika diukur berdasarkan musim, kemungkinan letak Shili Foshi yang terdekat dengan Palembang berada di sekitar Kuala Tungkal Jabung. Hal ini sesuai dengan pendapat pakar epigrafi, Boechari, kalau Yi Jing menulis catatannya tentang gnomon (bayangan tiang) saat dia berada di suatu wilayah Shili Foshi, bukan di ibukota Shili Foshi . Yi Jing juga menulis mengenai perluasan wilayah kekuasaan Sriwijaya ketika dia kembali ke Melayu pada 685 atau awal 686 M. “Kami singgah hingga musim dingin tiba, kapal berlayar ke arah selatan sekira sebulan dan tiba di Melayu, yang sekarang sudah menjadi bagian dari Kerajaan Sriwijaya,” catat Yi Jing. Itu pas dengan apa yang tertulis dalam Prasasti Kedukan Bukit. Pada 683, Sri Dapunta Hyang mengadakan pawai kemenangan ( jayasiddhayatra ) atas penaklukan Melayu. Dalam tulisannya, Yi Jing menggunakan dua istilah berbeda untuk menyebut Sriwijaya:  Fo-shi dan Shili Foshi secara bergantian. Shinta Lee, penerjemah catatan perjalanan Yi Jing menduga, ibukota Sriwijaya awalnya disebut Fo-shi. Namun kerajaan itu berkembang pesat dan meluas hingga Melayu, yang kemudian menjadi daerah kekuasaan raja Fo-shi . “Maka keseluruhan kawasan dan juga ibukotanya menyandang isitlah Shili Foshi, ” ujarnya.

  • Usaha Alot Menghapus Kekerasan Terhadap Perempuan

    Baiq Nuril, guru honorer di Mataram, Nusa Tenggara Barat menjadi korban pelecehan seksual kepala sekolahnya, Muslim. Namun, Nuril justru divonis bersalah oleh Mahkamah Agung lantaran merekam pelecehan seksual yang dilakukan Muslim via telepon genggam. Nuril diganjar enam bulan penjara dan denda 500 juta rupiah dengan jerat UU ITE. Padahal, Nuril sebelumnya dinyatakan tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri Mataram. Sampai hari ini, kasusnya masih bergulir. Nuril tidak sendiri. Banyak perempuan Indonesia menjadi korban pelecehan seksual yang merupakan salah satu spektrum kekerasan terhadap perempuan (KTP). Laporan Komnas Perempuan tahun 2018 menginformasikan, jumlah kekerasan seksual pada 2017 mencapai 384.446 laporan. Angka itu hanya mencakup kekerasan seksual yang dilaporkan. Sementara, aduan dari para korban yang langsung masuk ke Komnas Perempuan mencapai 1.301 laporan. “Setiap tahun angkanya meningkat, menunjukkan orang semakin merasa aman untuk melaporkan kasus kekerasan yang mereka alami,” kata Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amirudin dalam Konferensi Pers Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Pacific Place, Selasa (27/11). Meski korban KTP kini lebih berani melaporkan kasus yang mereka alami, payung hukum untuk melindungi perempuan dari kekerasan belum kunjung disahkan. Dalam rilisan persnya, Komnas Perempuan mengkritik DPR yang tak kunjung membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, padahal kasus KTP terus terjadi dan belum memiliki payung hukum yang cukup. Meski RUU Penghapusan Kekerasan Seksual belum kunjung disentuh DPR, usaha-usaha penghapusan KTP terus dilakukan. Salah satunya lewat peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) yang di dalamnya menuntut segera disahkannya RUU tersebut. Peringatan HAKTP diselengarakan secara global selama 16 hari, dari 25 November-10 Desember. Lebih dari 60 negara menyelenggarakannya. Di Indonesia, 16 HAKTP diperingati pertama kali tahun 2001 oleh Komnas Perempuan. Perjuangan dari Zaman Beheula Usaha penghapusan kekerasan terhadap perempuan sudah dilakukan gerakan perempuan di berbagai negara sejak lama. Mulanya, feminis negara dunia pertama berhasil memasukkan dekade perempuan (1975-1985) dalam agenda PBB. Menyusul kemudian disahkannya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention On The Elimination of All Forms Discrimination Against Women, CEDAW) pada 1979. Perjuangan untuk menghapuskan diskriminasi gender berlanjut, salah satunya dengan membentuk Women’s Global Leadership Institute (WGLI) yang diadakan pertamakali pada 3-15 Juni 1991. Ke-23 pesertanya berasal dari berbagai bidang, seperti pengacara, pembuat kebijakan, guru, petugas kesehatan, peneliti, jurnalis, dan aktivis. Syarifah Sabaroeddien, pendiri Kalyanamitra dan saat itu merupakan dosen kriminologi UI, ikut hadir dalam pertemuan para aktivis perempuan sedunia itu. “Kalyanamitra memang sudah sering mendapat ajakan dari rekan-rekan feminis di negara lain untuk ikut dalam konvensi internsional. Dalam WGLI itu, almarhum Ifa (panggilan akrab Syarifah, red .) yang berangkat,” kata Myra Diarsi, pendiri Kalyanamitra sekaligus rekan Syarifah. Pertemuan itu lalu melahirkan kampanye 16 HAKTP yang diperingati sampai sekarang. Tanggal 25 November dipilih sebagai hari pertama kampanye internasional melawan KTP untuk mengenang Mirabal bersaudara –Patria, Maria, Antonia, dan Belgica– yang dibunuh secara brutal pada 1960 karena melawan kediktatoran Presiden Rafael Tujillo. Peringatan terbunuhnya Mirabal bersaudara pertama dilakukan tahun 1981 oleh feminis Amerika Latin dan Karibia. Kampanye 16 HAKTP berakhir pada 10 Desember bersamaan dengan peringatan Hak Asasi Manusia Internasional. Sepanjang 16 hari, terdapat pula Hari AIDS Sedunia (1 Desember), Peringatan Pembantaian Mahasiswi Teknik di Montreal (6 Desember), dan Hari Penghapusan Perbudakan (2 Desember). Rentang waktu 16 hari dipilih karena menghubungkan secara simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM. Syarifah Sabaroeddin (kedua dari kanan) bersama para aktivis perempuan dalam Women's Global Leadership Institute. (Laporan WGLI 1992) Menemukan Gerak Bersama Dalam pertemuan Women’s Global Leadership Institute (WGLI), para aktivis perempuan menghimpun laporan kekerasan yang mereka temukan di wilayah masing-masing. Laporan itu lalu diterbitkan pada 1992, memuat data-data kekerasan secara global, dari negara maju sampai negara berkembang. Laporan itu menunjukkan, kekerasan terhadap perempuan terjadi di mana saja dan kepada perempuan di berbagai latar belakang budaya, dengan kata lain KTP terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Keikutsertaan Syarifah dalam WGLI membuat gerakan perempuan Indonesia di era Orde Baru menemukan rekan seperjuangan. “Pertemuan dengan Women’s Global Leadership semata menemukan dan meneguhkan kalau perjuangan melawan kekerasan terhadap perempuan tidak kami lakukan sendiri,” kata Myra. Langkah Kalyanamitra, organisasi yang didirikan Syarifah bersama Myra, Ratna Saptari, Debra Yatim, dan Sita Aripurnami, memperjuangkan penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia jadi makin terbuka. Sejak 1986, ketika pembahasan tentang KTP masih sangat tabu, Kalyanamitra telah mengkampanyekan kasus-kasus perkosaan dan pelecehan seksual melalui kampanye anti-KTP dan advokasi pada korban. Kalyanamitra melakukannya dengan cara mencari dan mendatangi korban satu persatu lalu memberi konseling psikologis dan mengadvokasi. Mengingat banyaknya korban kekerasan yang mereka tangani dan hasil temuan dalam laporan WGLI, Kalyanamitra menginisiasi pertemuan dengan gerakan perempuan di Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand selepas WGL. Pertemuan itu membahas tentang kekerasan terhadap perempuan dari berbagai aspek dan cara-cara mengadvokasi korban KTP. “Kami sangat concern dengan kasus perkosaan karena waktu itu KUHP 285 mendefinisikan perkosaan sebagai pemaksaan hubungan seksual yang tidak diinginkan kepada perempuan yang bukan istrinya. Jadi perkosaan dalam rumah tangga dianggap tidak ada,” kata Myra. Gerakan perempuan lalu mengajak beberapa praktisi hukum seperti Nursjahbani Katjasungkana dan Tumbu Saraswati untuk mengusulkan pembentukan payung hukum kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Untuk mewujudkannya, mereka sering berkumpul di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). “Dua belas tahun kemudian usulan itu baru disahkan lewat UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT,” kata Myra. Sambil terus berjuang di bidang hukum, gerakan perempuan konsisten mengkampanyekan KTP meski kala itu baru dilakukan secara sporadis dan belum menyelenggarakan kampanye panjang 16 HAKTP. Kampanye yang dilakukan pada 1980-an, Myra melanjutkan, berusaha melawan pikiran patriarki yang menganggap perkosaan dan pelecehan seksual hanya ekses pelanggaran HAM. Gerakan perempuan terus menyuarakan agar kasus-kasus KTP dianggap serius dan bagian dari pelanggaran HAM. Atas desakan aktivis perempuan, negara lalu membentuk Komnas Perempuan (KP) usai Reformasi. KP membantu menghimpun gerakan menjadi lebih besar. “Setelah Komnas Perempuan berdiri, kami bikin kampanye itu (16 HAKTP, red.) secara lebih institusional,” kata Myra. Beragam upaya untuk menghapus KTP terus dilakukan dengan perhatian yang berbeda tiap zaman. Kini, gerakan perempuan fokus mendorong pemerintah agar mengesahkan RUU Penghapusan kekerasan seksual yang tak kunjung dilegalkan. “Sampai sekarang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual belum disahkan, padahal sudah diajukan sejak dua tahun lalu. Kalau tidak ada payung hukumnya, bagaimana penghapusan KTP bisa dilakukan dengan lebih masif?” Kata Mariana.

  • Seabad Flu Spanyol

    TEPAT satu abad silam, Flu Spanyol mengguncang dunia. Tidak ada negara yang luput dari serangannya. Pandemi influenza itu membunuh jutaan orang. Flu Spanyol membunuh sekitar dua sampai 20 persen penderita yang terinfeksi. Persentase tersebut jauh lebih besar dibandingkan influenza biasa yang hanya mampu membunuh 0,1 persen dari total penderita. Dahsyatnya serangan wabah ini membuat virologis Amerika Serikat Jeffery Taubenberger menyebut Flu Spanyol sebagai "The Mother of All Pandemics."

  • Gubernur di Tengah Operasi Anti Mata-Mata

    DALAM menjalankan tugasnya, Gubernur pertama Jawa Barat Soetardjo kerap pergi-pulang melintasi Tasikmalaya-Bandung. Untuk alasan keamanan, keluarganya dimukimkan di Tasikmalaya. Sementara, Soetardjo berkantor dan tinggal sebentar di Bandung. Secara berkala, Soetardjo mengunjungi keluarganya. Kesempatan berkunjung dimanfaatkan untuk melihat kondisi keluarga seraya melepas rindu.  “Sebulan sekali saya menegok keluarga di Tasikmalaya berkendara mobil lewat jalan selatan melalui Majalaya,” ujar Soetardjo dalam memoar Soetardjo: “Petisi Soetadjo” dan Perjuangannya yang dituliskan anaknya Setiadi Kartohadikusumo.  Meski menjabat sebagai gubernur, ketika bepergian Soetardjo enggan memakai iring-iringan. Tujuannya agar tak memancing perhatian tentara Belanda dan Sekutu. Soetardjo hanya ditemani seorang agen polisi kantor gubernuran tanpa konvoi dan barisan pengawal. Dalam BandungAwal Revolusi 1945-1946, sejarawan John R.W. Smail mencatat betapa mencekamnya situasi di kota Bandung dan sekitarnya. Smail mengutip keterangan koresponden harian Merdeka yang melaporkan perilaku arogan orang Belanda. Sejumlah serdadu menggunakan senapan submesin untuk memaksa orang-orang di pasar menjual makanan kepada mereka. Tiga hari kemudian, aksi balasan terjadi. “Seorang responden Belanda melaporkan perilaku orang Indonesia yang semakin brutal; menculik tentara Sekutu yang ditugaskan mengurus tahanan perang Jepang; mengusir orang-orang Eropa keluar dari rumahnya dan memboikot mereka di toko-toko; mengurangi aliran makanan segar ke kota,” tulis Smail.   Soetardjo dalam memoarnya, mengenang suasana yang sama mengerikan. Tebaran ancaman silih berganti. Suara rentetan senapan setiap sore dan malam terdengar di dalam kota. Konflik bersenjata antara pasukan Republik kontra Sekutu dan Belanda memang tak terhindarkan. Sekali waktu, saat hendak pulang ke Tasikmalaya, Soetardjo mengalami penghadangan di jalan pedalaman. Soetardjo menuturkan, kendati memakai mobil berplat nomor “D1”, dia masih juga ditahan oleh pemuda-pemuda pejuang yang menjaga lalulintas di pos tertentu. Mereka terlihat seperti laskar bersenjata. Seorang pemuda memberhentikan mobil yang membawa Soetardjo. Dengan sikap sopan, Soetardjo diminta masuk ke dalam sebuah rumah di tepi jalan. Instruksi itu dituruti. Soetardjo masih sempat menguraikan senyum. Di dalam rumah, Soetardjo di bawa masuk ke dalam salah satu kamar oleh pemimpin pasukan penjaga. Apa yang terjadi kemudian? Di dalam kamar, Soetardjo diminta untuk menanggalkan peci dari kepalanya. Setelah peci dibuka, dengan mengucap maaf, sang penjaga mohon diperkenankan melihat batok kepala Soetardjo. Soetardjo bersedia menundukkan kepalanya. Setelah diperiksa tanpa menyentuh kepala, penjaga mengucapkan terimakasih. Soetardjo bertanya penuh keheranan, “Apakah kamu tahu, siapa saya ini?” “Barangkali tahu,” kata penjaga itu. “Kalau tak keliru, Bapak adalah gubernur kita.” “Apakah maksudnya, kepala saya kamu periksa?” Soetardjo balik bertanya. ”Saya mendapat perintah dari atasan saya, supaya kita mengadakan pemeriksaan seperti itu pada setiap orang yang liwat sini, tak ada yang terkecuali,” demikian jawaban si penjaga tadi. Waktu itu dikabarkan ada beberapa mata-mata NICA berkeliaran di pedalaman. Mereka adalah-orang pribumi suruhan tentara Belanda untuk menyusup atau menyabotase pasukan Republik. Tanda pengenal mata-mata itu dapat diamati dari ukiran di kepalanya. Di atas tempurung kepalanya akan ada satu tempat kecil yang rambutnya dicukur dan di atas kulit kepala itu ditulis letter “N”.  Alih-alih memarahi, Soetardjo malah mengucapkan pujian dan terimakasih atas tindakan siaga si penjaga. Perjalanan ke Tasikmalaya terus dilanjutkan.     “Dengan senang hati saya memimpin perjuangan rakyat Jawa Barat itu,” demikian Soetardjo mengenang pengalaman di masa revolusi sebagai gubernur pertama Jawa Barat. Sewaka yang kelak menjadi gubernur Jawa Barat ketiga (1946-52) mengakui betapa sukarnya menjadi gubernur di masa kritis pasca Indonesia merdeka. Keganasan revolusi kala itu bisa menyasar siapa saja tanpa pandang bulu ataupun jabatan. Dalam memoarnya Tjorat-Tjaret dari Djaman ke Djaman, Sewaka mengatakan, “Memang tak mudah memegang pemerintahan dalam saat meletusnya revolusi semacam itu.”

  • Seteru Sengit di Sirkuit

    INTERNAL tim Repsol Honda di MotoGP musim depan (2019) diprediksi bakal memanas setelah bergabungnya Jorge Lorenzo pada Juni 2018 menggantikan Dani Pedrosa sebagai joki kedua. Lorenzo bakal bermitra dengan rekan senegara sekaligus rival tersengitnya, Marc Márquez. Keduanya sudah terlibat konflik sejak Grand Prix (GP) Spanyol di Sirkuit Jerez (kini Sirkuit Jerez-Ángel Nieto), 5 Mei 2013. Situs resmi MotoGP, 13 November 2018, mencatat, permusuhan mereka dipicu manuver Márquez yang menyenggol Lorenzo (masih di tim Yamaha). Akibatnya, Lorenzo gagal meraih podium utama. Sejak itu, keduanya kerap tak akur di dalam maupun luar lintasan. Bakal setimnya Lorenzo dan Márquez membuat banyak orang penasaran bagaimana hubungan keduanya di tim Honda musim 2019. Sebagian memprediksi keduanya akan mengulang persaingan setim laiknya legenda Formula One (F1) Alain Prost vs Ayrton Senna kala sama-sama di tim McLaren-Honda musim 1988-1989. “Tidak,” kata Márquez mengomentari hubungannya dengan Lorenzo bakal seperti Prost dan Senna, dilansir Motorsport , 26 November 2018. “Di lintasan tentu kedua pembalap ingin juara, ingin terdepan, dan akan memberi kemampuan 100 persen. Tapi di luar lintasan, kami tetaplah rekan setim. Bahkan sejak perseteruan di Austria dan Brno, hubungan kami tetap profesional.” Senna vs Prost Di permukaan, Márquez dan Lorenzo jelas bakal profesional. Namun, belum tentu di dalam. Benih-benih permusuhan masih nampak, sebagaimana Prost dan Senna yang awalnya juga berkawan baik. Insiden Marc Márquez i Alenta (kanan) yang menyenggol Jorge Lorenzo Guerrero (kiri) pada 2013 memicu perseteruan (Foto: motogp.com) Perseteruan Senna-Prost bermula dari bergabungnya Senna ke tim McLaren jelang musim 1988. Kedatangan itu mulanya sangat didukung Prost selaku pembalap utama lantaran di dua musim sebelumnya Senna tampil apik bersama tim Lotus. “Saya bilang pada Ron (Dennis, team principal Mclaren-Honda) bahwa saya yakin Ayrton akan jadi pembalap hebat di masa depan dan saya pikir dia akan jadi opsi terbaik buat tim. Hubungan saya dekat dengan Nelson (Piquet) tapi saya rasa akan lebih baik buat tim memiliki pembalap yang lebih muda,” ujar Prost dikutip Malcolm Folley dalam Senna versus Prost: The Story of the Most Deadly Rivalry in Formula One . Namun, hubungan baik mereka di internal mulai rusak di seri ke-13, GP Portugal, 25 September 1988. Di lap kedua GP di Sirkuit Autódromo do Estoril itu, Senna bermanuver menutup jalur ketika Prost hendak menyalip. “Dia banting setir ke arah (jalur) saya, membuat saya hanya berjarak kira-kira satu kaki dari dinding sirkuit. Saya mampu bertahan dan malah memenangkan balapan. Tapi dia selalu bisa terhindar dari hukuman. Memang berapakali Ayrton disanksi atas aksi-aksi seperti itu selama ini? Tidak pernah!” ujar Prost dalam “Alain Prost on Ayrton Senna: Between Us, We Can Screw All the Others!” yang dimuat Autoweek , 30 April 2014. Hingga akhir musim, benih-benih kebencian mulai muncul di antara keduanya. Meski sempat didamaikan bos tim Ron Dennis setelah Senna minta maaf, kedengkian kedua pembalap masih berlanjut. Di musim berikutnya, ketika F-1 baru memasuki seri kedua, GP San Marino 1989, Senna dan Prost kembali “perang” di Sirkuit Imola (kini Autodromo Enzo e Dino Ferrari). Alain Marie Pascal Prost (kiri) saat berekanan dengan Ayrton Senna da Silva di tim McLaren selama 1988-1989 (Foto: Repro "Senna versus Prost") Padahal, kata Tom Rubython dalam The Life of Senna , keduanya punya perjanjian pra-balapan pasca-sesi kualifikasi. Di sesi kualifikasi, Senna sukses menempati pole terdepan dan Prost membuntuti di pole kedua. Keduanya bikin perjanjian bahwa di tikungan “Tosa” pada lap pertama keduanya tidak boleh saling “serang” berebut posisi. Memang, pada saat start Senna dan Prost adem-adem saja. Tapi gara-gara sebuah kecelakaan yang dialami Gerhard Berger (pembalap tim Ferrari), balapan harus dimulai lagi meski posisi Prost sudah di depan Senna. “Saat start kembali (setelah kecelakaan) saya berada di depan dan di Tikungan Tosa Ayrton menyalip saya! Setelah balapan, dia berargumen itu bukan start , melainkan restart . Kami pun saling tidak setuju soal alasan itu. Setelah itu atmosfer di tim sangat buruk,” lanjut Prost. Di Sirkuit Suzuka saat GP Jepang, 22 Oktober 1989, Prost melakukan pembalasan. Ketika Senna berusaha menyalip Prost di sebuah chicane (tikungan ganda) pada lap ke-46, Prost sengaja menutup ruang Senna hingga kedua mobil mereka saling berserempet. Setelah sempat beradu mulut di trek, Senna ambil jalan pintas di luar trek yang berujung diskualifikasi plus sanksi enam bulan larangan membalap dan denda USD100 ribu. Insiden antara Ayrton Senna da Silva (helm kuning) dengan Alain Marie Pascal Prost (helm putih) di Sirkuit Suzuka (Foto: ayrtonsenna.com.br) Perseteruan berlanjut lagi di Suzuka pada musim 1990 tatkala Prost sudah pindah ke Ferrari. Di tikungan pertama lap pembuka, Senna menubruk buritan mobil Prost hingga sedikit terangkat. Keduanya terpaksa gagal melanjutkan balapan meski di akhir musim Senna berhasil menjadi juara dunia. Lawan Jadi Kawan Abadi Balapan terakhir Prost, di Sirkuit Adelaide dalam GP Australia 7 November 1993, membawa berkah bagi hubungannya dengan Senna. Perdamaian keduanya mulai tercipta kembali. “Padahal dua pekan sebelumnya di podium GP Jepang, dia tak mau melihat saya. Tapi saat saya pensiun, dia merangkulkan tangannya ke pundak saya,” kata Prost. Prost pelan-pelan mulai berkawan lagi dengan Senna. Namun, persahabatan itu harus berhenti pada 2 Mei 1994. Hari itu, Senna tewas setelah mobilnya menghantam dinding beton di tikungan Tamburello, Sirkuit Imola ketika GP San Marino. Prost ikut mengusung peti jenazah Senna untuk dikebumikan di Pemakaman Morumbi, 4 Mei 1994. “Jika ada orang yang tanya pada saya siapa pembalap terbaik yang pernah saya hadapi, tiada lain adalah Senna. Bagaimanapun perseteruan kami, satu hal yang takkan pernah berubah adalah rasa hormat kami satu sama lain sebagai pembalap. Jika waktu bisa berulang, saya akan bilang padanya: ‘Dengar Ayrton, kita pembalap terbaik. Di antara kita sangat bisa berteman dan kita bisa memecundangi semua pembalap lain’,” ujar Prost.

bottom of page