Hasil pencarian
9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Tujuan Perjalanan I-Tsing, Biksu dari Tiongkok
DALAM perjalanannya menuju India, I-Tsing atau Yi Jing, seorang biksu Tiongkok, mampir tiga kali ke wilayah yang dia sebut Lautan Selatan. Dalam catatannya, dia memberikan imbauan bagi para biksu yang ingin belajar Buddha Dharma. “Lautan Selatan itu mencakup Sumatra, Jawa, Bali,” kata Shinta Lee, penerjemah catatan perjalanan I-Tsing dari Komunitas Sudimuja & Jinabhumi, dalam acara Borobudur Writers and Cultural Festival, di Hotel Manohara, Magelang. Yi Jing merupakan salah satu dari tiga peziarah terkenal dari Tiongkok. Pendahulunya adalah Fa Xian dan Xuan Zang. Waktu itu, di Tiongkok sudah banyak interpretasi atas ajaran-ajaran Buddha. Yi Jing pun ingin mempelajari Buddha Dharma di negeri asalnya: India. “Dia sudah berguru sejak muda, ketika remaja berangan-angan mengunjungi India yang waktu itu pusat pembelajaran Buddha Dharma,” kata Shinta. Pada 671 M, Yi Jing berangkat dari Guangzhou. Setelah berlayar selama 20 hari, dia mendarat di Fo-shi (Sriwijaya). Dia tinggal selama enam bulan untuk belajar Sabdavidya atau tata bahasa Sansekerta. Shinta menjabarkan menurut catatan Yi Jing, semua biksu di Fo-shi mempelajari mata pelajaran yang sama dengan yang dipelajari di Nalanda. Misalnya, Pancavidya yang mencakup pelajaran tata bahasa, pengobatan, logika, seni, keterampilan kerajinan, dan ilmu mengelola batin. “Beliau bahkan merekomendasikan jika biksu ingin ke Nalanda, yang konon susah sekali, baiknya belajar dulu di Sriwijaya,” kata Shinta. Khusus pelajaran tata bahasa Sanskerta, menurut Yi Jing, jika dipelajari sejak kecil bisa mengatasi segala kesulitan mempelajari kitab-kitab Buddha Dharma. Ketika itu di Sriwijaya, dia menyontohkan untaian kisah Jataka selain dipelajari, juga dilantunkan, dan dipentaskan. “Ini menunjukkan adanya penguasaan bahasa Sanskerta sebagai bahasa lokal. Jadi kisah Jataka bisa diwujudkan dalam bentuk lain (pementasan, red. ),” kata Shinta. Dari Sriwijaya, Yi Jing diantar olah raja ke Moluoyou (Melayu). Dia tinggal di sana selama dua bulan. Dari sana dia berangkat ke Jiecha (Kedah). Dari Kedah, pada 671 M, dia mengunjungi berbagai daerah hingga tinggal di Tamralipti, pelabuhan di pantai timur India pada 673 M. Dari sana dia mencapai Nalanda. Dia menetap dan belajar di Nalanda selama sepuluh tahun (675-685 M). “Setelah mempelajari teks di sana, lalu kembali untuk kedua kalinya ke Melayu yang kemudian menurut beliau sudah jadi bagian dari Shili Foshi,” lanjut Shinta. Padahal, pada awal kedatangan Yi Jing, di catatannya dia masih menyebut nama Malayu dan belum bernama Sriwijaya. Dalam hal ini, Shinta menyebutkan pernyataan Yi Jing dalam catatannya itu cocok bila dikaitkan dengan catatan sejarah. Prasasti Kedukan Bukit mencatat tanggal sebelum akhirnya Dapunta Hyang mendirikan Kota Sriwijaya pada 16 Juni 682 M. “Jika dikaitkan dengan catatan sejarah, Prasasti Kedukan Bukit, Sri Dapunta Hyang mengadakan jaya sidayatra pawai kemenangan atas ditaklukkannya Melayu atas Sriwijaya. Ini cocok,” kata Shinta. Kedatangan Yi Jing yang kedua membuatnya menetap selama empat tahun. Pada 689 M, dia naik kapal dan bermaksud menitipkan surat untuk meminta kertas dan tinta yang akan digunakannya menyalin sutra. Namun, dia terbawa kapal itu dan tanpa sengaja kembali ke Tiongkok selama tiga bulan. Padahal, 500 ribu sloka Tripitaka yang dia bawa dari India masih tertinggal di Sriwijaya. Dia kembali ke Sriwijaya dan tinggal selama lima tahun (akhir 689-695 M). Di sana, dia bertemu biksu bernama Da Jin. Kepadanya, Yi Jing menitipkan sutra dan sastra (ulasan) sebanyak 10 jilid, Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Lautan Selatan (empat jilid), Riwayat Para Mahabiksu yang mengunjungi India dan Negeri-Negeri Tetangga untuk Mencari Ajaran di Masa Dinasti Tang (dua jilid). Pada 695 M, Yi Jing pulang dan disambut meriah oleh Wu Zetian, kaisar perempuan. Dia membawa 400 teks Buddhis, 500 ribu sloka, dan peta lokasi Vajrasana Buddha. Itu hasil berkelana selama 25 tahun dan mengunjungi 30 negeri. “Kalau Yi Jing bilang praktik Buddha Dharma di Sriwijaya sama seperti di India, maka Nalanda juga menjadi model bagi Swarnadwipa. Maka bangunannya memang mirip. Hanya iklimnya yang berbeda,” kata Agus Widiatmoko, arkeolog dari Kementerian Pendidikan dan Budaya.
- Bangkit dari Kubur
INI bukan tajuk film horor. Ini lembaran perjuangan sebuah klub sepakbola asal Italia yang pernah jaya sampai pentas Eropa lantas terjun ke jurang kebangkrutan dan kini dengan kucuran air mata, darah, dan peluh berusaha bangkit dari kuburnya, yakni Parma Calcio 1913. Kebangkitan Parma jelas membahagiakan Rengga Aven Januadi, wakil ketua Parmagiani Indonesia, komunitas fans Parma di Indonesia, dan para fans Parma lain. Dengan kembalinya Parma ke papan atas Serie A, ada asa besar dari para anggota Parmagiani Indonesia melihat klub yang mereka cintai bisa kembali mentas di Eropa. “Harapan dan target awal kalau bisa bertahan dan lolos dari degradasi. Tapi kalau permainan bisa terus konsisten seperti ini, tidak mustahil Parma bisa kembali berjaya untuk dua atau tiga tahun ke depan. Kalau boleh saya prediksi untuk musim ini akan tetap di 10 besar,” ujar Rengga kepada Historia. Jatuh-Bangun Parma Bagi penggila bola zaman now, nama Parma mungkin terdengar asing. Maklum, klub yang berbasis di Kota Parma itu lama absen dari Serie A. Padahal, Parma merupakan klub yang melahirkan banyak bintang legendaris Italia macam Gianluigi Buffon, Fabio Cannavaro, atau Gianfranco Zola. Dalam ulasannya bertajuk “The Rise, Fall and Rise Again of Parma” yang dimuat Football-Italia , 3 November 2018, Anthony Barbagallo menyebut Parma sebagai tim tersukses Italia keempat di Eropa setelah AC Milan, Inter Milan, dan Juventus. Sebagai sebuah klub, Parma berembrio dari Verdi Football Club yang lahir pada Juli 1913. Situs resmi klub menyebutkan, Verdi FC didirikan untuk memperingati satu abad kelahiran komposer kenamaan asal Parma, Giuseppe Verdi. Pada 16 Desember 1913, klub berganti kepemilikan dan berganti nama menjadi Parma Football Club. Nama lengkap klub berubah-ubah seiring pergantian pemilik, mulai dari Parma AS (Associazione Sportiva), AC (Associazione Calcio) Parmense, Parma AC (Associazione Calcio), Parma FC S.p.A., dan terakhir Parma Calcio 1913 S.r.l sampai sekarang. Sejak pertamakali promosi ke Serie A pada musim 1990-1991, Parma sulit menyandingkan diri dengan sejumlah klub besar macam Inter Milan, AC Milan, Juventus, atawa AS Roma di panggung domestik. Paling banter tiga kali menang Coppa Italia (1991-1992, 1998-1999, 2001-2002), satu Supercoppa Italiana (1999), dan sekali jadi runner-up Serie A (1996-1997). Parma memetik gelar UEFA Cup (kini Europa League) musim 1998-1999 (Foto: parmacalcio1913.com) Tapi, Parma punya gigi di pentas Eropa. Klub asal region Emilia-Romagna itu punya capaian juara Piala Winners (1992-1993), dua Piala UEFA (kini Europa League) 1998-1999, dan satu Piala Super Eropa (1993). Masa-masa indah itu harus berakhir pada 2004. Parma bangkrut setelah Parmalat SpA –perusahaan produsen susu, jus, dan saus pasta pimpinan Calisto Tanzi– selaku pemilik 98 persen sahamnya terbelit skandal finansial –dikenal sebagai Skandal Parmalat– sejak bangkrut pada Desember 2003. Kendati begitu, Parma masih mampu tampil apik dan finis di urutan kelima Serie A musim 2003-2004. Bangkrut sejak April 2004, Parma berjalan tertatih-tatih. “Klub kembali dibangun tanpa pemilik selama hampir tiga tahun untuk mempertahankan posisi mereka di Serie A sampai musim semi 2008,” ujar Leonard Jägerskiöld Nilsson dalam World Football Club Crests . Baru pada 2007 Parma diambilalih pengusaha Tommaso Ghirardi namun kehilangan tempatnya di Serie A setelah degradasi pada akhir musim 2014-2015. Selain degradasi, Parma bangkrut lagi dengan utang 218 juta euro, termasuk utang gaji pemain dan staf sebesar 63 juta euro. “Kebangkrutan Parma murni karena dari pihak klub kurang pintar mengelola, terutama pada kebangkrutan kedua karena klub terlalu banyak meminjamkan pemain ke klub lain sehingga tidak dapat membayar pajak dari pemain itu sendiri. Akhirnya berakibat kebangkrutan. Parma sampai harus turun ke Serie D,” ujar Rengga. Parma harus memulai lagi dari kasta terendah, Serie D, di musim 2015-2016 berdasarkan Statuta FIGC (induk sepakbola Italia) Pasal 52 NOIF (Norme Organizzative Interne della FIGC). Perjuangan makin berat lantaran mayoritas pemainnya pilih hengkang. Namun, kapten Alessandro Lucarelli, satu-satunya pemain lama yang tersisa, berhasil “membimbing” rekan-rekannya untuk terus menjalankan roda perjuangan Parma. Dia berhasil. Dari Serie D, Parma promosi ke Serie C pada musim 2016-2017. Setahun berikutnya Parma kembali promosi ke Serie B. Pada musim 2018-2019, tim berjuluk Ducali itu comeback ke Serie A. Di giornata (pekan pertandingan) ke-13, Minggu (25/11/2018), berbekal kemenangan 2-1 atas Sassuolo di kandang sendiri, Stadio Ennio Tardini, Parma nangkring di urutan keenam alias jatah terakhir zona Eropa (Europa League). Emosi Alessandro Lucarelli, kapten Parma nan setia kala mengantarkan Parma ke Serie A (Foto: parmacalcio1913.com) Atas loyalitas dan jasa besar Lucarelli, klub memberi penghormatan padanya dengan memensiunkan nomor punggung 6 –nomor punggung Lucarelli– ketika sang bintang pensiun 27 Mei 2018 lalu. “Lucarelli sosok pemimpin, kapten yang sesungguhnya di dunia nyata. Belum ada yang seloyal dia. Bermain tanpa digaji dan bersedia main di divisi terbawah hanya untuk membawa Parma kembali ke habitat aslinya, Serie A,” sambung Rengga. Kesetiaan Parmagiani Dinamika Parma dengan prestasinya yang yahud, terutama di kancah Eropa, menarik banyak orang untuk menggemarinya. Tak hanya di Benua Biru, tapi juga sampai ke Indonesia. Pada 12 Juli 2009, beberapa fans Parma membentuk Parmagiani Indonesia, yang kini punya lebih dari 400 anggota resmi. “Para founder : Ivan, Gama, Adit, Kamsis, sepakat membentuk komunitas dan menjaring para anggota lewat media sosial Facebook . Maka muncullah grup Facebook Parmagiani Indonesia. Nama Parmagiani diambil dari kata ‘Parmigiano’, artinya warga Kota Parma. Kita modifikasi jadi Parmagiani,” jelas Rengga. Rengga kemudian bergabung ke dalamnya di tahun yang sama. “Saya sudah suka dengan Parma sejak 1998. Mungkin bisa dibilang pas era kejayaan Parma sebelum pabrik susu Parmalat (pemilik Parma) bangkrut. Di mana Parma diperkuat banyak pemain bintang seperti Buffon, Cannavaro, (Lilian) Thuram, Juan Verón, sampai duet (Enrico) Chiesa-(Hernán) Crespo,” ujar Rengga. Ban kapten Parma yang didesain Parmagiani Indonesia (Foto: Dok. Parmagiani Indonesia) Para fans Parma tentu merasa down kala Parma terlempar ke Serie D dan harus berjuang ekstra untuk kembali ke Serie A. Tapi sebagaimana Lucarelli, mereka tetap setia. “Loyalitas kami tak pernah luntur. Kami tak pernah melewatkan laga-laga Parma via live streaming dari Serie D, lalu naik ke kasta Serie C, lalu naik kasta Serie B dan sampai sekarang penantian kami berbuah hasil karena Parma naik kasta tertinggi Serie A. Magnificent Seven (Milan, Inter, Juventus, Fiorentina, Lazio, AS Roma, Parma) era 90-an is back ,” kata Rengga. Acara-acara nonton bareng (nobar) dan kegiatan futsal laiknya komunitas-komunitas fans lain jadi rutinitas kala berkumpul. Antusiasme dan kecintaan mereka pada Parma ternyata dilirik klub. Pada Oktober 2015, perwakilan Parmagiani diundang ke homebase Parma untuk bertemu Lucarelli. “Pada laga terakhir Serie D saat Parma melawan Sammaurese, desain (ban) kapten yang dipakai Lucarelli adalah buatan kami dari Parmagiani Indonesia,” terang Rengga.
- Raja Intel Jadi Panglima ABRI
NAMA Jenderal Andika Perkasa jadi pemberitaan sepekan belakangan. Perwira tinggi bertubuh atletis ini telah dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Dia menjabat posisi orang nomor satu di jajaran TNI AD terhitung sejak 22 November 2018. Perbincangan menguar di sekitar pelantikan Andika. Sebagai lulusan Akmil angkatan 1987, Andika terbilang cepat menggapai puncak karier militernya. Pengalamannya dalam operasi militer ataupun memegang pasukan kemudian dipertanyakan. Rekam jejak Andika juga disangkut-pautkan dengan ayah mertuanya, Jenderal (purn) Hendropriyono, mantan kepala BIN (Badan Intelijen Negara) yang dekat dengan Presiden Joko Widodo. Sebagian kalangan menilai, moncernya karier Andika tak lepas dari relasi perkoncoan di Istana. Pengangkatan Andika agak mirip dengan kisah Benny Moerdani di era Orde Baru. Mereka sama-sama diragukan karena dianggap minim jam terbang memimpin pasukan. Khusus untuk Benny Moerdani, tak tanggung-tanggung. Presiden Soeharto menunjuknya sebagai panglima ABRI. Rekam Jejak Benny Bernama lengkap Leonardus Benyamin Moerdani. Sosok Benny langsung jadi sorotan saat pelantikannya sebagai panglima ABRI pada Maret 1983. Namanya melejit seketika. Sebelumnya, Benny menjabat sebagai Asisten Intelijen Pertahanan dan Keamanan merangkap Asisten Intelijen Kopkamtib sekaligus wakil kepala Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara). Sebagai perwira intel yang selalu berada di balik layar, tak banyak yang menyadari siapa dan bagaimana sosok Benny Moerdani. Soal penujukan Benny, pengamat militer Salim Said punya jawaban. “Di masa Orde Baru, aturan yang berlaku dibuat dan dipraktikkan sendiri oleh Pak Harto. Mana yang baik saja menurut Beliau,” kata Salim Said kepada Historia . Keputusan Soeharto menunjuk Benny sebagai Panglima ABRI memang memantik perdebatan. Sebagian orang menilik kendala dalam perjalanan karier kemiliteran Benny yang belum lengkap. Seperti umum diketahui, Benny minus sejumlah pengalaman keperwiraan. Benny belum punya pengalaman memimpin teritorial semisal panglima Kodam. Dia juga tanpa pengalaman sebagai pendidik dan tak pernah mengikuti Seskoad (Sekolah Komando Angkatan Darat). Nyaris seluruh pengalamannya berlangsung di pasukan khusus dan intelijen. Bahkan di bidang telik sandi Benny bisa dikatakatakan lebih ahli hingga dia dikenal sebagai Si Raja Intel. Sebagai komandan, jabatan tertinggi yang pernah dipegang Benny hanya komandan batalion sewaktu memimpin “Operasi Naga” di Papua. Operasi militer skala besar yang pernah ditangani Benny barangkali misi invasi ke Timor-Timur pada 1975. Dengan demikian, muncul sentimen seakan-akan Benny langsung meloncat dari jabatan intel ke posisi Panglima ABRI. Salah satu yang bersuara kritis adalah mantan Panglima Pangkopkamtib Jenderal (Purn.) Soemitro. Soemitro sebenarnya kurang sepakat dengan keputusan Soeharto yang mengangkat Benny menjadi Pangab menggantikan Jenderal M. Jusuf. Adalah lebih baik, menurut Soemitro, bila Benny terlebih dahulu diberi pengalaman memegang teritorial. “Saya sarankan agar Benny dijadikan dulu Pangkowilhan (Panglima Komando Wilayah Pertahanan), jangan langsung jadi Pangab (Panglima ABRI),” kata Soemitro sebagaimana dikutip Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto. “Tidak ada waktu lagi,” konon begitulah jawaban Soeharto kepada Soemitro. Panglima Pilihan Melihat rekam jejaknya, mengapa Benny yang ditunjuk sebagai panglima? Benny sendiri tak tahu-menahu alasan pengangkatan dirinya. Itu semua kembali kepada Presiden Soeharto yang punya hak prerogatif. Surat Keputusan Presiden No. 47 16 Maret 1983 menetapkan bahwa Benny memenuhi syarat untuk menjabat Panglima ABRI. “Namun sebagian pendapat melukiskan, penunjukan Benny mungkin akan bisa menjadi jembatan antara Perwira Angkatan 45 dengan generasi lulusan AMN,” tulis Julius Pour dalam Benny Moerdani: Tragedi Seorang Loyalis . Menurut Julius Pour, Benny yang sedari muda ikut memanggul senjata dalam perang kemerdekaan semasa tentara pelajar merupakan faktor yang cukup diperhitungkan. Dengan pengalaman itu, Benny menjadi figur representasi Angkatan 45 yang tersisa. Namun, Benny juga dianggap tak terpaut jauh dari perwira alumni AMN Magelang. Mereka yang tak memperoleh peluang berjuang dalam palagan era revolusi. Sebagai perwira generasi perantara, Benny menjadi pilihan terbaik yang dapat menjembatani kesinambungan dua generasi tersebut. Sementara itu, menurut Salim Said menyitir penjelasan Robert Lowry, atase militer Australia di Jakarta saat itu, pilihan Soeharto terhadap Benny punya pertimbangan pragmatis: memperkecil potensi oposan. Salah satu tugas Benny selaku Panglima ABRI adalah menghapuskan Kowilhan. Lembaga ini selama belasan tahun telah memberi tempat kepada sejumlah jenderal, laksamana, dan marsekal. Kenyatannya, setelah Benny menjabat panglima, lembaga tersebut memang dilikuidasi. Apa lacur, selama menjadi Panglima ABRI, peran Benny cukup besar menyokong kedudukan Soeharto di puncak kekuasaan. Kepentingan negara terjaga. Stabilitas politik jauh dari gaduh. Keamanan masyarakat terjamin. Termasuk membungkam mereka yang bersuara kritis terhadap pemerintah. “Buat Pak Harto, Benny Moerdani sebagai Pangab waktu itu paling aman,” ujar sesepuh TNI AD yang juga mantan Wakil KASAD (1973-74) Sayidiman Suryohadiprodjo kepada Historia . “Ya aman bagi Pak Harto terhadap pihak-pihak yang berusaha melawannya.”
- Kapan Orang Mulai Merias Mata?
ILMIAWATI Safitri, mahasiswa Universitas Gadjah Mada, mengaku bila sebelum pergi dirinya terlebih dulu selalu membedaki wajahnya dan mewarnai bibirnya dengan gincu. “Supaya nggak kelihatan pucat. Kadang lipstick kutaruh di pipi buat blushon , hahaha...” ujarnya sambil terkekeh kepada Historia . Selain merias bibir dan pipi, Mia, sapaan akrabnya, tak lupa merias matanya dengan celak ( eyeliner ). Bersama dengan bedak, riasan mata menjadi dandanan rutin bagi sebagian perempuan sebelum bepergian. Aktris Penelope Cruz dan Syahrini mungkin paling fanatik, keduanya tak pernah lepas dari riasan mata. Syahrini bahkan memperkenalkan bulu mata badai beberapa waktu lalu. Bulu mata itu bisa digunakan hanya dengan bantuan maskara, salah satu produk riasan mata berbahan kohl . Kohl merupakan bahan yang mengandung senyawa antimony (sejenis logam tak stabil yang berbentuk kristal) yang digunakan masyarakat Mesir Kuno sebagai pembuat kosemetik. Di masa inilah, menurut Sjarief Wasitaatmadja yang sejak 1970-an berprofesi sebagai dokter dan pengamat kecantikan, bukti historis tertua penggunaan kosmetik dapat dijejaki dari lukisan Ratu Cleopatra mengenakan celak dan eye shadow . Orang Meskir Kuno, terutama yang tinggal di daerah lembah, menggunakan msdmt atau kohl untuk celak. Kata “kohl ” berasal dari bahasa Arab dan ahli kohl disebut kahal . Kata inilah yang kemudian populer untuk menyebut bubuk hitam bahan dasar kosmetik mata. Sementara, orang Mesir kuno menyebut kohl dengan msdmt, cohm dalam bahasa Koptik, stimmi dalam bahasa Yunani. Lukisan-lukisan Mesir Kuno menunjukkan bahwa orang Mesir, baik lelaki maupun perempuan, biasa merias mata dengan warna hitam di bagian atas kelopak mata dan hijau di bagian bawah. Beberapa juga memilih warna abu-abu atau biru untuk mewarnai kelopak mata di bawah alis. “Warna hitam dan hijau kebiruan berasal dari batu yang ditumbuk hingga halus. Sementara warna abu-abu dan hijau perunggu diperoleh dari biji tembaga,” tulis Lawrence Charles Parish dalam “Cosmetic: A Historical Review”. Penggunaan antimoni sebagai eye shadow juga ditemukan di masyarakat Romawi Kuno. Sementara, penggunaan kohl di India sudah tercatat sejak abad ke-4. India mengekspor kohl bersama dengan minyak wijen dan ekstrak melati ke Tiongkok. Menurut Sk Cahudari dalam “History of Cosmetic”, India juga menyalurkan cengkeh, kemenyan, jahe, pala, dan nilam dari Indonesia ke Tiongkok. Penggunaan kohl yang di India disebut kajal punya sejarah panjang dalam budaya Hindu. Kohl diyakini memiliki manfaat kesehatan sehingga digunakan mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Jikalau kohl sulit ditemukan, orang India menggantinya dengan jelaga yang kadung menumpuk di dalam rumah akibat aktivitas pembakaran. Semula, kohl hanya digunakan untuk celak. Namun pada 1913, ketika ahli kimia dan parfum Perancis Eugène Rimmel merancang kuas untuk mengoleskan kohl ke bulu mata, keluarlah maskara non-toksik pertama buatan pabrik. Produk perdana ini jauh dari sempurna, berantakan saat dipakai dan hasilnya tidak selalu bagus. Namun, maskara buatan Rimmel sangat populer di seluruh Eropa. Beberapa negara bahkan masih menyebut maskara sebagai "rimmel", merujuk pada si pembuat. Meski konon celak mujarab untuk menyehatkan mata dan mengobati trachoma , hasil penelitian terkini oleh Badan Kesehatan Dunia menunjukkan bahwa kosmetik mata baik celak, maskara, atau eye shadow mengandung merkuri organik. Padahal, penggunaan merkuri untuk make up dan produk perawatan kulit (bahkan dalam lampu bohlam, baterai, dan thermometer) sudah dilarang. Namun, sampai hari ini merkuri masih terkandung dalam banyak produk riasan mata yang diperjual-belikan. Penyebabnya, para peneliti dan pembuat kosmetik belum menemukan bahan pengganti yang cukup aman yang bisa menyamai efektivitas merkuri. Dalam make up mata, merkuri berguna untuk membunuh bakteri dan jamur serta mengawetkan produk agar tetap aman dipakai walaupun sudah lama disimpan. Lantaran merkuri merupakan logam berat dan berbahaya, BPOM membatasi penggunaannya untuk kosmetik mata dengan kadar 0,007%. Sementara, Badan Keamanan Obat dan Makanan Amerika memberi batas konsentrasi hingga 65 ppm (parts per million, 65 bagian merkuri banding 1 juta bahan lain). Meski dinilai aman karena konsentrasinya sangat rendah, beberapa dokter menganjurkan ibu hamil atau orang-orang dengan kondisi imun lemah tidak menggunakan kosmetik yang mengandung merkuri. “Karena sedang hamil, aku sudah nggak pernah pakai eye liner lagi,” kata Mia.
- Wartawan Pencetus Ballon d'Or
Rasa penasaran penggila sepakbola di berbagai penjuru dunia makin meluap seiring kian dekatnya hari-H Penganugerahan Ballon d’Or 2018. Selain megabintang Cristiano Ronaldo (Portugal/Juventus) dan Lionel Messi (Argentina/Barcelona) yang masing-masing telah merebutnya lima kali, ada 28 bintang lain yang saling bersaing untuk menjadi number one . Mereka antara lain, Kylian Mbappé (Prancis/Paris-Saint-Germain), Luka Modrić (Kroasia/Real Madrid), Antoine Griezmann (Prancis/Atletico Madrid), dan Mohammed Salah (Mesir/Liverpool). Ke-30 nama itu bakal dikerucutkan jadi tiga nama finalis sekaligus ditentukan pemenangnya pada Senin (3/12/2018) mendatang di Paris. Pemenangnya ditentukan oleh vote ratusan jurnalis olahraga yang ditentukan dan masuk dalam tim jurnalis internasional yang akan dikumpulkan media Prancis, France Football . Pemenang ditentukan lewat tiga penilaian. Pertama , performa individu setahun terakhir. Kedua , talenta dan permainan fair play . Ketiga , penilaian keseluruhan karier si pemain. Capaian gol maupun gelar juara yang diraih si pemain bersama klub maupun negara tidak serta-merta menjadikannya perebut Ballon d’Or. Gabriel Hanot dan Mula Ballon d’Or Ballon d’Or atau penghargaan Bola Emas sejatinya merupakan anugerah tahunan untuk pesepakbola putra terbaik. Sebagaimana namanya, Ballon d’Or asli produk Prancis. Penghargaan ini digagas wartawan cum mantan pesepakbola Prancis Gabriel Hanot pada 1956. Maka itu penentuan pemilihan suara untuk pemenang pemain terbaiknya ditentukan oleh wartawan. Gabriel Hanot yang lahir di Arras, 6 November 1889, mulanya merupakan pesepakbola klub US Tourcoing. Bill dan William J. Murray dalam The World’s Game: A History of Soccer menyingkap, Hanot juga sempat jadi bek timnas Prancis dengan catatan 10 caps sejak 1908. Sayang, karier Hanot berakhir pada 1919 akibat cedera kaki permanen pasca-kecelakaan pesawat. Namun, passion -nya pada sepakbola tak pernah padam. Dia lalu memilih jadi wartawan olahraga. “Hanot menjadi wartawan di L’Auto , Mirroir des Sports, dan kemudian L’Equipe dan France Football ,” tulis Patrick Boudreault dalam “Saga Ligue des Champions: Gabriel Hanot, Visionnaire de Genie” yang dimuat dalam LaDepeche , 6 Agustus 2007. Hanot juga mengadvokasi liga profesional Prancis lewat Commision de Classement et de Statut Pro. “Bahkan pada 1932 Hanot ikut menggagas kejuaraan profesional Prancis (kini Ligue 1),” sambung Patrick Boudreault. Pada 1945-1949, Hanot jadi pelatih timnas Prancis. Bersama rekannya di L’Equipe, Jacques Ferran, Hanot mengagas Piala Champions (kini UEFA Champions League) pada 1955. Dengan adanya kompetisi para juara di Eropa, sang pemimpin redaksi France Football itu lalu juga melahirkan penghargaan untuk pemain terbaik Eropa, Ballon d’Or. Gabriel Hanot (kiri) menyerahkan trofi Ballon d'Or pertama pada 1956 untuk Stanley Matthews (Foto: L'Equipe) Adalah Stanley Matthews, pemain sayap Inggris yang bermain di klub Blackpool, yang jadi pemenang pertamanya, tahun 1956. Trofi penghargaan berbentuk bola berlapis emas itu diserahkan langsung oleh Hanot di Paris. Trofi itu, catat situs FIFA edisi 6 Januari 2016, didesain dan diproduksi sebuah perusahaan pembuat perhiasan legendaris yang berdiri sejak 1613, Mellerio dits Meller. Perusahaan itu pula yang membuat ulang trofi dari tahun ke tahun dengan desain dan komposisi yang sama. Trofi bola emas 18 karat itu berdiameter 31 cm dan berbobot lima kilogram. Hingga 1994, hanya pemain Eropa yang memenangkannya lantaran penghargaan ini memang dibuat khusus untuk pesepakbola Benua Biru. Namun sejak 1995, para pemain dari berbagai benua bisa mengikutinya dan bahkan memenangkannya selama berkarier di klub Eropa. Benar saja, begitu aturan baru diterapkan pada 1995, Ballon d’Or langsung direbut George Weah, pemain Liberia yang kala itu merumput di AC Milan. Ronaldo Luiz Nazario de Lima (Brasil/Barcelona) yang merebutnya pada 1997 tercatat jadi pemenang asal Amerika Latin pertama. France Football selaku penyelenggara lalu digandeng FIFA bekerjasama menghelat anugerah tahunan itu, namanya berubah jadi FIFA Ballon d’Or pada 2010-2015. Sepanjang masa ini, pemilihan pemenang tidak dimonopoli para jurnalis namun juga mengikutsertakan para kapten tim anggota FIFA. Setelah kerjasama dengan FIFA terhenti pada 2016, France Football tetap menghelat anugerah Ballon d’Or. Sementara, FIFA menghelat anugerah sendiri bernama FIFA World Player of the Year. Mulai tahun ini, Ballon d’Or tak hanya akan diberikan kepada pesepakbola putra terbaik. France Football akan membuka voting para jurnalis untuk memilih pesepakbola putri terbaik. Lucy Bronze (Inggris/Olympique Lyon), Pernille Harder (Denmark/VfL Wolfsburg), Saki Kumagai (Jepang/Lyon) dan 12 pemain putri/kandidat lain bersaing untuk menjadi yang terbaik.
- Catatan Perjalanan Haji Muslim Nusantara
Orang-orang Nusantara sudah banyak yang memeluk Islam. Kesultanan Islam telah dikenal dunia. Namun, hingga dua abad setelahnya tak diketahui apakah sudah ada yang pernah naik haji ke Makkah. Kisah tertulis pertama tentang orang Melayu atau Nusantara yang berhaji baru muncul pada akhir abad ke-15 M, yaitu Hang Tuah yang ceritanya dikenal sekira 1482 M. “Hang Tuah tokoh tersohor di Malaka. Ini masa akhir kehidupan Malaka sebagai kesultanan dan 30 tahun sebelum direbut Portugis pada 1511,” kata Henri Chambert-Loir, peneliti di Ecole Française d’Extrême-Orient (EFEO), dalam acara Borobudur Writers Cultural and Festival ke-7, di Hotel Manohara, Magelang, Jumat (23/11). Namun, kisah Hang Tuah ini pun terbukti mendapat tambahan dalam tubuh ceritanya. Adegan ini, menurutnya, dipinjam dari teks Arab. “Ini artinya bukan orang Nusantara atau Hang Tuah yang pergi ke Makkah,” ujarnya. Menafikan Haji Anehnya lagi, menurut Henri, catatan perjalanan naik haji berikutnya umumnya negatif. Beberapa tokoh utama menafikan manfaat naik haji. Contohnya kisah tentang dua orang sultan Malaka. Pertama, sultan yang berkali-kali ingin naik haji, tapi keburu meninggal sebelum naik haji. Sultan kedua secara gamblang menafikan ketinggian Makkah atas Malaka. Dia juga secara tersirat menafikan kesahan ibadah haji ke Makkah. Berita itu datang dari penjelajah asal Portugis, Tome Pires dalam catatannya, Suma Oriental. Sultan yang dimaksud adalah Sultan Mahmud Syah (1488-1511). “Dia begitu pongah keterlaluan dan takabur tentang ini sampai dia membanggakan diri sedemikian berkuasa hingga dapat menghancurkan bumi dan dunia memerlukan pelabuhannya sebab letaknya di ujung musim, dan Malaka akan dijadikan Makkah, dan dia tak berpegang pada pendapat ayah dan kakeknya mengenai pergi ke Makkah,” catat Pires. Tokoh yang senada adalah Hamzah Fansuri, penyiar sufi agung dari pelabuhan Barus. Dia pernah naik haji seperti disinggungnya dalam syair: Di dalam Makkah mencari tuhan di Bait al-Ka’bah/ Di Barus ke Kudus terlalu payah/ Akhirnya dapat di dalam rumah. Ini artinya, kata Henri, Hamzah Fansuri pergi ke Makkah, menjalankan ritual haji, mencari Tuhan di dalam Masjidil Haram, tetapi merasa justru menemukan Tuhan di dalam dirinya sendiri. Bait ini, termasuk wacana yang meremehkan peran haji dalam kehidupan seorang muslim, khususnya aliran tasawuf. “Tuhan tak perlu dicari di Makkah, adanya di dalam diri sang sufi,” kataHenri. Lalu pada awal abad ke-17 M, cerita datang dari seorang ulama tersohor, Syeikh Yusuf Makassar. Dia kemudian menjadi qadi di Kesultanan Banten pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683). Kisah ini, kata Henri, ditemukan dalam naskah Bugis, Riwakna Tuanta Salamaka ri Gowa. Syeikh Yusuf naik kapal. Di tengah pelayaran, dia berjumpa Nabi Khidir. Syeikh Yusuf dinasihati supaya tak perlu pergi ke Makkah. Kata sang nabi, tak ada yang bisa dipelajari di situ. Namun, Syeikh Yusuf tetap pergi ke Makkah. Setibanya di sana, dia melakukan berbagai keajaiban yang memperlihatkan kelebihannya atas penduduk Haramain. Dalam sejarahnya, menurut Henri, tak ada satu pun raja atau sultan Indonesia naik haji kecuali Sultan Pontianak pada 1800 M. Namun dia pun bukan orang Nusantara, melainkan Arab. “Barangkali ini disebabkan karena raja-raja Indonesia tak mau mengakui kelebihan negara lain,” ucap Henri. Kendati begitu, beberapa raja dari Banten, Mataram, dan Makassar mengirim utusan ke Makkah untuk memohon gelar sultan. Beberapa sultan juga mendirikan rumah pemondokan di Makkah dan Mina untuk calon haji dari kerajaan mereka. Kebiasaan Menulis Sulitnya menemukan catatan perjalanan orang Nusantara pergi haji, bukan berarti tak pernah ada yang berhaji. Pasalnya, kebiasaan menulis catatan harian atau catatan perjalanan memang bukan menjadi kebiasaan orang Melayu atau Nusantara. “Menulis tentang diri sendiri bukan budaya Indonesia. Ini baru muncul pada abad ke-19 karena pengaruh Eropa,” kata Henri. Dengan demikian kisah orang Melayu naik haji baru muncul lama sekali setelah Islam masuk ke Nusantara. Kisahnya muncul dalam Tuhfat al-Nafis oleh Raja Ahmad, bangsawan keturunan Bugis dari Riau. Tulisannya itu dibuat pada 1860-an. Sementara dia naik haji pada 1828. “Dia tidak menyebut mau menunaikan rukun Islam, tapi membayar nazar yang diucapkannya waktu sakit,” ujar Henri. Adapula kisah haji dalam Perjalanan Saya ke Makkah karyaR.A.A. Wiranatakusumah, yang saat itu menjabat bupati Bandung. “Salah satu kisah tentang naik haji paling menarik,” kata Henri. Lalu 40 tahun kemudian muncul semakin banyak kisah haji. Ada sembilan kisah, dari Hamka, Ali Hasjmy, Rosihan Anwar, dan Asrul Sani. Pada 1965, kisah haji terbit dalam jumlah lebih banyak lagi, sampai puluhan judul. Oman Fathurachman, filolog UIN Syarif Hidayatullah menambahkan, baik penceritaan pengalaman berhaji yang ditulis orang Nusantara maupun bangsa lain punya ciri masing-masing. “Jadi orang-orang Nusantara juga naik haji dan menuliskannya, tapi karakternya sangat berbeda,” ujarnya. Penjelajah asing, seperti Ibn Battutah menulis pengalaman perjalanan dengan kebiasaan mendeskripsikan yang dia lihat. Sementara orang Nusantara lebih menerangkan pengalaman spiritual, kondisi perjalanan haji, seperti kondisi kapal dan pengalaman rohaninya. “Itu yang menonjol. Jadi kita tidak lihat apa yang mereka lihat di sana, orang Arabnya bagaimana, dan lain-lain. Mungkin karena tak begitu paham bahasanya,” ujar Oman.
- Dari Kota Satria ke Formosa
GOR PB Djarum di bilangan Slipi, Jakarta Barat siang, 25 Oktober 2018, itu tengah sepi. Di pojok sejumlah lapangan bulutangkisnya terdapat sebuah ruangan kecil yang hanya berisi tiga meja dan kursi namun penuh arsip dan dokumen administratif. Di ruangan itulah Historia menanti salah satu maestro bulutangkis 1990-an Fung Permadi. Fung akhirnya datang 5-10 menit kemudian. Mengenakan batik biru dengan jaket hitam bercorak kuning, pria ramah itu menebar senyum. Sapa hangat pria kurus yang rambutnya sudah memutih itu mengiringi jabat tangan. Sejak 2007, Fung dipercaya PB Djarum jadi kepala pelatih. PB Djarum juga menjadi induk semang karier bulutangkis pria bernama asli Chen Feng itu. Fung mengakui, bulutangkis mulanya sekadar jadi penyaluran hobi pada masa kecilnya di Kota Satria, julukan Kota Purwokerto, Jawa Tengah. “Tidak ada dari keluarga saya yang senang olahraga, tidak ada juga darah bulutangkis. Hanya memang saya waktu kecil diperkenalkan bulutangkis dari tante saya. Hanya untuk penyaluran (kegiatan/hobi) saja,” tutur pria kelahiran Purwokerto, 30 Desember 1968 itu kepada Historia. Seperti kebanyakan anak-anak usia 12 tahun di Purwokerto, Fung kecil menggemari sepakbola. “Ya biasa main bola di jalanan sehabis sekolah,” ujarnya. Selain itu, dia juga hobi nonton tinju. “Hampir selalu juga kalau ada tayangan tinju Muhammad Ali di TV, sering bolos sekolah malah.” Namun, hobi-hobinya itu diprotes keluarga. “Pulangnya malam terus. Lalu disarankan tante saya, Marisa, untuk coba bulutangkis. Dari coba-coba itu akhirnya saya memutuskan untuk lebih serius dengan bulutangkis dengan ikut sebuah klub,” lanjutnya. Di usia SMA, Fung menjuarai bebeapa kejuaraan lokal. Dari situlah Fung mulai kenal dengan beberapa pelatih PB Djarum. Ketertarikannya untuk masuk PB Djarum juga terdorong oleh beberapa rekan seangkatannya di klub asalnya. “Ada beberapa teman angkatan saya, dua-tiga orang, sudah masuk PB Djarum duluan. Lalu saya juga menyusul, mengajukan diri. Sempat ikut tes dulu dalam sebuah kejuaraan di Solo, setelah itu baru diterima di PB Djarum pada September 1983,” kenangnya. Pengalaman berbeda dirasakan Fung setelah masuk PB Djarum, yang mengharuskannya beradaptasi dengan kebiasaan-kebiasaan baru di asramanya di Kudus. “Di PB Djarum fasilitasnya sudah lebih mendukung, lebih lengkap dari klub asal saya di Purwokerto. Selain asrama, pelatih-pelatihnya juga sudah banyak menelurkan pemain-pemain Indonesia yang berprestasi di tingkat internasional, seperti Liem Swie King, Hastomo Arbi, Hadi Bowo Susanto,” kata Fung menambahkan. Selain bebas iuran, di PB Djarum pendidikan Fung juga dijamin. “Untuk sekolah, kita disekolahkan di SMA Keluarga Kudus yang letaknya dekat dengan asrama. Jadi jam 7 pagi sekolah sampai jam 1 siang. Lalu jam 3 sore latihan fisik sampai jam 5. Besoknya sekolah lagi dan begitu saja rutinitasnya. Sabtu hanya latihan fisik, Minggu baru libur.” Namun, jauh dari orangtua membuat Fung acap didera homesickness . “Kangen keluarga pasti. Saya hanya bisa pulang kalau ada jeda pertandingan panjang dan libur sekolah,” ujarnya. Namun, itu hanya satu dari sekian hambatan yang mesti dilalui Fung sebagai konsekuensi memilih bulutangkis sebagai jalan hidupnya. Hijrah ke Formosa Karier Fung di tunggal putra perlahan menanjak. Pada 1986, Fung ditarik ke Pelatnas. Tiga tahun kemudian, Fung menjuarai tiga kejuaraan internasional: Canadian Open, Polish Open, dan German Open. Fung pun dipercaya menjadi bagian skuad Thomas Cup 1990, di mana Indonesia harus puas sebagai semifinalis. Dia kemudian menjuarai Swiss Open tahun 1993. Namun, pada 1995, Fung hijrah ke Pulau Formosa, pulau utama Republic of China atau sohor disebut Taiwan. Alasannya, Fung kurang mendapat kesempatan tampil di kejuaraan mancanegara sebagai atlet pelatnas. Fung tersisih dari sejumlah bintang bulutangkis Indonesia lain macam Alan Budikusuma, Joko Supriyanto, Ardi B. Wiranata, dan Hariyanto Arbi. Mulanya, Fung ingin ke Australia, tapi kesulitan cari sponsor. Dia lantas memutuskan ke Taipei sembari menjenguk ibunya. Beruntung dia bisa bergabung ke sebuah bank yang mendirikan sebuah klub. Hal itu membuat Fung jadi satu dari sedikit pebulutangkis paling awal yang kariernya bermain untuk dua negara –Indonesia dan Taiwan. Langkah Fung kemudian diikuti antara lain oleh Tong Sinfu (Indonesia, China), Mia Audina (Indonesia, Belanda), dan Tony Gunawan (Indonesia, Amerika Serikat). Mengutip situs BWF (Federasi Bulutangkis Dunia), Fung bertarung di bawah panji China Taipei/Taiwan sejak 1995 hingga 2002. Tidak hanya di berbagai kejuaraan terbuka, tetapi juga Olimpiade (2000) dan Asian Games (2002). “Makanya sebenarnya ketimbang di sini, nama saya lebih dikenal di sana (China Taipei). Karena 10 tahun lebih saya di sana jadi pemain sampai pensiun,” kata Fung. Sebagai pemain China Taipei, Fung lebih bergelimang gelar juara. Dia menjuarai Hong Kong Open 1996, Chinese Open 1996, Korea Open 1999, Chinese Taipei Open 1999, dan Swiss Open 1999. Namun, kata Fung, “Buat saya yang tertinggi adalah menjadi finalis Kejuaraan Dunia 1999. Di final saya kalah dari pemain China Sun Jun.” Fung menutup kariernya pada 2005. Hingga setahun setelah pensiunnya, dia jadi pelatih tunggal putra China Taipei. Pada 2007, Fung kembali ke Indonesia untuk menjadi pelatih kepala PB Djarum.
- Jalan Berliku Menuju Kongres Kebudayaan Pertama
KENDATI dipercaya menjabat ketua Panitia Kongres Bahasa Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda, Pangeran Prangwadono (kemudian menjadi Mangkunegoro VII) tak terlalu acuh. Bersama beberapa anggota Boedi Oetomo (BO) cabang Surakarta, dia –yang sejak awal menggagas agar diadakan pembahasan kebudayaan dalam bentuk kongres– justru lebih antusias membahas hal lebih besar. “Mereka berpendapat bahwa yang perlu diselenggarakan bukan Kongres Bahasa Jawa seperti yang dikehendaki pihak Batavia, tetapi Kongres Kebudayaan untuk memperbincangkan masalah kebudayaan Jawa,” tulis Nunus Supardi dalam Bianglala Budaya: Rekam Jejak 95 Tahun Kongres Kebudayaan 1918-2013 . Pemerintah pusat di Batavia sebelumnya memutuskan membuat Kongres Bahasa Jawa. Gagasannya datang dari teosof terkemuka Van Hinloopen Labberton. Keseriusan pemerintah dibuktikan dengan dibentuknya panitia yang anggotanya antara lain Dr. Hoesein Djajadiningrat, sejawaran dan doktor bumiputra pertama lulusan Leiden Universiteit; Dr. FDK Bosch, dan Dr. B. Schrieke, plus Dr. Hazue sebagai anggota kehormatan. Mereka lalu menunjuk Prangwadono menjadi ketua kongres. Namun, Prangwadono dan para kaum terpelajar BO Surakarta telah bertekad membuat kongres kebudayaan Jawa sehingga tak acuh pada keinginan pemerintah. Kegigihan mereka membuat pemerintah mengalah. “Pihak Batavia memutuskan untuk membiarkan para anggota BO di Surakarta mengambil langkah sendiri dalam mengatur penyelenggaraan kongres. Akhirnya mereka menyelenggarakan Kongres Kebudayaan Jawa dan bukan Kongres Bahasa Jawa.” Sarat Debat Izin pemerintah menjadi dasar para intelektual BO Surakarta membentuk panitia kongres. “Pelaksanaan dan organisasinya diserahkan selanjutnya kepada satu panitia tersendiri, lepas dari Budi Utomo,” ujar Margono Djojohadikusumo, ayah begawan ekonomi Soemitro Djojohadikusumo, yang hadir di kongres tersebut, dalam memoar berjudul Kenang-Kenangan dari Tiga Zaman: Satu Kisah Kekeluargaan Tertulis . R. Sastrowidjono dipercaya menjadi ketua panitia itu. Namun, perdebatan mengiringi persiapan kongres. Sebagian golongan menghendaki kehadiran para intelektual Eropa dalam kongres yang akan dihelat. Kubu lain justru menolak dengan alasan tak ingin orang asing mencapuri kebudayaan Jawa. Pada rapat kedua, kedua kubu sepakat menolak kehadiran intelektual Barat. Perdebatan baru selesai ketika semua sepakat pada saran Prangwadono. Dia mengusulkan, intelektual Eropa sebaiknya diizinkan terlibat dalam kongres tetapi sebatas sebagai penasihat –meski realitasnya para intelektual Barat di kongres kemudian ada yang menjadi pemrasaran. Silang pendapat kedua terjadi ketika pembahasan topik kongres. Dr. Radjiman Wedyodiningrat bersikukuh agar kongres membahas tentang pendidikan yang menitikberatkan pada pendidikan kebudayaan asli Jawa. Pandangan itu dengan tegas ditolak Sastrowidjono sang ketua panitia yang justru menitikberatkan pada pendidikan Barat. Prangwadono dan Wuryaningrat memilih pendidikan Barat dan Jawa sekaligus. Kehadiran Hoesein Djajadiningrat, doktor bumiputra pertama lulusan Leiden Universiteit pertama, di dalam persiapan itu makin menambah sengkarut. Putra bupati Banten itu mengarahkan agar kongres tak hanya memperbincangkan budaya Jawa. Kompromi akhirnya dicapai setelah Prangwadono menyarankan agar topik kongres diperuas. Kongres, kata Prangwadono, sebaiknya membahas masalah bagaimana memajukan kebudayaan Jawa. Dengan begitu, peran pendidikan dalam memajukan kebudayaan tetap termuat di dalamnya. Sementara, arahan Hoesein Djajadiningrat membuat peserta kongres datang dari beragam etnis, bukan hanya orang Jawa. Setelah melalui jalan berliku penuh perdebatan, panitia pun memutuskan kongres dihelat pada 5-7 Juli 1918 di bangsal Kepatihan Keraton Surakarta. Sembilan orang (lima intelektual Jawa dan empat intelektual Belanda) dipilih menjadi pemrasaran. Kongres tersebut, yang akan dihadiri para pemrasaran berkapasitas dan peserta berintegritas, akan menghadirkan perdebatan ilmiah pertama yang melibatkan intelektual bumiputra, terutama antara Soetatmo dan Tjipto Mangoenkoesoemo. “Jika ditinjau kembali, debat itu sesungguhnya mempunyai jangkauan yang lebih luas daripada jangkauan debat pada waktu berdirinya Volksraad, terutama karena dalam perdebatan itu Tjipto dan Soetatmo Soerjokoesoemo membahas masalah bagaimana menempatkan makna pergerakan dalam sejarah dan kebudayaan Jawa dan bagaimana sikap di alam pergerakan, justru di masa pergerakan sedang bergejolak kembali. Memang, pada tahun 1918 pergerakan berada pada satu titik yang menentukan,” tulis Takashi Shiraishi dalam “’Satria’ vs ‘Pandita’, Sebuah Debat dalam Mencari Identitas”, dimuat dalam Indonesia dalam Kajian Sarjana Jepang yang dieditori Akira Nagazumi. ( Bersambung )
- Gerakan Menentang Pembangunan TMII
Menjelang pengujung 1971, Ibu Tien Soeharto menyita perhatian masyarakat. Dia mengumumkan rencana pembangunan Miniatur Indonesia Indah (MII), sebuah taman besar representasi kebudayaan dari 26 provinsi di Indonesia. Dia memperkirakan pembangunan MII akan berbiaya Rp10,5 miliar. Pengumuman Ibu Tien bikin bingung masyarakat. Sebab sebelum Ibu Tien mengumumkan rencana pembangunan MII, Presiden Soeharto, sekaligus suami Ibu Tien, berpidato tentang anjuran hidup prihatin. “Jangan melakukan pemborosan-pemborosan, karena sebagian besar rakyat masih hidup miskin,” kata Soeharto, dikutip Mahasiswa Indonesia , 5 Desember 1971. Soeharto juga menekankan bahwa segala rencana pembangunan hendaknya berlandas pada skala prioritas. “Marilah kita menggunakan dana dan kemampuan yang kita miliki sekarang hanya bagi usaha-usaha yang perlu dalam rangka mencapai kemajuan,” lanjut Soeharto. Gerakan Menentang TMII Sebagian masyarakat menganggap rencana pembangunan MII bertolak belakang dengan anjuran hidup prihatin dari Presiden Soeharto. Mereka menyebut rencana pembangunan MII serupa dengan proyek mercusuar. Tidak punya banyak manfaat untuk masyarakat dan justru mengingatkan mereka pada proyek mercusuar garapan Bung Karno pada era Orde Lama. “Sama sekali tak bisa dikatakan bahwa proyek MII memang menduduki tempat teratas dalam skala prioritas pembangunan sehingga begitu urgen untuk diwujudkan sekarang juga,” catat Mahasiswa Indonesia , 9 Januari 1972. Suara menentang rencana pembangunan MII berasal dari kelompok mahasiswa di Medan, Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Malang. “Sebagai protes terhadap apa yang mereka anggap penghamburan yang tidak dapat diterima karena terbatasnya kemampuan keuangan negara, maka para mahasiswa di Bandung dan Jakarta membuat berbagai gerakan ad-hoc dengan nama yang lucu seperti Gerakan Penghematan, Gerakan Akal Sehat (GAS), dan Gerakan Penyelamat Uang Rakyat,” ungkap Francois Raillon dalam Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia . Kelompok penentang pembangunan MII berupaya menekan gagasan Ibu Tien dengan dua cara: demonstrasi dan diskusi. Gerakan Penghematan (Gepeng) mendatangi kantor pemerintah terkait pembangunan MII, sedangkan Gerakan Penyelamat Uang Rakyat menyambangi sekretariat Yayasan Harapan Kita (YHK) dan membentangkan spanduk “Sekretariat Pemborosan Uang Negara” pada 23 Desember 1971. Tak lama setelah aksi bentang spanduk, sekelompok orang sekonyong-konyong muncul membawa senjata tajam. Mereka menyerang anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat. Satu orang anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat lunglai, kena bacok. Kemudian suara tembakan terdengar. Kaca sekretariat YHK pecah dan seorang lagi anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat roboh. Peluru bersarang di pahanya. Penyerangan terhadap anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat menambah gelombang protes mahasiswa terhadap rencana pembangunan MII. Antara lain dari organisasi Perhimpunan Mahasiswa Katolik Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam, Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia, dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia. Empat organisasi mahasiswa tersebut turun ke jalan, menuntut polisi mengusut penyerangan terhadap anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat, dan meminta pemerintah menimbang ulang proyek MII. Sekelompok mahasiswa Universitas Indonesia turut menyatakan simpatinya atas kasus penyerangan terhadap anggota Gerakan Penyelamat Uang Rakyat. Mereka bergerak ke kediaman Ibu Tien dan Presiden Soeharto di Jalan Cendana, Jakarta, pada 27 Desember 1971. Mahasiswa ingin berdialog dengan Ibu Tien dan Presiden Soeharto mengenai rencana pembangunan MII. Tapi keinginan mereka tak terwujud. Petugas keamanan berjanji meneruskan aspirasi mereka ke Ibu Tien dan Presiden Soeharto. Memberangus Pengkritik Di Bandung, jalanan sepi dari aksi mahasiswa. Tetapi ruang-ruang kelas di universitas ramai oleh seminar dan diskusi tentang rencana pembangunan MII. GAS, salah satu gerakan ad-hoc penentang MII di Bandung, menghadirkan pembicara dari kalangan teknokrat, birokrat, pemimpin redaksi media massa, dan intelektual. Diskusi berlangsung secara lepas dan tanpa ketegangan. Memasuki awal tahun baru 1972, rencana pembangunan MII termuat di sejumlah media mancanegara. The Evening Star , surat kabar di Washington AS, menyorot keterlibatan batalion zeni ABRI dalam pembangunan MII. “Yang normalnya bekerja untuk operasi karya seperti pembangunan jalan, kini akan menjadi sukarelawan untuk merambah proyek ini,” demikian catat The Evening Star , 3 Januari 1972, seperti diulas Mahasiswa Indonesia , 16 Januari 1972. Awal tahun baru juga ditandai dengan kian lantangnya suara gerakan-gerakan penentang MII. Latar belakang gerakan penentang juga makin bertambah. Tak lagi hanya berasal dari mahasiswa, tetapi juga dari kalangan seniman dan intelektual seperti W.S. Rendra, Arief Budiman, H.J.C. Princen (Poncke), dan Mochtar Lubis. “Taufan protes-protes terhadap proyek mini Indodnesia telah berhembus ke segenap penjuru tanah air kita,” tulis Mochtar Lubis di Indonesia Raya , 13 Januari 1972, termuat dalam Tajuk-Tajuk Mocthar Lubis Seri 1 . Aksi-aksi jalanan dan diskusi gerakan penentang MII mulai dapat tanggapan dari presiden. Dia menilai aksi dan diskusi dari para penentang MII tidak substansial, agresif, dan keluar batas. Dia menduga ada "Mister X" yang punya tujuan lain di balik protes terhadap pembangunan MII. “Saya tahu bahwa ada kelompok tertentu yang ingin menjadikan proyek yang kami cita-citakan itu sebagai satu issue politik. Mereka mencari kesempatan untuk bisa mengganggu kestabilan nasional,” kata Soeharto pada 6 Januari 1972, dalam Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya . Soeharto memperingatkan gerakan penentang MII agar tidak berperilaku di luar batas. Dia akan menghantam gerakan itu jika berniat menggulingkan kekuasaannya. “Yang memakan kedok demokrasi secara berlebih-lebihan akan ditindak. Kalau ada ahli hukum yang mengatakan tidak ada landasan hukum, demi kepentingan negara dan bangsa, saya akan gunakan Supersemar,” kata Soeharto dikutip Mahasiswa Indonesia , 9 Januari 1972. Ancaman Soeharto mewujud jadi tindakan nyata pada 17 Januari 1972. Letjen TNI Soemitro, Wakil Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Wapangkopkamtib), melarang semua aktivitas gerakan anti-MII. Petugas juga menahan beberapa tokoh penentang MII seperti Arief Budiman dan Poncke. “Kenapa dilarang, alasannya adalah karena katanya mereka-mereka itu dengan nyata telah melakukan kegiatan-kegiatan yang dinilai sebagai ancaman serius bagi keamanan dan ketertiban umum, demokrasi menurut UUD '45 serta wibawa pemerintah dan stabilitas pemerintah,” tulis Mahasiswa Indonesia , 23 Januari 1972. Pelarangan terhadap aktivitas gerakan penentang MII mengalihkan saluran protes ke DPR. Anggota gerakan penentang MII meminta anggota parlemen membahas rencana pembangunan MII. Lampu Hijau dari Parlemen DPR kemudian membentuk panitia khusus MII. Panitia ini lalu memanggil tokoh-tokoh penentang MII, perwakilan pemerintah dan YHK. Mereka duduk bersama membahas sisi positif dan negatif pembangunan MII selama Maret 1972. Rapat pembahasan itu berkeputusan bahwa YHK boleh melanjutkan pembangunan MII. “Proyek itu boleh diteruskan dengan syarat tidak boleh menikmati fasilitas keuangan negara dan juga tak ada sumbangan wajib,” catat Raillon. DPR meminta pemerintah membentuk badan pengawas untuk mengawasi aliran dana dan pembangunan MII. Di dalamnya termasuk tokoh budayawan dan intelektual. Sejak itulah suara protes terhadap MII menjadi senyap. Batu pertama pembangunan MII diletakkan pada 30 Juni 1972. Dan pada 20 April 1975, MII resmi dibuka dengan nama Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Tepat sehari sebelum hari Kartini. Dalam album Kenang-Kenangan Peresmian PembukaanTaman Mini Indonesia Indah 20 April 1975, Ibu Tien hari itu kelihatan berwajah sangat cerah. Dia banyak melempar senyum. Berpidato di hadapan tamu undangan peresmian TMII, Ibu Tien sempat menyatakan terima kasih kepada para penentang gagasannya. “Karena ketidaksetujuan mereka sebenarnya ingin mengingatkan kami agar kami tidak berbuat salah. Dan dengan begitu mendorong kami untuk bekerja lebih berhati-hati,” kata Ibu Tien. Soeharto juga mengungkapkan rasa gembiranya dengan maujudnya TMII. Pengunjung memadati TMII setelah hari peresmian. Hari demi hari, kunjungan warga terus meningkat. Seraya itu pengelola melanjutkan pembangunan TMII tahap kedua. Soeharto kini balik mengejek pengkritiknya. “Kenyataan, sekian tahun kemudian, menunjukkan bahwa setelah Taman Mini Indonesia Indah itu jadi, pengkritik-pengkritik itu akhirnya mengakui manfaatnya,” kata Soeharto. Tak bisa dibantah bahwa sekarang TMII telah menjadi tujuan wisata favorit di Jakarta. Dan satu lagi yang tak bisa dielakkan pula, ia juga telah menjadi catatan sejarah tentang bagaimana rezim Orde Baru bersikap terhadap pengkritiknya.
- Mempertanyakan Kembali Teori Islamisasi di Nusantara
SULIT menyepakati Barus sebagai titik nol Islam masuk ke Nusantara. Pun soal Islam pertama masuk ke Nusantara pada abad ke-7 M. Azyumardi Azra, guru besar sejarah UIN Syarif Hidayatullah, mengatakan klaim yang selama ini disuarakan sebenarnya tak berbukti. "Ada klaim Islam masuk pada 7 M, pada abad pertama Hijriah, tapi tak ada buktinya," kata Azra dalam acara Borobudur Writers Cultural Festival ke-7, di Hotal Manohara, Magelang, Jumat (23/11). Azra tak ragu kalau orang Islam sudah datang sejak abad pertama Hijriah. Tak cuma orang Islam, orang Yahudi pun sudah datang. Namun, tak jelas, apakah Islam hanya datang atau mengislamkan penduduk lokal. “Kalau saya ya mulai akhir abad ke-12 M (proses Islamisasi berlangsung, red. ),” kata Azra. Azra pun menyebut periwayatan penjelajah muslim, al-Ramhurmuzi dalam kitab Ajaib al-Hind yang ditulis sekira 390 H (1000 M). Di dalamnya berisi tentang kunjungan para pedagang muslim di Kerajaan Zabaj (Sriwijaya). Dengan adanya orang muslim di Sriwijaya mengindikasikan Islam sudah ada di Nusantara pada abad ke-10 M. “Tapi nampaknya muslim itu orang asing," kata Azra. "Sebaliknya tak ada indikasi kalau penduduk lokal telah masuk Islam apakah dalam jumlah kecil, apalagi massal." Menurut Azra, bukti yang tak diragukan adalah munculnya Kesultanan Samudra Pasai. Keberadaan kerajaan ini salah satunya muncul dalam catatan penjelajah asal Maroko, Ibn Battutah yang melawat ke Nusantara pada 1345. Dia sempat singgah di Samudra Pasai selama 15 hari. Waktu itu, sultan yang berkuasa adalah Malik al-Zahir II (133?-1349) “Tidak diragukan pelawat muslim di Nusantara, Ibn Battutah sampai ke Samudra Pasai. Ini bukti kuat wilayah terawal Islamisasi di Nusantara,” ujar Azra. Kendati begitu, pada masa Samudra Pasai pun mayoritas rakyatnya belum memeluk Islam. Proses Islamisasi masih berlangsung. “Sultan sering berperang menghadapi mereka (orang-orang yang belum menerima Islam, red. ),” tulis Ibn Battutah dalam catatannya. Taufik Abdullah, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, juga mempertanyakan konsep yang jelas soal proses Islamisasi. “Sudah pasti saya tak ragu pada abad pertama Hijriah sudah ada orang Islam ke sini. Tapi apakah artinya kalau saya ke Amerika saya mengislamkan Amerika?” ujarnya. Sejauh ini yang diklaim sebagai bukti terawal Islam di Nusantara adalah makam Fatimah binti Maimun yang berangka tahun 1082 M. Padahal, menurut Taufik, itu tak langsung membuktikan kalau orang Nusantara sudah diislamkan. “Di Tiongkok sana abad ke-10 M melarang kapal-kapal Arab datang," kata Taufik. "Jadi, mereka berkeliaran ke sini. Ya, wajar abad ke-11 M sudah ada orang Islam yang meninggal di sini." Bukan Pedagang Soal pelaku Islamisasi di Nusantara, Azra membantah jika dilakukan oleh pedagang Gujarat. Ada teori lain yang menurutnya lebih memungkinkan. Dalam periwayatan al-Ramhurmuzi, misalnya, disebutkan raja Sriwijaya pernah mengirimkan surat kepada dua raja Arab: Khalifah Muawiyah ibn Abi Sufyan, pendiri Dinasti Umayyah (661-680 M), dan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz, Khalifah Bani Umayyah (717-720 M). Kedua surat itu ditemukan sastrawan al-Jahiz di arsip Dinasti Umayyah. Isinya, maharaja Sriwijaya meminta raja Arab mengirim guru untuk mengajar Islam di Sriwijaya. Tak diketahui apakah masing-masing raja Arab itu memenuhi permintaan maharaja Sriwijaya. Belum ada buktinya. Yang jelas, kata Azra, kedua surat ini menunjukkan kalau para pelaut, pedagang muslim pendatang tidak memperkenalkan Islam kepada maharaja Sriwijaya. “Sehingga dia (maharaja Sriwijaya, red. ) merasa perlu meminta guru yang mengajarkan Islam,” kata Azra. Azra lebih melihat peran pengembara sufi sebagai agen penyebar Islam di Nusantara. Kalau di Jawa ada Wali Songo. Sementara di wilayah timur, ada tokoh yang dikenal dengan Tiga Datok. “Orang Sulsel (Sulawesi Selatan) juga mengklaim Tiga Datok yang sama. Setelah puas di NTB mereka berlayar ke Sulsel. Ini juga munculnya setelah abad ke-12 M, pasca Imam al-Ghazali,” kata Azra. Ditambah lagi negeri Gujarat sebelum abad ke-13 M masih merupakan negara Hindu. Mereka bermusuhan dengan Islam. “Kalau ada orang Islam datang diusir,” tegas Azra. Menurut Azra, para pedagang muslim bukanlah yang mengajarkan Islam ke raja. Padahal kala itu peranan kesultanan begitu penting dalam proses penyebaran paham tertentu ke rakyat. “Memang ada pelaut muslim tapi tidak ada konversi Islam dari pedagang. Tak ada buktinya. Teori ini harus ditolak,” ujar Azra. Teori Mata Air Terkait masuknya Islam ke Nusantara, Azra mengajukan teori yang disebut seperti mata air. Artinya, sumber kedatangan ajaran Islam bisa dari berbagai tempat seperti sumber-sumber mata air. “Memang semua ada indikasinya. Kita tak bisa mengklaim Islam hanya dari Gujarat. Dari Mesir ada, Irak, Tiongkok juga ada,” kata Azra. Azra menilai teori sejarawan Slamet Muljana cukup masuk akal terkait Islam di Tiongkok dan pengembaraan pelayar Tiongkok muslim ke Indonesia. “Ditambah kita wilayah maritim tempat terjadinya persilangan budaya yang bisa datang dari mana saja,” ujarnya. Terkait klaim-klaim Islamisasi di Nusantara, menurut Azra, karena sejarah lebih sering menjadi ranah kontestasi. Kontestasi ini disebabkan kepentingan ideologi. “Itulah sejarah sebagai ideologi. Ada kontestasi terhadap sejarah,” tegasnya.
- Ahmad Yani, Sang Flamboyan Pilihan Sukarno
PAGI sekali, Mayor Jenderal Ahmad Yani berangkat ke Istana Negara. Dia naik mobil bersama sopirnya, Hasan. Istri dan anak-anak Yani menanti di rumah dengan perasaan berdebar-debar. Hari itu 23 Juni 1962, Yani akan dilantik oleh Presiden Sukarno sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). “Hari itu adalah hari yang paling bahagia bagi kami sekeluarga,” kenang Amelia Yani, salah seorang putri Yani dalam biografi ayahnya Profil Prajurit TNI . “Waktu itu di rumah sudah banyak sekali tamu-tamu yang ingin memberikan ucapan selamat.” Setiba di Istana, Yani tak dilantik sendirian. Ada beberapa Duta Besar (Dubes) yang ikut dilantik berbarengan. Mereka antara lain: Gustaaf Adolf Maengkom (Dubes RI untuk Polandia), Sudjono (Dubes RI untuk Ghana), dan Busono Darusman (Dubes RI untuk Austria). Ketika dilantik sebagai KSAD, Yani tengah berada di usia puncak kariernya, 40 tahun. Dia juga merangkap jabatan penting sebagai Kepala Staf Operasi Pembebasan Irian Barat. Tak mengherankan apabila pada upacara pelantikannya, Presiden Sukarno banyak menyinggung soal Irian Barat. “Saudara-saudara sejak saat sekarang ini lebih-lebih lagi diharap dari saudara-saudara untuk memberikan saudara-saudara punya tenaga sepenuh-penuhnya, semaksimum-maksimumnya kepada perjuangan simultan membebaskan Irian Barat. Kepada Mayor Jenderal Jani terutama sekali dibidang militer,” kata Sukarno dalam pidatonya yang diterbitkan Departemen Penerangan. Yani kemudian mengucapkan sumpah jabatan. Pangkatnya dinaikan setingkat menjadi letnan jenderal. Dengan demikian, Yani resmi telah menjadi orang nomor satu di jajaran Angkatan Darat. Awalnya Bukan Yani Menurut penuturan Amelia, semula Yani tak termasuk dalam kandidat calon KSAD. Ada beberapa nama perwira tinggi senior lain yang diajukan. Semuanya ditolak oleh Sukarno. Nasution sendiri lebih cenderung kepada wakilnya, Gatot Subroto untuk menduduki jabatan KSAD. Namun pada awal Juni 1962, Gatot meninggal dunia karena serangan jantung. Nasution kemudian mengusulkan beberapa nama lagi. Kali ini menyertakan nama Yani, yang menjadi Deputi II KSAD. Tanpa ada perbantahan, Sukarno langsung setuju. Di mata Istana, Yani punya reputasi gemilang. Pada 1958, Yani sukses menggelar operasi militer penumpasan PRRI di Sumatera pada 1958. Dia lantas merapat ke Istana ketika menjabat kepala staf Komando Operasi Tertinggi (KOTI) yang berada di bawah komando presiden. Dalam waktu 4 tahun sejak memimpin Operasi 17 Agustus di Padang, nama Yani terus melejit. Sebagai perwira profesional, Yani memang mencatatkan prestasi menonjol. Yani juga memperoleh kepercayaan Nasution dan korps perwira AD karena seorang antikomunis garis keras. Meski demikian, pengangkatan dirinya menjadi KSAD terbilang cepat dan mulus. Menurut sesepuh TNI AD Sayidiman Suryohadiprodjo yang pernah menjadi perwira pembantu Yani di Markas Besar AD, penujukan Yani masih wajar dan sesuai. Wajar dalam arti tak menyalahi tradisi TNI atau melangkahi dari segi senioritas. Saat itu, tak banyak perwira tinggi lain yang melebihi senioritas Yani. “Mungkin Pak Harto yang merasa lebih senior karena pernah bersama Yani sewaktu di Divisi Diponegoro. Akan tetapi orang juga anggap ini tindakan Bung Karno untuk kurangi wewenang dan reputasi Pak Nasution yang jabat KSAD,” ujar Sayidiman kepada Historia . Kata Sayidiman lagi, “ Correct iya, tapi latar belakang politik kental. Itulah hal yang sukar dihindari pada level atas. Apalagi dengan orang seperti Bung Karno sebagai presiden.” Figur Kesukaan Presiden Menurut pakar politik Monash University, Harold Crouch, kendati sama-sama antikomunis, Yani menampilkan citra diri yang berbeda dari Nasution. Ini terlihat dari cara Yani menentang kebijakan Sukarno terhadap PKI. Sebagai orang Jawa, Yani cenderung memperlakukan Sukarno sebagai seorang “bapak” yang bisa saja bertindak salah tetapi tak boleh ditentang secara terbuka. “Dan sebagai orang Jawa yang tak memiliki keislaman yang puritan seperti Nasution, ia lebih mudah menjadi bagian dari lingkungan Istana Sukarno,” tulis Harold Crouch dalam Militer dan Politik di Indonesia . Kepribadian Yani yang menarik dan luwes menjadi nilai tambah sang jenderal. Karakter demikian memungkinkan Yani mengembangkan hubungan serasi dengan Sukarno. Faktor inilah yang meyakinkan Sukarno untuk menjatuhkan pilihannya kepada Yani. Sesudah upacara di Istana selesai, Yani pulang kerumahnya di Jalan Lembang. Suasana ramai telah menanti. Acara selamatan dipersiapkan atas pelantikan Yani. “Bapak turun dari mobil disambut ibu dan kami semua,” kenang Amelia. “Bapak tersenyum cerah sekali dan kami ikut merasakan kebahagiaan itu.”*
- Membentuk Ekosistem Kebudayaan
DIREKTUR Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan, Kongres Kebudayaan yang rencananya diselenggarakan 5-9 Desember 2018 nanti bertujuan membentuk strategi kebudayaan yang menjadi acuan 22 kementerian dalam menjalankan kebijakan terkait budaya. Dengan adanya strategi kebudayaan, dunia seni budaya lebih diakui karena tercantum dalam kerangka kebijakan. Dengan begitu, praktik kesenian beserta perkembangannya bisa lebih terorganisasi dan terstruktur. “Selama ini kesenian dianggap sebagai sebuah bidang yang tidak mapan dalam kerangka kebijakan sehingga pemerintah sulit mengukur,” ujarnya dalam mediabriefing Kongres Kebudayan, Kamis (22/11) di Pulau Dua Restoran. Ketiadaan pembahasan mendalam tentang seni budaya dalam kerangka kebijakan menyulitkan pemerintah dan pelaku seni dalam menyelenggarakan kegiatan seni budaya. Untuk membentuk strategi kebudyaan, Direktorat Kebudayaan telah menyelanggarakan prakongres Kebudyaaan sejak Maret 2018 dengan mengumpulkan data empirik dari 200-an kabupaten/kota. Selain itu, ada 33 bidang dan pelaku budaya yang berkumpul, seperti seniman wayang, komunitas independen, antropolog dll. yang telah memberikan rekomendasi. Pada kongres Desember nanti, kegiatan berupa penyampaian kesimpulan dari rapat-rapat kecil prakongres daerah. Kesimpulan ini kemudian dibahas oleh 17 orang perumus, salah satunya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. Hasil rumusan strategi kebudayan ini kemudian diteruskan kepada presiden untuk disetujui dan ditetapkan menjadi kebijakan yang dijalankan oleh tiap-tiap kementerian. Dengan adanya strategi kebudayaan, pemerintah memiliki arah yang jelas dalam mengembangkan budaya. Masuknya sektor seni budaya dalam kerangka kebijakan juga mempermudah pemerintah dan pelaku seni untuk lebih mengembagkan budaya daerahnya masing-masing dan menciptakan ekosistem kebudayaan yang mapan di masyarakat. “Strategi kebudyaan memastikan sektor seni budaya mapan dalam kerangka kebijakan. Selama ini sektor budaya tidak terlalu diperhitungkan. Hasil konkretnya di masa mendatang pembiayaan kegiatan seni lebih mudah,” kata Hilmar. Namun, hasil konkret atas strategi kebudayaan belum bisa langsung dirasakan. Menurut Hilmar, efek dari masuknya sektor seni budaya dalam kerangka kebijakan baru akan dirasakan betul pada 10-30 tahun mendatang. “Dulu orang tidak kenal budaya Korea, namun sekarang semua orang tahu. Itu karena pemerintahnya menjalankan strategi kebudayaan dan berhasil. Segala bentuk kegiatan seni didukung oleh pemerintah. Harapannya kita bisa seperti itu,” kata Hilmar. Estafet Pencarian Kongres Kebudayaan Desember mendatang menjadi tahap lanjutan dari perumusan kebudayaan nasional yang telah dirintis sejak Kongres Kebudayaan pertama tahun 1918. Pascakemerdekaan, Kongres Kebudayaan pertama kali diselenggarkaan tahun 1948. Panitia kongres bertugas membuat rumusan tentang arah dan strategi kebudayaan untuk mendirikan kebudayaan nasional indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian pascapenjajahan. Semangat membentuk kebudayaan nasional dan keluar dari mentalitas negeri jajahan itu terus diupayakan hingga Kongres Kebudayaan tahun 1960. Namun, proses pencarian kebudayaan nasional terputus selama tiga dekade dan baru kembali terlaksana pada 1991. Pascareformasi, Kongres Kebudayaan digelar secara rutin. Namun, Kongres Kebudayan sejak 2003 belum membuahkan hasil. Kongres Kebudayaan, dalam rilisan pers Kementerian Kebudayaan, lebih serupa simposium ilmiah yang memaparkan pemikiran dari para ahli yang meski menarik tapi tak punya sangkut-paut dengan kondisi lapangan. Kongres-kongres itu juga tidak secara langsung melibatkan masyarakat dalam mengelola kebudayan bersama sehingga tak menyentuh masalah sampai ke akar rumput. Dengan penghimpunan data dari tingkat paling kecil, yakni desa dan pegiat seni budaya, Kongres Kebudayan 2018 berusaha menjaring dukungan untuk memapankan sektor budaya dan membentuk ekosistem budaya yang terstruktur dengan mendorong dan membuat jalur komunikasi budaya dari desa sampai ke pusat. “Kongres ini inginnya menjadi kepemilikan luas semua masyarakat agar proses perumusan kebijakan diikuti semua pelaku budaya sehingga ketika jadi kebijakan akan menjadi kepemilikan bersama,” kata Hilmar.





















