Hasil pencarian
9579 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Adakah Peran Cheng Ho dan Cina dalam Islamisasi Nusantara?
BEBERAPA warganet yang membaca artikel “Apa Agama Cheng Ho?” bersikeras memastikan dia seorang muslim karena, katanya, informasi tersebut terdapat dalam literatur resmi Cina semacam Sejarah Ming ( Ming Shi ), kitab tarikh tentang Dinasti Ming yang dikompilasi sejarawan istana Dinasti Qing.
- Panglima Wanita Perang Jawa
TIGA hari setelah Perang Jawa berlangsung, Nyi Ageng Serang menerima utusan dari Yogyakarta yang membawa surat dari Pangeran Diponegoro. Dalam surat itu tertulis bahwa Diponegoro meminta doa dan bantuan perempuan berjuluk Lonjong Mimis dan Diraja Meta (dentuman senjata) itu untuk menghadapi perang tersebut. Nyi Ageng Serang dikenal sebagai perempuan kuat, tangguh, dan pintar. Sejak belia dia gemar berlatih ilmu bela diri. Dia dihormati karena kecakapannya dan memiliki kesaktian tinggat tinggi yang konon diperolehnya ketika bersemedi di gua di sekitar pantai selatan Jawa. Banyak orang mendatanginya untuk berguru. Karier Nyi Ageng dalam militer kerajaan dimulai sejak berusia 16 tahun. Kala itu dia masuk Korps Nyai di Keraton Yogyakarta. Di tempat inilah dia mendapat gelar Nyi Ageng, tulis Peter Carey dalam Perempuan-Perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX. Sementara, kata Serang dia dapat karena menikahi Pangeran Serang I. Nama kecil Nyi Ageng Serang sendiri adalah Raden Ajeng Kustiah Retno Edi. Begitu menerima surat dari Pangeran Diponegoro, Nyi Ageng bersama pasukannya, Semut Ireng, segera bergerak ke sektor Serang-Demak pada masa-masa awal perang. Dalam setiap pertempuran, dia selalu berkuda putih dan menggunakan seragam serta melilitkan selendang pusaka lambang keperwiraannya di tombaknya. Nyi Ageng Serang, seperti ditulis Kayatun dalam skripsinya, “Nyi Ageng Serang dalam Perang Diponegoro”, dikenal sebagai seorang taktikus dan pengatur strategi perang yang andal. Pangeran Diponegoro sering meminta bantuannya. Pasukan Semut Ireng terdiri dari 500 prajurit dengan posisi yang diatur selalu siap siaga. Di Perang Jawa, Semut Ireng yang selalu memakai panji Merah-Putih yang disebut Panji Gula Kelapa mula-mula menghancurkan pos Belanda di Gambringan kemudian melanjutkan penyerangan ke Purwodadi. Dalam tugas merebut bagian timur Jawa Tengah, Nyi Ageng yang duduk sebagai penasehat dan bergerak bersama anaknya, Pangeran Serang II, memerintahkan pasukannya untuk melakukan penyamaran dengan daun limbu. Kamuflase daun limbu dilakukan dengan cara setiap prajurit membawa daun limbu untuk digunakan sebagai pelindung atau payung. Setelah menyerang pos-pos Belanda dengan taktik “Serangan Hanoman”, yakni menyerang diam-diam dengan pasukan kecil, para prajurit lantas bersembunyi di ladang, semak-semak, atau sawah dengan berlindung di balik daun limbu yang mereka bawa. Taktik ini berhasil mengelabui Belanda. Para tentara pemburu Belanda mengira prajurit Nyi Ageng Serang hilang begitu saja di tengah sawah hijau. Kecerdikan dan pengalaman Nyi Ageng membuat nasihatnya tentang strategi perang selalu didengarkan Pangeran Diponegoro. Dia akhirnya dipercaya menjadi penasihat umum dalam Perang Jawa. Posisi pentingnya selama Perang Jawa membuat Nyi Ageng Serang sangat dihormati pengikut Diponegoro. Pada pertengahan 1826, pejabat Indo-Belanda Paulus Daniel Portier tertangkap dan menjadi tawanan pasukan Diponegoro. Dia meminta Pangeran Serang II untuk mempertemukannya dengan Nyi Ageng yang kala itu sedang bersemedi di sekitar pantai selatan guna bernegosiasi. Permintaan itu tak dikabulkan. Belanda tak pernah berhasil menangkap Nyi Ageng Serang.
- Kabaddi di Panggung Olimpiade Nazi
INDONESIA kian bersiap membuka Asian Games XVIII. Sejumlah venue di Jakarta dan Palembang terus dipercantik jelang pembukaan, 18 Agustus 2018. Infrastruktur pendukung turut ditata demi menunjang 465 event dari 40 cabang olahraga (cabor) yang dipertandingkan. Indonesia akan menurunkan putra-putri terbaiknya di 36 cabor, termasuk olahraga yang belum familiar: kabaddi. Cabang olahraga beregu yang diadaptasi dari kisah Mahabharata ini lahir di India. Federasi profesionalnya, All-Indian Kabaddi Federation (AIKF), pun pertamakali lahir di India, tahun 1950. Pun kompetisi kabaddi pertama tahun 1923. Meski lahir dan populer di Asia, kabaddi pernah menjelajah ke Eropa dan diperkenalkan kepada dunia. Momen itu terjadi di sekitar Olimpiade Berlin 1936 yang kerap disebut “Olimpiade-nya Nazi”. Memukau dan Diapresiasi Hitler Di sebuah expo di Berlin, kabaddi dipertontonkan ke khalayak Jerman dan para petinggi Nazi-Jerman. “Permainannya didemonstrasikan oleh (tim) Hanuman Vyayam Prasarak Mandal (HVPM) asal Amravati, Negara Bagian Maharashtra,” tulis Limca Book of Records: India at Her Best terbitan 2018. Dipertunjukkannya kabaddi di Berlin bermula dari undangan Dr. Carl Diem, ketua Panitia Pelaksana Olimpiade Berlin 1936, kepada Asosiasi Olimpiade India (IOA). Siddhanath Kane, anggota eksekutif IOA cum wakil presiden HVPM, yang menerima undangan itu lalu mendapat ide untuk mengenalkan kabaddi bersama satu olahraga India lainnya, mallakhamb, di Jerman. Ide itu dia utarakan ke dalam surat balasan yang dikirim ke Diem. Persetujuan pun datang dari Diem. Maka, diberangkatkanlah 35 anggota tim HVPM sebagai bagian dari kontingen India yang saat itu berstatus koloni Inggris, pada 27 Juni 1936 dengan kapal Ranpura milik P&O Liner. Ronojoy Sen dalam Nation at Play: A History of Sport in India menguraikan, kapal mereka berlabuh di Marseille, Prancis dan kemudian menempuh jalan darat dengan keretaapi ke Paris untuk transit, dan kemudian dilanjutkan hingga Berlin. “Kontingen India disambut Dr. Diem, diiringi lagu kebangsaan Inggris serta bendera Inggris,” ungkap Sen. Mereka dijamu oleh panitia olimpiade di sela-sela Kongres Pendidikan Fisik di Berlin. Sebelum upacara perjamuan, lagu kebangsaan Inggris “God Save the King” kembali dikumandangkan. Namun tak satupun anggota kontingen India, termasuk anggota tim HVPM, yang berdiri memberi penghormatan. Kiri: Dr. Carl Diem menyaksikan tim HVPM bertanding kabaddi. Kanan: Medali dari Adolf Hitler untuk tim India “Menteri Pendidikan Jerman Bernhard Rust bertanya pada ayah saya, kenapa kontingen mereka tak berdiri. Dia menjawab, yang mereka anggap lagu kebangsaan mereka adalah ‘Vande Mataram’. Rust bertanya lagi, apakah mereka membawa rekaman lagunya. Dan kemudian ‘Vande Mataram’ dikumandangkan di upacara itu,” kenang Padmakar Kane, putra Siddhanath Kane, kepada The Times of India edisi Mumbai, 22 Juli 2012. Dalam kesempatan itulah kabaddi dimainkan tim HVPM bersama olahraga mallakhamb. Para audiens yang hadir takjub terhadap beragam gerakan dan atraksi dalam permainan kabaddi yang berdurasi 20 menit. Kabar itu sampai ke telinga Hitler via Menteri Propaganda Joseph Goebbels yang mendapat laporan acara itu. Der Führer mengundang tim HVPM beberapa hari setelah itu. “Dia berbicara kepada para anggota tim kurang lebih 20 menit dan bertanya apakah kebanyakan orang India terlahir untuk jadi olahragawan laiknya para atlet dari Amravati ini. Mereka menjawab dengan anggukan kepala,” ujar Padmakar. Di hari terakhir olimpiade, tim India membawa pulang oleh-oleh berupa sertifikat yang ditandatangani Hitler serta medali untuk masing-masing atletnya. Begitu tiba di tanah airnya, mereka disambut meriah bak pahlawan. Namun, momen di Berlin itu belum mampu membuat kabaddi diminati orang-orang Eropa atau Amerika. Kabaddi kala itu juga belum diakui Komite Olimpiade Internasional (IOC) untuk bisa diajukan sebagai cabang eksebisi. Federasi Kabaddi Internasional (IKF) baru eksis pada 2004.
- Permainan Kabaddi dalam Lorong Zaman
GEMPITA Asian Games 2018 Jakarta-Palembang sudah mulai terasa meski pembukaannya masih tiga pekan lagi (18 Agustus 2018). Beberapa olahraga baru seperti e-sports dan kano polo ikut dieksebisikan. Namun ada satu cabang yang masih asing di telinga publik tanah air walau sebenarnya bukan olahraga baru. Kabaddi namanya. Kabaddi merupakan olahraga yang lahir di India. Olahraga ini umurnya sudah lebih dari 4000 tahun, sudah menjadi aktivitas tradisional di peradaban India kuno, khususnya di kawasan Punjab, sebelum menyebar ke Andhra Pradesh, Uttar Pradesh, Karnataka, Kerala, Bihar, Haryana, Maharashtra, Telangana, hingga Tamil. Permainannya cukup sederhana. Dua tim yang masing-masing berisi tujuh pemain bergantian menyerang. Durasi permainan dua kali 20 menit. Poin didapatkan jikalau si penyerang mampu menangkap pemain bertahan lawan. Tim yang bertahan juga bisa mencuri poin jika para pemainnya sanggup melumpuhkan penyerang lawan lebih dulu dengan beragam cara, termasuk pakai kaki. Permainan ini mirip permainan tradisional Nusantara seperti permainan Benteng/Bentengan atau Gobak Sodor, misalnya. Menurut laman resmi World Kabaddi Federation, sejarah kabaddi berkelindan dengan sebuah kisah di manuskrip kuno Mahabaratha . Kisah kala Abimanyu, putra Arjuna dari kubu Pandawa, menyerang Kurawa. Abimanyu beraksi solo dan mampu melewati tujuh lapis pertahanan Kurawa meski akhirnya tewas dikeroyok Karna, Duryudana, Dusasana, Drona, Kritavarma, Shalya, dan Sengkuni setelah gagal menemukan jalan keluar dari benteng Kurawa. Kisah ini pun menyebar dan seiring perubahan peradaban, strategi perang Kurawa itu berubah menjadi permainan tradisional. Muncul pula berbagai variasi bentuk permainan dengan banyak nama di tiap wilayah. “Permainannya disebut Hu-Tu-Tu di wilayah barat India, Ha-Do-Do di timur India hingga Bangladesh, Chedugdu atau Sadugdu di selatan India dan Tamil Nadu, serta Kaunbada di utara India. Kabaddi modern merupakan sintesis permainan yang melebur dari beragam permainan dengan berbagai sebutan tadi,” ungkap Pratibha Mittal dalam Kabaddi: Rules and Regulation . Kabaddi di Bumi Asia Di peradaban modern, kabaddi lazim dimainkan di negara-negara tetangga India, macam Pakistan, Bangladesh, Nepal, Srilanka, dan Maladewa. Menurut Ronojoy Sen dalam Nation at Play: A History of Sport in India , permainan kabaddi pertama kali diangkat jadi permainan modern dengan aturan baku pada 1911, dalam sebuah event seni dan budaya di Badshahi Mela di Delhi. “Dijadikan olahraga yang beradab…didesain oleh beberapa kelompok nasionalis dan lembaga pemerintahan untuk kemudian disesuaikan dengan standar internasional terkait peraturan dan regulasi,” ujar Joseph Alter, peneliti peradaban India dari Universitas Pittsburgh, dikutip Ronojoy Sen. Pada awal 1920-an, tim-tim lokal kabaddi mulai bermunculan di berbagai wilayah India. Tiga tahun berselang, kompetisi kabaddi pertama yang digagas Hind Vijay Gymkhana dan diikuti sejumlah tim di Kota Baroda digelar. Kabaddi mulai diikutkan dalam Pekan Olahraga India pada 1938 di Kalkutta. Seturut kemerdekaan India pada 1950, AIKF (All-India Kabaddi Federation) didirikan. Kabaddi ikut dipopulerkan lewat Asian Amateur Kabaddi Federation pimpinan Sundar Ram di Jepang pada 1979. Setelah dieksebisikan di Asian Games 1982, kabbadi akhirnya jadi olahraga resmi Asian Games pada 1990. Timnas Kabaddi Indonesia berlatih ke India jelang Asian Games 2018/Foto: Twitter @sonalgoelias Sementara, Piala Dunia Kabaddi digelar pertama kali pada 2004, tak lama setelah International Kabaddi Federation didirikan. Di Indonesia, kabaddi diperkenalkan sejak 2008, tepatnya di Asian Beach Games 2008 Bali. Kabaddi lalu dijadikan pertandingan eksebisi di Pekan Olahraga Provinsi Bali XII, medio September 2015. Alhasil, kabaddi lebih dikenal masyarakat Pulau Dewata ketimbang masyarakat daerah lain di Bumi Pertiwi. Pengurus Besar Federasi Olahraga Kabaddi Indonesia (PB FOKSI) juga bermarkas di Bali, tepatnya di GOR Lilabhuana, Denpasar. Jelang Asian Games 2018, tim kabaddi Indonesia sempat menimba ilmu ke negeri India. Di Asian Games 2018 nanti, cabang kabaddi akan dipertandingkan Theater Garuda, Taman Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta, 19-24 Agustus. Ada 12 tim yang ikut serta di cabang ini. Selain India sebagai tim super power -nya dan tuan rumah Indonesia, ada Pakistan, Thailand, Iran, Korea Selatan, Srilanka, Nepal, Bangladesh, Irak, Jepang, dan Malaysia.
- Aksi Sarwo Edhie Wibowo di Papua
BRIGJEN TNI Sarwo Edhie Wibowo sempat ketar-ketir mendengar kabar dirinya akan ditugaskan ke Moskow sebagai duta besar untuk Uni Soviet. Karier militernya seakan sudah tamat. Namun, rasa suram di benak mantan komandan RPKAD (kini Kopassus) ini mendadak sirna. Presiden Soeharto menugaskannya ke Irian Barat sebagai Panglima Kodam XVII/Cenderawasih. Semangat militer terbetik lagi dalam diri Sarwo. “Papi terlihat sangat bersemangat, berbanding terbalik dengan saat ia mendengar akan dikirim ke Moskow,” kenang putri ketiga Sarwo, Kristiani Herawati, dalam biografinya Kepak Sayap Putri Prajurit (ditulis Alberthiene Endah). Menurut perempuan yang lebih dikenal sebagai Ani Yudhoyono tersebut, tugas di Irian sebetulnya lebih berat daripada di Moskow. Resikonya pun lebih besar. Saat itu, di Irian Barat sedang dalam masa peralihan pemerintahan. Kondisi keamanan kurang kondusif. Pasalnya, menjelang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM) gencar melakukan perlawanan. Keselamatan Sarwo bisa saja terancam. “Ini tantangan untuk mendukung NKRI,” kata Sarwo bersemangat sebagaimana ditirukan Ani. Operasi Wibawa Bulan Juni 1968, Sarwo Edhie resmi menjabat Panglima Cenderawasih. Penunjukan Sarwo dipersiapkan untuk memperkuat jangkauan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) terhadap wilayah Irian Barat. Hal ini juga mengantisipasi kedatangan utusan khusus PBB, Fernando Ortiz Sanz di bulan Agustus yang akan meninjau penyelenggaraan Pepera. Di Irian Barat, Sarwo mengadakan peningkatan pasukan ABRI ke sasaran langsung basis pemberontak. Serangkaian operasi militer digelar meliputi operasi tempur, teritorial, dan intelijen. Operasi tempur bertujuan menghancurkan kekuatan fisik musuh. Operasi teritorial dipakai untuk menyerukan pemberontak supaya turun gunung dan tunduk pada pemerintah. Sementara operasi intelijen diarahkan untuk membongkar sekaligus menetralisasi organ-organ pendukung gerakan separatis. Sebanyak 6000 personel dari berbagai kesatuan di luar Irian Barat dikerahkan. Hasilnya, pada akhir November sebanyak 1869 pembangkang menyerah (257 di antaranya adalah petempur dengan 99 pucuk senjata). Keamanan di Irian Barat semakin mantap setelah Lodewick Mandatjan bersedia turun gunung dan menyerahkan diri. Lodewick adalah Kepala Suku Arfak yang berpengaruh. Dia kecewa dengan pemerintah Indonesia dan menjadi salah satu pentolan pemberontak. “Gerakan Lodewick ini ternyata memang membawa inspirasi bagi sejumlah penduduk Irian Barat di berbagai tempat untuk menyatakan dukungannya kepada Organisasi Papua Merdeka,” tulis Peter Kasenda dalam “Sarwo Edhie Wibowo dan Operasi Militer” termuat di majalah Prisma edisi khusus 20 tahun (1971—1991). Tinggal satu gerombolan lagi di bawah Ferry Awom yang masih meresahkan. Mereka belum menyerah dan masih bergerilya di hutan pedalaman Papua. Sementara waktu pelaksanaan Pepera kian dekat. Pada Februari 1969, Sarwo Edhie menggelar operasi militer bersandi “Wibawa”. Tugas pokok operasi ini bertujuan mengamankan Pepera, menghancurkan pemberontak OPM di bawah Ferry Awom, serta menumbuhkan dan memelihara kewibawaan pemerintah. “Kalau Pepera gagal, kegagalan itu terletak di pundak saya. Sebaliknya, kalau nanti Pepera berhasil, akan banyak pihak yang mengaku bahwa keberhasilan itu hasil jerih payah mereka,” kata Sarwo kepada Hendro Subroto dalam Sintong Panjaitan: Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando. Pesan Soeharto Karena telah menjadi kewajiban internasional, Indonesia tak bisa mangkir mewujudkan Pepera. Rakyat Papua dihadapkan pada pilihan bebas untuk bergabung dengan Indonesia atau merdeka. Namun Jakarta hanya mengenal satu pilihan: Irian Barat harus menjadi bagian integral Republik. Presiden Soeharto merumuskan tujuan Pepera sedangkan Menteri Dalam Negeri Amir Machmud merancang strategi pemenangan. Kepada Amir Machmud, Soeharto berpesan agar Pepera jangan sampai gagal. “Artinya, harus diusahakan jangan sampai wilayah Irian Barat terlepas lagi dari kekuasaan Republik Indonesia,” kata Amir Machmud dalam otobiografi H. Amir Machmud: Prajurit Pejuang . Di lapangan, Sarwo Edhie didapuk sebagai Ketua Proyek Pelaksana Daerah bersama Ali Murtopo spesialis operasi khusus. Sebagai Panglima Kodam, Sarwo adalah penguasa tertinggi di Irian Barat dalam menjalankan pemerintahan. Dia bertanggung jawab penuh atas gagal atau suksesnya Pepera. “Sarwo Edhie segera tampil secara publik sebagai pelaksana yang supel dari garis yang sudah ditunjukan Soeharto,” kata sejarawan Belanda Pieter Drooglever dalam Tindakan Pilihan Bebas!: Orang Papua dan Penentuan Nasib Sendiri . “Kegiatan Pemilihan Bebas itu akan datang, tetapi orang-orang Papua jangan mengisi benaknya dengan hal-hal gila,” demikian pesan Sarwo Edhie yang kerap disampaikannya berulang-ulang kepada masyarakat Papua dikutip Drooglever. Darah Tertumpah Menurut Amir Machmud, peranan Sarwo Edhie begitu besar dalam pelaksanaan Pepera. Sarwo, kata Amir, mengerahkan jajaran Kodam Cenderawasih, sehingga memperlancar persiapan. Drooglever mencatat, dalam bulan-bulan pertama 1969, tentara Indonesia yang dikerahkan sebesar 10.000 personel. Jumlah itu ditingkatkan di pertengahan bulan Juli saat penyelenggaraan Pepera menjadi 16.000 pasukan. Selama berjalan kurang lebih sebulan, referendum berakhir dengan kemenangan bagi Indonesia. Kendati demikian, sukses Sarwo Edhie menggalang Pepera bukan tanpa noda. Pepera cacat secara hukum karena tak menerapkan prinsip satu orang satu suara melainkan perwakilan. Sebanyak 1026 orang Dewan Musyawarah Pepera (DMP) mewakili 800.000 rakyat Papua. Selain itu, Pepera juga sarat terjadi pelanggaran hak asasi manusia. Ada amis dan bau darah di dalamnya. Sejumlah kesaksian dan penelitian sejarah menguak laku intimidatif tentara terhadap rakyat Papua yang menolak integrasi. Korban yang tak sedikit jumlahnya berjatuhan. Jurnalis The Wall Street Journal, Peter Kann pada 12 Agustus 1969 memberitakan seruan bernada ancaman dari pihak Indonesia. Dalam berita itu disebutkan, Sarwo Edhie bercerita kepada siapa saja bahwa apabila orang-orang Papua akan memilih berpisah dari Indonesia, mereka akan menghadapi 115 juta orang Indonesia. Di Enarotali ibukota Kabupaten Paniai, Amiruddin al Rahab dalam Heboh Papua mencatat sekira 634 orang penduduk terbunuh. Operasi yang dipimpin Mayor Mochtar Jahja dan Mayor Sitompul –atas perintas Sarwo Edhie– ini tidak mudah dilupakan rakyat Paniai. ABRI bertindak secara kasar dan membabi buta. Sementara di Wamena perlawanan rakyat terjadi di Piramid, Wamena. Sebanyak dua orang anggota ABRI dibunuh oleh penduduk. “Selama persiapan dan pelaksanaan Pepera terjadi banyak intimidasi. Tentara sering memukul rakyat dan ada rakyat yang ditembak sampai mati di pedalaman,” ungkap Joel Boray dalam “Koteka Lebih Baik dari Celana” termuat di kumpulan tulisan Bakti Pamong Praja Papua suntingan Leontinne Visser dan Amaponjos Marey. Joel bekerja sebagai staf kantor Bupati Biak semasa Pepera. Menurut Joel, rakyat Papua yang mati di tangan tentara paling banyak terjadi di Paniai, Tembagapura, dan Wamena. Itulah yang menyebabkan kebanyakan rakyat Papua marah dan sakit hati sampai hari ini. “Satu-satunya resep untuk mengobatinya bukanlah otonomi, bukan federasi. Rakyat tidak suka itu. Mereka mau bebas, merdeka,” kata Joel.
- Siapa Sebenarnya Angling Dharma?
SUATU hari Prabu Angling Dharma, raja Kerajaan Malawapati, sedang berburu. Dia memergoki istri gurunya, Nagagini, sedang berselingkuh dengan seekor ular tampar. Angling Dharma pun menarik busurnya untuk membunuh ular jantan itu. Namun, tanpa sengaja ekor Nagagini ikut terluka. “Kurang ajar kau Angling Dharma! Kau akan aku adukan kepada Kakang Naga Bergola!” seru Nagagini. Nagagini pun pulang dengan menyusun laporan palsu. Dia ingin agar suaminya membalas dendam kepada Angling Dharma. Setelah mendengar laporan istrinya, Naga Bergola lalu menyusup ke dalam istana Malawapati. Dia mendengar Angling Dharma sedang membicarakan perselingkuhan Nagagini dengan istrinya, Setyawati. Sang naga pertapa itu pun sadar kalau istrinya yang salah. Naga Bergola lalu muncul. Dia meminta maaf kepada Angling Dharma sekaligus ingin segera moksa. “Aku telah bersumpah lebih baik mati daripada dikhianati seorang istri. Aku akan laksanakan sumpahku,” kata Naga Bergola. Sebelum moksa Naga Bergola mewariskan ilmu kesaktiannya, Aji Gineng kepada Angling Dharma. Ilmu itu akan membuat Angling Dharma paham bahasa binatang. Dia berpesan supaya warisannya dijaga dengan penuh rahasia. Kisah itu membuka episode pertama sinetron kolosal berjudul . Pada 2001, Angling Dharma mulai disiarkan lewat salah satu stasiun TV swasta hingga 2005. Sinetron arahan sutradara Imam Tantowi ini pernah meraih penghargaan sebagai sinetron terpuji di Festival Film Bandung 2004. Dari Lisan ke Tulisan Jauh sebelum kisah ini menjadi demikian populer, Angling Dharma sudah lebih dulu dikenal pada era Majapahit. Menurut Dwi Cahyono, arkeolog Universitas Negeri Malang, kisah itu muncul lebih dulu dalam tradisi lisan kemungkinan pra-Majapahit. Pada masa Hindu-Buddha, sebagai sastra lisan, kisah itu terdapat di berbagai tempat terutama wilayah Jawa Timur sekarang. Sampai-sampai pada masa modern, nama tempat yang disebut dalam cerita, dianggap sebagai awal mula wilayah itu. “Yang menarik adalah klaim setting area untuk daerah-daerah tertentu. Dalam kisah yang kini dikenal luas, misalnya ada yang disebut Negara Boja atau Boja Nagara, ini kemudian dianggap sebagai toponimi daerah yang kini dikenal dengan Bojonegoro,” jelas Dwi. Kisah itu kemudian ditulis kemungkinan pada era Majapahit. Awalnya berjudul AriDharma . Pada perkembangannya dikenal sebagai Angling Dharma . Menurut Lydia Kieven dalam Menelusuri Figur Bertopi dalam Relief Candi Zaman Majapahit , Angling Dharma sekarang adalah versi Bahasa Jawa Modern dari kidung bahasa Jawa Pertengahan. Judulnya, Aji Dharma. Di luar itu, hingga kini dikenal begitu banyak versi naskah tentang Angling Dharma. “Saya tidak tahu, kenapa bisa jadi perubahan itu. Saya tidak melihat apakah itu merujuk pada arti harfiah yang sama,” ujar Dwi. Relief Angling Dharma Dari bentuk tertulis, kisah Angling Dharma kemudian ditransformasikan lagi ke bentuk visual. Kisah ini bisa ditemukan dalam relief candi. Meski begitu, relief cerita ini baru ditemukan di Candi Jago. Padahal, sebagai cerita ia sudah dikenal baik dalam bentuk kidung maupun Serat Angling Dharma . Versi reliefnya pun tak bisa ditentukan dengan pasti korelasinya dengan narasi manapun. Penetuan kisah relief itu hasil tafsiran Thomas M. Hunter, ahli linguistik dan Jawa Kuno, berdasarkan naskah yang tak diterbitkan karya Bambang Soetrisno, mantan juru kunci Candi Jago. Tafsiran itu pertama kali diungkapnya lewat seminar pada 1989. Dia kemudian menuliskannya lewat makalah “The Aridharma Reliefs of Candi Jago” yang terbit dalam Society and Culture of Southeast Asia: Continuities and Changes pada 2000. Jika dibandingkan, kesamaan versi relief dengan yang dikenal sekarang hanya pada awal kisah sampai ketika Angling Dharma dibuang ke hutan. Sementara perbedaannya begitu banyak. Pertama, kisah pertemuannya dengan Ambarawati, istri keduanya, diceritakan berbeda. Dalam relief mereka bertemu di hutan. Pada kisah yang kini dikenal luas, mereka bertemu di istana. Latar belakang Ambarawati juga berbeda. Dalam relief, perempuan itu adalah anak dari seorang resi yang dikutuk. Sementara dalam versi yang dikenal luas, dia merupakan putri Raja Darmawangsa. Peran Angling Dharma yang berhasil meruwat resi, ayah Amabarawati, juga tak dikisahkan dalam versi yang dikenal luas. Di versi yang banyak dikenal masyarakat, Angling Dharma juga diceritakan terkena kutuk dua kali. Selain dibuang ke hutan, dia juga dikutuk menjadi seekor belibis. Sementara dalam relief, tak ada kisah dia berubah menjadi belibis. Paling mencolok adalah keberadaan dua tokoh Punakawan dalam relief. Ini tak ditemukan dalam versi tertulisnya. Secara keseluruhan, kisah Angling Dharma terdapat dalam tujuh panil relief. Kisahnya di relief didahului dengan adegan naga jantan merayu naga betina. Di Candi Jago, relief Angling Dharma bisa ditemukan di kaki candi, tepatnya pada sisi timur laut. Letaknya setelah relief Tantri Kamandaka dan sebelum relief Kunjarakarna. “Kalau diurutkan setelah cerita trantrik (Tantri Kamandaka: cerita binatang, ). Kenapa ditempatkan begitu? Karena dalam kisah Ari Dharma itu ada kisah binatangnya,” jelas Dwi. Walaupun relief Angling Dharma dipahat di Candi Jago, bukan berarti relief ini dibuat pada masa Singhasari. Itu mengingat Candi Jago dibangun sebagai pendharmaan bagi Raja Singhasari, Wisnuwardhana. Menurut Dwi, relief ini dipahat pada bangunan yang dipugar pada masa Hayam Wuruk. “Di Nagarakrtagama disebutkan Hayam Wuruk melakukan pemugaran terhadap 27 pendharmaan leluhurnya. Candi Jago ini mengalami perombakan signifikan secara arsitektural. Seni pahatnya, wayang style , ini baru hadir pada masa Majapahit,” jelas Dwi. Selain di Candi Jago, masyarakat banyak yang percaya kisah Angling Dharma juga terbaca di relief Candi Mirigambar. Namun banyak ahli yang meragukannya di antaranya arkeolog Belanda N. J. Krom dan Knebel. “Knebel dan kemudian Krom, seperti halnya saya, meragukan penafsiran bahwa relief tersebut menggambarkan Angling Dharma,” jelas Lydia.
- Gajah Mada Memadamkan Pemberontakan Kuti
NYAWA Raja Jayanagara terancam. Raja kedua Majapahit itu diuber komplotan Kuti yang ingin menumbangkan pemerintahannya. Sampai-sampai sang raja menjauh dari istananya. Jayanagara mungkin bukanlah raja favorit rakyat Majapahit. Pararaton menyebut pemberontakan terhadapnya akibat hasutan Mahapati yang berambisi menjadi patih amangkubhumi. Dia menebar fitnah dan mengadu domba para pembesar Majapahit hingga saling bermusuhan. Namun, Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakrtagama mengatakan alasan pemberontakan karena tidak puas dengan penobatan Jayanagara. Jayanagara naik takhta menggantikan ayahnya, Wijaya, pada 1309 M. Rakyat atau pengarang Kidung Ranggalawe dan Pararaton menjulukinya Kala Gemet. Dalam Menuju Puncak Kemegahan, Slamet Muljana menjelaskan kata kala berarti penjahat yang mengandung arti antipati rakyat atau para pengarang terhadap Jayanagara. “Antipati itu mungkin disebabkan kelakuan tak senonohnya terhadap dua putri keturunan Gayatri dan Tribhuwana,” tulisnya. Sementara kata Gemet adalah bentuk yang berubah dari kata genet dan gamut yang artinya lemah. Pararaton menyebut Jayanagara banyak menderita sakit. “Demikianlah Kala Gemet adalah nama paraben yang mengandung arti ‘penjahat yang lemah’,” lanjut Slamet. Pemberontakan Semi dan Kuti pada 1240 saka (1318 M) dan 1241 saka (1319 M) mungkin wujud dari antipati itu. Padahal, Semi dan Kuti bagian dari tujuh orang dharmaputra yang dibentuk ketika Kertarajasa Jayawardhana atau Wijaya berkuasa. Pararaton memberitakan, maksud dharmaputra ialah pangalasan wineh suka atau pegawai yang diistimewakan. Selain mereka berdua, ada Pangsa, Wedeng, Ra Yuyu, Ra Tanca, dan Ra Banyak. Soal Semi, namanya bahkan disebut dalam daftar pembesar masa pemerintahan Kertarajasa. Dia bergelar rakryan Semi. Semi mulai menunjukkan rasa tak suka pada Jayanagara sejak peristiwa Nambi pada 1316 M. Menurut Kidung Sorandaka, ketika itu Semi memihak Nambi. Setelah Nambi binasa, Semi berhasil lolos dan bergabung dengan Kuti. Menurut Slamet Muljana komplotan Kuti merencanakan pemberontakan ketika Jayanagara sedang menumpas pemberontakan Nambi dan Wiraraja. Kuti menjadi kepala komplotannya. Sepulang memberantas Nambi dari Lumajang, Jayanagara segera menghadapi Kuti yang memaksanya mengungsi ke Desa Badander. Kemunculan Perdana Gajah Mada Dalam peristiwa Kuti, nama Gajah Mada mulai disebut-sebut dalam Pararaton. Perannya sebagai kepala pasukan bhayangkara yang tengah bertugas. Dia dicatat sebagai orang yang cukup berperan dan terampil mengatasi masalah. Dalam pemberontakan sebelumnya, nama Gajah Mada belum muncul. Arkeolog Universitas Indonesia, Agus Aris Munandar dalam Gajah Mada, Biografi Politik berpendapat, mungkin saja sebelum huru-hara Kuti, Gajah Mada sudah menjadi anggota bhayangkara di kedaton Majapahit. Keadaan seperti itu kemudian dianggap biasa saja oleh penyusun Pararaton. “Karena itu tidak ada penyebutan peranan Gajah Mada sebelum pemberontakan Kuti,” jelasnya. Pararaton mengisahkan, ketika penduduk Majapahit terlelap, Gajah Mada memimpin 15 orang bhayangkara yang tengah berjaga mengawal raja ke Desa Badander. Cukup lama raja mengungsi di Badander. Suatu hari, seorang abdi pengalasan minta izin pulang. Gajah Mada tak mengizinkannya, namun dia tetap memaksa. Gajah Mada pun menusuknya dengan keris. Agus mengatakan, maksud tindakan Gajah Mada jelas. Pengungsian raja ke rumah kepala Desa Badander tidak boleh ada yang tahu. Dia khawatir jika tempat pengungsian raja sampai bocor, Kuti akan memerintahkan pasukannya mengejar dan membunuh raja. “Sangat mungkin Gajah Mada masih teringat peristiwa terbunuhnya Ken Angrok, moyang Raja Jayanagara, pendiri dinasti Rajasa yang mati ditusuk keris juga oleh seorang pengalasan , ketika sedang makan malam,” jelas Agus. Selanjutnya Pararaton menceritakan setelah lima hari di Badander, Gajah Mada mohon diri untuk melihat keadaan Majapahit. Para amancanagara (pejabat tinggi kerajaan) menanyakan tempat pengungsian raja. Gajah Mada menjawab raja telah meninggal dibunuh pasukan Kuti. Para pejabat pun menangis. “Diamlah, tidakkah tuan-tuan sekalian menghendaki Ra Kuti sebagai raja?” tanya Gajah Mada. Mereka menjawab Kuti bukanlah raja yang mereka sembah. Gajah Mada pun yakin Kuti tak dapat dukungan dari pejabat dan rakyat Majapahit. Dia memberitahu bahwa raja ada di Badander. Gajah Mada lalu meminta bantuan para menteri untuk bersama-sama melenyapkan Kuti. Sayang sekali Pararaton tak menjelaskan bagaimana Kuti tewas. Yang pasti, pemberontakan Kuti dapat dipadamkan berkat siasat Gajah Mada. Majapahit pun kembali tenang. Jayanagara bisa kembali ke keratonnya. “Kerjasama antara Gajah Mada dan para pembesar serta warga kota itu berhasil menumpas Kuti beserta pengikutnya,” tulis Slamet Muljana. Atas jasannya, Gajah Mada diberi cuti selama dua bulan. Dia naik pangkat menjadi patih di Kahuripan. Pemberontakan Semi dan Kuti tak diabadikan dalam Nagarakrtagama. Adapun penetapan tahunnya, berdasarkan pemberitaan kalau pemberontakan Kuti dan peristiwa Tanca yang terjadi kemudian, berjarak sembilan tahun. “Peristiwa Tanca mengakibatkan wafatnya Raja Jayanagara. Baik Pararaton maupun Nagarakrtagama mencatat kematian Jayanagara pada 1250 saka (1328 M),” jelas Slamet.*
- Kisah Pilu Pangeran yang Ditipu
KETIKA hendak berangkat ke Makau untuk melaksanakan komuni pertama, Putra Mahkota Pascal Balthazar Celse dibekali ayahnya, Raja Timor dan Solor bernama Gaspar Balthazar, dengan banyak harta. Kapal Portugis yang akan ditumpanginya dipenuhi dengan emas, perhiasan, batu-batu mulia, pakaian, dan barang-barang berharga lain. Putra kesayangan raja itu juga disertai 30 budak yang diikutsertakan oleh ayahnya untuk melayani segala keperluannya. Yang terpenting, Balthazar didampingi guru spiritualnya ( precepteur ) yang seorang Dominikan berkebangsaan Portugis, Pastor Ignatius. Pastor Ignatius merupakan orang yang membujuk raja untuk mengirim putranya ke Makau supaya komuni diselenggarakan dengan megah. Dia terus meyakinkan Raja Gaspar bahwa hal itu akan menguntungkan kerajaannya. Dari catatan Anne Lombard-Jourdan yang dimuat dalam Archipel, Balthazar lahir di Animata pada 1738. Itu berarti, ketika pergi bersama Pastor Ignatius, Balthazar berusia kurang dari 10 tahun. Meski seorang pangeran, Balthazar yang masih anak-anak tak punya kuasa atas perjalanannya ke Makau. Pastor Ignatiuslah yang mengatur segalanya. Ketika sampai di Makau, rombongan menetap di bruderan Dominikan selama lima bulan. Saat itulah Pastor Ignatius menyalahgunakan kekuasaannya dengan menjual semua budak. Dia lalu membeli bermacam barang yang bisa didagangkan di Eropa. Dari Makau, pastor bersama pangeran menumpang kapal Prancis Duc de Bethuene yang dipimpin Kapten de la Chaise yang bekerja untuk Kongsi Dagang Prancis di Hindia. Pangeran bocah itu dengan mudah dibohongi oleh pastor. Selain diperintahkan untuk mengganti pakaiannya dengan pakaian budak, Balthazar juga dilarang membuka identitasnya. Pastor itu menakut-nakuti Balthazar dengan mengatakan bahwa orang-orang Prancis menjelajahi lautan untuk menculik raja-raja dari negara jauh. Pangeran yang ketakutan itu pun menuruti semua perkataan pastor. Setelah mengarungi lautan lebih dari 9 bulan, Duc de Bethune tiba di Pelabuhan Lorient, Prancis pada 13 Juli 1750. Bernard Dorleans dalam Orang Indonesia dan Orang Prancis menceritakan bahwa Pastor Ignatius kabur dengan berpura-pura menyiapkan upacara penyambutan bagi Balthazar. Setelah tiga hari menunggu di kapal dan si pastor tak kunjung kembali, Balthazar khawatir. Dia menanyakan kabar si pastor kepada kapten kapal namun kapten tak bisa menjawabnya meskipun tahu bahwa si pastor penipu tidak akan kembali lagi. “Pendidik palsu ini pandai mengelabui dengan sifatnya yang luwes, dan kebanggan yang terlalu dibuat-buat terhadap kawan sebangsanya. Ia seorang yang cekatan, menyenangkan, dan penuh perhatian, mahir bermuslihat, dan mampu bertindak sangat licik,” tulis seorang pengacara Prancis Andre Lethinois dalam “Permohonan kepada Raja”. Seorang juru masak kapal yang merasa iba kepada Pangeran Balthazar kemudian mengasuhnya di Saint-Malo. Balthazar tinggal di sana selama tujuh tahun. Dari si koki, Balthazar belajar bertahan hidup di Prancis dengan mempelajari bahasa dan masakannya. Ketika si koki meninggal, Balthazar pergi dan bekerja sebagai juru masak di kapal Alexander Agung yang berangkat ke Kanada. Upah dari pekerjaannya sebagai koki dia gunakan untuk berlayar ke Prancis. Di Paris, dia berkenalan dengan seorang perempuan bangsawan bernama de Castellane yang mengenalkannya pada de Sainte Catherine dan mau memberinya tumpangan sampai ke Tiongkok. Namun nahas, pada hari keberangkatan kapal, Balthazar terlambat datang dan kapal sudah berlayar. Dia gagal kembali ke negerinya. Setahun berikutnya, dia mengirimkan surat kepada duta besar Belanda dan Portugal untuk meminta bantuan agar menyampaikan kabar tentang keberadaan dirinya di Prancis kepada sang ayah. Balthazar menunggu selama empat tahun di Lorient dan tidak mendapatkan kabar apapun. Dia lalu berusaha kembali ke negaranya dengan berbagai cara hingga akhirnya para bangsawan Prancis mau membantunya. Namun setelah mendapat dukungan dari para bangsawan Prancis, Balthazar membatalkan kepulangannya. Dia khawatir kepergiannya selama 18 tahun membuat orang tidak mengenalinya dan tidak menyambut baik kedatangannya. Belum lagi, selama 18 tahun tinggal di Prancis dia telah menumpuk banyak utang kepada para bangsawan. Balthazar kemudian tinggal bersama dokter kerajaan, Chevalier di Rue de Bourbon, dan mendapat sedikit bantuan dari Raja Louis XV. Namun, bantuan Raja Louis dan para bangsawan berhenti ketika mereka sadar pangeran tidak bisa melakukan apapun untuk menguntungkan mereka. Dengan utang yang semakin menumpuk dan bantuan dari para bangsawan yang terhenti, kesehatan Balthazar semakin menurun. Harapan terakhirnya hanya pada lelaki tua pembuat keramik di Paris, Charles Preaux. Pak tua Preaux membantunya dengan memberi tempat tinggal dan makanan secara cuma-cuma. Pada April 1774, Balthazar meninggal karena sakit. Setelah lebih dari 20 tahun melanglang buana dengan penuh kesialan dan keberuntungan, dia tidak pernah lagi melihat negeri dan keluarganya.
- Sukarno dan Johny Indo Menemukan Tuhan di Penjara
BAGI sejumlah narapidana (napi), penjara tak bikin mereka menyadari kesalahannya. Mereka justru jadi lebih jahat dan pandai berbohong. Tapi buat segelintir orang lainnya, penjara telah memberi mereka gagasan dan pengalaman segar tentang agama. Misalnya, terjadi pada Sukarno dan Johny Indo. Mari mulai dari Sukarno. “Saya pernah hidup di dalam penjara: satu kali dalam penjara tahanan Banceuy di Bandung, dua kali di penjara besar Sukamiskin. Satu kali lagi di penjara Mataram, dan juga di penjara Surabaya,” tulis Sukarno dalam artikelnya “Propaganda Islam di dalam Pendjara”, termuat di Pedoman Masjarakat, 9 Maret 1938. Berbeda dari pelaku kriminal umumnya, Sukarno masuk penjara lantaran kena tuduh pasal menghasut orang untuk melawan pemerintah kolonial pada Desember 1929. Pemerintah kolonial menjebloskannya ke sel tunggal supaya tak mempengaruhi tahanan lain. Ini berarti pemerintah kolonial menilai Sukarno masuk kategori tahanan berbahaya atau khusus. “Selnya, Nomor 5 di Blok F, begitu sempit. Lebarnya hanya satu setengah meter, dan separuhya untuk tempat tidur pelbet (lipat, red. )… Gelap, lembap, dan melemaskan,” tutur Inggit Garnasih, istri Sukarno, kepada Ramadhan K.H. dalam Soekarno: Kuantar ke Gerbang. Penempatan Sukarno ke dalam sel tunggal sesuai Gestichten Reglement (Peraturan Penjara) 1917. Aturan ini juga memuat klasifikasi penjara berdasarkan tingkat kejahatan dan latar belakang penghuninya (laki-laki, perempuan, dan anak-anak). “Yang sudah diatur dalam Reglemen Pendjara sebenarnya hanya terdiri dari 3 kelas yang tertinggi yang progresif dengan kelas 3 sebagai kelas yang tertinggi dan kelas 4 merupakan kelas yang statis karena hanya untuk yang dipidana sampai dengan 3 bulan,” tulis R.A. Koesnoen dalam Politik Pendjara Nasional . Menggagas Dakwah Islam Banceuy hanyalah penjara sementara Sukarno. Dia mendekam di sini sampai ada vonis pengadilan. Begitu vonis pengadilan jatuh, Sukarno pindah ke penjara Sukamiskin. “Penjara untuk orang-orang Eropa dan intelektuil,” ungkap Koesnoen. Menurut Inggit Garnasih, penjara Sukamiskin lebih mendingan daripada di Banceuy. “Sekalipun tentunya bukan kehidupan yang menyenangkan kalau segala perilaku harus menurut komando orang lain,” kata Inggit. Sukarno banyak menghabiskan hari penahanannya dengan mempelajari kandungan Alquran. Kepada Cindy Adams dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia , dia mengatakan Alquran menjadi bacaan pertamanya ketika bangun tidur. Dia menjadi lebih percaya diri menghadapi hari-hari berat di penjara. Tapi Sukarno tetap merasa ada yang kurang di penjara Sukamiskin. Tak ada pendakwah agama Islam di Sukamiskin. “Hanya pada hari Jumat datanglah ajengan yang bercelak mata buat memimpin sembahyang jamaah dari orang-orang hukuman Islam,” kenang Sukarno dalam Pedoman Masjarakat . Ada sebuah masjid di Penjara Sukamiskin. Tapi tiap hari kosong melompong. “Seperti gudang belaka, zonder (tanpa, red. ) roh di dalamnya,” catat Sukarno. Buku agama Islam memang tersedia di perpustakaan penjara. Tapi jumlahnya bisa dihitung pakai jari. “Kalau tidak lupa hanyalah 14 buku Islam,” tulis Sukarno. Betapa gersangnya napi Sukamiskin dari siraman agama, pikir Sukarno. Sukarno membandingkan dengan napi penganut Protestan dan Katolik Roma. Mereka memperoleh ceramah agama dari para pendeta dan pastor. “Di sinilah seringkali air mata menetes dari matanya orang-orang yang tadinya menganggap menyembelih leher manusia sama dengan memotong sayur. Di sinilah banyak orang hukuman yang tadinya verrek (masa bodo, red. ) kepada agama, menjadi menyala rasa Ketuhanannya , ” terang Sukarno. Bahan bacaan yang berkualitas tentang agama Protestan dan Katolik Roma pun tersua di perpustakaan. Jumlahnya ratusan. “Ada buku tentang tarikh Isa, ada buku tentang penggalan barang-barang kuno yang harus membuktikan bahwa injil-injil sekarang itu betullah injil asali, ada buku tentang jalan ke arah keselamatan,” kata Sukarno. Sukarno berpendapat bahwa mubalig Islam terlalu malas dan pelit untuk masuk ke penjara. Padahal dengan perkenan kepala penjara, mereka boleh saja masuk. Sekadar menyapa dan menjenguk para tahanan beragama Islam. “Orang-orang hukuman ini butuh dan perlu kepada nasehat agama…perampok dan penyamun, penipu dan pezina pemabok dan pembunuh, di dalam dunianya kejahatan dan maksiat,” tulis Sukarno. Sukarno menyeru kepada para mubalig Islam Muhammadiyah agar mulai usaha dakwahnya di dalam penjara. “Silakan Muhammadiyah bergiat di lapangan ini,” tulis Sukarno pada bagian penutup artikelnya. Menemukan Yesus Dari Sukarno, mari beralih ke tokoh dan zaman lain. Johny Indo adalah nama tenar di antero Indonesia pada akhir dekade 1970-an dan awal 1980-an. Johny Indo seorang perampok toko emas. Dia cerdik, licin, dan punya kode etik. Selalu meriset sebelum merampok, sanggup lolos dari kejaran polisi, dan pantang melukai semua korbannya. Orang sekitar Johny tak pernah menyangka dia perampok ulung. Dia pernah jadi piguran dalam industri film dan iklan. Dia suami sekaligus bapak yang penuh perhatian pada istri dan anak-anaknya. Wajahnya juga simpatik, perawakannya resik, dan pergaulannya asyik. Hansip, tetangga, dan rekan menaruh hormat padanya. “Apabila Johny pulang larut malam dan kebetulan melewati pos hansip yang tidak begitu jauh dari tempat tinggalnya, dia selalu menitipkan uang. Alasannya ada saja: untuk rokok atau kopi,” catat Aktuil , Nomor 17, 14-28 Juni 1982. Setiap orang punya karma perbuatannya sendiri. Dan untuk Johny, karma itu datang pada 26 April 1979. Di Desa Cisaat, Sukabumi, Jawa Barat, dia tak berkutik. Dua polisi menyergapnya tanpa perlawanan. Sebuah sel kecil di Polda Metro Jaya, Jakarta, jadi dunia barunya. Di sini dia menunggu vonis pengadilan sembari berduel dengan tahanan lain. Dia menangkan duel itu dan jadi pemimpin para begundal tahanan. Vonis pengadilan jatuh pada 17 Desember 1979. “Atas semua perbuatannya, Johny Indo dihukum 14 tahun,” tulis Willy A. Hangguman dalam Johny Indo: Tobat dan Harapan . Seiring keluarnya vonis, dia berganti penjara ke Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang. Keluarga sering membesuk Johny. Anak-anaknya senang tiap kali bertemu. Mereka meminta pangku bapaknya. Dalam pangkuan seorang bapak, anak itu membisiki Johny agar jangan pernah sungkan mohon ampun kepada Tuhan Yesus. Waktu besuk selesai. Keluarga itu pulang dan Johny kembali ke selnya. Tak lama kemudian, dia jatuh sakit. Tak sembuh-sembuh. Hingga pikirannya mengingat kembali bisikan anaknya. “Dalam kartu tanda penduduk agamanya Katolik. Seumur-umurnya ia tidak pernah masuk gereja kecuali tiga hari sebelum komplotannya digulung,” tulis Willy. Akhirnya Johny menyempatkan diri berdoa. Esoknya dia sembuh dan menyatakan tekadnya mempelajari agama. Ketika mengetahui kabar kepindahannya dari LP Cipinang ke LP Nusakambangan Cilacap, Jawa Tengah, Johny Indo sedih. Jaraknya jauh dan biaya besuk ke sana mahal. Tapi istrinya menguatkan dengan mengatakan, “Pasrah saja pada Tuhan.” Di Nusakambangan, Johny kian rajin membaca alkitab. Seorang napi iseng bertanya tentang kegunaan kitab suci di penjara. Terutama untuk menahan hasrat seksual lelaki. “Susah memang, Bung! Tapi ya banyak baca kitab suci. Bung sendiri bagaimana?” balas Johny. “Onani, habis mau apa,” jawab napi. “Kok boleh begitu? Sedangkan anda sendiri guru agama?” Johny heran. “Terpaksa, Bung Johny! Lagipula itu dosa kecil! Saya tidak percaya membaca kitab suci dapat meredam kebutuhan biologis kita,” tegas napi. Johny abaikan ejekan napi itu. Berhari-hari Johny tetap membaca alkitab. Tapi lama-lama dia tak tahan juga dengan keadaan penjara. Dia kabur beberapa lama. Tapi polisi lekas menangkapnya. Dia meringkuk lagi di penjara. Dan di situ dia menemukan Tuhannya untuk kali kedua. Dia kembali berdoa, dia kembali bersimpuh. Johny Indo keluar dari penjara pada 27 Februari 1988. Dan di luar penjara, dia kembali menemukan Tuhan. Tapi kali ini dia menyebutnya Allah Swt. Dia masuk agama Islam pada 1992 dan menjadi pendakwah.*
- Sultan yang Dimakzulkan
Jika anda berkunjung ke komplek makam Pangeran Hidayatullah (Pahlawan Nasional asal Banjarmasin) di Cianjur, akan nampak sebuah makam besar berlapiskan marmer putih di sisi kiri makam sang pangeran. Banyak orang mengira ini adalah makam salah satu kerabat Pangeran Hidayatullah. Namun anggapan itu keliru. “Itu adalah makam Sultan Ibrahim Chaliluddin dari Kerajaan Paserbalengkong,” ujar Helmy Adam (32), anggota De Brings Tjiandjoer, komunitas pecinta sejarah Cianjur. Buku Republik Indonesia Propinsi Kalimantan , yang diterbitkan Kementerian Penerangan tahun 1953, mengakui Sultan Ibrahim Chalilluddin sebagai pejuang dari Kalimantan Timur. Menurut Adjie Benni Sarief Firmansyah Chaliluddin (46), pencantuman nama kakek buyutnya di buku tersebut tentunya tidak asal-asalan. “Buku ini pastinya dibuat berdasarkan kajian ahli-ahli sejarah dan para saksi sejarah yang pada waktu itu masih hidup,” ujar Adjie Benni kepada Presiden Sjarikat Islam Ibrahim Chaliluddin merupakan sultan terakhir Kerajaan Paserbalengkong. Dia diangkat sebagai sultan setelah kekuasaan kerajaan vakum selama beberapa tahun menyusul penangkapan Sultan Adjie Mohammad Ali oleh pemerintah Hindia Belanda pada 1876. Namun belum lama diangkat sebagai sultan, pada 1906 pihak pemerintah Hindia Belanda memakzulkannya sekaligus membubarkan Kerajaan Paserbalengkong. Kendati demikian rakyat Paserbalengkong masih menganggap Ibrahim Chaliluddin sebagai sultan dan menaati setiap perintahnya. Saat sang raja tanpa tahta itu menjadi presiden Sjarikat Islam (SI) cabang Paser pada 1914, berduyun-duyun rakyat masuk SI. “Termasuk bekas para pembesar Kerajaan Paser yang lantas menjadi pengurus organisasi tersebut,” kata Adjie Benni. Pemerintah Hindia Belanda waswas; orang yang mereka awasi justru masuk organisasi yang sebagai oposisi pemerintah. Dan kecurigaan itu terbukti pada Juli 1915 saat meletus pemberontakan SI di Paser. “Tangsi militer Belanda di Tanah Grogot diserang massa-rakyat pimpinan Pangeran Singa Maulana hingga menimbulkan korban yang banyak di kedua pihak,” tulis Anggraini Antemas dalam koran Buana Minggu , 25 Januari 1976. Konflik bersenjata itu ternyata bukan insiden sesaat. Diperlukan waktu 1,5 tahun bagi pemerintah untuk memadamkannya. Setelah perlawanan kian surut, pada Februari 1916 pemerintah menangkap Ibrahim Chaliluddin dan para pengurus SI Paser. “Kakek buyut saya, setelah disergap secara mendadak di rumahnya, hanya diberi waktu beberapa menit untuk bersiap-siap pergi oleh tentara Belanda,” ujar Adjie Benni. Selanjutnya, Ibrahim dan keluarganya dibuang ke Banjarmasin selama tiga tahun. Mereka lalu dipindahkan ke Teluk Betung, Lampung. Pada 1928, beserta istri dan putranya, Ibrahim kembali dibuang ke Batavia lalu ke Cianjur, tempat dia menghembuskan nafas terakhirnya dua tahun kemudian.
- Sisi Kelam Etnis Kulit Hitam di Jerman
PERKARA rasial dan imigran menghebohkan publik Jerman pekan lalu. Gara-garanya, pemain timnas Jerman berdarah Turki, Mesut Özil, merasa mengalami rasisme dan diskriminasi hingga mencuit di akun Twitter -nya. Perlakuan itu membuatnya memilih pensiun dari Die Mannschaft . Rasisme dan imigran, dua hal sensitif di Jerman, sejatinya tak hanya jadi persoalan para imigran asal Turki, melainkan juga yang berasal dari sub-sahara alias Afrika berkulit hitam. Pada 2016, rekan setim Özil, Jérôme Boateng, juga jadi obyek rasisme. Alexander Gauland, politikus dari partai Alternative für Deutschland (AfD), partai sayap kanan anti-pengungsi dan imigran, menghinanya. “Orang-orang asli Jerman takkan mau tinggal bertetangga dengan Boateng,” cetusnya kepada Suratkabar Frankfurter Allgemeine Zeitung , 5 Juni 2016. Sontak Gauland banjir kecaman. Kebanyakan mengutuknya karena Gauland tak tahu terimakasih atas jasa Boateng yang turut mengantar timnas Jerman menjuarai Euro U-21 2009 dan Piala Dunia 2014. Boateng merupakan bek kelahiran Berlin Barat 3 September 1988 dari orangtua campuran Jerman-Ghana, Martina dan Prince Boateng. Muasal Imigran Kulit Hitam di Jerman Ramainya orang kulit hitam atau Afrodeutsche di Jerman tak lepas dari aktivitas kolonialisme Jerman di Afrika Barat pada abad XIX. Namun, sejatinya orang Afro sudah lebih dulu menginjakkan kaki ke tanah Jerman dibanding kolonialisme itu. Adalah Anton Wilhelm Amo yang menjadi orang Afro pertama di Jerman, dua abad sebelum kolonialisme Jerman di Afrika. Menurut Mike Loutzenhiser dalam The Role of the Indigenous African Psyche in the Evolution of Human Consciousness , Amo yang berasal dari Nzema (kini bagian dari Ghana) merupakan anak yatim dari seorang budak West-Indische Compagnie. Dia dirawat bangsawan Jerman, Duke of August Wilhelm dan Ludwig Rudolf von Wolfenbüttle, pada 1707. Setelah dikristenkan, Amo disekolahkan di Wolfenbüttel Ritter-Akademie dan kemudian Universitas Helmstedt sebelum melanjutkan ke Universitas Halle (kini Martin Luther University of Halle-Wittenberg). Kegigihannya di bidang pendidikan membawanya menjadi salah satu filsuf ternama Jerman yang dihormati hingga kini. Sementara, di abad XIX lewat Konferensi Berlin-Congo 1884, di mana para kolonialis Eropa membagi-bagi wilayah di Afrika, Jerman kebagian area Afrika Barat. Sejak itu Jerman mulai mengangkut budak Afro ke negerinya untuk dipekerjakan pada sejumlah sektor ekonomi. Banyak dari mereka lalu direkrut menjadi tentara kolonial semacam KNIL di Hindia Belanda. Banyaknya komunitas Afro di Jerman berpengaruh pada kehidupan sosial, termasuk urusan beranak-pinak. Pemerintah Jerman pun menyatakan perkawinan campuran Afro-Jerman dianggap ilegal. Anak-anak dari hasil pernikahan campur akan dicabut kewarganegaraannya. Kaiser Wilhelm II saat mengunjungi kebun binatang manusia di Augsburg pada 1909/Foto: Bundesarchiv Mayoritas orang Afro di Jerman hidup dalam kabut derita dan terhina. Sebagian dari mereka bahkan dijadikan obyek tontonan kebun binatang manusia. Sejarawan Anne Dreesbach mengungkapkan kepada Deutsche Welle , 3 Oktober 2017, hingga 1930-an terdapat sekira 400 kebun binatang yang mempertontonkan manusia-manusia unik, termasuk orang-orang Afro di Jerman. “Yang menggagasnya adalah Carl Hagenbeck sejak 1874, di mana dia mengisi kebun binatangnya tak hanya dengan sejumlah hewan, namun juga manusia. Itu jadi hiburan tersendiri bagi publik sebelum hadirnya televisi dan foto berwarna,” ujar Dreesbach. Kebun binatang manusia di Jerman baru dilarang pasca-Perang Dunia I, utamanya setelah Adolf Hitler berkuasa. Orang-orang Afro di “sirkus” rasisme itu lantas kebanyakan berakhir sebagai buruh kasar di pabrik-pabrik Jerman. Di era Nazi, orang-orang Afro nyaris sama buruknya dengan orang-orang Gipsi, dianggap sebagai ras rendahan. Undang-Undang (UU) Ras Arya juga melarang mereka “bercampur” dengan kulit putih. Namun uniknya, ratusan orang kulit hitam juga pernah berseragam serdadu Nazi di Perang Dunia II, tergabung di Legion Freies Arabien. Kehidupan etnis Afro baru membaik pasca-Perang Dunia II. Perkawinan campuran kembali marak seiring banyaknya serdadu berkulit hitam Sekutu di Jerman. Tak sedikit dari mereka yang menikahi perempuan Jerman hingga melahirkan anak-anak campuran. Hingga kini, menurut data Bundeszentrale für Politische Bildung, 17 September 2016, terdapat sekitar 192 ribu etnis Afro berkewarganegaraan Jerman. Mayoritas berdiam di ibukota Berlin (70 ribu) dan imigran terbanyak berasal dari Nigeria (50.440). Sebagaimana peranakan Turki, para peranakan Afro juga turut meramaikan kehidupan politik dan tentunya olahraga di Jerman. Di politik, John Ehret menjadi walikota berkulit hitam pertama di Jerman kala terpilih menjadi kepala pemerintahan Kota Mauer pada 2012. Afro Pertamadi Timnas Dalam sepakbola, Gerald Asamoah menjadi pemain kulit hitam pertama di timnas Jerman. Pemain kelahiran Mampong, Ghana pada 3 Oktober 1978 itu memilih kewarganegaraan Jerman setelah ikut keluarganya pindah ke Jerman tahun 1990. Dia meniti karier di klub Hannover 96 hingga kemudian menjalani debutnya di timnas pada 2001 dan pensiun pada 2006. Eksisnya Asamoah di timnas Jerman sempat menghebohkan jagat bola Jerman yang hingga 1990-an masih sangat kuat ke-Arya-annya. Dia dianggap membuka pintu bagi pemain kulit hitam lain yang pernah atau masih berada di tim saat ini, seperti Boateng, Antonio Rüdiger, Benjamin Henrichs, Leroy Sané, Serge Gnabry, hingga Dennis Aogo. Asamoah boleh jadi pemain kelahiran Afrika pertama di timnas Jerman. Tapi kalau menyebut pemain Afro kelahiran Jerman di tim Der Panzer , Erwin Kostedde dan William ‘Jimmy’ Hartwig yang merintis, lebih dulu dari era Asamoah. Keduanya sama-sama lahir dari ayah serdadu kulit hitam Amerika dan ibu seorang kulit putih Jerman. Erwin Kostedde, pemain keturunan Afro pertama yang memperkuat timnas Jerman Barat/Foto: dfb.de Kostedde yang lahir di Münster, 21 Mei 1946, merupakan pemain Afro pertama di timnas Jerman (Barat) meski hanya tiga kali berseragam Jerman Barat. Dia memulai kariernya di SC Preussen Münster pada 1965. Sementara, Hartwig yang meniti kariernya di Kickers Offenbach, hanya dua kali memperkuat Jerman Barat pada 1979. Sebagai pemain keturunan Afro pertama di Jerman, Hartwig dan terutama Kostedde jelas jadi korban rasisme pertama di lapangan. “Meski pada 1970-an ada dua pemain non-kulit putih di timnas, seperti Jimmy Hartwig atau Korstedde, mereka terus-menerus mendapat hinaan dan sorakan rasis di stadion-stadion Jerman tanpa perhatian dari media maupun pejabat (DFB, red .),” ungkap laporan UNESCO tahun 2015 yang dirangkum dalam Color? What Color?: Report on the Fight Against Discrimination and Racism in Football . Di masa-masa 1970-an hingga 1980-an itu, tak banyak yang membela mereka mengingat xenophobia atau fobia terhadap imigran masih sangat kental di Jerman Timur maupun Jerman Barat. “Baru pada 1981 setelah adanya tekanan masyarakat, DFB menyetujui resolusi pertama mereka terhadap xenophobia.” “Sakit hati sebenarnya ketika mendengar cerita-cerita di televisi tentang pemain berkulit hitam pertama di timnas. Mungkin karena Asamoah benar-benar berkulit hitam (murni orangtua Afro, bukan campuran). Mereka telah melupakan Kostedde dan saya. Kostedde pria yang baik, namun dia diperlakukan seperti ini, di mana jasa-jasanya dilupakan begitu saja,” kata Hartwig, dikutip Independent , 29 Agustus 2001.
- Cerita dari Balik Jeruji Besi
KASUS sel penjara mewah mencuat lagi. Kali ini menimpa narapidana (napi) tindak pidana korupsi (tipikor) di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Sukamiskin, Bandung. Ada microwave , sepeda, kasur empuk, televisi, dan kloset duduk di sel mereka. Ibrahim (30 tahun), mantan narapidana kasus kepemilikan narkoba, bercerita luwes kepada Historia tentang pengalamannya di penjara. Dia masuk penjara selama delapan bulan dan berpindah penjara tiga kali. “Di dalam sana banyak fenomena, banyak keganjilan. Yang nyata dilihat mata, tapi tidak masuk oleh akal,” lanjutnya. Ibrahim masuk penjara pertama pada 2012. Sebuah sel kecil di Polres Jakarta Selatan. “Ini penjara untuk menunggu penyelesaian Berita Acara Pemeriksaan (BAP) oleh polisi ke kejaksaan,” terangnya. Luas sel Polres sekira 30 meter persegi. Sudah termasuk kamar kecil di dalamnya. Ibrahim bersama belasan tahanan kasus kriminal lain menunggu dua bulan di sini. Dunianya tiba-tiba menyusut. Dari biasa menyua gunung, kali, dan gedung, dia cuma bisa melihat dinding penjara, teralis besi, dan teman satu sel. Tak ada jendela, tak ada matahari. Setelah BAP kelar, Ibrahim dipindahkan ke penjara kedua, yaitu Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta Pusat. Di sini dia mengenal dunia keras penjara. “Ada Masa Pengenalan Lingkungan (Mapenaling) untuk ‘kijang baru’ (tahanan baru) selama sebulan,” katanya. Ibrahim bertemu dengan beberapa kepala lapak selama Mapenaling. “Mereka itu napi juga. Tapi bertugas minta OT (uang) ke sesama napi,” ungkapnya. Sebagian uangnya buat setoran ke sipir. Siapapun tak bisa menolak OT. Kalau berani melawan, brengos (napi tukang pukul) akan menghajarnya. “Yang benar-benar tidak punya uang, terima nasib jadi corvee atau budak,” katanya. Penjara ketiga Ibrahim adalah Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang. “Saya menghabiskan sisa tahanan di sini,” kenangnya. Dia sempat bertemu napi tipikor kasus Badan Urusan Logistik (Bulog). “Mantan pengurus PSSI. Dia punya kebun binatang mini di koridor selnya,” katanya. Binatang kepunyaan napi tipikor itu antara lain burung kakatua, burung jalak, iguana, dan arwana. Kandangnya berderet, dari ujung koridor ke ujung lainnya. “Aneh, kan? Mungkin kalau masih muat, dia juga taruh buaya di situ,” canda Ibrahim. Itu tadi sedikit gambaran tentang keseharian napi di penjara sekarang. Bagaimana dengan penjara lampau? Tempat Eksploitasi Penjara sebagai sistem hukuman pencabutan kemerdekaan untuk para pelaku kriminal sudah ada di Hindia Belanda sejak abad ke-19. Ia tegak di atas pasal 10 Wetboek van Stafrecht voor de Inlanders in Nederlansch Indie atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terbitan 1872. Penjara merupakan miniatur masyarakat jajahan saat itu. “Ada masyarakat penjajah yang penuh hak dan ada masyarakat terjajah yang penuh wajib,” tulis Koesnoen dalam Politik Pendjara Nasional . Penindasan kaprah terjadi dalam alam kolonial. Begitu pula dalam penjara. Kebanyakan pucuk pegawai penjara berkebangsaan Belanda. Orang-orang tempatan menempati posisi pegawai rendahan. Pegawai rendahan menghamba pada kata atasannya. Mereka bakal kena semprot atasannya jika salah bertugas sedikit saja. “Jika berani bersandar apalagi duduk, dipotong gaji. Atau paling mujur disemprot dengan kata-kata kerbau dan babi atau anjing,” tulis Koesnoen. Pegawai rendahan meneruskan gaya penindasan itu kepada napi. “Pegawai kepenjaraan di saat zaman penjajahan pada berlomba-lomba menunjukkan sifat akan kekejamannya. Dengan kata yang pendek kami sebutkan di sini: menindas,” tulis Suara Buruh Kependjaraan , Juni-Agustus 1955. Antara pegawai dan napi ada kelompok informal bernama poorman . Dia turut menjadi mata rantai kekerasan penjara. Poorman biasanya napi paling lama dan berani. “Dapat menjilat ke atas dan menginjak ke bawah… Tugas tersebut diadakan pada zaman Hindia Belanda,” tulis Koesnoen. Poorman juga tak segan memeras napi lain. Keseharian Napi Para napi hidup berjejal dalam sel. Sistem penempatan bersama dalam satu sel seperti itu berdasarkan Gestichten-Reglement (Peraturan Penjara) 1917. Napi akan masuk sel perorangan hanya dalam situasi khusus seperti terserang penyakit menular dan bahaya. Selama di penjara, kepala para napi dicukur plontos. Mereka memperoleh dua setel pakaian: satu untuk bekerja di luar sel, satu lagi buat beristirahat di sel. Para napi membuka pagi dengan minum teh. “Dan dengan uang sendiri dapat bikin air kopi,” catat Koesnoen. Dia juga mengungkap menu makan napi pada masa kolonial. Antara lain beras, daging sapi, ikan asin, telur bebek, kacang kedelai, kacang hijau, kacang tanah, kelapa, sayur segar, terasi, lombok segar, garam, gula kelapa, minyak kelapa, ubi-ubian, dan pisang. Kelihatannya lezat. Tapi porsinya kecil. Tak imbang dengan kerja para napi. “Di Majalengka, pekerjaan orang hukuman itu ialah mengangkut batu yang besar-besar dari Sungai Cideres, dibawanya ke halaman penjara dengan jarak lebih kurang dua kilometer dari penjara,” tulis Suara Buruh Kependjaraan , Maret-Mei 1957. Para napi tak boleh beristirahat semaunya selama jam kerja. “Begitu pula kalau mereka kelihatan merokok sambil mengobrol. Tak ada teguran, langsung rotan melayang,” tulis Suara Buruh Kependjaraan . Para napi kembali ke sel jelang gelap. Mereka boleh mengobrol di dalam sel sampai pagi. Tema obrolannya berkisar pada pengalaman kejahatan mereka. “Tiap sore 10 sampai 15 cerita kejahatan baru dengan segala seluk-beluk taktik dan teknik kejahatan,” tulis Koesnoen. Penjara justru membuat mereka mengetahui taktik dan teknik baru kejahatan. “Tidaklah salah bahwa ada sebutan penjara adalah sekolah tinggi kejahatan,” lanjut Koesnoen. Sebagian napi memilih main kartu untuk mengisi waktu ketimbang mengobrol. Kartu dilarang dalam penjara, tapi para napi selalu punya cara menyelundupkannya. Dengan kartu, mereka mengadakan bermacam-ragam taruhan: uang hasil kerja, rokok, lauk-pauk, sampai pijat. “Siapa yang kalah harus memijatnya untuk beberapa jam menurut daftar pertaruhan,” terang Koesnoen. Selain eksploitasi tenaga napi, pemerasan, dan perjudian, hal keseharian lain di penjara adalah hubungan seksual sejenis. “Siapa tidak tahu tentang adanya homo seksualitas, tidak hanya di penjara untuk laki-laki, juga di penjara untuk perempuan, dan perbuatan onani,” tulis Koesnoen. Penjara wanita pada masa kolonial terletak di Bulu, Semarang. Tak Banyak Berubah Kemerdekaan membawa pengaruh pada perubahan orientasi penjara. Pemerintah berupaya mengubahnya menjadi tempat pendidikan narapidana sebelum kembali ke masyarakat. Kemudian pada 1962 muncul konsep Lembaga Pemasyarakatan. Tapi keseharian di penjara tak banyak berubah. Pemerasan, kekerasan, perjudian, dan hubungan seksual sejenis tetap langgeng. Hanya eksploitasi tenaga agak berkurang. Penyelundupan berbagai jenis barang juga tetap marak. Tak jarang melibatkan sipir penjara. “Untuk mendapat keuntungan banyak dijual minuman keras pada narapidana, dan segala cara penyelundupan baik barang maupun manusia,” tulis Koesnoen. Johny Indo, mantan napi kakap LP Cipinang dan Nusakambangan, mengisahkan pengalamannya mengenal ganja di penjara. “Johny Indo merasa heran bagaimana mungkin benda haram tersebut bisa lolos masuk LP Cipinang,” tulis Willy A. Hangguman dalam Johny Indo: Tobat dan Harapan . Sampai sekarang pun narkoba masih jamak beredar di penjara. “Lebih gampang dapat narkoba di dalam,” terang Ibrahim. Karena penjara telah menjelma ladang bisnis yang melibatkan banyak elemen di dalamnya, dia tak heran napi punya ponsel, TV, kasur empuk, dan barang mewah lainnya. “Tapi ya namanya penjara tetap saja gak enak, kan. Barang-barang itu tak bisa membeli kebebasan,” tutup Ibrahim.*





















