top of page

Hasil pencarian

9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Kisah Muslim Komunis Jadi Pahlawan Nasional Cina

    BIARPUN “selama ini orang menganggap bahwa Marxisme-Leninisme atau lebih mudahnya komunisme, berada dalam hubungan diametral dengan Islam,” Gus Dur dalam esainya, “Pandangan Islam Tentang Marxisme-Leninisme” yang dimuat Persepsi  No.1, 1982, “menghendaki adanya kajian lebih mendalam tentang hubungan Islam dan Marxisme-Leninisme, yang akan membawa kepada pemahaman yang lebih terinci dan pengertian lebih konkret akan adanya titik-titik persamaan yang dapat digali antara Islam sebagai ajaran kemasyarakatan dan Marxisme-Leninisme sebagai ideologi politik.”

  • Dari Tiongkok ke Deli

    Kebijakan Presiden Joko Widodo lewat Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) menjadi sorotan belakangan ini. Bagi pemerintah, perizinan TKA perlu dipermudah guna memperlancar dan meningkatkan investasi. Sebaliknya, kubu oposisi menganggap kebijakan ini kontraproduktif. Pemerintah dinilai terlalu longgar membuka ruang bagi pihak asing sehingga mempersempit daya saing tenaga kerja dalam negeri. Tenaga kerja asing dari Tiongkok disebut-sebut sebagai ancaman terbesar. Sebabnya, mayoritas pekerja asing di Indonesia berasal dari negeri tirai bambu tersebut. Namun jika menilik sejarah, ekspansi orang-orang Tionghoa ke Nusantara sudah berlangsung sedari lama. Setidaknya, kedatangan mereka untuk mencari kerja secara masif terjejaki pada zaman kolonial di Perkebunan Tembakau Deli, Sumatera Timur.      “Pujian yang sering diberikan orang, terutama mengenai kerajinan kuli Tiongkok, sebetulnya berlaku untuk para penanam tembakau ini. Mereka bekerja dengan sistem kontrak (borongan),” ujar Jan Breman dalam Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial pada Awal Abad ke-20 . Buruh Impor Boleh jadi, tembakau Deli yang kesohor seantero Eropa itu menjadi komoditas utama berkat tangan-tangan pekerja Tionghoa. Adalah Jacobus Nienhuys, pengusaha Belanda yang menjadikan tanah Deli perkebunan tembakau. Semula Nienhuys mempekerjakan orang-orang lokal dari etnis Batak dan Melayu. Dalam praktiknya, orang Batak suka membangkang dan yang Melayu kurang terampil bercocok tanam. Nienhuys kemudian pergi ke Singapura dan mengupah 120 buruh Tionghoa. Mereka sama sekali tak mengerti tentang penanaman tembakau tetapi mau bekerja. Pada akhir musim, Nienhuys dapat mengirim 189 bal tembakau sebagai hasil panen tahun 1865. “Tembakau itu bermutu tinggi dan memperlihatkan perawatan yang cermat dan penanganan yang ahli,” tulis Karl Pelzer dalam Toean Kebun Toean Petani: Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria . Kesuksesan Nienhuys mendorong tuan-tuan kebun Belanda lainnya menggunakan jasa buruh Tionghoa. Para pekerja Tionghoa diimpor dari Penang dan Singapura melalui calo yang disebut kheh-tau . Rekrutmen bisa juga melalui laukeh yaitu buruh senior yang dikirim tuan kebun ke negeri asalnya mencari buruh baru. Keberangkatan para perantau Tionghoa ini dipermudah dengan penalangan ongkos keberangkatan terlebih dahulu oleh perantaranya maupun perusahaan tembakau. Maraknya tenaga kerja yang berdatangan ke Deli menciptakan lahan bisnis baru di semenanjung Malaya: perdagangan kuli.      Keadaan yang terjadi di negeri Tiongkok mendorong rakyatnya merantau ke Deli. Pada waktu itu keadaan politik dan perekonomian di Tiongkok merosot akibat pemerintahan penguasa Dinasti Manchu. Perang-perang lokal dan wabah kelaparan mendorong ribuan petani untuk mengadu nasib di luar negeri. Tawaran bekerja di kebun tembakau Deli menjadi harapan hidup yang lebih baik bagi mereka yang memilih bermigrasi. Orang Tionghoa kebanyakan memandang Sumatera Timur yang mereka kenal sebagai Nan Yang atau Negeri Selatan adalah suatu daerah surga dan kaya. “Kedatangan orang-orang Tionghoa ke Sumatera Timur itu berkelompok dan dikepalai oleh seorang kepala suku melalui tokoh-tokoh Tionghoa yang berada di Penang,” tulis Yasmis dalam tesisnya di Universitas Indonesia “Kuli Kontrak di Perkebunan Tembakau Deli - Sumatera Timur 1880-1915”.  Pekerja Andal Dalam penelitiannya tentang buruh di perkebunan tembakau Deli, Jan Breman mengurai sebab maskapai perkebunan Deli memilih orang Tionghoa. Buruh kebun Tionghoa dikenal pekerja keras yang tekun. Sebelum matahari terbit mereka sudah berada di ladang untuk merawat tanaman tembakau yang masih muda, menyiram persemaian, mencari ulat daun tembakau, atau menyiapkan lahan untuk ditanami. Mereka terbiasa bekerja sampai matahari terbenam dan hanya beristirahat satu-dua jam di siang hari. Tak jarang pada malam terang bulan lama sesudah bekerja keras pada hari biasa, mereka masih sibuk dengan tembakaunya. “Orang Tionghoa bisa saja merupakan pekerja yang tak simpatik karena kesukaannya berteriak dan ribut, tetapi setiap tuan kebun harus menghormati mereka karena ia memiliki tenaga dan prestasi kerja yang luar biasa,” tulis Breman mengutip kesaksian asisten perkebunan Belanda C.J. Dixon tahun 1913. Para buruh Tionghoa ini juga punya karakteristik tertentu sesuai suku bangsanya. Orang Hailokhong suka bising dan pemarah. Orang Keh dan Macau lebih tenang dan sabar tapi cenderung pendendam. Dari semua suku, orang Hailokhong adalah petani terbaik, lebih kuat, dan lebih mampu melakukan kerja berat. Pada 1883, sebanyak 21.000 buruh Tionghoa sudah bekerja di Sumatera Timur. Imigrasi pekerja Tionghoa mencapai puncaknya pada periode 1886-1889. Lebih dari 16.000 orang masuk setiap tahun. Angka-angka ini terus naik sampai 1890. Memasuki abad 20, tingginya permintaan terhadap buruh Tionghoa terkendala dengan kian diperketatnya regulasi. Pada 1930, perusahaan perkebunan Deli mengalami penyusutan signifikan terhadap buruh Tionghoa. Ketika itu terjadi depresi ekonomi yang mengakibatkan pengangguran besar-besaran. Menurut sejarawan Anthony Reid, pejabat pemerintah Tionghoa yang progresif menentang emigrasi warganya ke Sumatera Timur. Hal ini berkaitan dengan merebaknya berita-berita eksploitasi yang dialami buruh Tionghoa di Deli. Imbasnya, premi dan ongkos pengangkutan buruh Tionghoa jadi semakin tinggi. Pilihan pun beralih kepada buruh Jawa yang bersedia dibayar lebih murah. Meskipun jumlahnya di perkebunan berangsur-angsur menurun, jumlah orang Tionghoa di Sumatera Timur terus naik. Setelah menyelesaikan kontrak kerja, mereka lebih suka suka tinggal menetap ketimbang kembali ke negeri leluhur. Hingga 1930, orang Tionghoa menjadi pendatang asing terbanyak dengan menempati sepuluh persen dari komposisi penduduk Sumatera Timur. “Sebuah komunitas yang lebih berimbang muncul, terdiri dari pedagang, pemilik warung, petani kecil, nelayan, dan penebang kayu,” tulis Reid dalam Menuju Sejarah Sumatera. “Namun kelompok-kelompok ini tetap merupakan minoritas kecil.”

  • Kala Ibu Bersatu

    SEMENTARA para anggota Suara Ibu Peduli (SIP) lain berdiri di Bundaran Hotel Indonesia (HI), Karlina (Leksono) Supelli dan dua rekannya membagikan bunga kepada prajurit-prajurit ABRI yang berjaga. Aksi pada 23 Februari 1998 itu merupakan aksi protes terhadap tingginya harga kebutuhan pokok, terutama susu. SIP memprotes pemerintah yang tak memperhatikan rakyat kecil. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia, desak SIP, mestinya jadi perhatian utama pemerintah. “Dulu itu yang menginisiasi perempuan kelas menengah, bikin Suara Ibu Peduli untuk demo di Bundaran HI. Waktu itu ada teman-teman dari Jurnal Perempuan, Kalyanamitra, Karlina Leksono, Gadis Arivia, dan saya,” kata Julia Suryakusuma, juru bicara aksi, kepada Historia . Bermula dari Latihan Aerobik Ide untuk melakukan demonstrasi dimulai sejak November 1997. Menurut Gadis Arivia dalam makalah “Politik Representasi Suara Ibu Peduli”, ide awal muncul ketika dia berdiskusi dengan Nur Iman Subono, Karlina, dan seorang rekan asal Korea Eun Sook. Untuk merealisasikan ide itu, mereka mengundang rekan-rekan aktivis perempuan ke Kantor Yayasan Jurnal Perempuan, Gedung BOR Megaria, 13 Februari 1998. Sekira 15 perempuan ikut dalam pertemuan itu. Antara lain, Myra Diarsi, Julia Suryakusuma, Tati Krisnawaty, Salma Safitri, Umi Lasminah, dan Robin Bush, mahasiswa asal Amerika Serikat. Mereka menggunakan kode aerobik untuk menghindari endusan aparat keamanan; kode terus digunakan setiap mereka akan mengadakan pertemuan. Pertemuan pertama itu membahas tentang keinginan berdemonstrasi untuk melawan rezim Orde Baru, menjatuhkan Soeharto. Untuk mengelabui penguasa, yang cenderung simpatik kepada kegiatan ibu-ibu seperti Dharma Wanita, mereka menggunakan istilah ibu. Segala hal menyangkut rencana demonstrasi mendapat pembahasan detil dalam rapat “aerobik” itu. Meski SIP tak punya masalah dengan kenaikan harga susu bayi, menurut Gadis, isu susu bayi dipilih untuk menarik simpati publik karena masalah itu dirasakan semua orang. Susu bayi merupakan kamuflase terbaik karna berkaitan langsung dengan perempuan sebagai ibu. Bundaran HI dipilih karena merupakan tempat strategis di mana para kelas pekerja lalu-lalang. “Puncaknya, perempuan bisa bersuara meski harus dengan cara-cara politis, seperti turunkan harga susu. Jadi seolah-olah itu ibu-ibu yang demo, mencerminkan ibuisme juga. Jadi strategi demonya begitu,” kata Mariana Amiruddin, komisioner Komnas Perempuan, pada Historia. Meski sempat ada kemungkinan siaga satu, tembak di tempat, para perempuan tak gentar. Demonstrasi tetap berjalan. Para perempuan melakukan orasi dan membagikan bunga kepada prajurit ABRI dan orang-orang yang lewat selama aksi damai itu. Aksi itu terjadi beberapa bulan sebelum demonstrasi mahasiswa pecah. “Ada penyelewengan sejarah kalau dikatakan bahwa reformasi dimulai oleh mahasiswa. Sebetulnya, yang pertama demo itu SIP. Demo mahasiswa kan baru Mei 1998,” kata Julia. Meski aksi berlangsung hanya 30 menit, aparat tak tinggal diam. Karlina Supelli, Gadis Arivia, dan Wilasih asal Salatiga langsung diangkut ke truk aparat usai aksi. Aparat, yang mencurigai mereka ditunggangi kaum oposisi, menanyakan ada-tidaknya keterlibatan ideologi komunis dalam aksi tersebut.   Setelah ditahan selama 23 jam, ketiga aktivis itu dimejahijaukan meski kasusnya kemudian berhenti akibat Reformasi. Toh, represi penguasa tak menciutkan nyali mereka. Aksi mahasiswa yang muncul kemudian, mereka dukung. SIP kembali menggunakan kamuflase ibu “peduli” untuk mendukung aksi mahasiswa dari 19 Mei hingga 23 Mei. “Para perempuan yang ikut dalam SIP mendukung aksi demo mahasiswa dengan membagikan nasi bungkus. Melakukan taktik dengan menunjukkan peran sebagai ibu,” kata Mariana.

  • Virus Kaum Hippies

    Demonstrasi antiperang marak di Amerika Serikat medio 1960-an. Kaum muda turun ke jalan, memprotes invasi Amerika Serikat ke Vietnam. Simbol mereka adalah bunga sehingga kerap disebut sebagai generasi bunga ( flower generation ). Mereka kemudian memimpikan sebuah tatanan kebudayaan baru, yang disebut hippies. Ciri-ciri mereka berambut gondrong, berpakaian urakan, hidup nomaden, kerap melakukan seks bebas, dan menggunakan obat bius. Pandangan kebebasan yang mereka impikan seolah ingin meruntuhkan tembok mapan peradaban Barat yang dianggap munafik. Menurut W.J. Rorabaugh dalam American Hippies, tahun 1967 menandai puncak gerakan hippie. Saat itu terjadi sebuah fenomena sosial The Summer of Love, di mana ribuan hippies, mayoritas remaja putus sekolah, menyemut di Haight Ashbury, San Fransisco, Amerika Serikat. Di sana mereka berkumpul untuk mendengarkan musik, berhubungan seks, dan menggunakan narkotik. Festival musik akbar Woodstock di Middlefield, Connecticut, Amerika Serikat, pada 1969 menjadi puncak perayaan budaya kaum hippies . Budaya hippies lalu mengular ke sejumlah negara, termasuk Indonesia. Anak-anak muda, yang mengalami depolitisasi sejak awal Orde Baru, menyerap mentah-mentah budaya hippies kendati hanya kulitnya. Menurut Ekspres, 7 Juni 1971, mulanya anak-anak muda di negeri ini meniru hanya sebatas mode. Lama-lama mereka menyaplok habis budaya dan kehidupan hippies, seperti rambut gondrong, dandanan eksentrik, suka pesta, dansa telanjang, dan seks bebas. Yang paling membuat keadaan menggawat adalah penggunaan narkotika, ganja, dan morfin. Kota besar di Indonesia yang paling cepat menyerap gaya hippies adalah Bandung. Japi Tambajong dalam Ensiklopedi Musik menulis, di sana gadis-gadis sekolah ikut-ikutan melakukan seks bebas namun ujung-ujungnya menjadi pelacur-pelacur tanggung. Sebutan populer bagi mereka adalah gongli , singkatan dari bagong lieur , bahasa Sunda babi hutan yang pening . Pengaruh hippies pun menular ke dunia musik tanah air. Bandung pula yang berada di barisan terdepan. Dalam buku otobiografinya, Living in Harmony, Fariz RM menyebut The Prophecy yang anggotanya campuran multibangsa sebagai grup musik hippies asal Bandung. Grup musik ini hanya berdiri selama setahun, 1973-1974. Sementara Japi Tambajong menyebut Flower Power sebagai propagandis hippies pada awal 1970-an. Semangat Flower Power bahkan sempat membuat resah orang-orang tua. “Bandung di kalangan anak muda waktu itu tidak lagi disebut Parijs van Java , tapi San Fransisco of Java ,” tulis Japi. Di Jakarta, kaum muda berharap bisa menikmati konser ala Woodstock. Keinginan itu terpenuhi melalui konser musik besar bertajuk Summer 28– akronim dari Suasana Menjelang Kemerdekaan ke-28 – yang digelar di Ragunan, Pasar Minggu, pada 16 Agustus 1973. Konser ini rencananya berlangsung selama 12 jam, dari pukul 17.00 hingga 05.00, dan menampilkan sekira 20 grup band dari berbagai genre dan subgenre musik, dari Koes Plus hingga God Bless. Dalam artikel berjudul “40 Tahun Summer’28”, pengamat musik Denny Sakrie menyebut Summer’28 sebagai pesta euforia kebebasan bermusik anak muda Indonesia yang sebelumnya dibelenggu aturan-aturan pemerintah. “Inspirasi dari gerakan generasi bunga Summer of Love kemudian dicampurbaurkan dengan semangat kebebasan dalam bermain musik,” tulis Sakrie. Sayangnya, konser harus berakhir lebih cepat. Sekira pukul tiga dini hari terjadi kerusuhan. Konon, karena band rock AKA dari Surabaya batal tampil. Pemerintah pun resah dengan pengaruh hippies pada generasi muda, menganggapnya sebagai ancaman bagi keamanan dan ketertiban. Beberapa upaya pun dilakukan, salah satunya melalui aturan dilarang gondrong.

  • Dari Daur Ulang ke Bantar Gebang

    JALAN Thamrin di Jakarta pernah tak elok dilihat pada dekade 1960-an. Sampah berhamburan di atas tanah merah pembatas jalan itu. “Tidak jauh dari kemegahan Hotel Indonesia, tidak jauh pula dari kehebatan Bank Indonesia di Jalan Thamrin merajalelalah gunung-gunung sampah di tengah-tengah perumahan manusia,” catat F. Bodmer dan Moh. Ali dalam Djakarta Djaja Sepandjang Masa  untuk menggambarkan keadaan Jalan Thamrin pada dekade 1960-an.

  • Peran Perempuan Jawa Kuno

    DALAM sejarah kuno Indonesia, perempuan bisa menjabat kedudukan tertinggi di kerajaan hingga desa. Meski begitu bukan berarti kesetaraan gender bisa ditemukan di setiap kehidupan masyarakat pada masa itu. “Terus terang pada masa Jawa Kuno tidak selalu setara,” kata Titi Surti Nastiti, peneliti senior Puslit Arkenas, dalam diskusi yang diadakan Masyarakat Pernaskahan Nusantara (Manassa), di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, Kamis (26/4). Titi menjelaskan, dari akar katanya, wanita dan pria memiliki arti yang sejajar dalam bahasa Sanskerta. Wanita berasal dari vanita . Akar katanya, van yang berarti tercinta, istri, perempuan, anak gadis. Pria berasal dari kata priyá . Artinya, yang tercinta, kekasih, yang disukai, yang diinginkan, dan sebagainya. Sementara dalam bahasa Melayu, perempuan berasal dari akar kata empu atau empuan. Dengan imbuhan , artinya perempuan atau istri raja. Laki-laki dasarnya adalah laki. Dalam bahasa Indonesia terdapat pengulangan menjadi laki-laki atau lelaki dengan awalan . Kendati demikian, dalam perkembangan kebudayaan, kedudukan dan peranan laki-laki dan perempuan tak selalu sama. Gender dikonstruksi secara sosial dan budaya. Pada era Jawa Kuno, di bidang politik, jabatan pemerintahan bisa diduduki laki-laki maupun perempuan. Jabatan itu mulai dari raja atau ratu, putra atau putri mahkota, rakai (penguasa wilayah/ watak ), pejabat hukum, pejabat keagamaan, pejabat desa seperti hulu wanua (pengawas desa) , huluair (pengawasa saluran air) , wariga (ahli perbintangan) , dan seterusnya. Menariknya, menurut Titi, jabatan tertinggi di desa pada abad 8-9 diterima bukan berdasarkan keturunan, melainkan ditunjuk oleh masyarakat. Ini dikisahkan dalam Prasasti Jurunan (876 saka). “Tidak bicara jumlah ya, tapi memang ada [pejabat perempuan],” ungkapnya. Perempuan pun turut membantu perekonomian keluarga. Mereka membuat barang-barang kerajinan, seperti kain, anyaman, barang dari tanah liat, yang digunakan untuk pribadi maupun barang dagangan. Pedagang perempuan ada di tingkat eceran hingga saudagar atau baṇigramī. Istilah ini muncul dalam Prasasti Gandhakuti dari tahun 1042. Mereka juga cukup diperhitungkan dalam bidang hukum. Prasasti Guntur (907) dari masa Mataram Kuno menyebut adanya saksi perempuan ( tara saksi ) dan pemutus perkara yang dijabat perempuan ( pinariccheda guṇadośa ). Sementara pada masa Majapahit, perempuan menduduki jabatan di dalam Dewan Pertimbangan Kerajaan atau Bhatara Saptaprabu. Khususnya pada masa Hayam Wuruk, yang duduk dalam Dewan Pertimbangan Kerajaan adalah raja, ayah-bunda raja, paman-bibi raja, dua adik perempuan raja beserta suaminya. Bahkan di bidang seni, perempuan dan laki-laki sama-sama punya panggung. Mereka tidak hanya menunjukkan kebolehannya di dalam pesta bangsawan, tetapi juga di jalanan. “Kesenian bukan hanya alat hiburan, tapi sumber penghasilan. Dulu sudah ada seniman profesional yang dibayar dan punya kewajiban membayar pajak,” ujar Titi. Di bidang agama agak berbeda. Dalam Prasasti Taji (891) terdapat keterangan kalau perempuan dibolehkan mengelola bangunan suci. Di sana disebutkan, Rakryan I Watutihang memberikan kebikuan di Dewasabhā kepada anak perempuannya. Meski begitu, tidak ada bukti kalau perempuan pernah menduduki jabatan yang lebih tinggi daripada laki-laki. Dalam sebuah wanasrama mandala, yang pada masa kini berbentuk seperti pesantren, seorang pendeta memiliki tingkatan. Tingkat pertama, tapowana, kemudian pangubwanan , pangmayuan, kaki, dan endang . “Nah pangubwanan ini perempuan. Sekarang kalau kita lihat di Bali tidak ada pemimpin doa perempuan,” jelasnya.  Kedudukan laki-laki dan perempuan pada masa lalu memang tidak selalu setara. Kedudukan perempuan yang lebih rendah muncul dalam praktik bela atau sati . Meski begitu, kebiasaan ini tidak sama dengan asalnya di India. Dalam berita Portugis disebutkan sati tidak hanya dilakukan perempuan. Laki-laki bangsawan diketahui melakukan bunuh diri sebagai tanda setia kepada rajanya.   Belum lagi anggapan kalau perempuan pada masa Jawa Kuno seringkali dijadikan hadiah untuk raja. Misalnya dikisahkan dalam naskah Nagakrtagama . Raja Majapahit Hayam Wuruk diceritakan bersuka cita menikmati gadis-gadis ketika mampir di suatu desa dalam perlawatan agungnya bekeliling negeri. Soal ini, kata Titi, harus dilihat berdasarkan konteks zamannya. Hal semacam ini mungkin pada masa lalu justru memperlihatkan kalau sang raja dicintai. Perbuatan Hayam Wuruk ini belum tentu dipandang buruk pada masa itu. Ini mengingat penciptanya, Mpu Prapanca, sebagai penulis kerajaan tak boleh menuliskan hal buruk tentang rajanya dalam karya tulis resmi, seperti Nagarakrtagama . “Jangan lupa kedudukan Hayam Wuruk sebagai raja, kalaupun dia tidak mau dia disodor-sodorkan oleh bawahannya,” lanjut Titi. Sebaliknya, seorang istri bisa saja memiliki gelar kebangsawanan lebih tinggi daripada suaminya. Ini seperti yang terjadi pada Bhre Wirabhumi yang mendapatkan gelar dari istrinya, Nagarawarddhani. Sebelum menjadi Bhre Lasem, Nagarawarddhani lebih dulu berkuasa di daerah Wirabhumi. Contoh lainnya terjadi pada Wikramawarddhana. Ia mengeluarkan Prasasti Patapan II (1385) dan Prasasti Tirah atau Karang Bogem (1387) ketika belum menjadi raja di Majapahit. Dia pun memakai lambang daerah Lasem pada kedua prasasti itu. Padahal, Lasem adalah daerah kekuasaan Kusumawarddhani, istrinya. Adapun Kusumawarddhani adalah putri Hayam Wuruk dari Paduka Sori. “Ini mencerminkan kalau kekuasaan sang istri lebih besar dari Wikramawaerddhana,” jelas Titi. Titi berkesimpulan bahwa pada masa lalu kesempatan bagi tokoh perempuan untuk menonjol tidak lebih sempit dibanding masa sekarang. Dan kisah perempuan harus dipingit baru ada jauh pada masa yang lebih modern.*

  • Gaung Maung di Pentas Sejarah

    BELUM lagi laga Persib kontra Persija dihelat, psywar kedua kubu mengenai pertandingan Liga 1 di Stadion Gelora Bung Karno 28 April 2018 mendatang itu sudah ramai. Bak Tom & Jerry, kedua klub merupakan musuh bebuyutan sejak lama. Walau pada akhirnya duel klasik di pengujung pekan ini mesti ditunda hingga 30 Juni 2018. Padahal, di masa pergerakan kemerdekaan, Persib dan Persija (kala itu masih bernama Voetbalbond Indonesia Jacatra/VIJ) bersama Vortenlandsche Voetbalbond Sala (kini Persis Solo), Persatoean Sepakbola Mataram (PSIM Yogyakarta), Indonesische Voetbalbond Magelang (PPSM Magelang), Madioensche Voetbalbond (PSM Madiun) dan Soerabajasche Indonesia Voetbalbond (Persebaya) bahu-membahu mendirikan PSSI pada 19 April 1930. Persib dan Persija berbeda usia lima tahun. Cikal-bakal Persib berdiri tahun 1923 dengan nama Bandoeng Inlandsche Voetbal Bond (BIVB). Klub yang diketuai Mr. Syamsudin ini dibentuk untuk menyaingi Bandoengsche Voetbal Bond (BVB), klub di bawah naungan Belanda yang lahir pada 1914 dan berganti nama jadi Voetbalbond Bandoeng en Omstreken (VBBO) pada Desember 1935. BIVB sempat diasuh R. Atot, putra tokoh perempuan nasional Dewi Sartika. Markas pertama BIVB bertempat di Lapangan Tegallega. BIVB, sebagaimana ditulis Mohammad Achwani dalam Catatan Lintasan Sejarah Persib 14 Maret 1933-1993, kemudian berganti nama menjadi PSIB (Persatoean Sepakbola Indonesia Bandoeng). Perubahan itu tak lepas dari pengaruh Sumpah Pemuda (28 Oktober 1928). Para tokohnya memilih menggunakan nama yang berbahasa Indonesia. Kebetulan, di Bandung kala itu eksis juga klub nasionalis lain, NVB (National Voetbalbond). “PSIB dan NVB kemudian dipersatukan pada (tanggal 14) bulan Maret 1933 dan bond baru ini diberi nama Persib (Persatoean Sepakraga Indonesia Bandoeng),” terang mantan Komisaris PSSI Jawa Barat R. Ibrahim Iskandar dalam buku Pasang Surut 40 Tahun Persib . Namun, mereka masih menggunakan nama PSIB dalam kompetisi Perserikatan 1933. Majalah Pandji Poestaka terbitan 1934, misalnya, mencatat nama PSIB masih menjadi bagian dari 15 anggota PSSI. Terlepas dari persoalan nama, para pengurus Persib di bawah pimpinan Anwar St. Pamoentjak lalu membujuk 11 klub lokal (Diana, HBOM, JOP, Malta, Matahari, Merapi, OVU, RAN, Siap, Singgalang, Soenda) agar bersedia bernaung di bawah Persib. Upaya yang didukung tokoh nasional Oto Iskandar Dinata itu bertujuan untuk mengatasi kendala pemain dan dana dalam rangka menghadapi kompetisi. Namun di sisi lain, upaya perekrutan itu memicu persaingan keras antara sepakbola bumiputra (Persib) melawan sepakbola Belanda (VBBO) dalam merebut hati publik Bandung. Perlahan tapi pasti, minat penonton pindah ke Persib. Pertandingan-pertandingan VBBO pun sepi penonton. VBBO lantas vakum di zaman pendudukan Jepang (1942-1945) karena Jepang melarang semua yang berbau Belanda. Era Jepang dan Kemerdekaan Sempat vakum karena masuknya Jepang, Maret 1942, Persib malah mendapat wewenang Jepang untuk mengelola sepakbola di Bandung di bawah IGB (Ikatan Gerak Badan). Suratkabar Tjahaja 25 Desember 1942 mencatat, Ketua Persib Anwar St. Pamoentjak dipercaya menduduki jabatan Urusan Lapang dan Sepakraga. Pada 1943, IGB Persib digabungkan dengan GELORA (Gerakan Latihan Olahraga). “Sesuai dengan kehendak pimpinan Gelora supaya di tanah Jawa dan Madura sebaiknya hanya terdapat satu perkumpulan olahraga saja, maka pengurus IGB Persib sudah memutuskan untuk melebur IGB Persib kemudian dijadikan Gelora bagian sepakraga,” tulis Tjahaja , 3 Juni 1943. Semasa Revolusi (1945-1949), Persib di bawah asuhan Dr. Musa, Munadi, H. Alexa, dan Raden Sugeng kembali “perang” melawan VBBO yang coba dihidupkan kembali oleh NICA. Persib menang lantaran masyarakat Bandung sudah kadung cinta Persib. Revolusi juga membuat markas Persib berpindah-pindah hingga ke ibukota Yogyakarta, tempat Kompetisi Perserikatan 1948 dihelat. Last Team Standing Persib bisa pulang kampung tahun 1950. Kekuatannya bertambah dengan masuknya klub Young Men’s Combination Chung Hua, Unitspanning Na Inspanning (UNI), dan Sport in de Open Lucht is Gezond (Sidolig). Mereka menyeberang ke Persib menyusul bubarnya klub Persatuan Sepakraga Bandung dan Sekitarnya (PSBS) yang merupakan kelanjutan dari VBBO. Menjelang Indonesia Super League (ISL) 2009-2010, yang mengharuskan tiap klub memiliki badan hukum, Persib berganti status dari amatir menjadi profesional. Dana APBD tak lagi menghidupi Persib. Situs resmi klub, persib.co.id, menyebutkan, mulai 2009 Persib berada di bawah naungan PT Persib Bandung Bermartabat pimpinan H. Umuh Muchtar. Kini, Persib berada di tangan konglomerat Glenn Sugita. Dialah yang mendatangkan dua bintang mahal musim lalu: Michael Essien dan Carlton Cole. Essien digaji Rp11 miliar setahun dan Cole sebagai marquee player digaji sekitar Rp5 miliar. Rangkaian Prestasi Sejak masih bernama BIVB dan kemudian PSIB, Persib berada di bawah bayang-bayang Persija. Di kompetisi Perserikatan 1933, Persib hanya runner-up di bawah Persija. Baru tahun 1937 klub kebanggaan Kota Bandung itu merengkuh gelar juara pertamanya. Prestasi itu baru bisa diulangi di musim 1961. Di turnamen “tak resmi”, Persib sempat juara pada September 1950. Di final kejuaraan dalam perayaan Kongres PSSI itu Persib mengalahkan Persebaya 2-0. Prestasi Persib terbilang labil. Klub ini bahkan sempat terdegradasi ke Divisi I alias gagal masuk lima besar Divisi Utama Perserikatan gegara kalah 1-2 dari Persiraja di laga playoff , 27 Januari 1978. “Dengan kemenangannya ini, Persiraja berhak maju ke Kejuaraan Nasional Utama PSSI bersama-sama dengan Persija, Persebaya, PSM, dan PSMS Medan. Sedangkan Persib harus mulai lagi dari tingkat bawah,” tulis  Pikiran Rakyat , 28 Januari 1978. Hanya bisa menjadi raja runner-up pada 1980-an, Persib berhasil mencapai masa keemasan di era 1990-an. Setelah menjuarai Perserikatan musim 1990, Persib kembali juara pada 1994 sekaligus mencatatkan namanya sebagai penutup juara Perserikatan. Pada 1995, Persib menjadi pencicip pertama juara Liga Indonesia –gabungan kompetisi Perserikatan dan Galatama. Di era ISL sampai Liga 1, Persib baru mengoleksi gelar pada 2014. Di mancanegara, Persib baru bisa membawa pulang satu trofi, Sultan Brunei Cup, pada 1986.

  • Kelola Sampah untuk Cegah Musnah

    PRESIDEN Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 tahun 2018 tentang percepatan Pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah menjadi Energi Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan pada 12 April 2018. Perpres ini meminta keterlibatan sejumlah kota agar mengelola sampah menjadi lebih bernilai guna. Sebelum Perpres ini, bagaimanakah kota besar di Indonesia, semisal Jakarta, mengelola sampah?

  • Bukti Kedatangan Cola

    EKSPANSI Kerajaan Cola, dinasti Tamil di India Selatan, yang dimulai abad 10 telah mendorong para pedagang Tamil untuk datang ke wilayah Asia Tenggara. Di antaranya ke Sriwijaya yang menguasai wilayah Sumatra dan perdagangan di Selat Malaka. Selain prasasti, bukti keberadaan mereka adalah arca bergaya Tamil yang ditemukan di Sumatra Utara. Dari bukti ini dapat diketahui kalau mereka menempati daerah di pesisir barat dan timur Sumatra bagian utara.   Bambang Budi Utomo mengatakan salah satu tempat yang diduduki para saudagar Tamil adalah Kota Cina, Medan, Sumatra Utara. Mereka terkait dengan serikat dagang Tamil bernama Ayyavole yang beraktivitas di Asia Tenggara sekira abad 11-14. “Adanya Prasasti Labu Tua di Barus, juga sisa bangunan dan arcanya di Situs Kota Cina, merupakan bukti orang Tamil telah tinggal permanen di tempat itu,” jelas arkeolog senior Puslit Arkenas. Arca yang ditemukan di situs Kota Cina adalah arca Buddha dan arca Wisnu berserta Saktinya, Laksmi. Arkeolog Edwards McKinnon memasukkan arca itu dalam kelompok gaya Tamilnandu Pedesaan. Tamil Nandu adalah negara bagian di India Selatan yang menjadi pusat pemerintaha Dinasti Cola. Dalam Pengaruh Kebudayaan India dalam Bentuk Arca di Sumatra, Bambang menjelaskan ciri khas gaya Tamil yang nampak pada arca di Kota Cina adalah model pakaian bawahnya. Pada fragmen arca Laksmi misalnya, kain panjangnya digambarkan seperti lipatan-lipatan yang sangat jelas dan menonjol. Belahan kakinya juga dalam.   “Yang menjadi pembandingnya adalah arca Dewi di Kuil Sri Mariyamman dan Wisnu Kahchipuram di India. Diduga area dari Kota Cina tersebut berasal dari abad 11-12,” lanjutnya. Arca lainnya adalah arca Buddha. Arca ini mempunyai gaya berbeda dengan yang dijumpai di Jawa atau Sumatra. Arca ini lebih mirip dengan arca-arca Buddha di Tanjore (India Selatan) dan arca Buddha dari Siwa Kancipuram (Tamilnadu, India Selatan) yang berasal dari abad ke-11-12. Cirinya salah satunya terletak pada atau tonjolan pada kening Buddha yang meruncing. “Bentuk tubuhnya kalau dilihat dari samping agak pipih, sedangkan dari depan atau belakang bentuknya melebar,” jelas Bambang. Secara garis besar, langgam arca Tamilnadu Pedesaan tidak proporsional terutama bagian tangan dari lengan hingga telapak tangan. Lengannya besar, telapak tangannya pun terlalu lebar dan besar. Ini memberikan kesan yang kasar, terutama pada arca-arca Hindu. Pengaruh Tamil juga masuk ke wilayah Sumatra bagian tengah. Di Situs Koto Kandis, Jambi, ditemukan arca Mahadewi dari perunggu. Pakaian yang dikenakan digambarkkan seperti kain tipis, bergaris-garis dan panjang sampai pergelangan kaki. Ikat pinggangnya berupa tali berhias bunga dan sampur dengan simpul pada bagian pinggul kanan dan kiri. “Itu dari tepi Batanghari. Arca ini sekarang di Museum Jambi. Tingginya sekira 40 cm,” ungkap Bambang. Beberapa arca lainnya kemungkinan pernah ditemukan di Situs Labo Tua, pantai barat Sumatra Utara. Namun sudah hilang. Di tempat ini pula pernah dilaporkan ada dua buah prasasti Tamil. Sayangnya, satu sudah hancur diledakkan. Satu lagi disimpan di Museum Nasional. “Arca-arca dari wilayah Sumatra Utara memang paling banyak terpengaruh gaya India Selatan dan Cola. Di Barus, Banda Aceh, Medan, di sana sampai sekarang masih banyak ditemukan orang-orang Tamil,” lanjut Bambang. Bambang menduga, orang-orang Tamil mendatangkan arca-arca itu langsung dari India Selatan. Terutama arca dari Kota Cina. Batu yang menjadi bahan dasar pembuatannya tak ditemukan di Sumatra atau Nusantara, melainkan hanya ada di India. “Jenis batunya keras dan berwarna hitam,” ujarnya. Arca gaya itu pun tak berkembang di Nusantara karena masyarakat tak mengadopsinya. Gaya ini tak ditemukan lagi setelah abad 14. “Bukan mempengaruhi gaya seni Nusantara, dalam arti senimannya seniman Nusantara bikin arcanya gaya Tamil, bukan gitu. Senimannya tetap seniman Tamil, barangnya dibawa dari India,” katanya. Berbeda dengan gaya arca yang memang berkembang di Nusantara, seperti gaya Sailendra (abad ke-8-9), Singhasari (abad 13), dan Majapahit (abad 14-15). Jumlah temuan arcanya banyak karena hasil seniman lokal. “Di antara semua itu, gaya Sailendra yang paling berkembang,” lanjut Bambang. Bambang menambahkan, selain arca gaya seni Cola dari India Selatan, di Nusantara juga ditemukan gaya seni asing lainnya, yaitu gaya seni Amarawati dari India Utara (abad 7-8), gaya seni Pala, India Utara (abad ke-8-11), dan gaya seni Dwarawati di Asia Tenggara daratan (abad ke-7-12). Temuannya hanya sedikit sama seperti gaya seni Cola. “Indikasinya, kerajaan-kerajaan di Nusantara mengadakan kontak dengan kerajaan di luar,” katanya.

  • Orang Hokian di Pusat Borneo

    KOTA Sampit dibekap mendung senja itu. Air Sungai Mentaya berwarna kecoklat-coklatan, tanda hujan sudah mulai turun di hulu. Beberapa bocah yang sedang berenang segera merapat ke pinggir. Di Pelabuhan Sampit, orang-orang yang tengah berniaga masih saja ramai. Sekelompok pedagang nampak masih asyik beradu harga dengan para pembelinya. Mereka sebagian besar adalah orang Tionghoa.  Menurut Wahyudi Kaspul Anwar, orang-orang Tionghoa sudah ada di Sampit sejak ratusan tahun yang lalu. Bahkan kata salah satu tokoh masyarakat kota yang masuk dalam wilayah provinsi Kalimantan Tengah tersebut, istilah “sampit” sendiri sejatinya berasal dari kata “sam” dan “it” yang bermakna angka “31”. Itu merujuk kepada 31 perantau Tionghoa asal Hokian (Fujian) yang kali pertama datang ke Sampit. “Mereka datang ke sini tadinya hanya untuk sekadar mencari penghidupan yang lebih baik, namun malah akhirnya membuat loji sendiri,”ungkap mantan Bupati Kotawaringin Timur itu Namun bukan berarti penjelasan Wahyudi diamini oleh semua orang di Sampit. Dalam Diaspora Masyarakat Cina di Sampit pada 1847 sampai 1942 , Yusri Darmadi, Yusriadi dan Rezza Maulana menyebut masyarakat Tionghoa di Sampit sendiri malah tidak seia-sekata mengenai versi tersebut. “Bahkan ada yang menduga, istilah Sampit itu berasal dari nama seorang Cina yang tinggal di seberang,” tulis Yusri Darmadi dan kawan-kawan.“Seberang” yang dimaksud oleh Yusri dkk adalah Mentaya Seberang. Di era Hindia Belanda, sejatinya pusat kota Sampit berada di seberang sungai tersebut. Seperti halnya pendapat yang dianut oleh Wahyudi Kaspul Anwar, banyak kalangan di Sampit meyakini para perantau Tionghoa sudah mulai berdatangan ke Sampit sejak abad ke-19. Mereka bergerak menuju Sampit selain untuk menjadi pedagang juga menjadi buruh. Sebagian besar kemudian dimanfaatkan oleh orang-orang Belanda untuk bekerja di perkebunan-perkebunan karet. Berdasarkan hasil penelusuran Yusri Darmadi dan kawan-kawan, pada awal abad ke-20, masyarakat Tionghoa di pusat Borneo (nama lama Kalimantan) tersebut bahkan sudah menjadi suatu komunitas yang mapan dan keberadaannya diakui oleh pemerintah Hindia Belanda. Itu dibuktikan dengan adanya makam seorang letnan Tionghoa  bernama Kwee Sioe Lian (1863-1949) di Sampit. Sumber Belanda sendiri baru mencatat jumlah orang Tionghoa di Sampit sejak tahun 1900. Dalam Grongebied en Bevolking 1905, 1908 & Bevolkinggassterkte per district 1920 of 1930 , disebutkan jumlah mereka pada 1900 adalah 212 orang. Lima tahun kemudian jumlah itu berkurang menjadi 201 dan pada 1930 menjadi 863 orang. Pada 1930-an, sebagian besar orang Tionghoa terlibat aktif dalam bisnis di Sampit. Mereka berperan sebagai pembeli dari penampung berbagai hasil alam seperti rotan, kayu, getah karet. Ada dua orang Tionghoa yang terkenal sebagai juragan getah kala itu di Sampit. Masing-masing bernama Ong Cun Cing dan Cu So Go. “Ong Cun dan Cu So selanjutnya menjual semua komoditas tersebut ke Surabaya dan Singapura,” ungkap Yusri dkk.   Hubungan antara orang-orang Tionghoa dengan penduduk pribumi (suku Dayak) berlangsung harmonis. Sejak kedatangan para perantau tersebut ke Sampit, tak ada cerita mereka pernah berkonflik dengan pribumi. Alih-alih terlibat konflik, di antara mereka malah ada yang kawin mawin dengan orang-orang dari suku Dayak. Vera Tan, salah seorang pengusaha perempuan Tionghoa di Sampit, menyebut keharmonisan itu tercipta karena adanya komunikasi di antara kedua kelompok etnis tersebut. Sejak dahulu, jika ada masalah yang melibatkan orang-orang Tionghoa dan Dayak, maka para pimpinan pun akan turun tangan. “Biasanya kami akan berkumpul dan mencari sebab masalah itu terjadi lalu kami musayawarahkan cara penyelesaiannya,” ujar Vera. Bisa jadi karena tradisi tersebut, saat Sampit didera konflik berdarah pada 1996,1997 dan 2001, masyarakat Tionghoa di sana sama sekali tak tersentuh. Alih-alih menjadi korban, sebagian dari mereka malah terlibat dalam penanganan para pengungsi.

  • Perempuan Ditekan, Perempuan Melawan

    NYONYA Margono gondok. Suatu hari di tahun 1967 seorang asisten sosial-politik (sospol) Departemen Pertahanan dan Keamanan (Hankam) memintanya mengubah organisasi istri pimpinan Nyonya Margono menjadi seperti organisasi istri di angkatan lain: struktur organisasi mengikuti jabatan suami. Nyonya Margono, yang juga aktif di Perwari, menolak. Dia bersikeras organisasi istri angkatan bersenjata yang dipimpinnya harus tetap otonom, punya hak untuk memilih pemimpinnya sendiri. Dia tidak ikhlas kalau organisasinya harus tunduk pada aturan Rezim Soeharto. “Saya dipilih oleh anggota. Saya harus bertanggungjawab pada mereka dan menunjukkan bahwa para anggota punya hak asasi dasar untuk memilih pemimpin,” kata Nyonya Margono, dikutip Julia Suryakusumma dalam Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru . Keteguhan Nyonya Margono membuatnya sampai mesti enam kali bolak-balik ke kantor Hankam. Tapi apa daya, asisten sospol Hankam tadi mengatakan kebijakan itu tidak bisa ditolak. Semua orang tak punya pilihan lain. Sejak itu, organisasi istri pimpinan Nyonya Margono kehilangan otonominya. Pengalaman Nyonya Margono merupakan akibat langsung dari agenda politik Orde Baru (Orba) dalam membatasi ruang gerak perempuan. “Di tingkat kabupaten ke atas itu semua harus masuk organisasi korporatif, maksudnya supaya dikuasai oleh negara. Hubungan negara dan masyarakat awal Orde Baru itu dibikin kayak piramida, sangat dikuasai negara,” kata Julia Suryakusuma via telepon kepada Historia . Pasca- G30S, gerakan perempuan mengalami kemunduran. Soeharto berupaya secara sistematis mematikan gerakan perempuan dengan mengkampanyekan politik perempuan sebagai sesuatu yang kotor, menjauhkan perempuan dari politik, dan mengembalikan perempuan ke dapur. Upaya itu mula-mula dilakukan dengan meniadakan anggota PKI, Gerwani, dan semua yang dianggap terkait dengan G30S. Sambil terus mencitrakan perempuan anggota Gerwani sebagai perempuan cantik namun kejam dan amoral, terutama lewat Harian Angkatan Bersendjata , pemerintah Orba terus membungkam gerakan perempuan di luar Gerwani. Perempuan yang memiliki suara atau pandangan politik dianggap perempuan banal seperti Gerwani. Berkelindan dengan trauma pembantaian masal 1965 yang membuat orang-orang takut, kampanye Orba itu berhasil menyurutkan aktivisme perempuan. Namun, Orba membiarkan adanya representasi gerakan perempuan sebatas parsipatoris-pasif agar tak militan seperti masa sebelumnya. Untuk mewadahinya, pemerintah membuat beragam organisasi perempuan. Ninuk Murniarti membagi periode gerakan perempuan era Orba menjadi dua gelombang: Pertama , 1966-1980, di mana perempuan masuk ke dalam PKK dan Dharma Wanita dengan tujuan “berpartisipasi dalam pembangunan”. Kedua , 1980-1998, gerakan perempuan terbagi ke dalam dua kelompok besar. Mereka yang ingin ikut menyukseskan program pemerintah masuk ke dalam PKK, sementara yang lain bergerak ke dalam organisasi-organisasi yang menjunjung keadilan gender. Pemerintah berhasil menggiring perempuan masuk ke dalam organisasi seperti PKK, Dharma Wanita, Dharma Pertiwi yang disebut sukarela tapi diwajibkan. Sementara, organisasi-organisasi perempuan yang ada diharuskan masuk Kowani. “Gerakan perempuan di tingkat desa ke atas sangat terbatas karena semua masuk Kowani. Sementara, Kowani dikuasai Dharma Wanita dengan ideologi Pancadharma Wanita, perempuan pendamping suami. Di negara fasis seperti Jerman ada juga ideologi anak, keluarga, gereja. Mirip dengan Pancadharma Wanita,” kata Julia. Upaya menguasai organisasi perempuan secara terstruktur itu mirip model organisasi perempuan masa Jepang, Fujinkai. Soeharto memunculkan apa yang disebut Julia sebagai “ibuisme negara” untuk menekan gerakan perempuan. Perempuan baik yang dicitrakan penguasa ialah perempuan patuh, diam, dan perawat keluarga. Nasib gerakan perempuan pun berada di tangan penguasa. Kampanye “Perempuan dan Pembangunan” yang dilancarkan pemerintah Soeharto, tulis Nunuk Murniarti dalam Getar Gender, mengaburkan perjuangan gerakan perempuan. Namun, perempuan tak diam saja. Kungkungan pemerintahan represif mendorong beberapa perempuan membuat organisasi perempuan di luar Kowani. Desakan untuk melakukan gerakan perempuan alternatif muncul ketika efek buruk pembangunan mulai terasa merugikan perempuan. Tahun 1980-an, organisasi perempuan non-pemerintah bermunculan dan bergerak di bidang advokasi, litigasi, dan informasi mengenai masalah keperempuanan. “Gerakan perempuan itu tidak pernah mati dan sangat hadir, di luar bayang-bayang Kowani yang sebenarnya adalah alat negara. Meski ditekan, gerakan perempuan tetap ada melalui LSM, yayasan, atau ormas. Tapi harus kucing-kucingan, harus lihai caranya. Gerakan perempuan harus lebih lentur untuk tetap tumbuh di tengah pemerintah yang represif. Di tingkat akar padi, banyak yang bergerak sendiri, nggak minta permisi sama LKMD atau PKK. Dulu segala macam kan harus harus minta izin. Jadi banyak gerakan yang setengah ilegal ya,” kata Julia sambil terkekeh. Menurut Ninuk, kemunculan kembali gerakan perempuan independen dipelopori Yayasan Annisa Swasti (Yasanti), yang berbasis di Yogyakarta, pada 1982. Kalyanamitra dan Pusat Pengembangan Sumberdaya Wanita yang berbasis di Jakarta mengikuti pada 1985 dan 1986. Kemunculan organisasi perempuan di awal 1980-an ini menginspirasi perempuan lain. Pada 1990-an, gelombang kemunculan gerakan perempuan meningkat. Prisma tahun 1996 memuat beberapa nama organisasi perempuan baru seperti Forum Diskusi Perempuan Yogya (FDPY), Solidaritas Perempuan, Yayasan Perempuan Mardika, Lembaga Studi Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA), dan Lembaga Bantuan Hukum APIK. Usaha pemerintah Orde Baru untuk menundukkan perempuan dan organisasi perempuan dengan begitu tak sepenuhnya berhasil. Para perempuan berserikat, membangun kembali organisasi, dan bersama organisasi-organisasi lain menentang pemerintahan represif Suharto. “Sesuatu yang ditekan pasti ada kekuatan resistensinya, begitu juga suara perempuan,” kata Julia.

bottom of page