top of page

Hasil pencarian

9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Hatta Tak Suka Dijadikan "Dewa"

    BEGITU kapal kecil yang membawanya bersandar di dermaga, 3 Juni 1947, Wakil Presiden Moh. Hatta segera turun ke darat. Kunjungan ke Panjang, Lampung, itu menandai kunjungan pertamanya ke Sumatra setelah Indonesia merdeka. Kunjungan Hatta itu merupakan safari politik untuk memperkuat semangat juang rakyat. “Aku berangkat ke Sumatera atas undangan anggota-anggota KNIP dari Sumatera, yang baru dipilih dalam sidang pleno pada waktu itu. Yang ikut dalam rombongan antara lain Suryo, ketua Dewan Pertimbangan Agung; Ir. H. Laoh, menteri Perhubungan; Mr. A. Karim (waktu itu salah seorang direktur Bank Negara Indonesia); Suria Atmadja (Kementerian Perekonomian); Rusli Rahim (kepala Bagian Koperasi pada Kementerian Perekonomian); Abubakar Lubis, Supardjo, pemimpin pemuda; Wangsa Widjaja (sekretaris wakil presiden); WI. Hutabarat dan Ruslan Batangtaris (ajudan wakil presiden),” kata Hatta dalam otobiografinya Untuk Negeriku , Jilid 3.   Sekira tanggal 15, rombongan memasuki Sungai Dareh, Sumatera Barat melalui jalan darat dari Muara Tebo, Jambi. Dari situ, rombongan melanjutkan perjalanan ke Padang Panjang sebelum mencapai tujuan akhir Bukittinggi. Antara Sungai Dareh dan Padang Panjang, rombongan beberapakali berhenti. Untuk sesaat, Bung Hatta menyempatkan diri menyapa rakyat yang menyambutnya meriah, lalu memberi sedikit wejangan. Pidato panjang diberikannya ketika di Padang Panjang. “Sesudah itu kami dibawa ke sebuah rumah yang dihiasi dengan bendera Sang Saka Merah Putih. Kaum ibu di sana berhari-hari menyiapkan makan untuk kami. Meja makan penuh dengan ayam goreng, rendang, ikan air tawar, dan satu piring selada, yang sangat enak rasanya,” kenang Hatta. Dari Padang Panjang, rombongan melanjutkan perjalanan ke Bukittinggi, kampung halaman Hatta. Mereka mendapat sambutan begitu meriah dari rakyat. Di sana, rombongan bakal tinggal selama enam hari, namun batal karena pada hari kelima Hatta dijemput Biju Patnaik, pengusaha penerbangan India yang bersimpati pada kemerdekaan Indonesia, untuk memenuhi permintaan Presiden Sukarno agar Hatta bertemu dengan PM India Jawaharlal Nehru. Namun sebelum terbang ke India, Hatta sempat memberikan pidato di depan rakyat. Sebelum memberi pidato itulah Hatta mendapat sambutan luar biasa. Alih-alih senang, Hatta yang dikenal sederhana justru kecewa terhadap sambutan yang berlebihan itu. Bahkan, ia sampai menegur gubernur karena sambutan berlebihan itu. Jauh setelah peristiwa itu terjadi, Hatta menceritakan kekecewaan itu kepada Hasjim Ning, keponakannya yang menjadi pengusaha berjuluk “Raja Mobil Indonesia”. Hasjim mengisahkan kekesalan pamannya itu dalam otobiografinya, Pasang Surut Pengusaha Pejuang . “Orang di sana lupa bahwa aku wakil presiden, bukan raja dari suatu kerajaan,” kata Hatta. “Mengapa, Oom?” tanya Hasjim yang belum tahu duduk perkaranya. “Mereka menyambutku dengan nyanyian hymne.” “Itu maksudnya mau menghormati, Oom,” kata Hasjim memberi komentar. “Hymne itu lagu pujaan kepada dewa, tahu?” “Teks lagunya bagaimana, Oom?” “Ya berisi pemujaan atas pribadiku.” “Ah, kalau begitu secara agama mereka sudah sesat, secara bernegara mereka sudah feodal,” Hasjim memberi penilaian. “Ya itulah yang aneh. Orang Minangkabau yang selama ini terkenal demokrat, setelah merdeka mereka menjadi feodal,” kata Hatta.

  • Bertahan Hidup dengan Batu

    BUKTI linguistik menunjukkan telah terjadi ekspansi secara lambat oleh kelompok penutur Austronesia dari Formosa ke Kepulauan Nusantara sekira 4.000 tahun yang lalu. Mereka telah bercocok tanam. Gaya hidup berburu dan mengumpulkan makanan pun secara berangsur terkikis. Secara umum, kebiasaan lama itu tak pernah hilang sama sekali pada era berikutnya. Para petani juga masih berburu dan mengumpulkan makanan. Karenanya, dalam beberapa milenium terakhir, teknologi dan tata ekonomi yang berbeda dapat berlangsung bersamaan di situs yang berdekatan bagaikan mosaik. Kata Peter Bellwood, dalam  Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia,  buktinya adalah Peralatan batu yang diserpih tetap digunakan di beberapa daerah oleh kelompok pemburu dan pengumpul makanan maupun mereka yang bercocok tanam hingga masa yang baru lalu. “Tinggalan arkeologi yang berbeda harus dilihat secara sinkronis sebagai ciri budaya kawasan tertentu, tak harus ditafsirkan sebagai pencerminan tahap perkembangan teknologi dan ekonomi yang berurutan di seluruh wilayah kepulauan,” jelas dosen arkeologi di School of Archaeology and Anthropology Australian National University itu. Penggunaan alat batu yang terkesan masif dan sederhana sering dilekatkan dengan budaya Paleolitik. Di Indonesia salah satunya ditandai oleh temuan di Sungai Baksoka, Pacitan. Ruly Fauzi, arkeolog Balai Arkeologi Palembang, menulis “Perkakas Paleolitik dari Das Ogan: Bukti Awal Kebudayaan di Wilayah Oku” dalam  Gua Harimau dan Perjalanan Panjang Perdaban Oku.  Katanya, alat-alat Paleolitik umumnya diperoleh melalui metode penyerpihan untuk membentuk tajaman pada kerakal sungai. Ada juga yang dengan melepaskan serpih berukuran besar dari sebuah batu inti. "Di Kali Baksoka, yang kondang dengan sebutan alat Pacitanian misalnya, hampir seluruhnya (alat batu paleolitik - red ) berada di hamparan sungai, bercampur dengan sisa fauna dari Stegodon sp, Elehas namadicus, gigi-gigi SImia, Echimosorex, Sumphalangus dan Hylobates," tulis Harry Widianto dalam  Nafas Sangiran . Pada 1983, Arkeolog R.P Soejono menyebutkan lewat “Temuan Baru Alat-Alat Paleolitik di Indonesia” dalam  Pertemuan Arkeologi ke-III,  bahwa pada masa Paleolitik di Nusantara ditandai dengan temuan yang dinamakan kapak perimbas. Ini menurutnya merupakan tipe dominan di kawasan ini. Ada pula alat jenis serpih bilah, serpih besar,dan kapak penetak. Pemakaian alat serpih kemudian menjadi lebih dominan pada masa berburu tingkat lanjut. “Klasifikasi alat batu yang dilakukan hanya berdasarkan teknis, tidak menyangkut masalah fungsi. Untuk menentukan fungsi alat batu dari masa yang sangat lama adalah spekulatif,” katanya. Lebih jauh, Peter Bellwood, dosen arkeologi di School of Archaeology and Anthropology Australian National University, dalam  Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia  berpendapat pemakaian istilah kapak perimbas, kapak genggam, serut, dan semacamnya justru mengacaukan bentuk dan fungsi alat. Kata dia, penamaan ini seolah membuat aktivitas manusia pada masa itu begitu spesifik. “Dalam banyak kasus asumsi ini mungkin benar, tetapi masalahnya adalah umumnya tak mungkin membuktikan apakah asumsi itu benar atau salah,” kata Bellwood. Ditambah lagi penamaan itu akan sangat membingungkan. Seorang peneliti akan menyebut suatu alat batu sebagai kapak penetak. Sementara menurut peneliti lainnya itu disebut serut. Menurutnya penamaan berdasarkan teknik pun agak intuitif. Seiring berjalannya waktu definisi berdasarkan teknis terbukti tak tegas dan sering menimbulkan keraguan. “Penelitian saya sendiri menunjukkan dengan jelas kepada saya bahwa yang disebut oleh salah seorang peneliti sebagai kapak penetak dari Kala Plestosen Tengah mungkin hanyalah limbah batu yang dibuang kurang dari 10.000 tahun lalu,” lanjut Bellwood. Sejalan dengan itu, Ruly juga bilang ada percampuran antara tipe alat dari Paleolitik Bawah, atau masa yang lebih tua, dengan masa yang lebih lanjut (Paleolitik Tengah). Di Eropa dan Afrika, kedua fase tradisi budaya Paleolitik itu mudah dibedakan. Tapi tidak di Indonesia. “Artefak dari kedua tradisi itu terkadang muncul dalam satu konteks, seperti yang ditemukan di Ngebung (Sangiran) dan Baksoko (Pacitan),” jelas dia. Si Pembuat Alat Alat-alat batu dari Ngebung, Ngandong, dan Pacitan kemudian menjadi penanda budaya tertua di Jawa. Industri peralatan itu dianggap mungkin milik  Homo erectus.  Kendati kalau menurut Bellwood, alat-alat batu itu tak pernah ditemukan bersama dengan fosil manusia. Adapun soal  Homo erectus,  kata Ruly Fauzi, arkeolog Balai Arkeologi Palembang, dan Truman Simanjuntak, arkeolog Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, dalam “Sumatra dan Problematikanya dalam Sejarah Migrasi Manusia ke Nusantara” termuat di  Gua Harimau dan Perjalanan Panjang Perdaban Oku , fosil tertuanya di Nusantara ditemukan di Situs Sangiran, Sragen, Jawa Tengah, dari 1,5 juta-0,9 juta tahun yang lalu. Lalu yang cirinya lebih evolutif dari 0,9-0,25 juta tahun lalu. Fosilnya juga ditemukan di Sangiran. Selanjutnya tipe  Homo erectus  yang lebih progresif. Ia hidup sekira 150.000 tahun lalu. Fosilnya ditemukan di Situs Ngandong (Blora, Jawa Tengah), Sambungmacan (Sragen), dan Ngawi (Jawa Timur). Namun, kata Bellwood lagi, dengan mengakui  erectus  Jawa adalah pembuat alat, tak berarti kemampuan itu menyelamatkan mereka dari kepunahan. Alasannya, hominid lain yang lebih berkembang, seperti Neandertal yang juga mampu membuat alat batu, ternyata dianggap punah juga oleh banyak pakar modern. “Situs yang mengandung alat batu amat sedikit, sementara kesenjangan dalam kronologi masih panjang. Masih banyak yang harus kita pelajari,” catatnya. Industri peralatan batu dengan tipe yang lebih khusus bertarikh kurang dari 40.000 tahun yang lalu dianggap sebagai hasil karya manusia yang secara anatomis lebih modern. “Saya menyebut semua industri itu sebagai industri alat batu kerakal dan alat serpih,” kata Bellwood. Kendati ada bentuk khas setempat, alat batu kerakal dan alat serpih di Asia Tenggara dan yang terus bertahan hingga Kala Holosen punya kesamaan. Alat batunya cukup berat dan dibuat dengan menyerpih kerakal sungai, serpihan besar, atau bongkah batu inti yang ditambang. “Semua jenis ini biasanya disebut alat-alat batu kerakal,” kata dia. Lalu ada alat-alat berukuran lebih kecil yang dibuat dari serpihan yang dipangkas dari suatu batuan inti atau dari pecahan batu yang berkuran relatif kecil. Meski begitu alat dari kerakal batu yang hanya diasah tajamannya juga ada di beberapa situs. Ini seperti di Niah, Sarawak dan Kota Tampan di Malaysia. Beranjak dari Batu Selanjutnya budaya Preneolitik atau Mesolitik di Indonesia terpantau muncul di situs-situs daerah Jawa Timur dan Sulawesi. Budaya ini, kata Ruly, kemungkinan mulai muncul sejak awal Holosen hingga kedatangan budaya Neolitik sekira 4.000 tahun yang lalu. Indikasinya adalah penggunaan alat tulang. “Sejumlah (alat,  red ) serpih pakai juga muncul, tetapi butuh studi khusus untuk mengonfirmasinya,” lanjut dia. Industri alat batu kerakal dan alat serpih digantikan oleh himpunan tembikar menandai masuknya budaya Neolitik. Ini ditemukan di seberang Laut Sulawesi, di Gua Agop Atas, di Borneo utara. Pun di Ceruk Leang Tuwo Mane’e di Kepulauan Talaud ditemukan pecahan tembikar polos dan berpoles merah dari bejana bundar berdinding tipis dengan tepian melipat keluar. Mungkin temuan itu berasal dari 2.500 SM. Selain keberadaan gerabah, Budaya Neolitik juga umumnya ditandai dengan kemunculan beliung persegi, sebagaimana yang terjadi di Gua Harimau, Sumatera Selatan. Di situs itu ditemukan pula gerabah dan calon beliung. Kedua temuan terakhir ini berasosiasi dengan kubur telentang.   “Dalam perspektif biologis, tradisi Neolitik selalu dikaitkan dengan diaspora penutur Austronesia 4.000 tahun lalu dan keberadaan ras Mongoloid yang menggantikan Australomelanesid di Nusantara,” jelas Ruly. Agak tumpang tindih dengan masa sejarah, teknologi logam awal dimulai dengan pengenalan artefak dari tembaga, perunggu, dan besi. Teknologi pembuatan ketiganya nampak terjadi bersamaan. Artinya, seperti kata Bellwood, tak ada masa perunggu secara terpisah. Menurut dia, zaman Logam Awal terjadi bersamaan dengan pengenalan teknologi baru dan barang dagangan ke Kepualau Indo-Malaysia dari sumber-sumbernya di Vietnam, India, dan Tiongkok.  “Hampir pasti semua unsur budaya baru itu diperoleh langsung dari sumber-sumbernya di daratan Asia Tenggara selama beberapa abad terakhir sebelum Masehi,” jelas Bellwood. “Saya akan mengambil 500 SM sebagai titik mula. Penelitian masa datang mungkin akan mendorong Tarikh ini lebih dekat ke 200 SM.” Yang terkenal adalah budaya Dong Son dari Vietnam Utara. Bersama Muang Thai tengah dan timur laut, kawasan ini memiliki bukti paling awal tentang pembuatan perunggu di Asia Tenggara. Contoh artefaknya adalah kapak corong. Corongnya adalah pangkal yang berongga untuk memasukkan pegangan. Ada pula Nekara. Nekara yang penting dari Indonesia antara lain nekara Makalamau dari Pulau Sangeang dekat Sumbawa dan nekara dari Kai. “Himpunan tinggalan arkeologis Dong Son sangat penting karena benda logam paling awal di Kepulauan Nusantara umumnya bercorak Dong Son,” jelas dia. Kalau dilihat dari hiasannya, nekara-nekara itu mungkin tak dibuat di Indonesia. Orang pada masa itu telah mengimpor barang, dalam hal ini nekara dari produsennya di Vietnam. Akhirnya, seperti kata Bellwood, kedatangan penutur Austronesia membuka perubahan budaya yang besar di kawasan Nusantara. Mungkin memang ada variasi di kawasan tertentu dalam teknik pembuatan alat batu. Tapi itu merupakan kewajaran mengingat kurun waktu yang panjang dan kemampuan manusia modern untuk berkomunikasi dan berinovasi. “Masa-masa yang mantab selama ribuan tahun sebelum adanya pertanian, mendekati akhirnya yang dramatis ketika terjadi ekspansi Austronesia,” jelas dia.

  • Pemain Persebaya Gugur di Pertempuran 10 November

    PAGI ini, 10 November, 74 tahun lampau. Kota Surabaya diguncang hebatoleh bombardir Inggris dari udara, laut, dan darat. Ketenangan kota metropolitan di timur Pulau Jawa itu berubah jadi “neraka”. Alih-alih menyerah, arek - arek Suroboyo pilih melawan. Spirit mereka dibangkitkan salah satunya oleh pidato Soetomo alias Bung Tomo. “Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap merdeka atau mati,” kata Bung Tomo dalam pidatonya yang berapi-api. Pidato itu menyentuh sanubari setiap warga kota yang majemuk itu. Tukang becak, pejabat pemerintah, seniman sampai pemain sepakbola ikut ambil bagian mempertahankan kota mereka. Dhion Prasetya, penulis buku Persebaya and Them: Jejak Legiun Asing Tim Bajul Ijo, mendapati ada seorang pemain Persebaya yang turut angkat senjata. Soegiarto nama pesepakbola asal tim “Bajul Ijo” era 1930-an yang menjadi pejuang itu. “Soegiarto kelahiran Surabaya. Dia arek Ngaglik. Begitu yang saya dapat dari keterangan para sesepuh di Kapasan, Ngaglik, Tambaksari, sampai Taman Makam Pahlawan Kusumabangsa sewaktu blusukan,” tutur Dhion kepada Historia. Patriotisme Soegiarto dituturkan pula oleh Bung Tomo dalam Pertempuran 10 November 1945: Kesaksian & Pengalaman Seorang Aktor Sejarah . “Pemuda yang terkemuka dari kalangan olahraga pun banyak yang ikut mengangkat senjata. Di antaranya, saudara Soegiarto ( back Persebaya yang terkenal) telah mengganti sepatu sepakbolanya dengan senapan hingga dia gugur di medan pertempuran.” Tim Persebaya saat masih bernama SIVB (Soerabaiasch Indische Voetbalbond) di tahun 1936 (Foto: Soerabaijasch Handeslblad 22 Mei 1936) Sepak-terjang Soegiarto di Persibaja (kini Persebaya) tercatat bahwa sejak 1938 dia jadi salah satu andalan di lini belakang. Kala itu Persebaya tengah masuk masa keemasan. Sebagaimana diberitakan Sin Tit Po , 25 Agustus 1938, namanya tertera di antara 12 nama skuad utama tim. Di tahun itu, Soegiarto turut membawa Persebaya juara babak daerah Jawa Timur. Sayang, di putaran final empat besar Perserikatan, 3-6 Juni 1938, Persebaya harus puas jadi runner-up . “Soegiarto ikut juga saat Persibaja dua kali runner-up (lagi) di Perserikatan 1941 dan 1942,” lanjut Dhion. Kiprah Soegiarto tetap berlanjut saat Jepang berkuasa. Soegiarto bahkan ikut bersama kala Persibaja tampil di dua kompetisi sekaligus. “Yang pertama di ajang Pekan Olahraga yang digelar Ikatan Sports Indonesia (ISI), September 1942 di Jakarta. Yang kedua Persibaja jadi juara kedua lagi di bawah Persis Solo di Perserikatan, di mana pada masa Jepang kompetisinya di bawah organisasi olahraga Tai Iku Kai,” kata Dhion. Setahun sebelum aktivitas sepakbola vakum pada 1944, kompetisi masih digulirkan. Namun, para peserta tak lagi mengusung nama klub, melainkan membawa nama kota tempat klub berbasis. Gugur sebagai Bunga Bangsa Setelah Indonesia merdeka, kembalinya Belanda yang datang membonceng Inggris membuat situasi seantero negeri memanas. Surabaya jadi “titik panas” terdahsyat konflik bersenjata antara Inggris dan kaum republik yang terdiri dari Tentara Keamanan Rakyat (TKR), laskar, dan rakyat jelata. Nama Soegiarto turut tercantum dalam laga sparring melawan SVB di tahun 1940 (Foto: Soerabaijasch Handelsblad 24 Agustus 1940) Soegiarto ikut meleburkan diri ke dalam perjuangan dengan memasuki Pasukan Pertahanan Pemuda Kantor Kota. Pasukan ini turut memperkuat kubu pertahanan dari Kapasan hingga Van Sandict-Straat (kini Jalan Residen Sudirman). “Saat itu, 15 November 1945, Inggris yang sudah menguasai Alun-Alun Contong merangsek ke sisi selatan kota. Salah satunya daerah Kapasan. Pasukan republik yang kalah senjata mundur sampai ke Kapasari dan Tambaksari,” tambah Dhion. Beberapa jam pasukan republik menahan gerak laju serdadu Inggris di Van Sandict-Straat (daerah Tambaksari), namun akhirnya pertahanan mereka jebol juga. Soegiarto menjadi satu dari sekian banyak bunga bangsa yang gugur dalam pertempuran sengit itu. “Jasadnya lantas dimakamkan di kuburan massal di seberang Lapangan Canalaan (kini taman Remaja Surabaya), yang kini menjadi Taman Makam Pahlawan Kusuma Bangsa,” tandas Dhion.

  • Sultan Himayatuddin, Pahlawan Nasional dari Buton

    Warga Buton, Sulawesi Tenggara, boleh berbangga. Himayatuddin Muhammad Saidi kini telah resmi menjadi Pahlawan Nasional setelah terbit Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 120/TK/2019 tanggal 7 November 2019. Himayatuddin adalah Sultan ke-20 dalam sejarah Kesultanan Buton. Dia berkuasa selama dua periode: 1751—1752 dan 1760—1763. Susanto Zuhdi, guru besar sejarah Universitas Indonesia, mengatakan ikhtiar pengusulan Sultan Himayatuddin sebagai Pahlawan Nasional dimulai 14 tahun lalu. “Pada 2005, suatu tim yang dibentuk oleh Pemerintah Kota Baubau (sebuah kota di Pulau Buton) memulai pekerjaannya untuk melakukan riset dan penulisan,” kata Susanto, yang mendalami sejarah Kesultanan Buton sebagai tema disertasinya, kepada Historia. Anggota tim silih berganti. Susanto menjadi ketua tim pengusulnya pada 2011. Tugasnya menyusun perbaikan naskah akademis karya tim sebelumnya. Tim Susanto merampungkan naskah itu pada 2012 dan mengajukannya ke Kementerian Sosial. Naskah itu lolos seleksi. Penetapan Sultan Himayatuddin sebagai Pahlawan Nasional pun tinggal menunggu giliran. Naskah karya Susanto mengungkap hayat dan pengabdian Sultan Himayatuddin. Himayatuddin lahir pada awal abad ke-18. Tak ada keterangan pasti tentang waktunya. Tapi silsilah dan hayatnya semasa kecil terjabarkan secara terang. Dia anak La Umati Sultan Liauddin Ismail, Sultan ke-13 Buton. Berjuluk La Karambau Semua Sultan Buton masih satu garis keturunan dengan generasi awal Kerajaan Buton. Nama Buton telah tercatat dalam Kakawin Negarakertagama . “Sebagai salah satu daerah taklukan Majapahit pada 1365,” catat Susanto Zuhdi dan Muslimin A.R Effendy dalam Perang Buton vs Kompeni - Belanda 1752-1776 : mengenang kepahlawanan LaKarambau . Raja pertamanya bernama Wa Khaa-Khaa. Kedatangan Islam di Buton pada abad ke-15 menandai tonggak sejarah baru Buton. Raja keenam Buton memeluk Islam dan bernama La Kilaponto Muhammad Kaimuddin I. Dia meletakkan Islam sebagai jiwa Kesultanan Buton. “Islam sebagai dasar falsafah negara. Sistem pemerintahan diatur dalam Undang-Undang Dasar yang bernama Martabat Tujuh serta undang-undang pelaksanaannya yang dinamakan Istiadatul Azali ,” ungkap Susanto dan Muslimin. Selain lini politik dan pemerintahan, Islam juga merasuk ke lingkup sosial dan budaya. “Islam mempunyai pengaruh besar dalam pembentukan watak dan akhlak bagi masyarakat Buton,” terang Susanto Zuhdi, G.A. Ohorella, dan M. Said D. dalam Kerajaan Tradisional Sulawesi Tenggara: Kesultanan Buton . Setiap anak pembesar Kesultanan pun memperoleh pendidikan akhlak dan budi pekerti berlandas Islam. Pendidiknya langsung para orangtua di lingkungan keraton Buton. Dari luar keraton, anak-anak pembesar Kesultanan menerima pendidikan baca-tulis Alquran, baca-tulis aksara Buri-Wolio, dan seni beladiri. Himayatuddin juga menerima pola pendidikan semacam itu. Beranjak remaja, fisik Himayatuddin tumbuh lebih cepat dari teman seusianya. “Memiliki postur badan yang tinggi, besar, serta tegap,” terang Susanto dan Muslimin. Orang di sekelilingnya pun menyebutnya sebagai La Karambau atau Kerbau. Memutus Perjanjian Himayatuddin mengemban tugas pemerintahan pertamanya sebagai Lakina Kambowa atau kepala wilayah desa. Tugas ini memungkinkan dia berinteraksi langsung dengan rakyat sekaligus mendengarkan masalah keseharian mereka. Antara lain perdagangan dengan orang-orang VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) dan perilakunya. Orang Buton dan VOC telah berinteraksi sejak awal abad ke-17. Bahkan hubungan dagang dan politik Kesultanan Buton dan VOC terikat secara resmi oleh perjanjian pada 5 Januari 1613 ( Pajanji Awwalina ). Perjanjian ini membolehkan VOC menggunakan pelabuhan Baubau, mengendalikan penanaman serta perdagangan rempah, dan memperoleh budak. Atas penerimaan terhadap VOC, Kesultanan Buton berhak atas bantuan keamanan dari VOC jika sewaktu-waktu Kesultanan Gowa dan Ternate menyerang Buton. Dua Kesultanan ini memiliki ambisi politik dan ekonomi terhadap wilayah perdagangan rempah di perairan timur Hindia. Ambisi Gowa dan Ternate berhadapan dengan keinginan Kesultanan Buton memperluas wilayahnya. Selain itu, La Elangi, Sultan Buton 1578—1615, berkeinginan menjaga kekuasaan tetap berada pada lingkaran keturunannya. Tiap kekuatan dagang dan politik di kepulauan timur Hindia berupaya menjalin aliansi strategis dengan pihak lain untuk mengamankan kepentingannya masing-masing. Hubungan mereka tidak selamanya kawan seiring. Pernah pula hubungannya menegang. Berubah sesuai dengan keadaan politik, pertahanan, dan ekonomi masing-masing pihak. Ada kalanya Kesultanan Buton berkeberatan terhadap perjanjian baru dengan VOC. Ini terjadi setelah VOC berhasil melepaskan Buton dari ancaman Gowa pada 1655. Sementara Kesultanan Ternate mengurungkan niatnya memperluas pengaruh politik dan ekonominya ke Buton. Ternate justru tetap mengakui kedaulatan Buton dan turut dengan perjanjian baru VOC dengan Buton. VOC merasa berjasa terhadap Buton. Karena itu, mereka meminta lebih banyak dari Buton. Dalam perjanjian baru pada 25 Juni 1667, VOC menuntut Kesultanan Buton untuk memusnahkan suplai berlebih atas cengkeh dan pala, dua komoditas rempah paling laku. Tujuannya agar harga rempah tetap tinggi. Suplai berlebih akan menyebabkan harga rempah turun dan merugikan VOC. Kesultanan Buton juga harus mengirim upeti bahan makanan kepada VOC. Kedaulatan mereka pun terancam. Sebab hubungan ekonomi dan politik dengan pihak luar harus seizin VOC dan Kesultanan Ternate. Melihat kekuatan militer dan ekonomi VOC, Kesultanan Buton terpaksa menerima perjanjian ini. Penerimaan perjanjian ini juga berpunca pada pikiran untuk menjaga stabilitas kehidupan politik, ekonomi, dan keamanan negeri Buton. Tetapi perjanjian Buton dan VOC mulai goyah pada masa Himayatuddin berkuasa. Sultan ini menerima banyak laporan dari rakyat Buton tentang perilaku congkak orang-orang VOC dalam berdagang. Sikap ini lahir dari porsi istimewa dan besar pedagang VOC di perairan timur. Himayatuddin menimbang ulang perjanjian Buton dengan VOC. Dia berkesimpulan bahwa perjanjian ini membelenggu Buton dan lebih banyak menguntungkan VOC. “Himayatuddin telah menyadari betapa peranan dan campur tangan Kompeni Belanda dalam urusan pemerintahan kerajaan, sehingga Kerajaan Buton seperti kehilangan kedaulatannya,” terang Husein A. Chalik dalam Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah Sulawesi Tenggara . Bergerilya di Gunung Himayatuddin berada dalam dilema. Melawan VOC berarti harus siap dengan segala kemungkinan terburuk. Kekuatan militer VOC cukup besar. Menyerang secara langsung kedudukan mereka akan berakibat buruk. Tetapi tunduk pada perjanjian VOC juga akan menenggelamkan martabat Buton lebih dalam. Akhirnya Himayatuddin memilih jalan perlawanan. Bentuk perlawanannya berupa pembiaran terhadap kasus perompakan kapal VOC pada 17 September 1750. Yang menarik, kepala perompak adalah seorang bangsa Eropa. Tersebab itu dia berpendapat perompakan adalah urusan internal VOC. Dia menolak tuntutan ganti rugi dari VOC. Karuan pejabat VOC naik darah. VOC menyebut Himayatuddin tidak taat lagi pada perjanjian sebelumnya dan mengancam akan menggunakan kekuatan militernya untuk menyerang Buton. Himayatuddin menyongsong ancaman itu dengan mempersiapkan benteng dan pasukannya. Tetapi sebelum pertempuran pecah, Sara (Dewan Penasihat Kesultanan Buton) mempunyai siasat jitu untuk meredam serangan VOC. Mereka meminta Himayatuddin menyingkir sementara waktu sembari menyusun kekuatan perlawanan. Jabatannya diambil-alih oleh iparnya, Sultan Sakiyuddin VOC menerima baik suksesi ini. Sultan baru berjanji memberi VOC kompensasi atas kasus perompakan kapalnya. Tetapi Sultan baru pun enggan memenuhi semua permintaan kompensasi dari VOC. Akibatnya VOC pun menyerang Buton. Perang pecah. Orang Buton menyebutnya sebagai Zaman Kaheruna Walanda atau zaman huru-hara Belanda. Himayatuddin memimpin perlawanan dari sebuah benteng. Tetapi pasukan VOC berhasil mendesak rakyat Buton. Sakiyuddin dan Himayatuddin pun menyingkir ke pedalaman. Perang pun berakhir. VOC mencoba memperbaiki hubungan dengan Buton. Himayatuddin tetap menolak menjalin hubungan dengan VOC dan memilih bergerilya di hutan dan gunung. Dia sempat kembali ke keraton dan menjadi sultan lagi serentang 1760—1763. Tapi tak banyak keterangan tentang apa yang dilakukannya dalam rentang waktu itu. Himayatuddin turun takhta kembali pada 1763 dan memulai lagi perjuangan gerilyanya bersama rakyat. Selama gerilya, dia menekankan pentingnya pewarisan lingkungan kepada generasi setelahnya untuk melestarikan hidup bersama. Himayatuddin wafat pada 1776 di Gunung Siontapina. Atas ikhtiarnya menentang VOC dan melindungi rakyatnya, dia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional.

  • Detik-Detik Menjelang Surabaya Dibombardir

    KAMIS, 8 November 1945. Surat kedua dari Komandan Divisi ke-5 India Jenderal Mayor E.C. Mansergh itu datang begitu tiba-tiba dan langsung dibaca oleh Gubernur Jawa Timur, R.M.T.A. Soerjo. Isinya: Mansergh menuduh pihak Indonesia telah menunda-nunda evakuasi kaum interniran dan pengembalian pasukan Inggris yang tertawan atau terluka dalam pertempuran 28–30 Oktober 1945. Tak lupa dia mengumbar lagi ancaman bahwa kota Surabaya yang telah dikuasai oleh para perampok ( looters ) secepatnya akan diduduki oleh militer Inggris. “Pada akhir surat, sang jenderal meminta Gubernur Soerjo datang ke kantornya pada 9 November 1945,” ungkap sejarawan Nugroho Notosusanto dalam Pertempuran Surabaya . Alih-alih menuruti,  besok harinya, Gubernur Soerjo hanya membalas surat Mansergh. Secara tegas dia menolak anggapan bahwa pihak Indonesia bermaksud menunda evakuasi kaum interniran dan para prajurit Inggris yang terkepung di dalam kota. “Kami telah mengembalikan mayat-mayat tentara Inggris dan korban luka kepada induk pasukannya,” ujar Soerjo. Soerjo juga mengingatkan Panglima Inggris untuk Jawa Timur itu kepada kesepakatan antara Presiden Sukarno dengan koleganya, Jenderal Mayor D.C. Hawthorn pada akhir Oktober 1945. Menurut kesepakatan itu, terdapat dua lokasi di Surabaya yang akan dijaga oleh tentara Inggris yakni daerah sekitar Darmo dan Tanjung Perak. Penjagaan berlangsung selama proses pemindahan interniran dari sekitar daerah itu hingga Tanjung Perak. Jika proses pemindahan para tawanan telah selesai, pasukan Inggris dipersilakan mundur ke Tanjung Perak. Mansergh tidak mengindahkan surat balasan Gubernur Soerjo yang diantarkan oleh Roeslan Abdulgani, Residen Soedirman dan T.B. Kundan. Ia malah mengirim  dua pucuk surat lagi; yang pertama ditujukan kepada R. M. T. A. Soerjo (tanpa embel-embel jabatan gubernur), dan satu pucuk yang lain lagi dialamatkan kepada seluruh orang Indonesia di Surabaya. Kedua surat itu berisi pesan yang sama. Singkatnya, Mansergh menuntut pimpinan pemerintah RI di Surabaya, pemuda, dan badan-badan perjuangan agar melaporkan diri untuk menyerah kepada Inggris atau Sekutu. Gubernur Soerjo tetap bersikap tenang menghadapi sikap sombong pihak Inggris. Dia tetap menekankan kepada para stafnya untuk mengikuti pesan Presiden Sukarno agar menghindari pertumpahan darah. Maka diutuslah lagi Residen Soedirman dan Jenderal Major Mohammad Mangoendiprodjo untuk menawarkan perundingan dan meminta Inggris mencabut ultimatumnya. Namun Inggris menolaknya. Begitu pula utusan Gubernur Soerjo berikutnya—Roeslan Abdulgani dan Dokter Soegiri—ditolak mentah-mentah oleh pihak Inggris. “Sepanjang sejarah, British belum pernah membatalkan sebuah ultimatum militer. Kini terserah sepenuhnya kepada tuan-tuan, bersedia memenuhinya atau menolaknya. . .,” jawab seorang opsir Inggris, seperti dikutip Des Alwi dalam Pertempuran Surabaya November 1945 . Selepas tengah hari, masyarakat Surabaya dikejutkan oleh sebuah pesawat Inggris yang melayang-melayang di atas kota. Pesawat menyebarkan ribuan pamflet yang ditandatangani oleh Mayor Jenderal E.C. Mansergh selaku Panglima Tentara Inggris di Jawa Timur. Isi pamflet persis sama dengan ultimatum yang telah diterima Gubernur Soerjo. Disebutkan bahwa semua yang tergolong pemimpin bangsa Indonesia, termasuk para pemuda, kepala polisi dan petugas radio diharuskan melapor kepada tentara Sekutu dan menyerahkan segala jenis senjata yang dimiliki. Tak pelak, ultimatum Inggris itu membuat rakyat Surabaya sangat marah. Begitu “hujan pamflet” reda, nyaris seluruh sudut kota Surabaya dipenuhi pemuda dan kelompok bersenjata. Dalam otobiografinya Memori Hario Kecik , Suhario Padmowirio (Wakil Komandan Tentara Polisi Keamanan Rakjat), saat itu di sekitarnya telah berkumpul ratusan pemuda. Semua menenteng senjata dan pistol otomatis. “Minimal mereka yang disebut tidak lengkap, membawa granat,” ujar Suhario. Pertemuan pemuda dan kaum bersenjata di Surabaya memutuskan mengangkat Sungkono sebagai Komandan Pertahanan Kota Surabaya dan Surachman sebagai Komandan Pertempuran. Dari sinilah muncul semboyan “Merdeka atau Mati” dan Sumpah Pejuang Surabaya sebagai berikut. Tetap Merdeka! Kedaulatan Negara dan Bangsa Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 akan kami pertahankan dengan sungguh-sungguh, penuh tanggungjawab bersama, bersatu, ikhlas berkorban dengan tekad: Merdeka atau Mati! Sekali Merdeka tetap Merdeka! Surabaya, 9 November 1945, jam 18.46. Gubernur Soerjo menerima laporan mengenai keputusan para pemuda Surabaya. Sementara, Doel Arnowo menghubungi Jakarta dan berbicara langsung dengan Presiden Sukarno. Menurut sejarawan Frank Falmos dalam Surabaya 1945, Sakral Tanahku , Sukarno telah memerintahkan Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo untuk meminta Jenderal Sir Philip Christison (wakil Komandan Pasukan Sekutu untuk wilayah Asia Tenggara) membatalkan ultimatum. Namun yang bersangkutan menolaknya. Menurut Soebardjo, keputusan akhir sepenuhnya di tangan Gubernur Soerjo secara keseluruhan. Pernyataan Jakarta itu sontakmenggusarkan Surabaya. “Jawaban macam apa itu! Tidak bilang bertempurlah sampai darah penghabisan atau sekalian bilang menyerah saja. Tapi mereka malah bilang “terserah Surabaya.” Pasti akan kami jawab: kami akan berjuang!” kenang Roeslan Abdulgani seperti dikutip Palmos. Pada akhirnya Gubernur Soerjo memang harus mengambil keputusan. Didampingi Doel Arnowo, tepat jam 21.00, Gubernur berbicara di depan corong Radio Surabaya: Saudara-saudara sekalian! Pucuk pimpinan kita di Jakarta telah mengusahakan akan membereskan peristiwa di Surabaya pada hari ini. Tetapi sayang sekali, sia-sia belaka, sehingga kesemuanya diserahkan kepada kebijaksanaan kita di Surabaya sendiri. Semua usaha kita untuk berunding, senantiasa gagal. Untuk mempertahankan kedaulatan negara kita, maka kita harus menegakkan dan meneguhkan tekad kita yang satu, yakni berani menghadapi segala kemungkinan. Berulang-ulang telah kita kemukakan bahwa sikap kita ialah: Lebih baik hancur daripada dijajah kembali. Juga sekarang dalam menghadapi ultimatum pihak Inggris kita akan memegang teguh sikap ini. Kita tetap menolak ultimatum itu. Dalam menghadapi segala kemungkinan besok pagi, mari kita semua memelihara persatuan yang bulat antara pemerintah, rakyat, TKR, Polisi dan semua badan-badan perjuangan pemuda dan rakyat kita. Mari kita sekarang memohon kepada Tuhan Yang Mahakuasa, semoga kita sekalian mendapat kekuatan lahir batin serta rahmat dan taufik dalam perjuangan. Selamat Berjuang! Menurut Palmos, Soerjo menyampaikan pidatonya dalam nada serius, mirip gaya pidato Perdana Menteri Inggris Winston Churchill saat Perang Dunia II, sangat berbeda dengan pidato Bung Tomo sebelumnya yang berapi-api dan berdarah-darah. Pidato Soerjo terdengar sangat terhormat dan berwibawa. “Namun dia berpidato tanpa bertele-tele dan memahami keinginan rakyat Surabaya untuk melawan tentara Inggris,” kenang Hario Kecik. Usai pidato itu, Surabaya dicekam semangat perlawanan yang sangat kuat. Para pemuda di berbagai kampung bergotong royong membangun basis pertahanan berupa barikade tumpukan perabotan rumah, rongsokan kendaraan dan barang bekas lainnya. Meraka coba menahan laju tank dan infanteri Inggris sehingga membuka celah para pejuang melakukan penyergapan. Surabaya sedang bersiap menghadapi badai besar. Tepat jam 06.00 pada 10 November 1945, tentara Inggris membombardir Surabaya yang berlangsung hingga tengah malam, diikuti serbuan tank dan infanteri. Akibat penyerbuan besar itu, ribuan orang tewas seketika, mayoritas rakyat sipil. ”Di Pasar Turi saja saya menyaksikan gelimpangan mayat berjumlah hingga ratusan,” ungkap Letnan Kolonel (Purn.) Moekajat, salah seorang pelaku pertempuran di Surabaya. Dari hari ke hari, Surabaya menjadi lautan api dan mayat. Jasad manusia, kuda, anjing, kucing, kambing dan kerbau bergelimpangan di selokan dan jalan-jalan utama. Bau busuk yang bersanding dengan mesiu telah menjadi aroma sehari-hari di kota itu. Di bawah “guyuran” agitasi Bung Tomo dari Radio Pemberontak, pertempuran antara dua pihak berlangsung makin keras. Kendati hanya mengandalkan senjata tajam dan senjata api peninggalan KNIL dan rampasan dari tentara Jepang, arek-arek Suroboyo dan pemuda lainnya melakukan perlawanan sengit. Di pusat kota, pertempuran lebih dahsyat, jalan-jalan harus diduduki satu per satu, dari satu pintu ke pintu lainnya. Menurut sejarawan David Wehl dalam The Birth of Indonesia , perlawanan pejuang Indonesia di Surabaya berlangsung dalam dua cara; pertama dengan mengorbankan diri secara fanatik, orang-orang yang hanya bersenjatakan pisau belati dan dinamit di badan secara nekat menyerang tank-tank Sherman. Cara kedua, menggunakan cara yang lebih terorganisasi dan lebih efektif, mengikuti dengan cermat buku-buku petunjuk militer Jepang. Pada hari pertama pertempuran, Gubernur Soerjo untuk kesekian kali berpidato melalui corong radio: Saya berterimakasih, bahwa pemerintah pusat telah menyerahkan jawaban terhadap ultimatum Inggris kepada kami di Jawa Timur. Keputusan kami telah mengakibatkan meletusnya pertempuran seru di Surabaya. Namun itulah keputusan kami yang terbaik. Kami bertempur untuk merebut kembali hak-hak serta kedaulatan kami dari tangan musuh. Saat ini kami semua berada dalam suatu akhir masa. Suatu masa lama yang segera akan berakhir. Peristiwa di Surabaya tidak dapat dihindari, tidak dapat diubah. Ini adalah kemauan Tuhan Yang Maha Tinggi. Ini merupakan tanda-tanda, bahwa zaman keemasan segera akan datang kepada tanah air kita Indonesia. Seluruh rakyat Jawa Timur tanpa kecuali, semua buruh tinggi maupun rendah, percaya dengan sungguh-sungguh, bahwa Tuhan Yang Maha Tinggi akan melimpahkan tegaknya kebenaran kepada seluruh bumi dan alam Indonesia, yang sudah berabad-abad lamanya hilang.  Kami tidak pernah ingin menyerang. Tetapi kami akan mempertahankan hak-hak kami. Sebagai suatu bangsa yang mencintai kebebasan, kami berada di pihak yang benar.Kami hanya menghendaki kebenaran. Terpujilah selalu, Tuhan Yang Maha Tinggi. Tentara Inggris sempat terkejut menghadapi perlawanan rakyat Surabaya. Di hari kedua, tiga pesawat Mosquito ditembak jatuh. Termasuk yang membawa Brigadier Robert Guy Loder Symonds, Komandan Detasemen Artileri Pasukan Inggris, terkena tembakan PSU Bofors 40 (sejenis senjata penangkis serangan udara milik KNIL) yang dikendalikan oleh sekelompok veteran Heiho yang berpengalaman menghadapi pesawat-pesawat tempur Amerika Serikat di palagan Halmahera dan Morotai. Hingga pertempuran berakhir pada hari ke-21, korban tewas diperkirakan mencapai puluhan ribu jiwa. Menurut laporan dr. Moh. Suwandhi, kepala kesehatan Jawa Timur yang aktif menangani korban pihak Indonesia, jumlah orang Indonesia yang tewas dalam pertempuran itu sekitar 16.000 jiwa. Di pihak Inggris, sejak mendarat di Surabaya, telah kehilangan sekitar 1.500 prajuritnya, termasuk dua perwira setingkat jenderal junior dan 300 serdadu Inggris Muslim asal India dan Pakistan yang diklaim pihak Indonesia telah menyebrang ke pihak mereka.

  • Mereka Saling Menjaga: Kisah Persahabatan Sukarno-Hatta

    KENDATI kerap berselisih paham, Sukarno dan Hatta tetap menjaga hubungan pribadi dengan baik. Bagi keduanya politik hanya jalan untuk mewujudkan idealisme, tidak untuk memecah persahabatan. Meskipun banyak yang menilai Sukarno dan Hatta bermusuhan, tetapi orang-orang di sekitar mereka menyaksikan sendiri keduanya memang memiliki kedekatan emosional yang khusus. Menitipkan Sukarno Kisahnya terjadi saat Sukarno diasingkan ke Bengkulu pada 1938. Ketika itu Pengusaha Hasjim Ning –keponakan Hatta yang kelak menjadi sahabat Sukarno– tengah mengerjakan proyek rehabilitasi jalan raya Bengkulu-Manna. Suatu hari, Hasjim diberitahu ayahnya kalau ia telah dikirimi surat oleh Hatta yang sedang diasingkan di Banda Neira. Dalam surat tersebut Hatta berpesan agar ayah Hasjim bersedia membantu segala keperluan Sukarno selama menjadi tahanan di Bengkulu. Mendapat tugas menemui tahanan politik pada masa itu bukanlah persoalan yang mudah. Terlebih Hasjim belum pernah bertemu langsung dengan Sukarno. Ia lalu teringat kepada Raden Mas Rasjid, kepala proyek rehabilitasi yang telah kenal Bung Karno sejak masih di Bandung. Rasjid bersedia mempertemukan Hasjim dengan kawannya itu. Di rumah Bung Karno, Hasjim disambut dengan baik. Ia lalu menjelaskan maksud kedatangannya. Namun alih-alih merespon ucapan Hasjim, Sukarno malah menanyakan hal lain. “Wah Hatta masih memikirkan aku. Tapi bagaimana dengan dia sendiri?” ucap Bung Karno, dikutip Hasjim dalam memoranya Pasang Surut Pengusaha Pejuang . Keduanya terlibat obrolan yang panjang, terutama terkait hubungan kekerabatan Hasjim dan Hatta. Upaya bantuan Hasjim pun baru direspon Bung Karno setelahnya. “Aku perlu sepeda dan topi helm. Topi helm berwarna gading tua. Bukan coklat,” pinta Si Bung. Kebaikan itu tidak pernah dilupakan Sukarno. Saat ia akhirnya bertemu Hatta pada masa pendudukan Jepang, Sukarno menceritakan semuanya. Hatta hanya merespon singkat dan datar. Seolah itu hanya kejadian biasa buat dirinya. “Ya, kebetulan sekali ada seseorang kenalanku, pedagang Cina yang waktu itu mau ke Palembang menemui kakeknya yang sedang sakit,” kata Hatta. Melamar Buat Hatta Banyak hal yang diingat dari sosok seorang Hatta. Satu yang sangat terkenal adalah janji Hatta bahwa dia tidak akan menikah sebelum Indonesia memperoleh kemerdekaannya. Sukarno sebenarnya sudah sering mengingatkan tentang mencari pasangan, tetapi begitulah Hatta, teguh pada pendiriannya. “Bung Hatta sadar apa yang sedang dia prioritaskan,” kata Halida, putri ketiga Hatta, kepada Historia . Setelah Indonesia merdeka, Hatta akhirnya menentukan gadis pilihannya. “Waktu saya bertanya kepada Hatta, gadis mana yang dia pilih, jawabnya: ‘Gadis yang kita jumpai waktu kita berkunjung ke Instituut Pasteur, yang duduk di kamar sana, yang begini, yang begitu, tapi saya belum tahu namanya,” ungkap Sukarno kepada R. Soeharto, dikutip Saksi Sejarah . “Setelah saya selidiki ternyata gadis pilihan Hatta itu Rachmi, putri keluarga Rachim.” Keluarga Rachim tidaklah asing baik bagi Sukarno maupun Hatta. Menurut Mavis Rose dalam Indonesia Free: A Political Biography of Mohammad Hatta , Hatta sempat menaklukan hati seorang gadis cantik bernama Anni, anak Tengku Nurdin, seorang pengalih bahasa pemerintah Aceh. Keduanya diceritakan pernah bertunangan. Namun tidak berlanjut ke jenjang pernikahan. Anni kemudian menikah dengan Abdul Rachim, kawan dekat Bung Karno, dan memiliki dua putri: Rachmi dan Titi. Rachmi inilah yang memikat hati Hatta. Di tengah malam, ditemani R. Soeharto, Sukarno mendatangi rumah keluarga Rachmi. Ia menjelaskan makasud kedatangannya, yakni melamar Rachmi untuk sahabatnya, Hatta. Pada 18 November 1945, Hatta menikahi Rachmi di sebuah villa di Megamendung, Bogor. Sebagai mas kawin, Hatta mempersembahkan sebuah buku yang ditulisnya saat dibuang ke Digul pada 1934, Alam Pikiran Yunani . “Apakah Hatta melihat sifat Rachmi Rachim yang sebelumnya begitu dia kagumi pada diri ibunya, dia tidak menyebutkan,” tulis Mavis. “Bahkan, dalam memoar Hatta pernikahannya hanya ditandai dengan sebuah foto pasangan pengantin.” Namun ucapan itu dibantah Halida. Menurutnya, Mavis salah kaprah karena Anni bertemu kali pertama dengan Hatta pada 1945 ketika Sukarno datang melamar Rachmi untuk Hatta. Sehingga peristiwa hampir menikahnya Hatta dan Anni, kata Halida, tidak benar. “Karena Bung Hatta dan nenek saya (mertua Hatta) beda usia cuma sembilan hari, maka keluarlah cerita seperti itu,” kata Halida. Bak Saudara Kandung Meski telah berjuang bersama-sama mewujudkan kemerdekaan di negeri ini, pada akhirnya sang dwi tunggal mesti berpisah. Adalah perbedaan pandangan politik yang menjadi sebab. Hatta yang tidak setuju dengan konsep demokrasi terpimpin  vers Sukarno, memilih mengundurkan diri dari jabatannya sebagai wakil presiden. Namun bagi mereka, politik hanyalah politik. Persahabatan keduanya tidak terpengaruh sama sekali. Hubungan pribadi Sukarno dan Hatta tetap berjalan baik. PM Ali Sastroamidjojo menjadi saksi kedekatan dua proklamator itu. Dalam otobiografinya Tonggak-Tonggak di Perjalananku Ali pernah bertanya kepada kedua sahabatnya itu apakah keretakan hubungan mereka terjadi karena sentimen pribadi. “’Saya anggap Hatta sebagai saudara kandung saya sendiri, kata Bung Karno, yang saya tidak dapat menyetujui hanya pemandangan politiknya. Dari Bung Karno saya mengunjungi Bung Hatta, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sama seperti yang saya tanyakan kepada Bung Karno. Jawaban Hatta pun hampir sama dengan jawaban Bung Karno,” ungkap Ali. Asisten pribadi Hatta, Iding Wangsa Widjaja, juga menjadi saksi hubungan baik Sukarno-Hatta. Di dalam buku Mengenang Bung Hatta , Wangsa Widjaja memastikan bahwa keduanya tidak pernah saling mendendam. “Hal itu tidak sampai merusak hubungan pribadi beliau berdua. Ini saya ketahui persis, terutama yang menyangkut sikap Bung Hatta terhadap Bung Karno di balik pertentangan-pertentangan pendapat beliau,” ucapnya. Meski telah mengundurkan diri, fasilitas pengawalan dan penjagaan rumah tetap didapatkan Hatta. AKBP Mangli Martowidjojo, salah satu komandan Polisi Pengawal Pribadi Presiden dan Wakil Presiden dalam memoarnya Kesaksian Tentang Bung Karno 1945-1967 menyebut mendapat perintah dari Sukarno agar Hatta tetap dikawal seperti biasa. “Bung Hatta adalah seorang proklamator negara Indonesia. Presiden dan Wakil Presiden RI dapat diganti setiap saat menurut kehendak rakyat, tetapi proklamator negara RI tidak dapat diganti oleh siapapun. Maka dari itu, jagalah Bung Hatta baik-baik, sebagai penghormatan bangsa Indonesia kepada Bung Hatta,” ucap Sukarno seperti dikutip Mangil. Namun fasilitas yang diberikan kepada Hatta itu hanya sampai tahun 1959. Menteri Keamanan Nasional AH Nasution memerintahkan penarikan pasukan penjagaan Bung Hatta. Dalam sebuah acara pamitan pada 27 November 1959, Hatta berpesan agar Mangil dapat menjaga Sukarno dengan baik. Menurutnya, Bung Karno adalah pemersatu bangsa Indonesia. “Tetapi kamu harus hati-hati kepada orang-orang yang mengelilingi Bung Karno,” kata Hatta. Menjaga dari Jauh Pasca naiknya Jenderal Soeharto menjadi presiden pada Maret 1967, Sukarno segera ditetapkan sebagai tahanan rumah di Istana Bogor, kemudian dipindah ke Wisma Yaso di Jakarta (sekarang Museum Satria Mandala). Ia menjalani akhir hidup yang memilukan. Menurut sejarawan Bob Hering dalam Soekarno Arsitek Bangsa , Bung Karno dikucilkan dari rakyatnya di Wisma Yaso sejak pengujung Desember 1967. “Bahkan, keluarga dan kerabatnya pun sulit menemui Bung Karno. Untuk membesuk Bung Karno, mereka harus mendapat izin lebih dulu dari otoritas yang berwenang.” Hal itulah yang membuat Hatta sangat kesulitan menemui sahabatnya itu. Bung Hatta bukan tidak mengusahakan pertemuannya dengan Sukarno, namun ia sangat mengerti apa yang akan terjadi kepada Bung Karno jika ia melakukan hal tersebut. Menurut Meutia Hatta, putri pertama Bung Hatta, ayahnya selalu bersabar menunggu kesempatan dapat bertemu Bung Karno. Karena memang pada waktu itu suasana tidak mendukung pertemuan keduanya. Rezim Soeharto menjaga ketat keberadaan Sukarno. “Pada prisipnya Bung Hatta itu tidak ingin memberatkan Bung Karno. Ayah saya tidak ingin kedatangannya malah membuat Bung Karno atau keluarganya lebih ditekan dan mereka lebih sewenang-wenang terhadap Bung Karno. Hatta menjaga kawannya dari jauh” kata Meutia kepada Historia . Wali Nikah Menyaksikan secara langsung prosesi pernikahan anak merupakan dambaan setiap orang tua. Namun kebahagiaan seperti itu tidak dapat dirasakan Sukarno. Sewaktu putra sulungnya, Guntur Sukarnoputra, hendak menikah pada Februari 1970, Bung Karno tidak dapat hadir. Selain karena memang kondisi kesehatannya yang buruk, larangan pemerintah Orde Baru pun menjadi alasan terberat Sukarno tidak bisa hadir bersama keluarganya. Kondisi itu membuat Guntur harus memilih seseorang menggantikan peran ayahnya sebagai wali nikah. Tidak mudah memang, tetapi ia akhirnya menjatuhkan pilihan kepada Hatta. Keputusan itu diambil setelah Guntur mendapat saran dari ayahnya sewaktu ia datang meminta restu. Ditemani ibunya, Farmawati, Guntur datang nemenui Hatta. Mereka lalu menjelaskan kondisi sulit yang sedang terjadi pada Sukarno dan meminta kesediaan Hatta untuk menggantikannya sebagai. “Ya, saya bersedia,” ucap Hatta menjawab permintaan putra sahabatnnya itu, sebagaimana dikenang Guntur dalam Bung Karno, Bapakku, Guruku, Sahabatku, Pemimpinku . Jawaban cepat itu cukup membuat Guntur terkejut, mengingat pertikaian politik antara Sukarno dan Hatta. Pernikahan Guntur berlangsung di Bandung pada Februari 1970, empat bulan sebelum Sukarno mangkat. Pernikahannya sederhana. Tidak banyak kawan-kawan Bung Karno yang hadir. Menurut sejarawan Saleh As’ad Djamhari dalam “De-Sukarnoisasi dan Akhir Demokrasi Terpimpin”, dimuat Malam Bencana 1965 , Hatta datang ke pernikahan Guntur dengan perasaan haru. Bung Hatta benar-benar menyadari kepedihan hati Bung Karno yang tidak bisa menyaksikan putranya menikah. Pertemuan Terakhir Pada Jumat Pagi, 19 Juni 1970, Bung Hatta dikirimi sepucuk surat oleh Masagung, salah seorang kawan Sukarno. Dia diberitahu kalau Bung Karno masuk Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat. Si Bung harus dirawat intensif setelah kesehatannya kian menurun. Mendengar kabar tersebut, Hatta segera mengusahakan izin membesuk Sukarno. Setelah menghubungi kesana kemari, Hatta akhirnya mendapat izin dari Presiden Soeharto. Kepada Historia Meutia Hatta menggambarkan suasana di ruangan tempat Sukarno dirawat, yang baginya sangat mengharukan.Hattaberdiri persis di samping tempat tidur Sukarno. Meutia dan adiknya Gemala Hatta berada sedikit di belakang Hatta, dekat kaki Sukarno. Sementara Wangsa Widjaja, sekertaris pribadi Hatta, berdiri di sisi lain tempat tidur. “Saya melihat ini sebagai pertemuan yang amat mengharukan antara dua sahabat yang cukup lama dipisahkan oleh suatu tirai yang tidak tampak, walaupun tidak berarti beliau berdua telah memutuskan hubungan persahabatan itu,” ungkap Wijdaja. Sukarno yang sebelumnya tidak sadarkan diri, tetiba terbangun saat Hatta dan rombongannya berada di dalam ruangan. Dia kemudian berusaha menggapai-gapai sesuatu. Semua orang di sana tidak mengerti apa maksud Sukarno. Wangsa Widjaja akhirnya menyadari bahwa ia sedang mencari kaca matanya. Suster lalu memakaikan kaca mata tersebut untuk Sukarno. Dalam posisi tertidur, terlihat tetesan air mata jatuh dari mata Sukarno. Hatta pun mencoba menghibur dengan memegang tangan dan memijat pelan kakinya. Tidak ada pembicaraan apapun di antara keduanya. Hanya pandangan mereka yang berbicara. “Sebetulnya itu hati yang berbicara. Tidak ada lagi kata-kata, tidak tersedu-sedu. Mungkin keduanya saling memaafkan karena memang itu adalah tahap terakhir dari kehidupan Sukarno,” ucap Meutia. “Kami semua tidak bisa berkata apa-apa. Kami hanya bisa mendoakan. Namun saya bersyukur bisa berada di sana. Menyaksikan kedua proklamator berpisah untuk terakhir kalinya.” Tidak diketahui dengan pasti berapa lama Hatta dan rombongannya menemani Sukarno. Setelah itu, Hatta pamit pulang, keluar dari ruangan perawatan tersebut. Mereka pun kemudian diantar pulang oleh Tjokorpranolo kembali ke kediamannya. Hatta dan siapapun yang hari itu menjenguk Sukarno tidak mengetahui bahwa itulah pertemuan terakhir mereka dengan sang proklamator. Dua hari kemudian, tepatnya Minggu 21 Juni 1970, Sukarno menghembuskan nafas terakhirnya. Saat menerima kabar duka itu, Hatta lama terdiam. Nampak sekali dia merasa kehilangan.

  • KH Masjkur, Kiai Pejuang Jadi Pahlawan Nasional

    Usulan gelar Pahlawan Nasional kepada KH Masjkur mendapat persetujuan berdasarkan hasil pertemuan Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan pada 6 November 2019. Selain Masjkur, ditetapkan pula lima tokoh lainnya sebagai Pahlawan Nasional, yakni Rohana Kudus , Sultan Himayatuddin Muhammad Saidi, M. Sardjito, KH Abdul Kahar Mudzakkir, dan A.A. Marimis. Kabar ini mendapat sambutan baik dari Nahdlatul Ulama (NU). Pasalnya, Masjkur menjadi tokoh NU kesembilan yang diangkat sebagai Pahlawan Nasional. Usulannya pun telah diajukan sejak 2009. “Seingat saya sejak tahun 2009 yang efektif. Sudah lama kemudian menguap. Baru belakangan tahun 2014 diusulkan namun gagal,” kata Abdul Mun’im DZ, Wakil Sekjen PBNU kepada Historia . Selama ini NU telah mengusulkan beberapa nama calon Pahlawan Nasional, mulai dari Saifuddin Zuhri , Kiai Bisri Syamsuri, Kiai Ahmad Shidiq hingga Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Di antara tokoh-tokoh tersebut, Masjkur paling "senior". “Di medan laga, beliau komandan Hizbullah. Kemudian perang gerilya melawan agresi Belanda. Perang bersama Pak Soedirman, keliling Jawa bergerilya. Itu perjuangan yang memang riil. Ia berjuang di meja perundingan, lapangan, dan Konstituante. Sehingga beliau pantas diangkat sebagai pahlawan, bahkan terlambat sebenarnya,” kata Abdul Mun’im. Dari Pesantren ke Medan Laga Masjkur lahir di Singosari, Malang, pada 30 Desember 1902 dari pasangan Maksum dan Maemunah. Ia mengenyam pendidikan di tujuh pesantren berbeda di berbagai daerah. Dari Pesantren Bungkuk Singosari di kampung halamannya hingga Pesantren Tebuireng, Jombang, pimpinan KH Hasyim Asyari. Ia juga pernah menjadi murid KH Kholil Bangkalan di Madura dan terakhir belajar di Pesantren Jamsaren, Solo. Soebagijo I.N. dalam K.H. Masjkur, Sebuah Biografi menyebut, pada 1923 Masjkur mendirikan pondok pesantren Misbahul Wathan (Pelita Tanah Air) di kampung halamannya di Singosari, Malang. Ia juga aktif sebagai ketua NU cabang Malang pada 1926. Kemudian pada 1938, ia diangkat sebagai anggota PBNU yang bermarkas di Surabaya. Pada zaman pendudukan Jepang, Masjkur bergabung dengan Pembela Tanah Air (Peta). Ia juga aktif dalam laskar Hizbullah, kesatuan sukarela khusus Islam di bawah Masyumi. Ia mendapat pelatihan kemiliteran dan pelatihan khusus ulama dari Jepang. Masjkur kemudian menjadi anggota Syuu Sangi-kai, semacam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Namun, anggotanya tidak mempunyai hak bertanya atau wewenang membuat undang-undang. Tugasnya hanya memberi nasihat. Meski demikian, dalam banyak kesempatan, Masjkur seringkali mengeluarkan pendapat yang membela nasib rakyat. KH Masjkur (kiri) bersama Jenderal Daryanto saat pelantikan anggota MPR/DPR, 9 Mei 1978. (Perpusnas RI). Tak lama kemudian Masjkur menjadi anggota pengurus Badan Pembantu Prajurit (BPP) yang bertugas menghimpun dana untuk keperluan prajurit dan keluarga yang ditinggalkan. Di akhir masa pendudukan Jepang, Masjkur menjadi anggota Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang berubah menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Meski sempat terjadi perdebatan soal Islam sebagai dasar negara, Masjkur dan tokoh-tokoh Islam lain akhirnya menerima konsep Pancasila usulan Sukarno. “Dengan sadar kelompok Islam pada waktu itu menerima konsep Bung Karno tentang Pancasila, dengan dasar pemikiran bahwa yang terpenting pada saat itu ialah utuhnya Negara Kesatuan RI yang akan lahir itu,” sebut Soebagijo. Pada 19 September 1945, terjadi perobekan bendera Belanda di Hotel Yamato, Surabaya. Tergugah oleh peristiwa itu, Masjkur menghimpun para pemuda Islam dalam laskar Hizbullah, kelanjutan dari zaman Jepang. Laskar ini turut bertempur di Surabaya melawan pasukan Inggris yang geram pasca tewasnya Mayor Jenderal Mallaby . Pada masa revolusi fisik ini, Masjkur menjadi anggota Dewan Pertahanan Negara. Tugasnya membuat peraturan-peraturan yang disamakan dengan undang-undang dan tindakan-tindakan lain yang tersebut dalam undang-undang keadaan bahaya. Lima Kali Jadi Menteri Agama Menurut Ahmad Syafi’i dalam "K.H. Masjkur: Kementerian Gerilya dan Waliyul Amri" yang termuat dalam buku Menteri-Menteri Agama RI , suatu hari di bulan November 1947, Masjkur dipanggil Sukarno ke Yogyakarta. Rupanya, ia hendak diangkat menjadi menteri agama dalam Kabinet Amir Sjarifuddin II. Namun, pada 23 Januari 1948, Amir Sjarifuddin harus mundur dari jabatan Perdana Menteri karena Perjanjian Renville. Amir digantikan Mohammad Hatta. Dalam Kabinet Hatta I ini, Masjkur meneruskan tugasnya sebagai menteri agama. Pada masa ini, Masjkur ditugaskan ke Jawa Barat untuk menemui S.M. Kartosoewiryo, imam DI/TII yang mendirikan Negara Islam Indonesia. Meski tak berhasil menemui Kartosoewiryo, menurut Abdul Mun’im, Masjkur cukup berhasil meredam gerakan DI/TII. “Beliau menteri agama yang punya pengalaman lapangan. Cukup baik meredam gerakan DI/TII,” kata Mun’im yang menyusun buku Fragmen Sejarah NU . Sebagai menteri agama, Masjkur juga berperan dalam penyelidikan dan pencatatan jumlah korban Peristiwa Madiun 1948. Timnya berkeliling ke berbagai daerah untuk memberikan pengarahan dan memperkuat ketahanan mental masyarakat. Ketika Belanda menduduki Yogyakarta pada 19 Desember 1948, Masjkur termasuk menteri yang lolos dari sergapan. Sejak itu, ia gerilya dari Solo ke Ponorogo kemudian Trenggalek. Ia juga sempat bergabung dengan pasukan Panglima Jenderal Soedirman. Setelah Yogyakarta kembali ke tangan Republik, Masjkur menjadi menteri agama dalam Kabinet Hatta II dan berlanjut pada era acting Perdana Menteri Mr. Susanto Tirtoprodjo. Pada 19 April 1953, Ketua Umum PBNU Wahid Hasyim meninggal dunia dalam kecelakaan mobil. Masjkur yang menjabat Ketua I menggantikannya sebagai ketua umum. Pada 30 Juli 1953, ia ditunjuk lagi menjadi menteri agama dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo. Kritis terhadap Orde Baru Pasca Pemilu 1955, dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo II, Masjkur terpilih sebagai salah satu anggota Konstituante. Setelah Konstituante dibubarkan, ia menjadi anggota DPR Gotong Royong. Ia kemudian menjadi anggota staf biro politik Komando Tertinggi Retooling Aparatur ( Kotrar ). Masjkur tetap aktif di dunia politik hingga rezim berganti. Pada masa Orde Baru, ia menjadi anggota DPR dan pernah menjabat ketua Fraksi Persatuan Pembangunan. Di masa represif itu, ia termasuk tokoh yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan Orde Baru yang keliru. “Bersama yang lain, waktu itu mengkritisi undang-undang kepartaian karena partai dikebiri sedemikian rupa. PPP bersuara sangat keras. Tapi akhirnya PPP dibersihkan dari unsur NU,” ujar Abdul Mun’im. Masjkur juga menentang UU Perkawinan yang dianggap sekuler. Ia juga keras menentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) atau Eka Prasetya Pancakarsa bikinan rezim Soeharto. “Beliau juga menentang P4 karena negara dianggap memonopoli penafsiran tentang Pancasila. Bukan beliau anti-Pancasila tapi monopoli penafsiran Pancasila yang ditentang,” jelas Abdul Mun’im. Di akhir penjalanan hidupnya, Masjkur tetap aktif di NU. Ia menjabat ketua Yayasan Universitas Islam Malang (Unisma) hingga meninggal dunia pada 18 Desember 1992.

  • Dua Ras Nusantara dan Karakternya

    Secara fisik orang Papua dan sebagian Indonesia bagian timur berbeda dengan orang Indonesia di barat. Kendati begitu mereka tak benar-benar terpisah secara evolusi. “Papua dan Nusa Tenggara secara genom berlainan dari kita. Jadi sekarang fisiknya lain, tapi semua kalau dibedah ya sama, asalnya dari pohon evolusi yang sama, Homo sapiens yang bergerak keluar dari Afrika,” kata Harry Widianto, kepala riset Balai Arkeologi Yogyakarta. Sebelum penelitian tentang fosil dan genetika dilakukan, Alfred Russel Wallace telah menyimpulkan bahwa ada dua ras berbeda yang mendiami Nusantara, yaitu ras Melayu di Indonesia barat dan ras Papua di timur. “Ras Melayu mendiami hampir seluruh bagian barat kepulauan itu, sementara ras Papua mendiami wilayah New Guinea,” catatnya dalam Kepualauan Nusantara. Wallace, naturalis asal Inggris, berkelana di Kepulauan Nusantara selama delapan tahun (1854-1862). Dari perjalanan itu, ia membagi batas-batas fauna secara geografis yang disebut Garis Wallace. Selain itu, Wallace juga memiliki pandangan terkait ras-ras di Nusantara. Dalam catatannya yang berjudul asli The Malay Archipilago itu, ia menjabarkan perbedaan antara kedua ras berdasarkan fisik dan mental, sekaligus kemiripan dengan suku-suku di sekitarnya. Orang Melayu Wallace mencatat, warna kulit ras Melayu yang telah berkembang menjadi suku bangsa yang beraneka ragam adalah coklat kemerah-merahan dengan sedikit banyak kuning kecoklatan. Rambutnyahitam, lurus, dan agak kasar. “Warna rambut yang agak terang, yang berambut ikal, dan keriting merupakan akibat percampuran dengan ras lain,” jelas Wallace. Mereka tak berjanggut. Dada dan badan tak banyak bulu. Perawakannyasama dan lebih kecil dibanding orang Eropa. Badannyakuat dengan dada bidang. Kakinya kecil dan pendek. Tangannya kecil dan agak halus. Mukanyasedikit lebar dan cenderung datar. Dahinya agak bulat, alis tipis, dan hitam. Sorot matanyaramah. Hidungnyakecil, tak mancung namun lurus. Puncak hidungnya agak bulat dengan lubang hidung lebar. Tulang rahang agak menonjol. Mulutnya lebar, bibir tebal, tatapi tak monyong. Dagunya bundar. “Pada dasarnya orang Melayu tidak tampan. Tapi ketika masih remaja mereka sangat menawan,” kata Wallace . “Anak laki-laki dan anak perempuan yang berusia 12 atau 15 tahun sangat rupawan.” Wallace pun menyimpulkan bahwa kecantikan dan ketampanan mereka hilang karena kebiasaan buruk. Hidup mereka tak teratur. Dalam usia yang masih sangat muda, mereka terus-menerus memakan sirih. Mereka juga menghisap tembakau. Pun menderita kekurangan gizi. “Mereka sangat menderita karena terbakar matahari saat mencari ikan dalam perjalanan jauh,” lanjut Wallace. Orang-orang Melayu muda ini juga seringkali hidup antara kelaparan dan kelimpahan makanan. Antara kemalasan dan kerja berat. “Hidup semacam ini mempercepat penuaan dan menambah kesuraman wajah,”kata Wallace. Dari sisi emosi, orang Melayu termasuk yang datar. Mereka pendiam, kurang percaya diri, dan pemalu. “Para pengamat berpendapat bahwa sifat-sifat kejam dan haus darah yang dituduhkan kepada ras Melayu mungkin telah dibesar-besarkan,” kata Wallace. Pasalnya, orang Melayu sangat tertutup. Perasaan mereka tak pernah dikatakan secara terbuka. Mereka berbicara dengan sangat hati-hati, bahkan berbelit-belit. Orang Papua Berbeda dengan ras Melayu, orang Papua punya warna kulit coklat gelap. “Adakalanya kulit mereka berwarna coklat kehitam-hitaman,” kata Wallace. Rambut orang Papua sangat khas: keriting kecil-kecil, kasar, dan kering. Rambut itu tumbuh dalam rumpun-rumpun kecil. Saat muda, rambut mereka begitu pendek dan rapat. Kalau dipanjangkan, rambut itu akan mengembang. Bagi orang Papua, rambut adalah kebanggaan. “Rambut bagi orang Papua adalah lambang keagungan,” kata Wallace. Tak kalah dengan rambutnya, janggut orang Papua juga keriting. Di kaki, lengan , dan dada pun berambut. Dibanding orang Melayu, perawakan orang Papua lebih besar. Kaki mereka panjang dan kurus. Tangan dan kakinyajuga lebih besar. Soal wajah, muka orang Papua lonjong. Dahi mereka datar. Alisnya runcing. Hidungnya besar, agak bengkok, dan mancung. Pangkal hidungnya tebal dengan lubang yang lebar. Celah antarhidung dengan mulut tak terlihat, karena ujung hidungnya memanjang. Sementara mulutnya lebar, bibirnya tebal, dan menonjol. “Pada dasarnya wajah ras ini lebih mirip wajah orang Eropa daripada orang Melayu, karena memiliki hidung besar, alis runcing, dan bentuk kepala yang khas,” lanjut Wallace. Sifat orang Papua juga jauh berbeda dibandingkan orang Melayu. Wallace mengamati, orang Papua cenderung lebih ekspresif, baik dalam perbuatan maupun perkataan. Mereka riang dan penuh tawa. Pembauran Berdasakan pembagian secara etnologis, Wallace mencermati orang-orang berperawakan khas Melayu banyak meninggali wilayah barat Nusantara. Sementara mereka yang berciri Papua menghuni bagian timur, termasuk seluruh bagian Pulau Papua, Aru, Mysol, Kepulauan Kei, Waigeo, dan Salawati. “Ras Papua persebarannya juga meluas ke timur dan melampaui New Guinea Timur sampai ke Kepulauan Fiji,” jelas Wallace. Secara keseluruhan, kata Wallace, ras Melayu mirip dengan penduduk Asia Timur, dari Siam sampai wilayah Manchuria di Cina Daratan. Ia sempat terkesan melihat kebiasaan pedagang Cina yang mengikuti kebiasaan penduduk Bali sehingga sulit dibedakan. “Pada saat yang lain, saya melihat penduduk asli Jawa dengan raut wajah menyerupai orang Cina,” catatnya. Lebih jauh lagi, Wallace membandingkan kekhasan ras Melayu yang menghuni Benua Asia dan pulau-pulaunya sama dengan kekhasan mamalia besar yang juga menghuni wilayah itu. Ini, kata Wallace, menunjukkan kalau semua daerah ini pernah tersambung menjadi satu. Akhirnya, Wallacepun menarik sebuah garis dari Kepulauan Filipina, kemudian menyusuri Pantai Barat Gilolo, melalui Pulau Bouru, dan melengkung mengelilingi ujung barat Flores, kemudian membelok kembali di dekat Pulau Cendana terus ke Rote. Dari situ, ia membagi Nusantara menjadi dua bagian dengan dua ras yang berbeda. “Garis ini akan memisahkan ras Melayu dan semua ras Asia dari ras Papua serta semua penduduk Pasifik,” jelasnya. “Meskipun di sepanjang garis penghubung telah terjadi perpindahan dan percampuran antara ras.” Pada masa kini, terbukti alih-alih pemisahan lebih tepat jika disebut dengan pembauran. Itu dibuktikan oleh studi genetika yang dilakukan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Penelitinya, Herawati Supolo-Sudoyo, menjelaskan lembaga itu telah melakukan rekonstruksi dari 50.000 tahun pergerakan populasi manusia Nusantara dengan melibatkan 6.000 individu dari 70 populasi etnik di 12 pulau menggunakan penanda DNA. Hasilnya, populasi etnik yang mendiami Indonesia bagian barat dan timur memiliki gradasi pembauran genetik. “Data genomik menunjukkan adanya migrasi leluhur penutur Austronesia dari Taiwan yang bercampur dengan leluhur penutur Austroasiatik dari Cina Daratan yang kemudian menetap di Indonesia barat,” ujar Hera. Misalnya, gen manusia Jawa asli ternyata membawa gen moyang Austroasiatik dan Austronesia. Begitu pula manusia etnis Dayak dan manusia di Pulau Sumatera yang tampak pada etnis Batak Toba dan Batak Karo. Sedangkan penduduk asli Pulau Alor membawa genetika moyang Papua. Manusia asli Lembata dan Suku Lamaholot, Flores Timur, membawa genetika moyang Papua dengan persentase paling tinggi dan sedikit genetika leluhur penutur Austronesia. Hal itu kemudian dibuktikan pula dari penggunaan bahasanya. Di Indonesia timur hingga kini memakai bahasa non-Austronesia atau Bahasa Papua. Berbeda dengan Indonesia bagian barat yang memang bertutur bahasa Austronesia. “Latar belakang genetis itu bergradasi. Dari barat Austronesia yang dominan, lalu gen Papua dimulai dari NTT, Alor, dan seterusnya. Dengan gambaran ini kita baru bisa bicara tentang diri sendiri,” jelas Herawati. Ihwal adanya perbedaan fisik, seperti kulit misalnya, kata Hera, itu dipengaruhi kondisi lingkungan yang berubah-ubah. Dalam pengembaraan para leluhur hingga ke Nusantara, mereka banyak menemui kondisi lingkungan yang silih berganti. Lingkungan, seperti hutan, padang pasir yang kering, pinggir pantai yang bersuhu tinggi dan berkadar garam tinggi, sinar ultraviolet, dapat menciptakan variasi DNA. “Pigmentasi itu ada kodenya oleh DNA,” ucapnya. Secara Paleontologi, orang-orang Papua mewakili apa yang disebut sebagai ras Australomelanesid. Merekalah leluhur orang Papua masa kini. Sementara penutur Austroasiatik dan Austronesia mewakili ras Mongoloid. Semuanya adalah keturunan manusia modern ( Homo sapiens ) yang diperkirakan mulai menyebar keluar dari benua Afrika sejak 100.000-300.000 tahun yang lalu. Dalam migrasinya, leluhur orang Papua lebih dulu menghuni Nusantara. Itu terjadi sebelum migrasi Austroasiatik dan Austronesia ke Nusantara. Seiring kedatangan mereka, Austromelanesid bergeser sedikit demi sedikit menghuni kawasan Indonesia timur. Populasi ras Mongoloid itu kemudian bercampur dengan sebagian ras Australomelanesid yang masih bertahan. Mereka terutama yang hidup di wilayah Wallacea, seperti Sulawesi dan Nusa Tenggara. Karenanya kini orang-orang di wilayah Nusa Tenggara merupakan hasil percampuran Australomelanesid dan Mongoloid. Belakangan, sebagian populasi mendapat campuran gen lagi dari India, Cina, Arab, dan Eropa. Inilah yang kemudian membentuk keragaman genetika orang Indonesia.

  • Mengenal Rohana Kudus, Wartawan Perempuan Pertama yang Jadi Pahlawan Nasional

    ROHANA Kudus, wartawan perempuan pertama Indonesia, ditetapkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Joko Widodo pada Jumat (8/11/ 2019). Keputusan ini didapat dari hasil pertemuan antara Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan dengan Presiden Joko Widodo pada Rabu (6/11/2019). Rapat tersebut membahas tentang usulan calon Pahlawan Nasional 2019 yang terdapat dalam Surat Menteri Sosial Rl nomor: 23/MS/A/09/2019 tanggal 9 September 2019. Penetapan ini menjadi kabar baik untuk Pemerintah Sumatera Barat yang sudah mengusulkan nama Rohana Kudus sebagai pahlawan nasional sejak 2018. Rohana Kudus atau Sitti Rohana merupakan perempuan pejuang asal Sumatera Barat. Ia lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, pada 20 Desember 1884. Ayahnya, Moehammad Rasjad Maharadja Sutan seorang Hoofd Djaksa (Kepala Jaksa) di pemerintah Hindia Belanda, sedangkan ibunya bernama Kiam. Rohana tumbuh dalam keluarga moderat yang gemar membaca. Sejak kecil ia punya kesempatan untuk mengakses bacaan lewat buku, majalah, dan suratkabar yang dibeli ayahnya. Kegemaran membaca ayahnya ditularkan pada Rohana. Meski tak mengenyam bangku sekolah formal, atas didikan ayahnya, di usia lima tahun Rohana sudah mengenal abjad latin, Arab, dan Arab Melayu. Ketika Rohana berusia enam tahun, ayahnya pindah tugas ke Alahan Panjang sebagai juru tulis. Di sana ia bertetangga dengan Jaksa Alahan Panjang Lebi Jaro Nan Sutan. Lantaran tak punya anak, pasangan Sutan dan Adiesa menganggap Rohana sebagai anak sendiri. Adiesa sering memanggil Rohana untuk main di rumahnya. Di sana, Rohana tak semata main tapi juga diajari baca-tulis-hitung. Setelah dua tahun diajari Adiesa, Rohana bisa menulis dalam huruf Arab, Arab Melayu, dan latin. Ia juga sudah bisa berbahasa Belanda di usia 8 tahun. Untuk memperdalam kemampuan Rohana, ayahnya berlangganan buku dongeng anak terbitan Medan, Berita Ketjil. Terkadang sang ayah juga membelikan buku cerita terbitan Singapura atau mendapat oleh-oleh buku anak dari rekannya yang pegawai Belanda. Buku-buku itulah yang dilahap Rohana kecil. Menulis untuk Membela Nasib Perempuan Rohana amat peduli dengan nasib perempuan. Ketidaktersediaan sekolah untuk pribumi putri mendorong Rohana mendirikan Sekolah Kerajinan Amai Setia, sekolah kaum putri yang mengajarkan keterampilan. Rohana tak berhenti berjuang hanya dengan mendirikan sekolah. Lewat diskusi dengan suaminya, Abdul Kudus, Rohana menceritakan keinginannya untuk memperluas perjuangan. “Kalaupun hanya mengajar, yang bertambah pintar hanya murid-murid saya saja. Saya ingin sekali berbagi ilmu pengetahuan dan pengalaman dengan kaum perempuan di daerah lain sehingga bisa membantu lebih banyak lagi,” kata Rohana pada suaminya, seperti ditulis Fitriyanti dalam Rohana Kudus, Wartawan Perempuan Pertama Indonesia. Setelah diskusi itu, Rohana mengirim surat kepada Datuk Sutan Maharadja, pemimpin redaksi Oetoesan Melajoe , di Padang. Rohana menyampaikan keinginannya agar perempuan diberi kesempatan mendapat pendidikan sama seperti lelaki. Ia juga mengusulkan agar Oetoesan Melajoe memberi ruang pada tulisan perempuan. Maharadja merupakan wartawan senior yang bijaksana dan kebapakan. Ia amat tersentuh membaca surat Rohana. Lantaran itu pula ia rela ke Koto Gadang untuk menemui perempuan cerdas yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal itu. Dalam pertemuan itu, Rohana menyampaikan bahwa idenya tidak sebatas pemberian ruang bagi tulisan perempuan di Oetoesan Melajoe , melainkan juga menerbitkan surat kabar yang dikhususkan untuk perempuan. Namun, Rohana tidak bisa mengurus itu seorang diri karena tidak bisa meninggalkan Sekolah Kerajinan Amai Setia. Sekolah Kerajinan Amai Setia yang didirikan Rohana Kudus. (Repro Rohana Kudus, Srikandi Indonesia). Maharadja lantas mengusulkan agar anaknya, Ratna Juwita Zubaidah, yang akan mengurus keperluan di Padang. Usulan pembagian tugas ini disetujui karena dianggap cukup adil. Rohana dan Ratna Juwita akan sama-sama menulis. Sementara Ratna Juwita mengurus keperluan redaksi di Padang, Rohana mencarikan kontributor untuk mengisi rubrik-rubrik dalam suratkabar mereka. Maka, terbitlah Soenting Melajoe . Kata “Sunting” dipilih karena berarti perempuan dan “Melayu” mewakili nama wilayah mereka. Singkatnya, surat kabar ini diperuntukan bagi perempuan di seluruh tanah Melayu. Soenting Melajoe terbit pertama 10 Juli 1912. Surat kabar ini terbit seminggu sekali dengan panjang 4 halaman. Biaya langganannya mencapai f 1.80 per tahun atau f 0.45 per triwulan. Persebaran Soenting Melajoe tak hanya di hampir seluruh Minangkabau dan Sumatera, namun juga menjaungkau Malaka dan Singapura karena disirkulasikan bersama Oetoesan Melajoe. Oleh karena itu, ada pula biaya langganan untuk wilayah di luar Hindia Belanda, yakni f 2.60 per tahun. Tulisan yang dimuat Soenting Melajoe beragam. Selain berita terjemahan dari bahasa Belanda yang dikerjakan Rohana, koran ini juga menyajikan sejarah, tulisan para kontributor, hingga puisi. Adanya wadah untuk menampung pikiran perempuan itu membuat Rohana semangat mengajak kawan-kawan dan muridnya untuk menulis di Soenting Melajoe. Di antara yang mengirim tulisannya, ada istri Wiria Atmadja dengan tulisan tentang obat sakit kolera pada terbitan tanggal 5 Oktober 1912. Lain waktu, pada Kamis 30 Januari 1913, Soenting Melajoe memuat puisi salah satu murid Rohana. Rohana dan Ratna Juwita sudah barang tentu menulis di setiap edisi. Pada Sabtu, 7 Agustus 1912, lewat artikel berjudul “Perhiasan Pakaian”, Rohana membahas keterampilan perempuan Minangkabau dalam menjahit dan merangkai manik-manik atau hiasan untuk pakaian. Ia menyoroti beberapa jenis keahlian tidak diturunkan sempurna dari nenek ke anak cucu mereka. Padahal, menurut Rohana, jika keahlian itu diturukan dengan baik dan ditekuni, hasilnya bisa mendatangkan keuntungan finansial bagi perempuan. Intinya, Rohana mengajak para perempuan untuk berbisnis dengan modal keterampilan menghias baju. Rohana bersama murid-muridnya (kiri). Rohana di usia senja (kanan). (Repro Rohana Kudus, Srikandi Indonesia ). “Sayang sekali kepandaian kita itu tidak dimajukan terus dan tidak dihikmatkan supaya kian lama bertambah halus dan bersih perbuatannya sampai boleh menjadi barang perniagaan seperti di bangsa lain,” tulis Rohana dalam artikel itu.   Adanya Soenting Melajoe membuat Rohana menjadi lebih sibuk. Disiplin mengatur waktu pun ia terapkan agar semua kegiatannya bisa berjalan lancar. Seperti ditulis Tamar Djaja dalam Rohana Kudus, Srikandi Indonesia, dalam sehari Rohana akan mengajar selama dua jam di sekolahnya, dua jam pula ia sempatkan untuk mengurus perkumpulan perempuan, dan malamnya ia fokuskan untuk menulis artikel di Soenting Melajoe. Kiprah Rohana dalam bidang jurnalistik tak terbatas pada penerbitan Soenting Melajoe . Ketika pindah ke Medan tahun 1920, ia berpartner dengan Satiman Parada Harahap untuk memimpin redaksi Perempuan Bergerak. Sekembalinya ke Minangkabau pada 1924, Rohana diangkat menjadi redaktur di suratkabar Radio, harian yang diterbitkan Cinta Melayu di Padang. Tulisan-tulisan Rohana kebanyakan berisi ajakan pada kaum perempuan agar lebih maju. Ia pun mengkritik praktik pergundikan yang dilakukan orang-orang Belanda kepada perempuan Indonesia, pekerjaan tak manusiawi di Perkebunan Deli, dan permainan para mandor yang menjebak buruh-buruh perempuan dalam prostitusi. “Aku ingin berbuat lebih banyak lagi untuk menolong kaum perempuan,” kata Rohana.

  • Membangkitkan Kembali Ratu Ilmu Hitam

    Hanif (Ario Bayu) mengajak istri (Hannah Al Rasyid) dan anak-anak mereka berkunjung ke panti asuhan tempat Hanif ditampung ketika kecil. Selain Hanif, Anton (Tanta Ginting) dan Jefri (Miller Khan) yang juga mantan anak panti turut datang. Mereka hendak menjenguk orang tua panti mereka, Pak Bandi (Yayu Unru) yang sedang sakit. Setelah sekilas bernostalgia dengan rumah panti yang nampaknya terpencil dan jauh dari kota itu, mereka mulai mengalami serangkaian teror. Berbagai kejadian tragis dalam waktu semalam itu kemudian mengingatkan mereka pada sejarah kelam yang terjadi di panti sekitar 20 tahun yang lalu. Bagaimana kelanjutannya? Sila tonton sendiri karena film Ratu Ilmu Hitam , hasil kolaborasi Joko Anwar bersama Kimo Stamboel telah resmi rilis di bioskop-bioskop Indonesia, 7 November 2019. Kali ini Joko Anwar sebagai penulis skenario sedangkan Kimo berperan sebagai sutradara. Dalam gala premier film ini, 4 November 2019, hadir mantan aktor Clift Sangra. Ia mengatakan bahwa film ini merupakan bentuk apresiasi sekaligus mengenang mendiang Suzzanna, pemeran Ratu Ilmu Hitam (1981). Ratu Ilmu Hitam  (2019) resmi tayang di bioskop-bioskop Indonesia mulai 7 November 2019. (Fernando Randy/Historia). Ratu Ilmu Hitam memang pertama kali dibuat pada 1981. Film ini mendapuk Suzzanna sebagai Sang Ratu Ilmu Hitam. Beberapa pemeran lainnya yakni Alan Nuari, Sofia WD , Teddy Purba, hingga WD Mochtar juga turut membuat film ini sempat populer pada era itu. Film ini disutradarai oleh Lilik Sudjio , ide cerita oleh Subagio Samtani, dan skenarionya ditulis oleh Imam Tantowi. Murni (Suzzanna) dituduh menggunakan ilmu hitam oleh Kohar (Alan Nuary) untuk mengacaukan pernikahan Kohar. Calon istri Kohar kesurupan, reog yang ditanggap mengamuk, pesta pernikahan itu pun berakhir kacau. Bahkan, dukun yang hendak membantu pun tewas mengenaskan. Kohar menghasut warga desa. Murni ditangkap, rumahnya dibakar, dan ia akhirnya dibuang ke jurang. Murni sendiri dulu sebenarnya adalah kekasih Kohar. Namun setelah ditiduri Kohar, Kohar justru menikahi perempuan lain. Seorang dukun teluh bernama Gendon akhirnya menyelamatkan Murni. Gendon memprovokasi Murni agar balas dendam kepada Kohar dan warga desa yang menyakitinya. Gendon melatih Murni ilmu hitam hingga menjadi Ratu Ilmu Hitam. Serangkaian pembunuhan oleh Murni pun terjadi di desa. Satu per satu warga yang dulu turut menganiaya Murni kena teluh dan tewas mengenaskan. Suatu ketika, seorang pemuda bernama Permana datang ke desa mencari keluarganya. Permana ternyata adalah kakak Murni. Namun, Murni justru jatuh cinta pada Permana. Semenjak balas dendamnya kepada Kohar terpenuhi, Murni sudah berniat ingin menghentikan terornya di desa. Namun Gendo menahannya. Akhirnya, Murni malah berniat membunuh Permana karena salah paham. Permana yang juga mempunyai kekuatan spiritual bisa menyadarkan Murni. Akhirnya, Murni menyerang Gendon hingga tewas. Namun, Murni sendiri juga tewas. Film ini dibuat pada masa film horor booming pada 1980-an dengan produksi mencapai sekira 69 judul film. Apalagi Suzzanna kala itu telah menjadi ikon film horor Indonesia. Sejumlah film horor yang dibintanginya, seperti Sundelbolong (1981), Nyi Blorong (1982), dan Malam Jumat Kliwon (1986) laris di pasaran. Setidaknya Suzzanna telah membintangi 18 film horor. Pada saat yang sama, latar tempat yakni desa terpencil dengan segala konstruksi mistisnya memang masih kental. Maka tak heran, banyak film horor saat itu berlatar belakang desa dengan makhluk mistis, ilmu gaib, maupun hantu-hantu ciptaan masyarakatnya. Dengan resep itu, film-film horor kala itu barangkali dengan mudah meneror para penontonnya. Mengutip filmindonesia.or.id , pada Festival Film Indonesia 1982, film Ratu Ilmu Hitam menyabet lima penghargaan sekaligus. Atas perannya sebagai Murni, Suzzana meraih penghargaan pemeran utama wanita terbaik sedangkan WD Mochtar meraih penghargaan pemeran pembantu pria terbaik. Tiga penghargaan lain yakni editing terbaik, fotografi terbaik, dan artistik terbaik.

  • Kebingungan Rombongan Perwira Angkatan Udara Sepulang dari China

    SAAT menerbangkan pulang helikopter Mi-6 dari Pangkalan Angkatan Udara (PAU) Husein Sastranegara, Bandung ke PAU Atang Senjaya, Bogor pada 2 Oktober 1965, Letda Udara (kini kolonel udara purnawirawan) Pramono Adam mendapati hal janggal. “Di atas, ramai (informasi radio, red .). Nggak boleh ke sana, nggak boleh ke sini. Nggak boleh ke Halim, Halim udah diduduki oleh Angkatan darat,” ujar Pram menirukan suara radio di cockpit helinya, kepada Historia . Ternyata, larangan di radio yang didengar Pram merupakan aturan yang dikeluarkan komandan-komandan PAU kepada pesawat-pesawat AURI yang sedang mengudara menyusul terjadinya G30S. Larangan itu muncul mengikuti keadaan yang cepat berubah lantaran keadaan darurat. Kondisi seperti yang dialami Pram juga dirasakan Kolonel Udara Santoso saat ditugaskan memiloti pesawat Hercules AURI untuk menjemput rombongan Seskau AU yang study tour ke RRC. Dari Canton (kini Guangzhou) sampai memasuki wilayah udara Indonesia, tanggal 6 Oktober, penerbangan Santoso berjalan dengan baik dan tenang. Perubahan baru terjadi ketika pesawat mendekati ibukota. “Setelah pesawat mendekati Jakarta, mendapat tiga instruksi. Pertama, agar Hercules mendarat di PAU Halim, instruksi kedua, agar mendarat di PAU Atang Senjaya Semplak dan yang ketiga, agar mendarat di PAU Husein Sastranegara,” tulis Aristides Katoppo dan kawan-kawan dalam Menyingkap Kabut Halim 1965 . Tiga instruksi itu membuat bingung Santoso dan juga Komodor Sri Bimo Ariotedjo, Danjen Sekolah Staf Komando AU (Seskau), yang berada di cockpit . “Ini perintah siapa?” tanya Bimo. “Kalau instruksi dari PAU Husein pasti datang dari Kolonel Ashadi komandan PAU Husein,” jawab Santoso. Ashadi (KSAU 1977-1982 ) merupakan komandan PAU pertama yang mengeluarkan himbauan kepada pesawat-pesawat AURI yang hendak mendarat ke Halim agar mengalihkan pendaratan ke PAU Husein yang dianggapnya lebih aman. Himbauan itu muncul menyusul didudukinya Halim oleh RPKAD pada 1 Oktober sore karena mengira AURI bakal membom Kostrad. Himbauan pertama Ashadi, dinihari 2 Oktober 1965, ditujukan kepada lima pesawat AURI yang dikirim dari Wing Ops 002 Abdulrachman Saleh, Melang ke Halim. Sebuah pesawat B-25 Mitchell yang terlanjur mendarat di Halim sebelum himbauan Ashadi keluar, akhirnya roda-rodanya digembosi para personil RPKAD. Namun karena tidak mengetahui maksud Ashadi dan justru menilai himbauan itu akan dimaksudkan untuk bermacam hal yang tak diinginkan, Bimo memerintahkan agar Santoso tak mendaratkan Hercules ke Bandung. Bimo lalu menanyakan pada Santoso apakah sebelum berangkat ke Canton mendapatkan kejadian aneh. Sang pilot pun menjawab bahwa pada dinihari 2 Oktober ketika Laksda Sri Mulyono Herlambang hendak kembali ke Jakarta dari Medan, di atas Tanjung Priok pesawatnya ditembaki oleh Artileri Serangan Udara milik AD. Mendengar jawaban Santoso, Bimo langsung memerintahkan agar Hercules mendarat di Halim dan sebelum masuk Karawang, pesawat turun ke ketinggian 500 kaki. “ Straight masuk Halim. Nggak usah call-call -an. Long final runway 24, langsung mendarat!” kata Bimo memberi perintah. Hercules akhirnya selamat mendarat di Halim yang saat itu sudah aman setelah pasukan RPKAD keluar usai diberi penjelasan Laksda Herlambang. Namun ketika rombongan siswa Seskau hendak pulang ke rumah masing-masing pada pukul 20.00, datang perintah agar rombongan segera menghadap Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto. Kendati bingung, Bimo dan rombongannya yang berisi 70 perwira AU pun berangkat menghadap Soeharto. Kebingungan Bimo makin bertambah ketika di Kostrad dia bertemu kawan lamanya di AMN Yogyakarta, Letkol Oerip Widodo, yang sama sekali beda dari biasanya. Sampai di situ, Bimo dan rombongan masih belum tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi. Terlebih, di ruangan tempat mereka diterima terdengar suara dua orang bercakap dengan keras di belakang ruangan. “Ada yang sedang berkelahi. Mayjen TNI Soeharto dan Mayjen TNI Pranoto Reksosamodro,” kata seorang ajudan berpangkat letnan yang menemani rombongan Bimo. Setelah sekira sejam menunggu, rombongan Bimo akhirnya ditemui Soeharto. Setelah menanyakan siapa pimpinan rombongan, Soeharto langsung mengambil sebuah catatan. “Begini ya, saya perlu brief semua,” kata Soeharto, dikutip Aristides dkk. Pangkostrad lalu membacakan kronologi peristiwa G30S. “Seolah-olah, pimpinanmu ada di pihak sana,” kata Soeharto menutup briefing . Pernyataan Soeharto itu makin menambah kebingungan para anggota rombongan Bimo. Terlebih setelah Soeharto mempertunjukkan foto beberapa jenazah jenderal yang dibunuh di Lubang Buaya. Puncak kebingungan Bimo dan rombongannya terjadi ketika Soeharto menutup pertemuan dengan sebuah pertanyaan. “Jadi, Saudara pilih pimpinanmu atau pilih kami?” kata Soeharto. Alih-alih memberi pilihan, Bimo yang sama sekali tak mengetahui perkembangan keadaan tanah air beberapa hari belakangan menjawab diplomatis. “Begini, Pak, saya berangkat atas perintah Men/Pangau. Saya pulang mau laporan dulu,” ujarnya. Jawaban itu membuat Soeharto kecewa. Dia langsung bangun dari duduknya dan keluar ruangan tanpa mengeluarkan sepatah kata.

bottom of page