Hasil pencarian
9581 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- The Dreamers, Drama Vulgar di Tengah Prahara Politis
GADIS bertopi baret merah khas Prancis yang sedang bersender di pagar besi gedung Cinémathèque Française itu begitu memanjakan mata dan hati Matthew (diperankan Michael Pitt). Mulanya, jejaka Amerika Serikat yang kuliah di Prancis lewat pertukaran pelajar itu begitu ragu untuk berkenalan dengan Isabelle (Eva Green), gadis itu. Namun tatapan sang gadis memecut nyalinya untuk memberanikan diri melakukannya. Adegan itu jadi momen cinta pada pandangan pertama Matthew terhadap Isabelle yang jadi prolog film The Dreamers garapan sineas legendaris asal Italia Bernardo Bertolucci. Plot kisah film bergenre drama romantis ini diiringi suasana protes yang berujung kerusuhan Mei 1968 di Prancis. Pertemuan Matthew dengan Isabelle itu pun diracik sang penulis skenario Gilbert Adair, di tengah-tengah protes mahasiswa terhadap pemecatan Direktur Cinémathèque Française Henri Langlois oleh Menteri Kebudayaan André Malraux. Dalam momen itu Matthew juga diperkenalkan Théo (Louis Garrel), saudara kembar Isabelle. Namun perkenalan itu tak bisa berlangsung lama lantaran pecah kericuhan antara para mahasiswa yang berunjuk rasa dengan polisi. Ketiganya pun memilih kabur. Perkenalan tersebut jadi bab baru dalam kehidupan Matthew. Sebagai pribadi yang polos, Matthew merasakan atmosfer berbeda saat diundang Isabelle dan Théo untuk makan malam bersama kedua orangtua mereka, George (Robin Renucci) dan istrinya (Anna Chancellor). Selepas makan malam yang sarat pembicaraan filosofis antara Matthew dan George, sang mahasiswa asing itu ditawarkan bermalam. Ilustrasi Cuplikan Isi Film 1 Keesokannya, kepolosan Matthew kian keras bertubrukan dengan atmosfer yang asing jika dibandingkan dengan kehidupannya di kampung halaman San Diego, California. Terlebih saat Matthew ditawari untuk tinggal sementara di apartemen mereka kala kedua orangtua si kembar bepergian untuk waktu lama. Matthew segera insyaf akan kebiasaan-kebiasaan asing si kembar. Salah satunya, si kembar tidur bersama tanpa sehelai pakaian ketika Matthew tak sengaja mengintip. Matthew kian merasa canggung dengan tabiat-tabiat vulgar Isabelle dan Théo. Menariknya, dalam film ini penonton diajak bernostalgia dengan film-film lawas. Pasalnya, ketiganya klop soal kegemaran akan perfilman. Penonton juga akan dibawa untuk “berkubu” saat Matthew dan Théo beberapakali berdebat soal siapa yang lebih hebat antara aktor Charlie Chaplin dan Buster Keaton, atau gitaris Eric Clapton dan Jimi Hendrix. Ketiganya bahkan nekat me-reka ulang adegan berlarian di Museum Louvre untuk mencatatkan rekor waktu yang ada di film Bande á part (1964). Bab baru kehidupan Matthew bergulir lebih mencengangkan ketika melihat si kembar taruhan kala tebak-tebakan judul film. Saat Théo gagal menyebut film yang diadegankan Isabelle, Théo terpaksa melakoni hukumannya. Di sinilah penonton harus bersiap melihat adegan-adegan seksual yang vulgar. Théo harus bermasturbasi di depan poster Marlene Dietrich dengan disaksikan Isabelle dan Matthew. Syok Matthew memuncak saat ia dan Isabelle gagal menebak adegan yang ditirukan Théo. Sebagai hukumannya, Théo ingin menyaksikan Isabelle bersetubuh dengan Matthew. Meski mulanya menolak, Matthew akhirnya mau. Sampai di sini, adegannya hanya untuk 18 tahun ke atas. Lama-kelamaan, Matthew terbiasa dengan kelakuan-kelakuan si kembar. Matthew juga kian menyadari latarbelakang keduanya hingga jatuh cinta, tidak hanya pada Isabelle namun juga Théo. Sayangnya kelakuan vulgar ketiganya, seperti tidur pulas dalam keadaan bugil bersama, diketahui kedua orangtua si kembar yang kembali dari perjalanan jauh mereka. Isabelle insyaf bahwa orangtuanya tahu kelakuan mereka. Tak kuat hati, ia mencoba bunuh diri bersama Matthew dan Théo yang masih tertidur pulas dengan menghirup gas. Namun upaya itu urung dilakukan lantaran dikagetkan oleh lemparan batu yang memecahkan kaca apartemen mereka. Ilustrasi Cuplikan Isi Film 2 Mereka pun terbangun dan menyaksikan massa demonstran sedang ber-long march. Ketiganya memutuskan turut dalam kerumunan itu. Théo yang tertular kawan-kawannya yang lain untuk menyiapkan bom molotov, sempat ditahan Matthew yang tak ingin adanya kekerasan. Namun Théo berkeras hati. Isabelle yang tak bisa jauh dari saudara kembarnya, menolak berpihak pada Matthew. Sementara Isabelle ikut-ikutan Théo menyerang barisan polisi dengan bom molotov, Matthew pilih balik badan. Persembahan Europe on Screen Mengenang Bertolucci The Dreamers digarap Bertolucci pada 2003 berdasarkan novel semi-biopik The Holy Innocents (1988) karya Adair. Adair sendiri dijadikan Bertolucci sebagai penulis naskah setelah sang sineas berhasil membujukanya agar karyanya difilmkan. Sebelumnya, banyak sineas dan rumah produksi gagal merayu Adair menjual karyanya untuk diangkat ke layar perak. Bertolucci jelas tidak menuangkan 100 persen naskah novel karya Adair itu ke dalam filmnya yang rilis pada 10 Oktober 2003 itu. Sejumlah penyesuaian dibuatnya agar filmnya tak mendobrak etika seni. Adegan sensual homoseksual antara Matthew dan Théo, misalnya. “(Adegan) seks gay memang mulanya ada di skenario pertama, namun saya merasa itu akan melewati batas dan berlebihan. Saya bilang pada Gilbert: ‘Mohon jangan merasa dikhianati, namun ketika buku diangkat ke dalam film, segalanya menjadi konsep baru. Tapi saya merasa spirit buku itu tetap ada walau tetap harus saya jadikan gaya saya sendiri di dalam film,” ungkap Bertolucci kepada The Guardian , 5 Februari 2018. Film ini jadi salah satu karya terakhir Bertolucci yang dikenal kerap meracik film-film erotis macam Il Conformista (1970), Last Tango in Paris (1972) atau Stealing Beauty (1996). Bertolucci sendiri menghembuskan nafas terakhirnya pada 26 November 2018 di usia 77 tahun akibat kanker paru-paru. Untuk mengenang sosoknya, Europe on Screen edisi 2019 memutar tiga karyanya yang digarap di tiga negara serta tiga bahasa berbeda yang didapat dari kearsipan Pusat Kebudayaan Italia (Instituto Italiano di Cultura). The Dreamers salah satunya, diputar dua kali di dua lokasi di Jakarta, yakni IIC (23 April) dan Kineforum (25 April 2019). Sementara dua film lainnya: Il Conformista (1970) pada 20 dan 27 April dan The Last Emperor (1987) pada 19 dan 28 April 2019. Namun, The Dreamers hendaknya tidak ditonton pemirsa berusia 18 tahun ke bawah lantaran memuat banyak adegan seksual yang frontal.
- Bukan Raden Ayu Lemah Lembut
Kamis, bulan Sawal, hari keduapuluh tujuh, pas asar, gubernur dan para pegawai Kompeni datang ke Mangkunegaran. Kanjeng Pangeran Dipati pun pergi ke loji untuk menyambutnya. Ia membawa prajurit perempuan. Mereka mengenakan keris dengan cara Bali, yang dihiasi bordiran daun-daun emas, mengenakan ikat pinggang berbordir emas. Pakaian mereka berkilauan. Mereka yang pergi lebih dulu adalah prajurit Nyutrayu , berjalan kaki membawa busur dan panah. Kemudian prajurit Jayengesta , tidak berpakaian semestinya. Kemudian Pangeran Dipati dikawal secara resmi oleh prajurit perempuan yang tak ada bandingannya. Begitulah penulis buku harian menggambarkan para prajurit éstri dalam sebuah upacara penyambutan seorang gubernur dari pesisir timur di Pura Mangkunegaran. Ann Kumar, sejarawan Australian National University, dalam Prajurit Perempuan Jawa mencatat, buku harian ini adalah salah satu sumber paling penting tentang keberadaan korps perempuan yang berasal dari keraton Jawa. Buku harian itu ditulis seorang anggota prajurit éstri Mangkunegaran pada dasawarsa terakhir pemerintahan Mangkunegara I yang bertakhta sejak 1757-1795. Sayangnya, penulis tak menyebut namanya di buku hariannya. Peter Carey, sejarawan asal Inggris, dalam Perempuan-Perempuan Perkasa berpendapat, keberadaan prajurit éstri di lingkungan keraton Jawa membuktikan kalau citra raden ayu yang lemah lembut dalam literatur kolonial perlu direvisi. Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, bahkan pejabat senior VOC yang terlatih secara militer mengaku keheranan atas keterampilan prajurit éstri sebagai prajurit berkuda. Salah satunya, Jan Greeve, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa yang menjabat 1787-1791. Catatannya mengonfirmasi tulisan dalam buku harian itu. Greeve menulis di buku hariannya soal kunjungan ke Surakarta pada 31 Juli 1788. Dia disambut di Loji Belanda dan di kediaman Mangkunegaran. Dia menyaksikan prajurit perempuan menembakkan salvo dengan teratur dan tepat sehingga membuatnya kagum. Mereka melakukannya sambil menembakkan senjata tangannya sebanyak tiga kali dengan sangat tepat diikuti tembakan senjata kecil lainnya yang diletakkan di samping mereka. “Keterampilan Korps Srikandi dalam menggunakan bedil bertolak belakang dengan pasukan laki-laki istana, yang terkenal kurang terlatih menggunakan senapan laras panjang dan artileri,” tulis Carey. Tak cuma di Mangkunegaran, dua dasawarsa kemudian, 30 Juli 1809, Marsekal Herman Willem Daendels yang menjabat Gubernur Jenderal pada 1808-1811, mengunjungi Yogyakarta untuk pertama kali. Dia sempat menyaksikan pertandingan atau perang-perangan 40 pasukan prajurit éstri kesayangan sultan di alun-alun selatan. Menurut Babad Pakualam , Sang Marsekal, seorang veteran Perang Revolusi Perancis dan Perang Napoleon, mengungkapkan kekagumannya. Betapa perempuan sanggup menunggang kuda sambil menggunakan bedil dengan begitu tangkasnya. “Orang pun bertanya-tanya, apakah Sang Gubernur Jenderal pemuja kejantanan itu sadar bahwa perempuan wirayuda itu bukan sekadar pamer, melainkan memiliki kemampuan tempur hebat,” ujar Carey. Seragam resmi prajurit éstri tak dibedakan dengan pakaian bangsawan laki-laki Jawa ketika bertempur, yaitu berupa pakaian prajuritan. “Pada awal Perang Jawa, beberapa jasad pasukan mantan prajurit éstri yang bergabung dengan Diponegoro ditemukan di medan perang dalam pakaian lengkap prajuritan," tulis Carey. Di luar keprajuritan pun banyak cerita perempuan-perempuan Jawa yang tak kenal takut dalam situasi perang. Contohnya, ketika Inggris menyerbu Keraton Yogyakarta pada 20 Juni 1812. Perwira yang tewas dalam peristiwa itu adalah seorang letnan Skotlandia dari pasukan resimen infanteri Inggris, Lettu Hector Maclean. Dia ditikam oleh seorang putri keraton karena hendak menjadikannya pampasan perang. Lalu pada akhir Perang Jawa, ibu seorang panglima utama Diponegoro di Bagelen timur, Basah Joyosundargo, dilaporkan menolak ikut putra dan menantunya menyerah. Dia terpaksa ditembak mati oleh pasukan Belanda ketika tempat persembunyiannya di kawasan Gunung Persodo digerebek. Ada juga perempuan-perempuan yang bertindak sebagai panglima dalam Perang Jawa yang mampu berlaku kejam. Menurut Carey, dalam laporan khusus seorang Residen Yogyakarta (1831-1841), Frans Gerhardus Valck, disebutkan mereka merupakan istri pembesar Jawa. Dua di antaranya adalah Raden Ayu Yudokusumo, putri sultan pertama dan Raden Ayu Serang, mantan istri sultan kedua. Begitu juga para perempuan yang membantu menyediakan mesiu di desa-desa sebelah barat Yogyakarta. Mereka berjasa mendatangkan uang kontan dan barang berharga ke daerah-daerh peperangan. Pun mereka yang yang ditemukan tewas mengenakan seragam tempur dalam pengepungan di Yogyakarta pada Agustus 1825. “Mereka sama sekali bukanlah para Raden Ayu yang tersipu-sipu dalam karya sastra rekaan kolonial Belanda akhir abad ke-19 dan mereka berlaku sebagai Srikandi tatkala Indonesia mempertahankan kemerdekaannya pada pertengahan abad ke-20,” jelas Carey.
- Nasib Prajurit Perempuan
“Perhatian! Penulis adalah seorang penulis dan prajurit perempuan yang menyelesaikan cerita Babad Tutur pada Bulan Siam, hari ke-22, masih dalam tahun Jimawal 1717 di Kota Surakarta.” Demikianlah pengumuman penulis buku harian yang identitasnya misterius. Dia hanya menyebut bagian dari prajurit éstri di Pura Mangkunegaran. Dia menulis buku hariannya pada dasawarsa terakhir pemerintahan Mangkunegara I yang bertakhta sejak 1757-1795. Peter Carey, sejarawan asal Inggris, dalam Perempuan-Perempuan Perkasa berpendapat, keberadaan prajurit éstri di lingkungan keraton Jawa membuktikan kalau citra raden ayu yang lemah lembut dalam literatur kolonial perlu direvisi. Pada akhir abad ke-18 dan awal abad ke-19, bahkan pejabat senior VOC yang terlatih secara militer mengaku keheranan atas keterampilan prajurit éstri sebagai prajurit berkuda. Namun, selain mereka terampil menggunakan senjata dan berkuda, tak banyak yang bisa diketahui lagi. Ann Kumar dalam Prajurit Perempuan Jawa menjelaskan, Rijklof van Goens, duta besar luar biasa VOC, yang diutus ke Keraton Mataram lima kali pada pertengahan abad ke-17 mencatat, sekira 150 perempuan muda tergabung dalam korps prajurit éstri. Para prajurit itu tidak hanya dilatih memainkan senjata, tetapi juga menari, menyanyi, dan memainkan alat musik. Tarian Retno Tinandhing diilhami gerak tempur prajurit éstri hingga kini masih digelar di Keraton Surakarta. “Van Goens tidak pernah menuliskan bahwa mereka juga mendalami sastra. Namun bagi orang asing mungkin keahlian seperti itu tidak akan gampang terlihat,” tulis Ann Kumar. Di lingkungan Keraton Yogyakarta, Carey menulis, pengerahan dan pelatihan prajurit éstri menjadi semacam obsesi Sultan kedua. Ibundanya, Ratu Ageng (1732-1803), permaisuri Sultan pertama dan ibu tiri Pangeran Diponegoro, pernah menjadi komandan pertama Korps Srikandi pada awal Keraton Yogyakarta, setelah November 1755. Kebanyakan anggota prajurit srikandi itu terdiri dari putri-putri tercantik di kerajaan. Anggotanya biasanya direkrut dari putri pejabat daerah, seperti lurah atau demang, setingkat kecamatan atau kabupaten. Nantinya sebagai pasukan perempuan yang mengawal raja, mereka diberi gelar Abdi-Dalem Priyayi Manggung atau Prajurit Keparak éstri. Mereka juga disebut Pasukan Langenkusumo. Sayangnya terkadang para anggota prajurit itu dipilih dengan cara licik. Menurut sumber Jawa, kata Carey, banyak sekali suami dan ayah di kesultanan pada akhir abad ke-18 mengeluhkan soal perekrutan ini. Sebab istri-istri muda dan putri-putri cantik mereka dipaksa menjadi prajurit éstri oleh sultan kedua, pada masa akhir dia menjabat Putra Mahkota. Meski kecantikan fisik menjadi salah satu unsur yang penting dalam perekrutan, para prajurit perempuan ini jarang diambil sebagai selir raja. Mereka justru lebih sering dihadiahkan kepada bangsawan untuk dijadikan istri. Kendati begitu, Ann Kumar mencatat, sebagai istri bangsawan, mereka dianggap lebih beruntung daripada menjadi selir raja. Selir raja tidak boleh menerima tawaran pernikahan selama raja masih hidup. Bahkan seringkali tetap tak boleh meski raja telah meninggal. Bahkan menurut François Valentijn, seorang misionaris, ahli botani, dan penulis buku, bahwa di istana Mataram di Kartosuro pada awal abad ke-18, dia menyaksikan perempuan-perempuan muda mantan prajurit estri yang dijadikan istri bangsawan itu tampak bersemangat dan bangga ketika dihadiahkan. Pasalnya mereka menyadari suami priayi agung mereka tak bakal berani memperlakukan mereka secara buruk. Si suami pasti takut raja murka.
- Matahari Terbit di Kereta Rel Listrik
Pernahkah anda melihat masinis Kereta Rel Listrik (KRL) Jabodetabek menunjuk-nunjuk sesuatu sembari berkata sendiri ketika kereta berjalan atau berhenti? Ini cara masinis KRL menjaga konsentrasinya selama bekerja. Istilahnya "tunjuk" dan "sebut". Adopsi dari cara kerja masinis KRL di Jepang. Di sana cara kerja ini telah berjalan lebih dari 100 tahun. Jepang mempunyai pengaruh besar dalam layanan KRL Jabodetabek. Cobalah anda tengok pakaian masinis KRL dan Petugas Pelayanan Kereta (PPK) di Indonesia. Dari topi, kemeja, sampai sarung tangan. Benar-benar menyerupai pakaian masinis dan PPK di Jepang. Tapi cara kerja dan pakaian masinis hanya sebilangan kecil dari pengaruh tersebut. Pengaruh besar Jepang terletak pada rencana perbaikan dan pengembangan KRL Jabodetabek. Akarnya tertanam pada dekade 1970-an. Masa ini layanan KRL di bawah Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) sedang terpuruk. Sejumlah gardu penyuplai listrik rusak sejak 1964. Anggaran PNKA untuk membayar listrik juga berkurang. Jumlah perjalanan KRL pun turun drastis. “Layanan KRL hampir ditutup,” kata Ibnu Murti Hariyadi, sejarawan perkeretaapian sekaligus penulis sejumlah buku sejarah kereta api, kepada Historia . Sebagian rute layanan KRL berganti kereta rel diesel (KRD) peninggalan Belanda. Keretanya sudah kusam. Tapi keadaan sedikit cerah pada 1971. PNKA Eksploitasi (daerah operasi) Barat memperoleh alokasi dana bantuan dari pemerintah pusat. Masuk dari Kereta Baru Pemerintah pusat memperoleh dana itu dari Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), sebuah kelompok negara pemberi bantuan untuk Indonesia. Di dalamnya termasuk Jepang. PNKA berencana menggunakan dana bantuan untuk membeli beberapa rangkaian kereta dari Jepang. Kedatangan kereta baru penting untuk memenuhi dua tujuan: jangka pendek dan jangka panjang. Jangka pendek untuk mengatasi kemacetan di dalam kota Jakarta, sedangkan jangka panjang untuk menghubungkan Jakarta dengan kota-kota satelitnya di wilayah timur, selatan, dan barat. Selaras dengan konsep pengembangan Jabotabek. Tapi pembelian kereta baru tidak bisa langsung mewujud. Perlu ada studi pendahuluan. Maka pemerintah mengundang konsultan transportasi asal Jerman Barat untuk mengkaji perbaikan dan pengembangan KRL. Hasil kajian mensyaratkan biaya besar untuk perbaikan dan pengembangan KRL jangka panjang. Pemerintah hanya punya dana untuk melaksanakan rencana perbaikan dan pengembangan KRL jangka menengah ( intermediate programme ). Aksi ini berupa pengadaan KRL baru dari Jepang sebanyak sepuluh rangkaian pada pertengahan 1976. Satu rangkaian terdiri atas empat kereta. Biaya pengadaan mencapai Rp700 juta, demikian catatan Kompas , 30 Januari 1975. KRL baru itu berjalan pada rute Manggarai–Bogor PP sejak 2 September 1976 sekaligus menandai beroperasinya kembali KRL rute tengah. Dan sejak ini pula, pengaruh Jepang kian menancap dalam layanan KRL Jabotabek. “Pemerintah melirik Jepang karena perkembangan pesat teknologi kereta apinya pada masa itu. Apalagi prestasi Jepang berhasil meluncurkan kereta api cepat pertama sejak 1964 itu menjadi perhatian betul dari pemerintah Orde Baru,” ungkap Ibnu. ODA dan JICA Dari pandangan Jepang, Indonesia tampak sebagai negara terpenting di kawasan Asia Tenggara. Indonesia di bawah Orde Baru ramai oleh pembangunan infrastruktur. Kelas ekonomi baru bermunculan di Jakarta dan sekitarnya. Merekalah pasar bagi produk dagang Jepang. Bahan baku untuk industri Jepang tersedia melimpah di Indonesia. Begitu pula dengan tenaga kerja murah. Sangat menguntungkan jika Jepang memperluas investasi industrinya di sini. Dengan demikian, menjaga hubungan baik dengan Indonesia berarti turut menjamin keberlangsungan industri dan pasar produk dagang Jepang. Maka Jepang tak segan mengucurkan bantuan untuk memperbaiki infrastruktur di Indonesia. Bantuan itu terkemas dalam Official Development Assistance (ODA). “Perdagangan, investasi, serta ODA merupakan trilogi yang tak dapat dipisahkan,” tulis Sueo Sudo dalam The International Relations of Japan and Southeast Asia: Forging a New Regionalism . Salah satu pengelola ODA adalah Japan International Cooperation Agency (JICA). Lembaga kerja sama teknik ini menggandeng sejumlah konsultan dan perusahaan kereta Jepang untuk membantu Indonesia dalam perbaikan dan pengembangan KRL Jabotabek. Wujud bantuan JICA berupa pembuatan Rencana Induk KRL Jabotabek dengan beberapa kali revisi selama 1980–1985. Rencana Induk memuat kajian jumlah penumpang KRL Jabotabek, keruangan kota Jakarta dan sekitarnya, permasalahan KRL, biaya pelaksanaan, dan langkah-langkah perbaikan dan pengembangan KRL untuk 20 tahun ke depan. “Rencana Induk menjelaskan langkah-langkah apa saja yang dibutuhkan untuk perbaikan layanan KRL seperti penyediaan rel ganda, renovasi stasiun, elektrifikasi, sinyal otomatis, persilangan, pengadaan KRL baru, pemutakhiran bengkel dan depo, pembangunan rute baru dan sebagainya. Target penyelesaian pada tahun 2000,” tulis Tomoyoshi Haya dalam “Improvement of Railway System in Jakarta Metropolitan Area”, termuat di Japan Railway & Transport Review No, 35, Juli 2003. Pemerintah Indonesia menyetujui Rencana Induk KRL tersebut dengan mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 26 tahun 1982 dan Keppres No. 67 tahun 1983. Setelah itu, Presiden Soeharto menetapkan Rencana Induk KRL Jabotabek sebagai Proyek Nasional. Semua kebijakan ini demi meningkatkan peranan KRL pada tahun-tahun mendatang. Saat Rencana Induk KRL kali pertama muncul, KRL hanya mempunyai peran sebesar 1,2 persen (44.000 orang) dari 3,6 juta warga Jabotabek yang melakukan perjalanan tiap harinya. Peran ini akan meningkat jadi 20 persen dengan bantuan lanjutan pemerintah Jepang berupa suplai kereta baru, alih teknologi, dan pinjaman lunak. Seiring pembuatan Rencana Induk KRL, Jepang mengirimkan empat rangkaian KRL (16 kereta) baru produksi pabrik Kawasaki ke Indonesia pada Oktober 1984. Harga tiap rangkaian Rp1,9 miliar. Di samping itu, Jepang juga mulai mencari skema pinjaman dana untuk pembangunan rel layang rute tengah (Manggarai–Jakarta Kota). Rel layang ini maujud pada 1992. Pengaruh Negara Lain Sebenarnya Jepang tidak sendirian memberikan pengaruh dalam layanan KRL Jabotabek. Mereka sedia berbagi pengaruh dengan Prancis dan Inggris. Rencana Induk KRL membagi perbaikan dan pengembangan KRL dalam tiga rute: tengah (Bogor–Jakarta Kota), timur (Tanjung Priok–Bekasi–Cibinong), dan barat (Jakarta Kota–Tanah Abang–Tangerang–Rangkasbitung). Jepang menggarap rute tengah, Inggris kebagian rute timur, dan Prancis memperoleh rute barat. Inggris menyiapkan Rp300 miliar, sedangkan Prancis sanggup kasih Rp75 miliar untuk Indonesia. Syaratnya Indonesia harus menyertakan dana pendamping pinjaman dalam bentuk rupiah. Perbandingannya 60 persen dana pinjaman dengan 40 persen dana pendamping. Kompas, 4 Oktober 1985 menyebut Indonesia tidak mampu menyediakan dana pendamping pinjaman tersebut. Perbaikan dan pengembangan KRL rute timur dan barat pun tersendat. Sementara Jepang mengakalinya dengan mengganti sebagian dana pinjamannya dalam bentuk rupiah. Cara ini memperkecil jumlah dana pendamping pinjaman dari Indonesia. Hasilnya pembangunan rel layang rute tengah terlaksana. Karena ketidakmampuan Indonesia menyediakan dana pinjaman, Inggris dan Prancis pun hengkang dari rute timur dan barat. Jepang mengambil alih penggarapan dua rute tersebut. Akhirnya Jepang menjadi negara dominan dalam rencana perbaikan dan pengembangan KRL Jabotabek hingga sekarang.
- Papillon Ogah Pasrah
HANYA dalam satu malam, hidup Henri “Papillon” Charrière (diperankan Charlie Hunnam) berubah drastis. Nasibnya berbalik 180 derajat dari hidupnya yang flamboyan dan glamor di kota Paris menjadi narapidana yang dipenjara di tempat terpencil di seberang Samudera Atlantik. Ganjalan berat juga datang dari asmaranya, Papillon sedang kasmaran dengan pacarnya, Nenette (Eve Hewson). Nestapa itu bermula dari pengkhianatan Papillon terhadap Jean Castili, bos kriminal yang punya banyak jaringan di kepolisian. Setelah sukses mencuri sejumlah berlian dari brankas sebuah bank di Paris pada suatu malam di tahun 1931, Papillon bukannya menyerahkan semua hasilnya untuk “ditukar” dengan honornya tapi malah menyimpan sebagian guna dijadikan hadiah untuk Nenette. Maka, setelah berfoya-foya dan bercumbu semalaman dengan Nenette, Papillon diciduk polisi di kamar hotel. Ia dijebak dengan tuduhan membunuh Roland Le Grande, seorang mucikari yang sebelumnya ia lihat di kantor bosnya sedang menanti eksekusi oleh para anak buah bosnya. Papillon lantas divonis penjara seumur hidup di penjara terpencil di Guyana Prancis, Camp de la Transportation. Jalinan adegan itu jadi preambul yang disajikan sutradara Michael Noer dalam film bertajuk Papillon. Noer tampak tak ingin mengisahkan masa lalu sang karakter utama. Sang sineas langsung menghadirkan kenyataan pahit yang harus dijalani Papillon bersama sejumlah napi lain dalam sebuah kapal buruk yang membawa mereka ke Guyana. Papillon segera insyaf bahwa kehidupannya akan berjalan berbeda dan harus beradaptasi dengan lingkungan yang keras. Dalam perjalanan itu, ia berkawan dengan Louis Dega (Rami Malek), napi kaya yang dipidana atas kasus penipuan. Seiring dengan nasibnya menjadi pesakitan, Papillon merencanakan pelarian dari kamp penjara yang brutal itu. Dia tak peduli ancaman yang disampaikan kepala sipir Barrot (Yorick von Wageningen) saat menyambut para tahanan baru dari daratan Prancis itu. “Saya tahu kalian berpikir untuk kabur. Silakan coba! Akan selalu ada dua penjaga. Semak-semak yang akan membuat kalian kelaparan, atau bisa pilih lautan, di mana hiu-hiu selalu lapar. Jika kalian tertangkap dalam upaya pertama, kalian akan dimasukkan ke sel isolasi dua tahun. Upaya kedua, akan dihukum seumur hidup di Île du Diable (Pulau Setan),” kata Barrot. Pemutaran film Papillon di Erasmus Huis (Foto: Twitter @EuropeonScreen) Upaya pelarian pertama Papillon dilakoni saat diperintah ikut membuang mayat sesama napi yang dihukum pancung akibat membunuh penjaga penjara. Sial, upaya itu gagal. Dia langsung dijebloskan ke sel isolasi selama dua tahun. Namun, Papillon tidak kapok. Upaya kedua direncanakannya selepas pulih dari kondisi memilukan setelah dua tahun mendekam di sel isolasi. Kali ini tidak hanya bersama Dega, Papillon juga berkomplot dengan napi bekas pelaut Celier (Roland Møller) dan rekannya yang acap jadi korban pelecehan penjaga penjara, Maturette (Joel Basman). Kuartet itu memanfaatkan momen nonton bareng film King Kong yang diputar kepala sipir untuk sejumlah pejabat pemerintahan kolonial Guyana Prancis. Memanfaatkan uang simpanan Dega, mereka membayar gerombolan kolonialis sipil demi sebuah perahu. Adegan mereka kabur dari penjara hingga benar-benar lolos amat menegangkan. Mereka bebas! Namun adegan seru tak berhenti sampai di situ. Sebuah pertikaian bermuara pada ditikamnya Celier oleh Dega berkali-kali hingga tewas. Tantangan juga kian menghebat saat ketiga pelarian yang tersisa pontang-panting bertahan dari terpaan badai. Adegan langsung berganti kala Papillon terbangun mendadak di sebuah gubuk. Ia dirawat oleh seorang gadis Indian, Zoraima (Poppy Mahendra). Ternyata, para pelarian itu tersapu badai sampai ke pesisir Kolombia dan diselamatkan penduduk Indian pesisir. Untuk sesaat, mereka aman. Seorang suster kepala mengadukan keberadaan mereka ke kepolisian Kolombia. Mereka pun digeruduk. Maturette ditembak di tempat, sementara Papillon dan Dega ditahan dan dibawa kembali ke penjara Guyana Prancis. Takdir membawa keduanya ke penjara yang lebih buruk, di Pulau Setan. Lagi-lagi, Papillon menolak pasrah. Ia bersama Dega kembali merencanakan pelarian, mengingat pulau itu justru tak dijaga sipir. Kepala sipir mempercayakan keamanan kepada kondisi “alam” pulau itu dan meyakini tak satupun napi mampu lolos. Perkiraan itu salah. Papillon berhasil mengumpulkan batok-batok kelapa dan menyatukannya dengan jaring dan karung sehingga jadi rakit yang akan membawanya ke daratan utama. Namun saat hendak kabur, Dega menolak ikut. Adegan dramatis penuh emosio itu membawa cerita menuju bagian akhir. Dan sutradara Noer mengemas epilog Papillon dengan adegan loncat ke masa senja Papillon di tahun 1969. Di sana, Papillon melakukan hal yang tak hanya penting buatnya tapi juga bagi sejarah. Tidak ketinggalan, Noer memberi post-credit script berisi fakta tentang penjara Guyana dan Papillon. Pilihan Europe on Screen Papillon yang rilis pada Agustus 2018, jadi salah satu dari 14 film komersil populer yang dihadirkan dalam Europe on Screen (EoS) 2019. Film berdurasi 133 menit ini diputar secara cuma-cuma di dua lokasi: Erasmus Huis (Kedutaan Besar Belanda) Jakarta pada 21 April 2019 dan Alliance Française Denpasar, Bali, pada 27 April 2019. Sebagaimana diuraikan oleh Festival Co-Directors EoS Nauval Yazid, tahun ini EoS ingin menonjolkan film-film yang mengandung tema tentang “Our Land” atau tanah dalam berbagai aspek. “Tahun ini (temanya) tentang our land , tentang tanah. Kita ingin angkat isu tanah dari sisi sejarah, turisme, hukum, tanah sebagai tempat tinggal, sampai tanah yang jadi sengketa,” kata Nauval kepada Historia. Papillon dianggap sebagai salah satu interpretasi dari tema itu mengingat film ini merepresentasikan bagaimana suatu tanah jajahan Prancis di seberang samudera berdekade-dekade dijadikan tempat pembuangan napi. Karakter Zoraima yang merawat Papillon selepas kabur dari penjara (Foto: Ram Bergmann Productions) Selain itu, Papillon merupakan remake dari film serupa dengan judul sama, Papillon , yang muncul pada 1973. Kala itu karakter utama Papillon diperankan Steve McQueen. Jalan ceritanya hampir tak beda dan dalam versi 2018 juga menghadirkan aktris berdarah Indonesia, Poppy Mahendra (memerankan gadis Indian bernama Zoraima). Di versi 1973, Zoraima si gadis Indian yang memadu kasih dengan Papillon dimainkan model majalah Playboy Ratna Assan. Hanya saja di versi 2018, Noer tak menggambarkan bagaimana kehidupan Papillon selepas merdeka dari penjara Pulau Setan. Kedua film itu sama-sama mengangkat kisah nyata Henri Charrier yang dituangkannya lewat memoar, Papillon , yang berarti kupu-kupu. Hewan itu menjadi julukan Charrière lantaran dijadikan tato di dadanya. Dalam memoarnya, Papillon berkisah bahwa dia mesti melaut bermil-mil dengan rakit yang terbuat dari batok-batok kelapa sampai ke pesisir Venezuela. Ia sempat ditangkap dan ditahan selama setahun sebelum dibebaskan dan diberi kewarganegaraan Venezuela pada 1945. Diam-diam, ia kembali ke Paris untuk meminta Laffont menerbitkan kisahnya itu. Adalah Rita, istri yang dinikahinya di Venezuela, yang menyarankan Charrier untuk menulis kisahnya selama ingatannya masih kuat. Berkat kisahnya, ia sempat jadi seleb dadakan di Venezuela. Meski statusnya dimaafkan Kementerian Kehakiman Prancis pada 1970, Papillon memilih menetap di Venezuela. Ia mengembuskan nafas terakhirnya di Madrid, Spanyol, pada 29 Juli 1973 akibat kanker tenggorokan.
- Kapan Perempuan Bercelana Panjang?
Awalnya, celana panjang adalah pakaian militer. Mereka berbentuk celana pendek yang nyaman atau celana panjang longgar yang menutupi pergelangan kaki. Meskipun dipakai oleh kedua jenis kelamin pada zaman kuno, celana panjang adalah pakaian "maskulin" selama ratusan tahun. Sebaliknya, perempuan diharuskan mengenakan rok panjang dan tebal. Namun, pada abad ke-19, perempuan mulai mengenakan celana panjang lagi. Ini dipakai hanya untuk menunggang kuda, meski mereka masih mengenakan rok penuh di atasnya untuk menyembunyikannya. Celana panjang tidak dianggap pakaian perempuan yang dapat diterima hingga 1970-an. Bahkan, di beberapa tempat, ilegal bagi perempuan untuk mengenakan celana panjang. Saat ini, celana panjang dikenakan oleh perempuan untuk semua kesempatan tanpa konotasi maskulin. Celana penunggang kuda ukisan prajurit Amazon mengenakan celana panjangpada keramik kuno dari 470 SM koleksi British National Museum. (kingandallen.co.uk) Laporan pertama yang mencatat tentang celana dibuat oleh ahli geografi Yunani abad ke-6 SM. Mereka mencatat penampilan penunggang kuda Persia, Asia Timur dan Tengah. Demi kenyamanan menunggang kuda dalam waktu yang lama, celana panjang menjadi pilihan yang praktis. Gambar pengendara kuda pria dan perempuan yang mengenakan celana panjang dapat ditemukan pada keramik kuno. Contohnya dalam vas yang menggambarkan seorang perempuan prajurit Amazon dalam mitologi Yunani yang mengenakan celana panjang dan membawa perisai dari sekira 470 SM. Kendati begitu, orang-orang Yunani Kuno menolak pakaian itu, menganggapnya konyol. Mereka menjulukinya thulakos , artinya karung. Begitu pun orang-orang Romawi. Mereka menganggapnya sebagai pakaian yang dikenakan oleh orang barbar. Baju zirah Lukisan Joan of Arc at Prayer karya Peter Paul Rubens koleksi North Carolina Museum of Art Joan of Arc terkenal karena sering mengenakan baju besi seperti yang biasa dipakai laki-laki ketika berperang pada abad ke-15. Dia akhirnya dibakar di tiang pancang sebagian karena hal ini. Pantalettes Pantalettes Pantalettes adalah pakaian dalam yang menutupi kaki yang dikenakan oleh perempuan, anak perempuan, dan anak laki-laki pada awal hingga pertengahan abad ke-19. Pantalettes berasal dari Perancis pada awal abad ke-19. Dengan cepat ia menyebar ke Inggris dan Amerika. Pantalettes berbentuk seperti celana selutut. Ini dikenakan perempuan di bawah rok mereka. Sementara pantalettes untuk anak-anak dan gadis-gadis muda dikenakan sepanjang pertengahan betis dan dimaksudkan untuk ditampilkan di bawah rok pendek mereka. Pantalettes bisa terdiri satu bagian atau dua pakaian terpisah, yaitu satu untuk setiap kaki. Celana ini terpasang di pinggang dengan kancing atau tali. Selangkangan dibiarkan terbuka karena alasan kebersihan. Paling sering pantalettes terbuat dari kain linen putih dan ada yang dihiasi renda atau pita. Baju Koboy Baju Koboy Martha Jane Canary (1852-1903) merupakan seorang perempuan di garis depan Amerika dan pengintai profesional ketika berperang melawan penduduk asli Amerika. Dia lebih dikenal dengan nama Calamity Jane karena kebiasaannya mengenakan pakaian pria. Pakaian yang dikenakan ketika itu mirip pakaian pria di film-film koboy. Bloomers Bloomers Pada awal 1850-an seorang Amerika, Elizabeth Smith Miller (1822-1911) memperhatikan perempuan-perempuan di sanatorium kesehatan Swiss mengenakan celana Turki di bawah gaun pendek mereka yang lebar. Dia kemudian memutuskan mengadopsi model pakaian itu. Dia mendorong sepupunya, Elizabeth Cady Stanton (1815-1902) dan Amelia Blommer (1818-1894) untuk melakukan hal yang sama. Lahirlah gaya bloomers . Gaya berpakaian ini memadukan rok selutut dengan celana longgar yang bagian mata kakinya berkerut. Pakaian atasnya dikenakan tanpa korset. Karenanya ia nyaman dan praktis. Gaya ini sangat disukai para feminis awal. Namun, berpakaian semacam ini juga sering menjadi bahan olok-olok. Pada 1860 pakaian ini ditinggalkan agar pegiat hak-hak perempuan ditanggapi lebih serius. Celana kulot Celana kulot Pada 1880-an Rational Dress Society yang baru dibentuk mempromosikan pakaian belah. Itu berupa rok celana atau kulot. Gaya ini populer di kalangan pengendara sepeda perempuan. Pasalnya bersepeda sulit dilakukan dengan rok lebar. Sayangnya gaya berpakaian ini tak diterima oleh sebagian besar masyarakat. Dalam satu kasus pengadilan, seorang hakim bahkan membenarkan pengusiran seorang perempuan dari sebuah hotel karena memakai pakaian belah. Celana Harem Celana Harem Budaya timur mengilhami perancang Prancis, Paul Poiret (1879–1944) untuk menjadi salah satu yang pertama merancang celana perempuan. Pada 1913, Poiret menciptakan celana panjang longgar yang pas untuk perempuan yang disebut celana harem, yang diberi label "jupe-kulot”. Rancangannya itu didasarkan pada kostum opera Sheherazade yang populer. Ditulis oleh Nikolai Rimsky-Korsakov pada 1888, Sheherazade didasarkan pada kumpulan legenda dari Timur Tengah, 1001 Arabian Nights . Celana ini hanya dikenakan oleh para pengikut mode paling berani. Setelan maskulin Setelan maskulin Sebagai seorang aktivis politik untuk hak-hak buruh di Puerto Rico, Luisa Capetillo, menjadi perempuan pertama di negaranya yang mengenakan celana di depan umum. Itulah yang membuatnya ditangkap pada 1919. Hakim kemudian membatalkan dakwaan, dan dia dapat membantu mengesahkan undang-undang upah minimum untuk pekerja. Lalu hadir Katharine Hepburn menjadi ikon mode ketika mulai mengenakan celana panjang pria pada saat gaya semacam itu tak biasa dilakukan. Bagi seorang perempuan, untuk mengenakan celana panjang pada 1930-an, adalah tanda pemberontakan. Namun, aktris Amerika itu sangat gigih melakukannya dan bersikeras mengenakan celana panjang baik di dalam maupun di luar syuting. Karena melakukan hal itu, dia mendapat julukan “racun box office ”. Namun belakangan dia menjadi sangat populer lagi ketika orang-orang mulai mengaguminya karena keberaniannya. Freedom-Alls Freedom-Alls Levi Strauss & Co menawarkan model pakaian perempuan pada awal 1918 bertajuk "Freedom-Alls”. Pakaian ini berupa one-piece yang namanya membangkitkan emosi Perang Dunia I. Freedom-Alls semacam tunik berikat pinggang di atas celana harem panjang. Bahannya ringan. Pada bagian betis hingga pergelangan kaki biasanya tersembunyi di balik sepatu bot. Celana lonceng Celana lonceng Dari model celana bagi Angkatan Laut pada 1812, celana model lonceng ini memasuki dunia mode pada 1920-an berkat desainer Prancis, Coco Chanel. Chanel merevolusi industri mode pada masa itu dengan membawa perempuan keluar dari korset dan gaun yang membatasi, lalu menempatkan mereka dalam celana panjang. Untuk urusan ini, Chanel tertarik pada celana pelaut yang longgar. Model ini kemudian menjadi inspirasi bagi celana panjangnya yang lebar, yang dikenal sebagai "celana berperahu pesiar" dan "piyama pantai", sebagai pelopor bagi celana lonceng pada zaman modern. Celana ini mendapat sambutan lebih luas ketika hadir kembali pada pertengahan 1960-an. Menjelang akhir 1970-an, semua orang membuat celana bagian bawah mereka berbentuk lonceng. Bahannya pun beraneka ragam, denim, katun, korduroi, polyester, dan satin. Celana jeans Celana jeans Levi Strauss & Co. mengambil risiko selamanya dengan mengubah arah mode bagi perempuan. Pada musim gugur 1934, perusahaan itu memperkenalkan jeans pertama di dunia yang dibuat khusus untuk perempuan,Lady Levi’s jeans. Pertama kali jeans perempuan ini dikembangkan untuk mereka yang bekerja di pertanian dan peternakan. Celana kodok Celana kodok Pada awal 1940-an, ketika Perang Dunia II berkecambuk, banyak perempuan mendaftarkan diri ikut perang, juga bekerja jauh dari rumah. Karenanya mereka mendapat kebebasan lebih daripada sebelumnya. Perempuan pun mulai mengenakan pakaian yang biasanya dipakai pria untuk bekerja dan bersantai. Perempuan banyak yang bekerja di ladang menggantikan suami mereka. Mereka dan para pekerja pabrik pun mengenakan celana secara rutin. Dungarees atau celana kodok, pun menjadi pakaian yang biasa dipakai para perempuan pada masa itu. Jumpsuit Jumpsuit Jumpsuits atau "pakaian sirene" juga salah satu celana yang dipakai selama Perang Dunia II pada 1940-an. Celana ini terbuat dari kain flanel lembut atau bahan yang lebih ringan. Pakaian ini ideal dipakai di atas piyama atau gaun tidur jika perlu diganti dengan cepat selama serangan udara. Mereka membuka ritsleting di bagian depan untuk membuatnya mudah dikenakan. Pixie pants Pixie pants Aktris Audrey Hepburn (1928-1993) pernah berperan sebagai seorang beatnik (bohemian) dalam Funny Face (1957). Pada 1950-an, celana panjang well-cut pun tak absen dari lemari-lemari gadis muda yang modis. Perlu satu dekade lagi agar perempuan yang lebih tua mau mengenakan celana panjang. Celana Kekinian Celana Kekinian Pada masa sekarang celana bagi perempuan makin beraneka modelnya. Yang sedang naik daun misalnya model Ruffle Pants, celana dengan akses ruffle. Lalu Plaid Pattern, celana bermotif kotak-kotak yang sebenarnya sudah ada sejak dulu, tetapi kembali beken pada masa kini. Kemudian Fringe Jeans, yaitu celana berbahan jeans dengan detail rumbai di bagian bawahnya. Celana kulot yang memiliki potongan lurus dan lebar dari pinggang hingga bawah juga kembali digemari. Ada pula track pants yang biasanya dihiasi list putih pada bagian samping dengan aksen belah pada bagian luar betis. Jumlah dan warna list pada track pants pun beragam.
- Mula Kedatangan Telepon Umum
KETIKA melakukan perjalanan dinas ke London, Inggris, beberapa karyawan Perusahaan Umum Telekomunikasi (Perumtel) melihat baiknya layanan dan ketersediaan telepon umum di negeri tersebut. Pengalaman itu menginspirasi mereka untuk meniru dan menerapkannya di Indonesia. Begitu kembali ke tanah air, mereka langsung mengusulkan agar Perumtel membuat layanan telepon umum jenis kartu. Namun Direktur Utama Perumtel Willy Moenandir meragukan terwujudnya gagasan mereka. Pasalnya, ketersediaan dan persebaran kartu akan jadi PR baru untuk perusahaan plat merah tersebut. Dus, masyarakat masih awam dengan telepon umum. Sebagai jalan tengah, pada 1981 Perumtel meluluskan ide mereka membuat layananan komunikasi telepon umum namun dengan jenis berbeda. “Akhirnya telepon umum pertama itu yang koin. Di eranya Pak Cacuk jadi dirut, dibangun besar-besaran tahun 89, dimasukkan juga dalam proyek pembangunan,” kata Setyanto P Santosa, kepala Bagian Pemasaran Jasa Telekomunikasi periode 1980, kepada Historia . Lewat proyek Telekomunikasi Nusantara, penyediaan telepon umum ( publicpayphone ) dilakukan besar-besaran bersamaan dengan peningkatan layanan pos. Pembiayaannya dilakukan lewat bantuan Bank Dunia. Oleh karenanya, teknologi telepon umum yang beredar di Indonesia tergantung negara pemberi bantuan. Sebagian besar telepon umum generasi pertama, misal, keluaran Belgia Telephone Manufacturer yang dirakit di PT Industri Telekomunikasi Indonesia (INTI). “Dari Jerman dan Jepang juga ada. Tergantung dari negara asal bantuan utang,” kata Setyanto. Lantaran banyaknya telepon umum yang terpasang, Telkom punya unit khusus yang mengurusi telepon umum meski kini unit itu telah tiada. Para petugas di unit layanan telepon umum bertugas untuk merawat perangkat dan mengangkut koin-koin yang memenuhi kontainer telepon. Koin-koin itu lantas ditukar di Bank Indonesia. Pernah suatu kali saking banyaknya koin yang terkumpul, Telkom kewalahan. Setyanto sempat mengeluh pada Gubernur BI Joseph Sudrajad Djiwandono. Tiap hari pasti ada petugas yang berkeliling mengecek kondisi telepon sebab bukan hanya rusak karena dipakai, tapi juga rusak karena dijahili. Ada yang ditempeli permen karet, dimasukkan koin yang sudah dilubangi untuk kemudian ditarik lagi. Ada juga orang yang mencuri koin dengan merogoh dari tempat koin kembalian. Gara-gara kejahilan itulah Telkom merugi, termasuk beberapa telepon umum rusak. Ketika Setyanto menjabat Dirut Telkom, dia meminta bantuan ibu-ibu Dharma Wanita untuk segera memberitahu suami mereka bila mendapati telepon umum rusak. “Ada banyak kejahilan. Tapi kalau yang kartu relatif sulit untuk diakali,” kata Setyanto. Namun, kisah tentang telepon umum –yang setelah jenis koin dilanjutkan dengan jenis kartu– kini sudah berhenti. Telepon umum sudah ditinggalkan. Telepon umum berwarna biru di pinggir Jalan Praja Dalam, Gandaria Utara, misalnya, perangkat beserta tudung pelindungnya masih ada. Namun, gagang teleponnya raib, terputus dari kabel. Besi penutup koinnya pun hilang. Kondisi telepon umum semacam ini jamak ditemui. Kadang malah perangkat teleponnya sudah tak ada, hanya tersisa tudungnya saja. Beberapa telepon umum bernasib baik, masih utuh terpasang. Di Bintaro Plaza, misalnya. Namun, sudah tidak berfungsi. Unit yang mengurusi telepon umum pun sudah ditiadakan dari Telkom. Telepon umum hadir sebagai media komunikasi populer hanya berlangsung dari dekade 1980-an hingga 1990-an. Realita itu berbeda dari realita di beberapa negara. “Di Singapura dan Amerika, masih ada. Kehadiran telepon umum intinya adalah pelayanan untuk masyarakat,” kata Setyanto menjelaskan kebijakan beberapa negara tersebut yang tetap dipertahankan kendati eranya sudah era ponsel. Meski ponsel menjadi barang “wajib” punya, menurutnya, tak semua orang memilikinya. Pun, bila pengguna ponsel mengalami keadaan darurat, seperti hilang, habis daya, atau hilang sinyal, telepon umum bisa menjadi andalan. “Kalau menurut saya, layanan telepon umum harus tetap ada. Itu bagian dari PSO ( public service obligation ).”
- Onani di Balik Jeruji Besi
SEJUMLAH publik figur kedapatan melakukan masturbasi dalam video yang menyebar di twitter baru-baru ini. Beberapa diantaranya adalah artis dan seorang atlet bulutangkis nasional. Entah apa motifnya yang jelas rekaman itu kini ramai jadi pemberitaan . Masturbasi merupakan pemuasan seksual secara mandiri. Sebutan lainnya untuk perbuatan serupa bagi kalangan pria adalah onani. Aksi merancap penis dengan tangan ini dilakukan oleh pria yang ingin melampiaskan birahi tanpa pasangan. Di masa lalu, kegiatan onani cukup akrab bagi mereka yang hidup di balik jeruji besi. Sewajarnya, laki-laki dewasa yang sehat punya hasrat untuk memenuhi kebutuhan biologis bersama pasangannya. Dalam penjara, kebutuhan tersebut mustahil ditunaikan. Seorang istri tak diperkenankan tinggal bersama suaminya yang berstatus tahanan. Maka merancaplah yang menjadi jalan keluarnya. Bung Karno yang kelak menjadi presiden pertama negeri ini punya pengalaman soal “kegiatan” ini. Antara 1929—1931, Sukarno pernah dipenjara oleh pemerintah kolonial dengan tudingan subversif. Sewaktu mendekam di penjara Sukamiskin, Bandung, Sukarno prihatin menyaksikan para tahanan melakukan onani karena tidak ada pelampiasan lain. “Aku menyaksikan kejadian-kejadian yang memilukan hati. Aku menyaksikan kawanan setahanan menjadi gila karena syahwatnya. Dengan mata kepalaku sendiri aku melihat mereka melakukan onani. Pemuasan nafsu terhadap diri sendiri. Aku mengetahui dan telah menyaksikan akibat yang menakutkan daripada pengasingan terhadap laki-laki yang normal,” tutur Sukarno dalam otobiografinya Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat yang dituturkan kepada Cindy Adams. Menurut Sukarno, onani adalah aktivitas seksual yang menyimpang. Namun itu terjadi akibat kejamnya kehidupan penjara yang ikut memasung jiwa narapidana. Penjara menjadi pengasingan yang dapat menggoncangkan dan membelokkan kehidupan seorang tahanan. Ketika Sukarno berkuasa, Mochtar Lubis, jurnalis Indonesia Raya yang kritis terhadap pemerintah dipenjara. Mochtar dipenjara di Rumah Tahanan Madiun dari 1956 sampai 1966. Di sana, Mochtar pun menyaksikan pemandangan yang sama. Dalam memoarnya selama di penjara Madiun, Mochtar mencatat seputar kebiasaan orang-orang tahanan, salah satunya adalah melakukan onani. “Masalah seksual orang tahanan; banyak mengaku melakukan onani, tapi tidak homo,” tulis Mochtar Lubis dalam Catatan Subversif . Berlanjut ke era Orde Baru, tersebutlah nama Andi Mappetahang Fatwa atau AM Fatwa. Pemerintah memenjarakan Fatwa, politisi muda dari kalangan Islam dan salah satu penandatangan Petisi 50. Rezim Soeharto yang berkuasa saat itu menyebut Fatwa berada di balik aksi pemboman gedung BCA di Jakarta Kota bersama Letjen (Purn.) H.R. Dharsono. Selama 14 tahun, Fatwa menghabiskan hidupnya di penjara. Dalam kurun waktu itu, Fatwa berpindah penjara mulai dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cipinang (Jakarta), Cirebon, Sukamiskin (Bandung), hingga Palendang (Bogor). Pengalaman suka dan duka dalam penjara tersua dalam kumpulan suratnya yang dibukukan Menggugat dari Balik Penjara: Surat-surat Politik A.M. Fatwa . Dalam salah satu surat yang ditujukan kepada sahabatnya, Mahmud Djunaidi, sastrawan dan politisi NU, Fatwa secara jujur menuturkan pergumulannya akan kebutuhan seksual. Bermula ketika Fatwa mengomentari tulisan Mahmud yang dimuat majalah pria Matra tentang seorang tukang becak di Aceh yang memotong alat vitalnya. Fatwa yang merefleksikan tulisan itu ke dalam dirinya merasakan getir soal hasrat batin ini. “Soalnya alat vital yang saya pelihara betul-betul dipenjara yang selama 4 tahun ini praktis tidak terpakai – kecuali sekali-sekali masturbasi menunggu mimpi basah tidak datang-datang – tetap saya dambakan bisa ampuh dipakai kelak setelah saya merdeka kelak,” tulis Fatwa dalam suratnya kepada Mahmud Djunaidi bertanggal 13 September 1988 yang ditulis di Penjara Palendang, Bogor. Fatwa berharap, kewajibannya sebagai seorang suami dapat tersalurkan secara layak selepas bebas. Fatwa juga menitip pesan kepada Mahmud agar Fikri Jufri, pemimpin redaksi Matra berkenan mewawancarainya. Soal apa? “Bagaimana cara memelihara dan memanfaatkan alat vital di penjara,” demikian celoteh Fatwa dalam surat yang sama. “Apalagi setelah saya bergaul dengan macam-macam napi dari penjara ke penjara, maka sudah banyak ilmu keampuhan menggunakan alat vital. Ya Allah, semoga saja masih bisa dipraktikkan nanti,” kata Fatwa penuh harap.
- Orang Indonesia di Palagan Pasifik
SUATU hari jurnalis Hanna Rambe mendapat informasi menarik dari salah seorang kawannya. Sang kawan bercerita bahwa dia mengenal seorang pensiunan perwira tinggi Komando Pasukan Sandi Yudha (sekarang Kopassus) yang pernah menjadi prajurit US Army (Tentara Amerika Serikat) dalam Perang Dunia ke-2. Namanya Raden Soedirmo Boender. “Dia sekarang menjadi tenaga ahli sekuriti sebuah pabrik semen di Cibinong,” ujar kawan Hanna. Hanna tertarik mengangkat kisah hidup sang veteran ke dalam tulisan. Lewat perantara kawannya itu, dia lantas menemui Soedirmo. Alih-alih disambut baik, Hanna malah dicurigai dan diserang berbagai pertanyaan oleh calon narasumbernya tersebut. “Sambil bicara, matanya tajam menyelidik. Di awal-awal, beliau memang sangat tidak kooperatif,” kenang eks wartawan majalah Mutiara itu. Namun sebagai penulis yang sudah makan asam garam, Hanna membalas kecurigaan itu justru dengan kesabaran. Dia sangat maklum jika calon narasumbernya ini mengalami trauma akibat pengalaman pahit dalam perang. “Saya perlu “sebuah teknik pendekatan khusus” supaya beliau mau saya wawancarai,” ungkap Hanna. Setelah berhari-hari bergaul akrab, lelaki itu mulai mempercayai Hanna. Dia mulai terbuka kepada gagasan untuk membuat buku yang mengisahkan pengalaman hidupnya. Terlebih saat dia berpikir untuk menghadiahkan sesuatu yang abadi kepada putri sulungnya yang akan menikah. Singkat cerita, berlangsunglah wawancara-wawancara penting itu. Setiap melakukan wawancara, Hanna tak jarang memutuskan untuk sejenak berhenti mengingat Soedirmo begitu sangat emosional. Kadang dia bersemangat, kadang dia bicara terbata-bata. “Matanya memerah dan suaranya kerap parau menahan tangis,” ungkap Hanna Lantas seperti apakah perjalanan hidup Soedirmo hingga membuat jiwanya begitu terluka? Lari ke Batavia Soedirmo lahir di Yogyakarta pada 12 Februari 1920. Dia merupakan putra dari pasangan priyayi Jawa yang tinggal di kawasan Bintaran. Dalam bukunya yang disusun Hanna Rambe, Terhempas Prahara ke Pasifik , Soedirmo tak pernah menceritakan secara jelas tentang masa lalunya, termasuk nama lengkap ayah dan ibunya. Dia hanya berkisah bahwa ayahnya seorang priyayi berkumis tebal yang dingin, tak banyak bicara dan sangat kaku pendiriannya. Sang ayah memberlakukan disiplin yang sangat ketat kepada Soedirmo kecil. Dia pun dididik dalam tradisi pantang menonjolkan diri dan taat kepada Tuhan. Semua itu membentuk Soedirmo menjadi lelaki yang berwatak keras. Karena kekakuan sifat sang ayah itu pula, suatu hari Soedirmo bertengkar hebat dan menjadikannya terusir dari Bintaran. Itu terjadi karena soal masa depan Soedirmo sendiri. Sang ayah ingin putra sulungnya itu meneruskan sekolah di Jawa saja, sedangkan Soedirmo kukuh menginginkan lanjut ke fakultas kedokteran yang ada di AS (Amerika Serikat). “Kebencianku kepada penjajah Belanda menjadikanku pantang mendapatkan gelar dokter berijazah Belanda,” ujar Soedirmo. Silang pendapat itu tak menemukan titik temu. Dengan marah, sang ayah lantas memberikan pilihan kepada Soedirmo untuk mewujudkan sendiri cita-citanya tanpa bantuan keluarga. Darah muda Soedirmo menggelegak. Harga dirinya membuhul. Tanpa banyak bicara, dia pun pergi dari rumahnya menuju Batavia. Setelah lama terlunta-lunta dan menjadi gelandangan di Batavia, Soedirmo ditemukan oleh seorang lelaki Amerika bernama Bowen. Dia kemudian diangkat anak dan disekolahkan ke AMS-Bagian B. Karena kecerdasannya, keluarga Bowen lantas mengabulkan permintaan Soemardi untuk melanjutkan sekolah ke fakultas kedokteran di AS. Terkena Wamil Di Amerika Serikat, Soedirmo terdaftar sebagai mahasiswa fakultas kedokteran St. Anthony College, San Francisco. Sebagai mahasiswa perantau, dia memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dengan bekerja serabutan, mulai menjadi buruh pemetik buah hingga penyaji makanan dan minuman di restoran. Pada 7 Desember 1941, ratusan pesawat pembom Kekaisaran Jepang menyerang Pearl Harbor. Sekitar 3000 orang Amerika menjadi korban dan pangkalan militer kebanggan militer AS itu pun hancur lebur. AS pun berang dan menantang perang Jepang. Inilah awal yang menjadikan AS terseret secara langsung dalam Perang Dunia II. Pernyataan perang AS terhadap Jepang diikuti dengan munculnya berbagai kebijakan militer yang dikeluarkan pemerintahnya. Salah satu kebijakan itu adalah diberlakukannya wamil (wajib militer) kepada kaum muda AS yang mampu berperang. Soedirmo tidak termasuk dalam kekecualian. Setelah menjalani latihan militer yang sangat berat, dia pun bergabung ke Divis Infanteri Angkatan Darat ke-42 yang lebih termasyhur dengan nama Rainbow Division, sebuah kesatuan pasukan infanteri yang berasal dari berbagai latar belakang bangsa. Dia kemudian diterjunkan di palagan Pasifik. Sejak itulah Soedirmo ikut menyabung nyawa melawan militer Jepang, mulai dari Rabaul hingga Okinawa. Sebagai serdadu dia termasuk alat perang yang terampil dan berani. Karena itu, Soedirmo lantas didapuk menjadi komandan peleton dan terlibat aktif memimpin operasi-operasi pemusnahan gua-gua pertahanan Jepang di Pasifik. Sepanjang palagan, Soedirmo menjadi saksi betapa kejamnya perang. Dia yang tadinya bercita-cita ingin memelihara nyawa manusia justru harus terlibat dalam pemusnahan brutal sesama manusia. Hatinya yang dulu penuh cinta, sejak itu harus terbiasa menghujamkan bayonet ke tubuh lawan atau mencekik sampai mati seorang prajurit Jepang dalam pertarungan satu lawan satu. “Kami seperti dipaksa masuk dalam hari-hari yang penuh dengan mimpi buruk,” ujar Soedirmo kepada Hanna. (Bersambung)
- Bertukar Kata Lewat Kamar Bicara
LANTAI dasar Gedung Telkom di Jakarta Pusat penuh pengunjung. Di dekat ruang tamu, tempat layanan Kantor Telepon berada, orang-orang duduk mengantri untuk menggunakan Kamar Bicara Umum (KBU). Antrian cukup panjang, kadang membuat orang-orang menunggu hingga larut. “Kalau lihat dari lantai atas, Kantor Telepon di Gambir ramai sekali dulu. Biasanya sampai malam masih ramai,” kata Setyanto P Santosa, Direktur Utama Telkom periode 1992-1996, kepada Historia . KBU merupakan Layanan keluaran Telkom yang jadi cikal-bakal wartel. Setyanto terlibat langsung dalam pembuatan kebijakan wartel. Mulanya, Telkom hanya menyediakan KBU di Kantor Telepon. Tiap KBU berisi kursi, perangkat telepon, kipas angin, serta monitor durasi dan biaya. Namun, Kantor Telepon hanya terdapat di kantor-kantor Telkom sehingga ketersediaannya masih terbatas. Rekan Setyanto, Benny Nasution (Kepala Wilayah Telekomunikasi 8 Denpasar periode 1980-an), menemui kendala mengurusi kebutuhan komunikasi di Denpasar yang banyak turis. Ia pun mengusulkan agar Telkom bikin kios telepon supaya ketersediaan layanan telepon umum lebih luas. Usul itu disambut baik Telkom Pusat. Kios telepon pun, menurut Setyanto, pertama muncul di Kuta, Bali pada 1982. Setelah itu pada 1984-1988, wartel-wartel mulai dibangun meski jumlahnya baru 48 buah. “Setelah diskusi, kita kasih nama Warung Telekomunikasi disingkat wartel. Waktu itu dibahas dengan saya, karena saya di Kantor Telkom Pusat yang membidangi regulasi. Jadi Wartel itu perpanjangan KBU,” kata Setyanto. Melihat konsep dan pelaksanaannya yang baik, Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi Soesilo Soedarman sangat senang dengan proyek ini. Digencarkanlah pembangunan wartel di seluruh Indonesia sejak 1988. Pada 1989 jumlah wartel meninggat jadi 128 buah dan melonjak pada 1993 sampai 1190 wartel. Pihak swasta mulai dilibatkan. Orang-orang bisa menjalin kerjasama dengan Telkom sebagai agen penyedia layanan komunikasi. Syaratnya, mereka harus menyediakan minimal dua alat dan bilik. Urusan sambungan dan teknis disediakan oleh Telkom. Sebagai agen jasa komunikasi, pengelola wartel mendapat komisi dari tiap keuntungan yang didapat Telkom. Usaha ini rupanya laris-manis, model komunikasi telepon makin bisa dinikmati masyarakat luas. “Melalui wartel, swasta mulai berperan dalam bidang telekomunikasi. Laris sekali dulu, kalau pakai kelamaan, digedor-gedor pintunya,” kata Setyanto. Ramadhan KH dalam Dari Monopoli Menuju Kompetisi menulis, kebijakan wartel keluar karena Telkom masih kesulitan memenuhi kebutuhan sambungan telepon di daerah. Rusli Hariyanto, kini pebisnis rental kendaraan di Yogyakarta, menceritakan pengalamannya sebagai pelanggan wartel saat dia nyantri di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo, tahun 2002. “Dulu belum bawa HP. Semua di pesantren pakai wartel,” ujarnya kepada Historia . Sayangnya, antrian berjubel, padahal waktu yang disediakan untuk istirahat hanya 30 menit, mulai ba’da isya sampai waktu belajar tiba. Maka, sambungnya, “Rebutan itu.” Lantaran KBU yang disediakan wartel di pesantren hanya sedikit, Rusli kadang nekad. “Kadang sih keluar cari wartel karena saking penuhnya, walaupun sebetulnya nggak boleh ya keluar pesantren.” Begitu masuk bilik, dia langsung menghubungi nomor telepon rumahnya. Sebelum di rumahnya ada telepon, Rusli biasa menggunakan telepon umum koin di dekat pertigaan rumahnya di Situbondo, Jawa Timur. Kalau telepon umum koin itu berdering, biasanya teman sekampung yang nongkrong dekat situ akan mengangkat. Rusli lantas minta temannya untuk memanggilkan ibunya. Ketika ibunya meraih gagang telepon, di situlah rindu tuntas terbalas. “Halo, Bu, ini Rusli…”
- Nasution dan Buku Terakhirnya
A.H. Nasution merupakan jenderal yang sangat produktif menulis. Dibantu Moela Marboen, dosen Universitas Indonesia, dan beberapa perwira Dinas Sejarah TNI AD, Nasution menerbitkan buku Sekitar Perang Kemerdekaan sebanyak sebelas jilid. Bahan-bahannya dikumpulkan pada 1953-1955. Setelah pensiun pada 1972, Nasution menulis memoarnya, Memenuhi Panggilan Tugas sebanyak tujuh jilid. Semangat Nasution dalam menulis terus menyala bahkan ketika dia terbaring sakit dan di pengujung usianya. Pada 1986, Nasution menjalani operasi katup jantung di RSAD Pusat Walter Reed di Washington DC Amerika Serikat. Kesehatannya sebagai manula semakin mudah terkena segala macam penyakit. Yang paling gawat sering terjadi pendarahan yang berasal dari kelenjar prostat akibat obat pengencer darah yang harus diminumnya setelah operasi katup jantung. Menurut dr. Frits Kakiailatu yang merawat Nasution, kejadian yang sangat mengkhawatirkan waktu pendarahan hebat dan berulang kali terjadi sumbatan bekuan, hingga dia tidak bisa buang air kecil. Secara darurat dilakukan tindakan sistoskopi dengan bius spinal ditambah terapi penenang. Pertolongan itu berhasil menghentikan pendarahan tetapi dia setengah sadar. “Pak Nas menjadi sulit berkomunikasi. Masalahnya, meski berada di rumah sakit, beliau sedang merampungkan bukunya yang terakhir,” kata Frits dalam Pak Harto, Pak Nas, dan Saya . Seorang pencatat selalu berada di samping Nasution untuk mencatat ucapan-ucapannya. “Tetapi, tampaknya orang tersebut sulit dan bingung menangkap ucapan dan pikiran Pak Nas. Apa yang didikte Pak Nas sering kacau atau berulang-ulang. Selain itu, pekerjaannya ini sering terhalang kalau kepada pasien harus dilakukan tindakan bius,” kata Frits. Hari-hari berikutnya, syukurlah keadaan Nasution sedikit pulih dari efek bius. Lamanya kira-kira satu setengah bulan. Dia bisa diajak bicara dan pendiktean bukunya bisa diteruskan sampai selesai. Buku tersebut baru diterbitkan setelah Nasution meninggal dunia pada 6 September 2000. Pada 2008 Yayasan Kasih Adik bekerja sama dengan Dinas Pembinaan Mental Angkatan Darat (Disbintal AD) menerbitkannya dalam tiga jilid: Kenangan Masa Purnawirana (jilid terakhir memoarnya), Kepemimpinan Nasional dan Pemimpin Bangsa , dan Bersama Mahasiswa , Aset Utama Pejuang Nurani .
- Mula Kristen di Sri Lanka
HARI Paskah yang mestinya damai berubah duka. Korban tewas mencapai 310 orang akibat serangkaian aksi terorisme di sejumlah gereja dan hotel di Sri Lanka, Minggu (21/4/2019). Para pemimpin dunia turut berbelasungkawa, tak terkecuali Presiden RI Joko Widodo (Jokowi). “Indonesia mengecam keras serangan bom di beberapa tempat di Sri Lanka, hari ini. Atas nama seluruh rakyat Indonesia, saya juga menyampaikan duka cita yang mendalam kepada Pemerintah Sri Lanka dan seluruh keluarga korban. Semoga korban yang luka-luka dapat segera pulih,” ungkapnya via akun Twitter @jokowi, Minggu malam, 21 April 2019. Aksi biadab itu jadi catatan kelam bagi umat Nasrani di Sri Lanka yang jejaknya sudah ada berabad-abad lampau. Lembaran sejarah berbicara bahwa negeri-pulau di selatan India itu sudah bersentuhan dengan agama Nasrani sejak abad pertama dan Nasrani jadi agama ketiga yang dikenal masyarakat setempat selain Buddha dan Hindu. Leonard Pinto dalam Being A Christian in Sri Lanka: Historical, Political, Social and Religious Considerations mengungkapkan, agama Nasrani pertamakali dibawa Santo Thomas Rasul, satu dari 12 rasul Yesus Kristus, pada tahun ke-52 Masehi ketika negeri itu di bawah Kerajaan Anuradhapura. “Ada bukti bahwa para pengikut Kristen Santo Thomas telah tinggal di Sri Lanka pada abad pertama (Masehi). Sejumlah ukiran tiga salib (Salib Anuradjapura) terlihat di Mutwal, Kotte, dan (kota) Anuradhapura. Salah satunya disimpan di Museum Anuradhapura,” kata Pinto, kendati tak dipaparkan detail jumlah masyarakat Sinhala yang menganut Kristen saat itu. Salib Anuradhapura itu sendiri penemuannya baru terjadi pada sebuah proyek ekskavasi di Anuradhapura tahun 1912. Salib itu merupakan salah satu warisan Portugis yang diwariskan oleh Komisioner Arkeologi Ceylon (nama lama Sri Lanka) Edward R. Ayrton. Salah satu relic yang dipercaya merupakan warisan Kristen Santo Thomas Rasul (Foto: Wikipedia) Suksesornya, Arthur Hocart, dalam catatannya pada 1924, Memoirs of the Archaelogical Survey of Ceylon , meyakini salib itu berasal dari masa lebih tua, yakni peninggalan Kristen Nestorian. Tapi sejumlah pakar lainnya mempercayai salib itu berasal dari masa Santo Thomas lantaran catatan sejarah berbicara bahwa Portugis tak pernah menjejakkan kaki di Anuradhapura. Pada masa Taprobane, istilah bahasa Yunani untuk menyebut Sri Lanka di masa itu, penganut Kristen yang disebarkan Santo Thomas Rasul disebutkan berkembang pesat di negeri yang masih didominasi pemeluk Buddha dan Hindu itu. Bahkan, lanjut Pinto, selama periode 479-497 M di Sri Lanka sempat muncul seorang ratu beragama Kristen, sejumlah prajurit Kristen asal India Selatan yang dipimpin Panglima Kristen asal Sinhala. Sebelum masuknya kolonialis Portugis, disebutkan pula pernah tinggal satu komunitas Kristen Nestorian yang disebarkan para pendeta Nestorian asal Mesir. Pada abad ke-13, para penganut Nestorian ini meleburkan diri ke agama Kristen Santo Thomas Rasul. Di abad ke-16, keduanya “terpaksa” dileburkan ke agama Katolik yang dibawa kolonialis Portugis. Kristen Warisan Portugis Kurangnya informasi mengenai Kristen dan gereja pertama di masa Santo Thomas Rasul pada abad pertama merupakan imbas dari latinisasi para penganut Kristen Santo Thomas Rasul yang jadi proses penyebaran agama Katolik oleh Portugis. Klimaksnya terjadi pada 1599, 94 tahun setelah penjelajah Portugis pertama, Laurenço de Almeida, bersama armadanya menginjakkan kaki di Sri Lanka. Kedatangan De Almeida sedianya merupakan ketidaksengajaan. Ia sampai ke Kolombo gegara badai dalam perjalanannya di Samudera Hindia. Negosiasinya dengan Raja Dharma Parakramabahu IX, penguasa Kerajaan Kotte, membolehkan De Almeida untuk tidak hanya tinggal dan berdagang, namun juga membangun Kapel Santo Laurensius, rumah peribadatan Katolik pertama di Sri Lanka. Di kapel ini pula tercatat digelarnya kebaktian pertama yang dipimpin Franciscan Friar Vicente, pastor yang turut dalam perjalanan armada De Almeida. Kaum Katolik lalu bersinggungan dengan para penganut Kristen Santo Thomas di berbagai wilayah. “Bertemunya para penjelajah Katolik dan pemeluk Kristen Santo Thomas itu terlibat friksi. Mulanya kedua komunitas Kristen ini saling ketergantungan, namun lama-lama perbedaan keduanya memisahkan mereka. Klimaksnya ketika para penganut Kristen Santo Thomas dipaksa bergabung ke gereja Katolik Portugis. Sejumlah dokumen dan catatan dihancurkan,” tulis Klaus Koschorke dkk dalam A History of Christianity in Asia, Africa and Latin America 1450-1990: A Documentary Sourcebook . Penyebaran Katolik oleh Portugis kian intens sejak 1543 dipimpin Santo Francis Xavier, atas titah Raja João III. Raja Kotte, Dharmapala, bahkan lantas menganut Katolik, memberikan kebebasan seluas-luasnya untuk Santo Francis menyebarkan agama Katolik. Tapi “masa jaya” Portugis di Sri Lanka berakhir pada 1658 kala Belanda datang. “Penjajah baru itu melarang Katolik berkembang di Sri Lanka. Masyarakat Sinhala dipaksa beralih kepercayaan dari Buddha dan Katolik menjadi Protestan,” tulis Paul Hattaway dalam Peoples of the Buddhist World: A Christian Prayer Diary . Walau termasuk minoritas, agama Katolik merupakan agama tertua ketiga di Sri Lanka (Foto: nccsl.org) Agama Katolik tetap bertahan secara diam-diam meski sempat tiga dekade tak memiliki satupun pastor. Pada 1687, Pastor Joseph Vaz diam-diam datang dari Goa, India, untuk menghimpun para penganut Katolik yang tersisa. Mereka eksis secara klandestin di bawah perlindungan Raja Kandy dari Sinhala. Kebebasan beragama baru kembali di tanah Sri Lanka saat Inggris mendepak Belanda pada 1769. Bersamaan dengan itu, Kristen Anglikan masuk. Hingga kini, gereja-gereja beragam aliran Kristen muncul. Tidak hanya Katolik, Protestan dan Anglikan, Kristen Luther juga eksis di Sri Lanka walau tak banyak penganutnya. Mengutip laman Kementerian urusan Kristen Sri Lanka, pada 1838 tercatat jumlah penganut Kristen mencapai 74.787 jiwa, 72.870 di antaranya Katolik. Sementara, menurut sensus demografi pemerintah Sri Lanka pada 2012, hingga kini penganut Kristen tercatat 7,4 persen dari total 22.409.381 penduduk. Gereja tertua yang masih berdiri di Sri Lanka hingga kini adalah Gereja Santo Thomas di Kotahena, dekat Kolombo. Gereja para penganut Kristen Anglikan ini didirikan Gubernur Jenderal Ceylon Sir Robert Brownrigg pada 1816.





















