top of page

Hasil pencarian

9584 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Si Putih Penunjuk Jalan Jenderal Soedirman

    KEBERHASILAN gerilya Jenderal Soedirman terletak pada kesediaan masyarakat membantu perjuangannya. Mereka menyediakan penginapan dan makanan, membuatkan tandu baru, memikul tandu, dan penunjuk jalan karena penduduk setempat lebih mengetahui arah jalan yang akan ditempuh. “Menjadi kebiasaan rombongan itu untuk menggunakan tenaga-tenaga setempat sebagai penunjuk jalan,” tulis buku Soedirman Prajurit TNI Teladan. Pada 24 Januari 1949 malam, Kapten Tjokropranolo, pengawal Soedirman, memutuskan jalan dari Desa Jambu menuju Warungbung. Penduduk setempat menyarankan agar paginya sudah harus berangkat ke tempat lain karena ternyata rombongan bergerek mendekati markas Belanda di Kasugihan, yang jaraknya kurang lebih 1,5 kilometer. Tandu dibuat dan pemanggul disiapkan malam itu juga. Benar saja, setelah mereka sampai di Desa Gunungtukul pada 25 Januari 1949, deru kendaraan militer Belanda begitu dekat sehingga rombongan terus melanjutkan prejalanan. Sewaktu hendak memotong jalan Ponorogo-Trenggalek pada 26 Januari 1949, Tjokropranolo seperti biasa mencari seorang penunjuk jalan. “Di daerah itu oleh penduduk setempat saya diperkenalkan kepada seorang penunjuk jalan bernama Putih (kemungkinan besar bukan nama sebenarnya, red. ),” kata Tjokropranolo dalam Panglima Besar TNI Jenderal Soedirman, Pemimpin Pendobrak Terakhir Penjajahan di Indonesia . Namun, menurut Soedirman Prajurit TNI Teladan, orang itu penduduk Desa Jambu di Trenggalek, yang menawarkan diri menjadi penunjuk jalan. Dengan tetap waspada, tawaran itu diterima dengan senang hati. Mula-mula, Tjokropranolo merasa aneh mengapa justru si Putih yang berperawakan kecil, berkulit putih, berperangai lembut tapi gerakannya lincah, dipilih sebagai penunjuk jalan. Sedangkan di sekelilingnya banyak orang lain yang postur badannya besar dan kokoh. Rupanya, kata Tjokropranolo, tidak ada orang yang berani menjadi penunjuk jalan karena rombongan sudah dekat dengan pasukan Belanda. Tapi si Putih berani. “Tanpa bertanya lagi saya terima saja si Putih sebagai penunjuk jalan. Dalam perjalanan dari desa Gunungtukul ke desa Ngideng, si Putihlah yang menjadi penunjuk jalan,” kata Tjokropranolo. Dua hari dua malam si Putih berjalan. Sesampainya di Desa Ngideng, rombongan menginap di rumah seorang penduduk yang cukup berada. Mereka dilayani dengan baik. Rumahnya tidak jauh dari sungai yang cukup deras, sehingga mereka lebih senang mandi di sungai daripada di sumur. Tjokropranolo curiga terhadap si Putih karena tidak mau mandi bersama-sama dan memilih mandi di tempat lain yang lebih jauh. Dia pun memerintahkan seorang anggota rombongan, Mustafa, mengikuti si Putih. Dia khawatir si Putih sudah tahu siapa yang ditandu dan melaporkannya kepada pasukan Belanda di Ponorogo. Setelah mengamati si Putih, Mustafa dengan tertawa lebar melaporkan kepada Tjokropranolo bahwa si Putih adalah "seorang wanita yang bertabiat kelaki-lakian." Bisa saja, si Putih tomboy, namun Tjokropranolo menyebutnya waria. “Saya sendiri ngga ngira . Sifat-sifatnya persis laki-laki. Legalah hati saya, setelah mengetahui bahwa si Putih itu ternyata seorang waria. Dia tentunya akan selalu menghindar mandi bersama kita,” kata Tjokropranolo. Kendati Tjokropranolo tidak mengira telah dituntun oleh seorang waria, namun dia mengakui peranannya. “Sungguh ngga ngira . Pokoknya kita selamat.”*

  • Sastrawan Komunis Pimpin Pusat Kebudayaan

    SEMENJAK mengenal komunisme, Takeda Rintaro jarang masuk kelas meski sering muncul di kampus. Ketimbang mengikuti perkuliahan, mahasiswa jurusan Sastra Prancis Universitas Tokyo itu lebih aktif memimpin dan menghidupkan kelompok studi Marxist. Kala itu, tahun 1926, gerakan dan pemikiran komunisme berkembang pesat di Jepang. Aksi protes buruh dan tani yang sedang marak mendapat dukungan mahasiswa. Dua tahun berselang, pemuda kelahiran Osaka, 9 Mei 1904 itu, kian radikal. Selain memimpin gerakan mahasiswa, dia mulai terlibat mengorganisasi gerakan buruh. Di sela aktivitasnya di lapangan pergerakan, Takeda rajin menulis. Cerpennya dimuat sejumlah media. Karyanya memihak kaum buruh dan tani. Salah satu cerpennya yang terkenal, Nihon Sanmon Opera , mengkritik keras kesenjangan sosial dan getirnya kehidupan rakyat jelata. Karena karya-karyanya, nama Takeda popular dan dijuluki sastrawan proletar. Pada 1929, usai menghadiri upacara pemakaman seorang tokoh gerakan buruh yang dibunuh kaum ultranasionalis, Takeda ditangkap polisi. Meski ayahnya polisi, dia tetap menghuni hotel prodeo selama sebulan. Pada 1936, pemerintah Jepang mengeluarkan kebijakan yang dinilai Takeda membatasi kebebasan berkarya. Kelompok sastrawan pecah dua. Sebagian mendukung pemerintah. Takeda ada di kubu para pembangkang. Bersama kawan-kawan sepaham, Takeda menerbitkan majalah Jinmin Bunko (Pustaka Rakyat). “Majalah yang didirikan Takeda Rintaro tersebut melawan kelompok sastrawan sayap kanan,” tulis Kato Suichi, dalam A Sheep’s Song: A Writer’s Reminiscences of Japan and The World . Di samping Takeda, majalah itu dikelola sastrawan kiri terkemuka lainnya: Takami Jun, Honjo Mutsuo, Tamuro Taijiro, Enchi Fumiko, dan Tamiya Torahiko. Jinmin Bunko hanya berumur dua tahun. Tekanan pemerintah memaksa majalah itu tutup pada 1938. Takeda kembali menjadi penulis lepas untuk beberapa majalah. Perang Dunia II berkecamuk. Beralaskan Undang-Undang Penugasan Warga Negara untuk Tugas Negara yang disahkan pada Juli 1939, pemerintah Jepang merekrut banyak sastrawan untuk kepentingan propaganda perang Asia Timur Raya. Tak peduli dari kubu sayap kanan maupun sayap kiri.  “Kritikus progresif Nakazima Kenzo dikirim ke Malaya... kritikus sayap kiri Shimizu Ikutaro dan novelis komunis Takami Jun dikirim ke Burma; Oya Soichi yang progresif dan Takeda Rintaro yang radikal dikirim ke Jawa,” tulis Donald Keene dalam “Japanese Writers and The Greater East Asia War,” The Journal of AsianStudies , Vol. 23, 2 Februari 1964. Menurut Mery Kharismawati, peneliti Kajian Wilayah Jepang di Universitas Indonesia,Takeda Rintaro direkrut divisi propaganda Angkatan Darat pada November 1941. Dia sempat mengikuti latihan militer. “Sebelum berangkat, dia (Takeda) sempat bergurau dengan kawan-kawannya, ‘bagus deh. Orang yang terlibat dalam Pustaka Rakyat jadi selamat’. Artinya tidak ada lagi ancaman ditangkap polisi atas tuduhan menyebarkan paham sosialisme,” ujar Mery. Kapal yang ditumpangi Takeda mendarat di Banten pada 1 Maret 1942. Mula-mula dia keliling Jawa-Bali memutar film propaganda, kemudian menjadi direktur Prinsen Park –kini, Lokasari di Mangga Besar, Jakarta. Semasa pendudukan Jepang, taman hiburan rakyat itu bernama Rakuntenchi. Untuk memompa semangat Perang Asia Timur Raya, pemerintah pendudukan Jepangmendirikan Keimin Bunka Shidousho (Pusat Kebudayaan) di Jakarta pada 1 April 1943. Takeda yang ditunjuk memimpin bidang kesusastraan mengorganisasi kelompok sastrawan angkatan Pujangga Baru. Dia memilih Armjn Pane menjadi wakilnya. Usmar Ismail, Rosihan Anwar, Inu Kertapati, Amal Hamzah, Sutomo Djauhar Arifin, HB Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Chairil Anwar adalah nama-nama yang kerap hadir mengikuti diskusi berkala dan malam deklamasi yang digelar lembaga tersebut. Dalam buku Wartawan dengan Aneka Citra , Rosihan Anwar menceritakan bahwa puisi “Aku” karya Chairil yang legendaris itu lahir di sana. Menurut Rosihan, ketika kali pertama dibacakan puisi itu berjudul “Semangat.” Pada Januari 1944, Takeda dipulangkan ke Jepang. Akhir tahun 1944, dia menerbitkan buku Jawa Sarasa, kumpulan esei tentang pengalamannya selama bertugas di Jawa. Dia meninggal dunia karena penyakit lever pada 31 Maret 1946.

  • Celana Pendek Pendiri Bangsa

    PARA pendiri bangsa, Sukarno, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, dan Amir Sjarifuddin, pernah memakai celana pendek pada suatu kesempatan. Tujuannya ada yang untuk propaganda, penyamaran, kebiasaan, atau mungkin darurat karena yang ada cuma celana pendek. Dalam Mencari Demokrasi , sejarawan Benedict Anderson mengomentari kesederhanaan para pendiri bangsa: “Perdana menteri masih pakai celana pendek dan orang tidak merasa itu aneh. Kalau melihat baju orang pemerintah, menteri-menteri pada jaman revolusi, itu seperti orang biasa di jalan-jalan.” Sukarno Sukarno memakai celana pendek pada masa pendudukan Jepang. Tujuannya sebagai propaganda agar rakyat mau menjadi romusha untuk membangun berbagai proyek Jepang. Pada awal 1944, menurut Fatmawati, Sukarno selama beberapa hari pergi ke Curug, Tangerang, untuk kinrohoshi (kerja bakti) membuat lapangan terbang baru. “Dengan mengenakan celana pendek dari kain khaki warna kuning, memakai topi lakan yang daunnya dilipat ke atas, mengunjuk dengan gagah sambil memberi aba-aba memimpin pekerjaan mengeluarkan batu dan pasir dari dasar sungai,” tulis Syamsu Hadi dalam Fatmawati Soekarno, Ibu Negara . Menurut Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan Kontrol , foto-foto Sukarno yang sedang melakukan kerja kasar berkali-kali muncul di koran dan majalah. Dia mengenakan celana pendek dan pita lengan dengan nomor romusha 970, persis seperti romusha biasa. Dia ditampilkan saat mengangkat karung pasir yang digunakan dalam pekerjaan pembangunan. Tan Malaka Pada 1943, Tan Malaka yang sedang menyamar dengan nama Ilyas Husein, bekerja sebagai kerani di pertambangan batu bara di Bayah, Banten Selatan. Menurut Harry Poeze dalam Tan Malaka Pergulatan Menuju Republik: 1925-1945 , salah satu cara untuk menutupi penyamarannya, Tan selalu berpakaian celana pendek, kemeja dengan leher terbuka, kaus panjang, helm khusus untuk daerah tropis, dan sebuah tongkat untuk jalan. Tan masih mengenakan setelan semacam itu sampai Indonesia merdeka. Poeze mengidentifikasi sebuah foto Tan Malaka dengan setelan tersebut berjalan bersama Sukarno serta para pemuda untuk rapat raksasa di Lapangan Ikada pada 19 September 1945. Sutan Sjahrir Abdul Halim, anggota Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP), mengingat kebiasaan Sutan Sjahrir memakai celana pendek. “Sjahrir, pakai celana pendek, sebagai ketua Badan Pekerja, ada arloji besar dikantongnya,” kata Halim sambil tertawa dalam Di Antara Hempasan dan Benturan: Kenang-kenangan Dr. Abdul Halim, 1942-1950 . Dalam tulisan lain, Halim juga ingat, “Pada suatu hari setelah sidang Badan Pekerja selesai, saya pulang terlambat bersama Bung Sjahrir; kira-kira pukul lima petang, menuju ke mobil ketua Badan Pekerja. Sjahrir pada waktu itu masih memakai celana pendek,” tulis Halim dalam Mengenang Sjahrir. Ketika ditunjuk menjadi formatur kabinet, Sjahrir sibuk mencari orang untuk mengisi posisi menteri dalam kabinetnya. Menurut Ajip Rosidi dalam biografi Sjafruddin Prawirangegara Lebih Takut Kepada Allah swt: Sebuah Biografi , memakai celana pendek dan naik sepeda, Sjahrir menemui Sjafruddin Prawiranegara di dekat stasiun Pegangsaan dan menawarinya jabatan menteri keuangan. Namun, Sjafruddin menolak karena merasa belum pantas. Sjahrir pun mengangkat Soenario Kolopaking sebagai menteri keuangan. Amir Sjarifuddin Pada 4 Oktober 1945, kabinet pertama Republik Indonesia berpose untuk media massa asing di halaman rumah Sukarno, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta. Menurut Yudhi Soerjoatmodjo dalam IPPHOS Remastered , Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin, yang baru dua hari keluar dari penjara Jepang, mengenakan jas kedodoran, celana pendek, sambil merokok. Setelah pose tersebut, para juruwarta asing mengajukan pertanyaan kepada Sukarno-Hatta yang duduk dikeliling para menterinya, termasuk Amir Sjarafuddin. Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil “petite histoire” Indonesia Volume 3, menyebut Amir Sjarifuddin yang tidak banyak bicara itu “memakai celana pendek dengan kaus kaki panjang mirip gaya uniform bush-shirt Marsekal Lord Wavell yang pernah sebentar bermarkas di Bandung sebagai Panglima Tentara Sekutu sebelum tentara Dai Nippon mendarat di pantai Pulau Jawa.” Menteri Penerangan Amir Sjarifuddin, memakai jas kedodoran, celana pendek, sambil merokok, berpose bersama presiden Sukarno, wakil presiden Mohammad Hatta, dan para menteri kabinet pertama Republik Indonesia di halaman rumah Sukarno, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, pada 4 Oktober 1945.

  • Ikan Pemicu Perang

    KAPAL nelayan Inggris Hackness menjala ikan di perairan Islandia. Kapal patroli laut Islandia Thor mendekat dan memerintahkan kapal itu mengangkat jala dan pergi. Perintah itu tak digubris Hackness ; tetap berlayar sambil menjala ikan dan baru berhenti setelah beberapa tembakan peringatan. Tak lama fregat HMS Russell tiba dan memerintahkan Thor menyingkir. Thor tak gentar, bahkan terus mendekati Hackness sambil melontarkan tembakan. Kapten fregat Inggris mengancam bakal menenggelamkan Thor jika tembakan mengenai Hackness . Insiden di perairan Islandia itu terjadi pada Rabu, 12 November 1958. Kala itu, Inggris dan Islandia berkonflik yang dikenal dengan Perang Cod (Cod Wars). Penyebabnya, sengketa perairan sejak 1950-an. Sejak pengujung abad ke-19, seiring munculnya kapal uap, perairan Islandia yang masuk kawasan Atlantik Utara menjadi tujuan kapal-kapal nelayan dari berbagai negara, termasuk Inggris, untuk mendapatkan ikan cod. “Armada (Inggris, red ) tersebut berkontribusi terhadap over-fishing di wilayah tersebut dan mengancam stok ikan yang ada,” tulis Oliver Bennett dalam parliament.uk, 21 Desember 2012. Setelah merdeka dari Denmark, Islandia mengesahkan UU Maritim pada 1948 untuk mengamankan kekayaan lautnya. Perekonomian Islandia memang bergantung pada sektor perikanan. Hingga 1956, lebih dari 90 persen ekspor berasal dari perikanan. Keberhasilan Norwegia mempertahankan klaim garis teritorial lautnya menginspirasi Islandia untuk melakukan hal serupa. Pada 1952, Islandia memperpanjang garis laut teritorialnya dari tiga mil menjadi empat mil. Karena separuh dari suplai ikan lautnya berasal dari perairan Islandia, pemerintah Inggris melancarkan protes. Bahkan Inggris membalas dengan melarang kapal-kapal nelayan Islandia berlayar ke perairannya. Kedua negara lalu menempuh jalur diplomasi dan membawa sengketa laut itu ke European Economic Community (EEC) pada 1956, yang dimenangkan Islandia. Tak lama setelah Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) pada 1958, Islandia kembali memperpanjang garis lautnya menjadi 12 mil. Tindakan Islandia ini menjadi dalih Inggris untuk melancarkan Operation Whippet dengan mengerahkan kapal-kapal perang yang tergabung dalam Fishery Protection Squadron. “Operasi itu bertujuan untuk mencegah penangkapan atas kapal ikan Inggris dan membebaskan mereka jika tertangkap, tetapi tidak dengan menggunakan tembakan kecuali Islandia melakukannya lebih dulu,” tulis Gudni Johannesson dalam Troubled Waters: Cod War, Fishing Disputes, and Britain’s Fight for the Freedom of the High Seas, 1948-1964 . Operasi yang juga dikenal sebagai “gunboat diplomacy” itu resmi berjalan pada 1 September 1958, bersamaan dengan keputusan Islandia memperpanjang batas laut teritorialnya. Sehari setelah itu, kapal penjaga pantai Islandia Thor menawan pukat nelayan Inggris Northern Foam . Upaya itu sia-sia karena kapal perang Inggris Eastbourne turun tangan. Penduduk Islandia pun mendemo Kedubes Inggris di Reykjavik. Pada 4 September mereka menggalang solidaritas antarbangsa untuk memperjuangkan hak lautnya. Upaya tersebut berhasil, China memperpanjang garis laut teritorialnya tak lama setelah itu. Sejak itu, kapal patroli penjaga pantai Islandia kian aktif mengamankan lautnya. Selain memberi tembakan peringatan, mereka kerap menawan kapal nelayan Inggris, mengacaukan sinyal komunikasi ( jamming ) kapal perang Inggris, bahkan menabrakkan kapal patrolinya ke kapal perang Inggris yang melanggar batas perairan lautnya. AS mencoba menengahi konflik kedua sekutunya di NATO itu. “Hal itu terkait, sekalipun berlainan, dengan Perang Dingin mengingat Islandia menggunakan pangkalan udara Keflavik yang penting dan strategis untuk menekan Amerika Serikat terkait masalah ini,” tulis Nial Barr, “The Cold War and Beyond”, termuat dalam A Military History of Scotland karya Edward M. Spiers dan Jeremy A. Crang. Bagi AS, Keflavik, tempat pangkalan NATO di Islandia, merupakan salah satu benteng terpenting dari serbuan komunis. Tanpa perhatian lebih kepada pemerintah Islandia, sangat mungkin negeri itu berpaling ke blok Timur. Terlebih Islandia sebelumnya sempat mengancam AS akan memperbarui perjanjian perikanannya dengan Moskow pada musim semi 1957 –ancaman itu ikut menyebabkan keluarnya kucuran bantuan AS. Meski dibawa ke UNCLOS pada 1960, Perang Cod tak mendapatkan solusi pemecahan. Baik Islandia maupun Inggris bersikukuh pada pandangan masing-masing. Perang tersebut berakhir pada 1976 setelah Inggris, atas tekanan AS, mengakui batas laut teritorial Islandia sejauh 12 mil.

  • Marinir Muda Terperangkap Madu

    SERSAN Clayton Lonetree, anggota Marine Security Guard AS, tak menduga bertemu gadis pujaannya, Violetta Sanni, di stasiun metro di Moscow. Mereka kemudian mengobrol sambil jalan-jalan. Mereka biasanya bertemu di tempat kerja, Kedutaan Besar (Kedubes) AS di Moscow, dalam suasana formal. Lonetree sebagai penjaga, sementara Violetta penerjemah. Sebagai penjaga sejak 1984, Lonetree menjalani hari-hari yang sepi. Teman-temannya tak begitu menghormatinya. Aturan juga tak membolehkannya bergaul dengan penduduk setempat, di samping melarang membawa istri atau pasangan. Lebih-lebih pada 1985 sentimen anti-AS meningkat di Moscow. Kondisi itu membuat Lonetree tertekan. Dia tenggelam dalam minum-minuman dan sering murung. Kehadiran Violetta mengubah hari-hari Lonetree. Selain ramah dan pintar, gadis cantik itu enak diajak ngobrol. Terpikat pada Violetta, Lonetree tak lagi peduli aturan. Rupanya dia juga mengikuti ulah para atasannya, yang diam-diam sering main perempuan. Hubungan keduanya kian jauh. “Lonetree dan Violetta beberapa kali betemu di apartemen Violetta dan tempat-tempat lain di Moscow yang jauh dari kedutaan,” tulis Leo Daugherty dalam The Marine Corps and the State Department: Enduring Partners in United States Foreign Policy, 1798-2007 . Keduanya akhirnya pacaran. Violetta memperkenalkan Lonetree kepada pamannya yang dipanggil Paman Sasha. Sasha orangnya ramah dan pandai bergaul. Tak butuh waktu lama bagi Lonetree untuk akrab dengannya. Namun Lonetree tak sadar dirinya telah masuk perangkap. Aleksi Yefimov, nama asli Sasha, merupakan kepala direktorat II KGB (dinas intelijen Uni Soviet), yang tugas utamanya memantau personel kedutaan-kedutaan dan mengidentifikasi orang-orang yang potensial direkrut. Sasha mengirim Violetta untuk mencari target orang dalam yang bisa digunakan untuk mengeruk data di Kedubes. Tugas itu dijalankan dengan baik oleh Violetta. “Lonetree adalah target yang menarik. Dia baik, naif, dan agak kurang ajar, perpaduan tak sehat dari perspektif keamanan. Lonetree telah direkrut KGB dalam sebuah operasi klasik ‘perangkap madu’,” tulis Michael J. Sulick dalam American Spies: Espionage against the United States from the Cold War to the Cold War to the Present. Sasha memanfaatkan Lonetree dengan cara halus dan perlahan. Buahnya, Sasha mendapatkan informasi rencana dasar (blueprint) Kedubes AS, di dalamnya ada data anggota-anggota CIA, dan mugbook (kumpulan foto tindak kriminal, biasanya digunakan untuk kepentingan sidang). Pada 1986 Lonetree pindah tugas ke Kedubes AS di Wina, Austria. Sasha memintanya tetap bekerjasama dengan Soviet, dan memberi 700 dolar dari 3.500 dolar yang dijanjikan. Lonetree menerimanya. “Tapi meskipun sebagai tamtama laut dia bergaji rendah, Lonetree tak termotivasi oleh uang seperti kebanyakan tamtama lainnya yang menjadi mata-mata untuk Uni Soviet,” tulis Sulick. Lonetree tak ingin kehilangan Violetta, Sasha-lah satu-satunya penghubung dia kepada Violetta. Akibatnya, blueprint Kedubes AS di Wina pun jatuh ke tangan KGB. Pada Desember 1986, Lonetree kehilangan kontak dengan Violetta. Ketika Sasha mengirim penggantinya, berkode nama George, Lonetree galau dan menyadari dirinya telah menjadi objek permainan spionase. Sempat mencoba bunuh diri, dia akhirnya melaporkan kegiatan spionasenya kepada kepala CIA setempat, Jim Olson. Washington berang atas ulah Moscow. Selain mengancam akan membongkar gedung Kedubes AS di Moscow yang baru bila tak ada jaminan Moscow bahwa gedung itu bebas dari alat penyadap, Presiden Ronald Reagan melarang Soviet menempati gedung Kedubesnya yang baru di Washington. Washington mengirim beberapa agen Naval Investigative Service (NIS) untuk membawa pulang Lonetree. Pada 26 Desember, Lonetree tiba di AS lalu diperiksa intensif. Dia menjalani isolasi di markas marinir Quantico sambil menunggu diadili. Pada 1987, pengadilan militer memvonis marinir kelahiran 1961 itu hukuman 30 tahun penjara, sedikitnya dengan lima dakwaan: spionase, tak taat aturan, melakukan kontak yang tak sah, hubungan seksual, dan pengkhianatan. Lantaran berkelakuan baik dan kooperatif selama dalam tahanan, Lonetree beberapa kali menerima pengurangan hukuman. Dia bebas pada Februari 1996.

  • Gencatan Senjata Natal

    WILAYAH Ypres Belgia adalah medan pertempuran paling intens antara Jerman dan Sekutu yang dipimpin Inggris dan Prancis pada awal Perang Dunia I. Serangkaian pertempuran yang terjadi pada 19 Oktober–22 November 1914 memakan puluhan ribu korban tewas, diikuti perang parit yang statis. Peperangan berhenti pada malam Natal, 24 Desember. Prajurit Jerman dan Inggris mendekorasi parit masing-masing dengan pohon Natal dan menyanyikan lagu-lagu Natal. Suasana jadi bersahabat ketika mereka bertemu di wilayah tak bertuan ( no man’s land ), lahan kosong yang memisahkan antarparit. “Tidak ada rasa benci sedikit pun dari kedua belah pihak. Dari pihak kami, tidak pula muncul keinginan untuk bertempur. Gencatan senjata Natal ini seperti jeda ronde sebuah pertarungan tinju yang bersahabat,” tutur Letnan Dua Bruce Bairnsfather dari resimen Royal Warwickshire, dikutip dari Meetings in No-Man’s Land karya Marc Ferro dkk. Mereka bertegur sapa, bertukar hadiah dan kebahagiaan Natal. Hal serupa menyebar ke front pertempuran di wilayah lain. Momen ini didokumentasikan dalam surat dan catatan harian para prajurit di lapangan. “Kami saling bertukar rokok, tanda tangan, dan beberapa orang bahkan berfoto bersama. Saya tidak tahu sampai kapan hal tersebut berlangsung, tapi sampai esok harinya kami tidak mendengar letusan tembakan sedikit pun,” tulis Kapten A.D. Charter dari batalyon Gordon Highlanders dalam surat-suratnya yang dipublikasikan Royal Mail, jasa pos nasional Britania Raya, dikutip dari independent.co.uk (24/12). “Kami bahkan mengadakan gencatan senjata kembali untuk merayakan Tahun Baru, yang digunakan para prajurit Jerman untuk melihat hasil cetakan foto yang kami ambil sebelumnya!” tambah Charter. Bahkan di beberapa wilayah gencatan senjata digunakan para prajurit untuk bertanding sepakbola. No man’s land yang biasanya suram untuk sesaat jadi ajang rekreasi. Seperti disaksikan Letnan Kurt Zehmisch dari resimen Saxony ke-134. “Prajurit-prajurit Inggris membawa bola sepak dari parit mereka, dan tak lama pertandingan seru terjadi. Pemandangan ini sangat menakjubkan, juga aneh. Para opsir Inggris merasakan hal yang sama tentang ini. Natal, momen perayaan rasa cinta dan kasih sayang, mampu membuat musuh bebuyutan menjadi kawan untuk sementara,” akunya dalam catatan harian yang dipublikasikan pada 1999. Secara umum, momen gencatan senjata itu digunakan untuk menghentikan tembak-menembak, merawat prajurit terluka, mengevakuasi dan menguburkan mayat, sekaligus memperkuat pertahanan parit masing-masing. Pers di negara-negara yang terlibat perang memuat banyak berita tentang gencatan senjata ini berdasarkan surat para prajurit yang dikirim ke keluarga mereka. Banyak pihak berharap perang akan segera usai. Namun tidak semua prajurit dan opsir mendukung gencatan senjata Natal karena dianggap sebagai bentuk simpati terhadap musuh. Salah satu penentang ialah Adolf Hitler, yang saat itu berpangkat korporal di Divisi Ke-16 Bavarians. “Hal tersebut tidak seharusnya terjadi di masa perang. Apa kalian orang-orang Jerman sudah tidak punya rasa hormat sama sekali?” kata Hitler, seperti dikutip Jim Murphy dalam Truce: The Day the Soldiers Stopped Fighting . Gencatan senjata tidak lagi terjadi di Natal tahun berikutnya. Perang yang makin keras, seperti dimulainya penggunaan gas beracun (1915) dan brutalnya Pertempuran Somme dan Pertempuran Verdun (1916), menghilangkan rasa simpati antarprajurit. Sembilan juta prajurit dan tujuh juta rakyat sipil tewas di akhir perang; menjadikan Perang Dunia I sebagai salah satu konflik paling mematikan dalam sejarah manusia.

  • Kimilsungia, Kim Il-sung dan Indonesia

    April 1965, presiden Korea Utara, Kim Il-sung dan rombongannya yang melakukan kunjungan kenegaraan untuk memperingati dasawarsa Konferensi Asia-Afrika, diajak melihat-lihat Kebun Raya Bogor oleh Sukarno. Kim Il-sung terkesima oleh bunga anggrek berwarna ungu yang tampak asing baginya. Anggrek tersebut hasil penyilangan C.L. Bundt, botanis keturunan Jerman yang memiliki laboratorium penyilangan bunga di Makassar. Direktur Kebun Raya Bogor, Sudjana Kasan meminta Bundt untuk membantu persiapan menyambut Kim Il-sung. Bundt lalu mengusulkan untuk menunjukkan bunga hasil silangannya yang dinamai dengan nama anaknya, Dendrobium Clara Bunt , dan didaftarkan ke Royal Horticultural Society pada 1964. Sukarno berniat menghadiahkan bunga anggrek tersebut dan menamainya Kimilsungia , perpaduan nama Kim Il-sung dan Indonesia. Barangkali Sukarno tidak tahu kalau anggrek tersebut sudah punya nama, Dendrobium Clara Bunt . Awalnya Kim Il-sung menolak, namun Sukarno berhasil meyakinkannya. Sukarno juga berjanji akan menyempurnakan teknik budidaya anggrek dalam satu sampai dua tahun agar dapat dikembangbiakkan di Korea Utara. Inisiatif itu sempat terhenti pasca-Gerakan 30 September 1965. Bunt kemudian melakukan penyilangan lain, yaitu DendrobiumAle ale Kai (induk betina) dan DendrobiumLady Constance (induk jantan). Keduanya spesies anggrek asli Indonesia. Bibit baru yang telah disempurnakan Bunt tersebut baru dikirim pada 1975. “Sepuluh tahun kemudian, saat Kimilsungia sudah siap untuk dibudidayakan, sebuah sampel dikirimkan ke Korea Utara, yang akhirnya dikembangbiakkan di rumah-rumah kaca di seluruh penjuru negeri,” tulis Ralph Hassig dan Kongdan Oh dalam The Hidden People of North Korea . Presiden Sukarno menunjukkan bunga anggrek kepada Presiden Korea Utara, Kim Il-sung, di Kebun Raya Bogor, April 1965. (Dok. Kedutaan Besar Republik Rakyat Demokratik Korea) Akhir 1970-an, Kimilsungia sudah menyebar luas di Korea Utara. Para botanis, disokong pemerintah, gencar membudidayakan Kimilsungia secara besar-besaran. Kualitas bunga pun ditingkatkan. Kimilsungia dapat berbunga dua kali dalam setahun, dan dapat menghasilkan enam hingga tujuh kuntum bunga pada setiap tangkainya. Pada 1982, Guntur Sukarnoputra, anak Sukarno, mendaftarkan Kimilsungia ke Royal Holticultural Society dengan nama Dendrobium Kimilsungia . Seraya menjadi simbol persahabatan kedua negara. “ Kimilsungia juga kerap disebut sebagai ‘bunga tanda kesetiaan’ dan pembudidayaannya merupakan kebijakan politik yang penting, juga menjadi ujian untuk mempertahankan kepercayaan politik di Korea Utara,” tulis Andrei Lankov dalam North of the DMS: Essays on Daily Life in North Korea . Setiap April, kota Pyongyang mengadakan festival bunga Kimilsungia dan Kimjongilia (yang dikembangkan botanis Jepang dan diserahkan kepada Kim Jong-il, anak Kim Il-sung, pada 1988), untuk merayakan kelahiran Kim Il-sung. Festival besar ini berlangsung sejak 1999, dan delegasi Indonesia selalu mendapat tempat sebagai tamu kehormatan. Sebagai bentuk apresiasi, pada 2011 pemerintah Korea Utara meresmikan monumen peringatan 46 tahun penyerahan bunga Kimilsungia di Rumah Anggrek Kebun Raya Bogor.

  • Hamka dan Tongkatnya

    DALAM karyanya Lembaga Budi , Hamka mengingatkan bahwa hobi bisa membuat kita “bodoh” atau tanpa berpikir panjang rela merogoh kocek besar demi memuaskan kegemaran. Namun Hamka sendiri punya hobi: mengoleksi tongkat. Hamka sudah membawa tongkat pada masa revolusi. Kala itu, sebagai ketua Front Persatuan Nasional (FPN) dan Badan Pembela Negara dan Kota (BPNK) di Sumatra Barat, dia bergerilya masuk-keluar hutan, mengelilingi hampir seluruh nagari di Sumatra Barat dan Riau, untuk mengobarkan semangat perjuangan. Dia ditemani muridnya, Ichsanuddin Ilyas, dan sesekali anaknya, Rusydi Hamka, yang baru berusia sebelas tahun. “Dalam perjalanan itu tongkat benar-benar sangat membantu,” tulis Rusydi Hamka dalam Pribadi dan Martabat Buya Prof. Dr. Hamka .  Hamka menggunakan tongkat untuk menopang langkah ketika mendaki, menahan keseimbangan bila turun, juga senjata untuk menghalau binatang berbisa. Barang bawaan, berupa bekal perjalanan atau buah tangan, juga bisa digantungkan pada tongkat. “Tongkat adalah salah satu hobby ayah sejak masih muda,” kata Rusydi. Kepada Rusydi, Hamka bercerita, di zaman mudanya banyak orang yang sepertinya, hobi mengumpulkan tongkat. “Jalan pakai tongkat kelihatan ganteng, sampai pernah diadakan pertandingan raja tongkat. Seperti yang kita kenal sekarang dengan pertandingan raja dan ratu kacamata, tapi ayah tidak ikut.” Beberapa mubalig muda Muhammadiyah dari Minangkabau membawa tongkat ketika menghadiri Kongres Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta pada 1931. Hal yang sama dilakukan Hamka ketika jadi mubalig Muhammadiyah di Makassar pada 1931. Sebuah foto mengabadikan Hamka dalam usia menjelang 30 tahun, berkacamata dengan jas putih dan bersarung, dan di tangan kirinya tergantung sebuah tongkat.  Orang-orang tahu Hamka mengoleksi tongkat. Setiap berkunjung ke berbagai daerah dia dihadiahi tongkat. Koleksi tongkatnya lumayan banyak. Namun dia suka menghadiahkannya lagi ke orang-orang tertentu sehingga hanya tersisa sebelas tongkat. Salah satunya, yang terbuat dari gading gajah, hadiah dari Rahmi Hatta ketika Hamka ta’ziah di hari ketiga wafatnya Mohammad Hatta. Hatta mendapatkan tongkat itu dari seorang teman yang memberikan kepadanya disertai harapan semoga lekas sembuh. “Tongkat sebaik itu menurut Ny. Rahmi harus diwarisi oleh teman terbaik Bung Hatta, dan jatuhlah pilihan itu pada Buya Hamka. Bung Hatta menyebut Buya sebagai ‘guru agama’ beliau,” demikian dikutip dari Bung Hatta Kita dalam Pandangan Masyarakat. Ketika pindah ke Jakarta pada 1950, Hamka tidak lagi menggunakan tongkat. “Pagi-pagi keluar rumah berebutan naik oplet atau trem, dia tidak membawa tongkat,” kata Rusydi. Begitu pula ketika melawat ke Amerika Serikat untuk memberikan ceramah di beberapa universitas pada 1952. Hamka kembali memakai tongkat setelah terjatuh di tangga Masjid Al-Azhar usai salat magrib pada 1960. Tulang di sekitar ruas tumitnya patah. Sejak itu, kalau berceramah atau berpidato, Hamka selalu minta disediakan kursi. “Tongkat pun tak pernah ketinggalan ke manapun dia pergi,” kata Rusydi. Suatu waktu Sukarno pernah menyuruh Hamka supaya tidak memakai tongkat. “Kelihatan lebih tua,” katanya. Sukarno sendiri memiliki dan membawa tongkat, tapi tongkat komando. Di usia senjanya, Hamka memakai tongkat dalam berbagai kegiatan, di dalam maupun di luar negeri. Bahkan sampai di pengujung usia, tongkat berada di sampingnya. “Ketika takdir kematiannya tiba, tongkat yang paling sering dibawanya, yaitu sejenis kayu dari Pakistan, tersandar di bagian kepala pembaringannya di ruangan ICU Rumah Sakit Pertamina,” kata Rusydi. Hamka wafat pada 24 Juli 1981.*

  • Jempol Dijepit Telunjuk dan Jari Tengah

    Pada suatu kesempatan, pembesar Majapahit, Pamandana didekati perempuan gila. Dia memberi isyarat penuh makna: menjepit jempol tangan kanannya di antara jari telunjuk dan jari tengah. Kisah ini termuat dalam novel sejarah Majapahit: Bala Sanggrama karya Langit Kresna Hariadi. Isyarat penuh makna tersebut jelas rekaan dan anakronisme. Sebab, bukti dari isyarat cabul itu baru terdapat pada meriam Si Jagur di Museum Fatahillah, Jakarta. Meriam ini terbuat dari hasil melebur 16 meriam kecil, sebagaimana tulisan Latin pada meriam itu: Ex me Ipsa renata sVm (dari saya sendiri aku dilahirkan kembali). Meriam ini dibuat Manuel Tavares Bocarro di Makau, Tiongkok. Master pengecor senjata Portugis ini berasal dari Goa, India, di mana dia belajar membuat meriam dari ayahnya, Pedro Tavares Bocarro. Meriam itu dipersembahkan dan ditempatkan di benteng St. Jago de Barra di Makau, sebelum akhirnya dibawa ke Malaka. Nama Si Jagur diduga hasil penyederhanaan dari nama orang suci St. Jago de Barra. Menurut Joao Guedes, pada 1627 Manuel Bocarro mengecor beberapa meriam besar yang bisa menembakan proyektil seberat 50 pound. Semua meriam didedikasikan untuk orang-orang suci: St. Alphonse, St. Ursula, St. Peter Martyr, St. Gabriel, St. James, Paus St. Linus dan St. Paul, dan lain-lain. “Selama bertahun-tahun mereka menjaga Makau dari posisinya di benteng masing-masing,” tulis Joao Guedes dalam “Weapons of Yesteryear,” dimuat macaomagazine.net . Setelah VOC menguasai Malaka, meriam Si Jagur dibawa ke Batavia pada 1641 dan ditempatkan di Kasteel Batavia untuk menjaga pelabuhan dan kota. Seorang perempuan sedang membakar menyan dan menaburkan bunga ke meriam Si Jagur tahun 1951. (ANRI) Menurut Adolf Heuken, SJ dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta , meriam Si Jagur memiliki keistimewaan: tangan mengepal dengan ibu jari tersembul di antara telunjuk dan jari tengah. “ Mano in fica ini merupakan simbol sanggama,” tulis Heuken. Mano in fica merupakan simbol hubungan seksual kuno yang berasal dari Italia. Ia berasal dari kata Italia: mano (tangan) dan fica (vulva) yang dalam bahasa Inggris diartikan fig (buah ara), idiom untuk organ genital perempuan –buah ara bila dibelah dua seperti kemaluan perempuan. Bagi orang Roma, buah ara berkaitan dengan kesuburan perempuan dan erotisme; ia sakral bagi Bacchus atau Dionysus (dewa anggur dan kemabukan). Mano in fica, tulis Jeanette Ellis dalam Forbidden Rites , merupakan jimat yang terbuat dari perunggu, perak, karang atau plastik merah. Ia menggantikan gambar atau patung Phallus (kelamin laki-laki, red ) bangsa Pagan, yang dilarang oleh Gereja Katolik Roma. Seorang perempuan sedang memeluk Meriam Si Jagur tahun 1951. (ANRI). M enurut symboldictionary.net, jimat itu digunakan untuk melawan kekuatan jahat dengan keyakinan bahwa kecabulan berfungsi sebagai pengalih perhatian kejahatan; bahkan setan menolak gagasan seks dan reproduksi sehingga melarikan diri dari tanda itu. Mano in fica pada meriam Si Jagur pun pernah dianggap dapat memberikan kesuburan. Banyak perempuan mendatangi meriam berbobot 24 pound atau 3,5 ton itu. Mereka menaburkan bunga di muka meriam itu setiap hari Kamis. “Mereka mengakhiri ‘upacara’ dengan duduk di atas meriam itu supaya kelak dapat menjadi hamil,” tulis Heuken. Untuk membuang takhayul itu, meriam dipindahkan ke ruang bawah Museum Wayang; sumber lain menyebut ke Museum Nasional. Museum tetap dikunjungi banyak perempuan yang ingin mendapatkan anak. Ada kisah lucu: seorang ibu dari Jawa Timur beserta dua anak perempuannya datang ke museum untuk meminta pertolongan Si Jagur. Setahun kemudian, dia kembali dengan marah-marah. Sebab, yang hamil malah putrinya yang belum menikah, bukan yang sudah bersuami. Pada masa Gubernur Jakarta Ali Sadikin, meriam Si Jagur dipindahkan ke halaman utara Museum Fatahillah. Kendati sudah sejak lama tak ada lagi yang meminta kesuburan kepada Si Jagur, yang membekas di ingatan banyak orang adalah simbol sanggama: mano in fica.

  • Shigeru Ono, Pejuang Jepang Telah Berpulang

    SHIGERU Ono, bekas tentara Jepang yang memihak Indonesia, meninggal dunia pada 25 Agustus lalu akibat penyakit tifus dan pembengkakan pembuluh darah. Dia menyusun buku taktik perang gerilya untuk militer Indonesia di masa revolusi. Ketika kalah melawan Sekutu, banyak tentara Jepang bingung; kembali ke negerinya atau bertahan. Tak sedikit yang melakukan harakiri (bunuh diri untuk memulihkan kehormatan). Shigeru Ono, serdadu Tentara Ke-16 Angkatan Darat Jepang di Jawa, pun sempat tergoda namun mengurungkan niatnya. Ono, yang lahir pada 26 September 1919 di Furano, Hokkaido, memutuskan bertahan di Indonesia. “Indonesia sudah banyak membantu Jepang. Kami ingin memberikan yang tidak bisa dilakukan oleh negara kami,” ujarnya dalam Mereka yang Terlupakan: Memoar Rahmat Shigeru Ono, Bekas Tentara Jepang yang Memihak Republik karya Eiichi Hayashi. Ono keluar dari ketentaraan Jepang. Atas saran Kapten Sugono, komandan polisi militer Jepang di Bandung, dia mengganti pakaiannya dengan sarung dan peci, melumuri tubuhnya dengan lumpur agar kulitnya terlihat lebih gelap, dan menambahkan “Rahmat” di awal namanya: Rahmat Shigeru Ono. Sempat melatih pemuda Indonesia, Ono kemudian menyingkir ke Yogyakarta. Dia menjalankan tugas penting dari Markas Besar Tentara untuk membuat buku rangkuman tentang taktik perang dan menerjemahkannya ke bahasa Indonesia. Atas perintah Kolonel Zulkifli Lubis, petinggi militer Indonesia yang kelak menjadi pejabat KSAD, Ono juga menyusun buku tentang taktik khusus perang gerilya. Selain itu, bersama eks tentara Jepang dan pejuang Indonesia, Ono bergerilya dari satu tempat ke tempat lain. Salah satunya, menyerang markas KNIL di Mojokerto pada Juni 1947. Pasca-Perjanjian Renville, ada kesepakatan untuk menangkapi semua eks tentara Jepang yang masih di Indonesia. “Pada Juli 1948, untuk menghindari penangkapan, serdadu Jepang berkumpul di Wlingi, Blitar, Jawa Timur untuk membuat satu pasukan. Yang tercecer dikumpulkan,” tulis Wenri Wanhar dalam Jejak Intel Jepang: Kisah Pembelotan Tomegoro Yoshizumi . Ke-28 eks tentara Jepang yang hadir itu lalu membentuk Pasukan Gerilya Istimewa (PGI) pada 24 Juli 1948. Arif Tomegoro Yoshizumi jadi komandan dan Ichiki Tatsuo wakilnya. Wilayah operasi mereka di Dampit, Malang Selatan, dan Wlingi, Blitar. Ono bertugas di Dampit. Pertempuran pertama PGI adalah ketika menyerang pos tentara Belanda di Pajaran, Malang, semasa gencatan senjata. Aksi mereka berisiko mencoreng nama Indonesia di dunia internasional, namun PGI beralasan Belanda lebih sering melanggar perjanjian. Sepeninggal Tomegoro Yoshizumi dan Ichiki Tatsuo yang gugur dalam pertempuran, PGI bergabung dalam kesatuan militer formal dan mengubah namanya menjadi Pasukan Untung Suropati 18. Usai pengakuan kedaulatan pada akhir 1949, Ono menetap di Batu, Malang, Jawa Timur. Dia mengisi hari-harinya dengan bercocok tanam. Pada Juli 1950, Ono menikah dengan Darkasih dan dikaruniai lima anak. “Dia dijodohkan Sukardi, orang Jepang juga, kawan papi,” ujar Erlik Ono, putri kelima Ono, kepada Historia . Sukardi bernama Jepang Sugiyama. Ono pernah bekerja sebagai salesman lampu, pegawai perusahaan peternakan di Jakarta, dan perusahaan eksportir rotan di Kalimantan. Setelah pensiun pada 1995, dia kembali ke Batu dan mengisi waktu dengan bertani, menerima wartawan, serta mengunjungi keluarga atau kenalan yang sakit. “Sifat kekeluargaan bapak sangat besar,” kenang Erlik.

  • Meledakkan Borobudur

    ANCAMAN peledakan Borobudur beredar di media sosial pada 15 Agustus 2014. Menurut laman The Jakarta Post , ancaman berasal dari akun Facebook bernama “We Are Islamic State”. Polisi menanggapi serius ancaman itu untuk menghindari peledakan Borobudur jilid II. Sebab, sekelompok orang pernah meledakkan Borobudur pada 21 Januari 1985. Jarum jam menunjuk pukul 01.20. Dua satpam Borobudur bergerak meninggalkan pos I untuk berpatroli rutin. Baru sepuluh menit berjalan, mereka mendengar suara keras. Sebuah ledakan! Keduanya berlarian. Pada langkah kesepuluh, mereka mendengar ledakan lagi. Dan lagi. “Ledakan terakhir pukul 03.40 adalah ledakan yang ke-9,” tulis Naning Indrati dalam “Sembilan Ledakan di Borobudur,” termuat di Rangkaian Peristiwa 1985 . Petugas Garnisun Magelang tiba pukul 04.30 dan lekas menyisir candi. Mereka melihat batu-batu candi berserakan. “Ledakan ternyata telah merusak 9 stupa berlubang: 3 yang berada di sisi timur batur pertama Arupadhatu , 2 lagi yang terdapat di batur kedua dan 4 lainnya di batur ketiga,” tulis Daoed Joesoef, mantan menteri pendidikan dan kebudayaan sekaligus tokoh pemugaran candi Borobudur, dalam Borobudur . Pagi pukul 09.00, masyarakat dan wartawan mulai berkumpul. Tiba-tiba kegemparan melanda lagi. Petugas menemukan dua bom aktif di lantai 8 dan 9 candi. Sersan Sugianto, ahli bom dari Yon Zipur IV Polda Jateng, berhasil mencegah bom meledak. Siang pukul 14.00, Pangdam VII Diponegoro Mayjen Soegiarto menggelar konferensi pers. Dia berusaha menenangkan masyarakat, mengumumkan bahwa tak ada korban jiwa dan candi tak rusak berat. Tapi masyarakat tetap terkejut dan khawatir situs sakral bagi umat Budha itu hancur. “ How come ?” tanya Daoed Joesoef. Dia marah dan malu bom bisa meledak di Borobudur. Indonesia seketika jadi sorotan internasional. “Ledakan yang menghancurkan itu pasti mencoreng muka Ibu Pertiwi yang beradab karena ternyata masih memiliki putra yang biadab,” tulis Daoed. Dia bilang sering menerima surat kaleng dan selebaran gelap. Isinya berupa makian, hujatan, dan kutukan; bahwa Daoed seorang kafir dan bertanggung jawab atas pembangunan berhala terbesar di tanah air. Spekulasi pelaku peledakan pun bermunculan. Pemerintah mengarahkan kecurigaan pada kelompok Islam radikal. Ketegangan antara pemerintah dan kelompok Islam meningkat sejak peristiwa Tanjung Priok September 1984 dan penolakan asas tunggal Pancasila. Kiai Haji Haman Djafar, pemimpin Pondok Pesantren Pabelan yang berlokasi 8 kilometer dari Borobudur, mencoba membedakan aksi peledakan dari ajaran Islam. “…Perbuatan itu tidak mewakili perbuatan sesuatu agama, tetapi perbuatan orang marah,” kata Haman, dikutip Naning Indrati. Dia juga mengajak semua pihak agar mawas diri dan saling tepa slira . Empat bulan setelah peledakan, polisi menangkap para pelaku. Antara lain Abdul Kadir bin Ali al-Habsyi dan Husein bin Ali al-Habsyi, dua bersaudara. Di pengadilan jaksa penuntut menuduh mereka meledakkan Borobudur sebagai balas dendam atas peristiwa Tanjung Priok 1984. Mereka menolak tuduhan jaksa, tapi pengadilan tetap memutuskan mereka bersalah. Abdul Kadir mendapat hukuman 20 tahun penjara, sedangkan Husein seumur hidup. Tapi Husein mendapatkan grasi dari pemerintah Habibie pada 23 Maret 1999. Peledakan Borobudur masih menyisakan misteri. Sebab Mohammad Jawad, yang dituding Husein sebagai otak peledakan, sampai saat ini belum tertangkap.

  • Setengah Mitos Bambu Runcing

    DALAM suatu wawancara, Jenderal Besar Abdul Haris Nasution ditanya: apakah bambu runcing pernah benar-benar menjadi senjata ampuh perjuangan, atau itu hanya mitos? “Adalah setengah mitos,” jawab Nasution dalam Bisikan Nurani Seorang Jenderal , “di minggu-minggu pertama merdeka maka rakyat dengan bambu runcing seakan-akan pagar betis menjadi kekuatan untuk memaksa pejabat di kantor, lingkungan, pabrik, dan lain-lain agar taat kepada RI. Tapi, pada pertempuran real, bambu runcing itu lebih banyak jadi senjata semangat.” Di beberapa daerah, terdapat monumen bambu runcing. Ini melengkapi glorifikasi sejarah nasional yang dibangun Orde Baru bahwa merebut dan mempertahankan kemerdekaan seolah hanya melalui perjuangan bersenjata. Padahal perjuangan politik dan diplomasi juga memainkan peran penting. Menurut R.H.A. Saleh dalam Mari Bung, Rebut Kembali! , bambu runcing mulai dikembangkan semasa pendudukan Jepang, yang terkenal dengan sebutan takeyari . Senjata ini digunakan untuk menghadang pasukan payung musuh yang diterjunkan dari udara. Tentara Jepang juga melatih laki-laki dan perempuan cara menggunakan takeyari , yang kalau digunakan biasanya dibarengi teriakan keras dan pekik kemarahan. “Seperti layaknya seorang prajurit dengan senapan yang bersangkur,” tulis Saleh. Latihan bahaya udara digiatkan terutama ketika Jepang kian terdesak Sekutu. Rakyat dilatih perang-perangan. Sawah-sawah dipasangi bambu runcing untuk merintangi penerjunan tentara musuh. Namun, bambu runcing pula yang digunakan pejuang Republik untuk menghadapi Jepang. Tak hanya para pejuang dari kelaskaran yang menggunakan bambu runcing. Sebagian besar anggota Badan Keamanan Rakyat (BKR) juga menggunakan bambu runcing. Maklum, setiap kesatuan BKR –menjadi Tentara Keamanan Rakyat pada 5 Oktober 1945– hanya memiliki senjata api tidak lebih dari satu persen, terutama dipegang para komandan. “Dengan senjata bambu runcing itu, mereka mencari bedil,” tulis Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional Volume 2 . Ini antara lain dilakukan Hizbullah di Magelang ketika menyerbu butai Jepang yang menjadi gudang senjata. Dari sinilah mereka mendapatkan senjata. “Menyerbu dengan bambu runcing di tangan?” tanya KH Saifuddin Zuhri, dalam otobiografinya Guruku Orang-orang dari Pesantren . “Ya, dengan bambu runcing!” jawab Kiai Mu’awwam. “Bambu runcing di tangan orang pemberani lebih ampuh daripada mitraliur di tangan orang yang gemetar ketakutan. Jepang dalam keadaan ketakutan menghadapi pemuda-pemuda yang tengah berang dengan tekad ‘mati syahid’.” Sewan Susanto menjelaskan, karena bambu runcing bermanfaat dan mudah didapat, ia menjadi simbol senjata perang kemerdekaan Indonesia. “Senjata bambu runcing tidak untuk melawan Belanda secara langsung melainkan merupakan senjata untuk menjaga keamanan oleh rakyat dan untuk latihan bela diri bagi para pemuda di daerah-daerah,” tulis Sewan Susanto dalam Perjuangan Tentara Pelajar dalam Kemerdekaan Indonesia .

bottom of page