- Petrik Matanasi
- 18 Agu
- 2 menit membaca
HOTEL di sisi selatan Lapangan Banteng itu kini termasuk salah satu hotel mewah di ibukota. Hotel Borobudur namanya. Meski baru terwujud tahun 1974, ia telah diwacanakan sejak 1962 dan Bung Karno sempat ingin menamakannya Hotel Banteng. Sebagian lahan Hotel Borobudur dulunya adalah tangsi atau asrama tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL).
“Sebelum datangnya tentara Jepang ke Indonesia, tangsi ini tempat dari Batalyon Kesepuluh,” terang Hadjiwibowo dalam Anak Orang Belajar Hidup, Volume 3.
Di masa pendudukan Jepang, tangsi tersebut dijadikan kamp tawanan perang. Hadjiwibowo yang pernah menjadi petinggi Unilever Indonesia adalah salah satu tawananya. Dia ditawan karena taruna akademi Angkatan Laut Belanda di Surabaya.
Batalyon kesepuluh maksudnya Batalyon Infanteri ke-10 KNIL dan sering ditulis sebagai Batalyon X. Setelah tentara Jepang kalah, kesatuan KNIL yang menempati sana bukan Batalyon Infanteri ke-10 lagi. Pada 1945, jumlah KNIL di Jakarta masih sangat sedikit. Gedenkschrift Koninklijk Nederlands-Indisch Leger 1830-1950 menyebut, penghuninya adalah Batalyon Infanteri ke-1 KNIL yang ketika baru terbentuk sempat bertugas di Balikpapan dan Tarakan.
Namun sebelum Batalyon ke-1 utuh di Jakarta dan menempati eks tangsi Batalyon X, sudah ada sekelompok kombatan di bekas tangsi itu.
“Pada saat Jepang menyerah, tidak ada batalyon KNIL atau KL. Namun, bendera Belanda berkibar di tiang bendera Batalyon ke-10 di Weltevreden,” catat R. Jacobs di koran De Telegraaf tanggal 3 Juli 1956.
Menurut Jacobs, itu berkat orang-orang Ambon bernyali besar. Orang Ambon di Jakarta sebetulnya ada yang mendukung Republik Indonesia, seperti Johannes Latuharhary dan Johannes Dirk de Fretes.
Ketika pasukan dari Tarakan itu datang ke Jakarta, menurut Johannes Dirk de Fretes dalam Kebenaran Melebihi Persahabatan, banyak tulisan berbunyi “Ambon Andjing NICA”. Masyarakat setempat menstigma orang Ambon sebagai pendukung Belanda. Banyak orang Ambon kemudian tak dipercaya dan dipersekusi. Dirk de Fretes pun berusaha menenangkan mereka untuk tetap bersabar kepada Republik Indonesia. Namun tak semua orang Ambon bisa sabar, apalagi sudah ada orang Ambon yang diusik oleh kelompok pengganggu yang merasa dirinya Republik. Begitulah yang terjadi di Jakarta era “Masa Bersiap”.
Kekacauan itu membuat pemuda Ambon tersedia untuk militer Belanda, termasuk yang di Batalyon X. Kombatan Batalyon X itu menjadi bulan-bulanan pemuda-pemuda dari berbagai penjuru Jakarta, yang menang secara jumlah.
“Pada awal revolusi Indonesia di Jakarta, pihak Republik tidak menyadari bahwa garnisun Batalyon ke-10 hanya terdiri dari 10 karabin,” catat Jacobs.
Serangan dari pemuda-pemuda Indonesia ketika itu dicap serangan mendadak yang setengah hati, berupa pengepungan yang disertai tembakan-tembakan. Namun serangan di sekitar tangsi eks Batalyon X bisa dihalau. Adalah Sersan Bima salah satu yang berperan penting dalam pertahanan itu. Menurut Jacobs, Sersan Bima sang pahlawan batalyon X itu kadang harus menjadi sniper untuk mempertahankan wilayahnya.
Di bekas tangsi Batalyon X itu tidak hanya terdapat orang Ambon. Ada pula orang Manado di dalamnya. Salah satunya Giroth Wuntu.
Kembalinya Giroth ke sana sebetulnya tidak disengajanya. Suatu hari, dia berupaya ke Stasiun Senen untuk menumpang keretaapi ke Surabaya. Ketika sedang naik becak untuk menuju ke Senen, di Pasar Baru dia ditangkap tentara Inggris.
“Ia ditangkap tentara Inggris dan dipaksa masuk Batalyon 10. Jadilah ia KNIL kembali,” aku Giroth Wuntu dalam Menembus Tirai Asap: Kesaksian Tahanan Politik 1965 yang disusun Haryo Sasongko dkk.
Di masa itu, orang Minahasa lebih mudah diajak berpihak kepada Republik Indonesia. Giroth termasuk KNIL yang desersi untuk bergabung menjadi pendukung RI.










Komentar