- Amanda Rachmadita
- 13 Jun
- 5 menit membaca
PENUNJUKKAN Sukarno sebagai presiden pertama Republik Indonesia pada 18 Agustus 1945 seakan meligitimasi peran sang proklamator sebagai pemimpin rakyat. Hal ini dipengaruhi oleh popularitasnya sebagai organisator yang menggerakan massa sejak zaman kolonial Belanda hingga pendudukan Jepang. Ketika kemerdekaan Indonesia mendapat tantangan dengan kedatangan NICA yang membonceng Sekutu, Sukarno tidak hanya tampil sebagai kepala negara, tetapi juga pemimpin revolusi.
Meski begitu, peran Sukarno sebagai kepala negara tak memegang kendali penuh jalannya pemerintahan. Sebab, beberapa bulan setelah rapat PPKI untuk menyusun pemerintahan, sebuah keputusan besar dalam sistem pemerintahan diumumkan, yaitu munculnya jabatan perdana menteri.
Penulis biografi politik Sukarno, John David Legge, mencatat dalam Sukarno: A Political Biography, seperti dalam usulan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada 11 November 1945, muncul gagasan untuk memisahkan posisi presiden dari kepala eksekutif. “Disarankan bahwa, meskipun konstitusi mengatur sistem pemerintahan presidensial, presiden harus, sebagai sebuah kebijakan, setuju untuk hanya menerima kabinet yang mendapat dukungan dari KNIP. Melalui perubahan konvensi konstitusional ini, posisi presiden akan menjadi sebagian besar seremonial, sementara kekuasaan akan berada di tangan perdana menteri dan kabinet yang dikendalikan oleh wakil-wakil rakyat yang tergabung dalam KNIP,” tulis Legge.
Sebelumnya, Sukarno telah membentuk kabinet pertama yang bertanggung jawab kepadanya sesuai dengan konstitusi. Nama-nama tokoh yang menjadi menteri dalam kabinet tersebut didominasi para pemimpin dari golongan tua, yang sebagian besar pernah menjabat selama pendudukan Jepang, seperti Ahmad Soebardjo (Menteri Luar Negeri) dan Ki Hadjar Dewantara (Menteri Pendidikan). Sementara Amir Sjarifuddin yang ditunjuk sebagai Menteri Penerangan menjadi pengecualian.
Menurut Legge, kehadiran tokoh-tokoh nasionalis yang pernah bekerja di lembaga-lembaga bentukan Jepang dalam kabinet Sukarno seakan menjadi tanda bahwa kabinet tersebut tidak dirancang untuk mendapatkan persetujuan dari kaum muda revolusioner. Dampaknya, kritik terhadap kabinet itu pun bermunculan. Salah satu tokoh yang menyuarakan kritik itu adalah Sutan Sjahrir.
“Serangan Sjahrir terhadap para kolaborator tak pelak lagi, setidaknya secara tidak langsung, melibatkan Sukarno. Ia khawatir bahwa Sukarno sewaktu-waktu dapat ditangkap oleh Inggris sebagai kolaborator dan ia merasa bahwa di bawah pemerintahan Sukarno, republik ini sendiri akan menjadi rentan meski pada saat yang sama, Sjahrir menyadari bahwa, di mata rakyat, Sukarno adalah pemimpin revolusi yang otentik,” tulis Legge.
Kekhawatiran Sjahrir cukup beralasan. Sebab, seperti dijelaskan Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia, pada 15 September 1945, Laksamana Muda Inggris, W.R. Patterson, pemimpin pasukan Sekutu, tiba di Jakarta untuk melucuti pasukan Jepang dan memulangkan tentara serta warga sipil Jepang. Ketika itu tidak ada yang tahu apakah pengadilan terhadap pelaku kejahatan perang mungkin akan melibatkan para tokoh terkemuka Indonesia yang banyak di antaranya menduduki posisi penting di pemerintahan. Dalam hal ini, Sukarno dan Hatta jelas berada dalam bahaya.
Berangkat dari hal ini, muncul gagasan untuk mengubah bentuk pemerintahan dari sistem presidensial menjadi parlementer, dengan kekuasaan legislatif berada di tangan KNIP, badan penasihat presiden yang dibentuk sesudah PPKI dibubarkan, di mana kabinet akan bertanggungjawab langsung kepadanya.
Legge mencatat, ketika gagasan ini diperbincangkan, Sukarno sedang berada di luar Jakarta dan tidak tahu tentang usulan Badan Pekerja. Namun, Hatta sebagai wakil presiden menyetujui usulan tersebut dan meminta Sjahrir membentuk pemerintahan. Beberapa orang dalam kabinet Sukarno menolak menerima keputusan tersebut. Selama beberapa hari, republik memiliki dua kelompok menteri yang masing-masing mengklaim sebagai pemerintah yang sah.
Kondisi ini membuat Sjahrir meminta bantuan Sukarno untuk membantu menyelesaikan masalah. Ia dipanggil kembali ke Jakarta dan bertemu dengan anggota dari kedua kelompok pemerintahan di kediamannya di Pegangsaan Timur 56. Sukarno mengumumkan bahwa ia menerima gagasan tentang tanggungjawab kabinet dan bersedia untuk menerima pemerintahan Sjahrir.
Menurut sejarawan Amerika Serikat George McTurnan Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia, Sukarno dengan cepat memahami realitas situasi politik yang tengah ia hadapi. Dengan demikian, ia segera menyetujui usulan Badan Pekerja mengenai tanggungjawab kabinet kepada KNIP dan meminta Sjahrir untuk menjadi perdana menteri. Sjahrir sendiri menyatakan bersedia menerima jabatan itu jika diberi kebebasan penuh memilih anggota kabinetnya. Permintaan tersebut disetujui Sukarno yang kemudian memberhentikan kabinetnya sendiri.
Kesediaan Sukarno menerima perubahan sistem pemerintahan cukup mengejutkan. Pasalnya, perubahan ini berpotensi mengikis otoritasnya sebagai presiden. Namun, Sukarno memiliki pertimbangan sendiri dalam menyikapi hal ini. Menurut Legge, Bung Karno sesungguhnya merasa tidak nyaman dengan posisinya di mata Sekutu dan percaya bahwa penangkapan dirinya, berkaitan dengan keputusannya di masa pendudukan Jepang, mungkin saja dilakukan. Tak hanya itu, Sukarno juga tidak dapat memahami kritik para pemuda terhadapnya dan kebingungan dalam menangani masalah tersebut. Oleh karena itu, ia bersedia bersandar pada orang lain yang memiliki keterampilan pemerintahan sehari-hari. Alasan lain meskipun hubungannya dengan Sjahrir tak terlalu dekat, Sukarno memahami setidaknya Sjahrir mendukungnya sebagai presiden. Ia menduga para pengkritik pemerintah sesungguhnya tidak hanya ingin mengganti kabinet, tetapi juga presiden.
“Bagi Sukarno, ini adalah hal yang penting. Bahkan jika jabatan presiden, untuk saat itu, hanyalah sebuah jabatan figur, setidaknya hal ini memberikan Sukarno perasaan bahwa ia adalah pemimpin rakyat Indonesia, berdiri di atas partai. Ini adalah persepsi yang ia bawa ke kantor selama masa jabatannya yang panjang. Ia selalu sadar akan lembaga kepresidenan dan dirinya sendiri dalam posisi tersebut. Ia mendukung usulan KNIP sejauh itu sesuai dengan gagasannya dan mendukungnya dalam jabatannya,” tulis Legge.
Di sisi lain, sejarawan Benedict R. O’G. Anderson menjelaskan dalam Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944-1946, yang melemahkan moral kabinet Sukarno dan melumpuhkan energinya adalah kabinet tersebut tidak mampu membuat dirinya diterima baik oleh dunia luar maupun oleh kekuatan revolusioner yang belum terbentuk yang diwakili oleh pemuda di provinsi-provinsi. Bukan berarti pemerintah tidak berusaha mencapai tujuan-tujuan tersebut. Sejak awal, pemerintah telah berupaya untuk mendapatkan simpati internasional sebanyak mungkin. Pada 8 Oktober 1945, misalnya, Sukarno telah mengundang Jawaharlal Nehru, Chiang Kai-shek, Carlos Romulo, dan Herbert Evatt melalui radio untuk datang ke Indonesia dan melihat langsung jalannya pemerintahan di negara ini. Menteri Luar Negeri, Ahmad Soebardjo, pun berulang kali mengirim telegram dan mengatur siaran radio untuk menjelaskan posisi Indonesia kepada Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan India. Ia juga mulai menjalin hubungan diplomatik langsung dengan perwakilan pemerintah Cina di Jakarta dan Uni Soviet.
“Dukungan pemuda terhadap pemerintah, yang memang tidak pernah kuat, menurun dengan cepat seiring meningkatnya kekerasan di provinsi-provinsi tanah air. Di banyak kalangan, intervensi Sukarno di Surabaya dan Jawa Tengah dianggap sebagai pengkhianatan terhadap perlawanan heroik pemuda terhadap Inggris dan pengikut NICA, karena hal itu seolah-olah hanya memperkuat posisi Sekutu,” tulis Anderson.
Alih-alih melihatnya sebagai ancaman terbuka atas posisinya sebagai pemimpin bangsa Indonesia, Sukarno justru mampu mempertahankan posisinya melalui kemampuannya meligitimasi kekuasaan, ia hadir sebagai penengah dan mendamaikan perbedaan-perbedaan yang ada di sekitarnya. Ketika oposisi muncul, ia berupaya membentuk pemerintahan yang lebih representatif. Ketika upaya yang ia lakukan tidak berhasil, Sukarno tetap menjadi penengah konflik dan mempertahankan kendali atas berbagai peristiwa hingga keadaan darurat berlalu. Ketika pasukan Belanda bergerak untuk menguasai wilayah-wilayah di Jawa dan Sumatra, ia pun masih menjadi simbol perlawanan nasional.
Pada akhirnya, seperti disampaikan sejarawan Lambert J. Giebels dalam Sukarno: A Biography, terlepas dari kontroversi terkait perubahan sistem pemerintahan yang memicu munculnya jabatan perdana menteri, baik Sukarno maupun tokoh nasionalis lainnya sepakat bahwa mereka mengejar tujuan yang sama, yaitu pengakuan internasional bagi Republik Indonesia.
“Apapun alasannya, susunan baru dalam sistem pemerintahan Indonesia memang menguntungkan Sukarno. Ia terbebas dari urusan administratif sehari-hari yang harus ia tangani sebagai pemimpin negara, dan kini dapat sepenuhnya fokus pada peran yang lebih sesuai baginya, yakni sebagai penggerak revolusi,” tulis Giebels.*
Comments