top of page

Sejarah Indonesia

Advertisement

DPA Bukan Dewan Pensiunan Agung

Meski termasuk lembaga tinggi negara, DPA bukan dilirik sebagai institusi bergengsi. Identik sebagai tempat menepi pejabat atau tokoh negara yang memasuki masa pensiun.

18 Jul 2024

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Ketua Mahkamah Agung melantik Ketua dan Wakil Ketua DPA masing-masing Idham Chalid, Soenarwar Soekawati, R.Soedjono, Mr.Karkusunah, dan J.Naro di DPA Jakarta 14 Agustus 1978. Sumber: Perpusnas RI.

SEPANJANG masa kekuasaan Orde Baru, citra Dewan Pertimbangan Agung (DPA) tak seagung namanya. Akronimnya kerap dipelesetkan menjadi “Dewan Pensiunan Agung” atau yang lebih parah lagi “Diam Pasti Aman”. Laksamana Soedomo, ketua DPA periode 1993-1998, bukannya tidak menyadari gunjingan terhadap lembaga yang pernah dipimpinnya itu. Kelakar masyarakat soal DPA sebagai Dewan Pensiunan Agung seolah jadi lumrah.   


“Ini tidak bisa disalahkan, karena rakyat yang merasa telah membayar pajak cukup banyak, ingin tahu juga apa sih kerja DPA,” kata Sudomo sambil tersenyum setelah dilantik menjadi ketua DPA, dikutip dalam Majalah Dharmasena, No 6, Juni 1993.


Senyapnya suara DPA, menurut Soedomo, tidak dapat dipersalahkan. Sebab, “diamnya” mereka terikat pada tata tertib atau ketentuan yang berlaku. DPA periode 1988-1993 pimpinan Jenderal Maraden Panggabean setidaknya telah menghasilkan 38 pertimbangan untuk Presiden Soeharto dan 11 permasalahan yang masih dalam pembahasan. Masalah itulah yang menjadi agenda DPA periode Soedomo untuk diselesaikan menjadi masukan kepada presiden. Bersama anggota DPA yang berjumlah 45 orang itu, Soedomo sepakat untuk melakukan pembaruan terhadap citra DPA.



“Sehingga kesan terhadap DPA adalah Dewan Penggerak Aktualisasi,” ujar Soedomo setengah bergurau.


Dekadensi terhadap kedudukan DPA sebenarnya sudah terjadi sejak awal lembaga itu berdiri. Memang, sosok yang menjadi anggota DPA itu pada umumnya adalah tokoh-tokoh yang berpengalaman bahkan sepuh. Ada pula yang menyatakan bahwa DPA terdiri dari kumpulan orang-orang tua.


Harsono Tjokroaminoto, tokoh Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII), menuturkan DPA di zaman permulaan Republik di Yogyakarta dulu secara sinis dibilang sebagai Raad van Fossielen atau Dewan dari Sejumlah Fosil. Suara sumbang yang lain mengatakan anggota-anggota DPA terdiri dari orang-orang golongan generation of sunset, yaitu generasi larut senja. Memasuki era Demokrasi Terpimpin (1959-1966), ceritanya lain lagi. Presiden Sukarno menempatkan dirinya sebagai ketua Dewan Pertimbangan Agung.


“Dengan demikian terjadi Bung Karno menasihati dirinya sendiri,” kenang Harsono sebagaimana dikisahkan Soebagijo I.N dalam biografi Harsono Tjokroaminoto: Mengikuti Jejak Perjuangan Sang Ayah.



Harsono sendiri ditunjuk menjadi anggota pada masa awal Orde Baru. Saat itu, Harsono baru saja purnabakti menjalankan tugasnya sebagai Duta Besar Indonesia untuk Swiss pada 1975. Memasuki masa pensiun itulah Harsono bergabung dengan DPA periode 1973—1978 yang sudah setengah jalan. Dia kembali menjadi anggota DPA untuk periode 1978—1983. Harsono tidak menampik bahwa DPA menjadi lembaga hunian bagi para pensiunan. Nada sumbang atau predikat miring mengenani DPA baginya sah-sah saja.


“Tetapi baginya yang telah cukup lama menjabat sebagai anggota, Harsono merasakan betapa tidak sia-sianya duduk disana. Pengalaman-pengalaman berharga selama hidupnya <…> kesemuanya itu dirasakannya sangat besar manfaatnya bagi pengabdiannya dalam lembaga tinggi negara seperti Dewan Pertimbangan Agung Republik Indonesia,” catat Soebagijo I.N.


Selain tempat menepi para pejabat pensiunan atau sesepuh negara, DPA di masa Orde Baru juga menjadi opsi bagi Presiden Soeharto untuk menghukum loyalisnya yang bertingkah. Kasus Letnan Jenderal Harsudiono Hartas merupakan ilustrasi yang pas untuk menggambarkan tindakan Soeharto menghukum eks pembantunya yang dinilai bersalah.


Hartas --Kepala Staf Sosial-Politik (Kasospol) ABRI– menurut pakar komunikasi politik dan pengamat politik UPH Tjipta Lesmana, dianggap menjebak Soeharto soal siapa yang bakal mendampinginya sebagai wakil presiden. Hartas suatu ketika melontarkan pernyataan mengejutkan pada pers bahwa ABRI mengajukan Jenderal Try Sutrisno sebagai calon wakil presiden dalam Sidang Umum MPR 1993. Padahal, Soeharto saat itu menginginkan B.J. Habibie sebagai wakilnya untuk periode 1993—1998. Imbas dari ceplas-ceplosnya itu, Hartas kemudian digeser dari Mabes ABRI ke DPA.


“Penetapan Hartas sebagai anggota –meski kemudian juga terpilih sebagai wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung– jelas merupakan hukuman Pak Harto karena jenderal yang satu ini dinilai telah mem-fait-accompli-nya secara terbuka. DPA ketika itu sering diplesetkan menjadi Dewan Pensiunan Agung, padahal Hartas ketika itu masih jenderal aktif,” terang Cipta Lesmana dalam Dari Soekarno sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Para Penguasa.


Sementara itu, Ahmad Syafii Maarif, cendekiawan Muslim dari Muhammadiyah, menyaksikan DPA pada periodenya bukan main aktifnya membuat berbagai pertimbangan dan saran presiden. Entah berapa ribu halaman kertas yang telah digunakan untuk tujuan itu.



Pengakuan Buya Syafii menempatkan DPA sesuai dengan fungsinya yaitu sebagai lembaga tinggi penasihat presiden. Hanya saja, menurutnya, tidak banyak dari pertimbangan dan saran itu yang dipakai rujukan oleh Presiden Soeharto. Namun, Presiden Habibie cukup mendengarkan DPA karena punya hubungan baik dengan ketua DPA seperti Baramuli maupun Achmad Tirtosoediro. Saat bergabung dalam DPA, Syafii sudah berusia 63 tahun sedangkan banyak rekan-rekannya yang lain jauh di atasnya.


“Itulah sebabnya barangkali ada orang yang membaca DPA sebagai Dewan Pensiunan Agung, karena dinilai kurang efektif dan banyak diisi oleh para pensiunan, baik sipil maupun militer,” kenang Syafii dalam otobiografinya Titik-titik Kisar di Perjalananku. “Bagiku apapun kata orang, aku sungguh banyak belajar dari anggota-anggota lain yang sudah kenyang dengan pengalaman dalam menangani berbagai masalah bangsa dan negara ini.”

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian

Advertisement

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy Jusuf Jenderal Tionghoa

Tedy masuk militer karena pamannya yang mantan militer Belanda. Karier Tedy di TNI terus menanjak.
Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang Menolak Disebut Pahlawan

Alex Kawilarang turut berjuang dalam Perang Kemerdekaan dan mendirikan pasukan khusus TNI AD. Mantan atasan Soeharto ini menolak disebut pahlawan karena gelar pahlawan disalahgunakan untuk kepentingan dan pencitraan.
Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Mengakui Tan Malaka Sebagai Bapak Republik Indonesia

Tan Malaka pertama kali menggagas konsep negara Indonesia dalam risalah Naar de Republik Indonesia. Sejarawan mengusulkan agar negara memformalkan gelar Bapak Republik Indonesia kepada Tan Malaka.
Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Perang Jawa Memicu Kemerdekaan Belgia dari Belanda

Hubungan diplomatik Indonesia dan Belgia secara resmi sudah terjalin sejak 75 tahun silam. Namun, siapa nyana, kemerdekaan Belgia dari Belanda dipicu oleh Perang Jawa.
Prajurit Keraton Ikut PKI

Prajurit Keraton Ikut PKI

Dua anggota legiun Mangkunegaran ikut serta gerakan anti-Belanda. Berujung pembuangan.
bottom of page