top of page

Sejarah Indonesia

Garis Finis Tjetjep Heriyana Sang Pembalap Legendaris Sebuah

Garis Finis Tjetjep Heryana Sang Pembalap Legendaris, Sebuah Obituari

Tjetjep Heryana salah satu jagoan balap Indonesia dari era 1950-an. Turut mengharumkan nama Indonesia di mancanegara.

1 Juli 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Pembalap legenda Euwjong Kwantek alias Tjetjep Heryana yang wafat di usia 86 tahun (Nugroho Sejati/Historia.ID)

KIRA-KIRA sudah enam bulan pembalap legendaris Tjetjep Heryana tak lagi berkirim pesan singkat pada penulis. Lazimnya saban hari atau tiga kali seminggu ia acap mengirim gambar-gambar template bertuliskan “Selamat Malam”, “Selamat Pagi,” atau sekadar “Selamat Beraktivitas, Tuhan memberkati.” Namun pada Kamis (26/6/2025) pagi, dari nomornya justru terkirim sebuah pesan mengagetkan: kabar duka wafatnya Tjetjep beberapa hari lalu.


“Telah meninggal dunia dengan tenang Papi Opa dan Opa Uyut Tjetjep Heryana/Euw Yong Kwantek tadi pagi jam 03.00 dini hari. Lahir 26 Maret 1939. Wafat 26 Juni 2025. Semoga Papi diberi tempat terindah dan damai di pangkuan Allah. Kami sekeluarga mohon maaf bila ada khilaf,” demikian bunyi pesan tersebut.


Rupanya nomor mendiang sudah berpindah tangan ke pihak keluarganya. Dalam pesan singkat lanjutan, diberitakan bahwa mendiang wafat akibat sakit paru-paru yang sudah lama dideritanya. Sebelum dikebumikan, jenazah almarhum diupacarakan dalam ibadah misa dan tutup peti jenazah di rumah duka di Bandung pada Sabtu (28/6/2025). Rencananya jenazah akan dikuburkan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kerkof Leuwigajah, Cimahi pada Minggu (29/6/2025).


Historia.ID pernah berbincang dengan Tjetjep pada 2017 ketika dirinya baru sekitar setahun tinggal di Panti Wreda Karitas, Cimahi. Namun hingga artikel ini diturunkan, belum ada respons lanjutan dari pihak keluarga pembalap legendaris kurun 1954-1974 tersebut.

 

Lahir di Bandung pada 26 Maret 1939, Euw Yong Kwantek alias Tjetjep Heryana sudah gemar kebut-kebutan di jalan sejak remaja. Ia baru berani serius untuk start mengaspal setelah ditegur ayahnya.


“Dari muda mah sudah suka kebut-kebutan di kota. Bapak saya bilang, kalau berani balapan di lapangan (sirkuit). Ya saya mulai balapan tahun 1954 di Surabaya pakai motor (merk) Jawa 350 buatan Cekoslovakia. Waktu itu lawannya masih banyak orang-orang Belanda,” kenang Tjetjep yang ditemui Historia.ID medio 2017.



Kendati kemenangan belum ada di kamusnya sebagai pemula, Tjetjep tiada menyerah. Tjetjep akhirnya mendapatkan puncak podium pertamanya di sebuah ajang balap di Lapangan Udara (Lanud) Halimperdanakusuma, Jakarta pada Oktober 1957.


“Kesuksesan para pembalap Bandung Tjetjep, Bartels en Grashuis. Tjetjep mencetak rekor trek”, begitu bunyi tajuk besar terjemahan bahasa Belanda di suratkabar De Preangerbode edisi 14 Oktober 1957. Kala itu balapannya dihelat oleh Motorclub Djakarta selama dua hari (12-13 Oktober 1957).


Pada hari pertama, Tjetjep yang mengaspal dengan motor BSA 350cc tampil sebagai juara ketiga race Klasse B III di bawah Bibin Saeran dan Jan Alex Jacobus Grashuis dengan motor NSU Max-nya yang tampil sebagai juara. Sedangkan di hari kedua, Tjetjep bisa dua kali naik podium, yakni menjadi juara pertama di race Klasse B IV dan Klasse B V mengalahkan Grashuis yang juga sesama pembalap Bandung.


“Dalam dua hari balapan, pembalap Bandung Tjetjep (E.W. Jong Kwam Tek) menunjukkan bahwa usia muda bukanlah halangan untuk meraih beberapa kemenangan atas rekan sekota Grashuis,” lanjut laporan koran tersebut.



Setahun berselang, Tjetjep tampil gemilang di ajang grand prix yang dihelat Persatuan Olahraga Sepeda Motor Djakarta (Posidja) dan Persatuan Penggemar Sepeda Motor BSA Djakarta di Lapangan Akademi Penerbangan Indonesia Curug, medio Juli 1958. Bintang Timur edisi 25 Juli 1958 melaporkan, Tjetjep yang menunggangi motor BMW kembali merajai race di kelas 500 cc.


Pasca-Orde Baru, Tjetjep baru bisa merasakan “adu mekanik” dengan para pembalap Asia di luar negeri. Dari Grand Prix (GP) di Singapura, Malaysia, hingga Makau pada 1970 yang paling dikenangnya.


“Sebelum zaman Pak Harto (Presiden Soeharto, red.) itu sulit bikin bisa untuk balapan di luar negeri. Baru setelah 1966, dipermudah buat pembalap tampil di luar negeri. Makanya kira-kira ya tahun 1966-lah baru pertama ikut (ajang) GP di luar Indonesia,” sambung Tjetjep.


GP Makau 1970 jadi ajang yang begitu dikenang dalam sejarah balap Indonesia. Pasalnya, terdapat dua pembalap Indonesia yang sukses naik podium. Selain Tjetjep, adalah Benny Hidayat yang tampil sama-sama menunggangi motor tim Yamaha. Menurut Benny yang ditemui Historia.ID dalam kesempatan berbeda, mereka dikirim tim Yamaha dan Posidja. Selain Benny dan Tjetjep, juga ada nama Beng Suswanto dan Hendra ‘Abaw’ Tirtasaputra.



Mengutip laman arsip laman resmi GP Makau, Tjetjep yang tampil dengan motor Yamaha TR2 sukses berdiri di podium ketiga, sementara Benny Hidayat dengan motor Yamaha YSI lebih sukses lagi dengan jadi juaranya. Sedangkan pembalap tuan rumah Chan Su Kuan dengan motor Suzuki di posisi runner-up.


“Sebelumnya saya sudah turun duluan sejak 1969 di Makau. Tapi baru dapat juaranya tahun 1970. Yang juara dua dari Makau. Yang juara tiga teman satu tim, Tjetjep,” kenang Benny.


Sejak saat itu, nama Tjetjep dan Benny nyaris tak pernah absen dari pentas di mancanegara. Hanya saja, Tjetjep mesti lebih dulu gantung helm. Utamanya pasca-kecelakaannya di Sirkuit Batu Tiga GP Malaysia pada 1974. Tjetjep mengalami kecelakaan tunggal hingga menderita patah tangan dan kaki.


“Ya jatuh aja gitu. Enggak ada karena (bersenggolan dengan) pembalap lain. Sekitar sebulan dirawat di Malaysia dengan dibiayai penyelenggara. Ganti-gantian yang menemani saya. Ada dari tim, si Benny, orang kedutaan juga. Duta Besar (RI untuk Malaysia) Jenderal Supardjo Rustam sempat jenguk,” kenang Tjetjep.



Dari lintasan balap, arah hidup Tjetjep berubah 180 derajat. Hampir separuh hidupnya berada di trek membuatnya mesti mencari pekerjaan serabutan setelah pensiun.


Meski begitu, berita-berita balap MotoGP tetap diikutinya. Sosok yang mengidolakan pembalap legendaris Italia Valentino Rossi itu sempat dua kali menyaksikan Rossi ketika mengaspal di Grand Prix Indonesia 1996 dan 1997 di Sirkuit Sentul.

 

Di usia senjanya, Tjetjep menghabiskan waktu di Panti Wreda. Ia pernah mendapatkan kesempatan istimewa undangan dari Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil untuk menonton GP Indonesia 2022 di Sirkuit Mandalika.


Selamat jalan, jagoan balap Indonesia Tjetjep Heryana. Beristirahatlah dengan tenang!



Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Bertahan dari Hukuman IOC, Dulu dan Sekarang

Bertahan dari Hukuman IOC, Dulu dan Sekarang

Indonesia tegar menerima konsekuensi dari IOC gegara menolak visa atlet-atlet Israel di kejuaraan dunia senam. Bukan kali pertama.
Cape Verde, Si Hiu Biru yang Menggebrak Sejarah Piala Dunia

Cape Verde, Si Hiu Biru yang Menggebrak Sejarah Piala Dunia

Charles Darwin pernah mampir ke Cape Verde. Timnasnya lolos ke Piala Dunia tak semata karena naturalisasi dan barisan diaspora namun juga karena dedikasi dan kemauan berproses.
Perkara Naturalisasi Malaysia, Dulu dan Kini

Perkara Naturalisasi Malaysia, Dulu dan Kini

Bukan kali ini saja pemain naturalisasi “Harimau Malaya” bermasalah. Kala kali pertama saja juga dipermasalahkan FIFA.
Varia Maskot Piala Dunia

Varia Maskot Piala Dunia

Maskot Piala Dunia terilhami dari bermacam hal. Mulai fauna khas negeri tuan rumah hingga buah hingga keffiyeh terbang.
DNA Sepakbola dan Tinju Ricky Hatton

DNA Sepakbola dan Tinju Ricky Hatton

Penggemar Bruce Lee yang beralih dari lapangan hijau ke ring tinju. Legenda yang humble hingga dihormati Mayweather hingga Pacquiao.
bottom of page