- Petrik Matanasi
- 7 Jul
- 3 menit membaca
REVOLUSI kemerdekaan Indonesia membuat makin banyak pemuda dari Sulawesi Selatan (Sulsel) yang berada di Yogyakarta. Andi Mo’mang salah satu yang ikut hijrah.
Namun, tak seperti kawan-kawannya yang antusias menjaga revolusi, Andi Mo’mang kurang bergairah. Baru bebas dari tahanan tentara Sekutu salah satu penyebabnya.
Kendati begitu, kawan-kawan sedaerahnya yang sedang dimabuk patriotisme tak mengacuhkannya. Kepedulian justru selalu mereka berikan padanya.
“Kita kawinkan saja dengan salah satu putri terbaik yang ada di Yogyakarta ini. Putri itu anak dari Ibu Hilal. Ibu ini dianggap sakti dan sebagai penasehat Bapak Presiden Sukarno,” ucap Letnan Kolonel Kahar Muzakkar, panglima Divisi Seberang.
“Mana mungkin lamaran kita diterima. Kita ini pendatang, dan orang Jawa tentu tidak mau tahu menahu keadaan kita,” jawab Andi Mattalata.
“Saya kenal baik ibu Hilal,” kata Kahar Muzakar optimis. “Beliau sangat menghormati orang Sulawesi Selatan, terutama golongan tinggi seperti Andi Mo’mang. Saya yakin, kalau kita datang meminang pasti diterima. Saya berani pertaruhkan kepala saya.”
Singkat kata, perkawinan Andi Mo’mang dengan Siti Maesaroh binti Haji Hilal pun terjadi. Begitulah Mayor Jenderal Andi Mattalata mengisahkan kawannya dalam Meniti Siri’ dan Harga Diri.
Ibu Hilal yang dimaksud adalah Siti Aisyah, putri Kyai Haji Ahmad Dahlan (1868-1923). Siti Aisyah merupakan istri kedua Haji Hilal. Istri pertama Haji Hilal adalah Djohanah, juga putri Ahmad Dahlan.
“Siti Aisyah dan Haji Hilal dikenal sebagai saudagar batik di kampung Kauman. H. Hilal adalah putra Kiai Mohamad Saleh, kakak ipar Kiai Dahlan. Kiai Saleh adalah salah satu saudagar batik terkaya di Kauman ketika Kiai Dahlan masih hidup,” catat Hajar Nur Setyowati dan Mu'arif dalam Covering Aisyiyah: Dinamika Gerakan Perempuan Islam Berkemajuan Periode Awal.
Kauman adalah kampung di sisi barat alun-alun utara (lor) Keraton kota Yogyakarta. Daerah ini dianggap basis Muhamadiyah dan daerahnya pemuka agama Islam di Yogyakarta. Hingga kini, Kauman adalah daerah niaga pakaian, tak hanya batik saja.
“Rumahnya di Jalan Nyai Ahmad Dahlan, yang sekarang jadi Salon Muslimah,” terang Hajar Nur Setyowati dan Mu'arif kepada Historia. Yang saat ini tinggal di sana adalah cucu Haji Hilal.
Selain dari perdagangan batik, sumber pendapatan lain Haji Hilal berasal dari menyewakan pondokan kepada siswa-siswa sekolah Muhamadiyah dari luar Yogyakarta. Banyak pemuda Sulawesi juga mondok di sana. Menurut M. Bahar Mattalioe dalam Pemberontakan Meniti Jalur Kanan, di antara mereka yang pernah mondok di rumah Haji Hilal adalah Abdul Karim dan M. Yahya, anak dari keluarga Haji Mattalitti. Haji Mattalitti adalah pengusaha kain yang punya toko di daerah Tunjungan. Haji Mattalitti adalah kakek dari La Nyala Mattaliti, politikus yang pernah memimpin PSSI.
Kendati tidak semua pemuda Sulsel mondok di rumah Haji Hilal, beberapa pemuda yang dikenal dan mengenal Ibu Hilal kelak jadi orang terkenal. Mereka cukup terpelajar dan sangat dihormati ketika pulang ke kampung halaman mereka. Ada pula dari mereka yang berkarier militer.
Kahar Muzakkar yang diceritakan Andi Mattalata adalah La Domeng. La Domeng kemudian memakai nama mirip dengan salah satu guru besar Islam di Yogyakarta, Kahar Muzakkir, yakni Kahar Muzakkar (1920-1965). Kelak, Kahar Muzakkar memimpin pemberontakan bekas pejuang dalam Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) lalu Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di Sulawesi Selatan. Bahar Matalioe juga pernah ikut bergerilya dengan Kahar Muzakkar, namun belakangan tak memihak Kahar lagi dan kemudian menjadi pemuka agama Islam.
Sementara, Andi Mattalatta kemudian menjadi mayor jenderal dan pernah menjadi panglima KODAM (Pangdam) di Sulawesi Selatan dan Tenggara. Ia merupakan ayah dari penyanyi Andi Meriam Mattalata. Menantu Haji Hilal dan Ibu Hilal pun tak kalah populer. Tak hanya pernah jadi pangdam di Sulawesi Selatan dan Tenggara, tapi juga pernah menjadi Menteri Pertahanan Keamanan merangkap Panglima Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Namun setelah 1950 menantu Haji Hilal itu tak lagi hidup satu atap dengan Maesaroh, bahkan tak lagi memakai nama Andi Mo’mang. Menantu itu adalah M Jusuf, jenderal berjuluk “Panglima Para Prajurit” yang pada 1980-an popularitasnya nyaris menyaingi Presiden Soeharto.












Komentar