top of page

Sejarah Indonesia

Hapuskan Mitos Untuk Rekonsiliasi

Hapuskan Mitos untuk Rekonsiliasi

Pemahaman secara mendalam dan berimbang terhadap peristiwa pada kurun 1959-1969 syarat menuju rekonsiliasi.

18 Januari 2011

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png



Konferensi internasional sekaligus pameran bertajuk  “Indonesia and the World 1959-1969: A Critical Decade” dibuka sore tadi (18/01). Sebelum acara dibuka, sejumlah pelajar yang tergabung dalam Gerakan Pemuda Islam (GPI) dan Persatuan Pelajar Islam (PII) berunjuk rasa di halaman gedung Goethe Institute, Jl. Sam Ratulangie, Jakarta Pusat. Mereka menuntut agar acara dihentikan, bahkan salah seorang orator menuntut dibubarkannya PKI, “bubarkan PKI!” katanya diikuti demonstran lain.


Sebuah kejadian lain pun terjadi. Penulis buku Economists With Gun, Bradley Simpson yang menjadi pembicara dalam peluncuran bukunya di Goethe dimintai keterangan oleh sejumlah polisi terkait dokumen keimigrasiannya.  Acara pameran dan konferensi yang akan digelar sampai 21 Januari itu pun diwarnai ketegangan.


Sejumlah tokoh memberikan sambutan dalam pembukaan pameran dan konferensi tersebut. Letjen (Purn) Agus Widjojo yang juga anak dari pahlawan revolusi Mayjen (Anumerta) Soetojo Siswomihardjo dalam sambutannya mengatakan perlunya mengambil jarak dengan peristiwa 1965 kendati sulit. “Tidak mudah memang bagi pihak yang terlibat untuk mengambil jarak dan melihat peristiwa masa lalu dari perspektif saat ini tanpa keterlibatannya,” kata dia.


Menurut Agus, diperlukan pengorbanan dari semua pihak yang terkait agar peristiwa yang sudah lebih dari empat dasawarsa itu bisa didudukkan sesuai dengan porsinya. Agus ingin melihat persoalan itu lebih berimbang dengan menempatkan PKI dan Angkatan Darat pada pusaran utama penyebab peristiwa yang terjadi pada 46 tahun lalu itu.


Sementara itu Mardiyah Chamin dari Tempo Institute dalam pembukaan pameran mengatakan bahwa salah satu upaya untuk memahami peristiwa yang terjadi pada kurun 1959-1969 adalah satu tahap penting sebelum kita bisa berdamai dan menyembuhkan luka sejarah. “Pameran ini, harapan kami, bisa memberi kontribusi dalam membangun pemahaman tentang panggung Indonesia dan dunia, di hari-hari penuh gejolak,” kata dia. 


Senada dengan Mardiyah, Agus Widjojo pun berpendapat bahwa salah satu hal terpenting yang perlu dilakukan agar rekonsiliasi berjalan baik adalah kemampuan untuk melihat peristiwa secara lebih dalam tanpa pemitosan. “Kesiapan untuk memasuki proses rekonsiliasi memerlukan penghancuran mitos seolah korban adalah monopoli satu pihak dan penyebab tindak kekerasan adalah pihak yang lain,” ujarnya.


Turut hadir dalam acara pembukaan pameran dan konferensi internasional itu antara lain Direktur Goethe Institute Jakarta Frans Xavier Agustin, Direktur FES Indonesia Erwin Schweisshelm,  wartawan senior Aristides Katoppo, sejumlah sejarawan seperti Asvi Warman Adam, Hilmar Farid dan Baskara T Wardaya.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Guru Besar Itu Bernama Mamdani

Guru Besar Itu Bernama Mamdani

Ayah Zohran Mamdani pernah diusir Diktator Idi Amin. Karya-karyanya menyinggung Afrika pasca-kolonial hingga hukum adat di Indonesia.
Misi Orde Baru Menggerus PNI dan NU

Misi Orde Baru Menggerus PNI dan NU

Setelah menumpas PKI, rezim Orde Baru kemudian menghabisi PNI dan NU. Dengan begitu Soeharto dapat berkuasa selama tiga dekade.
Mengenal Pahlawan Nasional Rahmah El Yunusiyah

Mengenal Pahlawan Nasional Rahmah El Yunusiyah

HR Rasuna Said turut berguru pada Rahmah El Yunusiyah. Universitas Al-Azhar di Kairo terinspirasi membuka kampus khusus perempuan darinya.
Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio Tidak Menyesal Masuk Penjara Orde Baru

Soebandrio dikenal memiliki selera humor yang tinggi. Selama menjadi tahanan politik Orde Baru, dia mendalami agama Islam, sehingga merasa tidak rugi masuk penjara.
Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Lagi, Seruan Menolak Gelar Pahlawan Nasional Bagi Soeharto

Wacana penganugerahan gelar pahlawan nasional bagi Soeharto kian santer. Dinilai sebagai upaya pengaburan sejarah dan pemutihan jejak kelam sang diktator.
bottom of page