- Darminto S. Sudarmo
- 25 Jan 2024
- 3 menit membaca
LAWAK hanyalah kesenian kelas jongos. Orang-orang rendahan. Rakyat jelata. Metafora kelas itu digambarkan dalam pertunjukan Goro-goro, Limbuk-Cangik, dan Togog-Bilung di wayang kulit. Di kesenian tradisional lain seperti ketoprak atau ludruk, suasana penuh guyon juga hanya muncul ketika para abdi, pembantu, dayang-dayang berkumpul dan bercengkerama. Ungkapan mereka lewat bahasa egaliter, kadang kasar, menyentil, dan apa adanya menggambarkan tradisi sekaligus cap bagi posisi mereka.
Ingin membaca lebih lanjut?
Langgani historia.id untuk terus membaca postingan eksklusif ini.