- Amanda Rachmadita
- 2 Jul
- 4 menit membaca
PERNYATAAN kontroversial Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang meragukan perkosaan massal terhadap perempuan dalam kerusuhan Mei 1998 masih menuai sorotan. Kali ini kritikan disampaikan anggota Komisi X DPR RI dalam rapat kerja bersama Menteri Kebudayaan di Kompleks DPR RI, Jakarta, Rabu (2/7/2025).
Anggota Komisi X DPR RI juga menyinggung proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang menuai perdebatan di kalangan masyarakat, serta meminta klarifikasi dari Fadli Zon atas pernyataannya yang mendapat kecaman dari banyak pihak.
Menurut anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP Mercy Chriesty Barends, pernyataan Fadli Zon sangat melukai hati banyak pihak, tak hanya korban tetapi juga para aktivis yang tak kenal lelah mendampingi serta mengadvokasi para korban.
“Tidak satupun korban berani menyampaikan kasus kekerasannya karena pada saat itu mengalami represi yang luar biasa... Jadi kalau kemudian Pak Menteri mempertanyakan atau meragukan kebenaran [perkosaan massal], ini amat sangat menyakiti kami,” kata Mercy.
Mercy yang pernah terlibat dalam Tim Pencari Fakta Komnas Perempuan terkait kasus kekerasan seksual terhadap perempuan selama masa konflik termasuk dalam kerusuhan Mei 1998, meminta Fadli Zon untuk meminta maaf.
“Kami sangat berharap permintaan maaf, mau korbannya perorangan yang jumlahnya banyak, yang Bapak tidak akui itu massal. Karena korban benar-benar ada dan itu terjadi. Komnas Perempuan tidak dapat mempublikasikan ke publik karena menyangkut harga diri dan harkat martabat manusia. Bapak bisa langsung ke Komnas Perempuan, data kerusuhan Mei 1998, data kasus perkosaan dan kekerasan seksual di Maluku, Papua, Aceh, dan sebagainya, ada di sana. Saya saksi sejarahnya,” tambah Mercy.
Sementara itu, anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PAN Muhammad Hoerudin Amin menyampaikan, setiap bangsa tak luput dari gejolak-gejolak di masa lalu. Dalam kaitannya dengan penulisan ulang sejarah, peristiwa-peristiwa kelam di masa lalu, termasuk kasus pelanggaran HAM berat, sudah sepatutnya dijelaskan secara terbuka, alih-alih menutupi atau bahkan mengaburkannya.
“Peristiwa-peristiwa sejarah yang menyangkut kemanusiaan, baik kepada perempuan, anak-anak, atau siapa pun, setiap bangsa punya sejarah itu. Dan kita tidak usah merasa itu adalah aib ketika sejarah tentang peristiwa itu kita buka.... Semua punya luka sejarah dan kita pun pasti punya luka itu. Kenapa kita nggak berani buka? Paling tidak kalau kita buka untuk menjadi dialektika terbuka, itu adalah pelajaran bagi setiap generasi di masa depan. Jadi tidak ada lagi sejarah ditutup-tutupi,” jelas Hoerudin.
“Luka itu bisa diobati dengan keterbukaan. Itulah pentingnya menulis sejarah dengan terbuka. Siapa pun yang menulis sejarah, saling berkompetisi mencari data yang paling sahih, karena nanti pada saatnya waktu yang akan membuktikan, sejarah ini bisa dipertanggungjawabkan atau tidak,” tambahnya.
Hentikan Proyek Penulisan
Kritik terhadap pernyataan kontroversial Fadli Zon juga disampaikan anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP Bonnie Triyana. Menurutnya, pernyataan Fadli Zon termasuk dalam interpretative denial, di mana pernyataan itu seakan mengakui terjadinya kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998, tetapi di sisi lain memberikan tafsiran terhadap kata-kata tertentu yang dapat menggeser perdebatan untuk mengungkap kebenaran yang sesungguhnya.
“Pak Menteri mengakui, tapi ada semacam tafsiran terhadap makna ‘massal’ yang kemudian menggeser perdebatan menjadi perdebatan semantik, bukan lagi pada subtansi dari persoalan itu sendiri, di mana itu terjadi. Kalau terjadi pasti ada korban dan ada pelaku. Sehingga, dalam rangka proyek penulisan sejarah, jangan sampai nanti ada tuduhan [buku sejarah] ini ditulis berdasarkan perspektif pelaku dari peristiwa perkosaan massal,” kata Bonnie.
Melihat sorotan yang tak henti kepada Fadli Zon terkait proyek penulisan ulang sejarah Indonesia dan pernyataannya mengenai perkosaan massal dalam kerusuhan Mei 1998, anggota Komisi X DPR RI mendesak agar penyusunan buku sejarah nasional yang tengah digarap tim bentukan Kementerian Kebudayaan ditunda bahkan dihentikan.
Menurut anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PKB, Habib Syarif Muhammad, proyek ini kontroversial di kalangan masyarakat, salah satunya karena proses pengerjaannya terlalu singkat dan tertutup. Ia juga meminta kebijaksanaan Fadli Zon untuk “memberikan kata yang menyejukkan” bagi perempuan Indonesia terkait pernyataan kontroversialnya beberapa waktu lalu.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP Maria Yohana Esti Wijayati secara tegas meminta Kementerian Kebudayaan menghentikan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia. “Penolakan sudah sampai ke dunia internasional, dengan tegas kami juga mengatakan setop penulisan pada saat ini,” tegas Esti.
Tak hanya itu, Esti juga menegaskan agar Fadli Zon meminta maaf karena pernyataannya telah memicu kontroversi di kalangan masyarakat. “Dengan melihat polemik yang berkembang dan sudah mulai banyak bagian dari masyarakat yang terluka, maka dengan segala hormat saya meminta Pak Menteri untuk meminta maaf kepada publik,” tambah Esti.
Tanggapan Fadli Zon
Fadli Zon menyatakan bahwa pernyataannya mengenai kekerasan seksual terhadap perempuan dalam kerusuhan Mei 1998 tak berkaitan dengan proyek penulisan buku sejarah nasional. Pernyataan tersebut merupakan pandangan pribadi.
“Itu sebenarnya bukan urusan soal penulisan sejarah, itu adalah pendapat saya pribadi, soal diksi massal itu. Kenapa? Massal itu sangat identik dengan terstruktur dan sistematis... Saya tidak menegasikan bahwa itu terjadi dan saya mengutuk dengan keras dan kalau ada fakta-fakta yang terkait hukum atau pendokumentasian, saya kira tidak ada masalah... Saya kira perbedaan-perbedaan pendapat dalam forum lain, bukan saya sebagai Menteri Kebudayaan, saya siap sebagai seorang sejarawan juga dan seorang peneliti untuk mendiskusikan ini dan sangat terbuka. Saya sudah diskusi ini 20 tahun lebih, dengan mengonfrontasi ini di televisi, di berbagai tempat, tidak denial. Sama sekali ini tidak ada urusannya dengan denial,” kata Fadli Zon.
Fadli Zon juga menekankan pentingnya ketelitian untuk mendapatkan akurasi yang mendalam. Sebab, menurutnya, jangan sampai informasi-informasi yang ada justru mengadu domba sesama masyarakat Indonesia. Terkait buku sejarah nasional yang tengah disusun oleh tim bentukan Kementerian Kebudayaan, Fadli Zon mengakui peristiwa kerusuhan Mei 1998 hanya dijelaskan secara singkat dan menjadi bagian dari rangkaian catatan sejarah pada masa Reformasi.
Pernyataan Fadli Zon ini kembali menuai kritik dari anggota Komisi X DPR RI. Mereka memandang Menteri Kebudayaan tidak memiliki kepekaan. Terkait hal ini Fadli Zon menyampaikan permohonan maafnya.
“Saya minta maaf kalau ini terkait dengan insensitivitas, dianggap insensitive. Tapi saya sekali lagi dalam posisi yang mengutuk dan mengecam juga... Jelas kita semua mengutuk hal-hal yang semacam itu, dan mengecam segala macam kekerasan terhadap perempuan. Saya kira [kita] dalam posisi yang sama sekali tidak berbeda dalam hal itu. Cuma secara spesifik, kalau ada sedikit perbedaan pendapat terkait diksi [massal] itu yang menurut saya itu pendapat pribadi, yang mungkin kita bisa dokumentasikan [kasus kekerasan seksual] secara lebih teliti lagi ke depan,” kata Fadli Zon.
“Ini adalah hal-hal yang mungkin bagian dari perbedaan-perbedaan data atau pendapat yang perlu lebih akurat lagi ke depan untuk mendatanya. Tidak ada maksud-maksud lain, dan tidak ada kepentingan untuk mereduksi kalau itu sudah menjadi sebuah kenyataan-kenyataan apalagi ada dukungan hukum. Dan memang para pelaku yang semacam itu sampai sekarang pun saya kira harusnya bisa dihukum kalau bisa ditelusuri kelompoknya, pelakunya, kan masalahnya itu belum menjadi fakta hukum... Jadi tidak ada maksud lain, dan tidak sama sekali mengucilkan atau mereduksi, apalagi menegasikannya,” tambah Fadli Zon.*












Apakah Fadli Zon termasuk salah satu pelakunya sehingga berupaya mengaburkan dgn Penyangkalan?
https://www.facebook.com/share/16mZTDNa7y/