- Martin Sitompul

- 8 Sep
- 3 menit membaca
Diperbarui: 9 Sep
SAMPAI hari ini, kematian aktivis kemanusiaan Munir Said Thalib masih berselubung kabut misteri. Pada dekade 1990-an, Munir dikenal lantang menyuarakan keadilan bagi korban kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia rezim Orde Baru lewat lembaga swadaya KontraS (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan). Nyawa Munir dilenyapkan ketika ia hendak mengurusi studi doktoralnya dalam penerbangan dari Jakarta menuju Amsterdam pada 7 September 2004.
Kematian Munir dirancang secara sengaja dengan cara meracuninya lewat minuman yang dikonsumsi dalam perjalanan. Simpulan ini diperkuat hasil otopsi yang menemukan kandungan racun jenis arsenik pada tubuh Munir. Ketika kasus kematian Munir dibawa ke ranah hukum, pengadilan mendakwa Pollycarpus Budihari Priyanto, pilot maskapai Garuda Indonesia, sebagai pelaku utama dengan hukuman 14 tahun penjara.
Munir dan Pollycarpus yang sedang cuti diketahui berada dalam satu penerbangan ke Belanda dan sempat bercengkrama di sebuah kafe saat transit di Bandara Changi, Singapura. Pada saat itulah Pollycarpus diduga menuangkan racun ke dalam minuman Munir. Belakangan, Pollycarpus disebut-sebut sebagai agen intelijen atau setidaknya punya hubungan dengan seorang petinggi Badan Intelijen Negara (BIN) yang menyimpulkan perannya sebagai kaki tangan pihak yang lebih tinggi.
Nama Mayor Jenderal (Purn.) Muchdi Purwoprandjono, mantan Danjen Kopassus dan mantan wakil kepala BIN, juga santer diberitakan berperan dalam kematian Munir. Pollycarpus dan Muchdi disebut terlibat dalam korepondensi via telepon yang intens menjelang kematian Munir. Pada 2008, Muchdi sempat ditangkap kepolisian, namun akhirnya lolos dari jerat hukum. Sampai sekarang namanya masih dikaitkan dengan kasus Munir.
“Peran negara nyaris tidak terlihat dalam kasus Munir dan sebaliknya, seperti tidak peduli pada kasus pembunuhan racun arsenik terhadap Munir Said Thalib. Negara membuang waktu selama bertahun-tahun hingga kasus ini berusia 21 tahun pada 7 September ini,” kata aktivis HAM Usman Hamid yang juga direktur eksekutif Amnesty Internasional Indonesia kepada Historia.ID.
Tak kunjung terang-benderangnya siapa dalang utama di balik pembunuhan Munir membuat Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (KASUM) bereaksi atas sikap negara yang dianggap setengah hati. KASUM menegaskan, kasus Munir ialah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) yang direncanakan lewat operasi rahasia. Petinggi intelijen tak hanya menyalahgunakan badan intelijen, tapi juga maskapai penerbangan milik negara.
“Ini jelas pelanggaran HAM berat,” lansir KASUM dalam siaran pers yang diterima Historia.ID.
KASUM didirikan di Jakarta pada Oktober 2004 untuk mendesak pemerintah mengusut tuntas kasus pembunuhan Munir. Komite ini beranggotakan organisasi-organisasi masyarakat sipil yang tersebar di seluruh Indonesia. Sampai saat ini, KASUM terus menyuarakan penyelesaian kasus Munir.
Bagi KASUM, kasus Munir perlu pengusutan tuntas, jujur, dan adil. Kemampuan negara untuk itu tidak diragukan tetapi langkah-langkah hukum selalu tersendat faktor politik. Misalnya, seperti diberitakan Tempo, 4 November 2024, elite DPR RI meminta Komnas HAM menunda penetapan kasus Munir sebagai pelanggaran HAM berat yang dianggap dapat memicu “kegaduhan” di 100 hari pertama pemerintahan Prabowo–Gibran.
Setelah 100 hari pertama pemerintahan Prabowo-Gibran berlalu, gerakan Komnas HAM untuk kasus Munir belum memberi kemajuan. Ini adalah upaya sistematis untuk menutupi kasus Munir. Artinya, intervensi politis elite berhasil melemahkan Komnas HAM. Cara pelemahan seperti ini bukan hal baru. Sedari awal, kebenaran kasus Munir dianggap berbahaya bagi elite.
Pada 25 Agustus 2025, KASUM telah menyurati ketua Komnas HAM, menanyakan informasi penyelidikan kasus Munir. Komnas HAM sendiri telah memberitahukan jaksa agung. Tapi hingga kini tak ada tindak lanjut yang signifikan. Masalah utamanya bukan hanya pada lemahnya kemauan politik, tapi segelintir elite politik turut berperan aktif mengubur dalam-dalam kasus ini. Padahal peluang hukum terbuka, baik melalui investigasi baru kepolisian maupun peninjauan kembali kejaksaan.
KASUM mendesak negara untuk segera membuka kembali kasus Munir. Penyelesaian kasus Munir seharusnya bisa menjadi preseden penting bagi perlindungan pembela HAM. Jika Negara menegakkan keadilan kasus ini, maka akan jadi momentum penghormatan HAM. Sebaliknya, jika dibiarkan berlarut, maka jelas bahwa aktivis bisa diperlakukan sewenang-wenang, dibunuh, dan pelakunya akan tetap bebas. KASUM juga mendesak Komnas HAM dan Jaksa Agung untuk bekerja secara objektif; memastikan penyelidikan projustitia berjalan efektif, objektif serta transparan, dan segera mengumumkan temuannya.
Masih menggantungnya penyelesaian kasus Munir sampai hari ini membuktikan bahwa pola kekerasan negara terus berulang, budaya impunitas dipelihara, dan hukum hanya menjadi alat kepentingan penguasa. Tanpa keberanian menembus tembok kekuasaan dan kepentingan politik, negara akan terus mengalami krisis legitimasi.
“Kami tidak ragu akan kemampuan aparat hukum negara, tapi kami ragu akan kemauan politik negara. Sebab selama ini kalau pun ada langkah-langkah aparat penegak hukum selalu tersendat faktor politik,” pungkas Usman.*













Komentar