top of page

Sejarah Indonesia

Perempuan Amerika Yang Memecahkan Sandi

Perempuan Amerika yang Memecahkan Sandi Jepang

Mulanya Genevieve Grotjan bercita-cita menjadi guru matematika. Perempuan itu justru berhasil memecahkan kode rahasia Jepang.

Oleh :
16 Oktober 2025

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

...

PERTUKARAN informasi menggunakan kode atau sandi sudah menjadi hal umum dalam menyampaikan pesan sensitif dan rahasia. Oleh karena itu, Jepang beralih dari kode yang rumit ke mesin sandi untuk lalu lintas pesan diplomatik.


Pada 1930-an, Jepang membeli mesin sandi Kryha dan Enigma untuk diteliti dan dimodifikasi. Jepang berhasil mengembangkan dua mesin sandi, yakni Angooki Taipu A atau Mesin Sandi Tipe A yang disebut Red Machine oleh Amerika Serikat, dan Angooki Taipu B atau Mesin Sandi Tipe B yang dikenal sebagai Purple Machine.


Ilmuwan komputer, John F. Dooley, mencatat dalam History of Cryptography and Cryptanalysis: Codes, Ciphers, and Their Algorithms, Jepang memperkenalkan Red Machine pada akhir tahun 1930. Mesin sandi tersebut digunakan di sebagian besar kedutaan besar Jepang. Sementara Purple Machine mulai diperkenalkan Kementerian Luar Negeri Jepang pada awal tahun 1939.


“Kedua mesin ini menjadi mesin sandi diplomatik utama Jepang selama lebih dari satu dekade, dan pemecahan sandinya menjadi sorotan utama pekerjaan SIS (Signal Intelligence Service atau unit pemecah sandi Angkatan Darat Amerika Serikat, red.) sebelum Perang Dunia II,” tulis Dooley.


Setelah Perang Dunia I berakhir, Amerika Serikat mengarahkan perhatian ke negara-negara yang memiliki kekuatan untuk mengambil posisi sebagai penguasa dunia. Salah satu yang dianggap sebagai ancaman adalah Jepang.


Menurut sejarawan Amerika Serikat, David Kahn dalam How I Discovered World War II's Greatest Spy and Other Stories of Intelligence and Code, Amerika Serikat memandang Jepang sebagai ancaman karena Jepang telah mengalahkan Cina dan Rusia untuk menjadi penguasa Pasifik Barat. Kemenangan tersebut dicurigai mendorong Jepang untuk membangun armada yang lebih besar dan kuat untuk menyaingi Amerika Serikat. Selain itu, Jepang juga mulai menduduki pulau-pulau di bawah mandat Liga Bangsa-Bangsa yang mengancam rute laut ke Filipina.


“Jepang menjadi perhatian utama kebijakan luar negeri Amerika Serikat, fokus utama perencanaan perang laut Amerika Serikat, dan sasaran utama upaya pemecahan kode Amerika Serikat,” tulis Kahn.


Unit pemecah kode Amerika Serikat fokus pada upaya pemecahan sandi yang digunakan Jepang dalam lalu lintas diplomatik. Setelah Red Machine digunakan di sebagian besar kedutaan besar Jepang, dua analis kriptografi SIS, Frank Rowlett dan Solomon Kullback, meneliti mesin ini pada 1935. Hasilnya, mereka mengetahui bahwa Red berbeda dengan Enigma. Mesin berbasis rotor tersebut memiliki 26 kontak di satu sisi dan sepasang 26 cincin geser di sisi lainnya. Meski tak pernah melihat mesin sandi tersebut, Rowlett dan Kullback mampu membongkar bagaimana Red bekerja melalui analisis beberapa karakteristik pesan yang mereka intersepsi.


Potret Genevieve Grotjan Feinstein, anggota unit pemecah sandi Amerika Serikat yang berhasil memecahkan sandi Jepang dari Purple Machine di tahun 1940. (Wikimedia Commons).
Potret Genevieve Grotjan Feinstein, anggota unit pemecah sandi Amerika Serikat yang berhasil memecahkan sandi Jepang dari Purple Machine di tahun 1940. (Wikimedia Commons).

Pertama, orang Jepang mengonversi pesan menggunakan pemetaan suku kata dan karakter Jepang ke huruf alfabet Romawi yang dikenal sebagai Romanji. Mereka kemudian mengenkripsi dan mengirimkan pesan tersebut. Kedua, Rowlett dan Kullback memerhatikan persentase keenam vokal AEIOUY dalam setiap pesan hampir persis sama dengan persentasenya dalam teks asli. Hal ini membuat mereka berteori bahwa dalam Red Machine, huruf vokal diubah menjadi huruf vokal. Jika demikian, maka 20 huruf konsonan juga diubah menjadi huruf konsonan. Keduanya juga menganalisis urutan teks terenkripsi dan hasilnya menemukan pola huruf-huruf dalam sandi tersebut berjarak interval tetap.


Kendati cukup membuat bingung para pemecah sandi SIS, rahasia Red Machine akhirnya berhasil diketahui. Pada 1936, mereka dapat membaca sebagian besar pesan yang dikirim melalui mesin sandi tersebut. Dua tahun kemudian, SIS membangun mesin otomatisasi proses dekripsi.


Saat SIS terbiasa dengan Red Machine, Jepang mengubah sistemnya pada pertengahan tahun 1938. Hal ini membuat unit pemecah sandi Amerika Serikat kebingungan.


“Pesan pertama dari Purple Machine diintersepsi pada 20 Februari 1939, dan dalam beberapa bulan berikutnya semua Red Machine diganti. Beruntung bagi Amerika, selama proses penggantian tersebut, terdapat beberapa pesan yang diintersepsi dan dienkripsi menggunakan kedua mesin. Hal ini memberikan SIS titik awal untuk memulai proses pemecahan sandi Purple,” tulis Dooley.


Walau memiliki banyak kesamaan desain, Purple Machine jauh lebih canggih dan lebih sulit untuk dipecahkan. Namun, sekali lagi keberuntungan berpihak pada unit pemecah sandi Amerika Serikat. Para analis kriptografi SIS menemukan bahwa Jepang masih menggunakan pembagian 6 dan 20 huruf dari Red Machine. Masalahnya, alih-alih hanya mengenkripsi huruf vokal dengan huruf vokal, subset enam huruf dapat berupa enam huruf apapun dalam alfabet, dan enam huruf yang digunakan diubah setiap hari.


Selama 18 bulan, perjuangan memecahkan Purple Machine telah menghabiskan waktu SIS. Meskipun beberapa misi diplomatik Jepang, terutama di Asia, masih menggunakan Red Machine, tetapi kedutaan di ibu kota besar, termasuk Berlin, London, Moskow, Roma, dan Washington, menggunakan sandi baru secara eksklusif untuk komunikasi paling sensitif.


Sejarawan militer, David Alvarez, menulis dalam Secret Messages: Codebreaking and American Diplomacy, 1930-1945, Purple Machine membagi alfabet Latin menjadi dua kelompok, satu dengan enam huruf dan satu dengan 20 huruf. Huruf-huruf yang membentuk “kelompok 6” dan “kelompok 20” berubah setiap hari, dan mesin mengenkripsi masing-masing kelompok secara terpisah. Dalam beberapa minggu setelah kemunculan mesin baru, tim Rowlett telah menentukan cara pengkodean kelompok 6, dan Leo Rosen, lulusan teknik elektro MIT, merancang perangkat elektromekanis untuk mempercepat proses pemulihan teks asli dari kelompok 6 dalam pesan tertentu.


“Ini menghasilkan kerangka pesan di mana, sesekali, arti kata-kata individu mungkin dapat ditebak. Proses ini, bagaimanapun, rumit karena tampaknya tidak ada hubungan antara teks asli dan nilai-nilai yang berubah-ubah dari huruf-huruf yang membentuk kelompok angka 20. Jika tim dapat mengidentifikasi hubungan tersebut, mereka akan dapat meniru proses itu dan memecahkan sistem,” tulis Alvarez.


Bersama tim kecil yang terdiri dari Robert Ferner, Genevieve Grotjan Feinstein, Leo Rosen, dan Albert Small, Frank Rowlett bekerja selama 14 jam sehari untuk membongkar Purple Machine. Hingga pada Jumat sore, 20 September 1940, Grotjan mendekati meja di bagian Jepang, di mana Rowlett, Ferner, dan Small sedang meninjau upaya terkini dan kebingungan memecahkan Purple. Dengan sopan, Grotjan memotong pembicaraan rekan-rekannya dan meminta mereka datang ke mejanya untuk melihat apa yang telah ditemukannya. Semua orang mendatangi meja wanita berusia 26 tahun tersebut. Grotjan menunjuk huruf-huruf yang tengah dikerjakannya. Tak lama kemudian, rekan-rekannya menyadari maksud dari apa yang ditampilkan oleh Grotjan.


“Small yang bersemangat berlari-lari di sekitar ruangan, tangan terangkat di atas kepalanya. Ferner, yang biasanya tenang, berteriak, ‘Hore!’ Rowlett melompat-lompat, berteriak, ‘Itu dia!’ Semua orang berkerumun. William Friedman masuk. ‘Apa yang terjadi?’ tanyanya. Rowlett menunjukkan temuan Grotjan kepadanya. Ia langsung mengerti. Penemua Grotjan membenarkan teori tim tentang cara kerja Purple Machine. Ini menandai klimaks salah satu analisis kriptografi terbesar sepanjang masa,” tulis Kahn.


Genevieve Grotjan (kanan), yang berperan besar dalam pemecahan mesin sandi PURPLE Jepang, menerima penghargaan. (National Archives termuat dalam buku Secret Messages: Codebreaking and American Diplomacy, 1930-1945 karya David J. Alvarez).
Genevieve Grotjan (kanan), yang berperan besar dalam pemecahan mesin sandi PURPLE Jepang, menerima penghargaan. (National Archives termuat dalam buku Secret Messages: Codebreaking and American Diplomacy, 1930-1945 karya David J. Alvarez).

Lahir di Buffalo, 30 April 1913, Grotjan sempat menempuh pendidikan di Universitas Buffalo. Ia mulanya bercita-cita menjadi guru matematika, tetapi akhirnya bekerja sebagai petugas statistik di Washington bersama Railroad Retirement Board. Ia lalu mengikuti ujian tingkat profesional matematikawan dan ditawari pekerjaan oleh Layanan Intelijen Sandi, yang tidak memberitahunya bahwa ia akan ditugaskan sebagai pemecah kode. Grotjan hanya ditanya apakah tertarik bekerja dengan kode. Setelah melalui beberapa tahapan, ia diterima dan terbukti kompeten dalam menjalankan tugas di unit pemecah sandi.


Ketika itu, Grotjan memerhatikan adanya urutan berulang dalam beberapa teks terenkripsi. Temuan tersebut memberikan akses krusial ke mesin enkripsi yang tertembus. Seminggu kemudian, pada 27 September 1940, Rowlett menyerahkan dua pesan Purple yang telah didekripsi kepada Friedman. Temuan tersebut membuka mata para pemecah kode bahwa pemecahan sandi Purple melibatkan pesan-pesan yang memiliki pengaturan yang sama pada mesin sandi, dan butuh beberapa minggu sebelum tim Rowlett menemukan metode untuk menentukan pengaturan cukup banyak pesan untuk menghasilkan aliran pesan terjemahan yang stabil dan berkelanjutan.


Kemajuan dipercepat ketika Letnan Angkatan Laut Frank Raven menemukan pola pada pengaturan harian. Untuk memaksimalkan kesuksesan mereka, tim Rowlett dengan bantuan Angkatan Laut membangun dua replika mesin sandi otomatis dari Purple Machine. Segera salinan tambahan mesin tersebut dibangun, dengan dua di antaranya dikirim ke OP-20-G, di mana analisis kriptografi Angkatan Laut mengambil alih sebagian beban mendekripsi dan menerjemahkan banjir pesan rahasia yang mulai mengalir ke Washington.


Menurut Kahn, meskipun pemecahan sandi Purple tidak dapat mencegah serangan Pearl Harbor, hal itu tetap memiliki dampak besar pada perang. Bukan perang di Pasifik, melainkan di Eropa.


“Sumber utama informasi kami mengenai niat Hitler di Eropa diperoleh dari pesan-pesan Baron Oshima, duta besar Jepang, dari Berlin... Pemecahan sandi ini berkontribusi besar pada kemenangan dan secara signifikan menyelamatkan nyawa warga Amerika,” tulis Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal George C. Marshall, sebagaimana dikutip oleh Kahn.*

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Banjir Aceh dan Tapanuli Tempo Dulu

Banjir Aceh dan Tapanuli Tempo Dulu

Sumatra Utara dan Aceh dulu juga pernah dilanda banjir parah. Penyebabnya sama-sama penebangan hutan.
bottom of page