top of page

Sejarah Indonesia

Pertanda Dari Gunung

Pertanda dari Gunung

Gunung diyakini sebagai poros dunia. Aktivitasnya dipercaya sebagian kalangan membawa perlambang.

15 Februari 2014

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Kawah Gunung Kelud. Foto: KITV.

PADA 21 dan 22 Mei 1901, Gunung Kelud meletus. Tak lama kemudian, 6 Juni 1901, Sukarno lahir. Bencana ini dianggap banyak orang yang percaya tahayul sebagai “penyambutan terhadap bayi Sukarno” yang kelak akan menjadi orang besar: tokoh pergerakan, proklamator, dan presiden pertama Republik Indonesia.


Mengapa masyarakat Indonesia –khususnya Jawa dan Bali– menganggap gunung (meletus) sebagai pertanda?


Dalam Wastu Citra, YB Mangunwijaya mencatat bahwa gunung dalam banyak kebudayaan selalu dihayati sebagai Tanah Tinggi, tempat yang paling dekat dengan Dunia Atas. Para dewata selalu dibayangkan hidup dalam wilayah puncak-puncak gunung: Olympia (Yunani), Haraberezaiti (Iran), Gerizim (Palestina), dan Meru (India, Jawa, Bali); bahkan sampai membuat gunung buatan seperti bangunan zigurat (Mesopotamia), pagoda (Birma, Thailand), atau stupa (India, Jawa).


Di Jawa, menurut Denys Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Jawa Jilid 3, pemujaan asli yang lebih kuno ditujukan kepada gunung-gunung dan dikaitkan pada diri sang raja. “Pada pemujaan kuno itu tercangkoklah tema Gunung Meru, pusat jagat raya, lalu gagasan bahwa maharaja terkait pada poros itu dan harus dianggap sebagai Penguasa Gunung,” tulis Lombard.


Kendati pemujaan terhadap gunung sudah ada sejak masa awal sejarah Jawa, namun baru pada abad ke-11, dalam kakawin Arjunawiwaha karangan Mpu Kanwa, ditemukan adanya pemujaan gunung di Jawa. Arjunawiwaha menyebut Raja Airlangga memanjatkan pujian kepada Gunung Indraparwata.


Bukti-bukti lebih banyak lagi terdapat pada abad ke-14. Dalam Nagarakertagama, Prapanca memohon perlindungan Parwanatha (penguasa gunung), yang tiada lain adalah Raja Majapahit yang sedang berkuasa, Hayam Wuruk. Mpu Tantular berbuat serupa dalam karyanya Sutasoma dengan mempersembahkan salah satu lagu pujiannya kepada Girinatha (raja gunung), yang mengacu pada dewa tertinggi Siwa sekaligus gunung kosmis. Nama Girindra, tulis Lombard, masuk dalam gelar beberapa raja Majapahit.


Pada abad 10, yang berfungsi sebagai gunung suci adalah Gunung Penanggungan, terletak di Mojokerto dan Pasuruan, Jawa Timur. Sekalipun relatif rendah (1.659 meter), gunung ini terdiri dari sebuah kerucut pusat disertai empat kerucut kecil tambahan, sehingga merupakan perwujudan sistem mata angin kosmis. Dari masa ke masa, di lereng-lerengnya dibangun candi dan pertapaan yang menurut para arkeolog berjumlah tidak kurang 81 situs.


Selain sebagai tempat pertapaan, kaki gunung biasanya menjadi ibukota kerajaan dan tempat pemakaman para raja. Ketika Islam masuk ke Nusantara, kosmologi gunung sebagai kosmis dipertahankan.


“Tema gunung kosmis sebagian diambil-alih karena para wali (penyebar agama Islam, red) juga berusaha menetap (dan dikuburkan) di ketinggian: di Gunung Giri, Gunung Jati (di dekat Cirebon), Bayat (dekat Klaten),” tulis Lombard dalam Nusa Jawa: Silang Jawa Jilid 2. Sunan Gunung Jati, Sunan Giri, dan Sunan Bayat lebih dikenal ketimbang nama aslinya Syarif Hidayatullah, Raden Paku, dan Ki Ageng Pandanaran.


Dalam arsitektur, menurut Mangunwijaya, citra gunung dapat dilihat pada bangunan-bangunan pintu gapura di Bali dan masjid-masjid, bahkan wantilan-wantilan (balai sabung ayam) di Bali.

Lombard mencontohkan, struktur bagian atas salah satu pintu gerbang menuju halaman Masjid Sendang Duwur di Tuban, Jawa Timur, yang dibangun pada abad ke-16, menyerupai gunung kosmis dengan kedua sayap di sampingnya yang terbuat dari bata. “Struktur ini dipinjam dari simbolik Hindu Jawa,” tulis Lombard.


Mengingat kosmologi gunung sebagai poros dunia dan terkait “orang besar yang berkuasa,” tidak mengherankan bila masyarakat Jawa menganggap aktivitas gunung sebagai pertanda. Sukarno lahir tidak lama setelah Gunung Kelud meletus, dan –bisa saja kebetulan– “Raja Jawa” ini jatuh dari kekuasaannya setelah menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), juga ditandai dengan meletusnya Gunung Kelud pada 26 April 1966.


Lantas, pertanda apa dari letusan Gunung Kelud kali ini? Paling tidak, sebentar lagi kita akan pemilihan umum untuk memilih penguasa yang baru.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

Sebagai murid, S.K. Trimurti tak selalu sejalan dengan guru politiknya. Dia menentang Sukarno kawin lagi dan menolak tawaran menteri. Namun, Sukarno tetap memujinya dan memberinya penghargaan.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
bottom of page