- Petrik Matanasi
- 11 Agu
- 2 menit membaca
SUASANA tahun baru masih kental terasa. Maklum, tahun 1923 baru beberapa hari dimulai. Maka nongkrong sambil minum bir dan mengobrol santai menjadi pilihan bagi sekelompok sersan tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) di Bandung.
Minum bir menjadi kebiasaan para serdadu KNIL di Bandung. Kegiatan itu termasuk bagian dari relaksasi yang menjadi kebutuhan mereka sekalipun di masa damai.
Sekelompok sersan tadi lalu memilih tempat untuk minum bir tak jauh dari tempat kerja mereka. Sembari minum bir, mereka mengobrol santai.
Pada gelas bir pertama, isi kepala para sersan itu menjadi enteng. Hidup terasa ringan setelahnya. Setelah gelas bir kedua, mereka sudah terpikir untuk membuat klub sepakbola yang isinya para bintara atau setidaknya serdadu yang menjadi bawahan mereka. Setelah gelas bir ketiga mereka minum, mereka makin serius dengan pembicaraan mereka: uang terkumpul untuk membeli bolanya dan mereka sepakat bertemu kembali pada 29 Februari 1923.
Pertemuan berikutnya pun terjadi. Buku 40 Jaar Voetbal in Ned: Indie 1894-1934 menyebut dalam pertemuan itu terbentuk pengurus. Mereka juga sepakat menamai klub mereka Sparta. Nama itu berasal dari nama sebuah negara kota (polis) yang militeristik era Yunani kuno. Negara kota tersebut mengharuskan anak laki-laki diurus makannya dan dilatih militer sejak dini oleh negara.
Para pengurus tak menutup diri dari pangkat yang bukan sersan. Lantaran terbuka bagi semua personel militer itulah maka tidaklah sulit bagi Sparta mencari pemain. Para sersan itu punya bawahan kopral dan di bawahnya lagi ada prajurit rendahan yang usianya masih sangat muda sehingga masih bisa dibentuk menjadi pemain.
Mereka tak perlu pusing soal tempat latihan. Sebuah tangsi biasanya punya lapangan meski tak seluas lapangan sepakbola standar. Jika ingin lapangan yang sebenarnya mereka bisa menyewa atau sekedar meminjam. Mereka juga tak perlu membayar pemain, sebab para pemain sudah digaji sebagai serdadu. Soal makanan, para serdadu rendahan di tangsi dapat makan dan pakaian juga fasilitas kesehatan.
Klub Sparta akhirnya biasa ikut pertandingan. Sparta bahkan pernah menjadi juara dalam Divisi KNIL yang berpusat di Bandung.
Bataviaasch Nieuwsblad tanggal 23 Februari 1924 memberitakan, Sparta Bandung merayakan ulang tahun pertamanya 8 Maret 1924. Pada tahun pertamanya itu, Sparta sudah terbiasa tanding dengan berbagai klub. Presiden Federasi Sepakbola bernama Bouman menyebut Sparta sebagai "Pejuang Piala". Ada pula yang menyebutnya sebagai "Pemakan Piala".
Meski klub ini terkenal, rupanya nama Sparta tak hanya dipakai klub di Bandung saja. Dalam 40 Jaar Voetbal in Nederladsch Indie 1894-1934, Weiss menyebut sebuah klub bernama Sparta juga di Surabaya pada awal sejarah sepakbola di Indonesia. Sparta Surabaya usianya lebih muda dari Victoria. Pertandingan antara Victoria dan Sparta pada Juli 1896 adalah pertandingan pertama di Surabaya (dan barangkali pertama di Indonesia).
Sparta Bandung juga menyumbang pemain bagi tim Hindia Belanda ketika mengikuti Piala Dunia 1938. Yakni: Prajurit Fredrikus Gerardus Hukom. Anggota Depot Batalyon Pertama di Cimahi ini masih begitu muda ketika berangkat ke Prancis –dengan kapal MS Baloeran– pada April 1938 untuk mengikuti Piala Dunia. Meski Hindia Belanda kalah 0-6 melawan Hongaria pada 5 Juni 1938, pada hari berlaganya tim Hindia Belanda itu Hukom dinaikkan pangkatnya menjadi kopral juru tulis. Hukom dari Sparta dan anggota lainnya dianggap bermain bagus.*












Komentar