- Randy Wirayudha

- 22 Jul
- 4 menit membaca
PERANG Jawa (1825-1830) yang dikobarkan Pangeran Diponegoro tidak hanya jadi salah satu tonggak perlawanan terhadap penjajahan Belanda tetapi semangat dan inspirasinya menjadi refleksi jati diri perjuangan bangsa. Begitulah Menteri Kebudayaan Fadli Zon menggambarkannya dalam pidatonya di pembukaan Pameran “200 Tahun Perang Jawa” di Perpustakaan Nasional RI, Jakarta, Minggu (20/7/.2025) malam.
“Refleksi terhadap Perang Jawa mengajarkan kita bahwa jati diri perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak dibangun dalam sebuah kenyamanan tapi dalam perlawanan menentang penjajahan dan kolonialisme. Ia tumbuh dari semangat rela berkorban, cinta tanah air, keberanian, prinsip yang tak bisa dibeli atau ditundukkan, sebagaimana jati diri Pangeran Diponegoro,” tutur Fadli.
Harapannya, ujar Fadli, generasi muda Indonesia sekarang dan mendatang tak melupakan spirit Pangeran Diponegoro, bukan semata mengingat namanya lewat nama jalan-jalan ataupun hal-hal lain di seluruh Indonesia yang menggunakan nama Pangeran Diponegoro.
Baca juga: Cerita dari Stadion Diponegoro (Bagian I)
Bila pada 2006 TNI AL mengabadikan namanya untuk salah satu kapal korvet baru kelas SIGMA buatan Belanda, KRI Diponegoro (365), sejak tahun 1950 TNI AD sudah menggunakannya untuk menamakan kesatuan teritorialnya di Jawa Tengah, yakni Divisi Diponegoro (kini Komando Daerah Militer/Kodam IV/Diponegoro). TNI AU juga pernah menamai dua pesawatnya di masa Perang Kemerdekaan dengan nama Pangeran Diponegoro.
“Pesawat Diponegoro I pernah dipergunakan oleh Panglima Soedirman untuk mengadakan inspeksi. Pesawat jenis Kawasaki 99 ini jumlahnya sangat sedikit pada waktu Perang Kemerdekaan. Kini tidak ada bekasnya. Sekarang kita tinggal mengingat namanya saja,” tulis majalah Dharmasena No. 08 edisi Januari 1988.
Pangeran Diponegoro I yang Pernah Dijajal Jenderal Sudirman
Hari itu, 27 April 1946, Pangkalan Udara Bugis di Malang (kini Lanud Abdul Rachman Saleh) sibuk dengan persiapan menyambut Jenderal Sudirman. Meski banyak terparkir pesawat bekas Jepang, saat itu semua aset maupun personel Tentara Republik Indonesia (TRI) Oedara Malang di Lanud Bugis masih di bawah Divisi VII/Untung Suropati pimpinan Mayor Jenderal Imam Soedja’i alias belum menjadi bagian dari TRI Angkatan Udara (kini TNI AU).
Jenderal Sudirman dijadwalkan menginspeksi Lanud Bugis sehari sebelum menengok tawanan perang tentara Jepang yang sudah dilucuti pihak republik, sebelum mereka diserahkan ke pihak Sekutu di Surabaya. Dalam kunjungan ke Lanud Bugis, Jenderal Sudirman didampingi Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma dan Komodor Muda Abdul Rachman Saleh, keduanya petinggi Markas Besar TRI Udara.
Begitu tiba, rombongan itu langsung disambut para perwira setempat. Selain Jenderal Imam Soedja’i sendiri, juga ada Ketua BPRI Bung Tomo, Ketua TRI Oedara Malang Lettu Imam Soepeno, dan kepala teknik dan hangar sekaligus Kepala Pertahanan Teknik Udara Lettu Hanandjoeddin.
“Bapak panglima besar, ini para perwira teknik kami. Lettu Imam Soepeno yang mengurus TKR Oedara. Nah ini Lettu Hanandjoeddin yang mengapalai hangar ini,” ujar Jenderal Imam Soedja’i memperkenalkan keduanya pada Jenderal Sudirman, dikutip Haril M. Andersen dalam Sang Elang: Serangkai Kisah Perjuangan H.AS. Hanandjoeddin di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI.
Lettu Hanandjoeddin dan anak buahnya merupakan tim yang memperbaiki dan merawat sejumlah pesawat bekas Rikugun (Angkatan Darat Jepang) yang tertinggal di Lanud Bugis pasca-Perang Pasifik (1941-1945). Satu di antaranya adalah pesawat pembom Jepang yang mereka namai Pangeran Diponegoro I (PD-I).
Pesawat PD-I adalah pesawat bekas Jepang yang sudah dimodifikasi. Menurut Martinus B.S. Susanto dalam Mengubah Hayabusa menjadi Garuda, dasar dari Pesawat PD-I adalah pesawat pembom berat bermesin ganda Nakajima Ki-49 Donryu varian Ki-49-II yang telah dikonversi menjadi pesawat angkut. Pesawat berkode “Army Type 100 Heavy Bomber” itu dirancang dan dibangun pabrikan Nakajima mulai 1941 dengan niat menggantikan pesawat pembom AD Jepang terdahulu, Mitsubishi K-21.
“Pesawat ini semula digadang-gadang lebih ampuh dibandingkan pesawat pembom sekelas yang akan digantikannya. Tetapi ternyata pesawat ini justru jadi bulan-bulanan Sekutu sejak masuk ke arena perang. Banyak yang malah mengakhiri kariernya sebagai pesawat transpor. Pendek kata, pesawat pembom Ki-49 adalah produk gagal,” tulis Martinus.
Usai dikonversi jadi pesawat angkut dengan varian Ki-49-II mulai Januari 1943, Nakajima Ki-49 mulai masuk ke wilayah Indonesia pada September 1943 dan ditempatkan di unit-unit udara AD Jepang di Hollandia (kini Jayapura). Seiring kemunduran Jepang, pesawat-pesawat itu turut jadi pesawat transport untuk gerak mundur dari Papua ke Morotai hingga akhirnya ke Jawa. Salah satunya yang tersisa di Lanud Bugis, yang diperbaiki para teknisi TRI Oedara Malang.
“Sedikitnya terdapat satu pesawat Ki-49 yang diperoleh di lapangan terbang Bugis. Kemungkinan pesawat ini adalah varian Ki-49-II yang sudah dikonversi Rikugun menjadi pesawat transpor. Dugaan ini muncul dengan adanya fakta pesawat-pesawat Ki-49 versi transpor hilir-mudik mengangkut personel maupun perbekalan. Pulau Jawa terhitung daerah belakang yang relatif aman untuk dilewati penerbangan logistik. Selain itu di Pulau Jawa terdapat beberapa fasilitas pemeliharaan pesawat Rikugun,” tambah Martinus.

Menurut Haril, pesawat itu hanya mengalami kerusakan di bagian mesin. Body-nya yang masih baik menjadikan pesawat dengan kapasitas 12 penumpang itu salah satu yang paling diprioritaskan untuk direparasi.
Hanandjoeddin dan tim teknisinya yang terdiri dari Mohammad Oesar, Kartono, Moestari, Matkarim, Naim, dan Moedjiman siang-malam mereparasi pesawat tersebut. Mesin pesawat akhirnya berhasil dihidupkan dan pada 21 Februari 1946 melakoni uji terbang perdana dipiloti Atmo, seorang Jepang yang sudah berpihak ke Indonesia.
“Oleh (komandan TRI Oedara Malang) Imam Soepeno, pesawat ini dinamai Pangeran Diponegoro I atau PD-I,” sambung Haril.
Pesawat itulah yang ingin dijajal Jenderal Sudirman ketika melihat-lihat pesawat-pesawat di Hangar I Lanud Bugis. Kendati banyak yang khawatir akan keselamatan panglima, test flight tetap berjalan lancar. Pak Dirman diterbangkan pilot Atmo dan ditemani teknisi Mohammad Oesar.
Pesawat PD-I sempat “dipesan” untuk digunakan diplomat dan utusan republik, Oemar Slamet, mengantarkan ke Australia untuk sebuah misi diplomasi. Namun kemudian batal. Seiring “sengketa” kewenangan antara Divisi VII dan TRI AU, pesawat PD-I pun dipindahkan ke Lanud Maguwo Yogyakarta via ferry flight pada 5 Agustus 1946 dengan diterbangkan Komodor Muda Agustinus Adisutjipto.
Pesawat PD-I kemudian sering ‘ngadat’. Pada suatu uji terbang pasca-perbaikan yang kesekian kali, pesawat itu mengalami crash landing.
“Karena tidak dapat diperbaiki lagi, maka pesawat ini dijadikan salah satu pengalih perhatian (decoy) di Maguwo. Pesawat ini pun hancur dalam serangan udara pada Agresi Militer Belanda I tahun 1947,” tandas Martinus.
Baca juga: Melarikan Pesawat dari Malang ke Yogya










Komentar