- Randy Wirayudha

- 23 Jul
- 4 menit membaca
“Adakah Diponegoro mencapai kemerdekaan bagi kita? Tidak. Oleh karena itulah perjuangan mereka dinamakan gagal. Tetapi tidak sia-sia perjuangan mereka itu. Tidak sia-sia. Kalau sia-sia perjuangan Diponegoro, kita tidak ada duduk di Istana Negara ini. Ambillah pengajaran yang setepat-tepatnya daripada gagalnya Diponegoro, Suropati, Imam Bonjol, Teuku Umar. Mereka tidak sia-sia berjuang. Perjuangan mereka akan memberi inspirasi kepada kita,” kata Presiden Sukarno dalam peringatan 100 tahun wafatnya Pangeran Diponegoro, disitat Menteri Penerangan Ferdinand Lumbang Tobing dalam Pangeran Diponegoro.
Semangat Diponegoro terus menembus zaman. Bangsa Indonesia generasi-generasi berikutnya masih meneladani dan mengingatnya. Seperti pameran “200 Tahun Perang Jawa” yang dihelat di Perpustakaan Nasional RI pada 20 Juli-20 Agustus 2025.
“Satu hal yang perlu kita terus ingat bahwa perjuangan Pangeran Diponegoro tidak berakhir di ruang penjara. Semangat perjuangannya menembus zaman. Keberanian dan keteguhannya dalam melawan penindasan kolonial menjadi inspirasi abadi bagi generasi-generasi berikutnya. Dalam pengorbanannya kita menemukan makna tentang harga diri, prinsip tekad yang tak tergoyahkan,” ujar Menteri Kebudayaan Fadli Zon dalam pembukaan pameran, Minggu (20/7/2025) malam.
Nama Pangeran Diponegoro tidak hanya diabadikan sebagai nama jalan, nama divisi TNI AD (Kodam IV/Diponegoro), atau nama kapal perang TNI AL, KRI Diponegoro (365). Di masa revolusi kemerdekaan pun nama Pangeran Diponegoro dihidupkan matra udara lewat dua pesawatnya yang peninggalan Jepang, yakni Diponegoro I (PD-I) dan Pesawat Diponegoro II (PD-II).
Dari Soukei jadi Pangeran Diponegoro II
Jika Pangeran Diponegoro I (PD-I) dasarnya adalah pesawat pembom berat Ki-49 Donryu varian II yang telah dikonversi jadi pesawat angkut, Pangeran Diponegoro II (PD-II) basic-nya adalah pembom ringan Kawasaki Ki-48 “Lily” yang juga pesawat bekas Rikugun (Angkatan Darat Jepang). Ki-48 termasuk salah satu yang tertinggal lalu dikuasai ketika pasukan BKR merebut Pangkalan Udara Bugis (kini Lanud Abdul Rachman Saleh) pada 18 September 1945.
“Saat para anggota BKR mengambilalih lapangan terbang Bugis, salah satu yang berhasil mereka peroleh adalah pesawat Ki-48. Para personel Jepang menyebut pesawat ini sebagai Sokei sesuai perannya, pembom ringan (yang bermesin ganda). Karena banyak anggota BKR yang pernah bekerja pada Jepang sebagai teknisi pesawat, maka sewajarnya jika penyebutan ini mereka teruskan berdasarkan kebiasaan,” tulis Martinus B.S. Susanto dalam Mengubah Hayabusa menjadi Garuda.
Sokei dan sejumlah pesawat bekas Jepang itu lalu diprioritaskan untuk diperbaiki agar bisa dipergunakan. Lettu Hanandjoeddin sebagai kepala teknisi dan anak-anak buahnya yang bertanggung jawab memperbaiki.
Jelas bukan perkara mudah untuk memperbaikinya. Sebab, mulanya pesawat itu bukan diperuntukkan medan tropis melainkan daerah dingin karena dibuat untuk mencapai supremasi udara di China dalam Perang Sino-Jepang Kedua (1937-1945).
Kegagalan merebut supremasi udara di China –yang menggunakan pesawat bantuan Uni Soviet bermesin ganda yang lebih mutakhir dan lebih cepat, Tupolev ANT-40 alias Tupolev SB– membuat AD Jepang pada akhir 1937 meminta pabrikan Mitsubishi dan Kawasaki untuk membangun pesawat dengan kekuatan serupa atau lebih dari kepunyaan Tupolev.
“Persyaratan yang diajukan adalah pesawat pembom itu harus bisa dipacu hingga kecepatan 260 knot (480 km/jam) di ketinggian 3.000 meter, kecepatan jelajah 190 knot, mampu membawa bom sampai 400 kilogram dan dapat dioperasikan pada kondisi cuaca dingin. Kondisi ekstrem yang dipersyaratkan ini menyerupai cuaca musim dingin di perbatasan Manchukuo (negara boneka di Manchuria, red.) dengan Siberia,” lanjutnya.
Pada akhirnya, hanya Kawasaki yang menyanggupi karena mendasarkan desainnya dari pengalaman membangun pesawat tempur berat Kawasaki Ki-45 Toryu. Maka jadilah perancang pesawat Takeo Doi membangun pesawatnya di pabrikan Kawasaki untuk kemudian diperkenalkan pada 1940. Pesawat Ki-48 itu dinamai “Soukei”, kependekan terjemahan bahasa Jepang: pesawat pembom ringan AD Type 99 bermesin ganda.
Sebagai pembom ringan sepanjang 12,75 meter dan lebar sayap 17,45 meter, Soukei hanya diawaki empat kru. Kawasaki sukses membangun Soukei dengan kecepatan maksimal 273 knot (505 km/jam) dan ketinggian maksimal 10.100 meter berkat ditenagai mesin kembar 14 silinder berpendingin air Nakajima Ha115. Kawasaki juga sukses melebihi persyaratan, sebab selain dipersenjatai tiga pucuk senapan mesin Type 89 kaliber 7,7 mm, Soukei mampu membawa bom dengan bobot maksimal 800 kilogram.
Langit Indonesia mulai “mengenal” Soukei ketika satuan Sentai ke-75 dan Sentai ke-90 yang berbasis di Kluang, Semenanjung Malaya, memanfaatkannya dalam serangan terhadap kedudukan-kedudukan tentara Belanda di Medan pada Januari 1942 dan Palembang sebulan berikutnya. Pada Maret 1942, pesawat-pesawat Soukei turut jadi kekuatan udara yang menyokong serangan serdadu Jepang ke Bandung hingga menyerahnya pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Kalijati.
Namun, tidak ada catatan mengenai bagaimana satu Soukei bisa tertinggal di Lanud Bugis ketika pangkalan itu direbut pasukan republik pada September 1945. Hanya disebutkan terdapat satu Soukei yang berada dalam kondisi rusak dan lantas jadi pekerjaan rumah tim teknisi TRI Oedara Malang pimpinan Lettu Hanandjoeddin.
“Pesawat itu hanya satu-satunya dari jenis Army Type 99 yang ada di Pangkalan Bugis. Pesawat pembom ringan ini buatan pabrik Nakajima tahun 1940. Air frame-nya asli Kawasaki hasil ciptaan desain Takeo Doi dan Shin Owada. (Tetapi) Motor pesawatnya berlisensi Jerman Daimler-Benz DB-601 A walau buatan pabrik Kawasaki. Ketika Perang Asia Timur Raya berkecamuk, pernah disangka sebagai pesawat (tempur Jerman) Messerschmitt Me-109. Sebetulnya pesawat itu usianya baru enam tahun tapi karena tingginya intensitas penggunaan semasa perang, membuat kondisi mesinnya mengalami kerusakan,” tulis Haril M. Andersen dalam Sang Elang: Serangkai Kisah Perjuangan H.AS. Hanandjoeddin di Kancah Revolusi Kemerdekaan RI.

Dengan susah payah, mesin Soukei itu berhasil diperbaiki hingga bisa menjalani uji terbang pada 21 Februari 1946. Untuk menjadi bagian dari garda dirgantara republik, Soukei itu dinamai Pangeran Diponegoro II (PD-II), sebagaimana yang tertulis di badan pesawat, “P. Diponegoro”, atau di ekornya, “PD II”.
Bersama Pangeran Diponegoro I, Pangeran Diponegoro II turut dipamerkan di Hangar I ketika Panglima Besar Jenderal Sudirman menginspeksi Lanud Bugis pada 27 April 1946. Seiring peralihan kewenangan personel maupun aset Lanud Bugis dari Divisi VII ke TRI Angkatan Udara, pada 4 Oktober 1946 pesawat Diponegoro II diterbangkan Komodor Abdul Rachman Saleh –didampingi teknisi Mohammad Oesar, Matkarim, dan Moestari– ke Lanud Maguwo, Yogyakarta. Di Yogya, pesawat itu seringkali dipergunakan Komandan Panitia Urusan Pengangkutan Jepang dan Tawanan Perang serta Interiran Sekutu (APWI) Mayor Jenderal Sudibyo untuk menjalankan tugas-tugasnya.
“Malang tak dapat ditolak. Usia pesawat Ki-48 Pangeran Diponegoro II pun tidak panjang seperti Pangeran Diponegoro I. Pesawat (PD-II) ini hancur dalam suatu serangan udara pada Agresi Militer Belanda Ke-2 (19 Desember 1948),” tandas Martinus.










Komentar