- Amanda Rachmadita
- 15 Agt
- 4 menit membaca
PERLAWANAN politik terhadap Jepang mulai bergejolak setidaknya pada akhir tahun 1944, saat Perdana Menteri Kuniaki Koiso mengucapkan janjinya di hadapan sidang Parlemen Kerajaan ke-85 tanggal 7 September 1944. Dalam pertemuan tersebut, ia menyatakan bahwa “Hindia Timur” akan diberikan kemerdekaannya “di kemudian hari”.
Perlawanan terbuka terhadap Jepang mendapat hukuman kejam. Oleh karena itu, para pemuda dan tokoh-tokoh nasionalis non-kolaborator seperti Sutan Sjahrir mengambil langkah berjuang melalui gerakan bawah tanah.
“Sjahrir termasuk di antara sedikit politisi sebelum perang yang menolak ambil bagian dalam pemerintahan selama pendudukan Jepang. [...] Karena sangat mecemaskan pengaruh indoktrinasi Jepang terhadap pemuda Indonesia, dengan sendirinya ia menemukan hubungan-hubungan dengan para mahasiswa Fakultas Kedokteran yang paling sedikit terdampak oleh indoktrinasi itu,” tulis Benedict Anderson dalam Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946.
Fakultas Kedokteran satu-satunya lembaga pendidikan tinggi Belanda yang diizinkan beroperasi selama masa pendudukan Jepang. Banyak di antara mahasiswanya berada di bawah pengaruh Sutan Sjahrir.
Sjahrir memutuskan non-kolaborator bukan hanya karena pandangan sosial-demokratnya yang bertentangan dengan fasisme Jepang, tetapi juga karena ia yakin Sekutu akan memenangkan perang. Menurutnya, masa depan bangsa sebagian akan ditentukan oleh sejauh mana orang-orang Indonesia menentang para pejabat pendudukan.
Menurut Rosihan Anwar dalam Sutan Sjahrir: Negarawan Humanis, Demokrat Sejati yang Mendahului Zamannya, Sjahrir tahu persis situasi sulit yang dihadapi oleh Jepang. Ia tidak pernah percaya Jepang akan memenangkan perang melawan Sekutu. Sebab, ia tahu industri perang dan logistik Amerika Serikat jauh lebih unggul ketimbang Jepang. Atas dasar ini, ia melakukan perlawanan untuk mewujudkan kemerdekaan bangsanya.
Dalam pandangan Sjahrir, pemuda Indonesia harus mampu mengambil tindakan tegas untuk membebaskan tanah airnya begitu Jepang kalah perang. Untuk mewujudkan hal ini, ia mengadakan diskusi-diskusi politik dengan kader-kader PNI-Pendidikan, pemuda, dan mahasiswa. “Melalui diskusi, Sjahrir melatih mereka supaya berpandangan luas dan bersikap independen tanpa dipengaruhi fasisme Jepang,” tulis Rosihan.
Sjahrir juga terus mendengarkan siaran radio luar negeri untuk memantau kondisi politik internasional. Melalui pemancar radio rahasia, Sjahrir mengetahui Jepang menuntut perdamaian setelah Hiroshima dan Nagasaki dibom atom Amerika Serikat pada 6 dan 9 Agustus 1945. Sjahrir segera menyampaikan informasi ini kepada Sukarno dan Hatta pada malam hari setelah mereka tiba di Jakarta usai bertemu Marsekal Terauchi di Dalat pada 14 Agustus 1945.
Sjahrir menyadari gerakannya di bawah tanah diawasi Jepang. Ia banyak melakukan perjalanan ke daerah-daerah. Ia juga menerima banyak tamu dari berbagai daerah yang terlibat gerakan bawah tanah. Rosihan mencatat, agar tidak memberikan alasan kepada Jepang untuk menangkapnya, Sjahrir bersedia mengajar di Asrama Indonesia Merdeka yang dikelola oleh Wikana dan Shigetada Nishijima, asisten Laksamana Tadashi Maeda.
Menurut Des Alwi, anak angkat Sjahrir, dalam Friends and Exiles: A Memoir of the Nutmeg Isles and the Indonesian Nationalist Movement, gerakan bawah tanah mengadakan pertemuan di sejumlah rumah yang berbeda. Biasanya sebelum rapat, sebuah tangga bambu dipasang sebagai persiapan untuk melarikan diri jika Kenpeitai datang untuk menangkap para peserta rapat.
Namun, pada suatu ketika, saat pertemuan rahasia diadakan di sebuah rumah di Manggarai, beberapa pemuda yang hendak mencuri buah di rumah tetangga mengambil tangga darurat tersebut. Tak berselang lama, tiba-tiba terdengar teriakan, “maling, maling” dari arah tetangga rumah dan dalam sekejap pertemuan rahasia itu bubar. Beberapa peserta bersembunyi, sementara yang lainnya melarikan diri dengan sepeda.
Pada awal Agustus 1945, gerakan bawah tanah mulai bersiap untuk beraksi. Menurut Des Alwi, para anggota gerakan bawah tanah percaya sebelum Jepang menyerah, mereka harus merebut kekuasaan dan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. “Cara untuk melaksanakannya adalah melalui milisi rakyat di luar kota, dibantu oleh PETA dan siapa saja yang memiliki senjata api. Kelompok kami dipimpin oleh Abubakar Lubis dan bertanggungjawab langsung kepada Chaerul Saleh,” tulisnya.
Tugas mulai dibagikan kepada masing-masing anggota, salah satunya mempersiapkan jaringan di stasiun Radio Jakarta Hosokyoku untuk menyiarkan proklamasi kemerdekaan. Tugas ini diberikan kepada Des Alwi. Teks proklamasi ini sendiri berbeda dengan teks yang nantinya akan dibacakan oleh Sukarno pada 17 Agustus 1945. Teks proklamasi yang akan disiarkan pemuda sebelum tanggal 17 Agustus sudah siap untuk ditandatangani oleh Sukarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Chaerul Saleh, dan Sukarni (mewakili Tan Malaka).
Namun, pada malam 14 Agustus, Kenpeitai, dengan bantuan Kenpeiho, berjaga-jaga di sekitar Radio Jakarta Hosokyoku. Akibatnya, beberapa anggota gerakan bawah tanah di dalam studio tidak dapat keluar karena tidak memiliki tanda pengenal dengan huruf Jepang yang dikeluarkan oleh Kenpeitai. Di tengah menjalankan misi ini, Des Alwi dan rekannya disergap oleh dua kendaraan Jepang yang ditumpangi Kenpeitai. Para pemuda itu digiring ke kantor Kenpeitai di Gambir untuk diinterogasi.
“Sore berikutnya, 15 Agustus, lima orang lainnya dari kelompok saya diantar pulang... Dari interogasi mereka malam itu, pihak Jepang tentu saja mengetahui bahwa banyak orang Indonesia sudah mengetahui tentang bom atom yang dijatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki, dan Jepang akan segera menyerah kepada Sekutu,” tulis Des Alwi.
Dorongan untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia semakin menguat di kalangan pemuda. Sekembalinya Sukarno dan Hatta dari Rengasdengklok pada 16 Agustus malam, sebuah pertemuan diadakan di rumah Laksamana Tadashi Maeda untuk menyusun teks proklamasi.
Menurut Rudolf Mrazek dalam Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia, sebuah delegasi menemui Sjahrir pada 17 Agustus dini hari dan memintanya untuk hadir dalam pertemuan di rumah Laksamana Tadashi Maeda. Akan tetapi Sjahrir mengatakan, “dengan sendirinya... Saya tidak dapat menerimanya.”
“Menurut catatan lain yang sedikit berbeda, atau mungkin sebuah catatan tentang misi lain kepada Sjahrir pada saat yang sama, sebuah informasi telah dikirimkan kepada Sjahrir tentang apa yang sedang terjadi. Memang, sebuah kelompok khusus telah dikirim untuk mencarinya, tetapi ia tidak ditemukan,” tulis Mrazek.
Sjahrir tidak hanya tak hadir dalam pertemuan untuk menyusun teks proklamasi di rumah Laksamana Maeda. Ia juga tak tampak ketika Sukarno membacakan teks proklamasi pada 17 Agustus 1945.*













Komentar