- Petrik Matanasi
- 22 Agu
- 3 menit membaca
KUMI Malende senang bukan kepalang. Masa kelam mengerikan di bawah kekuasaan Jepang, yang dialaminya bersama ribuan eks serdadu tentara kolonial Koninklijk Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) lain, telah lewat. Tak hanya nyawanya selamat –hal yang tak didapatkan ribuan tawanan lain yang tewas, Kumi juga kembali bisa mendapatkan pemasukan rutin dari gaji pensiunan KNIL-nya. Namun usai mengurus uang pensiunannya, dalam perjalanan pulang Kumi justru dicegat segerombolan pemuda.
Kumi tak pernah terpikir bakal mengalami hal itu. Sebab, hidupnya sebagai serdadu KNIL di zaman kolonial Belanda termasuk enak. Seperti juga kebanyakan orang biasa di zaman Hindia Belanda, Kumi menganggap pemerintah kolonial Hindia Belanda adalah negara yang berkuasa sah di Nusantara. Kebanyakan dari mereka tak terpikir akan kemerdekaan bangsa Indonesia, hanya kaum pergerakan yang menginginkan kemerdekaan Indonesia. Bekerja kepada pemerintah kolonial sebagai pegawai negeri atau tentara KNIL kala itu sama saja seperti jadi PNS dan TNI saat ini.
Begitu pensiun, Kumi masih menikmati “kelezatan” hidup dengan uang pensiunan yang diterimanya tiap bulan. masa tuanya dihabiskannya di rumahnya yang terletak di daerah Cempaka Putih, Jakarta. Itu terus berlangsung sampai akhirnya Jepang datang dan menghancurkan Hindia Belanda. Jadi setelah maret 1942, uang pensiunnya terhambat. Alhasil dia harus menjual barang-barang yang ada di rumahnya bertahan hidup.
Setelah Jepang kalah, perlahan Belanda kembali bersama sedikit tentara KNIL. Lewat Nederlandsch Indisch Civiel Administratie (NICA), Belanda hendak mengambil alih pemerintahan sipilnya. Maka sejak 1945, waktu KNIL mulai memperkuat diri di bekas tangsi Batalyon Infanteri ke-10 era Hindia Belanda di Pejambon –kini halaman belakang Hotel Borobudur yang kala itu masih disebut sebagai Batalyon X, para pensiunan KNIL pun hendak diurus lagi uang pensiunnya.
Kumi dan pensiunan KNIL lain pun ke Batalyon X untuk mengurus uang pensiun. Sepulang dari Batalyon X, Kumi dan lainnya pun gembira karena akan punya pemasukan lagi pada bulan-bulan berikutnya. Namun belum juga sampai di rumahnya di Cempaka Putih, di sekitar jembatan Tangsi Penggorengan (kini di sekitar Jalan Suprapto dan Bungur), masih dekat Senen, Kumi dicegat segerombolan pemuda.
Pemuda-pemuda yang mencegatnya juga menggeledah kantongnya. Mereka menemukan surat pensiunan tentara KNIL dan juga uang NICA. Bermodal penemuan dua benda itu, para pemuda yang anti-Belanda itu tak merasa bersalah memukuli Kumi. Kumi lalu diikat dan diseret. Para pemuda yang merasa diri pejuang Republik Indoneisa itu tak hanya menyiksa Kumi di daerah Tangsi Penggorengan saja, tapi juga membawa Kumi ke rumahnya untuk terus disiksa.
“Setiba di rumah istri dan delapan anaknya, baik yang besar maupun yang kecil termasuk bayi, dibunuh dan dimasukkan ke dalam sumur,” catat Agnes Samsoeri dkk. dalam Inspektur Jenderal Polisi Drs Ursinus Elias Madellu. “Hanya anak tertua, Karel Malende berusia 16 tahun yang selamat.”
Kisah miris keluarga Kumi itu diperoleh dari pengakuan Ursinus Elias Madellu (1922-2012), yang juga berasal dari Sulawesi Utara. Namun keluarga Kumi hanya satu dari sekian keluarga yang jadi korban di masa yang oleh orang Belanda disebut sebagai Masa Bersiap itu.
Tak jauh dari rumah keluarga Kumi, juga di Cempaka Putih, keluarga Tulis dan sepasang suami-istri yang sedang bertamu di rumah mereka pun dihabisi. Hanya anak laki-laki bernama Edy Tulis yang selamat. Tuduhan dari para pemuda yang melakukan pembantaian itu adalah mereka pro-Belanda.
Stigma orang Sulawesi Utara sebagai pro-Belanda membuat banyak orang Sulawesi Utara di Jakarta mengungsi ke Batalyon X. Di antara pemuda-pemudanya lalu rela menjadi serdadu KNIL.
Sejak September 1945, orang-orang Ambon, Minahasa, dan Indo-Eropa adalalah golongan paling rawan untuk persekusi pemuda-pemuda pendukung RI yang kesal karena kedatangan tentara sekutu (Inggris) di Indonesia. Sekutu ketika itu sangat mendukung kembalinya Belanda untuk berkuasa di Indonesia yang baru memerdekakan diri.
“Pada suatu hari, tanggal 9 September 1945, kami bangun pagi dan terkejut melihat di mana-mana di pohon, dinding, kantor dan sebagainya, tertempel pamflet yang berbunyi Maklumat Perang Kepada Indo, Ambon dan Manado. Dalam pamflet itu dikatakan bahwa kelompok-kelompok tersebut harus diboikot karena merupakan musuh bangsa Indonesia. Mereka harus dibunuh di tempat kediaman mereka, harus dilingkari kawat berduri, sumur dan air minum mereka harus diracuni, setiap pedagang dilarang menjual apapun kepada mereka,” kenang Johannes Dirk de Fretes, pemuda Ambon pro RI, dalam Kebenaran Melebihi Persahabatan.
Para pemuda pelaku persekusi umumnya berpendirikan rendah. Mereka tak tahu bahwa dari kalangan Ambon, Minahasa, bahkan Indo pun ada yang berseberangan dengan Belanda dan berjuang dalam pergerakan nasional Indonesia dan mempertahankan kemerdekaannya. Ketidaktahuan itu membuat mereka tak ambil pusing dalam mempersekusi ketiga kalangan tadi.
Padahal, anak tertua Kumi pun ada di pihak yang berbeda dengan ayahnya. Karel, nama anak itu, ikut dalam barisan pemuda pejuang RI.
“Saat itu, Karel berada di Karawang ikut berjuang melawan penjajah bersama laskar KRIS,” catat Agnes dkk.
KRIS adalah Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS), yang –berisi banyak pemuda Minahasa dan Sulawesi lain– berjuang di pihak RI. Karel sendiri, disebut dalam biografi Madellu, kemudian aktif di TNI dan pernah di Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD, kini Kopassus) dengan pangkat terakhir kolonel.












Komentar