- Petrik Matanasi
- 19 Agu
- 3 menit membaca
PARA pemuka masyarakat Maluku di Jakarta –mulai dari Gubernur Maluku Mr. Johannes Latuharhary (1900-1959) hingga bawahannya– pusing dengan keadaan pasca-proklamasi. Meski mereka mendukung kemerdekaan Indonesia, ada saja orang Ambon yang menjadi korban kengawuran kaum muda bersenjata yang –minim pikir panjang– disebut mereka “Pelopor”. Orang-orang Ambon dipersekusi, bahkan sampai ada yang kehilangan nyawa. Mulai dari Boma Latuperisa yang dibunuh di Jatinegara, Boetje Tahalele yang dibacok, dan keluarga Lopies yang dianiaya.
Ada pula isu tentang organisasi orang Ambon yang katanya hendak menyabot proklamasi kemerdekaan Indonesia dan menginginkan kembalinya Belanda ke Indonesia. Johannes Dirk de Fretes, asisten Latuharhary, pun mau tak mau harus menemui seorang pemuda Ambon bernama August Isaac Tanasale yang dikenal sebagai Nono Tanasale.
“Itu nonsens, Sekutu dan Belanda pasti kembali. Orang Ambon di Jakarta tidak perlu bikin apa-apa. Kita memang mempunyai organisasi jaga malam,” kata Nono Tanasale, dikutip Johannes Dirk de Fretes dalam kesaksiannya di masa revolusi di buku Kebenaran Melebihi Persahabatan.
Nono menambahkan, di bekas tangsi Batalyon X Kwitang memang telah bersiap bekas KNIL dan relawan baru di bawah komando Belanda. Namun jumlah mereka belum banyak.
“Apa Ale (kamu) sendiri tahu, siapa yang mengatur ini dari pihak Belanda?” tanya Dirk de Fretes.
“Opsir Intelijen orang Jawa bernama Mayor Santoso yang nanti datang,” kata Nono.
Mayor Santoso yang dimaksud adalah Mayor Artileri KNIL Soerio Santoso. Ia tinggal di Jalan Tosari, kawasan Menteng, Jakarta. Mayor ini pernah diajak untuk ikut mendukung Republik Indonesia saat kemerdekaan belum lama diproklamasikan. Soebadio Sastrosatomo pada September 1945 pernah berusaha mendatanginya dan bicara soal kemerdekaan Indonesia, namun Mayor Santoso menolak.
“Itu terserah kepada kaum nasionalis,” kata Mayor Santoso yang ketika itu telah menjadi penasehat militer Sekutu, dikutip Soebadio Sastrosatomo dalam Perjuangan Revolusi.
Setelahnya, posisi mereka menjadi jelas. Mayor Soerio Santoso (1898-1974) adalah bekas perwira KNIL dari golongan non Eropa yang pangkatnya paling tinggi di Jakarta dan sekitarnya. Di kalangan bekas KNIL, terutama di kalangan serdadu Jawa, dia cukup dikenal.
Di zaman pendudukan Jepang, Mayor Santoso dan Nono Tanasale adalah bagian gerakan bawah tanah anti-militer Jepang. Mayor Santoso kemudian diberi pangkat Letnan Kolonel dalam kemiliteran Belanda dan pangkat terakhirnya kolonel. Nono juga akhirnya kembali ke KNIL dan terakhir di KNIL berpangkat Adjudant yang setara Pembantu Letnan.
Keduanya lalu terkait dengan Batalyon X. Batalyon X berisikan pendukung Kerajaan Belanda yang ingin kembali menguasai Nusantara yang belum lama berubah menjadi Republik Indonesia.
Batalyon X yang sebenarnya merujuk pada bekas tangsi Batalyon Infanteri ke-10 KNIL sebelum 1942. Setelah Perang Dunia II usai, bekas tangsi kesatuan itu jadi markas Batalyon Infanteri ke-1 KNIL yang sebelumnya bertugas di Balikpapan dan Tarakan. Belakangan, menurut Hadjiwibowo dalam Anak Orang Belajar Hidup Volume 3, lokasinnya menjadi bagian pekarangan belakangan Hotel Borobudur.
Batalyon X, yang kemudian kondang sebagai “Andjing NICA”, menjadi musuh para pemuda-pejuang Republik Indonesia. Pertempuran-pertempuran kecil di antara mereka sering terjadi di sekitar Senen dan Kwitang.
Namun, serdadu KNIL di Batalyon X itu sulit terkalahkan. Mereka berhasil menghalau pemuda-pemuda Indonesia hingga jauh dari “pagar rumah” mereka.
“Pada awal revolusi Indonesia di Jakarta, pihak Republik tidak menyadari bahwa garnisun Batalyon ke-10 hanya terdiri dari 10 karabin,” catat R. Jacobs di koran De Telegraaf tanggal 3 Juli 1956.
Keterbatasan senjata mau-tak mau membuat para kombatan di Batalyon X berhemat peluru dengan bertempur ala sniper. Selain itu, keterbatasan –termasuk jumlah personel di masa awal setelah Indonesia merdeka– membuat mereka jauh lebih bersungguh-sungguh.
Sebaliknya, penyerangan yang dilakukan pihak Republik Indonesia tak pernah terarah dengan baik ke Batalyon X. Padahal, Batalyon X minim senjata dan personelnya tidak terlalu banyak pada bulan-bulan pertama kemerdekaan Indonesia. Letak Batalyon X pun tak lebih dari empat kilometer dari rumah Presiden Sukarno tempat proklamasi dibacakan.













Komentar