Hasil pencarian
9591 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Dari Pemujaan hingga Bisnis
CALIGULA, Kaisar Romawi (37-47 M), pernah hampir menjadikan kudanya, Incitatus, sebagai konsul (salah satu pimpinan Kekaisaran Romawi). Caligula menyanjung kudanya lantaran beberapa kali menang balap chariot (kereta kuda). Balapan ini mulai diminati masyarakat Romawi dari semua kalangan sejak abad ke-6 SM. Beberapa Kaisar Romawi bahkan menggunakan ajang ini sebagai alat politik untuk mempertahankan kekuasaan. Pada 530 SM, Raja Lucius Tarquinis Superbus memerintahkan pembangunan Circus Maximus, arena khusus untuk balap chariot. Dia menginginkan kemegahan Kerajaan Romawi termanifestasi dalam salah satu amphiteater (arena) tertua dan terbesar di Roma ini. “Panjang bangunan ini 1800 kaki, lebarnya 600 kaki. Bentuknya seperti leter U panjang. Di tengah lapangan amphiteater ini terdapat semacam barikade panjang, disebut Spina,” tulis majalah Varia , 20 September 1961.
- Makanan Jiwa dari Sang Pematung
Bagi sebagian besar warga Jakarta, patung Selamat Datang di bundaran Hotel Indonesia, patung Dirgantara di Pancoran, atau patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng tentu tak asing lagi. Seniman Edhi Sunarso menjadi pelaksana penggarapan ketiga patung monumental tersebut. Lahir di Salatiga, 2 Juli 1933, perjalanan Edhi di dunia seni menyimpan kisah unik. Dalam katalog pameran “The Monumen”, digelar di Galeri Salihara, Agustus 2010, Edhi menceritakan, menjadi seniman tak pernah dia bayangkan sebelumnya.
- Terowongan Neyama Romusha
PADA 17 November 1942, Sungai Brantas meluap, merendam 150 desa dan 9.000 rumah di Kabupaten Tulungagung. Luapan air juga menghancurkan areal pertanian. Genangan air di daerah hilir membentuk tanah berawa yang luas, yang oleh penduduk setempat disebut “campur darat.” Untuk mengatasinya, pemerintah Karesidenan Kediri membangun sebuah terowongan melalui wilayah perbukitan untuk menguras air yang masih menggenangi rawa-rawa ke Samudra Hindia. Selain itu, diharapkan terowongan itu bisa menjaga tanaman padi, yang sedang diintensifkan Jepang untuk menyuplai pasokan makanan tentaranya di medan perang.
- Kain Kulit Kayu
SEHELAI kulit kayu ivo terentang di atas balok kayu kanore . Farida, berusia 54 tahun, memukulkan ike di genggaman tangannya ke lembaran kulit kayu itu. Irama pukulannya statis, layaknya sedang menumbuk padi. Terhantam ike , kulit kayu menipis dan melebar. "Ini baru tahap awal setelah pemotongan dan pengeratan kulit kayu dari tungkainya. Proses pemukulan dengan ike memakan waktu sehari," ujar Farida, seorang pengrajin kulit kayu asal Desa Pandere, Sulawesi Tengah, saat dijumpai di Museum Tekstil, Jakarta.
- Antara Padi Bulu, Cere, dan Horai
PADI yang ditanam di Jawa sebelum perang secara kasar dikelompokkan menjadi dua jenis: pade cere (padi tak berambut) dan padi bulu (padi berambut). Orang Jawa lebih menghargai padi bulu ketimbang padi cere karena lebih enak dan dianggap bermutu lebih tinggi, sehingga harganya pun lebih mahal. Ketika menduduki Indonesia, pemerintah militer Jepang mendorong petani agar menanam padi cere yang lebih produktif. Setiap hektarnya, padi cere bisa menghasilkan panen lebih tinggi karena tahan terhadap musim kering dan bisa tumbuh di tanah yang kurang subur.
- Si Putih yang Mendunia
KEMEJA Arrow pernah bikin Sukarno dan Sjahrir bertengkar semasa sama-sama jadi tawanan Belanda. Peristiwa tersebut terjadi saat Sukarno meminta kemeja Arrow kepada penjaga tahanan. Karena jenggah, Sjahrir berucap: "Kamu ini kan presiden, kenapa minta-minta seperti itu? Jaga martabat, Bung!" Kisah tersebut memang hanyalah fiksi, tertulis dalam novel Presiden Prawiranegara garapan Akmal Nasery Basral. Meski demikian, kecintaan Bung Karno terhadap kemeja Arrow adalah sebuah kenyataan. Dalam Menyingkap Tirai Sejarah Bung Karno & Kemeja Arrow , sejarawan Asvi Warman Adam merujuk catatan Maulwi Saelan, ajudan Presiden Sukarno, yang menuliskan saat keluar istana Bung Karno meninggalkan banyak buku dan benda lainnya seperti arloji dan kemeja Arrow.
- Gejolak Revolusi di Selatan Jakarta
JEANETTE Tholense mengenangnya sebagai peristiwa kelam dalam hidupnya. Suatu siang Oktober 1945, segerombolan pemuda bersenjata menggeruduk rumah orangtuanya di Kerkstraat (kini Jalan Pemuda), Depok. Selain merampok, para pemuda prokemerdekaan itu membunuh salah seorang saudaranya, Hendrick Tholense. Merasa tak aman lagi, Jeanette dan keluarganya mengungsi ke rumah saudara di Jalan Bungur. Alih-alih terlindungi, mereka malah menjadi tawanan para pemuda. “Semua disuruh buka baju. Yang lelaki tinggal pakai celana kolor dan yang perempuan tinggal pakaian dalam saja. Kami digiring ke Stasiun Depok Lama,” ujar perempuan kelahiran Bandung, hampir 76 tahun lalu.
- Berlayar Sampai Madagaskar
Orang Indonesia adalah nenek moyang penduduk Madagaskar, demikian penelitian yang dimuat dalam jurnal Proceedings of the Royal Society B , 21 Maret 2012. Ahli biologi molekuler Universitas Massey Selandia Baru, Murray Cox, memimpin penelitian untuk menganalisis DNA mitokondria yang diturunkan lewat ibu dari 2.745 orang Indonesia yang berasal dari 12 kepulauan dengan 266 orang dari tiga etnis Madagaskar (Malagasi): Mikea, Vezo, dan Andriana Merina. Menurut Cox, seperti dikutip The Australian (21/3/2012), hasil riset tersebut menyimpulkan bahwa sekira 30 orang perempuan Indonesia menjadi pendiri dari koloni Madagaskar 1.200 tahun silam. Mereka disertai beberapa lelaki yang jumlahnya lebih sedikit.
- Nusantara dalam Kitab Tiongkok
SEJARAH kuno Indonesia tak bisa dilepaskan dari sumber-sumber Tiongkok. Selama ini, sejarah ditulis berdasarkan sumber Tiongkok yang dihimpun oleh W.P. Groeneveldt dalam Notes on Two Malay Archipelago and Malacca Compiled from Chinese Resources (1880), yang baru-baru ini diterjemahkan menjadi Nusantara dalam Catatan Tionghoa . Berdasarkan buku ini pula disusunlah buku babon Sejarah Nasional Indonesia II: Zaman Kuno (1975 dan 1984). Dibanding karya Groeneveldt, buku karya Prof Liang Liji ini, menggunakan sumber-sumber primer yang lebih kaya, yaitu kitab-kitab sejarah Tiongkok kuno.
- Dari Buaya Keroncong hingga Buaya Darat
BAGI penikmat dunia hiburan tanah di zaman baheula, namanya tentu tak asing lagi. Dia tergolong artis serba-bisa. Menyanyi. Berakting. Tampil di atas panggung. Padahal kariernya dimulai dari seorang kacung dalam sebuah rombongan sandiwara di Bandung, melakukan pekerjaan menyapu hingga membersihkan alat musik. Tan Tjeng Bok masih berumur 13 tahun kala itu. Di rombongan sandiwara De Goudvissen ini, dia tak mendapat gaji. Hanya makannya ditanggung. Imbalan paling berarti baginya adalah alunan suara dari sang penyanyi pujaan Ben Oeng (Beng). Tjeng Bok memendam hasrat pada dunia tarik suara.
- Kekecewaan Seorang Jepang
Pada 15 Februari 1958, Presiden Sukarno menyerahkan sebuah teks kepada Shigetada Nishijima untuk disimpan di biara Buddha Shei Shoji di Minatoku, Tokyo. Teks itu berisi kenangan Sukarno kepada dua orang Jepang yang membantu perjuangan Indonesia: Ichiki Tatsuo dan Yoshizumi Tomegoro. Di biara Buddha itu kemudian dibuat monumen Sukarno (Soekarno hi) bertuliskan: "Kepada sdr. Ichiki Tatsuo dan sdr. Yoshizumi Tomegoro. Kemerdekaan bukanlah milik suatu bangsa saja, tetapi milik semua manusia. Tokyo, 15 Februari 1958. Soekarno."
- Kisah Amir Sjarifoeddin dalam Pelarian
DI tengah pelarian, Amir Sjarifoeddin jengkel terhadap kelakuan anak buahnya. Waktu itu mereka –yang sedang kekurangan makanan– menyinggahi sebuah desa yang tak memusuhi kelompok Amir. Menyaksikan hamparan pohon kelapa yang luas ditambah rasa dahaga, pasukan rombongan Amir jadi kalap. Beberapa orang memanjat pohon kelapa dan mengambil buahnya. “Mengetahui itu, Bung Amir bukan berterimakasih tetapi malah marah. Ia bergegas keluar rumah, lalu pestolnya dimuntahkannya ke atas tiga kali,” kenang Fransisca Fanggidaej dalam Memoar Perempuan Revolusioner. Turun! Turun! Amir berteriak seraya mengancam akan menembak anak buahnya yang memanjat dan memetik kelapa di pekarangan desa itu jika tak mau turun. Dalam pandangan Fransisca –aktivis Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo) yang ikut long march rombongan Amir– meski sebagai buronan politik kelas kakap, Amir masih memperlihatkan keluhurannya sebagai seorang negarawan. Di tengah pelarian kelompoknya dari kejaran tentara Republik, Amir menetapkan ketentuan-ketentuan yang harus dipatuhi. Harry Poeze dalam Madiun 1948: PKI Bergerak mencatat instruksi Amir, antara lain: desa-desa yang telah diduduki penduduknya harus dihormati; kerusakan di tempat pemondokan harus diganti rugi; sebelum berangkat meninggalkan rumah persinggahan harus dibersihkan terlebih dahulu; semua makan-minum yang didapat harus dibayar kembali. Menurut Fransisca ketentuan-ketentuan itu dilakukan dengan sadar dan patuh selama dua bulan masa pelarian. Bukan saja oleh anggota pasukan tapi juga oleh seluruh anggota rombongan. Tidak boleh ada satu batang lidi pun yang diambil dari rakyat. “Itulah sekilas tentang Bung Amir. Kepribadiannya yang demikian luhur itu membuatku segan untuk mendekat. Tidak berani! Bukan takut, tapi segan,” ujar Fransisca. Kodrat Alam Banyak yang heran atas pilihan politik Amir; bersekutu dengan Musso dan melawan Republik. Keputusan itu kelak menjerumuskan dirinya dari kedudukan terhormat menuju akhir hidup yang tragis. Sebelum terjun dalam petualangan yang penuh bahaya di Madiun, Amir Sjarifoeddin sejatinya adalah figur cemerlang. Soe Hok Gie dalam Orang-orang di Persimpangan Kiri Jalan mencatat, Amir Sjarifoeddin merintis namanya di pentas pergerakan nasional takala menjadi bendahara dalam Kongres Pemuda II yang mencetuskan Sumpah Pemuda. Dalam perhelatan akbar itu, Amir yang bermarga Harahap mewakili organisasi Jong Batak . Kemudian, dia menjadi pengikut Sukarno dalam Partai Indonesia (Partindo) dan akhirnya memimpin Gerakan Rakyat Indoneisa (Gerindo). “Ia seorang Muslim yang menjadi Kristen,” tulis Gie. Pada zaman Jepang, Amir dipenjarakan karena ikut gerakan bawah tanah. Di masa perang kemerdekaan, antara 1947–1948, Amir menjabat sebagai Perdana Menteri RI merangkap Menteri Pertahanan. Mundur dari pemerintahan, Amir terlibat dalam gerakan PKI Musso di Madiun. Di struktur partai, dia adalah anggota Politbiro CC PKI. Presiden Sukarno dalam rapat kabinet yang akan memutuskan tindakan terhadap para “pemberontak” Madiun, sesungguhnya merasa terkejut dengan keterlibatan Amir dalam Insiden Madiun 1948. “ Wat wil die Amir toch ?” (Amir itu maunya apa?), tanya Sukarno sebagaimana disaksikan Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel T.B. Simatupang. Simatupang sendiri adalah perwira tinggi TNI yang menaruh hormat secara pribadi terhadap Amir yang dinilainya sebagai seorang pemikir yang brilian. Seorang orator yang dalam keulungan berpidato hanya kalah oleh Bung Karno. Seorang pejuang dan pekerja yang tabah dan tidak memikirkan kepentingan diri sendiri. “Mereka yang pernah mengenalnya dari dekat akan tetap memelihara kenang-kenangan kepada seorang manusia yang baik dan peramah,” tutur Simatupang dalam otobiografinya Laporan dari Banaran . Hal senada juga dikenangkan Abu Hanifah, rekan Amir di masa muda yang menjadi tokoh Partai Masyumi. Amir dianggapnya sebagai pribadi menyenangkan: kawan yang baik, suami yang setia, dan bapak yang penyayang. Di sisi lain, kelemahan Amir terletak pada emosi dan ambisinya yang sering menjadi pedoman yang salah bagi sikap dan perbuatannya. “Ia seorang pejuang yang kecewa dalam cita-citanya buat kemerdekaan tanah airnya. Rasanya ia mengharap terlalu banyak dari manusia-manusia sekelilingnya,” ungkap Abu Hanifah dalam “Revolusi Memakan Anak Sendiri: Tragedi Amir Sjarifoeddin” termuat di Manusia dalam Kemelut Sejarah . Menurut Simatupang, pasca menandatangi Perjanjian Renville, akhir Januari 1948, Amir mengalami kekecewaan besar. Perjanjian itu dianggap merugikan Republik sementara Masjumi, partai yang menyokong kabinet Amir Sjarifoeddin, menarik dukungannya. Amir lantas menyerahkan mandatnya sebagai perdana menteri dan menjadi oposisi. Belakangan ketika Amir sampai di dalam tahanan Yogya, orang tanya padanya, mengapa dia lakukan pemberontakan. Sebagaimana dilansir koresponden khusus Sin Po 5 Februari 1949, Amir cuma jawab: “sudah kodrat alam”. Di Hadapan Gatot Soebroto Ketika tertangkap di desa Klambu, Grobogan, akhir November 1948, Amir dibawa ke Solo. Di Solo, Amir dan beberapa rekannya dihadapkan kepada Gubernur Militer Kolonel Gatot Subroto. Di rumah Gubernur Militer, Amir berpakaian piyama compang-camping. Sementara Gatot, berpakaian perwira militer lengkap dan duduk di kursi yang empuk dan serba mewah. Sembari menyuguhkan kopi, Gatot menginterogasi tawanan-tawanan politik yang dipimpin Amir. Gatot bertanya mengenai berbagai hal terkait gerakan Madiun. Alih-alih memberikan jawaban, Amir memilih bungkam. “Bung Amir tutup mulut,” ujar Fransisca. “Aku menyaksikan sikap mereka, orang-orang yang kalah, tapi begitu penuh harga diri.”*






















