Hasil pencarian
9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Antara Jawa dan Luar Jawa
DALAM debat calon gubernur DKI Jakarta putaran kedua, yang ditayangkan stasiun televisi nasional, Fauzi Bowo melontarkan pertanyaan kepada Joko Widodo: “Saat anda terpilih sebagai walikota, anda mengatakan, kepentingan warga Solo yang utama. Saat kita bertemu di Polda Metro Jaya anda bilang, kepentingan Jakarta dan warganya juga yang paling utama. Konflik batin apa yang ada, karena meski saya bukan orang Jawa, saya tahu roso itu sangat penting?” Joko Widodo menyayangkan pertanyaan terkait perasaan dan kesukuaan (Jawa). Dia pun enggan menjawabnya, dan menyatakan dirinya maju dalam Pilkada DKI Jakarta karena peraturan undang-undang memperbolehkannya. “Kalau undang-undang tidak boleh ya saya tidak ke sini,” kata Jokowi.
- Kisah Menegangkan Kala Yogyakarta Diserang Belanda
YOGYAKARTA, 19 Desember 1948. Letnan Dua Sukotjo Tjokroatmodjo baru saja selesai mengurus tawanan-tawanan komunis di Benteng Fort Vredeburg, saat beberapa pesawat pemburu militer Belanda menembaki Istana Negara subuh itu. Dalam keremangan pagi, Sukotjo masih sempat melihat parasut-parasut pasukan lintas udara militer Belanda bergelayutan di langit Maguwo. Sadar Belanda telah menyerang, dia lantas melepas kembali puluhan tawanan yang baru saja ditangkap. “Tawanan-tawanan itu kami suruh pulang,” ujar anggota Kompi II Yon Mobil B Corps Polisi Militer (CPM) tersebut kepada Historia . Usai melakukan koordinasi secara cepat dengan rekan-rekannya, Sukotjo bergerak ke Istana Negara. Mereka bersiap menghadapi datangnya serbuan militer Belanda. Memasuki senja, sepasukan prajurit lintas udara Belanda sudah mengambil posisi di depan Kantor Pos. Terjadilah tembak menembak antara pasukan Belanda dengan satu kompi CPM pimpinan Letnan Satu Susetio yang bertahan di halaman Istana Negara. “Harus diakui, saat itu kekuatan kita tidak seimbang dibanding pasukan lawan,” kenang lelaki kelahiran Jawa Timur 88 tahun lalu itu. Tak ingin Presiden tertangkap, Sukotjo lantas mengusulkan agar Susetio menyelamatkan Presiden dan jajarannya sedangkan ia sendiri akan memimpin 30 prajurit CPM untuk menghadang serbuan militer Belanda. Namun sebagai komandan kompi, Susetio sendiri tak bisa membuat keputusan. Ia kemudian membawa Sukotjo menghadap Mayor Gandi, yang tak lain adalah ajudan pribadi Presiden Sukarno. Alih-alih mendapat instruksi, Mayor Gandi malah membawa Sukotjo ke hadapan Presiden Sukarno di serambi belakang Istana Negara. Melihat ajudannya datang bersama Sukotjo, Presiden Sukarno yang saat itu tengah berdiskusi dengan Haji Agus Salim, Komodor Suryadarma dan Sekretaris Negara Mochamad Ichsan, langsung melontarkan pertanyaan: “Ada apa, Co?” Sukotjo dengan bersemangat menyampaikan rencananya kepada Presiden Sukarno: mulai dari A sampai Z. Usai mendengar usulan Sukotjo, presiden terdiam sejenak. Sambil memandang Sukotjo, ia lalu berkata. Pelan namun terdengar tegas. “Begini ya Co, Merah Putih, tidak akan menyerah (seraya mengacungkan tangan kanan nya ke atas), tetapi kita harus menyerahkan tempat ini kepada Belanda (dalam nada datar),” ujar Presiden Sukarno. Mendengar kata-kata itu, Sukotjo merasa tubuhnya lemah lunglai. Dalam posisi tegak, diam-diam air matanya meleleh. Susana pun menjadi tak karuan. Di tengah situasi tersebut, tiba-tiba Sukotjo melepas pistol dan klewang yang ada di pinggang lalu menjatuhkannya tepat di depan Sukarno. “Sudah empat tahun berperang kok kita menyerah?!” katanya sambil berlalu. Sejarah kemudian mencatat, tentara Belanda menawan Presiden Sukarno beserta jajarannya dan membawa mereka ke tanah pengasingan di Sumatra. Menurut Himawan Soetanto, proses penangkapan ini dinilai pihak Belanda merupakan bagian yang paling mendebarkan dalam Operasi Gagak. “Itu merupakan saat yang paling dramatis dari pertikaian Indonesia-Belanda,” tulis Himawan dalam buku Yogyakarta, 19 Desember 1948. Tetapi penangkapan dan pengasingan Sukarno beserta jajarannya disambut dingin oleh Komandan Tertinggi Tentara Belanda di Indonesia, Jenderal Spoor. Alih-alih merasa senang, saat dilapori soal itu oleh Komandan Operasi Jawa Tengah, Jenderal Meier, Spoor justru menyambutnya dengan teriakan: “Kita kalah!”. Mengapa demikian? Rupanya, dalam skenario besar Spoor, dia berharap Sukarno justru melawan dan terbunuh. Atau setidaknya ikut pergi ke hutan untuk memimpin gerilya. “Langkah membiarkan diri tertawan itu merupakan langkah politik yang berakibat baik bagi perjuangan kemerdekaan kita,” demikian menurut buku Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan yang diterbitkan oleh Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) itu. Sukutjo sendiri bernasib baik dalam peristiwa tersebut. Setelah sempat ditawan beberapa jam oleh KST (Korps Pasukan Khusus militer Belanda), dia berhasil melarikan diri dan bergabung kembali dengan induk pasukannya. “Ternyata saya masih ditakdirkan untuk ikut terus bertempur dengan militer Belanda sampai perang selesai,” ungkap tentara yang mengakhiri karirnya sebagai Mayor Jenderal itu.*
- Fiksi Menggugat Fakta Resmi
DALAM diskusi bertajuk “G30S dalam Sastra Indonesia” di Salihara, Jakarta Selatan, 12 September 2012, kritikus sastra Wicaksono Adi membahas novel-novel berlatar peristiwa tragedi 30 September 1965. Sedangkan sastrawan Eka Kurniawan khusus membedah novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, yang telah diadaptasi ke layar lebar berjudul Sang Penari (2011). Wicaksono memulai dengan novel Kalathida (2007) karya Seno Gumira Ajidarma. Dalam novel tersebut dijumpai deskripsi yang didukung oleh kolase kliping berita, kebanyakan dari suratkabar Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha perihal “fakta-fakta” peristiwa G30S. Kolase tersebut adalah sumber rujukan rezim Orde Baru untuk membuat sejarah resmi yang monoversi mengenai peristiwa G30S.
- Apa yang Salah dengan Lambang Palang Merah?
PANITIA kerja RUU Palang Merah Indonesia (PMI) DPR RI studi banding ke Denmark dan Turki. Mereka berencana mengubah lambang PMI menjadi Bulan Sabit Merah. Entah atas dasar apa para anggota parlemen itu ingin mengganti lambang PMI. Palang Merah telah ada sejak masa Hindia Belanda. Pada 21 Oktober 1873 pemerintah kolonial Belanda mendirikan Nederlands Rode Kruis Afdeling Indie (Nerkai), yang dibubarkan pada masa pendudukan Jepang. Sekira tahun 1932, Dr. RCL Senduk dan Dr. Bahder Djohan mengusahakan untuk mendirikan palang merah nasional. Mereka berusaha membawa rancangan itu ke konferensi Nerkai pada 1940, tapi ditolak mentah-mentah. Saat pendudukan Jepang, mereka mencoba lagi, namun kembali gagal.
- Ordonansi (Ulama) Guru
DALAM diskusi bertajuk “Teror Tak Kunjung Usai,” di Warung Daun, Cikini, Jakarta Pusat (8/9), Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris menyatakan negara Singapura dan Arab Saudi berhasil melakukan deradikalisasi dengan cara membuat sertifikasi ulama. Pernyataan tersebut menuai kontroversi karena BNPT dianggap mengusulkan sertifikasi ulama. BNPT membantah dan berdalih sekadar memberi contoh. Wacana sertifikasi ulama mengingatkan pada Ordonansi Guru yang dikeluarkan pemerintah kolonial Belanda pada 1905. Menurut peraturan yang diberlakukan di Jawa dan Madura ini, seorang guru agama harus memiliki keterangan mengajar atau izin tertulis sebelum dia mengajar, dan setiap guru agama harus mengetahui daftar mata pelajaran dan nama murid-muridnya agar dapat dikontrol.
- Aturan Hak Cipta Lukisan
AD Pirous, seniman lukis kaligrafi mendapati karya-karyanya dipalsukan dan dijual di sebuah toko karya seni rupa. “Saya terpana dan gagap menghadapi situasi yang tidak pernah saya bayangkan. Saya harus bertindak apa?” tulis Pirous dalam pengantar buku Sejarah Hak Cipta Lukisan (Komunitas Bambu, 2012) karya Inda Citraninda Noerhadi. Menurut Indah, pelanggaran hak cipta terjadi karena budaya mencontoh dan meniru sudah memprihatinkan yang disebabkan oleh mandeknya proses kreativitas. Dalam buku ini, Indah menyoroti perkembangan undang-undang hak cipta di Indonesia yang dikaji dari masa pemerintah kolonial Hindia Belanda hingga masa reformasi dan tantangan masalah ini di masa mendatang.
- PBNU Tolak Beri Maaf PKI
HAWA panas di luar kantor pusat PBNU, Jalan Kramat Raya 104, (15/87) merembet ke ruang pertemuan lantai lima gedung tersebut. Tak kurang dari 50 orang, hampir semua lelaki rata-rata berusia lebih dari setengah abad, berkumpul untuk mengikuti acara “deklarasi menentang hasil penyelidikan Komnas HAM tentang pemberontakan G30S/PKI tahun 1965.” Ada 23 orang yang menadatangani deklarasi itu. Mereka mewakili lembaga dan perorangan, di antaranya PPAD, PBNU, Barisan Nasional, Padmanagri, PPM, FPP 45, FKPPI, YKCB, DHN 45, Universitas Jaya Baya, Yayasan Jatidiri Bangsa, dan beberapa purnawirawan TNI. Dalam acara tersebut, hadir pula mantan Hakim Agung Benyamin Mangkudilaga dan penyair Taufik Ismail.
- Pengakuan Sang Jagal Westerling
DALAM wawancara pada 1969, yang ditayangkan dalam acara "Altijd Wat" (Ada Saja) di televisi NCRV pada 14 Agustus 2012 pukul 21.10 waktu Belanda, Kapten Raymond Westerling mengakui tanpa ragu bertanggungjawab atas pembunuhan 3.500 –buku-buku sejarah di Indonesia menyebut sampai 40.000– rakyat Sulawesi Selatan dalam operasinya pada 1946-1947. “Saya bertanggungjawab dan bukannya prajurit yang ada di bawah saya. Perbuatan itu adalah tindakan saya pribadi. Jumlah persisnya korban bisa dibaca pada laporan patroliku,” kata Westerling.
- Liga Pemuda Pramuka
GERAKAN kepanduan di Hindia Belanda, Nederlansche Padvinders Organisatie Vereeniging (NIPV) berdiri pada 1912. Empat tahun kemudian, Mangkunegara VII mendirikan Javaansche Padvinders Organisatie (JPO). “Maksudnya menjadi tempat pembibitan ketentaraan Mangkunegaran,” tulis AG Pringgodigdo dalam Ensiklopedi Umum . Setelah JPO, pada 1918 Muhammadiyah mendirikan Hizbul Wathon, nama semula Muhammadiyah Pandvinderij . Terutama di Semarang banyak kepanduan komunis berhubungan dengan PKI, yang anggotanya murid-murid sekolah Sarekat Islam (SI) Merah dan Sarekat Rakyat. Boedi Oetomo mendirikan Nationale Padvinderij pada 1921; Jong Java di Solo mendirikan Jong Java Padvinderij (1922), Jong Islamieten Bond di Jakarta mendirikan Nationaal Islamitische Padvinderij (1925), Jong Sumatranen Bond kemudian bernama Pemuda Sumatra membentuk Pandu Pemuda Sumatra (1926). SI mendirikan Sarekat Islam Afdeeling Padvinderij (1927), dan Algemeene Studieclub di Bandung mendirikan Nationaal Padvinderij Organisatie .
- Paul Tibbets, Pilot Pembawa Bom Atom
PADA 6 dan 9 Agustus 1945, bom atom meluluhlantakkan kota Hiroshima dan Nagasaki, Jepang. Bom atom itu dibawa oleh pesawat B-29. " B-san alias Tuan-B, begitulah orang Jepang menyebut sekaligus menghargai dengan terpaksa pesawat pengebom B-29 yang terkenal saat itu," tulis John Hersey dalam Hiroshima, Ketika Bom Dijatuhkan. Dan pilot yang menjatuhan bom atom “Little Boy” di Hiroshima dari B-29 Enola Gay –nama ibunya– adalah Paul Tibbets.
- Seni Lukis Kaligrafi
SENI kaligrafi, yang mendapatkan popularitas dan tempatnya tersendiri dalam kesenian Islam, karena tujuan awalnya untuk memperindah lafal Allah dan didukung oleh ayat Alquran (QS 68: 1 dan 96: 4), muncul pada abad kedua dan ketiga Hijriyah, serta langsung mejadi primadona kesenian Islam. “Kaligrafi lebih ditekankan pada al-khat al-jamilah , atau aksara yang sudah dipoles dengan keindahan, bukan tulisan biasa. Kata kaligrafi sendiri berakar dari bahasa Yunani: kalios (indah) dan graphos (tulisan),” ujar D Sirojuddin AR dalam diskusi seni kaligrafi Islam di Galeri Cipta II TIM, Jakarta, 4 Agustus 2012.
- Budaya Ukir Kamoro
BAGI Mama Ida, penamaan sebagai orang Kamoro atau “orang Hidup” merasa ditiadakan, tanpa ciri dan karakter budaya. Orang Kamoro merupakan idiom yang digunakan bagi mereka yang telah mati untuk menunjuk manusia yang masih ada di bumi. Maka, nama yang benar untuk suku mereka adalah orang Mumuika (Mumuika we), yaitu orang yang berasal dari kali yang sedang banjir. Sesuai dengan folklore yang mereka meyakini bahwa mereka turun bersamaan dengan air berbuih yang diakibatkan oleh banjir dan menetap di Delta Kokonao dan meneruskan keturunan. Seiring berjalan waktu, seorang pendatang menanyakan, “Siapa kalian?” “Kami Mumuika we (kami orang Mumuika,” jawab penduduk setempat. Lelaki itu masih tak percaya, “Kalian ini apa?” “Kami Kamoro we (kami orang Kamoro), kami orang-orang yang hidup,” jawab penduduk. Jadi, Mumuika digunakan untuk mengidentifikasi diri mereka, dan Kamoro sebagai identifikasi diri dalam konteks pertemuan dengan dunia luar.





















