Hasil pencarian
9580 hasil ditemukan dengan pencarian kosong
- Seabad Flu Spanyol
TEPAT satu abad silam, Flu Spanyol mengguncang dunia. Tidak ada negara yang luput dari serangannya. Pandemi influenza itu membunuh jutaan orang. Flu Spanyol membunuh sekitar dua sampai 20 persen penderita yang terinfeksi. Persentase tersebut jauh lebih besar dibandingkan influenza biasa yang hanya mampu membunuh 0,1 persen dari total penderita. Dahsyatnya serangan wabah ini membuat virologis Amerika Serikat Jeffery Taubenberger menyebut Flu Spanyol sebagai "The Mother of All Pandemics."
- Gubernur di Tengah Operasi Anti Mata-Mata
DALAM menjalankan tugasnya, Gubernur pertama Jawa Barat Soetardjo kerap pergi-pulang melintasi Tasikmalaya-Bandung. Untuk alasan keamanan, keluarganya dimukimkan di Tasikmalaya. Sementara, Soetardjo berkantor dan tinggal sebentar di Bandung. Secara berkala, Soetardjo mengunjungi keluarganya. Kesempatan berkunjung dimanfaatkan untuk melihat kondisi keluarga seraya melepas rindu. “Sebulan sekali saya menegok keluarga di Tasikmalaya berkendara mobil lewat jalan selatan melalui Majalaya,” ujar Soetardjo dalam memoar Soetardjo: “Petisi Soetadjo” dan Perjuangannya yang dituliskan anaknya Setiadi Kartohadikusumo. Meski menjabat sebagai gubernur, ketika bepergian Soetardjo enggan memakai iring-iringan. Tujuannya agar tak memancing perhatian tentara Belanda dan Sekutu. Soetardjo hanya ditemani seorang agen polisi kantor gubernuran tanpa konvoi dan barisan pengawal. Dalam BandungAwal Revolusi 1945-1946, sejarawan John R.W. Smail mencatat betapa mencekamnya situasi di kota Bandung dan sekitarnya. Smail mengutip keterangan koresponden harian Merdeka yang melaporkan perilaku arogan orang Belanda. Sejumlah serdadu menggunakan senapan submesin untuk memaksa orang-orang di pasar menjual makanan kepada mereka. Tiga hari kemudian, aksi balasan terjadi. “Seorang responden Belanda melaporkan perilaku orang Indonesia yang semakin brutal; menculik tentara Sekutu yang ditugaskan mengurus tahanan perang Jepang; mengusir orang-orang Eropa keluar dari rumahnya dan memboikot mereka di toko-toko; mengurangi aliran makanan segar ke kota,” tulis Smail. Soetardjo dalam memoarnya, mengenang suasana yang sama mengerikan. Tebaran ancaman silih berganti. Suara rentetan senapan setiap sore dan malam terdengar di dalam kota. Konflik bersenjata antara pasukan Republik kontra Sekutu dan Belanda memang tak terhindarkan. Sekali waktu, saat hendak pulang ke Tasikmalaya, Soetardjo mengalami penghadangan di jalan pedalaman. Soetardjo menuturkan, kendati memakai mobil berplat nomor “D1”, dia masih juga ditahan oleh pemuda-pemuda pejuang yang menjaga lalulintas di pos tertentu. Mereka terlihat seperti laskar bersenjata. Seorang pemuda memberhentikan mobil yang membawa Soetardjo. Dengan sikap sopan, Soetardjo diminta masuk ke dalam sebuah rumah di tepi jalan. Instruksi itu dituruti. Soetardjo masih sempat menguraikan senyum. Di dalam rumah, Soetardjo di bawa masuk ke dalam salah satu kamar oleh pemimpin pasukan penjaga. Apa yang terjadi kemudian? Di dalam kamar, Soetardjo diminta untuk menanggalkan peci dari kepalanya. Setelah peci dibuka, dengan mengucap maaf, sang penjaga mohon diperkenankan melihat batok kepala Soetardjo. Soetardjo bersedia menundukkan kepalanya. Setelah diperiksa tanpa menyentuh kepala, penjaga mengucapkan terimakasih. Soetardjo bertanya penuh keheranan, “Apakah kamu tahu, siapa saya ini?” “Barangkali tahu,” kata penjaga itu. “Kalau tak keliru, Bapak adalah gubernur kita.” “Apakah maksudnya, kepala saya kamu periksa?” Soetardjo balik bertanya. ”Saya mendapat perintah dari atasan saya, supaya kita mengadakan pemeriksaan seperti itu pada setiap orang yang liwat sini, tak ada yang terkecuali,” demikian jawaban si penjaga tadi. Waktu itu dikabarkan ada beberapa mata-mata NICA berkeliaran di pedalaman. Mereka adalah-orang pribumi suruhan tentara Belanda untuk menyusup atau menyabotase pasukan Republik. Tanda pengenal mata-mata itu dapat diamati dari ukiran di kepalanya. Di atas tempurung kepalanya akan ada satu tempat kecil yang rambutnya dicukur dan di atas kulit kepala itu ditulis letter “N”. Alih-alih memarahi, Soetardjo malah mengucapkan pujian dan terimakasih atas tindakan siaga si penjaga. Perjalanan ke Tasikmalaya terus dilanjutkan. “Dengan senang hati saya memimpin perjuangan rakyat Jawa Barat itu,” demikian Soetardjo mengenang pengalaman di masa revolusi sebagai gubernur pertama Jawa Barat. Sewaka yang kelak menjadi gubernur Jawa Barat ketiga (1946-52) mengakui betapa sukarnya menjadi gubernur di masa kritis pasca Indonesia merdeka. Keganasan revolusi kala itu bisa menyasar siapa saja tanpa pandang bulu ataupun jabatan. Dalam memoarnya Tjorat-Tjaret dari Djaman ke Djaman, Sewaka mengatakan, “Memang tak mudah memegang pemerintahan dalam saat meletusnya revolusi semacam itu.”
- Seteru Sengit di Sirkuit
INTERNAL tim Repsol Honda di MotoGP musim depan (2019) diprediksi bakal memanas setelah bergabungnya Jorge Lorenzo pada Juni 2018 menggantikan Dani Pedrosa sebagai joki kedua. Lorenzo bakal bermitra dengan rekan senegara sekaligus rival tersengitnya, Marc Márquez. Keduanya sudah terlibat konflik sejak Grand Prix (GP) Spanyol di Sirkuit Jerez (kini Sirkuit Jerez-Ángel Nieto), 5 Mei 2013. Situs resmi MotoGP, 13 November 2018, mencatat, permusuhan mereka dipicu manuver Márquez yang menyenggol Lorenzo (masih di tim Yamaha). Akibatnya, Lorenzo gagal meraih podium utama. Sejak itu, keduanya kerap tak akur di dalam maupun luar lintasan. Bakal setimnya Lorenzo dan Márquez membuat banyak orang penasaran bagaimana hubungan keduanya di tim Honda musim 2019. Sebagian memprediksi keduanya akan mengulang persaingan setim laiknya legenda Formula One (F1) Alain Prost vs Ayrton Senna kala sama-sama di tim McLaren-Honda musim 1988-1989. “Tidak,” kata Márquez mengomentari hubungannya dengan Lorenzo bakal seperti Prost dan Senna, dilansir Motorsport , 26 November 2018. “Di lintasan tentu kedua pembalap ingin juara, ingin terdepan, dan akan memberi kemampuan 100 persen. Tapi di luar lintasan, kami tetaplah rekan setim. Bahkan sejak perseteruan di Austria dan Brno, hubungan kami tetap profesional.” Senna vs Prost Di permukaan, Márquez dan Lorenzo jelas bakal profesional. Namun, belum tentu di dalam. Benih-benih permusuhan masih nampak, sebagaimana Prost dan Senna yang awalnya juga berkawan baik. Insiden Marc Márquez i Alenta (kanan) yang menyenggol Jorge Lorenzo Guerrero (kiri) pada 2013 memicu perseteruan (Foto: motogp.com) Perseteruan Senna-Prost bermula dari bergabungnya Senna ke tim McLaren jelang musim 1988. Kedatangan itu mulanya sangat didukung Prost selaku pembalap utama lantaran di dua musim sebelumnya Senna tampil apik bersama tim Lotus. “Saya bilang pada Ron (Dennis, team principal Mclaren-Honda) bahwa saya yakin Ayrton akan jadi pembalap hebat di masa depan dan saya pikir dia akan jadi opsi terbaik buat tim. Hubungan saya dekat dengan Nelson (Piquet) tapi saya rasa akan lebih baik buat tim memiliki pembalap yang lebih muda,” ujar Prost dikutip Malcolm Folley dalam Senna versus Prost: The Story of the Most Deadly Rivalry in Formula One . Namun, hubungan baik mereka di internal mulai rusak di seri ke-13, GP Portugal, 25 September 1988. Di lap kedua GP di Sirkuit Autódromo do Estoril itu, Senna bermanuver menutup jalur ketika Prost hendak menyalip. “Dia banting setir ke arah (jalur) saya, membuat saya hanya berjarak kira-kira satu kaki dari dinding sirkuit. Saya mampu bertahan dan malah memenangkan balapan. Tapi dia selalu bisa terhindar dari hukuman. Memang berapakali Ayrton disanksi atas aksi-aksi seperti itu selama ini? Tidak pernah!” ujar Prost dalam “Alain Prost on Ayrton Senna: Between Us, We Can Screw All the Others!” yang dimuat Autoweek , 30 April 2014. Hingga akhir musim, benih-benih kebencian mulai muncul di antara keduanya. Meski sempat didamaikan bos tim Ron Dennis setelah Senna minta maaf, kedengkian kedua pembalap masih berlanjut. Di musim berikutnya, ketika F-1 baru memasuki seri kedua, GP San Marino 1989, Senna dan Prost kembali “perang” di Sirkuit Imola (kini Autodromo Enzo e Dino Ferrari). Alain Marie Pascal Prost (kiri) saat berekanan dengan Ayrton Senna da Silva di tim McLaren selama 1988-1989 (Foto: Repro "Senna versus Prost") Padahal, kata Tom Rubython dalam The Life of Senna , keduanya punya perjanjian pra-balapan pasca-sesi kualifikasi. Di sesi kualifikasi, Senna sukses menempati pole terdepan dan Prost membuntuti di pole kedua. Keduanya bikin perjanjian bahwa di tikungan “Tosa” pada lap pertama keduanya tidak boleh saling “serang” berebut posisi. Memang, pada saat start Senna dan Prost adem-adem saja. Tapi gara-gara sebuah kecelakaan yang dialami Gerhard Berger (pembalap tim Ferrari), balapan harus dimulai lagi meski posisi Prost sudah di depan Senna. “Saat start kembali (setelah kecelakaan) saya berada di depan dan di Tikungan Tosa Ayrton menyalip saya! Setelah balapan, dia berargumen itu bukan start , melainkan restart . Kami pun saling tidak setuju soal alasan itu. Setelah itu atmosfer di tim sangat buruk,” lanjut Prost. Di Sirkuit Suzuka saat GP Jepang, 22 Oktober 1989, Prost melakukan pembalasan. Ketika Senna berusaha menyalip Prost di sebuah chicane (tikungan ganda) pada lap ke-46, Prost sengaja menutup ruang Senna hingga kedua mobil mereka saling berserempet. Setelah sempat beradu mulut di trek, Senna ambil jalan pintas di luar trek yang berujung diskualifikasi plus sanksi enam bulan larangan membalap dan denda USD100 ribu. Insiden antara Ayrton Senna da Silva (helm kuning) dengan Alain Marie Pascal Prost (helm putih) di Sirkuit Suzuka (Foto: ayrtonsenna.com.br) Perseteruan berlanjut lagi di Suzuka pada musim 1990 tatkala Prost sudah pindah ke Ferrari. Di tikungan pertama lap pembuka, Senna menubruk buritan mobil Prost hingga sedikit terangkat. Keduanya terpaksa gagal melanjutkan balapan meski di akhir musim Senna berhasil menjadi juara dunia. Lawan Jadi Kawan Abadi Balapan terakhir Prost, di Sirkuit Adelaide dalam GP Australia 7 November 1993, membawa berkah bagi hubungannya dengan Senna. Perdamaian keduanya mulai tercipta kembali. “Padahal dua pekan sebelumnya di podium GP Jepang, dia tak mau melihat saya. Tapi saat saya pensiun, dia merangkulkan tangannya ke pundak saya,” kata Prost. Prost pelan-pelan mulai berkawan lagi dengan Senna. Namun, persahabatan itu harus berhenti pada 2 Mei 1994. Hari itu, Senna tewas setelah mobilnya menghantam dinding beton di tikungan Tamburello, Sirkuit Imola ketika GP San Marino. Prost ikut mengusung peti jenazah Senna untuk dikebumikan di Pemakaman Morumbi, 4 Mei 1994. “Jika ada orang yang tanya pada saya siapa pembalap terbaik yang pernah saya hadapi, tiada lain adalah Senna. Bagaimanapun perseteruan kami, satu hal yang takkan pernah berubah adalah rasa hormat kami satu sama lain sebagai pembalap. Jika waktu bisa berulang, saya akan bilang padanya: ‘Dengar Ayrton, kita pembalap terbaik. Di antara kita sangat bisa berteman dan kita bisa memecundangi semua pembalap lain’,” ujar Prost.
- Hubungan Bilateral Jawa dan Tiongkok
JAWA merupakan wilayah pertama di Nusantara yang memiliki hubungan bilateral dengan Tiongkok. Kerajaan Jawa pula yang berinisiatif memulai hubungan itu dengan mengirimkan utusan ke utara. Nurni Wahyu Wuryandari, peneliti dari Pusat Studi Cina Universitas Indonesia, menjelaskan kontak Nusantara dengan Tiongkok sudah memiliki sejarah sejak tahun 131 M. “Kenapa Orang Jawa duluan (yang memulai hubungan, )? Jangan lupa bahwa bangsa kita pelaut ulung,” katanya saat ditemui dalam acara Borobudur Writers & Cultural Festival ke-7, di Hotel Manohara, Magelang, Jawa Tengah. Kedatangan orang Jawa pertama kali muncul dalam catatan resmi kerajaan di Tiongkok, misalnya Hou Han Shu bab ke-6 dan bab ke-116 . Dokumen Tiongkok klasik itu disusun oleh sejarawan istana masa Dinasta Han (206 SM-220 M). “Kenapa saya berani mengajukan begitu (orang Jawa duluan, )? Karena di dalam teks itu tidak ada narasi orang Tionghoa pergi ke Jawa,” kata Nurni. Dalam narasi yang hanya dua baris itu, lanjut Nurni, hanya berisi informasi asal utusan, keperluannya, dan apa yang dibawa. “Kalau menurut narasi itu adalah untuk memberikan persembahan dalam arti dari negara kecil ke negara besar. Cina selalu merasa sebagai kerajaan besar,” ujar Nurni. Setelah kedatangan orang Jawa ke Tiongkok itu, catatan tentang Jawa nyaris selalu hadir dalam dokumen resmi sejarah Tiongkok. Catatan tentang Jawa awalnya sangat singkat. Dokumen itu hanya menghadirkan data tentang kedatangan utusan Jawa ke daratan Tiongkok. Catatan itu belum disertai paparan data lokasi Jawa dan narasi kunjungan berdasarkan pandangan mata orang Tiongkok ke tanah Jawa. Itulah mengapa pada catatan awal kunjungan utusan Jawa ke Tiongkok sulit diketahui kerajaan mana yang dimaksud. Catatan itu tak spesifik menyebutkan nama kerajaannya. “Beda dengan masa Dinasti Tang, yang sudah mulai melihat kondisi orang dan alam Jawa,” kata Nurni. Catatan orang Tiongkok tentang Jawa makin lama makin lengkap dari masa ke masa. Catatan itu terutama setelah orang Tiongkok mulai singgah ke Nusantara. Catatannya pun tak hanya berisi data geografis, hubungan bilateral, tapi juga segala hal yang dilihat berdasarkan pandangan mata. “Informasi yang diberikan terkadang juga mengandung penilaian sejarawan atau pencatat dalam melihat perbedaan budaya,” ujar Nurni.
- Seks Serdadu Belanda
ITJAH masih berusia 11 tahun ketika para serdadu berkulit putih itu datang ke Panyindangan, kampungnya di Sumedang. Mereka yang sebagian besar anak muda belasan tahun tersebut lantas mendirikan pos yang menempati sebuah rumah besar milik salah satu pemuka kampung. Kedatangan mereka disertai lima perempuan muda pribumi yang berfungsi sebagai babu (pembantu). “Saya hanya ingat tiga di antaranya yakni Ceu Ipoh, Ceu Isah dan Ceu Marni. Mereka semuanya bertugas sebagai tukang masak, tukang setrika dan tukang cuci baju para serdadu,” kenang perempuan kelahiran tahun 1936 itu. Dalam pengamatan Itjah, kelima babu itu sangat disayang. Para serdadu itu tak segan menghadiahi uang dan makanan kepada mereka. Bahkan ada di antaranya selalu terlihat mesra dengan anak-anak muda Belanda itu. “Saya tidak tahu mereka bobogohan (pacaran) atau tidak, yang jelas mereka terlihat sangat akrab dengan tentara-tentara Belanda itu. Kadang saya lihat saling pegangan tangan,” ujar Itjah. Bisa jadi mereka bukan sekadar babu semata. Menurut sejarawan Belanda Step Scagliola dan penulis Annegriet Wietsma, pada 1946-1948 banyak perempuan pribumi yang berprofesi sebagai babu di pos-pos militer Belanda juga berlaku sebagai “kekasih” atau bahkan “istri” bagi para serdadu. “Ribuan anak lahir dari hubungan dengan perempuan-perempuan pribumi,” tulis Wietsma dan Stef Scagliola dalam Liefde in Tijden van Oorlog (Cinta di Zaman Perang). Kisah Princen Sebagai eks serdadu Belanda yang dikirim ke Indonesia, J.C. Princen tak menafikan kebutuhan biologis di kalangan prajurit-prajurit muda selama bertugas di negeri tropis itu begitu tinggi. Ada kalanya ketika sedang tidak bertugas, mereka keluyuran sampai ke pelosok dan gang-gang hanya untuk mencari perempuan. Sebuah kebiasaan yang sebenarnya sangat dilarang oleh kesatuan mereka. “Kami melakukannya dengan cara masing-masing. Ada yang sedikit memaksa, suka sama suka atau pergi ke para pelacur,” ujar lelaki kelahiran Den Haag tahun 1920 itu. Princen masih ingat, ketika bertugas di Bogor, dirinya pernah memacari seorang perempuan setempat. Namanya Asmuna, yang tinggalnya persis di belakang pasar dekat Kebun Raya Bogor. Suatu hari Asmuna datang mencari Princen ke markasnya yang terletak persis depan Istana Bogor (sekarang Hotel Salak). Alih-alih diantarkan menemui Princen, perempuan itu malah ditembak mati karena melawan saat dilecehkan oleh para petugas jaga. “Ketika terdengar tembakan, aku langsung berlari ke depan sambil membawa sten. Betapa terkejut dan marahnya aku ketika melihat Asmuna terbaring di ruangan jaga dengan tubuh penuh dengan lubang peluru dan bersimbah darah,” kenang serdadu Belanda yang kemudian membelot ke TNI tersebut. Kala mengetahui Asmuna adalah pacar Princen, sang serdadu langsung diperiksa MP (Polisi Militer). Dia dipaksa menunjukan tempat tinggal sang gadis untuk memastikan bahwa pacarnya itu tidak memiliki penyakit kelamin atau berkaitan dengan TNI. Namun Princen menolak. Dengan dalih lupa jalan menuju rumah gadis tersebut, dia hanya mengajak dua prajurit MP dan seorang petugas kesehatan tentara yang mengawalnya berkeliling wilayah gang-gang sekitar Kebun Raya Bogor saja. Akhirnya sang sopir menyerah dan memutuskan kembali ke markas yang terletak di depan Istana Bogor (sekarang Hotel Salak). “Hai, lebih baik kamu memeriksakan dirimu ke dokter. Kamu kan tidak tahu perempuan itu berpenyakit sifilis atau tidak,” ujar salah seorang anggota MP tersebut. Princen mengungkapkan hampir sebagian kawannya memiliki hubungan istimewa dengan para perempuan pribumi. Biasanya berhubungan intim merupakan sesuatu yang sulit untuk dihindari dalam relasi tersebut. “Peraturan memang melarang itu. Tapi apa boleh buat. Kami hanya berkompromi dengan berlaku secepatnya mengoleskan salep hitam ke alat vital kami begitu selesai bercinta. Salep itu memang bau tapi sangat berguna,” ujar Princen. Pacar Pribumi Pemenuhan kebutuhan biologis dengan memacari perempuan pribumi juga diungkap oleh Gert Oostindie. Dalam Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah ), Oostindie menyatakan bahwa banyak serdadu Belanda yang jatuh cinta dan memacari para perempuan pribumi. “Tetapi mungkin banyak juga hubungan yang lebih berlandaskan perhitungan dan egoisme,” ungkapnya. Seperti kasus di Sumedang, penelusuran Oostindie pun mengakui adanya fakta sebagian serdadu Belanda memacari para babu yang dipekerjakan di barak-barak militer. Bahkan sampai hamil, seperti diungkapkan dalam kesaksian seorang serdadu bernama Kees de Jong. Menurut de Jong, lebih sering mereka menghindar dari pertanggungjawaban daripada menikahi perempuan-perempuan pribumi itu. “Di Buitenzorg (Bogor), saya memiliki kawan yang berkencan dengan seorang pembantu sampai hamil lalu dia menikahinya. Saya jauh lebih menghormati laki-laki ini,” ujar de Jong seperti dikutip oleh Oostindie. Kendati terdapat propaganda untuk tidak melakukan praktek seks dengan perempuan pribumi, namun pimpinan militer Belanda menyadari bahwa hal tersebut tidak realistis. Sebuah brosur KNIL (Tentara Kerajaan Hindia Belanda) memuat pesan bahwa melakukan kunjungan ke tempat pelacuran memang tidak diperbolehkan. Namun dalam kenyataannya tidak ada pengawasan terhadap larangan tersebut, sehingga kepada para serdadu ditegaskan agar mereka paling tidak “membersihkan diri dengan seksama secara profikasis.” Situasi perang yang serba susah di tanah Hindia juga berpengaruh terhadap “mudahnya” para serdadu mencari pasangan untuk bercinta. Dengan latar belakang kemiskinan kaum pribumi, praktek pelacuran pun tumbuh subuh bak cendawan di musim hujan. “Di sini (Indonesia) banyak laki-laki yang sudah kehilangan akal (terutama dalam hal seks). Di sini kami mendapatkan begitu banyak tawaran untuk bermain seks, baik dengan cara yang wajar maupun tidak wajar, tanpa perlu mencari-cari sendiri,” demikian pengakuan seoran veteran bernama Jan Fokkens. Begitu banyaknya para serdadu yang terjebak dalam kehidupan seks yang tidak sehat, menjadikan seorang perawat kesehatan militer Belanda bernama Klaas Soetten menyimpulkan bahwa kondisi tersebut sebagai situasi yang memang diinginkan dan diusahakan oleh tentara musuh. “Saya sangat yakin bahwa sebagian pemuda-pemuda kami di Hindia Belanda telah diracuni dengan penyakit kelamin,” kata Klaas. Dugaan itu memang bukan tanpa dasar. Seorang petinggi militer Indonesia bernama Jenderal Mayor Moestopo pada 1946-1947 memang pernah secara sengaja membuat suatu grup eksklusif bernama BWP (Barisan Wanita Pelatjoer). Sesuai namanya, mereka terdiri dari para pelacur yang kemudian diturunkan di Yogyakarta dan sektor Bandung Utara. Namun alih-alih menjadikan para serdadu Belanda menurun secara moril, yang ada para pelacur itu malah menebarkan penyakit kelamin di kalangan para gerilyawan TNI sendiri.
- Menjadi Manusia Bebas
KETIKA menjadi guru di sebuah sekolah liar alias sekolah partikelir yang tidak diakui pemerintah kolonial, Suwarsih mendapat ide untuk menulis novel sebagai medium perjuangannya. Novel itu diberi judul Buiten Het Gareel (Di Luar Jalur) yang diterjemahkan menjadi Manusia Bebas . Lewat novel itu Suwarsih ingin mengajak para pemuda untuk tabah dalam memperjuangkan kemerdekaan yang dipenuhi banyak kesulitan. Buiten Het Gareel dengan latar waktu dekade akhir menjelang kemerdekaan menjadi satu penanda karya buatan perempuan di masanya. “Karya Suwarsih membahas masalah yang lebih luas dari poligami dan perkawinan paksa namun tak mengabaikan masalah yang jamak ditemui di eranya,” tulis Cora Vreede de Stuers dalam Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia. Gadis Nasionalis Suwarsih lahir di Cibatok, Jawa Barat 1912. Bersama kakak perempuannya, Nining, Suwarsih mengenyam pendidikan di Sekolah Van Devanter, Bogor. Suwarsih berangkat dari keluarga sederhana, ayahnya merupakan pedagang yang menikah dengan perempuan Tionghoa. Kedua orangtua Suwarsih berpemikiran maju, mereka membebaskan anaknya untuk menentukan pilihan hidupnya sendiri. Sebagai pejuang nasionalis, Suwarsih memilih mengajar di sekolah liar alih-alih di sekolah kolonial dengan penghasilan besar. Kegemarannya menulis dijadikan wahana perjuangan. Dia menulis untuk Majalah Kritiek en Opbouw. Sebuah tulisannya yang berisi desakan kepada pemerintah untuk membebaskan para pejuang nasionalis yang dibuang ke luar Jawa sempat membuat KritiekenOpbouw terancam dibredel. Perjuangan Suwarsih semakin meningkat setelah menikah dengan lelaki pilihannya, Sugondo Djojopuspito, sekretaris Kongres Pemuda 1928. Keduanya saling membantu dalam perjuangan kemerdekaan. Perjalanan Manusia Bebas Naskah Buiten Het Gareel semula ditulis dalam bahasa Sunda dan dikirim ke Balai Pustaka (BP) yang masih bernaung di bawah pemerintah kolonial. Namun, naskah tersebut ditolak lantaran berbau politik sehingga dianggap kurang berguna dan kurang berisi pengajaran. “Tepat juga penilaian dewan redaksi … Seluruh isi buku bernafaskan semangat perjuangan politik,” tulis Rob Nieuwenhuys dalam Bianglala Sastra yang ditulis ulang oleh Dick Hartoko. Suwarsih tak patah semangat. Dalam pertemuan dengan sahabatnya, Eddy Du Peron, redaktur di Kritiek en Opbouw, Suwarsih mengungkapkan mengenai naskahnya yang ditolak BP. Du Peron lalu menyarankan agar Suwarsih menulis ulang novelnya dalam bahasa Belanda. Suwarsih menurutinya. “Bahasa Belanda menjadi bahasa yang paling baik saya kuasai dan pahami waktu itu, dan juga bahasa yang dimengerti oleh orang-orang terpelajar di seluruh Indonesia,” kata Suwarsih seperti ditulisnya dalam pengantar Manusia Bebas . Tiap satu bab selesai, Suwarsih mengirimnya ke Du Peron. Beberapa catatan untuk pengembangan naskah biasanya diberikan Du Peron sebagai jawaban. Keduanya juga sering berjumpa untuk berdiskusi di tengah penggarapan beberapa bab naskah novel. Setelah melalui proses panjang, Buiten Het Gareel akhirnya diterbitkan tahun 1940 dan cetak ulang tahun 1946. Karya Suwarsih dianggap penting di masanya. Cora Vreede de Stuers menyebut karya Suwarsih merupakan bentuk pelawanan pasif pada pemerintah Hindia Belanda yang kala itu sedang melakukan penghematan besar-besaran akibat dilanda krisis dan gencar menangkapi semua orang yang dianggap nonkooperatif. Alhasil, perjuangan kemerdekaan dilakukan lewat cara-cara halus seperti menulis roman atau mendirikan sekolah liar sebagai wujud kepedulian pada rakyat bawah yang tak sanggup menjangkau pendidikan. Rekan Suwarsih sastrawan HB Jasin menyarankan agar novel itu diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Jasin menuliskan sarannya dalam Majalah Sastra edisi Januari 1969. Namun, Suwarsih ragu kalau penerbit mau membiayai pengerjaannya sementara keuntungan yang didapat kemungkinan sangat kecil. Rekannya yang lain, sejarawan Sartono Kartodirdjo, juga meminta izin untuk menerjemahkan Buiten Het Gareel ke dalam bahasa Inggris. Penerjemahnya ialah rekan Sartono, Harry J. Benda. Sayangnya, Benda keburu meninggal tahun 1971 sebelum sempat menerjemahkan Buiten Het Gareel . Pada awal Maret 1975, Suwarsih mendapat kabar dari sejarawan Belanda G. Termorshuizen yang mengatakan bahwa novelnya akan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Surat dari Kedutaan Besar Belanda di Jakarta menyusul tiba bulan berikutnya, menanyakan persetujuan Suwarsih bila karyanya diterbitkan dalam bahasa Indonesia. “Dan apakah saya suka mengerjakan terjemahan itu? Tentu saja saya setuju dan mau,” jawab Suwarsih . Karya Suwarsih dalam bahasa Indonesia kemudian terbit tahun 1975 lewat penerbit Djambatan.
- Tujuan Perjalanan I-Tsing, Biksu dari Tiongkok
DALAM perjalanannya menuju India, I-Tsing atau Yi Jing, seorang biksu Tiongkok, mampir tiga kali ke wilayah yang dia sebut Lautan Selatan. Dalam catatannya, dia memberikan imbauan bagi para biksu yang ingin belajar Buddha Dharma. “Lautan Selatan itu mencakup Sumatra, Jawa, Bali,” kata Shinta Lee, penerjemah catatan perjalanan I-Tsing dari Komunitas Sudimuja & Jinabhumi, dalam acara Borobudur Writers and Cultural Festival, di Hotel Manohara, Magelang. Yi Jing merupakan salah satu dari tiga peziarah terkenal dari Tiongkok. Pendahulunya adalah Fa Xian dan Xuan Zang. Waktu itu, di Tiongkok sudah banyak interpretasi atas ajaran-ajaran Buddha. Yi Jing pun ingin mempelajari Buddha Dharma di negeri asalnya: India. “Dia sudah berguru sejak muda, ketika remaja berangan-angan mengunjungi India yang waktu itu pusat pembelajaran Buddha Dharma,” kata Shinta. Pada 671 M, Yi Jing berangkat dari Guangzhou. Setelah berlayar selama 20 hari, dia mendarat di Fo-shi (Sriwijaya). Dia tinggal selama enam bulan untuk belajar Sabdavidya atau tata bahasa Sansekerta. Shinta menjabarkan menurut catatan Yi Jing, semua biksu di Fo-shi mempelajari mata pelajaran yang sama dengan yang dipelajari di Nalanda. Misalnya, Pancavidya yang mencakup pelajaran tata bahasa, pengobatan, logika, seni, keterampilan kerajinan, dan ilmu mengelola batin. “Beliau bahkan merekomendasikan jika biksu ingin ke Nalanda, yang konon susah sekali, baiknya belajar dulu di Sriwijaya,” kata Shinta. Khusus pelajaran tata bahasa Sanskerta, menurut Yi Jing, jika dipelajari sejak kecil bisa mengatasi segala kesulitan mempelajari kitab-kitab Buddha Dharma. Ketika itu di Sriwijaya, dia menyontohkan untaian kisah Jataka selain dipelajari, juga dilantunkan, dan dipentaskan. “Ini menunjukkan adanya penguasaan bahasa Sanskerta sebagai bahasa lokal. Jadi kisah Jataka bisa diwujudkan dalam bentuk lain (pementasan, red. ),” kata Shinta. Dari Sriwijaya, Yi Jing diantar olah raja ke Moluoyou (Melayu). Dia tinggal di sana selama dua bulan. Dari sana dia berangkat ke Jiecha (Kedah). Dari Kedah, pada 671 M, dia mengunjungi berbagai daerah hingga tinggal di Tamralipti, pelabuhan di pantai timur India pada 673 M. Dari sana dia mencapai Nalanda. Dia menetap dan belajar di Nalanda selama sepuluh tahun (675-685 M). “Setelah mempelajari teks di sana, lalu kembali untuk kedua kalinya ke Melayu yang kemudian menurut beliau sudah jadi bagian dari Shili Foshi,” lanjut Shinta. Padahal, pada awal kedatangan Yi Jing, di catatannya dia masih menyebut nama Malayu dan belum bernama Sriwijaya. Dalam hal ini, Shinta menyebutkan pernyataan Yi Jing dalam catatannya itu cocok bila dikaitkan dengan catatan sejarah. Prasasti Kedukan Bukit mencatat tanggal sebelum akhirnya Dapunta Hyang mendirikan Kota Sriwijaya pada 16 Juni 682 M. “Jika dikaitkan dengan catatan sejarah, Prasasti Kedukan Bukit, Sri Dapunta Hyang mengadakan jaya sidayatra pawai kemenangan atas ditaklukkannya Melayu atas Sriwijaya. Ini cocok,” kata Shinta. Kedatangan Yi Jing yang kedua membuatnya menetap selama empat tahun. Pada 689 M, dia naik kapal dan bermaksud menitipkan surat untuk meminta kertas dan tinta yang akan digunakannya menyalin sutra. Namun, dia terbawa kapal itu dan tanpa sengaja kembali ke Tiongkok selama tiga bulan. Padahal, 500 ribu sloka Tripitaka yang dia bawa dari India masih tertinggal di Sriwijaya. Dia kembali ke Sriwijaya dan tinggal selama lima tahun (akhir 689-695 M). Di sana, dia bertemu biksu bernama Da Jin. Kepadanya, Yi Jing menitipkan sutra dan sastra (ulasan) sebanyak 10 jilid, Kiriman Catatan Praktik Buddhadharma dari Lautan Selatan (empat jilid), Riwayat Para Mahabiksu yang mengunjungi India dan Negeri-Negeri Tetangga untuk Mencari Ajaran di Masa Dinasti Tang (dua jilid). Pada 695 M, Yi Jing pulang dan disambut meriah oleh Wu Zetian, kaisar perempuan. Dia membawa 400 teks Buddhis, 500 ribu sloka, dan peta lokasi Vajrasana Buddha. Itu hasil berkelana selama 25 tahun dan mengunjungi 30 negeri. “Kalau Yi Jing bilang praktik Buddha Dharma di Sriwijaya sama seperti di India, maka Nalanda juga menjadi model bagi Swarnadwipa. Maka bangunannya memang mirip. Hanya iklimnya yang berbeda,” kata Agus Widiatmoko, arkeolog dari Kementerian Pendidikan dan Budaya.
- Bangkit dari Kubur
INI bukan tajuk film horor. Ini lembaran perjuangan sebuah klub sepakbola asal Italia yang pernah jaya sampai pentas Eropa lantas terjun ke jurang kebangkrutan dan kini dengan kucuran air mata, darah, dan peluh berusaha bangkit dari kuburnya, yakni Parma Calcio 1913. Kebangkitan Parma jelas membahagiakan Rengga Aven Januadi, wakil ketua Parmagiani Indonesia, komunitas fans Parma di Indonesia, dan para fans Parma lain. Dengan kembalinya Parma ke papan atas Serie A, ada asa besar dari para anggota Parmagiani Indonesia melihat klub yang mereka cintai bisa kembali mentas di Eropa. “Harapan dan target awal kalau bisa bertahan dan lolos dari degradasi. Tapi kalau permainan bisa terus konsisten seperti ini, tidak mustahil Parma bisa kembali berjaya untuk dua atau tiga tahun ke depan. Kalau boleh saya prediksi untuk musim ini akan tetap di 10 besar,” ujar Rengga kepada Historia. Jatuh-Bangun Parma Bagi penggila bola zaman now, nama Parma mungkin terdengar asing. Maklum, klub yang berbasis di Kota Parma itu lama absen dari Serie A. Padahal, Parma merupakan klub yang melahirkan banyak bintang legendaris Italia macam Gianluigi Buffon, Fabio Cannavaro, atau Gianfranco Zola. Dalam ulasannya bertajuk “The Rise, Fall and Rise Again of Parma” yang dimuat Football-Italia , 3 November 2018, Anthony Barbagallo menyebut Parma sebagai tim tersukses Italia keempat di Eropa setelah AC Milan, Inter Milan, dan Juventus. Sebagai sebuah klub, Parma berembrio dari Verdi Football Club yang lahir pada Juli 1913. Situs resmi klub menyebutkan, Verdi FC didirikan untuk memperingati satu abad kelahiran komposer kenamaan asal Parma, Giuseppe Verdi. Pada 16 Desember 1913, klub berganti kepemilikan dan berganti nama menjadi Parma Football Club. Nama lengkap klub berubah-ubah seiring pergantian pemilik, mulai dari Parma AS (Associazione Sportiva), AC (Associazione Calcio) Parmense, Parma AC (Associazione Calcio), Parma FC S.p.A., dan terakhir Parma Calcio 1913 S.r.l sampai sekarang. Sejak pertamakali promosi ke Serie A pada musim 1990-1991, Parma sulit menyandingkan diri dengan sejumlah klub besar macam Inter Milan, AC Milan, Juventus, atawa AS Roma di panggung domestik. Paling banter tiga kali menang Coppa Italia (1991-1992, 1998-1999, 2001-2002), satu Supercoppa Italiana (1999), dan sekali jadi runner-up Serie A (1996-1997). Parma memetik gelar UEFA Cup (kini Europa League) musim 1998-1999 (Foto: parmacalcio1913.com) Tapi, Parma punya gigi di pentas Eropa. Klub asal region Emilia-Romagna itu punya capaian juara Piala Winners (1992-1993), dua Piala UEFA (kini Europa League) 1998-1999, dan satu Piala Super Eropa (1993). Masa-masa indah itu harus berakhir pada 2004. Parma bangkrut setelah Parmalat SpA –perusahaan produsen susu, jus, dan saus pasta pimpinan Calisto Tanzi– selaku pemilik 98 persen sahamnya terbelit skandal finansial –dikenal sebagai Skandal Parmalat– sejak bangkrut pada Desember 2003. Kendati begitu, Parma masih mampu tampil apik dan finis di urutan kelima Serie A musim 2003-2004. Bangkrut sejak April 2004, Parma berjalan tertatih-tatih. “Klub kembali dibangun tanpa pemilik selama hampir tiga tahun untuk mempertahankan posisi mereka di Serie A sampai musim semi 2008,” ujar Leonard Jägerskiöld Nilsson dalam World Football Club Crests . Baru pada 2007 Parma diambilalih pengusaha Tommaso Ghirardi namun kehilangan tempatnya di Serie A setelah degradasi pada akhir musim 2014-2015. Selain degradasi, Parma bangkrut lagi dengan utang 218 juta euro, termasuk utang gaji pemain dan staf sebesar 63 juta euro. “Kebangkrutan Parma murni karena dari pihak klub kurang pintar mengelola, terutama pada kebangkrutan kedua karena klub terlalu banyak meminjamkan pemain ke klub lain sehingga tidak dapat membayar pajak dari pemain itu sendiri. Akhirnya berakibat kebangkrutan. Parma sampai harus turun ke Serie D,” ujar Rengga. Parma harus memulai lagi dari kasta terendah, Serie D, di musim 2015-2016 berdasarkan Statuta FIGC (induk sepakbola Italia) Pasal 52 NOIF (Norme Organizzative Interne della FIGC). Perjuangan makin berat lantaran mayoritas pemainnya pilih hengkang. Namun, kapten Alessandro Lucarelli, satu-satunya pemain lama yang tersisa, berhasil “membimbing” rekan-rekannya untuk terus menjalankan roda perjuangan Parma. Dia berhasil. Dari Serie D, Parma promosi ke Serie C pada musim 2016-2017. Setahun berikutnya Parma kembali promosi ke Serie B. Pada musim 2018-2019, tim berjuluk Ducali itu comeback ke Serie A. Di giornata (pekan pertandingan) ke-13, Minggu (25/11/2018), berbekal kemenangan 2-1 atas Sassuolo di kandang sendiri, Stadio Ennio Tardini, Parma nangkring di urutan keenam alias jatah terakhir zona Eropa (Europa League). Emosi Alessandro Lucarelli, kapten Parma nan setia kala mengantarkan Parma ke Serie A (Foto: parmacalcio1913.com) Atas loyalitas dan jasa besar Lucarelli, klub memberi penghormatan padanya dengan memensiunkan nomor punggung 6 –nomor punggung Lucarelli– ketika sang bintang pensiun 27 Mei 2018 lalu. “Lucarelli sosok pemimpin, kapten yang sesungguhnya di dunia nyata. Belum ada yang seloyal dia. Bermain tanpa digaji dan bersedia main di divisi terbawah hanya untuk membawa Parma kembali ke habitat aslinya, Serie A,” sambung Rengga. Kesetiaan Parmagiani Dinamika Parma dengan prestasinya yang yahud, terutama di kancah Eropa, menarik banyak orang untuk menggemarinya. Tak hanya di Benua Biru, tapi juga sampai ke Indonesia. Pada 12 Juli 2009, beberapa fans Parma membentuk Parmagiani Indonesia, yang kini punya lebih dari 400 anggota resmi. “Para founder : Ivan, Gama, Adit, Kamsis, sepakat membentuk komunitas dan menjaring para anggota lewat media sosial Facebook . Maka muncullah grup Facebook Parmagiani Indonesia. Nama Parmagiani diambil dari kata ‘Parmigiano’, artinya warga Kota Parma. Kita modifikasi jadi Parmagiani,” jelas Rengga. Rengga kemudian bergabung ke dalamnya di tahun yang sama. “Saya sudah suka dengan Parma sejak 1998. Mungkin bisa dibilang pas era kejayaan Parma sebelum pabrik susu Parmalat (pemilik Parma) bangkrut. Di mana Parma diperkuat banyak pemain bintang seperti Buffon, Cannavaro, (Lilian) Thuram, Juan Verón, sampai duet (Enrico) Chiesa-(Hernán) Crespo,” ujar Rengga. Ban kapten Parma yang didesain Parmagiani Indonesia (Foto: Dok. Parmagiani Indonesia) Para fans Parma tentu merasa down kala Parma terlempar ke Serie D dan harus berjuang ekstra untuk kembali ke Serie A. Tapi sebagaimana Lucarelli, mereka tetap setia. “Loyalitas kami tak pernah luntur. Kami tak pernah melewatkan laga-laga Parma via live streaming dari Serie D, lalu naik ke kasta Serie C, lalu naik kasta Serie B dan sampai sekarang penantian kami berbuah hasil karena Parma naik kasta tertinggi Serie A. Magnificent Seven (Milan, Inter, Juventus, Fiorentina, Lazio, AS Roma, Parma) era 90-an is back ,” kata Rengga. Acara-acara nonton bareng (nobar) dan kegiatan futsal laiknya komunitas-komunitas fans lain jadi rutinitas kala berkumpul. Antusiasme dan kecintaan mereka pada Parma ternyata dilirik klub. Pada Oktober 2015, perwakilan Parmagiani diundang ke homebase Parma untuk bertemu Lucarelli. “Pada laga terakhir Serie D saat Parma melawan Sammaurese, desain (ban) kapten yang dipakai Lucarelli adalah buatan kami dari Parmagiani Indonesia,” terang Rengga.
- Raja Intel Jadi Panglima ABRI
NAMA Jenderal Andika Perkasa jadi pemberitaan sepekan belakangan. Perwira tinggi bertubuh atletis ini telah dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD). Dia menjabat posisi orang nomor satu di jajaran TNI AD terhitung sejak 22 November 2018. Perbincangan menguar di sekitar pelantikan Andika. Sebagai lulusan Akmil angkatan 1987, Andika terbilang cepat menggapai puncak karier militernya. Pengalamannya dalam operasi militer ataupun memegang pasukan kemudian dipertanyakan. Rekam jejak Andika juga disangkut-pautkan dengan ayah mertuanya, Jenderal (purn) Hendropriyono, mantan kepala BIN (Badan Intelijen Negara) yang dekat dengan Presiden Joko Widodo. Sebagian kalangan menilai, moncernya karier Andika tak lepas dari relasi perkoncoan di Istana. Pengangkatan Andika agak mirip dengan kisah Benny Moerdani di era Orde Baru. Mereka sama-sama diragukan karena dianggap minim jam terbang memimpin pasukan. Khusus untuk Benny Moerdani, tak tanggung-tanggung. Presiden Soeharto menunjuknya sebagai panglima ABRI. Rekam Jejak Benny Bernama lengkap Leonardus Benyamin Moerdani. Sosok Benny langsung jadi sorotan saat pelantikannya sebagai panglima ABRI pada Maret 1983. Namanya melejit seketika. Sebelumnya, Benny menjabat sebagai Asisten Intelijen Pertahanan dan Keamanan merangkap Asisten Intelijen Kopkamtib sekaligus wakil kepala Bakin (Badan Koordinasi Intelijen Negara). Sebagai perwira intel yang selalu berada di balik layar, tak banyak yang menyadari siapa dan bagaimana sosok Benny Moerdani. Soal penujukan Benny, pengamat militer Salim Said punya jawaban. “Di masa Orde Baru, aturan yang berlaku dibuat dan dipraktikkan sendiri oleh Pak Harto. Mana yang baik saja menurut Beliau,” kata Salim Said kepada Historia . Keputusan Soeharto menunjuk Benny sebagai Panglima ABRI memang memantik perdebatan. Sebagian orang menilik kendala dalam perjalanan karier kemiliteran Benny yang belum lengkap. Seperti umum diketahui, Benny minus sejumlah pengalaman keperwiraan. Benny belum punya pengalaman memimpin teritorial semisal panglima Kodam. Dia juga tanpa pengalaman sebagai pendidik dan tak pernah mengikuti Seskoad (Sekolah Komando Angkatan Darat). Nyaris seluruh pengalamannya berlangsung di pasukan khusus dan intelijen. Bahkan di bidang telik sandi Benny bisa dikatakatakan lebih ahli hingga dia dikenal sebagai Si Raja Intel. Sebagai komandan, jabatan tertinggi yang pernah dipegang Benny hanya komandan batalion sewaktu memimpin “Operasi Naga” di Papua. Operasi militer skala besar yang pernah ditangani Benny barangkali misi invasi ke Timor-Timur pada 1975. Dengan demikian, muncul sentimen seakan-akan Benny langsung meloncat dari jabatan intel ke posisi Panglima ABRI. Salah satu yang bersuara kritis adalah mantan Panglima Pangkopkamtib Jenderal (Purn.) Soemitro. Soemitro sebenarnya kurang sepakat dengan keputusan Soeharto yang mengangkat Benny menjadi Pangab menggantikan Jenderal M. Jusuf. Adalah lebih baik, menurut Soemitro, bila Benny terlebih dahulu diberi pengalaman memegang teritorial. “Saya sarankan agar Benny dijadikan dulu Pangkowilhan (Panglima Komando Wilayah Pertahanan), jangan langsung jadi Pangab (Panglima ABRI),” kata Soemitro sebagaimana dikutip Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto. “Tidak ada waktu lagi,” konon begitulah jawaban Soeharto kepada Soemitro. Panglima Pilihan Melihat rekam jejaknya, mengapa Benny yang ditunjuk sebagai panglima? Benny sendiri tak tahu-menahu alasan pengangkatan dirinya. Itu semua kembali kepada Presiden Soeharto yang punya hak prerogatif. Surat Keputusan Presiden No. 47 16 Maret 1983 menetapkan bahwa Benny memenuhi syarat untuk menjabat Panglima ABRI. “Namun sebagian pendapat melukiskan, penunjukan Benny mungkin akan bisa menjadi jembatan antara Perwira Angkatan 45 dengan generasi lulusan AMN,” tulis Julius Pour dalam Benny Moerdani: Tragedi Seorang Loyalis . Menurut Julius Pour, Benny yang sedari muda ikut memanggul senjata dalam perang kemerdekaan semasa tentara pelajar merupakan faktor yang cukup diperhitungkan. Dengan pengalaman itu, Benny menjadi figur representasi Angkatan 45 yang tersisa. Namun, Benny juga dianggap tak terpaut jauh dari perwira alumni AMN Magelang. Mereka yang tak memperoleh peluang berjuang dalam palagan era revolusi. Sebagai perwira generasi perantara, Benny menjadi pilihan terbaik yang dapat menjembatani kesinambungan dua generasi tersebut. Sementara itu, menurut Salim Said menyitir penjelasan Robert Lowry, atase militer Australia di Jakarta saat itu, pilihan Soeharto terhadap Benny punya pertimbangan pragmatis: memperkecil potensi oposan. Salah satu tugas Benny selaku Panglima ABRI adalah menghapuskan Kowilhan. Lembaga ini selama belasan tahun telah memberi tempat kepada sejumlah jenderal, laksamana, dan marsekal. Kenyatannya, setelah Benny menjabat panglima, lembaga tersebut memang dilikuidasi. Apa lacur, selama menjadi Panglima ABRI, peran Benny cukup besar menyokong kedudukan Soeharto di puncak kekuasaan. Kepentingan negara terjaga. Stabilitas politik jauh dari gaduh. Keamanan masyarakat terjamin. Termasuk membungkam mereka yang bersuara kritis terhadap pemerintah. “Buat Pak Harto, Benny Moerdani sebagai Pangab waktu itu paling aman,” ujar sesepuh TNI AD yang juga mantan Wakil KASAD (1973-74) Sayidiman Suryohadiprodjo kepada Historia . “Ya aman bagi Pak Harto terhadap pihak-pihak yang berusaha melawannya.”
- Kapan Orang Mulai Merias Mata?
ILMIAWATI Safitri, mahasiswa Universitas Gadjah Mada, mengaku bila sebelum pergi dirinya terlebih dulu selalu membedaki wajahnya dan mewarnai bibirnya dengan gincu. “Supaya nggak kelihatan pucat. Kadang lipstick kutaruh di pipi buat blushon , hahaha...” ujarnya sambil terkekeh kepada Historia . Selain merias bibir dan pipi, Mia, sapaan akrabnya, tak lupa merias matanya dengan celak ( eyeliner ). Bersama dengan bedak, riasan mata menjadi dandanan rutin bagi sebagian perempuan sebelum bepergian. Aktris Penelope Cruz dan Syahrini mungkin paling fanatik, keduanya tak pernah lepas dari riasan mata. Syahrini bahkan memperkenalkan bulu mata badai beberapa waktu lalu. Bulu mata itu bisa digunakan hanya dengan bantuan maskara, salah satu produk riasan mata berbahan kohl . Kohl merupakan bahan yang mengandung senyawa antimony (sejenis logam tak stabil yang berbentuk kristal) yang digunakan masyarakat Mesir Kuno sebagai pembuat kosemetik. Di masa inilah, menurut Sjarief Wasitaatmadja yang sejak 1970-an berprofesi sebagai dokter dan pengamat kecantikan, bukti historis tertua penggunaan kosmetik dapat dijejaki dari lukisan Ratu Cleopatra mengenakan celak dan eye shadow . Orang Meskir Kuno, terutama yang tinggal di daerah lembah, menggunakan msdmt atau kohl untuk celak. Kata “kohl ” berasal dari bahasa Arab dan ahli kohl disebut kahal . Kata inilah yang kemudian populer untuk menyebut bubuk hitam bahan dasar kosmetik mata. Sementara, orang Mesir kuno menyebut kohl dengan msdmt, cohm dalam bahasa Koptik, stimmi dalam bahasa Yunani. Lukisan-lukisan Mesir Kuno menunjukkan bahwa orang Mesir, baik lelaki maupun perempuan, biasa merias mata dengan warna hitam di bagian atas kelopak mata dan hijau di bagian bawah. Beberapa juga memilih warna abu-abu atau biru untuk mewarnai kelopak mata di bawah alis. “Warna hitam dan hijau kebiruan berasal dari batu yang ditumbuk hingga halus. Sementara warna abu-abu dan hijau perunggu diperoleh dari biji tembaga,” tulis Lawrence Charles Parish dalam “Cosmetic: A Historical Review”. Penggunaan antimoni sebagai eye shadow juga ditemukan di masyarakat Romawi Kuno. Sementara, penggunaan kohl di India sudah tercatat sejak abad ke-4. India mengekspor kohl bersama dengan minyak wijen dan ekstrak melati ke Tiongkok. Menurut Sk Cahudari dalam “History of Cosmetic”, India juga menyalurkan cengkeh, kemenyan, jahe, pala, dan nilam dari Indonesia ke Tiongkok. Penggunaan kohl yang di India disebut kajal punya sejarah panjang dalam budaya Hindu. Kohl diyakini memiliki manfaat kesehatan sehingga digunakan mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Jikalau kohl sulit ditemukan, orang India menggantinya dengan jelaga yang kadung menumpuk di dalam rumah akibat aktivitas pembakaran. Semula, kohl hanya digunakan untuk celak. Namun pada 1913, ketika ahli kimia dan parfum Perancis Eugène Rimmel merancang kuas untuk mengoleskan kohl ke bulu mata, keluarlah maskara non-toksik pertama buatan pabrik. Produk perdana ini jauh dari sempurna, berantakan saat dipakai dan hasilnya tidak selalu bagus. Namun, maskara buatan Rimmel sangat populer di seluruh Eropa. Beberapa negara bahkan masih menyebut maskara sebagai "rimmel", merujuk pada si pembuat. Meski konon celak mujarab untuk menyehatkan mata dan mengobati trachoma , hasil penelitian terkini oleh Badan Kesehatan Dunia menunjukkan bahwa kosmetik mata baik celak, maskara, atau eye shadow mengandung merkuri organik. Padahal, penggunaan merkuri untuk make up dan produk perawatan kulit (bahkan dalam lampu bohlam, baterai, dan thermometer) sudah dilarang. Namun, sampai hari ini merkuri masih terkandung dalam banyak produk riasan mata yang diperjual-belikan. Penyebabnya, para peneliti dan pembuat kosmetik belum menemukan bahan pengganti yang cukup aman yang bisa menyamai efektivitas merkuri. Dalam make up mata, merkuri berguna untuk membunuh bakteri dan jamur serta mengawetkan produk agar tetap aman dipakai walaupun sudah lama disimpan. Lantaran merkuri merupakan logam berat dan berbahaya, BPOM membatasi penggunaannya untuk kosmetik mata dengan kadar 0,007%. Sementara, Badan Keamanan Obat dan Makanan Amerika memberi batas konsentrasi hingga 65 ppm (parts per million, 65 bagian merkuri banding 1 juta bahan lain). Meski dinilai aman karena konsentrasinya sangat rendah, beberapa dokter menganjurkan ibu hamil atau orang-orang dengan kondisi imun lemah tidak menggunakan kosmetik yang mengandung merkuri. “Karena sedang hamil, aku sudah nggak pernah pakai eye liner lagi,” kata Mia.
- Wartawan Pencetus Ballon d'Or
Rasa penasaran penggila sepakbola di berbagai penjuru dunia makin meluap seiring kian dekatnya hari-H Penganugerahan Ballon d’Or 2018. Selain megabintang Cristiano Ronaldo (Portugal/Juventus) dan Lionel Messi (Argentina/Barcelona) yang masing-masing telah merebutnya lima kali, ada 28 bintang lain yang saling bersaing untuk menjadi number one . Mereka antara lain, Kylian Mbappé (Prancis/Paris-Saint-Germain), Luka Modrić (Kroasia/Real Madrid), Antoine Griezmann (Prancis/Atletico Madrid), dan Mohammed Salah (Mesir/Liverpool). Ke-30 nama itu bakal dikerucutkan jadi tiga nama finalis sekaligus ditentukan pemenangnya pada Senin (3/12/2018) mendatang di Paris. Pemenangnya ditentukan oleh vote ratusan jurnalis olahraga yang ditentukan dan masuk dalam tim jurnalis internasional yang akan dikumpulkan media Prancis, France Football . Pemenang ditentukan lewat tiga penilaian. Pertama , performa individu setahun terakhir. Kedua , talenta dan permainan fair play . Ketiga , penilaian keseluruhan karier si pemain. Capaian gol maupun gelar juara yang diraih si pemain bersama klub maupun negara tidak serta-merta menjadikannya perebut Ballon d’Or. Gabriel Hanot dan Mula Ballon d’Or Ballon d’Or atau penghargaan Bola Emas sejatinya merupakan anugerah tahunan untuk pesepakbola putra terbaik. Sebagaimana namanya, Ballon d’Or asli produk Prancis. Penghargaan ini digagas wartawan cum mantan pesepakbola Prancis Gabriel Hanot pada 1956. Maka itu penentuan pemilihan suara untuk pemenang pemain terbaiknya ditentukan oleh wartawan. Gabriel Hanot yang lahir di Arras, 6 November 1889, mulanya merupakan pesepakbola klub US Tourcoing. Bill dan William J. Murray dalam The World’s Game: A History of Soccer menyingkap, Hanot juga sempat jadi bek timnas Prancis dengan catatan 10 caps sejak 1908. Sayang, karier Hanot berakhir pada 1919 akibat cedera kaki permanen pasca-kecelakaan pesawat. Namun, passion -nya pada sepakbola tak pernah padam. Dia lalu memilih jadi wartawan olahraga. “Hanot menjadi wartawan di L’Auto , Mirroir des Sports, dan kemudian L’Equipe dan France Football ,” tulis Patrick Boudreault dalam “Saga Ligue des Champions: Gabriel Hanot, Visionnaire de Genie” yang dimuat dalam LaDepeche , 6 Agustus 2007. Hanot juga mengadvokasi liga profesional Prancis lewat Commision de Classement et de Statut Pro. “Bahkan pada 1932 Hanot ikut menggagas kejuaraan profesional Prancis (kini Ligue 1),” sambung Patrick Boudreault. Pada 1945-1949, Hanot jadi pelatih timnas Prancis. Bersama rekannya di L’Equipe, Jacques Ferran, Hanot mengagas Piala Champions (kini UEFA Champions League) pada 1955. Dengan adanya kompetisi para juara di Eropa, sang pemimpin redaksi France Football itu lalu juga melahirkan penghargaan untuk pemain terbaik Eropa, Ballon d’Or. Gabriel Hanot (kiri) menyerahkan trofi Ballon d'Or pertama pada 1956 untuk Stanley Matthews (Foto: L'Equipe) Adalah Stanley Matthews, pemain sayap Inggris yang bermain di klub Blackpool, yang jadi pemenang pertamanya, tahun 1956. Trofi penghargaan berbentuk bola berlapis emas itu diserahkan langsung oleh Hanot di Paris. Trofi itu, catat situs FIFA edisi 6 Januari 2016, didesain dan diproduksi sebuah perusahaan pembuat perhiasan legendaris yang berdiri sejak 1613, Mellerio dits Meller. Perusahaan itu pula yang membuat ulang trofi dari tahun ke tahun dengan desain dan komposisi yang sama. Trofi bola emas 18 karat itu berdiameter 31 cm dan berbobot lima kilogram. Hingga 1994, hanya pemain Eropa yang memenangkannya lantaran penghargaan ini memang dibuat khusus untuk pesepakbola Benua Biru. Namun sejak 1995, para pemain dari berbagai benua bisa mengikutinya dan bahkan memenangkannya selama berkarier di klub Eropa. Benar saja, begitu aturan baru diterapkan pada 1995, Ballon d’Or langsung direbut George Weah, pemain Liberia yang kala itu merumput di AC Milan. Ronaldo Luiz Nazario de Lima (Brasil/Barcelona) yang merebutnya pada 1997 tercatat jadi pemenang asal Amerika Latin pertama. France Football selaku penyelenggara lalu digandeng FIFA bekerjasama menghelat anugerah tahunan itu, namanya berubah jadi FIFA Ballon d’Or pada 2010-2015. Sepanjang masa ini, pemilihan pemenang tidak dimonopoli para jurnalis namun juga mengikutsertakan para kapten tim anggota FIFA. Setelah kerjasama dengan FIFA terhenti pada 2016, France Football tetap menghelat anugerah Ballon d’Or. Sementara, FIFA menghelat anugerah sendiri bernama FIFA World Player of the Year. Mulai tahun ini, Ballon d’Or tak hanya akan diberikan kepada pesepakbola putra terbaik. France Football akan membuka voting para jurnalis untuk memilih pesepakbola putri terbaik. Lucy Bronze (Inggris/Olympique Lyon), Pernille Harder (Denmark/VfL Wolfsburg), Saki Kumagai (Jepang/Lyon) dan 12 pemain putri/kandidat lain bersaing untuk menjadi yang terbaik.
- Catatan Perjalanan Haji Muslim Nusantara
Orang-orang Nusantara sudah banyak yang memeluk Islam. Kesultanan Islam telah dikenal dunia. Namun, hingga dua abad setelahnya tak diketahui apakah sudah ada yang pernah naik haji ke Makkah. Kisah tertulis pertama tentang orang Melayu atau Nusantara yang berhaji baru muncul pada akhir abad ke-15 M, yaitu Hang Tuah yang ceritanya dikenal sekira 1482 M. “Hang Tuah tokoh tersohor di Malaka. Ini masa akhir kehidupan Malaka sebagai kesultanan dan 30 tahun sebelum direbut Portugis pada 1511,” kata Henri Chambert-Loir, peneliti di Ecole Française d’Extrême-Orient (EFEO), dalam acara Borobudur Writers Cultural and Festival ke-7, di Hotel Manohara, Magelang, Jumat (23/11). Namun, kisah Hang Tuah ini pun terbukti mendapat tambahan dalam tubuh ceritanya. Adegan ini, menurutnya, dipinjam dari teks Arab. “Ini artinya bukan orang Nusantara atau Hang Tuah yang pergi ke Makkah,” ujarnya. Menafikan Haji Anehnya lagi, menurut Henri, catatan perjalanan naik haji berikutnya umumnya negatif. Beberapa tokoh utama menafikan manfaat naik haji. Contohnya kisah tentang dua orang sultan Malaka. Pertama, sultan yang berkali-kali ingin naik haji, tapi keburu meninggal sebelum naik haji. Sultan kedua secara gamblang menafikan ketinggian Makkah atas Malaka. Dia juga secara tersirat menafikan kesahan ibadah haji ke Makkah. Berita itu datang dari penjelajah asal Portugis, Tome Pires dalam catatannya, Suma Oriental. Sultan yang dimaksud adalah Sultan Mahmud Syah (1488-1511). “Dia begitu pongah keterlaluan dan takabur tentang ini sampai dia membanggakan diri sedemikian berkuasa hingga dapat menghancurkan bumi dan dunia memerlukan pelabuhannya sebab letaknya di ujung musim, dan Malaka akan dijadikan Makkah, dan dia tak berpegang pada pendapat ayah dan kakeknya mengenai pergi ke Makkah,” catat Pires. Tokoh yang senada adalah Hamzah Fansuri, penyiar sufi agung dari pelabuhan Barus. Dia pernah naik haji seperti disinggungnya dalam syair: Di dalam Makkah mencari tuhan di Bait al-Ka’bah/ Di Barus ke Kudus terlalu payah/ Akhirnya dapat di dalam rumah. Ini artinya, kata Henri, Hamzah Fansuri pergi ke Makkah, menjalankan ritual haji, mencari Tuhan di dalam Masjidil Haram, tetapi merasa justru menemukan Tuhan di dalam dirinya sendiri. Bait ini, termasuk wacana yang meremehkan peran haji dalam kehidupan seorang muslim, khususnya aliran tasawuf. “Tuhan tak perlu dicari di Makkah, adanya di dalam diri sang sufi,” kataHenri. Lalu pada awal abad ke-17 M, cerita datang dari seorang ulama tersohor, Syeikh Yusuf Makassar. Dia kemudian menjadi qadi di Kesultanan Banten pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683). Kisah ini, kata Henri, ditemukan dalam naskah Bugis, Riwakna Tuanta Salamaka ri Gowa. Syeikh Yusuf naik kapal. Di tengah pelayaran, dia berjumpa Nabi Khidir. Syeikh Yusuf dinasihati supaya tak perlu pergi ke Makkah. Kata sang nabi, tak ada yang bisa dipelajari di situ. Namun, Syeikh Yusuf tetap pergi ke Makkah. Setibanya di sana, dia melakukan berbagai keajaiban yang memperlihatkan kelebihannya atas penduduk Haramain. Dalam sejarahnya, menurut Henri, tak ada satu pun raja atau sultan Indonesia naik haji kecuali Sultan Pontianak pada 1800 M. Namun dia pun bukan orang Nusantara, melainkan Arab. “Barangkali ini disebabkan karena raja-raja Indonesia tak mau mengakui kelebihan negara lain,” ucap Henri. Kendati begitu, beberapa raja dari Banten, Mataram, dan Makassar mengirim utusan ke Makkah untuk memohon gelar sultan. Beberapa sultan juga mendirikan rumah pemondokan di Makkah dan Mina untuk calon haji dari kerajaan mereka. Kebiasaan Menulis Sulitnya menemukan catatan perjalanan orang Nusantara pergi haji, bukan berarti tak pernah ada yang berhaji. Pasalnya, kebiasaan menulis catatan harian atau catatan perjalanan memang bukan menjadi kebiasaan orang Melayu atau Nusantara. “Menulis tentang diri sendiri bukan budaya Indonesia. Ini baru muncul pada abad ke-19 karena pengaruh Eropa,” kata Henri. Dengan demikian kisah orang Melayu naik haji baru muncul lama sekali setelah Islam masuk ke Nusantara. Kisahnya muncul dalam Tuhfat al-Nafis oleh Raja Ahmad, bangsawan keturunan Bugis dari Riau. Tulisannya itu dibuat pada 1860-an. Sementara dia naik haji pada 1828. “Dia tidak menyebut mau menunaikan rukun Islam, tapi membayar nazar yang diucapkannya waktu sakit,” ujar Henri. Adapula kisah haji dalam Perjalanan Saya ke Makkah karyaR.A.A. Wiranatakusumah, yang saat itu menjabat bupati Bandung. “Salah satu kisah tentang naik haji paling menarik,” kata Henri. Lalu 40 tahun kemudian muncul semakin banyak kisah haji. Ada sembilan kisah, dari Hamka, Ali Hasjmy, Rosihan Anwar, dan Asrul Sani. Pada 1965, kisah haji terbit dalam jumlah lebih banyak lagi, sampai puluhan judul. Oman Fathurachman, filolog UIN Syarif Hidayatullah menambahkan, baik penceritaan pengalaman berhaji yang ditulis orang Nusantara maupun bangsa lain punya ciri masing-masing. “Jadi orang-orang Nusantara juga naik haji dan menuliskannya, tapi karakternya sangat berbeda,” ujarnya. Penjelajah asing, seperti Ibn Battutah menulis pengalaman perjalanan dengan kebiasaan mendeskripsikan yang dia lihat. Sementara orang Nusantara lebih menerangkan pengalaman spiritual, kondisi perjalanan haji, seperti kondisi kapal dan pengalaman rohaninya. “Itu yang menonjol. Jadi kita tidak lihat apa yang mereka lihat di sana, orang Arabnya bagaimana, dan lain-lain. Mungkin karena tak begitu paham bahasanya,” ujar Oman.





















