top of page

Hasil pencarian

9594 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Sebuah Usaha Mengenal Sultan Hamengku Buwono IX

    KENDATI memainkan peran penting, penampilan Sultan Hamengkubuwono IX (HB IX) di dalam buku sejarah tak sesering tokoh republik lainnya. Soal tentangnya paling dikaitkan dengan posisinya sebagai wakil presiden RI kedua atau Wapres pertama semasa Presiden Soeharto. Selebihnya hanya terdengar sayup-sayup dalam berbagai perbincangan soal sejarah dan sesekali politik di negeri ini. Buku yang lumayan memberikan informasi tentang HB IX adalah Tahta Untuk Rakyat terbit pertama kali pada 1982. Buku yang disusun oleh para sahabat dekat HB IX seperti Mohammad Roem dan Mochtar Lubis itu memuat tulisan-tulisan mereka yang mengenal dekat HB IX dan juga kisah-kisah seputar kehidupan HB IX. Namun sebagaimana buku “festschrift” yang ditulis oleh kalangan dekat HB IX, buku tersebut tak berjarak sama sekali alias kehilangan daya kritiknya. Maka penampilan HB IX pada buku tersebut tak lebih sebagai seorang yang menerima puja dan puji, nyaris tanpa cela sebagai manusia biasa. Padahal biografi, kata Gerry van Klinken dalam “Aku yang Berjuang: Sebuah Sejarah Penulisan Tentang Diri Sendiri pada Masa Orde Baru” yang dimuat dalam Henk Schulte, Bambang Purwanto dan Ratna Saptari (ed.), Perspektif Baru Penulisan Sejarah Indonesia , harus menyentuh aspek pribadi tokoh yang ditulis dan tidak melulu menonjolkan hal-hal positif dari si tokoh. Dalam soal itu, John Monfries, penulis buku A Prince in a Republic mencoba untuk menelaah HB IX secara lebih kritis. Dia menyadari Sultan Yogyakarta itu bukanlah seorang yang terbuka dan tak termasuk tokoh publik yang banyak dikaji oleh para sarjana. “Hamengku Buwono” kata Monfries, “kurang berkharisma dan tak jago berpidato seperti Sukarno, lincah seperti Adam Malik, bukan administrator yang ulet seperti Hatta, intelek seperti Sjahrir dan tak bergaya komandan seperti Nasution.” (Hlm. 3). Menurut Monfries, HB IX memainkan peran penting dalam sejarah di republik ini. Ketika Jakarta semakin berbahaya bagi pemimpin republik, HB IX membuka pintu istananya di Yogyakarta untuk dijadikan pusat pemerintahan Republik Indonesia. Bahkan dia menyumbangkan sebagian besar hartanya untuk menghidupi pemerintahan yang masih jabang bayi. Saat pemerintah Soeharto membutuhkan seorang lihai mengatasi krisis ekonomi, HB IX diundang untuk mengatasinya. Penjaga Gawang Karena banyaknya peran yang dimainkan oleh HB IX, banyak orang menjuluki HB IX sebagai “penjaga gawang” yang baik. Karena berkat dialah republik berhasil diselamatkan dari serangan luar dan dalam. Pada titik ini Monfries melontarkan kritik terhadap pemujaan peran HB IX yang terlampau berlebihan. Tak mudah menulis HB IX terlebih karena kepribadiannya yang cenderung agak tertutup dan tidak termasuk kategori pencari ketenaran. Hal tersebut berpengaruh pada sumber penulisan yang juga cenderung tak banyak menyediakan informasi tertulis tentangnya. Khususnya mengenai peran penting dia di dalam berbagai peristiwa sejarah. Pada bagian awal buku ini Monfries menyebutkan tentang dokumen sejarah yang menyebutkan kehadiran HB IX dalam beberapa peristiwa. Namun tidak pernah ada penjelasan peran penting apa yang dimainkannya. Dari sembilan dokumen notulensi rapat kabinet pada 1948 yang pernah disita Belanda, hanya satu yang memuat isi pembicaraan HB IX. Untuk seorang yang berpendidikan tinggi, naskah pidato HB IX sejak masa kolonial sampai era kemerdekaan dipandang Monfries terlalu ortodoks. “Bahkan di antaranya cukup mengejutkan karena sama sekali kurang ilmiah atau tak merujuk pada referensi sejarah,” ujar Monfries dalam pengantarnya. Karier HB IX yang panjang dan beragam menampilkan beberapa paradoks dan kontradiksi: dia seorang “pangeran di republik”; seseorang yang penting baik di tingkat daerah, nasional bahkan regional; seorang sultan yang tampak peragu namun berperan sebagai tuan ningrat di istananya; dia bergerak secara mudah antara dunia tradisi Jawa dan alam pergaulan barat yang modern. Selama 40 tahun lebih terlibat di dalam politik praktis namun tetap terlihat apolitis. Monfries menyebutkan HB IX kerap ada di tengah-tengah peristiwa bersejarah tapi entah bagaimana ia mampu mengatur kesan kalau dirinya tak pernah ada kaitannya dengan peristiwa tersebut. Pada bab ketujuh, Monfries menjelaskan perihal tersebut. Dia mengambil contoh keterlibatan HB IX dalam peristiwa 17 Oktober 1952. Bagi Monfries, peran HB IX dalam peristiwa semikudeta itu cukup penting. Karena sebagai menteri pertahanan menurutnya HB IX melakukan berbagai upaya serius untuk mendamaikan tentara dengan para politikus parlemen. HB IX justru merasa dikhianati Presiden Sukarno yang menurut dia tidak berupaya serius dalam membangun demokrasi dengan mengangkat Bambang Supeno sebagai KSAD menggantikan Nasution (Hlm. 230). Peran HB IX inilah yang yang luput dari pengamatan para sarjana pengaji peristiwa 17 Oktober 1952. “Cerita mengenai affair itu (yang pernah dibahas oleh Herbert Feith, Ulf Sundhaussen, Buyung Nasution, Harold Crouch dan Salim Said) pada umumnya merujuk kepada aktivitas para perwira senior Angkatan Darat dan hanya memberikan sedikit pembahasan mengenai peran HB IX. Ini bisa dimengerti karena TB Simatupang dan Nasution lebih nyata terlihat ketimbang HB IX,” ujar Monfries dalam buku ini. Serangan Umum 1 Maret 1949 Bukan hanya itu, peran penting HB IX yang sempat jadi pembicaraan publik di Indonesia adalah seputar perannya di dalam Serangan Umum 1 Maret 1949. Perbincangan mengenai hal ini mengemuka pascakejatuhan Soeharto sebagai presiden. Versi sejarah yang mengkultuskan perannya mendadak dipertanyakan, termasuk tentang siapa pencetus serangan umum itu. Pada masa Orde Baru, peran Soeharto sebagai penggagas serangan umum ditonjolkan bahkan sampai dibuat sebuah film untuk mengabadikan peran historisnya. Belakangan muncul keraguan tentang otentisitas idenya dalam serangan umum tersebut. Tersiar kabar bahwa penggagas serangan umum terhadap pihak Belanda di Yogyakarta justru datang dari HB IX sendiri. Monfries menyinggung soal ini pada halaman 183–184. Menurutnya, pada pertengahan Februari 1949 HB IX langsung memanggil Jenderal Soedirman begitu mendengar pengumuman radio tentang sidang Dewan Keamanan PBB yang dijadwalkan berlangsung pada awal Maret. HB IX berencana menyampaikan idenya kepada Sudirman agar pasukannya menyerang Yogyakarta yang diduduki Belanda pada siang hari. Namun Sudirman berhalangan hadir. Sebagai gantinya dia meminta HB IX untuk mengundang Soeharto, komandan wilayah Yogyakarta. “Mereka membicarakan serangan balik yang besar dan Soeharto menggenapi rencana operasi serangan itu agar cepat dan efisien, sebuah rencana yang mengundang kekaguman HB IX,” tulis Monfries. Menurut Monfries pertemuan itulah untuk pertama kalinya HB IX bermuka-muka dengan Soeharto. Ide yang didiskusikan itu dilakukan pada 1 Maret 1949, tepat pukul 06:00 pagi hari. Serangan umum tentara itu ternyata memiliki dampak baik pada diplomasi delegasi Indonesia di sidang umum Dewan Keamanan PBB. Satu tanda bahwa Indonesia masih eksis dan pemerintahan berjalan sebagaimana adanya. Selama puluhan tahun HB IX diam menyimpan kisah bahwa dia adalah bagian utama dari penyerangan bersejarah itu. Akibatnya pengajaran sejarah diberikan secara sepihak dengan mengkultuskan peran Soeharto. Lebih dari dua generasi menerima informasi sejarah yang sepotong-sepotong tentang serangan umum itu. Melobi Negara Donor Sebagai politikus yang menghindari konflik politik frontal, HB IX memilih untuk berada di pinggiran arena pertarungan. Monfries menyebut posisi HB IX sebagai ketua BPK di pengujung tahun 1963 adalah cara dia untuk tidak masuk ke dalam kabinet Sukarno di era Demokrasi Terpimpin. “Dia lebih memilih berada di luar kabinet dan menerima pengangkatannya sebagai ketua BPK kendati dia harus kecewa saat pemerintah tak mengindahkan laporan penyelewengan keuangan di banyak lembaga pemerintah,”ujar Monfries pada halaman 241. Monfries juga membahas peran penting HB IX sebagai pelobi ke negara-negara donor pascakejatuhan Sukarno. Sebagai menteri koordinator ekonomi dan keuangan di era awal Orde Baru, HB IX bertugas mempromosikan Indonesia sebagai negara tujuan investasi. Tugasnya terbilang sukses. Pada 1967, Undang-Undang Penanaman Modal Asing diberlakukan untuk mendukung kebijakan investasi Orde Baru. Sebuah iklan dibuat untuk mengundang negara pemodal tanamkan uangnya di Indonesia. “ 5 years from now you could be sorry you didn’t read this ad ” kata iklan berfoto dan bertandatangan HB IX yang dimuat New York Times, 17 Januari 1969 itu. Dampak iklan tersebut baru terasa berpuluh tahun kemudian: selain menghasilkan pertumbuhan ekonomi, juga membawa Indonesia menjadi negeri “taklukan” modal asing. Buku ini berhasil memperkenalkan sosok HB IX yang selama ini tak banyak dibuka ke publik. Satu saja yang amat disayangkan tidak dibahas dalam buku ini adalah kehidupan pribadi HB IX dari dalam keratonnya: tentang bagaimana hubungan dengan istri-istrinya; anak-anaknya dan bagaimana seorang raja di dalam istana, pejabat tinggi sebuah negeri menghadapi persoalan di dalam rumah tangganya.

  • D.I. Pandjaitan, Balada Jenderal Pendeta

    Setelah dipilih menjadi orang nomor satu di TNI AD, Letjen TNI Ahmad Yani dipanggil Presiden Sukarno. Pembicaraan seputar siapa saja perwira yang akan membantu Yani sebagai asisten. Yani menyodorkan satu nama sebagai Asisten I bidang intelijen: Donald Isaac Pandjaitan. Pandjaitan lahir di Balige, Sumatera Utara, 9 Juni 1925. Karier militernya dimulai pada masa pendudukan Jepang ketika menjabat Shodanco (setara mayor) Peta (Pembela Tanah Air) di Pekanbaru, Riau. Dibesarkan dalam pendidikan misi Zending dari Jerman, Rheinische Mission Geselchaft (RMG), Pandjaitan terampil berbahasa Jerman. Dia menjadi atase militer RI di Bonn, Jerman Barat antara 1956-1962. “Apakah Pandjaitan ini yang pernah menjadi atase militer di Jerman?” tanya Sukarno. “Benar,” jawab Yani. “Sesuai laporan dari Chaerul Saleh dan Iwa Kusumasumatri, orang ini tidak baik,” ujar Sukarno. “Kolonel Pandjaitan ini baik. Sebenarnya dia lebih cocok jadi pendeta. Selama bertugas di Jerman dia sering berkhotbah di gereja dalam bahasa Jerman,” kata Yani. “Kamu saja yang mengatakan begitu,” balas Sukarno tak percaya. “Kalau Bapak tidak percaya, panggilah langsung yang bersangkutan. Nanti dia saya hadapkan,” Yani mengusulkan. Yani lantas menelepon Pandjaitan, menginstruksikannya agar menghadap Sukarno. “Semalaman suami saya gelisah sehingga sulit tidur memikirkan masalah yang hendak dibicarakan di Istana esok pagi,” kenang istri Pandjaitan, Marieke Pandjaitan br Tambunan dalam D.I. Pandjaitan: Gugur dalam Seragam Kebesaran. Pukul 7 pagi, Sukarno menerima Pandjaitan. “Saya mendapat laporan, bahwa jij ada berhubungan dengan tokoh-tokoh PRRI?” Sukarno membuka percakapan. Kepada Sukarno, Pandjaitan tidak menampik dirinya dekat dengan tokoh PRRI. Tatkala di Bonn, Alex Kawilarang, atase militer RI di Washington pernah menghubungi Pandjaitan lewat saluran telepon. Kawilarang memberi tahu akan meninggalkan posnya dan bergabung dengan Permesta di Sulawesi Utara. Menurut Marieke, Pandjaitan menasihati Kawilarang agar tetap bertugas di Washington. Begitu pula ketika Pandjaitan menerima Achmad Sukendro di kediamannya di Bonn. Hal ini diketahui oleh menteri loyalis Sukarno, Iwa Kusumasumatri. Kolonel Sukendro adalah perwira TNI yang dikenal antikomunis –kelak menjadi salah satu jenderal yang masuk daftar target operasi G30S. “Saya mendapat laporan dari Chaerul Saleh tentang hal itu, dan juga katanya jij tidak loyal kepada saya sebagai Presiden/Panglima Tertinggi,” lanjut Sukarno. “Saya sudah disumpah sebagai perwira, Pak, bahwa saya tetap setia kepada Pancasila, Presiden, Panglima Tertinggi, dan Pemerintah. Sekian,” pungkas Pandjaitan. “Kalau demikian,” kata Sukarno, “kembalilah dan melapor pada Yani.” Seraya menghormat, Pandjaitan melapor kemudian minta diri. Yani kemudian dilantik menjadi Menteri Panglima Angkatan Darat pada 21 Juli 1962. Beberapa hari sesudah pelantikan, Pandjaitan ditetapkan sebagai Asisten IV yang membidangi logisitik, bukan Asisten I sebagaimana rencana semula. Pangkatnya dinaikkan menjadi brigadir jenderal. Pandjaitan menjadi pembantu Yani yang berperan dalam menghalau pengaruh komunis. Pada pertengahan 1965, Pandjaitan membongkar aksi penyelundupan dari kapal berbendara Republik Rakyat Tiongkok di pelabuhan Tanjung Priok. Kapal-kapal itu diduga mengangkut senjata yang digunakan dalam G30S bersama dengan peralatan untuk Conefo (Conference of New Emerging Forces). Menurut Horst Henry Geerken, orang Jerman yang pernah mengenal Pandjaitan di Bonn, Pandjaitan bukanlah seorang antikomunis yang fanatik. “Dia mencoba untuk melakukan upaya apapun supaya Soekarno tidak bergerak lebih lanjut ke kiri,” tutur ekspatriat asal Jerman yang pernah tinggal di Indonesia selama 18 tahun dalam A Magic Gecko: CIA’s Role Behind the Fall of Soekarno . Pada saat terakhir hidupnya, Pandjaitan mencurahkan perhatiannya pada buku-buku keagaamaan. Dari dua belas jilid seri buku Church Dogmatics karya teolog Karl Barth, enam jilid telah rampung dibacanya. “Hasratnya untuk memahami dogma-dogma tersebut bukan karena dia seorang yang taat beragama, tetapi juga karena keinginannya untuk membantu para pendeta memberi khotbah-khotbah di daerah gerilya selama masa perang kemerdekaan,” tulis Mardanas Safwan dalam Mayor Jenderal Anumerta DI Panjaitan . Pada dini hari 1 Oktober 1965, Pandjaitan menjadi salah satu dari enam jenderal yang gugur dalam G30S. Di depan rumahnya, dia mendapat berondongan tembakan sepasukan Tjakrabirawa setelah menghaturkan doa.

  • Dasar Patung Pancoran Bertekstur Kasar

    Media sosial kembali hangat dengan ramainya perbincangan mengenai wajah Patung Dirgantara atau Patung Pancoran karya Edhi Sunarso. Fotografer Rudy Sunandar memotretnya menggunakan drone lalu mengunggahnya di instagram pada 8 April 2017. Foto itu memperlihatkan Patung Pancoran yang berotot, dengan mimik keras, dan sorot mata yang tajam memandang ke angkasa. Edhi Sunarso (1932-2016) dikenal lewat karyanya berupa patung-patung besar di Jakarta, seperti Patung Pancoran di Jakarta Selatan; Patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat; dan Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat. Mengapa ketiga patung tersebut bertekstur kasa? Kepada pengajar Institut Seni Indonesia Yogyakarta Mikke Susanto, Edhi Sunarso mengungkapkan alasannya bahwa “tekstur adalah sarana mendekatkan tujuan untuk membentuk maskulinitas, gerak dan berkarakter keras pada patung.” Pada 1965, Sukarno meminta Edhi untuk membuat patung untuk mengenang jasa para penerbang Indonesia. Patung tersebut akan diletakkan di dekat markas besar AURI kala itu (sekarang Wisma Aldiron). Edhi merealisasikan pesanan Bung Besar dengan membuat patung berbahan perunggu setinggi 11 meter dan seberat 11 ton yang ditempatkan pada dudukan berbentuk angka tujuh setinggi 27 meter. Sayangnya, Sukarno tak sempat meresmikannya karena dijatuhkan dari kekuasaannya. “Selain harus menggetarkan dan mencatat dinamika gerak, patung itu dibuat dengan mempertimbangkan selera Bung Karno. Sedangkan patung-patung pribadi Edhi sendiri justru dibentuknya dengan pola tekstur yang halus,” ujar Mikke. Mikke mengungkapkan bahwa pola tekstur kasar karya Edhi dipengaruhi oleh dosennya di India, Ramkinkar Baij (1906-1980). Banyak patung bikinan Baij yang bertekstur kasar seperti patung penyair Rabindranath Tagore di danau Balaton, Hongaria. Baij sendiri salah satu perintis perkembangan seni patung modern India. Dia adalah figur kunci aliran Contextual Modernism India dan pengajar penting di Santiniketan University. Pada 1957, Edhi menerima medali emas untuk The Best Exhibit dalam All India Fine Art & Craft Exhibition yang digelar di Santiniketan. Saat ini, Victoria Memorial Hall India menggelar eksebisi senirupa bertajuk “Art Movement in Bengal in the Early 20th Century An Intra-Asian Artistic Discourse” yang diselenggarakan pada 10-30 April 2017. Pameran yang dikuratori Amitava Bhattacharya ini akan menampilkan pula karya beberapa maestro Indonesia seperti Sutan Harahap, Rusli, Affandi, Kartika, dan Edhi Sunarso. “Bahkan dalam pameran ini akan diterbitkan sebuah buku berjudul Art Movement in Bengal in the Early 20th Century An Intra-Asian Artistic Discourse yang di dalamnya membahas peran dan eksistensi Edhi Sunarso secara khusus,” pungkas Mikke.

  • Habis Antar Surat Terbitlah Cinta

    TAK sampai hati melihat tawaran cerita Dian (Melayu Nicole), guru baru, ditolak murid-muridnya, Rangga mengambil alih kelas. Dia enggan menawarkan cerita yang sudah umum, seperti tentang Kartini yang ditawarkan Dian. Rangga memilih cerita yang belum pernah didengar para murid, tentang seorang tukang pos yang setia mengantarkan surat-surat Kartini.

  • Mereka yang Dihabisi Karena Memberantas Korupsi

    PENYIDIK senior KPK, Novel Baswedan, beberapa kali mendapatkan teror, mulai dari ditabrak sampai dipidanakan. Kali ini, dia disiram air keras setelah salat subuh di masjid sekitar rumahnya. Teror terhadap penegak hukum juga terjadi di masa lalu. Berikut ini empat penegak hukum yang diteror karena membongkar korupsi besar. Gatot Tarunamihardja Gatot adalah jaksa agung pertama Republik Indonesia pada 1 Oktober 1945. Namun, pada 24 Oktober 1945, atas permintaan sendiri, dia diberhentikan dengan hormat oleh presiden. Pada 1 April 1959, dia terpilih kembali menjadi jaksa agung menggantikan Mr. R. Soeprapto. Dia menjadi orang pertama yang dua kali memegang jabatan jaksa agung. Selama kariernya dia berusaha membongkar kasus korupsi penyelundupan di Teluk Nibung, Sumatera Utara di bawah Panglima Teritorium I Kolonel Maludin Simbolon, dan barter di Tanjung Priok yang diduga melibatkan Kolonel Ibnu Sutowo. Hasil dari penyelundupan dan barter itu digunakan untuk kepentingan tentara. Ketika Gatot akan memeriksa beberapa perwira seperti Kolonel Ibnu Sutowo dan Letkol Sukendro, KSAD Mayjen TNI AH Nasution menggagalkannya bahkan memerintahkan Penguasa Perang Daerah Jakarta Raya Kolonel Umar Wirahadikusuma untuk menangkap Gatot saat presiden di luar negeri. Tak habis di situ, Gotot juga mengalami percobaan pembunuhan oleh tentara dengan cara ditabrak hingga kakinya buntung. Sukarton Marmosudjono Laksamana Muda TNI Sukarton Marmosudjono adalah jaksa agung pada Kabinet Pembangunan V. Mulai menjabat pada Maret 1988, dia menggagas kegiatan bernama Pos Penyuluhan/Penerangan Hukum Terpadu (Poskumdu) yang bekerjasama dengan lembaga lain macam Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD) dan Kantor Dinas Agama. Menurut Sukarton, dengan Poskumdu, Kejaksaan mampu membongkar beberapa perkara di masyarakat. “Melalui partisipasi masyarakat, kejaksaan mampu mengungkap penyelundupan rotan senilai satu miliar di Ujung Pandang dan manipulasi di Perumtel Bandung,” tulis Sukarton dalam bukunya Penegakan Hukum di Negara Pancasila. Selain itu, Sukarton membuat kebijakan yang menghebohkan, yaitu menayangkan wajah koruptor di televisi. Setelah menghadap Presiden Soeharto pada 4 Desember 1989, Sukarton mengatakan bahwa presiden telah memberikan persetujuannya atas rencana Kejaksaan Agung untuk menayangkan wajah koruptor di televisi. Penayangan ini dimaksudkan sebagai bagian dari sanksi moral dan sosial untuk membuat jera para koruptor. Penayangan perdana wajah koruptor di stasiun TVRI melalui program “Dunia Dalam Berita” pada 14 Desember 1989. Namun, program ini terhenti karena Sukarton meninggal mendadak pada 29 Juni 1990. Padahal, seperti biasa, dia masih sempat lari pagi di sekitar kediamannya di Jalan 9 Ampera Raya, Jakarta Selatan. Baharudin Lopa Baharuddin Lopa adalah menteri kehakiman kemudian jaksa agung semasa Presiden Abdurrahman Wahid. Dia juga pernah menjadi anggota Komnas HAM. Sebelumnya, Lopa menjabat kepala Kejaksaan Tinggi di Sulawesi Selatan, Aceh, Kalimantan Barat dan Sulawesi Tenggara. Sebagai penegak hukum, dia dikenal berani, jujur, tegas, dan berintegritas tinggi. Saat menjadi kepala Kejaksaan Tinggi Makassar pada 1982, Lopa menyeret pengusaha Tony Gozal atas kasus manipulasi dana reboisasi. Tony dikenal punya hubungan dengan pejabat negara dan karenanya nyaris kebal hukum. Hakim memvonis bebas Tony. Lopa menelusuri latar belakang kejanggalan vonis itu dan menemukan adanya dugaan suap kepada hakim. Sebelum menuntaskan kasus ini, pada Januari 1986 dia mendadak dimutasi ke Jakarta menjadi staf ahli menteri kehakiman. Ketika menjabat jaksa agung, Lopa berencana mengusut tujuh korupsi besar, di antaranya Prajogo Pangestu, Marimutu Sinivasan, dan kasus dana BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Sekali lagi langkahnya membongkar korupsi terjegal di tengah jalan. Lopa meninggal mendadak pada 3 Juli 2001 ketika akan serah terima jabatan duta besar untuk Arab Saudi sekaligus umroh. Dia dinyatakan meninggal karena serangan jantung. Namun, banyak pihak menyangsikannya. Ada dugaan kematiannya bersangkut paut dengan kasus-kasus korupsi besar yang sedang diusutnya. Syafiuddin Kartasasmita Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita menangani kasus tukar guling PT Goro Batara Sakti dan Bulog yang merugikan negara sebesar Rp95,6 miliar. Kasus ini menyeret Hutomo Mandala Putra alias Tommy Soeharto. Syafiuddin memvonis Tommy 18 bulan penjara dan denda Rp30,6 miliar. Syafiuddin ditembak empat orang tak dikenal saat hendak berangkat ke kantornya pada 26 Juli 2001. Dua orang tersangka pelaku pembunuhan tertangkap sebulan kemudian. Keduanya mengaku disuruh Tommy untuk menghabisi Syafiuddin.*

  • Empat Partai Ini Terjerat Korupsi

    Setiap partai politik berusaha untuk berkuasa. Ketika kekuasaan diraih, mereka mencari keuntungan untuk dirinya, kelompoknya, dan partainya, dengan cara korupsi. Praktik merugikan negara dan rakyat ini terjadi di setiap pemerintahan, mulai dari Sukarno hingga sekarang. Berikut ini empat partai politik (Partai Nasional Indonesia, Partai Nahdlatul Ulama, Partai Sosialis Indonesia, dan Partai Rakyat Nasional), yang terjerat korupsi. Partai Nasional Indonesia Ketua Umum PNI, Ali Sastroamidjojo menjabat perdana menteri pada Juli 1953. Dia menempatkan orang-orang pentingnya di pos-pos strategis. Iskaq Tjokrohadisurjo sebagai menteri perekonomian dan Ong Eng Die sebagai menteri keuangan. Dalam struktur partai, Iskaq sebagai ketua Komite Dana Partai sedangkan Ong Eng Die anggotanya. Dengan jabatan di pemerintahan itulah mereka mengumpulkan dana partai. “Dengan kedua kementerian yang mengurusi masalah ekonomi ada di tangan partai, para pengusaha PNI mulai menikmati dua tahun kejayaan yang tidak pernah diperoleh sebelumnya,” tulis Jose Eliseo Rocamora dalam Nasionalisme Mencari Ideologi. Selain itu, Iskaq dan Ong Eng Die menjabat dewan direksi dan wakil direktur Bank Umum Nasional (BUN), yang dibentuk untuk melayani kebutuhan partai dan pengusaha PNI. Selain mengisi lembaga-lembaga strategis, PNI membuat sejumlah kebijakan yang menguntungkan pengusaha PNI. Antara lain dengan mengeluarkan surat izin devisa atau lisensi impor. Pada November 1954, jumlah perusahaan impor lokal meningkat lebih dari 2.000 buah, delapan kali lebih banyak daripada akhir 1950. PNI meraup banyak keuntungan dari pemberian lisensi tersebut. “Lisensi istimewa diberikan kepada pengusaha-pengusaha yang sanggup memberikan 10% dari harga lisensi kepada kas partai PNI,” tulis Soebagijo IN dalam biografi Jusuf Wibisono, Karang di Tengah Gelombang. Jusuf yang merupakan tokoh Masyumi mencibir “lisensi istimewa” Iskaq bukanlah kebijakan ekonomi “nasional” tapi “nasionalis”, merujuk pada PNI. Cara-cara yang dilakukan PNI menuai kecaman dari partai lain. Sejumlah partai koalisi menentang kebijakan ekonomi Iskaq. Karena desakan begitu kuat, pemerintah mengadakan reshuffle kabinet . Iskaq meletakkan jabatan sebagai menteri perekonomian pada 8 November 1954. Iskaq lantas dihadapkan ke meja hijau atas tuduhan korupsi dan dijatuhi hukuman penjara sembilan bulan dan denda Rp200.000. Dia bebas setelah mendapat grasi presiden. Ong Eng Die sempat ditahan dan hendak dituntut tapi kabur ke Belanda, tanah air istrinya. Partai Nahdlatul Ulama Menurut sejarawan Greg Fealy dalam Itjihad Politik Ulama: Sejarah NU 1952-1967, setelah PNI, NU merupakan partai yang paling banyak dikotori skandal korupsi. Selama pertengahan hingga akhir 1950-an, sejumlah petinggi NU menghadapi berbagai pengungkapan skandal korupsi di media, penyelidikan polisi, dan proses pengadilan tindak pidana korupsi. Zainul Arifin ditahan pada April 1957 setelah terbukti menerima pinjaman dari Bank Negara sebesar Rp2,5 juta saat menjabat pembantu perdana menteri. Meskipun polisi menyatakan akan menuntutnya, namun perkaranya tidak sampai disidangkan dan penuntut umum membebaskannya pada 1959. Pada 1957, Ketua III NU Djamaludin Malik ditahan atas tuduhan pinjaman uang negara sebesar Rp45 juta yang diperoleh selama pemerintahan Kabinet Ali II. Hal ini terkait dengan aktivitasnya dalam Bank Masjarakat, dan upaya pengambilalihan perusahaan Belanda, Stroohoeden Veem. Sekjen Departemen Agama Fachruddin Kafrawi diadili pada 1959 atas tuduhan penggelapan dana Rp8 juta dari kas departemen agama untuk kepentingan pribadi. Dana tersebut juga digunakan untuk modal Bank Masjarakat yang berafiliasi dengan NU. Tan Eng Hong, anggota Fraksi NU di DPR, ditahan atas tuduhan melanggar undang-undang tentang mata uang asing. Dachlan dan Masykur diperiksa polisi mengenai keterlibatannya dalam transaksi di Bank Masjarakat. Idham Chalid dan Mohammad Ilyas diduga ikut terlibat dalam penjualan tekstil yang semula dimaksudkan untuk dibagi-bagikan secara gratis selama bulan Ramadan. “Sulit membuktikan semua tuduhan tersebut mengingat hanya sedikit kasus yang berlanjut hingga pengadilan, penyelidikan polisi juga seringkali terhambat oleh campur tangan politik,” tulis Greg Fealy. Menurut Greg, satu kasus paling serius dan sampai ke pengadilan menimpa Wahib Wahab. Pada 1962, dia dicopot dari jabatannya sebagai menteri agama karena terbukti bersalah atas pelanggaran kepemilikan mata uang asing sebesar 40.900 dollar Malaysia. Dia juga mengadakan transaksi dagang di Singapura tanpa memberitahu pemerintah Indonesia. Dia dikenakan hukuman penjara selama enam tahun dan denda sebesar Rp5 juta. Namun, Sukarno mengubah hukumannya menjadi tahanan rumah. Partai Sosialis Indonesia Pada Mei 1957, Sumitro Djojohadikusumo dua kali memenuhi panggilan Corps Polisi Militer Bandung. Panggilan itu untuk meminta keterangan seputar perannya dalam aksi pengumpulan dana untuk Partai Sosialis Indonesia jelang Pemilu 1955. Pemeriksaan juga untuk mengorek keterangan tentang pemberian kredit saat dia menjabat menteri keuangan Kabinet Burhanuddin Harahap.* “Diduga keras Sumitro menyalahgunakan kedudukannya di pemerintah dengan bertindak pada waktu yang sama sebagai ketua panitia PSI untuk pemilihan, dan menyelewengkan uang negara untuk partainya,” tulis Rudolf Mrazek dalam Sjahrir Politik dan Pengasingan di Indonesia. Menurut politisi Masyumi Jusuf Wibisono, Khouw Kim Eng, anggota PSI yang tinggal di Cirebon mengaku menyumbang uang ke PSI lewat Sumitro. “Pemeriksa menyita dua buah kuitansi sebagai tanda penerimaan beberapa juta rupiah yang diberikan Sumitro kepada Khouw Kim Eng. Tetapi tersangka waktu itu ternyata sudah ada di Sumatra Barat,” kata Jusuf. Khouw Kim Eng, direktur NV Libra, menjadi tahanan Kejaksaan Agung pada penghujung 1955. Dia dituduh melakukan kecurangan perdagangan barter dengan Hongkong yang merugikan negara puluhan juta rupiah. Namun, hakim Pengadilan Negeri Jakarta melepaskannya dan menjadi tahanan luar dengan jaminan uang jutaan rupiah, mobil, rumah, tanah, sawah, dan tokoh penting seperti Iwa Kusumasumantri. Sumitro menerima panggilan ketiga pada 8 Mei 1957. Kali ini dia mangkir.* Menurut informasi dari sumber yang dipercayainya, kali itu dia bakal ditahan. Kepada Sutan Sjahrir, Sumitro pamit meninggalkan Jakarta untuk bergabung dengan perjuangan daerah yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah pusat. Dia bergabung dengan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Partai Rakyat Nasional Pada Agustus 1955, Ketua Umum Partai Rakyat Nasional Djody Gondokusumo diciduk di kediamannya oleh Corps Polisi Militer. Beberapa jam setelah penangkapan, petugas Kejaksaan Agung menggeledah sebuah rumah yang biasa dikunjungi Djody. Dalam brankas ditemukan uang sebesar Rp135.000. Jaksa Agung Soeprapto menyatakan perintah penangkapan terhadap Djody terkait korupsi selama menjabat Menteri Kehakiman Kabinet Ali Sastroamidjojo I. Menurut Deliar Noer dalam Partai Islam dalam Pentas Nasional , sekelompok anggota parlemen dari pihak oposisi menuding Djody melanggar peraturan dalam pemberian visa dan izin masuk ke Indonesia bagi orang-orang asing. Persidangan di Mahkamah Agung memutuskan Djody bersalah. Dia didakwa menerima hadiah sebesar Rp40.000 dari warga asing bernama Bom Kim Tjhong. Dana tersebut sebagai pelicin untuk meluluskan permohonan visa Bong Kim Tjhong. Keterangan para saksi juga memperkuat dakwaan jaksa penuntut umum. Diketahui kemudian bahwa sebagai Menteri Kehakiman, Djody meminta sesama pengurus PRN untuk mencari sumbangan bagi partai. Uang sebesar Rp40.000 yang menyeretnya ke meja hijau juga untuk mengisi kas partai. Djody dikenakan hukuman dua tahun penjara, namun hanya menjalani masa penahanan sebulan di penjara Cipinang. Djody bebas pada 26 September 1956 setelah mendapat grasi dari Sukarno. * Tulisan ini direvisi pada 24 November 2017 pukul 21.00 WIB.

  • Teror Terhadap Pemburu Koruptor

    NOVEL Baswedan, penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), disiram air keras di bagian muka oleh dua orang yang mengendarai motor. Dia diserang setelah salat subuh dari masjid dekat rumahnya di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dia telah beberapa kali diteror, mulai dari ditabrak sampai dipidanakan, karena dia memimpin penyelidikan kasus-kasus korupsi besar di KPK. Sejarah mencatat, teror terhadap aparat penegak hukum yang menangani korupsi pernah beberapa kali terjadi. Yang umum diketahui adalah pembunuhan Hakim Agung Syafiuddin Kartasasmita para 2001 karena memvonis Tommy Soeharto bersalah dalam kasus tukar guling PT Goro Batara Sakti dan Bulog yang merugikan negara sebesar Rp95,6 miliar. Pelaku penembakan, Mulawarman dan Noval Hadad, mengaku menerima perintah pembunuhan dari Tommy. Tommy pun ditetapkan sebagai tersangka. Jauh sebelumnya, Jaksa Agung Mr. Gatot Tarunamihardja juga berusaha dihabisi karena bertekad memberantas korupsi. Gatot adalah jaksa agung pertama Republik Indonesia pada 1 Oktober 1945. Namun, pada 24 Oktober 1945, atas permintaan sendiri, dia diberhentikan dengan hormat oleh presiden. Pada 1 April 1959, dia terpilih kembali menjadi jaksa agung menggantikan Mr. R. Soeprapto. Dia menjadi orang pertama yang dua kali memegang jabatan Jaksa Agung. Abdul Rachmat Nasution, ayah pengacara Adnan Buyung Nasution, menceritkan sosok sahabatnya itu. “Pak Gatot itu orang hebat,” katanya sambil mengacungkan jempol. “Cuma nasibanya tidak bisa maju. Zaman telah berubah. Siapa yang mau menegakkan kebenaran dan keadilan seperti Jaksa Agung Gatot Tarunamihardja itu malah dianggap melawan arus. Sekarang, kebanyakan orang malah lebih suka mengikuti arus, yaitu arus kebatilan.” “Ayah ngomong begitu sebab ayah tahu, begitu Mr Gatot Tarunamihardja diangkat jadi Jaksa Agung, langsung dia mau membersihkan negara ini dari korupsi,” kata Buyung dalam otobiografinya, Pergulatan Tiada Henti: Dirumahkan Soekarno, Dipecat Soeharto. Menurut Buyung, Gatot memang terlalu berani karena memilih yang pertama diberantas yaitu korupsi di institusi tentara. Tidak tanggung-tanggung, dia berusaha membongkar kasus korupsi penyelundupan di Teluk Nibung, Sumatera Utara di bawah Panglima Teritorium I Kolonel Maludin Simbolon, dan barter di Tanjung Priok yang diduga melibatkan Kolonel Ibnu Sutowo. Hasil dari penyelundupan dan barter itu digunakan untuk kepentingan tentara. KSAD Mayjen TNI AH Nasution awalnya menghentikan penyelidikan dan akan menyelesaikannya dengan cara disiplin tentara dan administratif. Pemerintah menyetujuinya. Namun, pada 23 Agustus 1959, Gatot meminta izin Presiden Sukarno untuk mengadakan pemeriksaan karena ada indikasi penyelundupan terus dilakukan. Ketika Gatot akan memerikasa beberapa perwira seperti Kolonel Ibnu Sutowo dan Letkol Sukendro, Nasution berusaha menggagalkannya bahkan memerintahkan Penguasa Perang Daerah Jakarta Raya Kolonel Umar Wirahadikusuma untuk menangkap Gatot saat presiden di luar negeri. Ketika sudah kembali ke Indonesia, Sukarno mengadakan pertemuan dengan Perdana Menteri Djuanda, Nasution, dan Gatot. Permasalahannya diambil alih Sukarno. Sebagai jalan tengah, presiden memberhentikan Gatot dan mengembalikannya ke departemen kehakiman. Sementara para perwira yang terlibat dalam barter Tanjung Priok dimutasi dan tetap aktif di militer. Tidak terima dengan tindakan Gatot, tentara berusaha untuk membunuhnya. “Operasi pemberantasan korupsi mengalami obstruksi (rintangan) seperti percobaan pembunuhan terhadap Jaksa Agung Gatot Tarunamihardja yang berani mengusut penyelundupan oleh perwira tinggi TNI Angkatan Darat,” tulis Christianto Wibisono dalam Jangan Pernah Jadi Malaikat: Dari Dwifungsi Penguasaha, Intrik Politik, sampai Rekening Gendut . “Dia dicoba dibunuh oleh tentara dengan ditabrak subuh-subuh sampai buntung kakinya,” kata Buyung. Secara resmi, Gatot menjabat sebagai Jaksa Agung selama kurang lebih lima bulan sampai 22 September 1959. Dia diganti Mr. Gunawan.*

  • Meruntuhkan Tembok Pembatas

    Namanya melejit setelah memenangi ajang Putri Indonesia tahun 2004. Artika Sari Devi lalu aktif di dunia hiburan; sebagai presenter, model iklan, pemain sinetron dan film. Tika, begitu dia biasa disapa, ingin apapun yang dia lakukan membawa ke arah yang lebih baik. Terutama bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Dia bilang terinspirasi oleh R.A. Kartini, pelopor kebangkitan perempuan Indonesia. RA Kartini lahir di Jepara pada 21 April 1879. Sebagai putri Bupati Jepara Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, dia berkesempatan mempelajari baca-tulis dan menguasai bahasa Belanda. Namun, setelah usianya 12 tahun, dia dipingit. Dari dalam rumah, Kartini berkorespondensi dengan teman-temannya di Belanda. Melalui surat-menyurat itu, dan juga bacaan-bacaannya, Kartini tergerak memajukan perempuan bumiputera hingga dia mendirikan sekolah khusus perempuan di Rembang. Menurut Tika, Kartini adalah perempuan hebat karena mampu meruntuhkan tembok pembatas, sosial dan budaya. Semangat dan buah pikiran Kartini masih relevan untuk perempuan Indonesia masa kini. Awal kenal sosok Kartini? Sewaktu sekolah tentunya. Dengan adanya perayaan Hari Kartini setiap tanggal 21 April, semua orang Indonesia otomatis tahu sosok Kartini. Seiring waktu saya mengenal lebih dalam dari bacaan-bacaan. Salah satunya buku Habis Gelap Terbitlah Terang . Dari situ saya mulai melihat siapa Kartini sesungguhnya. Bagaimana sosok Kartini yang sesungguhnya? Banyak orang mengenal Kartini sebagai tokoh emansipasi wanita; seolah-olah hanya menuntut persamaan hak dengan laki-laki. Padahal Kartini punya banyak kegelisahan dan visi. Bukan hanya tentang posisi dan hak perempuan dalam tatanan masyarakat, tapi juga perilaku masyarakat sekitarnya yang ternyata masih relevan di masa sekarang. Bagaimana Kartini menginspirasi Anda? Banyak nilai, pemikiran, dan visinya yang menyentuh hati dan pikiran saya. Dia mempertanyakan dan membicarakan banyak hal, dari agama, politik, hukum, perang, sampai cinta. Terutama dia memiliki kepedulian terhadap masyarakat (rakyat kecil) di sekitarnya. Jadi Kartini bukan hanya pahlawan emansipasi wanita, tapi juga inspirator, perempuan yang membawa perubahan dalam keterbatasannya. Anda coba tanamkan dalam kehidupan sehari-hari? Semangatnya mengingatkan saya bahwa siapapun saya, di mana saya berada, senyaman atau semenderita apapun, saya tidak lupa untuk tetap berpikir, berkarya, atau minimal melakukan sesuatu yang dapat membawa diri saya ke arah yang lebih baik. Lebih baik lagi kalau saya bisa melakukan sesuatu untuk masyarakat atau lingkungan tempat saya berada. Misalnya dalam hal apa semangat itu diwujudkan ? Ya, saya mencoba menjadi Kartini versi Artika Sari Devi. Sesuai kapasitas saya sebagai seorang manusia, perempuan, ibu, istri, saudara, teman, perempuan yang bekerja, seniman. Saya mencoba memberikan bagian terbaik dari diri saya dalam apapun yang saya kerjakan. Lebih banyak peduli dan memberi, misalnya. Apakah perempuan saat ini mewarisi semangat Kartini? Yang sering saya lihat banyak perempuan merasa perempuan lain adalah saingannya. Perempuan berlomba-lomba menjadi yang terbaik dengan mengalahkan atau menjatuhkan perempuan lain. Saya melihat ini justru berlawanan dengan semangat Kartini yang ingin memajukan sesamanya dan maju bersama-sama. Alangkah baiknya kalau kita, perempuan Indonesia, dapat membawa semangat dan harapan Kartini dalam kehidupan sehari-hari. Saya juga berharap perempuan Indonesia dapat saling menginspirasi dan mendukung untuk kemajuan sesama.

  • Pembantaian Paman Sam di Vietnam

    Direktur My Lai Museum, Pham Thanh Cong, tak pernah melupakan peristiwa yang terjadi ketika dirinya berusia sebelas tahun. Peristiwa itu juga membekas pada keluarganya dan lebih dari 200 keluarga tetangganya. Pada pagi 16 Maret 1968, dia bersama ibu dan empat saudaranya mendengar suara helikopter yang membawa pasukan Amerika Serikat (AS). Sang ibu mengajak anak-anaknya berlindung ke dalam bunker sederhana yang ditutupi jerami di dalam rumah. Namun, upaya itu sia-sia. Serdadu AS memerintahkan semua orang di dalam rumah agar keluar. Kejadian mengerikan pun terjadi setelah itu. Sejak Yon ke-48 Vie Cong melancarkan Tet Offensive pada Januari 1968, militer AS membentuk unit khusus, Task Force Baker (TFB) di bawah pimpinan Letkol Frank Baker. TFB beroperasi di beberapa desa di Provinsi Quang Ngai, yang oleh intelijen AS ditengarai sebagai tempat mundur pasukan Yon ke-48 Vie Cong. Pada 15 Maret 1968, Komandan Brigade ke-11, Kolonel Oran K. Henderson, memerintahkan TFB menghancurkan Yon-48 Viet Cong di sekitar Desa My Lai, basis perjuangan Vietnam sejak era pendudukan Prancis. “Selama perang melawan Prancis, Viet Minh menganggap daerah itu sebagai zona bebas dan bahkan mendirikan sebuah pabrik senjata kecil di sana,” tulis Gary W Bray dalam After My Lai: My Year Commanding First Platoon, Charlie Company . Barker mengumpulkan tiga komandan kompi TFB dan memerintahkannya memulai operasi keesokan harinya. Operasi yang dimulai pada pukul 07.25 pagi itu akan dibuka dengan tembakan artileri. Setelah itu, Kompi Charlie di bawah pimpinan Kapten Ernest Medina, akan didaratkan menggunakan helikopter untuk mengamankan zona pendaratan di barat My Lai 4 hingga mencapai Pinkville di timur. Ernest Medina memerintahkan komandan peleton-peletonnya agar membunuh semua lawan, menghancurkan logistik, membunuh ternak, meracuni sumur penduduk, dan membakar desa. Ernest menganggap penduduk desa sebagai Viet Cong atau paling tidak pendukung. Menjelang subuh 16 Maret 1968, personel Kompi Charlie telah siap memulai operasi. Rasa benci mereka kepada orang Vietnam amat tinggi karena banyak rekan mereka jadi mangsa. Begitu turun dari helikopter, mereka menyebar dalam unit-unit kecil dan menyerang dengan berondongan senapan, lemparan granat, dan tembakan roket. Meski tak semua, banyak dari serangan itu dipelopori oleh Peleton 1 di bawah pimpinan Letnan William Calley. Banyak prajuritnya yang langsung main tangkap. Penduduk lalu dikumpulkan di lapangan desa. Ketika Ernest Medina menyadari info dari intelijen ternyata meleset dan mulai menghentikan tembakan, pasukan Calley masih terus menyerang. Penduduk yang ada di lapangan diberondong tembakan. “Siapa pun yang mencoba lari langsung ditembak. Orang-orang Amerika itu melemparkan granat ke rumah-rumah jerami penduduk dan bunker-bunker di mana penduduk bersembunyi selama perang,” tulis Michael Burgan dalam The My Lai Massacre . Pham Thanh Cong beserta ibu dan empat saudaranya diperintahkan untuk keluar bunker. Namun, setelah mereka keluar, para serdadu AS mendorong mereka kembali ke bunker. Seorang serdadu melemparkan granat ke bunker itu disusul tembakan senapan M-16. Cong dan keluarganya langsung tak sadarkan diri. Begitu siuman, Cong mendapati dirinya berada di tumpukan mayat keluarganya. “Tentara-tentara AS itu pasti menganggap Cong sudah tewas. Sore harinya, ketika helikopter-helikopter AS pergi, ayahnya dan beberapa penduduk desa yang selamat, yang datang untuk menguburkan orang-orang yang tewas, menemukan Cong,” tulis Seymour Hersh, “The Scene of the Crime,” dalam newyorker.com . Penduduk lain, juga penduduk di desa lain, mengalami nasib sama buruk. Tak ada pengecualian, dari bayi hingga perempuan berusia 82 tahun, menjadi korban dari pembantaian itu. Perempuan lebih menderita karena banyak dari mereka diperkosa terlebih dulu sebelum dieksekusi. Selepas pagi, pembantaian kian menjadi-jadi. Menjelang sore, tubuh-tubuh tak bernyawa tergeletak di empat dusun My Lai. Pembantaian berlanjut hingga 18 Maret 1968 menyasar desa-desa sekitar My Lai. Menurut catatan Museum My Lai, jumlah korban tewas sebanyak 504 orang dari 247 keluarga. Di antara jumlah itu terdapat 24 keluarga yang dibantai dari tiga generasi (kakek hingga cucu) tanpa satu pun anggota keluarga yang selamat. Meski awalnya pembantaian itu dianggap sebagai keberhasilan gemilang dan diberitakan dengan heboh di berbagai media di AS, namun bau busuk Pembantaian My Lai akhirnya tercium juga. Keterangan justru berasal dari prajurit yang terlibat dalam operasi. Banyak dari mereka sebetulnya tak paham Konvensi Genewa. Sebagian mereka juga tak setuju dengan penyerangan warga sipil, namun tak berani menentang perintah atasan. Di antara mereka yang berani, langsung menghentikan kekerasan begitu tahu warga itu bukan Viet Cong atau simpatisannya. Pratu Paul Meadlo, yang sepanjang operasi berada di dekat Calley, mengutuk kebejatan sang komandan. Akibatnya, dia dipulangkan. Pada April 1969, Ronald Ridenhour, veteran Brigade 11 yang menaungi Charlie, mengirim surat kepada presiden, menteri pertahanan, ketua Gabungan Kepala Staf, anggota Kongres dan Senat. Dia mendeskripsikan apa yang terjadi di My Lai dan meminta diadakan investigasi. Seorang pilot yang ikut mendrop pasukan Charlie juga memberikan kesaksian. Menurutnya, dia sempat meminta komandan Charlie menghentikan pembantaian namun malah mendapat ejekan. Upayanya untuk menolong korban justru dijawab dengan hinaan. Pembantaian My Lai mulai menjadi perhatian media dan publik AS setelah Seymour Hersh membuat beberapa tulisan di Dispatch News Service pada November 1969. Publik marah, terlebih protes Perang Vietnam kian kuat di AS. Teolog Reinhold Niebuhr langsung mengecam. “Ini adalah saat tepat ketika kita menyadari bahwa kita bukan bangsa yang berbudi luhur,” ujarnya dikutip Kendrick Oliver dalam The My Lai Massacre in American History and Memory . Militer AS langsung menghelat pengadilan militer terhadap beberapa perwira yang terlibat. Namun, upaya penutupan amat kuat sehingga pada akhirnya hanya pengadilan terhadap William Calley saja yang berlangsung hingga selesai. Setelah bebas, pada 2015 Calley mengemukakan permintaan maaf publiknya atas apa yang terjadi di My Lai. Para anak buahnya telah lebih dulu menyatakan penyesalan. Toh, peristiwa itu tetap membekas di benak banyak orang Vietnam yang selamat dari pembantaian. “Kami memaafkan, tapi tidak pernah melupakan,” kata Cong.

  • Macan Kesepian

    Beberapa waktu lalu, jagad media sosial dihebohkan oleh patung macan berwajah lucu di depan markas Komando Rayon Militer 1123 Cisewu, Garut, Jawa Barat. Patung tersebut dibuat pensiunan tentara yang berdinas terakhir di Koramil Cisewu. Dibongkarnya patung macan lucu itu seakan meneguhkan bahwa citra macan harus garang. Namun, pelukis terkemuka Indonesia, Raden Saleh, pernah membuat lukisan macan kalem dan tenang berjudul “Tiger Drinking”. Dalam lukisan yang dibuat tahun 1863 itu, sosok macan Jawa muncul dari lebatnya hutan tropis yang kelam, dengan pohon-pohon besar menjulang. Ia tampak sedang mereguk air dari pinggir telaga yang tenang. Mikke Susanto, kritikus seni rupa yang mengajar di ISI Yogyakarta, mengatakan bahwa karya Raden Saleh yang satu itu adalah pengecualian. Biasanya, dia selalu melukis hewan, baik banteng atau macan, dengan tampilan garang, enerjik, dan maskulin. Namun, pada lukisan yang dibuat 154 tahun lalu itu, dia menampilkan sosok macan kesepian yang muncul dari dalam rimba raya. “Saya pikir Raden Saleh ingin membuat ide yang berbeda saja. Harimau digambarkan ayem, tenteram dan ia seperti makhluk mungil yang muncul dari rimba tropis Jawa yang sedemikian agung,” ujar Mikke kepada Historia . Ada cerita menarik dari lukisan koleksi Sukarno ini. Sekali waktu, Sukarno bercanda dengan staf istana di depan lukisan yang digantung itu. “Berapa jumlah macan dalam lukisan ini?” tanya Sukarno. Beberapa staf di sekitarnya pun menyelidik. “Wah, ya cuma satu ekor, Pak,” ujar mereka. “Salah! Yang benar ada dua,” jawab Sukarno. Bung Besar pun menunjuk harimau di dalam lukisan. Satu sosok yang keluar dari rimba dan mereguk air, dan yang satunya, wajah harimau yang terpantul dari beningnya telaga, menjadi bayang-bayang dalam air. “Tiger Drinking” salah satu lukisan yang disukai Bung Karno. Dalam pandangan Mikke, Sukarno menyenangi lukisan itu karena merupakan cermin dan masa depannya: kesepian di tengah keramaian. Pada 2013, “Tiger Drinking” dan “Penangkapan Pangeran Diponegoro” berhasil direstorasi oleh Susanne Erhads, ahli restorasi lukisan dari Jerman. Saat ini, lukisan tersebut tersimpan di museum istana kepresidenan di Bogor. Lukisan berbahan cat minyak di atas kanvas dengan dimensi 160x116 cm ini menampilkan gabungan tema panorama dan tema binatang. Menurut Kukuh Pamuji tema panorama yang dihadirkan Raden Saleh tidak sekadar merekam suasana pemandangan alam, melainkan juga menghadirkan filosofi kesadaran sebagai makhluk kecil di hadapan semesta. “Di sinilah unsur romantisme lukisan ini bisa digambarkan, yaitu sebuah getaran jiwa,” tulis Kukuh dalam “Mengenal Koleksi Benda Seni Kenegaraan” termuat di laman setkab.go.id. Gaya romantisme Raden Saleh didapatkannya selama menetap di Eropa pada 1829-1851 dan 1875-1879. Saat ini, berdasarkan penilaian aset tahun 2011, nilai aset lukisan “Tiger Drinking” sebesar Rp2,9 miliar.

  • Penerapan Hukum Islam di Nusantara

    Tuntutan penerapkan hukum Islam di Indonesia kerap mengemuka. Namun, ternyata pada awal perkembangan Islam di Nusantara tidak ada tanda-tanda adanya penerapan syariat Islam. “Abad ke-7 sampai ke-12 tidak ada tanda sama sekali mengenai hukum Islam,” kata Ayang Utriza Yakin, dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah dalam diskusi bukunya, Sejarah Hukum Islam Nusantara Abad XIV-XIX, di Wisma Usaha UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang Selatan, Kamis (6/4). Ayang menyelesaikan master dan doktornya dalam bidang sejarah, filologi, dan hukum Islam dari Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS) Paris, Prancis. Islam masuk ke Nusantara melalui perdagangan yang berlangsung pada abad 7 sampai abad 12. Buktinya temuan arkeologis di Barus , Tapanuli Tengah. Claude Guillot , salah seorang arkeolog dan sejarawan Prancis, berhasil memetakan awal Islamisasi Nusantara di Barus sejak abad 7. Setelah itu, fase kedua perkembangan Islam dilakukan oleh para pendakwah, khususnya kalangan sufi setelah jatuhnya Baghdad, Irak, ke tangan bangsa Mongol pada 1259. Menurut Ayang, hukum Islam baru diterapkan ketika kerajaan Islam berdiri pada abad 13 dengan hadirnya Kesultanan Samudera Pasai di Aceh. Menariknya, penerapan hukum Islam oleh kesultanan itu tidak sebagaimana hukum yang diketahui dari Alquran maupun hadis. “Hukum Islam di Nusantara itu berkelindan dengan adat setempat sehingga menghasilkan hukum Islam yang lentur,” kata Ayang. Ayang menjelaskan bahwa di Semenanjung Melayu, yang saat ini masuk wilayah Malaysia, ditemukan Batu Bersurat Trengganu bertarikh 1303. Isinya, mengenai undang-undang seorang raja yang menerangkan hukum Islam tentang maksiat. “Inilah hukum pidana Islam yang pertama kali ditemukan di Nusantara,” kata Ayang. Dalam undang-undang tersebut tercantum hukum bagi para pezina. Aturan itu membedakan hukuman bagi masyarakat ningrat dan kalangan bawah. Untuk ningrat hanya dikenai denda, sementara kalangan bawah dihukum rajam. “Padahal kalau dibandingkan dengan Umar bin Khatab, justru hukum Islam tidak diterapkan pada orang miskin terlebih saat keadaan paceklik. Lain dengan di Trengganu,” kata Ayang. Pada abad 15-16 di Kesultanan Malaka terdapat undang-undang yang menjadi salah satu induk bagi undang-undang di Nusantara, terutama dalam kebudayaan Melayu. Meski telah ada undang-undang itu, yang murni mengambil hukum Islam hanyalah hukum pernikahan. Pada masa Kesultanan Aceh, sekira abad 16-17 banyak ditemukan kesaksian dari para pelancong mancanegara yang menceritakan hukum pidana di kawasan itu. Kesultanan ini pun, Ayang menilai, tak menerapkan hukum Islam sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci. Contohnya hukum perzinaan. Hukuman rajam berlaku dalam hukum Islam bagi para pezina. Namun di Aceh, secara umum terdapat dua hukuman bagi pelanggar. Pertama, tangan dan kaki pezina, baik laki-laki maupun perempuan ditarik oleh empat ekor gajah ke arah berlawanan. Kedua, pezina laki-laki dipotong kelaminnya dan perempuan dipotong hidungnya dan dicungkil matanya. Hukuman sula yang kejam juga diberlakukan bagi perzinaan dan pembunuhan. Hukuman ini dilakukan dengan mendirikan bambu runcing. Laki-laki yang bersalah akan ditancapkan pada bambu runcing itu dari bagian belakang hingga tembus ke mulut. Sedangkan pada perempuan, bambu runcing ditancapkan dari bagian depannya hingga tembus ke mulut. Untuk kasus pembunuhan, hukum di Aceh akan mengganjar seorang pembunuh dengan hukuman yang sesuai dengan yang dia lakukan ketika membunuh. Ini menurut kesaksian pelaut Prancis, FranÇois Martin de Vitr yang menjelajah ke Sumatera pada sekira 1601-1603 dan tinggal di Aceh selama lima bulan. Ancaman lainnya, sang pembunuh akan ditangkap lalu ditidurkan untuk selanjutnya dilempar ke atas oleh gajah dan ditangkap oleh gadingnya. Dia kemudian kembali dilempar untuk kemudian diinjak-injak. Kalau bukan itu hukumannya, si pembunuh akan dimasukkan ke kandang macan. “Padahal di Alquran untuk hukum pembunuh ada tiga: qisas (bunuh balas bunuh), uang tebusan, dan dimaafkan,” ungkap Ayang. Bahkan di Aceh, ketika itu mudah sekali memberlakukan hukum potong tangan dan kaki untuk kesalahan apapun. Ayang menceritakan, hal ini terjadi pada seorang panglima Tiku, salah satu wilayah kekuasaan Kesultanan Aceh. Dia ketika itu tak menyerahkan kewajiban upetinya kepada Sultan Iskandar Muda. Sang Sultan langsung mengambil pedang dan menebas kedua kaki bawahannya itu hingga batas lutut. “Pertanyaannya, apakah ada di hukum Islam? Tidak pernah ditemukan. Artinya apa? Ini hukum adat,” tegas Ayang. Meski begitu, menurut Ayang, bukan berarti hukuman itu merupakan hukum adat khas Aceh. Hukuman semacam ini lumrah ditemukan di belahan dunia lain. Misalnya, di Dinasti Mamluk Mesir yang berdiri sekira abad 13-16 dan Dinasti Khilafah Turki Usmaniah dari abad 16-20. Berdasarkan data sejarah yang ada, Ayang pun mengungkapkan, hukum Islam di Nusantara tak pernah ada formalisasi. Negara tidak menetapkan hukum yang harus diterapkan berdasarkan Alquran, hadis, atau pendapat para ulama. Hukum yang diterapkan pada masa kerajaan Islam di Nusantara beradaptasi dengan budaya setempat. “Justru hukum adat Nusantara itu yang jauh lebih kejam dari hukum Islam,” ungkapnya. Lebih jauh, Ayang mengatakan, hukum Islam hanya diberlakukan untuk politik pencitraan oleh penguasa. Hukum Islam pada masa itu merupakan simbolisasi kekuasaan sultan, bahwa dia adalah cerminan wakil Tuhan. “Tetapi, saya melihat satu sisi dari hukum Islam yang dipraktikkan secara tulus yaitu terkait ibadah. Kalau pidana, ini kan sebenarnya simbol kekuasaan negaranya untuk menghukum rakyatnya. Itu (hukum Islam, red ) 90 persen tidak dipraktikkan,” pungkas Ayang.

  • Kadiroen

    KADIROEN masih muda, baru berusia 20 tahun. Dia lulusan Opleiding School voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA, Sekolah Pamongpraja Pribumi) Probolinggo. Anak lurah yang berhasil jadi bintang di sekolahnya dan kemudian meniti karier sebagai pegawai negeri pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kariernya melesat cepat: dari juru tulis, melompat jadi mantri polisi, asisten wedana dan berakhir sebagai patih. Kadiroen adalah tokoh utama novel Hikayat Kadiroen yang ditulis Semaoen, tokoh Sarekat Islam afdeling Semarang dan kelak jadi ketua Partai Komunis Indonesia yang pertama. Hikayat Kadiroen ditulis pada 1919, saat Semaoen dipenjara karena kasus persdelict . Dimuat bersambung di koran Sinar Hindia sejak 5 Mei-22 September 1920, kemudian diterbitkan dalam bentuk novel. Semaoen mengisahkan Kadiroen sebagai amtenar muda idealis yang sangat peduli pada nasib rakyat. Dia tak betah berlama-lama duduk di balik mejanya karena lebih suka berkeliling desa menyaksikan kehidupan masyarakat. Kian lama bertugas, dia makin bertanya mengapa begitu banyak rakyat hidup melarat sedangkan para pejabat hidup bergelimang harta dan kehormatan. Sistem pemerintahan Hindia Belanda bertumpu pada dua kaki kekuasaan: Binneland Bestuur (pemerintahan dalam negeri) yang dijalankan oleh pejabat Belanda dan Inlandsche Bestuur (pangreh praja) dijalankan oleh elite feodal pribumi. Sistem ini diberlakukan sejak masa tanam paksa demi mempermudah eksploitasi tanah jajahan. Multatuli dalam Max Havelaar menulis bahwa untuk menguasai orang-orang Jawa, paling mudah dengan jalan menguasai kepala-kepalanya. Menjadikan mereka bagian dari sistem kolonialisme itu sendiri. Dengan cara itu jutaan gulden bisa dihasilkan dari keringat rakyat jajahan tanpa harus repot berhadapan langsung dengan mereka. Kadiroen adalah pengecualian. Dia bukan sosok pejabat pribumi yang mudah menindas demi jabatan dan menghamba di hadapan tuan-tuan Belandanya. Pada masa itu, Hindia Belanda sedang gempar oleh kehadiran Sarekat Islam, yang mengajarkan bahwa setiap orang setara, tiada peduli apa warna kulitnya. Setelah Sarekat Islam, muncul pula Partai Komunis, yang bahkan lebih berani lagi mengajak orang untuk melawan kesewenangan penguasa. Kadiroen kepincut gerakan itu. Dia tak tahan lagi untuk berlama-lama hidup sebagai pejabat yang harus bekerja dalam sistem birokrasi yang mengungkung dirinya. Sementara itu banyak pejabat lain yang justru gerah dengan kehadiran organisasi pergerakan mengancam keistimewaan posisi mereka di hadapan rakyat. Bahkan mereka menuduh kalau semua itu adalah upaya menggantikan tradisi asli pribumi dengan adat Belanda (barat). Tak ada jalan lain bagi Kadiroen kecuali “bunuh diri kelas”, terjun ke dalam pergerakan politik dan menanggalkan semua hak istimewanya sebagai pejabat. Kisah Kadiroen mencerminkan situasi yang terjadi pada masa kolonial di Hindia Belanda, di mana kolonialisme digambarkan sebagai sistem yang melibatkan banyak orang, baik Belanda sebagai penjajah maupun elite feodal pribumi yang menjadi kaki tangannya. Penjajahan seringkali dipahami dalam cara pandang yang bias rasisme: penjajah selalu merujuk kepada orang Belanda berkulit putih sementara pribumi berkulit coklat selalu dilihat sebagai obyek penjajahan. Padahal penjajahan yang terjadi di sini merupakan kerja sama antara tuan kulit putih dengan tuan kulit sawo matang untuk sama-sama menindas rakyatnya dalam sistem kolonialisme. Dan yang terjadi dalam sejarah seringkali anomali-anomali: tentang tokoh pribumi dan kulit putih yang melawan apapun yang merendahkan derajat kemanusiaan. Dari sanalah kita mengenal kisah Kadiroen dalam novel yang ditulis Semaoen atau Max Havelaar yang ditulis Multatuli alias Douwes Dekker. Dua kisah tentang mereka yang menjalankan tugasnya sebagai manusia, demi dan atas nama kemanusiaan.*

bottom of page