top of page

Hasil pencarian

9594 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Montase Seorang Ikon

    BOCAH pirang itu sangat aktif dan selalu riang. Berjalan ke sana ke mari, memainkan benda apapun yang menarik perhatiannya, atau menirukan orang dewasa melakuan pekerjaan memenuhi hari-harinya. Orang-orang sangat menyukainya. “Dia adalah magnet. Semua orang ingin menjumpainya,” kata Wendy Elizabeth, sang ibu.

  • Proyekisme

    JEMBATAN sungai Cibawor yang pernah dibangun Kabul mungkin sekarang sudah tak ada sama sekali, ambrol diterjang aliran sungai saking keroposnya pondasi yang menyangganya. Insinyur Kabul, pemuda idealis sarjana teknik sipil memimpin proyek pembangunan jembatan itu dengan semangat memperbaiki kondisi masyarakat. Tapi apa daya, gambaran ideal Kabul tentang sebuah jembatan yang berdiri kukuh teguh menghubungkan kedua sisi sungai Cibawor berantakan seketika saat koruptor menggerogoti anggaran proyek pembangunan jembatan itu. Tak tanggung-tanggung, korupsi dilakukan mulai dari pejabat tinggi sampai dengan pegawai sekelas mandor. Di tengah anggaran yang makin minim, kualitas jembatan yang makin menurun, tengat waktu penyelesaian jembatan pun makin mepet. Dipaksakan untuk selesai pada perayaan hari ulangtahun Golongan Lestari Menang, partai penguasa yang paling berkuasa dari segala kekuasaan di negeri ini. Kabul ngotot agar jembatan menggunakan material terbaik, juga bersikeras agar peresmian jembatan tak dipaksakan bersamaan hari ulangtahun Golongan Lestari Menang. Sikap Kabul jadi anomali di tengah kehendak banyak orang yang ingin ambil untung sendiri-sendiri. Walhasil, seperti yang sudah diduga, jembatan ambrol, tak berumur panjang. Cerita tentang karut marutnya pelaksanaan proyek pembangunan jembatan itu dilukiskan dengan sangat baik oleh Ahmad Tohari dalam novelnya Orang-Orang Proyek . Ini novel lama, terbit pertama kali pada 2002, menggambarkan situasi pada masa Orde Baru, dengan segala macam tindakan korupsi, intimidasi dan represi. Tentu saja tak ada KPK dan operasi tangkap tangan di dalam cerita itu. Yang ada adalah sosok-sosok pegawai pemerintah yang korup dan tak malu memamerkan kekayaan hasil colongannya, seperti Dalkijo pegawai negeri yang gemar bermewah-mewah. Sementara itu orang-orang seperti Kabul yang idealis pada akhirnya seringkali harus tersisih atau menyerah pada keadaan yang tak mampu lagi dia benahi. Pernah seorang kawan berkelakar setengah getir tentang perbedaan bagaimana sebuah proyek dulu dan sekarang dijalankan. Kalau dulu, kata dia, orang berebut untuk jadi pimpinan proyek (Pimpro), posisi yang ditempati Kabul dalam novel Ahmad Tohari itu. Kalau sekarang, orang mikir-mikir dua kali untuk memegang proyek. Lebih mengherankan lagi, seorang pejabat daerah pernah bercerita kepada saya, “Zaman sekarang kita mesti hati-hati, jangankan salah, benar saja bisa masuk penjara,” kata dia was-was. Apakah artinya zaman sekarang ini korupsi banyak berkurang dibanding pada masa yang lalu? Atau jangan-jangan banyak orang takut untuk menjalankan pekerjaan karena baik salah atau benar bisa terancam masuk penjara? Terbitlah sebuah hipotesis alias dugaan: barangkali orang di zaman sekarang tak melakukan korupsi bukan karena sadar kalau korupsi itu salah, tapi lebih karena takut ketahuan (yang artinya, mungkin, kalau tidak ketahuan ya jalan terus). Yang pasti, setiap hari selalu saja kita menemukan berita perkara korupsi muncul di berbagai media massa. Belum lagi korupsi yang disebabkan oleh “mental proyek” alias bikin proyek akal-akalan yang sama sekali tak berdasarkan pada kebutuhan obyektif. Seperti cerita beberapa sekolah di Jakarta yang ujug-ujug dapat alat fitnes, seakan-akan pendidikan bertujuan untuk membentuk tubuh lulusannya jadi six pack , gagah berotot bak binaragawan. Atau kisah lain tentang UPS ( Uninterruptible Power Supply ) untuk 49 sekolah di wilayah Jakarta. Harga UPS dipatok kurang lebih Rp5 milyar per unit padahal harganya kurang dari Rp.150 juta. “Proyekisme” yang menjangkiti sebagian birokrat dan politikus inilah yang sejatinya bermodus sama denga zaman yang lalu. Bila semasa Kabul membangun jembatan Cibawor modus “proyekisme” dilakukan dengan mengurangi jatah harga semen, pasir dan besi, maka di zaman sekarang “proyekisme” ditempuh dengan jalan membikin “pembangkit listrik tenaga UPS” seakan-akan PLN bakal melakukan pemadaman lisrik selama sebulan. Luar biasa!*

  • Leluhur Langsung Bangsa Indonesia dari Taiwan

    Ribuan tahun lalu bangsa Indonesia pernah disatukan oleh akar tradisi yang sama: bahasa Austronesia. “Kita semua memang berbeda, tetapi kita memiliki kesamaan yang dirangkai melalui Austronesia sebagai benang merahnya,” ujar Harry Truman Simanjuntak, arkeolog senior Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas). Hingga kini, para ahli sepakat bahwa para penutur Austronesia yang datang dari Taiwan adalah leluhur langsung bangsa Indonesia. Dari segi fisik, penutur Austronesia tergolong ras Mongoloid Selatan. Dalam perkembangannya, penampilan fisik memang menjadi sangat beragam. Kemampuan beradaptasi penutur Austronesia terhadap lingkungan baru mendorong terciptanya keragaman etnis. Pengaruh lainnya datang dari interaksi bologis antarkelompok atau dengan pendatang lainnya yang menyebabkan terjadinya percampuran gen. Secara bahasa, warisan Austronesia ditandai dengan kata-kata yang mirip dalam bunyi dan makna. Beberapa kata, seperti bilangan satu sampai sepuluh di berbagai kawasan persebaran Austronesia menunjukkan adanya kekerabatan itu. Baca juga:  Ikuti Proyek DNA: Sebineka Apa Kamu? Misalnya, dalam bahasa Jawa kuno, hitungan satu sampai sepuluh, yaitu: sa, rwa, telu, pat, lima, nem, pitu, wwalu, sanga, sapuluh. Dalam bahasa Minangkabau, hitungan satu sampai sepuluh, yaitu: ciek, duo, tigo, ampek, limo, anam, tujuah, salapan, sambilan, sapuluah. Dalam bahasa Bugis, hitungannya menjadi seddi, dua, tellu, eppa, lima, enneng, pitu, aruwa, asera, seppulo. Itu tak jauh berbeda dengan bahasa Tagalog yang kini menjadi bahasa resmi di Filipina, yaitu: isá, dalawa, tatló, ápat, lima, ánim, pitó, waló, siyám, sampû. Penjelasannya, pada perkembangan awal, interaksi antarpulau masih terbatas. Ini menjadikan budaya lokal menonjol. Datangnya pengaruh dari luar memunculkan budaya yang berbeda sebagai bagian dari adaptasi. “Yang lebih dekat tentu dapat pengaruh yang lebih besar dibanding yang jauh. Ini yang kemudian menciptakan kebinekaan,” ujar Truman. Baca juga:  Manusia Indonesia adalah Campuran Beragam Genetika Di Asia Tenggara, menurut Robert Blust dalam The Austronesian Languages , budaya luar sudah mulai mempengaruhi para penutur Austronesia sejak 2.000 tahun lalu. Budaya India, Cina, Islam, dan Eropa (Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris) datang memulai keragaman di tengah kebudayaan yang dibawa para penutur Austronesia. Begitu pula yang terjadi di Indonesia. Bukti arkeologis membuktikan kedatangan pengaruh luar itu. Seperti prasasti dari kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yang menggunakan bahasa Sanskerta maupun Jawa kuno. Efeknya, kini bahasa yang ada di Nusantara pun semakin beragam. Menurut Truman, bicara mengenai leluhur artinya berbicara mengenai diri sendiri, di sini, saat ini. Para ahli percaya nilai yang dimiliki oleh kehidupan para penutur Austronesia pantas diaktualisasikan di masa sekarang untuk kepentingan masa depan. “Memaknai sejarah leluhur bangsa diperlukan untuk membangun peradaban berkepribadian, berlandaskan kebudayaan yang jauh berakar, menancap hingga ke masa lampau,” katanya. Baca juga:  Bukti Terbaru Asal Usul Manusia Modern I Made Geria, kepala Puslit Arkenas, pun melihat adanya peluang bagaimana nilai yang terkandung dalam akar budaya ini bisa memperkuat tali kebangsaan. Katanya, memaknai bahwa bangsa ini memiliki leluhur yang sama akan mampu memberikan harmoni meski Indonesia terdiri dari beragam ras, agama, etnis, dan budaya. Justru dengan memahami ini akan meningkatkan kesadaran identitas sebagai bangsa yang bineka. “Artinya, kita semua di sini dengan nilai kearifan diberi kekuatan untuk menjaga. Ini mungkin yang disebut penguatan kebangsaan,” ucapnya.

  • Bukan Biro Siti Nurbaya

    TERDORONG melihat banyak temannya yang mapan dan punya karier bagus kesulitan mencari pasangan, Subky Hasbie merintis biro jodoh. Pada 1974, dia mendirikan Yakmi Services Corporation (Yasco) –kemudian Yasco diganti jadi Yayasan Scorpio. Waktu pendiriannya tepat. Saat itu, hanya ada dua rubrik jodoh di dua suratkabar Jakarta, sementara peminat selalu tumbuh. “Rubrik di kedua koran itu ternyata juga tidak dikelola dengan serius. Buktinya, dia yang saat itu masih lajang, ingin mencoba mencari jodoh lewat rubrik itu tetapi suratnya tidak pernah ditanggapi dan namanya pun tidak pernah nongol di daftar yang dicetak,” tulis Jackie Ambadar, Miranty Abidin, dan Yanty Isa dalam Selalu Ada Peluang . Sempat dianggap aneh, Hasbie jalan terus. Dia menjalin kerjasama dengan Buana Minggu . Pada 11 Mei 1974, rubrik biro jodoh di mingguan itu pun mulai terbit. “Hari itu kemudian saya tetapkan sebagai tanggal resmi berdirinya Yasco,” ujarnya, dikutip Jawa Pos, 19 Desember 2008. Respons berdatangan. Ratusan surat dan telepon masuk ke kantornya di Jalan Ki S. Mangunsarkoro, Jakarta Pusat –setelah berkali-kali pindah kini di Jalan Kramat Lontar. Jumlah anggota yang mendaftar maupun peminat terus meningkat. Beberapa pasangan naik ke pelaminan. Kenangan yang berhasil diterbitkan dalam buku Rumahku, Istanaku pada 1980. Hasbie pria kelahiran Banjarmasin, Kalimantan Selatan, pada 1944. Dia pernah menjabat kepala bagian Litbang Departemen Agama dan asisten ketua umum Majelis Ulama Indonesia. Kini, biro jodohnya masih tetap eksis.

  • Melacak Jejak Suku Mante

    Sesosok manusia tertangkap kamera pengendara motor trail yang sedang menjelajah hutan di Aceh. Mereka mengejar orang kerdil yang berlari cepat itu. Rekaman yang diunggah ke laman youtube kemudian viral dan mendapat pemberitaan luas. Ahli antropologi yang dikutip media massa menduga orang itu adalah suku Mante yang hidup di hutan. Suku kuno ini sempat dinyatakan punah, namun rekaman itu membuktikan mereka masih ada. Selain Mante, mereka juga disebut dengan beberapa nama: Mantir, Mantra, Manteu, dan Bante. Buku Ensiklopedi Aceh: Adat, Bahasa, Geografi, Kesenian, Sejarah, menyebut bahwa di kalangan peneliti sejarah dan antropologi, asal-usul bangsa Aceh adalah dari suku Mantir (Manteu, bahasa Aceh) yang hidup di rimba raya Aceh. Suku ini mempunyai ciri-ciri dan postur tubuh yang agak kecil dibandingkan dengan orang Aceh sekarang. Diduga suku Mante ini mempunyai kaitan dengan suku bangsa Mantera di Malaka, bagian dari bangsa Khmer dari Hindia Belakang. Menurut Zainuddin dalam Tarich Atjeh dan Nusantara, bangsa Aceh termasuk ke dalam lingkungan rumpun bangsa Melayu, yaitu bangsa-bangsa Mante (Bante), Lanun, Sakai Djakun, Semang (orang laut), Senui dan lain-lain yang berasal dari negeri Perak dan Pahang menurut etnologi, ada hubungannya dengan bangsa Phonesia dan Babylonia dan bangsa Dravida di lembah sungai Indus dan Gangga. “Menurut Zainuddin etnis Aceh mempunyai kesamaan dengan etnis Melayu lainnya yang ada di Malaysia yaitu dari Perak dan Pahang. Etnis tersebut diduga berasal dari Babylonia dan India,” tulis Abdul Rani Usman, kepala pusat penelitian dan penerbitan UIN Ar-Raniry Aceh, dalam Sejarah Peradaban Aceh . Menurut Usman, para imigran datang ke Aceh pada ribuan tahun sebelum masehi. Kehadiran mereka dalam dua gelombang. Periode pertama merupakan suku Melayu lama, mereka hidup di daerah pesisir Aceh. Kedatangan suku Melayu baru membuat mereka masuk dan menetap di pedalaman. Suku Melayu lama enggan menerima pembauran sehingga mereka menetap di dataran tinggi. “Imigran yang lebih dulu berimigrasi disebut etnis Gayo di Aceh Tengah dan suku Mante di Aceh Besar,” tulis Usman. Sampai sekarang belum ada penelitian yang khusus dan mendalam mengenai suku Mante. Keberadaan suku itu berdasarkan cerita masyarakat Aceh yang pernah melihatnya. Hal itu diakui oleh Christiaan Snouck Hurgronje, penasihat pemerintah Hindia Belanda untuk masalah pribumi dan Arab/Islam, yang menyelidiki masyarakat Aceh agar dapat ditaklukkan dalam Perang Aceh. Dalam bukunya, Aceh: Rakyat dan Adat Istiadatnya, Volume 2 , Snouck mencatat bahwa “menurut kabar, orang Mante ini tanpa busana dan tubuh mereka berambut tebal; dikabarkan bahwa mereka mendiami pegunungan di Mukim XXII; akan tetapi, semua informasi kita hanya berasal dari cerita.” Snouck mendapatkan cerita dari penduduk Aceh yang mengisahkan bahwa “di masa kakek mereka sepasang suami-istri orang Mante tertangkap dan dihadapkan kepada Sultan Aceh. Akan tetapi, meskipun dengan segala upaya, penghuni hutan itu menolak untuk berbicara atau makan, dan akhirnya mati kelaparan.” Sebagai suku primitif yang tinggal di dalam hutan, orang Mante pernah dijadikan label untuk merendahkan orang lain. Menurut Snouck, dalam tulisan tentang Aceh dan dalam percakapan sehari-hari, orang yang tolol dan serba canggung disamakan dengan orang Mante. Di daerah dataran rendah, perkataan ini juga dipakai untuk memberi julukan kepada penduduk dataran tinggi, yang dianggap mereka kurang beradab dan dalam arti yang sama juga diterapkan pada penduduk pantai barat yang berdarah campuran. Bahkan, menurut Snouck, Mante (orang hutan) juga disebut sebagai “sekelompok orang yang sering diceritakan sebagai makhluk jahat dalam dongengan Aceh.” Kendati demikian, dalam masyarakat Aceh pernah terdapat penggolongan rakyat kedalam soeke (suku) atau kawon (kaum) berdasarkan keturunan dari nenek moyang pihak laki-laki dan adat istiadatnya. Pada masa itu, ada empat kawon antara lain Kawon Ja Sandang yaitu orang Hindu yang bekerja untuk majikan masing-masing; Kawon Imeum peut (kaum imam empat) yaitu orang Hindu yang telah memeluk agama Islam; dan Kawon Tok Batu terdiri dari orang-orang asing, seperti Arab, Parsi, Turki, Keling, dan Tionghoa. Sedangkan orang Mante dan Batak masuk dalam Kawon Lherentoih (suku tiga ratus).

  • Sinema untuk Bangsa

    Di usia senjanya, Slamet Rahardjo Djarot tak mau menepi dari dunia seni. Dia masih menunjukkan kepiawaiannya sebagai aktor maupun sutradara. Dia naik pentas dalam pertunjukan teater. Setiap minggu, dia menyuguhkan guyonan bernada satir tentang perpolitikan di Indonesia dalam sebuah acara di stasiun televisi swasta. Seniman serbabisa ini tak berhenti berkarya. Tak heran jika dia mendapat penghargaan Lifetime Achievement dalam Jogja Nefpac Asian Film Festival 2011 dan Festival Film Bandung 2012. Slamet Rahardjo, kini 64 tahun, memasuki dunia film lewat teater. Beberapa kali dia menerima Piala Citra, anugerah tertinggi insan perfilman tanah air, sebagai penata artistik, aktor, maupun sutradara. Sebagai tokoh perfilman, dia mengidolakan Usmar Ismail, “Bapak Perfilman Nasional”. Usmar Ismail, lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, pada 20 Maret 1921, dikenal sebagai sutradara, penulis skenario, dan produser film. Pada 1950, dia keluar dari tentara dan uang pesangonnya digunakan untuk mendirikan Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini). Ditemui di sesela kesibukannya, Slamet Rahardjo menyempatkan diri berbincang tentang idolanya. Sebagai seniman film, siapakah tokoh idola Anda? Jika tokoh idola dalam pemikiran, ya Sukarno. Tokoh idola dalam dunia teater ya Teguh Karya, wong saya ini muridnya. Namun, jika tokoh idola dalam dunia perfilman ya tentu saja Usmar Ismail. Dari film-film Usmar Ismail, saya belajar mengenai seluk-beluk pembuatan sebuah film, meski secara pribadi saya tak terlalu dekat dan belum sempat belajar langsung dari dia. Kapan pertama kali bersinggungan dengan sosok Usmar Ismail? Ya tentu saja pertama kali sebagai penonton. Ada beberapa filmnya yang saya suka, seperti Lewat Djam Malam , Enam Djam di Djogdja , Tiga Dara , dan Krisis . Saya juga pernah belajar di sekolah yang didirikan Usmar Ismail, yaitu Akademi Teater Nasional Indonesia (yang didirikan tahun 1955, dan menjadi akademi teater modern pertama di Asia Tenggara). Mengapa mengidolakan Usmar Ismail? Usmar Ismail adalah orang yang menyadarkan saya bahwa film bukan sekadar hiburan. Film adalah kredo atau pernyataan dari pembuatnya. Jika ingin membuat film, buka mata, pelajari kesusahan, pelajari kesuksesan, pelajari kehidupan dengan jernih. Harus jujur, jangan pura-pura. Seorang pembuat film tak dapat dihakimi oleh hakim; karyanya yang dapat menghakiminya. Jika seseorang membuat film sontoloyo , yang hanya bikin bodo rakyat, ya itulah harkat dia. Apa yang menarik dari sosok Usmar Ismail? Ada hal menarik yang pernah dia sampaikan: “Saya membuat film seukuran kesadaran nasionalisme saya. Saya membuat film dengan kesadaran bahwa ini adalah karya budaya. Saya ingin membuat film yang dekat dengan masyarakat karena saya seorang wartawan. Saya ingin bikin film yang berharkat dengan ceritanya karena saya seorang sastrawan. Dan, saya ingin membuat film dengan patriotisme karena saya seorang mayor.” Itu kan lengkap. Jadi ada alasan bagi saya untuk mengaguminya. Sejauh mana Usmar menginspirasi Anda? Usmar Ismail memberikan gambaran kepada saya bahwa film bisa digunakan sebagai nation character building . Misal, dia membuat film yang berpikiran Indonesia, problem indonesia, semangat membangun Indonesia. Dalam film saya, Ponirah Terpidana (1983), saya menggunakan simbolisasi situasi bangsa kala itu, saat Orde Baru, di mana tidak ada kebebasan untuk bicara. Akibatnya ya itu, Ponirah tetap sebagai terpidana, terbelenggu oleh kondisi. Film dapat menjadi vitamin jika dibuat dengan benar, dan bisa menjadi racun jika dibuat dengan sembrono.

  • Berteman dalam Tahanan

    Selepas di Cibogo, mantan Menteri/Panglima Angkatan Udara (Menpangau) Marsekal Omar Dhani menjalani penahanan di Instalasi Rehabilitasi Nirbaya. Dia menghuni rumah No.1 di Blok Amal. Sebagai penghuni pertama, dia hanya berteman sepi di ruang tahanan yang berukuran 5 x 6 meter. Prajurit-prajurit Corps Polisi Militer Angkatan Darat yang menjaganya tak bisa dijadikan kawan. Selain citra negatif AURI di mata personel Angkatan Darat kala itu, mereka juga tak berani melanggar aturan yang melarang interaksi berlebih dengan para tapol (tahanan politik). Kesunyian itu sirna pada sekira Juni 1966, ketika Omar Dhani bertemu Bang Pi’i, jagoan Senen. Larangan tak saling berhubungan dari penjaga, hampir tak berlaku lagi. Perkenalan itu berlangsung selepas makan malam, saat seorang CPM penjaga mendatangi kamar Omar Dhani. Dia memerintahkan Omar Dhani agar ke pos. Di sana ternyata sudah ada beberapa orang, termasuk penjaga, sudah ada di sana. “Pak Omar, kita kan tetangga di Kebayoran. Rumah saya di depan kiri rumah Men/Pangau, yang depannya ada pohon pisang kipas,” kata seorang pria yang ramah menyambut Omar Dhani, sebagaimana dimuat dalam buku pledoi Omar Dhani, Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran, dan Tanganku . Pria agak pendek dan berkulit gelap itu adalah Imam Sjafii, lebih beken sebagai Bang Pi’i. Dia merupakan Menteri Keamanan Rakyat dalam Kabinet Dwikora II atau Kabinet 100 Menteri. Namanya amat populer terutama di Senen. Pii lahir di Jakarta tahun 1923. Ketika berusia lima tahun, ayahnya meninggal. Pii membantu ibunya untuk menghidupi empat adiknya. Sewaktu usianya 11 tahun, ibunya meninggal. Pii bekerja serabutan untuk menghidupi adik-adiknya. Belum lagi usianya menginjak 17 tahun, Pii sudah berhasil mengorganisir pedagang, copet, dan preman Senen ke dalam sebuah wadah. Pada masa perang kemerdekaan, bersama Mat Bendot dia membentuk Oesaha Pemoeda Indonesia, yang saban hari bertempur melawan pasukan NICA. “Bang Pii memang selalu paling depan saat meletus pertempuran di Senen,” ujar Hendrik, adik ipar Mat Bendot, kepada Historia . Pii kemudian menjadi tentara reguler Divisi Siliwangi. Setelah perang, dia mendirikan Cobra, organisasi pengamanan ibukota yang populer di tahun 1950-an. Pada 1966, Sukarno menunjuk Pii menjadi menteri untuk mengamankan ibukota yang kala itu sudah dirongrong demonstran-demonstran bentukan Ali Moertopo, tangan kanan Soeharto. Setelah mendapat Supersemar (Surat Perintah 11 Maret 1966), Soeharto menahan 15 menteri Kabinet Dwikora yang Disempurnakan, termasuk Omar Dhani dan Bang Pi’i. Usai perkenalan singkat di pos jaga, Omar Dhani dan Pii langsung akrab. Obrolan seru mereka mengundang prajurit-prajurit jaga dari pos lain untuk ikut nimbrung. Dhani tak lupa, di tengah obrolan, Pii memerintahkan salah seorang prajurit jaga untuk membeli cemilan dan membagikan kepada para tahanan lain. Hari-hari Omar Dhani tak lagi sepi. Kawan, terlebih penolong yang tulus, sejak itu ada di hadapannya. Ruang tempat penahanannya berhadapan dengan ruang penahanan Omar Dhani. Yang lebih penting, nama besar Pii punya pengaruh besar di sana sehingga dia bisa memerintah prajurit-prajurit jaga; aturan ketat tak boleh berhubungan antartapol pun menjadi longgar. “Tampaknya hampir semua tamtama dan bintara kenal dengan Pak Pei dan siap menjalankan apa saja bila diperintahkan Pak Pei,” kenang Omar Dhani. Namun, hubungan itu hanya berjalan singkat. Pada 23 November 1966, Omar Dhani dipindah tempat penahanannya ke Rumah Tahanan Militer Budi Utomo.

  • Menertawakan Sumpah Palapa Gajah Mada

    PADA 1334, para menteri berkumpul di panangkilan menghadap sang Rani Majapahit, Tribhuana Tunggadewi. Di hadapan sang rani dan para menteri, Gajah Mada yang baru diangkat menjadi mahapatih, bersumpah yang kemudian dikenal dengan Sumpah Palapa. “Jika telah berhasil menundukkan Nusantara; Gurun, Seran, Tanjungpura, Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik telah tunduk, saya baru akan memakan palapa (istirahat),” kata Gajah Mada. Menurut sejarawan Slamet Muljana, sumpah Gajah Mada itu menimbulkan kegemparan. Para petinggi kerajaan merespons dengan negatif. Ra Kembar mengejek Gajah Mada sambil mencaci maki. Ra Banyak turut mengejak dan tidak mempercayainya. Jabung Tarewes dan Lembu Peteng tertawa terbahak-bahak. “Sumpahnya diucapkan dengan kesungguhan hati. Oleh karena itu, dia sangat marah ketika ditertawakan,” tulis Slamet Muljana dalam Tafsir Sejarah Nagarakretagama . Muhammad Yamin, pengagum dan penemu wajah Gajah Mada, juga mengakui bahwa musuh politik Gajah Mada mengejek dan menertawakannya. “Ra Kembar dan Ra Banyak dengan terus terang mengatakan tak mau percaya kepada kemenangan Gajah Mada dan terus memaki-maki dengan perkataan yang kasar. Jabung-terewes dan Lembupeteng tertawa-tawa mengejek Gajah Mada yang dianggapnya sombong dan tinggi hati,” tulis Yamin dalam Gajah Mada: Pahlawan Pemersatu Nusantara . Gajah Mada pun, kata Yamin, meninggalkan paseban dan terus pergi menghadap batara Kahuripan dan Tribhuana Tunggadewi. Dia sangat berkecil hati karena dapat rintangan dari Kembar, walaupun Arya Tadah membantu sekuat tenaga. Arya Tadah memang pernah berjanji akan memberi bantuan dalam segala kesulitan kepada Gajah Mada. Namun, menurut Slamet, Arya Tadah juga ikut menertawakan program politik Gajah Mada itu. “Pada hakikatnya, Arya Tadah alias Empu Krewes tidak rela melihat Gajah Mada menjadi patih amangkubumi sebagai penggantinya. Gajah Mada merasa dihina, lalu turun dari paseban, memeluk kaki Sang Rani sambil berkata, bahwa hatinya sangat sedih karena hinaan Arya Tadah,” tulis Slamet. Gajah Mada kemudian membuat perhitungan dengan mereka yang mengejeknya. “Akibat tindakan itu sangat hebat sekali,” tulis Yamin. “…pada suatu hari tersiar kabar bahwa Ra Kembar dan Ra Banyak ditewaskan dengan hukuman mati.” Menurut Slamet, Gajah Mada memusnahkan Kembar dan Banyak. “Itulah kesempatan baik untuk melampiaskan dendamnya kepada Kembar yang mendahului pengepungan Sadeng. Hal tersebut dianggap sebagai suatu dosa terhadap Gajah Mada,” tulis Slamet. Pengepungan Sadeng dan Keta di Jawa Timur terjadi pada tahun 1331. Ketika itu yang menjadi mahapatih adalah Arya Tadah. Dia menjanjikan kepada Gajah Mada, sepulang dari penaklukkan Sadeng dia akan diangkat menjadi patih, bukan mahapatih. Alangkah kecewanya Gajah Mada, karena Kembar mendahuluinya mengepung Sadeng. Untuk menghindari sengketa antara Gajah Mada dan Kembar, Rani Tribhuana Tunggadewi datang sendiri ke Sadeng membawa tentara Majapahit. Kemenangan atas Sadeng tercatat atas nama Sang Rani sendiri. Semua perserta penaklukkan Sadeng dinaikkan pangkatnya. Gajah Mada mendapat gelar angabehi , dan Kembar dinaikkan sebagai bekel araraman . Saat itu, Gajah Mada sendiri telah menjadi patih Daha. “Kemenangan atas Keta dan Sadeng memberikan ilham untuk menjalankan politik Nusantara,” tulis Slamet. Gajah Mada melaksanakan politik penyatuan Nusantara selama 21 tahun, yakni antara tahun 1336 sampai 1357. Isi program politik ialah menundukkan negara-negara di luar wilayah Majapahit, terutama negara-negara di seberang lautan, yakni Gurun (Lombok), Seram, Tanjung Pura (Kalimantan), Haru (Sumatera Utara), Pahang (Malaya), Dompo, Bali, Sunda, Palembang (Sriwijaya), dan Tumasik (Singapura). Bahkan, dalam kitab Nagarakretagama pupuh 13 dan 14 nama-nama negara yang disebutkan jauh lebih banyak daripada yang dinyatakan dalam sumpah Nusantara. “Demikianlah dapat dipastikan bahwa program politik Nusantara itu benar-benar dilaksanakan oleh patih amangkubumi Gajah Mada selama masa jabatan 21 tahun. Setelah itu, dia amukti palapa atau istirahat,” pungkas Slamet.*

  • Empat Cara Inggris Membasmi Korupsi

    PADA abad 18, Inggris dihantui dua ketakutan yaitu kehancuran sistem finansial dan kekalahan militer. Ketakutan itu menjadi motivasi utama untuk mengatasi korupsi yang sudah lama terendus karena menyangkut keselamatan negara. Dan Inggris berhasil mengatasinya. “Obat paling manjur memberantas korupsi adalah ketakutan atas keadaan yang mendesak,” kata sejarawan Peter Carey dalam peluncuran bukunya Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia, di Bentara Budaya Jakarta, Jumat (24/3). Hal itu, kata Peter Carey, seperti ucapan Mahatma Gandhi: “Orang jarang menjadi baik hanya demi kebaikan itu sendiri, mereka menjadi baik karena keadaan mengharuskan.” “Inggris butuh 150 tahun untuk menangani korupsi,” tegas Peter Carey. Peter mengungkapkan bahwa Inggris menempuh empat cara untuk menanggulangi korupsi. Pertama, mendorong kemitraan pemerintah dengan publik-swasta. Misalnya, antara pemerintah dan proyek yang awalnya dimiliki swasta, seperti bea dan cukai. Meski diambil alih pemerintah, lembaga itu tetap dikelola seperti perusahaan swasta. Dalam konteks korupsi, ini dinilai penting karena lembaga fiskal dan keuangan swasta bisa menetapkan sendiri standar pemasukan melalui pemeriksaan dan tingkat imbalan yang kompetitif. Di bea dan cukai petugas dikenai kontrol ketat. Mereka tidak diizinkan bekerja di tempat yang di dalamnya terdapat koneksi, seperti keluarga. Mereka juga bisa diberhentikan karena pelanggaran kecil. “Bea dan cukai masih tetap dikelola sebagai suatu perusahaan swasta dengan etik dan profesionalisme tinggi,” kata Peter Carey. Peter Carey dan JJ Rizal dalam acara bedah buku Korupsi dalam Silang Sejarah Indonesia. (Risa Herdaita Putri/Historia.ID). Kedua, mendirikan sebuah komisi khusus parlemen untuk memeriksa laporan keuangan negara. Komisi ini dipilih oleh anggota parlemen dari dua partai besar, Tory dan Whig, untuk pertama kali pada 1691. Pembentukan komisi ini adalah pengaturan baru fiskal dan keuangan setelah penobatan Raja William (1689-1702) memberi wewenang lebih luas kepada parlemen untuk mengawasi belanja dan neraca departemen keuangan. Komisi kecil yang hanya beranggotakan tujuh sampai sembilan orang itu, berhak memanggil menteri dan pejabat seniornya untuk memeriksa laporan keuangan mereka. Antara tahun 1691 dan 1697, mereka berhasil membongkar kasus-kasus penyelewengan uang negara. Pemerintah Inggris pada 1690-an pun menjadi takut dan mencoba menghalangi kelanjutannya. Ketiga, meningkatkan upah pegawai negeri sipil, termasuk hakim pengadilan pada tahun 1645. Gaji hakim senior dinaikkan 500 persen menjadi seribu poundsterling per tahun (setara Rp3,3 miliar). Setelah dinaikkan, pemerintah melarangnya menerima penghasilan tambahan, keuntungan, atau hadiah lain secara langsung maupun lewat staf mereka. Hal ini untuk mencegah malpraktik hukum dan meringankan ongkos penggugat. “Ada juga revolusi mental. Ini harus,” kata Peter Carey menyebut cara keempat. Revolusi mental di Inggris pada abad 18 didasarkan atas dua perkembangan baru, yaitu pengaruh Protestan dan filsafat utilitarianisme atau kebahagian terbesar dari sebanyak mungkin orang. Peter mencatat bahwa kepercayaan atas Injil memicu sebuah moralitas di tengah pemerintahan. Hal itu didasarkan atas kejujuran, integritas, dan tradisi patriarkal, yang membuahkan semacam kebanggaan nasional dalam melaksanakan tugas politik dengan jujur dan saksama. Sementara utilitarianisme dipopulerkan filsuf sosio-ekonomi Inggris dan ahli hukum, Jeremy Bentham dan adiknya, Samuel Bentham, insinyur militer dan arsitek kapal perang. Doktrin ini dititikberatkan kepada unsur sifat hemat, efisiensi, kebersahajaan, dan integritas di bidang pemerintahan, terutama di bidang keuangan negara dan militer. Cara keempat tersebut menjadi faktor terpenting memberantas korupsi dalam sistem belanja negara. Revolusi mental dalam hal perubahan fundamental pemikiran umum dan budaya politik adalah keharusan.*

  • Lambang Polri Sebelum Gajah Mada

    POLISI Republik Indonesia disebut Korps Bhayangkara merujuk kepada nama pasukan yang dipimpin oleh Maha Patih Gajah Mada. Maka, lambangnya pun patung Gajah Mada. Ternyata, sebelum Gajah Mada, lambang Polri adalah patung Arjuna dan Sri Kresna. Hal itu terungkap dalam biografi terbaru Kapolri pertama, Jenderal Polisi RS Soekanto Tjokrodiatmodjo karya Awaloedin Djamin, mantan Kapolri, dan G. Ambar Wulan. Pada 1 Juli 1955, diadakan peresmian gedung baru Jawatan Kepolisian Negara Republik Indonesia sekaligus peringatan Hari Bhayangkara. Di sebelah kiri gedung terdapat patung Sinar dan Bayangan berwujud patung dua manusia tidak sempurna (pendek) yang menggambarkan hujwala (getaran) pribadi sang Begawan Ciptoning (Arjuna) dan Sri Kresna. Makna pertama dari patung tersebut melambangkan Tri Brata sebagai pedoman Kepolisian yang bersifat sederhana dalam menghadapi sukses yang dicapai, satria dalam mengabdi kepada bangsa dan negara, dan waspada dalam segala hal. Makna kedua, sebagai warna simbol kepolisian, yaitu kuning (sinar disamakan dengan pikiran) dan hitam (bayangan diartikan selalu menjaga dengan watak kepribadian kepolisian). Makna ketiga, sebagai lambang 17 Agustus 1945 yang disimbolkan dalam bentuk obor yang dipegang Arjuna dan dijaga oleh Sri Kresna. Pahatan yang terletak di tiang berbentuk lingkaran menggambarkan bagian-bagian kepolisian, meliputi pendidikan umum, reserse, mobile brigade, lalu lintas, dan sebagainya. Dasar bangunan terdiri dari tujuh lapis melambangkan angka suci yang mengandung arti bersih, sebagaimana pandangan kitab Injil yang mengatakan dunia terbentuk dalam waktu tujuh hari dan tujuh malam dan Alquran yang menyebutkan adanya langit lapis ketujuh sebagai tempat bagi arwah manusia yang masih hidup dengan bersih. Menurut Awaloedin dan Ambar, pembuatan patung tersebut bermula dari ilham yang diterima Soekanto yang dituangkan dalam bentuk patung oleh seorang pemahat, Ny. Tjokro Soeharto. Patung itu, menurut Ny. Tjokro Soeharto, melambangkan kepribadian Polisi Negara. Arjuna memegang obor menyala dengan tangan kanannya dan Sri Kresna memperlihatkan sikap siap menjaga jangan sampai api tersebut padam. Patung tersebut kemudian diganti dengan patug Gajah Mada.*

  • Asal-Usul Istilah Perang Dingin

    PADA 16 April 1947, istilah perang dingin (cold war) pertama kali diusulkan untuk menyebut konflik antara Amerika Serikat dan Uni Soviet.  Kamus Besar Bahasa Indonesia  daring mengartikan “perang dingin”: 1. perang tanpa mengangkat senjata, hanya saling menggertak 2. suasana internasional yang sangat tegang dan bermusuhan yang diakibatkan oleh konflik ideologi antara Blok Barat (liberal kapitalis) dan Blok Timur (sosial komunis) yang berkembang setelah Perang Dunia Kedua.  Pada akhir Perang Dunia II, penulis Inggris George Orwell telah menggunakan “perang dingin” sebagai istilah umum dalam esainya “You and the Atomic Bomb” di surat kabar Inggris, Tribune , 19 Oktober 1945, tentang hidup dalam ancaman perang nuklir dan dunia yang terpolarisasi.  Orwell kembali menyebut istilah “perang dingin” dalam tulisannya di The Observer , 10 Maret 1946: “setelah konferensi Moskow pada Desember lalu, Rusia mulai melakukan ‘perang dingin’ terhadap Inggris dan Kerajaan Inggris.”  Istilah “perang dingin” pertama kali digunakan secara spesifik untuk menggambarkan konfrontasi geopolitik antara Uni Soviet dan Amerika Serikat dalam pidato Bernard Mannes Baruch, penasihat Presiden Amerika Harry Truman, tanggal 16 April 1947. Pidato tersebut ditulis oleh jurnalis Herbert Bayard Swope.  Dalam The Age of Containment , David Rees menyebut kala berdiri di hadapan House of Representatives di South Carolina, Amerika, Baruch berkata: “Hari ini kita berada di tengah Perang Dingin. Musuh kita (Soviet-Komunisme) bisa ditemukan baik di luar maupun di dalam negeri.”   Koran New York Herald Tribune lantas mempopulerkan istilah “perang dingin” pada September 1947. Istilah “perang dingin” semakin terkenal setelah kolumnis Walter Lippmann (1889–1974) menerbitkan buku The Cold War: A Study in U.S. Foreign Policy (1947).   Ketika ditanya pada 1947 tentang sumber istilah “perang dingin”, Lippmann menelusurinya ke istilah Perancis dari tahun 1930-an, la guerre froide (perang dingin).  Bagaimana bisa terjadi Perang Dingin Amerika Serikat dan Uni Soviet? Selepas Perang Dunia II berakhir pada 1945, hubungan Amerika dan Uni Soviet merenggang. Mereka tak lagi bersekutu karena perbedaan kepentingan.   Amerika mencoba membangun kembali negeri-negeri yang hancur akibat perang dengan ideologi dan ekonomi liberal-kapitalistik. Sedangkan Uni Soviet berusaha meluaskan pengaruh komunisme ke seluruh dunia. Amerika dan Uni Soviet pun terlibat konflik meski tak secara terbuka.   Beragam cara ditempuh Amerika dan Uni Soviet, antara lain menggelontorkan bantuan ekonomi dan propaganda politik. Tujuan mereka jelas untuk memperoleh kekuatan dari banyak negara guna mengukuhkan keadikuasaannya.*

  • Jejak Langkah Sang Pengikut Tan Malaka

    PADA dekade 1970-an, Harry A. Poeze bertandang ke Menteng, Jakarta Pusat. Sejarawan Belanda itu tengah mengadakan riset tentang perjuangan Tan Malaka dalam revolusi Indonesia. Poeze bersua dengan Maroeto Nitimihardjo, tokoh Partai Murba, partai yang dibentuk Tan Malaka tahun 1948. “Dia adalah informan yang penting,” ujar Poeze dalam acara bedah buku Ayahku Maroeto Nitimihardjo karya Hadijojo Nitimihardjo yang diselenggarakan Tan Malaka Institute di Gedung Joang, Menteng, Jakarta Pusat, 24 Maret 2017. “Sepintas dia terlihat moderat tapi nyatanya sangat radikal,” ungkap Poeze menggambarkan sosok Maroeto. Maroeto Nitimihardjo lahir di Cirebon dari keluarga aristokrat, pada 26 Desember 1906. Persinggungannya dalam pergerakan diawali tatkala menjadi anggota Jong Java. Dia kemudian tergabung dalam Perhimpunan Pemuda Pelajar Indonesia (PPPI), salah satu organisasi pemuda yang menginisiasi Sumpah Pemuda. Menurut sejarawan Bonnie Triyana, kesaksian Maroeto yang dituturkan kepada putranya yang kelima, Hadidjojo dalam buku ini merupakan sumber sejarah yang bisa menjadi alternatif dalam memahami perjalanan sejarah kemerdekaan Indonesia. Jejak langkah Maroeto, menurut pemimpin redaksi majalah Historia ini, punya aspek menarik dan memberikan gambaran sejarah pada zamannya. Maroeto lahir di zaman kolonial dari kalangan status sosial menengah ke atas dan mendapat pendidikan ala Barat. Kemudian turut dalam gelanggang pergerakan nasional dan berjuang di zaman Jepang. Bersama Adam Malik, Maroeto turut membidani lahirnya Antara , cikal bakal kantor berita Indonesia. “Pergerakan Maroeto menjadi menarik karena di masa menjelang kemerdekaan, dalam buku ini dia menyatakan pemuda di kubunya adalah ‘kelompok tertutup,” tutur Bonnie. Dalam buku ini, Maroeto menyaksikan dan melakoni kisah lain di balik sejarah kemerdekaan Indonesia. Mulai dari langgam keroncong dalam lagu Indonesia Raya yang dialunkan WR Soepratman dalam Sumpah Pemuda hingga hingga kesakian tentang adanya testamen politik Bung Karno kepada Tan Malaka yang bertempat di kediaman Suharto, dokter pribadi Bung Karno, di Jalan Kramat raya, Jakarta Pusat. Sebagai seorang Murbais, persinggungan Maroeto dengan Tan Malaka tak serta merta. Muhammad Yamin-lah yang memperkenalkan Maroeto terhadap gagasan Tan Malaka. Saat Kongres Pemuda II, Yamin memberikan risalah Tan Malaka berjudul Massa Actie (Aksi Massa) dan Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia). Kendati demikian, sebagai seorang elite terdidik, Maroeto lebih memilih menjadi kader PNI Pendidikan yang dibentuk Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir hingga kedatangan Jepang. Di masa revolusi, Maroeto justru berseberangan dengan Sukarno-Hatta yang memilih berdiplomasi dengan Belanda. Program “Merdeka 100 persen” yang diserukan Tan Malaka pada Persatuan Perjuangan tahun 1946 menarik Maroeto menjadi pengikut Tan Malaka. Partai Rakyat yang dipimpinnya berfusi menjadi Musyawarah Orang Banyak atau Murba pada 7 November 1948 yang diketuai oleh Sukarni namun dipromotori oleh Tan Malaka. Di Partai Murba, Maroeto lebih banyak diam dan mengendalikan partai dari dalam. Pada dekade 1950-an, Maruto menjadi yang pertama mengeluarkan mosi menolak Konferensi Meja Bundar (KMB). Dia menjabat Wakil Ketua Partai Murba antara 1952-1963 sebelum kemudian dibekukan pemerintahan Sukarno pada 1964. Hingga akhir hayatnya, Maroeto seorang Murbais yang konsisten ketika banyak tokoh Murba beralih haluan seturut dengan penguasa, seperti Adam Malik. Dia meninggal pada 17 Januari 1989. Kini, Maroeto yang telah menjadi perintis kemerdekaan diusulkan menjadi Pahlawan Nasional. Ridwan Saidi yang juga turut sebagai pembicara mengapresiasi buku ini karna memperkaya perspektif sejarah. Kendati demikian, budayawan Betawi ini juga mengkritisi isi buku karena subjektivisme yang begitu kuat di dalamnya, terutama mengenai peran dan perjuangan kelompok Islam yang dipinggirkan.*

bottom of page