top of page

Hasil pencarian

9590 hasil ditemukan dengan pencarian kosong

  • Revolusi Amerika dalam Pidato Sukarno di KAA

    AMERIKA Serikat berusaha menggagalkan penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika. Caranya dengan merencanakan pembunuhan tokoh utamanya seperti Sukarno dan Zhou Enlai, hingga menandinginya dengan membentuk Pakta Pertahanan Asia Tenggara (SEATO, South East Asia Treaty Organization). Sekretaris Jenderal KAA Roeslan Abdulgani mengetahui hal itu. “Berita-berita sandi yang kita terima dari Amerika menunjukkan bahwa di sana ada kecurigaan dan kekhawatiran tentang jalannya Konperensi Bandung ini. Diperkirakan bahwa kolonialisme Barat akan menjadi bulan-bulanan dan sasaran pokok. Apalagi akan hadirnya RRC. Ini akan merugikan kedudukan Amerika di Bandung,” kata Roeslan dalam Bandung Connection . Roeslan berusaha menetralisir kekhawatiran AS itu demi hubungan baik Indonesia-Amerika. Sekonyong-konyong dia teringat peristiwa penting bagi sejarah Amerika pada 18 April 1775: Revolusi Amerika. Kebetulan Roeslan diminta Sukarno memberi masukan untuk pidato pembukaan KAA pada 18 April 1955. Untuk itu, dia segera menghubungi Hughes Cumming, duta besar AS di Indonesia, meminta beberapa referensi seputar Revolusi Amerika. Di tengah Revolusi Amerika, seorang pemuda, Paul Revere, memacu kencang kudanya di tengah malam, dari pelabuhan Boston di kota Concord distrik New England, untuk memberitahu kedatangan pasukan Inggris. Dia pun telah membangkitkan semangat perlawanan terhadap kolonialisme Inggris. Peristiwa itu diabadikan oleh penyair kenamaan Henry Wadsworth Longfellow dalam syairnya: Paul Revere’s Ride (1860). “Jadi jelas,” kata Roeslan, “tanggal 18 April 1775 adalah hari bersejarah bagi bangsa Amerika dalam perjuangannya melawan kolonialisme. Kenapa tidak kita kaitkan saja kedua kejadian itu, yang tanggal jatuhnya bersamaan, jiwanya juga bersama, hanya tahunnya berbeda?” Sukarno setuju pada saran Roeslan. Itulah sebabnya dalam pidato pembukaan KAA, Sukarno mengatakan: “Perjuangan melawan kolonialisme berlangsung lama, dan tahukah Tuan-tuan, bahwa hari ini adalah hari ulang tahun yang masyhur dalam perjuangan itu? Pada tanggal 18 April 1775, kini tepat 180 tahun yang lalu, Paul Revere pada tengah malam mengendarai kuda melalui distrik New England memberitahukan tentang kedatangan pasukan-pasukan Inggris dan tentang permulaan Perang Kemerdekaan Amerika, perang antikolonial yang untuk pertama kali dalam sejarah mencapai kemenangan. Mengenai perjalanan berkuda di tengah malam ini penyair Longfellow menulis: A cry of defiance and not of fear/A voice in the darkness, a knock at the door/And a word that shall echo for evermore… (Teriakan menentang, bukan karena takut/Suara di malam gelap, ketokan pintu/dan sepatah kata yang akan berkumandang sepanjang masa…)” Menurut Roeslan, suara Sukarno yang menggelegar di Gedung Merdeka memberikan pengaruh, terutama pengaruh psikologis kepada wartawan-wartawan Amerika yang hadir meliput acara. “Dubes Amerika Hughes Cummings datang berseri-seri kepada saya siang hari itu (Senin, 18 April 1955, red ) mengulurkan tangannya,” kata Roeslan. Setahun kemudian, ketika ke Amerika Roeslan menceritakan kepada Hughes Cummings bahwa “tanggal 18 April 1955 itu adalah hasil ‘jepitan’ Hari Sucinya Agama Buddha dan Agama Islam.” Sekretariat Bersama KAA semula menentukan pembukaan tanggal 15 April, namun bertepatan dengan hari suci agama Buddha. Sehingga delegasi dari negara-negara beragama Buddha seperti Burma, baru tiba di Indonesia tanggal 16 April malam atau selambatnya 17 April. Begitu pula dengan penutupan, panitia memutuskan penutupan dilakukan pada 23 April, karena 24 April mulai puasa Ramadan. Jadilah penyelenggaraan KAA 18-23 April 1955, terjepit oleh dua acara suci agama Buddha dan Islam.*

  • Dianggap Gangguan, CIA Rancang Pembunuhan Sukarno

    KOMISI Church mendapatkan sejumlah petunjuk bahwa CIA pernah berencana membunuh Presiden Sukarno. Rencana tersebut terungkap dari kesaksian Richard Bissel, mantan wakil direktur bidang perencanaan CIA, kepada Komisi Church.

  • Presiden Sukarno: “Megawati Sukarnaputri bukan Soekarnoputri”

    KERIBUTAN soal tempat lahir Sukarno tampaknya sudah mereda. Tim komunikasi Presiden Joko Widodo telah bertanggung jawab dan meminta maaf atas kesalahan menyebut tempat lahir Sukarno di Blitar, padahal di Surabaya. Namun, bagaimana jika ternyata nama keluarga yang digunakan anak-anak Sukarno tidak sesuai dengan apa yang diberikan dan diinginkan Sukarno. Dalam amanatnya pada Musyawarah Nasional Teknik di Istora Olahraga Senayan Jakarta, 30 September 1965, Sukarno menegaskan: “Saudara-saudara, saya mendidik kepada Guntur, kepada Megawati: He Guntur, engkau harus membantu kepada pembangunan sosialisme. Megawati, engkau harus membantu kepada pembangunan sosialisme. Ayo, tentukan sendiri, engkau mengambil jurusan apa di dalam studimu? Guntur milih teknik! Megawati milih teknik,” kata Sukarno dalam Revolusi Belum Selesai: Kumpulan Pidato Presiden Soekarno 30 September 1965-Pelengkap Nawaksara. Sukarno menegaskan nama keluarga yang diberikannya kepada anak-anaknya: “Guntur Sukarnaputra. He wartawan, kenapa wartawan itu selalu salah tulis. Guntur Soekarnoputra, salah! Sukarnaputra. Begitu pula Megawati Sukarnaputri. Bukan Soekarnoputri, meskipun namaku adalah Sukarno.” Beberapa buku menulis nama keluarga itu Sukarnaputra atau Sukarnaputri. Misalnya, buku Republik Indonesia Volume 5: Djakarta Raya , terbitan resmi Kementerian Penerangan tahun 1957, menyebut Megawati Sukarnaputri. “Di tengah-tengah suatu taman diadakan pelajaran untuk kanak-kanak keluarga Istana dimana tidak ada perbedaan bagi Megawati Sukarnaputri dengan anak si tukang kebun, mereka sama-sama mendapat didikan di suatu tempat yang disediakan.” Menariknya, buku-buku asing terbitan tahun 2000-an juga menulis Megawati Sukarnaputri . Begitu pula dengan Guntur. Buku Pedoman Pokok Pelaksanaan Deklarasi Marhaenis yang diterbitakan DPP Partai Nasional Indonesia tahun 1965, menyebutkan “kemudian pembacaan ikrar oleh Bung Guntur Sukarnaputra . Disusul dengan penyerahan jenis ‘padi Marhaen’ hasil karya saudara Martief Djemain anggota Petani Djawa-Timur kepada Bapak Marhaenisme Bung Karno.” Mengapa Sukarno memilih nama Karna? Karna merupakan pengganti Kusno, nama lahir Sukarno. Sakit-sakitan menjadi alasan bapaknya, Raden Sukemi Sosrodiharjo, mengganti nama Kusno menjadi Karna, anak Batara Surya atau Dewa Matahari dengan Dewi Kunti, yang lahir melalui telinga. Karenanya Karna juga berarti telinga. Karna, kata Raden Sukemi yang mengagumi kisah Mahabarata, adalah pahlawan terbesar dalam Mahabarata, setia pada kawan-kawannya, memiliki keyakinan tanpa mempedulikan akibatnya, dikenal karena keberanian dan kesetiaannya, seorang panglima perang dan pembela negara. “Aku selalu berdoa agar anaku menjadi seorang patriot dan pahlawan besar dari rakyatnya,” kata Raden Sukemi seraya berharap “semoga engkau menjadi Karna yang kedua.” “Nama Karna dan Karno sama saja. Dalam bahasa Jawa huruf A dibaca O. Awalan Su pada kebanyakan nama kami berarti baik, paling baik. Jadi Sukarno berarti pahlawan yang terbaik,” kata Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams. Sejak masa sekolah tandatangannya dieja Soekarno, namun setelah Indonesia merdeka Sukarno memerintahkan semua OE ditulis menjadi U. “Nama Soekarno sekarang ditulis menjadi Sukarno,” kata Sukarno. “Tidak mudah bagi seseorang untuk mengubah tandatangan seteah berumur 50 tahun, jadi dalam hal tandatangan aku masih menulis S-O-E .” Sukarno tidak menyebut alasan mengapa dia memberikan nama keluarga Sukarnaputra atau Sukarnaputri. Barangkali, dengan memberikan nama itu, Sukarno seperti halnya bapaknya, Raden Sukemi, mengharapkan anak-anaknya menjadi seorang Karna.*

  • Enam Korban Keris Mpu Gandring

    SIAPA yang tak kenal dengan kisah keris Mpu Gandring? Keris ini dikutuk pembuatnya, Mpu Gandring, akan membawa malapetaka. Keris pencabut maut ini dikisahkan dalam kitab Pararaton atau Katuturanira Ken Anrok (gubahan tahun 1478 dan 1486 tanpa disebutkan penggubahnya). Di luar mitos soal magis keris Mpu Gandring, kisah ini menggambarkan suksesi berdarah yang mengiringi perjalanan kerajaan Singasari, yang didirikan Ken Angrok. Berikut ini para korban kutukan keris Mpu Gandring. Mpu Gandring Ken Angrok terpesona oleh Ken Dedes, istri Tunggul Ametung. Menurut pendeta Lohgawe, siapa yang berhasil memperistri Ken Dedes akan menjadi raja besar. Ken Angrok pun bertekad membunuh Tunggul Ametung. Ayah angkatnya, Bango Samparan, menyarankan agar Ken Angrok memesan keris kepada kawan karibnya, Mpu Gandring, pembuat keris yang ampuh di Lulumbang. Maka, datanglah Ken Angrok menemui Mpu Gandring. Ken Angrok meminta kerisnya selesai dalam lima bulan, sedangkan Mpu Gandring minta waktu setahun. Lima bulan kemudian, Ken Angrok kembali ke Lulumbang dan mendapati Mpu Gandring sedang menggurinda keris pesanannya. Karena belum selesai, Mpu Gandring menolak memberikan keris itu. Ken Angrok pun merebut keris itu dan menikam Mpu Gandring. Sebelum mati Mpu Gandring mengutuk bahwa Ken Angrok dan tujuh turunannya akan mati oleh keris itu. Merasa bersalah, Ken Angrok berjanji kalau cita-citanya menjadi raja terwujud, dia akan menunjukkan rasa terimakasihnya kepada keturunan Mpu Gandring. Tunggul Ametung Di Tumapel, Ken Angrok berkawan dengan Kebo Ijo, yang dikasihi Tunggul Ametung. Dengan cerdik, Ken Angrok membuat Kebo Ijo tertarik dengan keris berukiran kayu cangkring yang dibawanya. Ken Angrok meminjamkannya. Kebo Ijo suka memamerkan keris itu sehingga setiap orang Tumapel tahu Kebo Ijo memiliki keris itu. Pada suatu malam, Ken Angrok mengambil keris itu tanpa sepengetahuan Kebo Ijo. Ken Angrok menikam Tunggul Ametung yang tertidur dan meninggalkan keris itu tertancap di dadanya. Kebo Ijo Warga Tumapel, yang pernah melihat Kebo Ijo memamerkan keris itu, sertamerta menuduhnya sebagai pembunuh Tunggul Ametung. Mereka mengeroyok dan membunuh Kebo Ijo dengan keris itu. Ken Angrok bebas dari tuduhan, tetapi tidak terbebas dari kutukan Mpu Gandring. Kebo Randi yang masih kecil menangisi kematian ayahnya, Kebo Ijo. Merasa terharu, Ken Angrok menjadikan Kebo Randi sebagai pekatik (abdi). Ken Angrok akhirnya berhasil memperistri Ken Dedes. Tidak ada orang Tumapel yang berani menggangu gugat. Bahkan keluarga Tunggul Ametung pun diam, tidak berani berkata apa-apa. Ramalan pendeta Lohgawe terbukti. Ken Angrok berhasil mengalahkan Raja Kediri, Dandang gendis alias Kertajaya. Dia mendirikan Kerajaan Singasari pada 1222. Ken Angrok Waktu dinikahi Ken Angrok, Ken Dedes sedang hamil tiga bulan, mengadung anak dari Tunggu Ametung. Ketika lahir, anak itu diberi nama Anusapati. Sedangkan Ken Angrok dan Ken Dedes memperoleh tiga putra dan satu putri: Mahisa Wunga Teleng, Panji Saprang, Agni Bhaya, dan Dewi Rimbu. Dari pernikahannya dengan Ken Umang, Ken Angrok mempunyai tiga putra dan seorang putri: Panji Tohjaya, Panji Sudatu, Tuan Wregola, dan Dewi Rambi. Ken Dedes merahasiakan kematian suaminya, Tunggul Ametung. Namun, ketika Anusapati sudah agak besar, dia menanyakan kepada ibunya, mengapa Sang Amurwabhumi (Ken Angrok) memperlakukannya berbeda dibanding saudara-saudaranya yang lain. Dia juga mempertanyakan kenapa bukan dirinya yang lebih tua tapi Mahisa Wunga Teleng yang dinobatkan sebagai raja Kediri. Ken Dedes akhirnya menyingkap rahasia bahwa Anusapati hanyalah anak tiri dan ayahnya (Tunggul Ametung) mati dibunuh Ken Angrok. Anusapati pun meminta keris Mpu Gandring yang dipegang Ken Dedes. Anusapati menyuruh Ki Pengalasan dari desa Batil untuk menghabisi Ken Angrok. Suruhannya itu berhasil membunuh Ken Angrok yang sedang makan di waktu senja, pada 1247 –versi Negarakertagama menyebut tahun 1227. Ki Pengalasan Setelah menyelesaikan misinya, Ki Pengalasan segera melapor. Anusapati memberinya hadiah. Namun karena takut Ki Pengalasan menceritakan siapa yang menyuruhnya membunuh Ken Angrok, Anusapati kemudian menghabisinya. Anusapati Sepeninggal Ken Angrok, Anusapati dinobatkan sebagai raja Singasari. Namun dia selalu waspada. Bilik tempat tidurnya dikelilingi selokan, halamannya dijaga ketat orang-orang kepercayaannya. Panji Tohjaya, anak Ken Angrok dari Ken Umang, mengetahui bahwa Ki Pengalasan hanyalah suruhan Anusapati untuk membunuh ayahnya. Dia bersiasat dengan cara mengajak Anusapati meyabung ayam. Tohjaya berhasil meminjam keris Mpu Gandring dari Anusapati dan menukarnya dengan keris lain. Anusapati terlalu asyik menikmati sabung ayam. Tohjaya tak menyia-nyiakan kesempatan dan menancapkan keris Mpu Gandring ke dada Anusapati. Seketika Anusapati tewas pada 1249 –versi berbeda ditulis Negarakertagama yang menyebut Anusapati mati wajar. Tohjaya kemudian naik takhta. Tohjaya Kendati bukan mati karena keris Mpu Gandring, kematian Tohjaya patut dicatat sebagai rangkaian dari kisah ini. Tohjaya berkuasa dengan diselimuti ketakutan. Kecurigaan terutama ditunjukkan kepada Rangga Wuni, anak Anusapati. Rangga Wuni memendam dendam atas kematian ayahnya. Bersekutu dengan Mahisa Campaka, anak Mahisa Wunga Teleng yang tak terima tahta kerajaan Kediri diambil Tohjaya, Rangga Wuni melakukan pemberontakan. Mereka menyerang istana. Tohjaya melarikan diri. Namun karena luka-luka dalam pertempuran, dalam pelarian itu Tohjaya meninggal dunia. Rangga Wuni menaiki takhta kerajaan Singasari dengan gelar Sri Jaya Wisnuwardhana. Mahisa Cempaka turut pula memerintah dengan gelar Narasimhamurti. Mereka mengadakan pemerintahan bersama dengan menyatukan kerajaan Singasari dan Kediri. Negarakertagama mengibaratkan Wisnu dan Indra. Kutukan keris Mpu Gandring pun lenyap. Suksesi berdarah antara keturunan Ken Angrok dan Tunggul Ametung pun berakhir.*

  • Berpulangnya Sang Penyair Kiri

    SABAR Anantaguna, mantan pimpinan pusat Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organ kebudayaan yang kerap dikaitkan dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), mengembuskan nafas terakhir di RS Cipto Mangunkusumo Jumat (18/7), pukul 1.45 WIB. Setelah disalatkan usai salat Jumat di masjid yang berjarak 50 meter dari rumahnya, jasadnya dimakamkan di TPU Duren Sawit, Jakarta Timur. S. Anantaguna lahir di Klaten, Jawa Tengah, 9 Agustus 1930, dengan nama Santoso bin Sutopangarso. Setelah beranjak dewasa, tanpa diketahui alasannya, dia mengganti namanya menjadi Sabar Anantaguna. Dia pernah aktif dalam riuh-rendah masa revolusi Indonesia. Namanya tidak begitu terkenal karena dia memang orang bawah tanah. “Dia pekerja bawah tanah yang baik,” ujar Martin Aleida, mantan wartawan Harian Rakjat yang bertugas meliput di istana presiden periode 1960-an. Martin yang menghadiri prosesi pemakamannya tampak lebih banyak diam, tidak seperti biasanya. Martin bercerita, tahun 1960-an, dirinya pernah sebulan tinggal seatap dengan Anantaguna di ruang belakang perpustakaan PKI. “Dia pendiam,” kata Martin. “Selama tinggal bersama, kami hanya bicara yang penting-penting saja. Walau satu meja saat makan maupun sarapan, kami diam-diaman. Dia baca koran, saya baca koran.” Perpustakaan itu kini menjadi mess Aceh di Menteng, Jakarta. Pasca huru-hara 1965, Anantaguna dipenjara selama 13 tahun (1965-1978) tanpa pernah diadili. Lepas dari penjara Orde Baru, dia kerja serabutan untuk bertahan hidup. Jangankan pimpinan Lekra macam dia, anggota biasa saja dikucilkan dari masyarakat. Anantaguna juga kembali ke identitas kecilnya. Pada 1980, ketika Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengadakan sayembara menulis, dia mengirim naskah berjudul Mewarisi dan Memperbaharui Kebudayaan Nasional. “Naskah itu saya kirim atas nama Santoso,” katanya saat dijumpai di Tebet, 17 Januari 2011, di sela diskusi buku Njoto: Peniup Saksofon di Tengah Prahara. “Eh, menang. Juara satu. Hadiahnya diambil langsung ke P dan K dengan menunjukkan KTP.” Anantaguna berkawan dekat dengan Njoto, salah satu pimpinan tertinggi PKI dan penulis pidato Sukarno. Mereka berkawan sejak kanak-kanak. Hingga dewasa pun mereka masih berkawan. Ketika PKI ulang tahun saat masih berjaya, Anantaguna membuat puisi: Ulangtahun Partaiku / Perasaanku, djuga ulangtahunku . Puisi berjudul “Kepada Partai” ini sangat terkenal pada masanya. Puisi lainnya tentang komunis berjudul “Potret Seorang Komunis”: Adakah duka lebih duka yang kita punya / kawan meninggal dan darahnya kental di pipi / tapi kenangan kesayangan punya tempat dalam hati / Adakah tangis lebih tangis yang kita punya / badan lesu dan napas sendat di dada / tapi hasrat dan kerja berkejaran dalam waktu. Dalam Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia , Pramoedya Ananta Toer menyatakan bahwa sajak “Potret Seorang Komunis” karya Sabar Anantaguna dan “Demokrasi” karya Agam Wispi merupakan prestasi sastra realisme sosialis yang telah mendapatkan bentuk dan pengucapan yang tepat. Menurut penyair Asep Sambodja, Anantaguna adalah salah satu penyair Lekra yang kuat dalam menyampaikan pesan namun tidak kehilangan greget kepenyairannya. Puisi-puisinya merupakan ekspresi dari hasil penyelaman dan penghayatan yang masuk ke lubuk sanubari masyarakat. Dan selalu saja yang menjadi perhatian untuk dibelanya adalah rakyat kecil. “Tidak salah kalau seorang Pramoedya Ananta Toer terpikat dengan puisi-puisi Anantaguna,” tulis Asep dalam blognya (7 November 2009) Puisi Anantaguna kerap dimuat koran Harian Rakjat , organ PKI dengan oplah terbanyak pada 1960-an. Puisinya terangkumdalam kumpulan puisi Yang Bertanah Air Tidak Bertanah (1962), Kecapi Terali Besi (1999), dan Puisi-puisi dari Penjara (2010). Cerita pendeknya, bersama cerpenis A.A. Zubir, Agam Wispi, Sugiarti, dan T. Iskandar A.S. masuk dalam kumpulan cerita pendek Api 26 (1961). Beberapa tahun terakhir ini, Anantaguna yang tidak gampang ditemui menjalin hubungan baik dengan sejumlah anak muda. Terutama yang bergiat di ranah kebudayaan. Dia kerap berpesan, “Berhentilah meratapi masa lalu. Berpikirlah untuk hari ini dan masa depan.” Di pengujung usianya, Anantaguna masih berkarya. Dia menulis puisi dan esai. “Terakhir ke rumahnya baru-baru ini, saya dikasih tiga bundel kumpulan puisi dan kumpulan esai,” ujar Okky Tirto, pendiri komunitas Mata Budaya di pemakaman Anantaguna. “Waktu itu beliau bilang, ‘Bung, karena keterbatasan dana dan fisik, saya tak bisa keluar-masuk perpustakaan. Untungnya saya selalu ikuti berita. Ini jadinya’.” Jika tak ada aral melintang, kumpulan esai berjudul Kebudayaan dan Globalisasi akan terbit akhir tahun ini. Saat mengantar jenazah Anantaguna ke pusara, Okky yang merupakan cicit Tirto Adhi Soerjo, salah satu perintis pers Indonesia, mengirimi puisi berjudul “Kepada Anantaguna” via whatsApp . Begini cuplikannya: Penyair mati sisakan puisi / Apa guna sajak bicara sendiri.

  • Sukarno Meninggal Dunia

    PADA 21 Juni 1970, Presiden Sukarno mengebuskan napas terakhirnya. Di pengujung hidupnya, dia jalani dengan memilukan. Setelah dijatuhkan pada Maret 1967 dengan naiknya Jenderal Soeharto menjadi presiden, Sukarno menjadi tahanan rumah di Istana Bogor, kemudian dipindahkan ke Wisma Yaso di Jakarta (Sekarang Museum Satria Mandala). Jusuf Wanandi, mantan aktivis KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), menyebut bahwa beberapa oknum dari intelijen Kopkamtib (Komando Pemulihan Keamanan dan Ketertiban) yang ingin membuktikan keterlibatan Sukarno dalam gerakan makar PKI (mungkin tanpa perintah Soeharto) menetapkan Bung Karno berstatus tahanan rumah, sementara penyelidikan berlangsung. “Laporan resmi pemeriksaan ini tidak pernah dikeluarkan,” katanya dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965-1998 . Sukarno dikucilkan dari rakyatnya di Wisma Yaso sejak pengujung Desember 1967. “Bahkan, keluarga dan kerabatnya pun sulit menemui Bung Karno. Untuk membesuk Bung Karno, mereka harus mendapat izin lebih dulu dari otoritas yang berwenang,” tulis sejarawan Bob Hering dalam Soekarno Arsitek Bangsa . Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta dua periode (1966-1977), pernah menengok Sukarno di Wisma Yaso, mengungkapkan “keadaan tempat tinggal itu kotor, kotor sekali. Kebunnya tidak diurus. Di dalam ruangan di rumah itu debu di mana-mana. Padahal Bung Karno sangat menyukai kebersihan, sangat tidak senang dengan kekotoran. Jangankan pada kekotoran yang begitu tampak dan bertumpuk, debu sedikit pun tidak beliau senangi. Beliau sangat teliti, mencintai keindahan dan kebersihan.” “Saya menjadi amat sedih. Pikiran saya, kok, mengapa tega-teganya orang terhadap beliau, sampai beliau –pemimpin bangsa itu– diperlakukan seperti itu. Saya yakin, beliau pasti menderita. Apakah itu disengaja? Masa’ ada yang sengaja berbuat begitu?” kata Ali dalam Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi karya Ramadhan KH. Sesudah jatuh sakit selama waktu singkat dan tanpa perawatan yang baik, Sukarno meninggal pada pukul tujuh pagi, 21 Juni 1970. Dia dalam otobiografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adams, berwasiat agar dimakamkan “di bawah pohon yang rindang, dikelilingi oleh alam yang indah, di samping sebuah sungai dengan udara segar dan pemandangan bagus. Aku ingin beristirahat di antara bukit yang berombak-ombak dan di tengah ketenangan. Benar-benar keindahan dari tanah airku yang tercinta dan kesederhanaan darimana aku berasal. Dan aku ingin rumahku yang terakhir ini terletak di daerah Priangan yang sejuk, bergunung-gunung dan subur, di mana aku pertama kali bertemu dengan petani Marhaen.” Selain itu, menurut sejarawan Asvi Warman Adam, sahabat Sukarno, Masagung dalam buku Wasiat Bung Karno (yang baru tebit tahun 1998) mengungkapkan bahwa Sukarno telah menulis semacam wasiat, masing-masing dua kali, kepada istrinya Hartini (16 September 1964 dan 24 Mei 1965) dan Ratna Sari Dewi (20 Maret 1961 dan 6 Juni 1962). “Di dalam salah satu wasiat itu dicantumkan tempat makam Bung Karno, yakni di bawah kebun nan rindang di Kebun Raya Bogor,” tulis Asvi dalam Bung Karno Dibunuh Tiga Kali . Namun, Presiden Soeharto dalam otobiografinya menyatakan bahwa sebelum memutuskan tempat pemakaman Sukarno, dia mengundang para pemimpin partai dan pelbagai tokoh masyarakat. “Jelas, Soeharto menganggap ini masalah politik yang cukup pelik. Jadi, pemakaman tidak ditentukan oleh keluarga, tetapi melalui petimbangan elite politik,” tulis Asvi. Soeharto pun memutuskan untuk memakamkan Sukarno di Blitar, di samping makam ibunya, pada 22 Juni 1970. Pemakaman di Blitar itu dilaksanakan berdasarkan Keputusan Presiden No. 44 Tahun 1970 tertanggal 21 Juni 1970. Menurut Jusuf Wanandi, Soeharto mengingkari pesan akhir Sukarno yang ingin dikubur di bawah pohon yang rindang di Istana Bogor. Tapi itu akan menempatkan makamnya terlalu dekat dengan Jakarta dan dapat dipolitisasi oleh para pendukungnya. “Sekali lagi kita menyaksikan kehebatan Soeharto dengan nalurinya untuk tetap berjaya,” kata Jusuf Wanandi.*

  • Cerita Sukarno dengan Dalang Wayang Kulit Kesayangannya

    PADA 1960-an, akan dihelat pagelaran wayang kulit di Istana. Ia salah satu kesenian yang disukai Sukarno. Sukarno memilih sendiri dalang favoritnya, Ki Gitosewoko dari Blitar. Lima hari sebelum pagelaran, Gitosewoko sudah berada di Istana. “Apakah sudah siap?” tanya Sukarno kepada Gitosewoko. Percakapan pun berlanjut membahas cerita hingga sanggit atau penggarapan. Sukarno berpesan, “Gito, semua mengharapkan pagelaran nanti sukses. Berusahalah tidak mengecewakan penonton.” Sukarno juga mengarahkan, “Gatotkaca tidak boleh sering memukul. Usahakan sekali memukul lawannya tumbang. Lalu Arjuna lebih tepat jika kau bawakan dengan laras (nada, red ) dua atau lima, jadi lebih terkesan jantan. Suaranya harus kau tegaskan! Bukankah ksatria besar macam Arjuna, tidak tepat bila memiliki suara klemak-klemek , tidak bertenaga?” Kerewelan Bung Karno terhadap pagelaran wayang kulit tidak berhenti di situ. Jelang malam pagelaran, dia kembali memeriksa sendiri tatanan instrumen gamelan. Gamelan harus berada di atas panggung yang sejajar dengan kursi penonton. Lampu penerangan nantinya tidak boleh lebih dari 250 watt. Lalu instrumen gong tidak boleh menutupi penglihatan penonton. Dan terakhir, para pesinden harus berada di belakang dalang. Soal pesinden, Sukarno pun punya favorit: Nyi Tjondrolukito dari Yogyakarta. Nyi Tjondrolukito, yang bernama kecil Turah, seperti dicatat dalam buku Apa dan Siapa , berguru kepada Larasati dan Madularas di kepatihan Danurejan dan mendapat nama Penilaras. Dia kemudian disunting Ki Tjondrolukito, bangsawan yang ahli tari sejak masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono VIII (1880-1939). Pada era Sultan Hamengkubuwono VIII, setiap dia istirahat di Kali Urang, selama dua bulan tanpa henti, diadakan pagelaran karawitan. Ini adalah ujian. Jika seniman itu benar-benar mengabdi kepada seni, maka dia akan tahan dengan padatnya pagelaran. Nyi Tjondrolukito adalah seniman produk zaman Sultan Hamengkubuwono VIII yang tahan uji, baik dari segi mental, moral maupun keterampilan. Menurut Nyi Tjondrolukito, Sukarno sejajar dengan Sultan Hamengkubuwono VIII soal selera pada kesenian Jawa. Namun, Sukarno memiliki nilai lebih. “Bung Karno pandai meluhurkan seni lahir dan batin. Sedangkan para raja Jawa dahulu hanya seninya saja. Raja Jawa dulu pandai meluhurkan keseniannya, namun seniman-senimannya masih dipandang sebagai abdi,” ujar Nyi Tjondrolukito kepada Herman Pratikto, penulis cerita silat Bende Mataram , seperti dikutip dalam majalah Warta Para Psikologi No. 10 tahun III. Salah satu contoh bagaimana Sukarno mengayomi seniman Istana adalah kepeduliannya kepada kesehatan Ki Gitosewoko. Sekali waktu, Gitosewoko mengeluh kepada Nyi Tjondrolukito. “Bapak (Bung Karno, red ) melarang saya mengisap candu. Kalo begitu, saya akan cepat mati,” ujar Gito. Ki Gitosewoko memang pengisap candu semasa jayanya. Sukarno membujuknya supaya berhenti, karena alasan kesehatan. Bahkan dia menjanjikan hadiah jika Ki Gitosewoko dapat meninggalkan candu. Tidak di situ saja. Sukarno pun tak marah ketika Ki Gitosewoko menggadaikan salahsatu gamelan istana. Mungkin butuh uang, Ki Gitosewoko menggadaikan sebuah kempul atau salahsatu perangkat gamelan, dari dalam Istana ke seorang kawannya di Kediri. Tidak ada yang tahu bagaimana Ki Gitosewoko membawanya keluar Istana. Sewaktu Sukarno memeriksa perangkat gamelan. Dari sepintas melihat, dia tahu ada kempul yang hilang. Tanpa banyak bicara, dia memerintahkan beberapa orang untuk menyelidiki kemana raibnya gamelan Istana. Pendek kata, posisi kempul sudah diketahui. Sukarno yang menerima laporan itu lalu memerintahkan untuk menebus kembali kempul supaya dapat kembali ke Istana. Suatu saat, dalang Ki Gitosewoko berjalan di dekat perangkat gamelan Istana. Dia kaget, kempul yang dia gadaikan sudah kembali ke tempatnya. “Melihat kempul sudah ditempatnya, Mas Gito langsung pingsan,” ujar Ki Kasido, adik Ki Gitosewoko, dalam majalah Warta Para Psikologi .*

  • Prostitusi di Jakarta, Sejak Zaman Ali Sadikin Sampai Ahok

    GUBERNUR DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok kembali menuai kritikan dari berbagai pihak karena pernyataannya soal wacana lokalisasi prostitusi. Menurutnya, prostitusi tidak dapat dihilangkan selama manusia masih berada di muka bumi ini. Dia menganalogikan prostitusi dengan sampah. “Analogi sederhana, pelacuran mirip sampah masyarakat. Selama masyarakat ada pasti produksi sampah. Kita bisa tidak hilangkan sampah itu? Tidak bisa. Makanya negara-negara maju menyediakan lokalisasi supaya gampang mengontrol (prostitusi),” kata Ahok (24 April 2015), dikutip CNN Indonesia . Wacana Ahok ini mengingatkan kita pada Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin (1966-1977) yang berusaha menyelesaikan masalah prostitusi dengan melokalisasinya. Di pengujung masa jabatan periode pertamanya (1966-1971), Ali membuat kebijakan kontroversial dalam menangani pelacuran di ibukota. Awalnya ketika dia meninjau langsung tempat pelacuran di sepanjang Kramat Raya dan Senen. “Saya ngilu menyaksikannya. Di antara wanita-wanita itu ada anak-anak kecil yang masih belasan tahun umurnya. Ada pula yang disebut ‘becak komplit’ karena kendaraan roda tiga itu membawa keliling wanita ‘P’. Seketika itu juga saya kemukakan secara terbuka, kita harus berdaya upaya agar keadaan yang mencolok itu ditertibkan,” kata Ali dalam Ali Sadikin Membenahi Jakarta Menjadi Kota yang Manusiawi , karya Ramadhan KH. Ali mendapat ide melokalisasi wanita tuna susial ketika berkunjung ke Bangkok, Thailand. Seorang dari kedutaan besar Indonesia di Thailand, menuntun Ali ke tempat lokalisasi itu. “Hal ini menimbulkan pikiran pada saya, untuk menerapkan apa yang saya lihat itu di Jakarta,” kata Ali. Rencana Ali ditentang keras. Ali dituding “memperbolehkan eksploitasi manusia atas manusia, merendahkan derajat wanita, dan menjauhkan kemungkinan rehabilitasi bagi wanita yang sadar.” Namun Ali tetap yakin jalan menanggulangi pelacuran adalah dengan melokalisasi mereka. “Melokalisasi berarti mempersempit ruang gerak mereka dan dengan demikian mereka akan terbina,” kata Ali. Ali mengeluarkan Surat Keputusan Gubernur No. Ca.7/1/13/70 tanggal 27 April 1970 tentang Pelaksanaan Usaha Lokalisasi Wanita Tuna Susila serta Pembidangan Tugas dan Tanggung Jawab. SK ini diikuti dengan berbagai kebijakan yang dituangkan dalam SK dan instruksi gubernur, SK walikota Jakarta Utara, SK kepala dinas sosial dan lain sebagainya. Menurut Endang R. Sedyaningsih dan Mamahit dalam Perempuan-perempuan Kramat Tunggak , dengan SK Gubernur No. Ca.7/1/39/71, pejabat-pejabat lokal diinstruksikan untuk menutup dan memindahkan praktik-praktik pelacuran di wilayah Jakarta Utara, Angke dan Jelambar di Jakarta Barat, Rawa Bangke di Jakarta Timur; ke Kramat Tunggak di Jalan Kramat Raya Kelurahan Tugu Kecamatan Koja Jakarta Utara. Kramat Tunggak telah menjadi tempat pelacuran sejak 1950-an, ketika itu masih bercampur dengan rumah-rumah penduduk. Selain itu, tempat pelacuran di Jakarta Utara berada di Cilincing, Kalibaru, Koja Utara, Pejagalan, Pademangan, dan Penjaringan. Di wilayah kota Jakarta lain juga terdapat lokasi semacam itu. “Para germo dari wilayah yang ditutup diminta segera mendaftarkan diri ke Suku Dinas Sosial Jakarta Utara, dan para pelacurnya agar segera mengikuti germo-germo yang telah berada di lokalisasi,” tulis Endang dan Mamahit. Kramat Tunggak yang berdiri di atas tanah seluas 11,5 hektar dimaksudkan sebagai tempat rehabilitasi bagi pelacur dan germo, sehingga salahsatu syarat utamanya mereka sudah pernah menjalankan usaha pelacuran di tempat lain. Oleh karena itu, umumnya para germo di Kramat Tunggak pernah mempunyai bordil di tempat lain. Mereka pindah karena penggusuran untuk pembangunan atau ditutup pemerintah daerah. Di Kramat Tunggak, para germo –yang disebut ibu asuh atau bapak asuh serta pelacurnya disebut anak asuh– rata-rata mempekerjakan 5-10 pelacur, paling banyak mencapai 60 pelacur. Panti Rehabilitasi Wanita Tuna Susila, unit pelaksana teknis dari Suku Dinas Sosial Jakarta Utara, melakukan rehabilitasi dan resosialisasi (rehab dan resos) di Kramat Tunggak. Panti ini mengklaim program rehab dan resos dari 1972 sampai 1993, berhasil mengirimkan 11.624 pelacur kembali ke kehidupan normal: 2.795 orang menikah, 6.229 kembali ke keluarganya, dan 1.420 mencari pekerjaan yang lebih layak. Kendati demikian, waktu dibuka Kramat Tunggak hanya terdapat 300-an dengan 76 germo, jumlah mereka meningkat pada 1980-an dan 1990-an mencapai 2.000 pelacur dan 228 germo. Lokalisasi-lokalisasi pelacuran yang ditutup berangsur hidup dan marak kembali. Pada 1997, di kota Jakarta kurang lebih sepuluh lokasi pelacuran tidak resmi, yang sewaktu-waktu hilang karena razia atau penggerebekan, tidak lama kemudian muncul kembali seperti di Rawa Malang, Kali Jodo, dan Boker. Ali Sadikin pun menyadari bahwa soal pelacuran sudah berada di tengah dunia sekian ratus tahun kalau tidak sekian ribu tahun. “Memang, tidak mudah menyelesaikan masalah wanita tuna susila itu. Lebih gampang membicarakannya daripada menolong mereka,” kata Ali. Kramat Tunggak akhirnya ditutup pada Desember 1999. Di sini kemudian dibangun Jakarta Islamic Center, lembaga pengkajian dan pengembangan Islam di Jakarta.*

  • Remang Terang Prostitusi

    TRI Rismaharini, walikota Surabaya, Jawa Timur, menutup kawasan prostitusi Dolly pada 18 Juni 2014. Penutupan bertumpu pada tiga alasan utama: Peraturan Daerah No 7/1999, harkat dan martabat perempuan, dan anak-anak. Menyikapi penutupan tersebut, sikap warga terbelah dua: mendukung atau menolak. Ini lumrah dalam polemik prostitusi di pelbagai zaman. Prostitusi pernah mendapat ruang hidup secara legal dalam masyarakat kolonial. Saat Hindia Belanda Timur berada dalam kuasa Prancis, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (menjabat 1808-1811) mengeluarkan aturan perihal prostitusi. Kaisar Napoleon ikut membidani lahirnya aturan itu. Dia melihat daya tempur tentara Prancis mengendor akibat penyakit kelamin. Sumber penyakit kelamin berasal dari penularan lelaki durjana kepada perempuan pekerja seks. Tapi, Napoleon justru membebankan kewajiban pemeriksaan kesehatan hanya kepada perempuan pekerja seks. Mereka mengikuti pemeriksaan medis secara rutin. “Ini berarti bahwa prostitusi dibolehkan,” tulis Liesbeth Hesselink, “Prostitution: A Necessary Evil,” termuat dalam Indonesian Women in Focus suntingan Elsbeth Locher Scholten dan Anke Borkent-Niehof. Aturan itu berumur pendek karena Prancis hengkang dari Hindia Belanda Timur pada 1813. Prostitusi pun merebak tanpa kendali. Terusik maraknya sebaran penyakit kelamin dan prostitusi ilegal, sekelompok masyarakat mendesak pemerintah kolonial mengeluarkan aturan perihal prostitusi. Menurut mereka, prostitusi sudah jadi kebutuhan alamiah laki-laki. Orang mustahil menolak prostitusi sebab mereka membutuhkannya. Muncullah sebutan untuk prostitusi: “kejahatan yang dibutuhkan.”  Pemerintah kolonial berpihak pada kelompok pendukung prostitusi. Mereka mengeluarkan Reglement tot wering van de schadelijke gevolgen, welke uit de prostitutie voortvloejen (Aturan untuk melawan dampak buruk prostitusi) pada 1852. Ini berarti prostitusi kembali menemukan pijakan legal. Berdasarkan aturan 1852, para perempuan pekerja seks wajib mendaftarkan diri ke polisi. Pemerintah kolonial berharap pendaftaran itu bisa menekan prostitusi ilegal. Perempuan pekerja seks juga harus memeriksakan kesehatannya saban minggu ke dokter. “Jika seorang perempuan pekerja seks terinfeksi penyakit kelamin, dia harus masuk rumahsakit dan tidak boleh pergi hingga sembuh,” tulis Liesbeth. Harapan pemerintah kolonial meleset. Sebaran penyakit kelamin dan prostitusi liar tetap semarak. Penentang prostitusi pun bersuara keras. Kata mereka, aturan 1852 sangat konyol. Tidak ada cukup polisi dan dokter untuk mengurus prostitusi. Argumen lain mereka ialah soal moralitas dan dosa agama. “Secara bertahap, suara para penentang aturan prostitusi menguat. Dan sampai puncaknya pada 1 September 1913 ketika pemerintah kolonial memberlakukan Undang-Undang Kesusilaan Publik,” tulis Liesbeth. Maka, rumah bordil dan pergermoan jadi ilegal. Menurut Marieke Bloembergen dalam Polisi Zaman Hindia Belanda , Polisi Susila Hindia Belanda lekas bergerak memberantas prostitusi begitu UU itu berlaku. Tapi prostitusi tak lantas mati. Para pelakunya bergerak secara sembunyi-sembunyi. Pemilik hotel, restoran, dan tempat hiburan malam menyediakan jasa seks berbayar terselubung. Catatan RDGPH Simons, ahli demartologi Batavia, bahkan menyebut prostitusi di Surabaya berkembang menjadi delapan jenis pada 1939. “Yang ditemukan di warung-warung kopi kecil di dekat pelabuhan dan kota pelabuhan tua; prostitusi jalanan dari kampung setempat; rumah-rumah bordil di pusat kota; rumah bordil kampung di pinggiran kota; pelayanan berbeda dari pelayan wanita pribumi; pelayanan yang lebih beragam dari pelayan wanita Belanda; prostitusi Eropa di rumah bordil yang terorganisasi; dan terakhir prostitusi homoseksual dan waria,” tulis John Ingleson, “Prostitusi di Kolonial Jawa,” termuat dalam Perkotaan Masalah Sosial dan Perburuhan di Jawa Masa Kolonial .*

  • Sukarno dan Palestina

    DUKUNGAN Indonesia kepada kemerdekaan Palestina dari penjajahan Israel telah dilakukan sejak era Presiden Sukarno. Baginya, tiap bangsa punya hak menentukan nasibnya sendiri tanpa melalui pengaturan dan campur tangan negara lain. Sedari awal, Indonesia tak mau mengakui Israel yang diproklamasikan David Ben-Gurion pada 14 Mei 1948, karena merampas tanah rakyat Palestina. Pemerintah Indonesia tak membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Ucapan selamat dan pengakuan kemerdekaan Indonesia yang dikirimkan Presiden Israel Chaim Weizmann dan Perdana Menteri Ben Gurion tak pernah ditanggapi serius pemerintah Indonesia. Mohammad Hatta hanya mengucapkan terimakasih, namun tak menawarkan timbal-balik dalam hal pengakuan diplomatik. Sukarno juga tak menanggapi telegram ucapan selamat dari Israel. Sewaktu Sukarno mulai menggagas Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada 1953, Indonesia dan Pakistan menolak keras diikutsertakannya Israel dalam konferensi tersebut. Keikutsertaan Israel bakal menyinggung perasaan bangsa Arab, yang kala itu masih berjuang memerdekakan diri. Sementara Israel adalah bagian dari imperialis yang hendak dienyahkan Sukarno dan pemimpin-pemimpin dunia ketiga lainnya. Dalam pidato pembukannya di KAA pada 1955 yang juga dihadiri pejuang Palestina Yasser Arafat, Sukarno menyatakan bahwa kolonialisme belum mati, hanya berubah bentuknya. Neokolonialisme itu ada di berbagai penjuru bumi, seperti Vietnam, Palestina, Aljazair, dan seterusnya. Maka dari itu, tulis Ali Sastroamidjojo dalam Tonggak-Tonggak di Perjalananku, Bung Karno mengajak supaya bangsa-bangsa Asia dan Afrika di dalam Konperensi ini membentuk satu front anti-kolonialisme dengan membangun dan memupuk solidaritas Asia-Afrika. “Imperialisme yang pada hakikatnya internasional hanya dapat dikalahkan dan ditundukkan dengan penggabungan tenaga antiimperialisme yang internasional juga,” ujar Sukarno dalam pidato hari ulangtahun Republik Indonesia ke-21 pada 17 Agustus 1966, sebagaimana dimuat dalam Revolusi Belum Selesai. Pasca KAA, solidaritas Asia-Afrika menguat dan semangat antikolonialisme makin membara di dada rakyat kedua benua. Sukarno makin keras mendukung perjuangan kemerdekaan rakyat Palestina. Hal itu dia lakukan dengan berbagai cara, tak terkecuali melalui olahraga. Maulwi Saelan, pengawal Sukarno, masih ingat betul pengalamannya tatkala sepakbola menjadi salah satu alat perjuangan Indonesia di pentas politik internasional. Menurut Maulwi, pada 1958 Indonesia tinggal selangkah lagi masuk ke ajang Piala Dunia. Di penyisihan wilayah Asia Timur, Indonesia berhasil menundukkan Tiongkok. Indonesia tinggal memainkan pertandingan penentuan melawan Israel sebagai juara di wilayah Asia Barat. Namun, Sukarno melarangnya. “Itu sama saja mengakui Israel,” ujar Maulwi menirukan omongan Sukarno, kepada Historia . “Ya, kita nurut. Nggak jadi berangkat,” lanjut mantan penjaga gawang tim nasional yang pernah membawa Indonesia menahan imbang Uni Soviet dalam Olimpiade Melbourne 1956. Perlawanan terhadap Israel kembali dilakukan oleh Sukarno ketika Jakarta menjadi tuan rumah Asian Games IV pada 1962. Pemerintah Indonesia tak memberikan visa kepada kontingen Israel dan Taiwan. Meski alasan resmi yang dikeluarkan adalah, Indonesia tak mempunyai hubungan diplomatik dengan kedua negara tersebut, tapi alasan politik antiimperialisme Sukarno mendasari kebijakan tersebut. Saat itu, negara-negara Arab sedang bersengketa dengan Israel yang ditopang Barat. Sedangkan China dikucilkan dunia internasional setelah Barat hanya mengakui Taiwan sebagai pemerintahan China yang sah. Sukarno melihat hal ini sebagai bentuk penindasan negara-negara Old Established Forces (Oldefos) terhadap New Emerging Forces (Nefos). Akibatnya, Komite Olimpiade Internasional (IOC) menskors keanggotaan Indonesia dengan batas waktu yang tak ditentukan. Alih-alih patuh, Sukarno justru memerintahkan Komite Olimpiade Indonesia keluar dari IOC pada Februari 1963. Sukarno terus melawan. “Sebagai jawabannya Sukarno membentuk Ganefo yang diadakan tahun 1963, yang menjadi pertanda kebesaran bangsa ini dan pertanda ketidaktergantungan pada kekuatan-kekuatan dunia yang ada,” tulis John D. Legge dalam Sukarno: Biografi Politik . Semasa pemerintahan Sukarno pula Indonesia aktif mendukung perjuangan kemerdekaan di berbagai penjuru dunia dengan bantuan dana dan lain sebagainya. Tak hanya di tingkat pemerintahan, rakyat Indonesia juga aktif mendukung kemerdekaan Palestina dan bangsa-bangsa lain seperti Aljazair dan Afrika Selatan. Melalui OISRAA (Organisasi Indonesia untuk Setikawanan Rakyat Asia-Afrika) yang berdiri pada 1960 dan tergabung dalam AAPSO (Organisasi Solidaritas Rakyat Asia-Afrika), kerjasama perjuangan tersebut diintensifkan. Hingga saat kekuasaannya sudah direbut Jenderal Soeharto pada 1966, Sukarno tetap pada pendiriannya dalam hal perjuangan rakyat Palestina melawan Israel. Dalam pidatonya pada hari ulang tahun Republik Indonesia ke-21, Sukarno menyatakan, “Kita harus bangga bahwa kita adalah satu bangsa yang konsekuen terus, bukan saja berjiwa kemerdekaan, bukan saja berjiwa antiimperialisme, tetapi juga konsekuen terus berjuang menentang imperialisme. Itulah pula sebabnya kita tidak mau mengakui Israel!”*

  • Diam-diam, Indonesia Beli Pesawat Tempur Israel

    TAK lama setelah menjabat Menhankam/Pangab, Jenderal M. Jusuf, menerima laporan mengenai tawaran membeli pesawat tempur jenis A-4E dan A-4F Skyhawk milik Angkatan Udara Israel dengan harga yang cukup murah. Israel mau melepas 32 pesawat itu karena akan menggantinya dengan pesawat tempur yang lebih canggih jenis F-16 Fighting Falcon. “Menurut Jusuf, laporan itu didapat dari Asintel Hankam (Asisten Intelijen Pertahanan dan Keamanan) L.B. Moerdani, yang mempunyai jaringan baik dengan pihak Israel,” tulis Atmadji Sumarkidjo dalam biografi Jenderal M. Jusuf, Panglima Para Prajurit . Jusuf menyetujui pembelian pesawat tempur itu. Tetapi, dia meminta Moerdani agar merancang skenario yang baik sehingga asal usul pembelian pesawat itu tidak diketahui masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim, dan pasti menentangnya. “Baru pada tahun 1979 informasi tersebut dilepas ke pihak Mabes (Markas Besar) TNI-AU,” tulis Atmadji. Menurut Jim Winchester dalam Douglas A-4 Skyhawk: Attack & Close-Support Fighter Bomber, Wakil Presiden Amerika Serikat, Walter Mondale, menawarkan 16 Skyhawk waktu berkunjung ke Jakarta pada Mei 1978. Sisanya, 14 Skayhawk (kursi tunggal) dan dua Skayhawk (dua kursi) diserahkan pada November 1979, pesawat ini tipe A-4E dan TA-4H dari Israel. “Ada kemungkinan bahwa Israel yang memulai penjualan, tetapi penjualan itu diperantarai oleh Amerika Serikat untuk menghindari kepekaan Muslim Indonesia,” tulis Jim Winchester. Pada 1980, sejumlah perwira penerbang dipilih secara ketat untuk dilatih menerbangkan Skyhawk, salah satunya Letnan Satu F. Djoko Poerwoko. Dalam bukunya, My Home, My Base , Djoko menceritakan bahwa sebelum sampai ke Israel untuk berlatih, mereka harus melakukan usaha “penyesatan”, antara lain tidak memakai paspor Indonesia sehingga tidak bisa dilacak memasuki Israel. Sepulang latihan selama empat bulan, mereka juga harus menyiapkan alibi bahwa mereka berlatih dan “jalan-jalan” di Amerika Serikat. Operasi latihan hingga persawat itu sampai di Indonesia diberi sandi Operasi Alpha. Dua kali operasi, Alpha I dan Alpha II, masing-masing diberangkatkan sepuluh penerbang. “Pilot-pilot Indonesia dilatih oleh Squadron No. 141 di Etzion, Israel, dan segera setelah selesai pelatihan, skuadron pesawat itu dikirimkan ke Indonesia,” tulis Jim Winchester. Menurut Atmadji, kepada media massa disampaikan bahwa pesawat Skyhawk itu didatangkan dari Amerika Serikat. Namun, ada sejumlah pihak yang tahu bahwa pesawat itu eks Angkatan Udara Israel, tetapi dijelaskan lagi bahwa pesawat itu dibeli lagi oleh Amerika Serikat untuk dijual kepada Indonesia. “Sesuai dengan peraturan yang berlaku di AS, pesawat-pesawat yang dibeli dari mereka melalui fasilitas khusus boleh dijual kepada negara lain bila disetujui oleh AS. Kebetulan, baik AS maupun Israel sepakat untuk menjual dua skuadron pesawat itu kepada Indonesia. Pembayarannya melalui kredit ekspor kepada AS,” tulis Atmadji. Pada peringatan Hari ABRI 5 Oktober 1980, pesawat-pesawat Skyhawk mengadakan fly-pass (terbang formasi) bersama pesawat yang benar-benar baru yaitu F-5E Tiger II buatan Northtrop Corporation, Amerika Serikat. Walaupun bekas, namun kemampuan pesawat Skyhawk masih prima berkat pemeliharaan Angkatan Udara Israel yang sangat baik. Diprediksi pesawat-pesawat itu dapat beroperasi selama 10 tahun, namun kenyataannya dapat digunakan selama 20 tahun. Mulai tahun 2004, pesawat-pesawat itu secara bertahap dipensiunkan.*

  • Sokongan Indonesia untuk Kemerdekaan Afrika Utara

    PADA Konferensi Asia Afrika April 1955, delegasi dari Tunisia, hanya sebagai peninjau. Negara di Afrika Utara itu, bersama Aljazair dan Maroko, masih dijajah Prancis. Konferensi Lima Perdana Menteri di Bogor pada 1954, menegaskan dalam maklumatnya bahwa “Para Perdana Menteri menyatakan bantuan seterusnya dari mereka terhadap tuntutan dari bangsa Tunisia dan Maroko untuk kemerdekaan nasionalnya dan hak yang sah dari mereka untuk menentukan nasibnya sendiri.”   Pada awal tahun 1951, pemimpin perjuangan kemerdekaan Tunisia, Habib Bourguiba, datang ke Jakarta, untuk meminta dukungan pemerintah Indonesia. “Kami terima beliau, bukan sebagai tamu asing akan tetapi sebagai teman seperjuangan lama, yang sama-sama berjuang di satu front kemerdekaan tanah air dari penjajahan yang berabad-abad itu,” kata Muhammad Natsir, dalam Budaya Jaya , Vol. 9, 1976. Natsir selaku perdana menteri melakukan kunjungan balasan ke Mesir pada 1952, dimana pemerintah Mesir membantu menyediakan kantor bagi para pejuang kemerdekaan dari Tunisia, Aljazair, dan Maroko di Kairo. Sekembali dari lawatan tersebut, Natsir membentuk Panitia Pembantu Perjuangan Kemerdekaan Afrika Utara. Panitia ini diketuai oleh Natsir, sekretaris jenderal Hamid Algadri, bendahara IJ Kasimo, anggota A.M. Tambunan dan Arudji Kartawinata. Dalam Muhammad Natsir 70 Tahun: Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan , disebutkan bahwa “panitia ini berhasil memberikan bantuan walaupun tidak begitu besar dalam arti materiil tapi besar dalam arti moril bagi perjuangan kemerdekaan negara-negara tersebut.” Panitia mengusahakan kantor bagi utusan dari Tunisia, Aljazair, dan Maroko, di Jalan Cik Ditiro No. 56 Jakarta Pusat (kemudian sempat jadi kantor kedutaan besar Aljazair, sebelum pindah ke Jalan HR Rasuna Said Kav 10-1 Kuningan Jakarta Selatan). Menurut Hamid Algadri, para utusan itu antara lain Taieb Slim dan Tahar Amira dari Tunisia; Lakhdar Brahimi dan Muhammad Ben Yahya, Muhammad Yazid, dan Husen Ait Ahmad dari Aljazair; dan Allal Fassi dari Maroko. “Mereka sering berkunjung di Jalan Tosari No. 50 (rumah Hamid, red ) dan menganggapnya seperti rumah keluarga sendiri,” kata Hamid dalam memoarnya Mengarungi Indonesia. Sekalipun mereka tidak mempunyai status diplomatik, tetapi setiap 17 Agustus mereka selalu diundang untuk menghadiri upacara peringatan hari ulangtahun Republik Indonesia di Istana Merdeka. Ketika Maroko dan Tunisia sama-sama merdeka pada 1956, Aljazair berada pada puncak perjuangannya. Prancis kewalahan menangani perlawanan rakyat Aljazair. Lakhdar Brahimi, kelak menjadi menteri luar negeri Aljazair, masih di Jakarta selama enam tahun sebagai wakil dari Front Kemerdekaan Nasional (NLF). Majalah Merdeka , 4 Juni 1955, melaporkan seluruh rakyat yang pernah merasakan penjajahan akan berdiri menyokong perjuangan rakyat Aljazair. “Dan Konferensi Asia Afrika baru-baru ini juga menyatakan sokongan mereka sepenuhnya terhadap rakyat Afrika Utara melawan penjajahan,” tulis Merdeka . Aljazair baru merdeka pada 1962. Setelah berhasil merebut kemerdekaan, pemerintah Tunisia dan Aljazair memberikan penghargaan tertinggi, Wism Jumhuria dan Al Istihqaq Al Watani , kepada Mohammad Natsir dan Hamid Algadri selaku ketua dan sekretaris jenderal Panitia Pembantu Perjuangan Kemerdekaan Afrika Utara.*

bottom of page